Minggu, 24 Mei 2009

Pariwisata, Tegasnya Peraturan dan 'Ramah'nya Aparat Indonesia

Ketika krisis global melanda dunia, ada kekhawatiran dunia pariwisata Indonesia akan terpuruk. Kekhawatiran ini diperkuat dengan data menurunnya kunjungan wisatawan yang masuk ke Bandar Udara Ngurah Rai pada dua bulan pertama tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi ternyata tren penurunan itu tidak berlangsung lama, belakangan entah karena gencarnya promosi wisata Indonesia atau karena diuntungkan oleh situasi tidak menguntungkan yang terjadi di negara-negara pesaing Indonesia dalam merebut pasar wisata yang menawarkan alam tropis. Krisis politik di Thailand yang tidak menentu, krisis dengan Macan tamil di Sri Lanka dan yang terbaru Flu Babi yang merebak di Meksiko. Entahlah, yang jelas bulan-bulan selanjutnya kunjungan wisatawan yang masuk melalui Bandara Ngurah Rai melonjak drastis sampai melebihi jumlah kunjungan wisatawan tahun lalu pada periode yang sama.

Khusus untuk wisatawan asal Perancis, jumlahnya bahkan melonjak hampir tiga kali lipat dari jumlah wisatawan yang berkunjung tahun lalu. Ketika fenomena ini saya tanyakan pada beberapa wisatwan asal Perancis yang menjadi tamu saya, mereka mengatakan kalau sekarang di Perancis, berkunjung ke Bali sedang menjadi tren. Di mana-mana orang membicarakan Bali. Agen-agen perjalanan di Perancis pun kewalahan menerima permintaan kunjungan berwisata ke Bali, karena jumlah permintaan tidak seimbang dengan jumlah kamar yang bisa disediakan oleh hotel-hotel yang ada di Bali.

Ketika kunjungan ke Bali meningkat drastis, hal sebaliknya terjadi dengan daerah tujuan wisata yang lain seperti Lombok, Sulawesi atau Sumatera. Pariwisata di daerah-daerah tersebut menderita dan terpuruk akbibat larangan dari Uni Eropa bagi warganya untuk terbang dengan maskapai penerbangan dalam negeri Indonesia, sehingga agen-agen perjalanan tidak bisa menjual paket tour ke daerah-daerah tersebut karena tidak ada satupun perusahaan asuransi di eropa yang mau menanggung resiko kecelakaan wisatawan yang menumpang pesawat milik maskapai penerbangan Indonesia.

Jika daerah-daerah yang saya sebutkan di atas menderita karena tidak bisa mendapatkan limpahan wisatawan dari Bali. Sebaliknya situasi ini justru menguntungkan buat pulau Jawa. Dulu ketika tidak ada larangan terbang, biasanya wisatawan langsung naik pesawat dari Bali menuju Jogja atau sebaliknya. Untuk ke Bromo pun misalnya, mereka bisa langsung naik pesawat ke Surabaya.

Tapi sekarang akibat adanya larangan tersebut, mau tidak mau wisatawan dari Bali yang ingin ke Jogja atau sebaliknya, harus menempuh jalan darat. Akibatnya waktu tinggal wisatawan di Bali menurun dan sebaliknya waktu kunjungan wisatawan di Jawa meningkat. Keadaan ini menghidupkan bisnis pariwisata di sepanjang jalan yang dilalui wisatawan dari Jogja yang menuju Bali atau sebaliknya. Hotel-hotel dan restoran di kota-kota semacam Kediri, Jember dan Banyuwangi yang dulu kering kunjungan wisatawan asing kini mulai ramai disinggahi.

Di Bali sendiri, beberapa agen perjalanan menawarkan variasi kunjungan wisata ke Kawah Ijen yang terletak di kabupaten Banyuwangi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Pulau Bali. Objek wisata ini sekarang sangat terkenal di Perancis dan negara-negara berbahasa Perancis sejak Nicholas Hulot, seorang pemandu acara petualangan terkenal membuat reportase tentang Kawah Ijen pada pertengahan tahun 90-an dulu. Jet Tour, sebuah biro perjalanan asal Perancis yang sekarang berada di bawah manajemen Thomas Cook adalah salah satu agen perjalanan yang menawarkan paket kunjungan wisata ke Kawah Ijen ini.

Kamis tanggal 21 Mei 2009 pukul 15.30 Wita, saya yang menjadi tour leader untuk Jet Tour. Bersama 20 orang klien saya menyeberang dengan menggunakan kapal Ferry dari pelabuhan Gilimanuk di Bali ke Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi.

Dalam perjalanan, seorang tamu saya yang bernama Christine Dard yang berusia 57 tahun jatuh sakit, dia merasa mulas dan sangat lemas. Saya dan suaminya mencoba memijat dan memberinya obat, tapi tindakan yang kami lakukan tersebut tidak serta merta membuat kondisi ibu Christine Dard membaik. Yang dia inginkan adalah kami segera bisa sampai di seberang dan dia bisa segera beristirahat di hotel.

Ketika kapal akhirnya bersandar di pelabuhan ketapang pada pukul 15.30 WIB, wajah Christine Dard sudah sangat pucat, dia bisa berdiri dengan susah payah tapi masih bisa berjalan melewati lorong jembatan penumpang dengan dipapah oleh saya dan suaminya. Ketika kami hampir sampai ke darat, ratusan remaja tanggung yang sepertinya adalah rombongan anak sekolah yang akan berlibur ke Bali menyeruak masuk melalui lorong tersebut dan membuat kami terpepet ke tepi jembatan. Melihat itu Christine Dard yang sedang kami papah tiba-tiba terduduk lemas. Kami mencoba membujuknya untuk berdiri dan saya membuka jalan meminta tolong rombongan remaja tanggung tersebut menepi dan akhirnya dengan susah payah kamipun berhasil sampai ke darat.

Sampai di darat, mobil yang dikirim oleh Ijen Resort, hotel tempat kami menginap menunggu di pinggir jalan di luar area pelabuhan yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempat kami berada. Untuk sampai ke sana kami harus menyeberangi lapangan parkir yang dipenuhi bus dan truk yang antri untuk menyeberang ke Bali. Mobil yang menjemput kami ada di sana karena sejak beberapa waktu yang lalu, manajemen Pelabuhan ketapang yang berada di bawah naungan Departemen Perhubungan memberlakukan kebijakan untuk melarang kendaraan yang tidak bermaksud menyeberang ke Bali untuk memasuki area pelabuhan Ketapang. Peraturan ini dilaksanakan dengan SANGAT TEGAS oleh aparat Departemen perhubungan yang bertugas di Pelabuhan Ketapang.

Ketegasan aturan di Pelabuhan Ketapang ini seringkali sangat menyulitkan para penumpang, terutama ketika turun hujan deras. Kalau sedang sial tiba di Ketapang saat turun hujan, para penumpang kapal, termasuk turis asing yang sedang berwisata, harus rela berbasah ria menyeberangi lapangan parkir untuk bisa keluar dari pelabuhan. Itu terjadi karena di Pelabuhan Ketapang tidak ada koridor beratap yang menghubungkan Kapal dengan bagian luar pelabuhan seperti yang ada di Gilimanuk.

Ketika kami sampai di darat, Christine Dard yang sudah sangat lemas tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan dengan cara dipapah menuju ke mobil yang menunggu kami di luar pagar pelabuhan.

Melihat keadaan seperti itu saya berpikir untuk minta tolong salah satu mobil yang ikut menyeberang untuk memberi tumpangan kepada klien saya yang sakit ini untuk menyeberangi jarak yang hanya sekitar 100 meter itu. Tapi karena saat keluar dari kapal tadi kami membutuhkan waktu yang cukup lama, semua mobil yang ada di kapal yang sama dengan kami sudah terlebih dahulu keluar. Sayapun kebingungan, 19 orang tamu saya yang lain yang sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia lebih kebingungan lagi. Sementara itu Christine Dard semakin lemas dan wajahnya tampak sangat pucat.

Gagal mendapatkan tumpangan di dalam pelabuhan, saya berlari keluar pelabuhan Ketapang meminta sopir mobil yang dikirim oleh Ijen Resort untuk masuk ke dalam lokasi Pelabuhan menjemput tamu saya yang sakit. Saya pikir meskipun ada larangan tegas untuk masuk ke area pelabuhan tentu ada pengecualian untuk kondisi darurat seperti ini. Sopir mobil yang dikirim Ijen Resort dengan wajah cemas segera masuk ke Pelabuhan dan langsung disuruh berhenti oleh seorang petugas polisi paruh baya. Petugas polisi ini menanyakan maksud kami masuk, lalu saya jelaskan kalau kami ingin masuk ke Pelabuhan karena ada seorang tamu saya yang sakit dan tidak bisa berjalan ke luar area pelabuhan. Mendengar penjelasan saya dengan wajah simpatik Petugas kepolisian inipun mempersilahkan kami masuk. Saya langsung merasa lega, dan sopirpun segera bergegas menekan gas.

Tapi ketika kami akan melewati gerbang pemeriksaan, kami ditahan lagi oleh seorang petugas pelabuhan berseragam departemen perhubungan yang berbadan besar yang postur tubuhnya mengingatkan saya pada almarhum komedian Big Dicky. Petugas pelabuhan berbadan besar ini membentak kami dengan kasar dan menyuruh kami mundur. Mendengar bentakan itu, seperti kepada petugas polisi tadi sayapun mencoba menjelaskan situasi yang saya hadapi.

Tidak seperti polisi tadi yang maklum dengan situasi yang saya hadapi, petugas pelabuhan berbadan besar ini tidak mengenal kata kompromi dalam menegakkan peraturan. Kami tetap di suruh mundur, jadi sopir Ijen resort pun tidak punya pilihan selain mundur. Saya kemudian menanyakan, bagaimana solusi yang bisa ditawarkan oleh pelabuhan ketapang supaya saya membawa keluar tamu asing saya yang sedang sakit dari pelabuhan tersebut. "Itu urusan sampeyan", kata petugas tersebut ketus dan melengos pergi tanpa menunjukkan sedikitpun rasa empati.

Ketika cara halus gagal dan emosi sayapun naik mendengar jawaban dan caranya mengucapkan kalimat tadi, saya mencoba sedikit mengancam. "boleh tahu nama bapak", tanya saya, seolah-olah akan menuliskan namanya di Media.
"Oh..nama?..Joko, tulis JOKO" katanya menantang, "lapor kemana saja kamu mau lapor" lanjutnya lagi dengan nada tinggi yang lebih menantang yang membuat saya semakin kebingungan dan bertambah emosi.

Dalam kebingungan seperti itu, saya melihat seorang petugas Satpam pelabuhan sedang duduk santai di atas motor. Saya berinisiatif meminta tolong dengan meminjam motornya untuk membawa tamu saya keluar dari lokasi pelabuhan. Mendengar permintaan saya, si Petugas satpam yang berusia sekitar 25 tahunan ini dengan halus menolak memberikan motornya. Dia beralasan bahwa motornya itu adalah kendaraan operasional pelabuhan.

Kemudian saya melihat sebuah mobil datang dari arah utara menuju ke arah saya, saya mencoba menghentikan untuk meminta tolong membawa tamu saya keluar. Tapi kali inipun saya gagal, sopirnya yang berusia paruh baya ditemani seorang gadis muda di sampingnya ini juga menolak mengantarkan tamu saya yang sakit untuk keluar dari dalam pelabuhan ke tempat mobil-mobil Ijen Resort menunggu. Sopir mobil ini beralasan bahwa mobil yang dia kemudikan itu adalah mobil yang akan digunakan untuk menjemput pramugari kapal.

Gagal mendapatkan pertolongan di Pelabuhan ini membuat saya benar-benar cemas, marah dan frustasi. Hampir satu jam sudah saya berada dalam situasi seperti itu. Sopir-sopir dari Ijen Resort yang menunggu di luar pagar pelabuhan pun tampak sama cemasnya dengan saya.

Sementara itu wajah Christine Dard semakin pucat, tamu-tamu yang lain juga hanya bisa menunjukkan wajah cemas sambil merutuk tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa geram dan memaki-maki menerima perlakuan aparat Indonesia terhadap wisatawan seperti mereka, karena perlakuan yang mereka terima ternyata tidak seperti yang dipromosikan oleh pemerintah Indonesia. Apa yang mereka alami ini jelas promosi yang sangat tidak bagus buat dunia Pariwisata Indonesia. Anggota rombongan saya ini tanpa bisa saya cegah, berencana melaporkan apa yang mereka alami kepada agen mereka, dan meminta agar Thomas Cook, biro perjalanan yang cukup besar di Eropa tersebut agar tidak lagi menawarkan program wisata ke BANYUWANGI.

Tapi bagi saya sendiri, yang saya khawatirkan lebih dari itu. Yang sangat saya khawatirkan adalah kalau kondisi tamu saya ini yang semakin memburuk dan situasi terburuknya yang paling saya khawatirkan adalah kalau dia sampai meninggal dunia. Kalau itu sempat terjadi, kejadian ini tidak hanya akan berdampak pada pariwisata, tapi bukan tidak mungkin akan bisa mengganggu hubungan diplomatik Indonesia dan Perancis. Pemerintah Republik Perancis tentu tidak akan senang warganya yang sedang berwisata diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi seperti itu oleh APARAT RESMI Negara Republik Indonesia.

Pemerintah Perancis tentu tidak sama dengan pemerintah Indonesia yang santai-santai saja mengetahui warganya diperlakukan dengan buruk di negara asing bahkan jika pelakunya adalah aparat di negara negara asing tersebut sekalipun. Perlakuan buruk ini misalnya seperti TKI di luar negeri yang dipukuli dan diperkosa. Atau bahkan ketika seorang wasit Karate warga Indonesia yang sengaja diundang oleh Malaysia, negara tetangga kita, tapi sesampainya di sana malah dipukuli sampai babak belur oleh aparat Malaysia karena dituduh sedang mencari kerja pun, Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan.

Untuk Joko si petugas pelabuhan yang 'ramah' itu. Dari sikap yang dia perlihatkan, saya yakin JOKO si petugas pelabuhan ini sama sekali tidak bisa membayangkan kalau di luar sana ada pemerintah negara asing yang begitu peduli dengan keselamatan warganya. Saya pikir JOKO, aparat pemerintah Indonesia yang hidup dengan alam pikiran Indonesianya ini pasti tidak bisa membayangkan ada seorang presiden di sebuah negara yang mau repot-repot mengirimkan sebuah kapal perang dan langsung memberi komando operasi hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang warganya.

Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan aparat di pelabuhan. Para pedagang yang ada di lokasi pelabuhan dengan simpatik berusaha ikut membantu tamu saya tersebut semampu mereka. Para pedagang di pelabuhan itu ada yang menawarkan kursi, ada yang menawarkan minum dan ada yang menawarkan pijat. Sementara para petugas pelabuhan berseragam yang ada di sana cuma lalu lalang memperhatikan dari jauh, tanpa ada satupun yang mendekat dan menanyakan kenapa.

Saya benar-benar kebingungan untuk menemukan cara membawa keluar tamu saya tersebut. Sejam lebih saya berputar-putar di sana, sampai seorang Ibu berjilbab yang berjualan agak jauh dari tempat kami berada mendatangi kami. Ibu ini mengatakan dia punya kursi roda dan menawarkannya kepada saya untuk membawa tamu saya tersebut keluar. Saya sangat gembira mendengar tawaran ibu ini, lalu ibu itu meminta anaknya untuk mengambilkan kursi roda tersebut. Tidak lama kemudian anak ibu ini berumur sekitar awal 20-an yang penampilannya mengingatkan saya pada Ikhwan PKS karena dia memelihara beberapa lembar jenggot di dagu dan mengenakan kain sarung sampai di atas mata kaki datang tergopoh-gopoh mendorong kursi roda seperti yang dikatakan ibu itu.

Begitulah, akhirnya dengan menaikkannya ke atas kursi roda tersebut, sayapun akhirnya bisa membawa Christine Dard, tamu saya yang sakit keluar dari pelabuhan Ketapang untuk langsung dibawa ke Hotel. Sebagai ucapan terima kasih, saya memberikan uang Rp. 50.000- kepada anak ibu tadi, tapi dia dengan serta merta menolak pemberian saya sehingga akhirnya saya hanya bisa mengucapkan terima kasih tanpa sempat menanyakan namanya.

Di dalam mobil yang membawa kami ke Hotel, tamu-tamu saya yang terkesan dengan kebaikan ibu dan anaknya tadi serta para pedagang di Pelabuhan Ketapang yang serta merta membantu tanpa pamrih, tidak habis pikir dengan kontrasnya sikap mereka dibandingkan sikap aparat Pelabuhan Ketapang. Ketika mereka bertanya kenapa. Saya hanya bisa bilang itulah Indonesia, "Jadi kalau kalian nanti benar mau melaporkan apa yang kalian alami hari ini ke Thomas Cook, tolong kalian jelaskan pula beda antara keramah tamahan penduduk Indonesia dan 'keramahan' aparatnya", kata saya.

Mengalami hal seperti ini, saya teringat apa yang saya saksikan di televisi pada malam sebelumnya, ketika Metro TV mengundang tiga ketua tim sukses pemenangan calon presiden RI untuk Pemilu mendatang. Dalam acara itu, Andi Malaranggeng yang menjadi ketua tim sukses SBY, dengan kumisnya yang terangkat-angkat dengan semangat menggebu terus memuji-muji keberhasilan pemerintahan saat ini, mulai dari ekonomi yang membaik, turunnya tingkat pengangguran termasuk ketegasan aparat dalam penegakan hukum dan aturan.

Mengingat apa yang dikatakan Andi, saya berpandangan bahwa sikap tegas tanpa kompromi yang ditunjukkan oleh Joko, si petugas pelabuhan Ketapang yang memiliki postur seperti almarhum Big Dicky ini adalah salah satu keberhasilan pemerintahan SBY dalam mendidik aparatnya untuk bersikap tegas dalam menegakkan peraturan. Karenanya kepada siapa saja yang membaca tulisan ini dan kebetulan kenal dengan Andi Malaranggeng supaya menyarankan agar 'keramah tamahan' seperti yang ditunjukkan oleh Joko si petugas pelabuhan ketapang ini oleh Andi dapat dipertimbangkan untuk dijadikan bahan kampanye pemenangan SBY.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: