Selasa, 12 Mei 2009

Sempurnanya Islam dan Sempurnanya Alam

Selaku orang Aceh sebagaimana juga orang-orang Aceh lainnya saya percaya kalau Islam itu adalah sebuah ajaran yang sempurna dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Sejak kecil saya diajarkan begitu karenanya sampai sekarangpun saya percaya itu.

SEMPURNA adalah sebuah kata yang maknanya sangat subjektif, pengertian kata ini sangat bergantung sebanyak apa informasi yang ada dalam kepala orang yang memaknai kata SEMPURNA itu.

Waktu kecil kesempurnaan Islam itu saya pahami secara hitam putih, artinya saya mempercayai kalau apapun yang dicomot dari Islam pasti baik jadinya. Ayam yang dipotong dengan cara Islam lebih sehat daripada dengan disetrum, babi yang diharamkan Islam ternyata dagingnya mengandung cacing pita adalah dua diantara banyak bukti yang membuat saya percaya bahwa Islam, agama yang saya anut ini adalah agama yang sempurna. Kemudian fakta lain yang saya dapatkan bahwa Islam memiliki aturan untuk setiap aktivitas sehari-hari mulai dari adab makan, adab bicara, bersikap pada orang tua, mandi bahkan sampai buang air adalah bukti lain yang membuat saya yakin bahwa Islam adalah sebuah agama yang sempurna.

Dalam waktu lama saya pernah berpikir kalau aturan apapun yang dicomot dari Islam dan diterapkan kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari hasilnya pasti akan baik.

Tengku-tengku yang mengajar saya mengaji juga guru agama di sekolah saya seringkali mengkritik orang yang tidak senang dengan hukum Islam yang memberikan hukuman keras bagi pelanggarnya. Seperti hukuman potong tangan buat pencuri atau dirajam sampai mati buat penzina.

Menurut para Tengku tersebut kerasnya hukuman dalam syariat Islam itu adalah untuk membuat jera, sehingga dengan beratnya hukuman itu orang tidak akan berani berbuat kejahatan. Manusia dalam gambaran tengku dan guru agama saya itu seolah seperti sebuah benda mati saja, yang jika diberi reaksi A pasti akan bereaksi B tanpa ada variabel apapun yang bisa membuat penyimpangan reaksi yang dibuatnya.

Pada waktu itu, saya pikir di negara-negara yang menerapkan Syari'at islam sama sekali tidak ada yang namanya orang jahat. Dalam bayangan saya saat itu, Arab Saudi dan negara-negara lain yang menerapkan Syariat islam itu adalah sebuah tempat yang demikian sempurna laksana surga dimana tidak ada kejahatan sama sekali.

Tapi belakangan ketika saya mulai mengenal filsafat, antropologi dan juga psikologi. Melalui pengetahuan yang saya dapatkan dari bidang-bidang itu saya tahu kalau mode perilaku manusia tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para Tengku dan guru agama di sekolah yang mengajari saya.

Dari informasi baru ini saya tahu kalau manusia adalah makhluk yang sangat rumit dan kompleks. Seperti apa perilaku manusia sangat bergantung pada latar belakang dan lingkungan yang membentuknya. Reaksi yang ditampilkan seorang manusia terhadap suatu aksi atau peristiwa tidak selalu sama dan linier.

Belakangan sayapun mulai banyak membaca dan mendengar berita tentang banyaknya kasus perkosaan terhadap pembantu Indonesia yang dilakukan oleh para majikan Aran di Arab Saudi yang menerapkan hukum Syari'at Islam. Sayapun mulai banyak mendapatkan fakta yang sesungguhnya terjadi di negara-negara semacam Sudan, Afghanistan yang menerapkan syari'at islam secara kaku sesuai dengan tafsir resmi pemerintah yang berkuasa.

Banyaknya informasi baru yang masuk ke kepala saya itu membuat pemahaman saya mengenai kesempurnaan Islampun mulai berevolusi.

Saya tetap percaya Islam itu adalah ajaran yang sempurna, tapi sekarang saya memahami kesempurnaan Islam bukan seperti sempurnanya Islam menurut tafsir seorang tokoh atau aliran tertentu.

Saat ini sempurnanya Islam di mata saya, sama seperti sempurnanya alam, yang kesempurnaannya hanya bisa dipahami dengan menyatukan berbagai disiplin ilmu. Tidak seorangpun bisa mengklaim bahwa dialah yang paling mengerti tentang Alam.

Saya yang pernah kuliah di Teknik Sipil sering membayangkan membangun peradaban itu seperti membangun gedung tinggi semacam menara BNI. Semua material bangunan gedung itu didapat dari alam. Tapi untuk menyatukan material-material itu untuk menjadi sebuah gedung seperti menara BNI, material-material dari alam tersebut harus terlebih dahulu diolah dan diperlakukan dengan teknologi.

Untuk membangun sebuah gedung tinggi semacam menara BNI, tidak cukup hanya satu macam pengetahuan tentang satu teknologi saja. Di samping arsitek yang merancang gedung tersebut, ada banyak ahli lain yang terlibat dalam perencanaan sebuah gedung yang tinggi baik langsung terlibat dalam proyek tersebut atau tidak. yang langsung terlibat dalam proyek tersebut selain arsitek dibutuhkan banyak tenaga ahli teknik sipil dari berbagai bidang, mulai dari bidang pengelolaan, struktur sampai geoteknik.

Selain yang terlibat langsung dalam proyek, ada banyak ahli lain yang terlibat dalam menyiapkan bahan bangunan untuk membangun gedung tersebut. katakanlah misalnya Besi yang diperlukan untuk menjadi tulangan beton yang menjadi struktur utama gedung tersebut. Material yang digunakan untuk tulangan ini adalah bijih besi yang ada di alam.

Tapi sebelum menjadi besi beton yang bisa digunakan untuk mendirikan gedung menara BNI, biji besi yang bertebaran di alam itu terlebih dahulu diolah sedemikian rupa. Untuk pengolahan itu diperlukan ahli kimia, ahli metalurgi, ahli mesin dan ahli teknik sipil untuk menguji kekuatannya, ahli manajemen untuk mengatur efektifitas pembuatannya, ahli akkuntansi untuk menghitung untung rugi produksinya dan masih banyak ahli-ahli lain yang tidak saya ketahui.

Itu baru besi, sementara yang menjadi bahan bangunan seperti BNI itu bukan hanya besi ada banyak bahan dari alam lainnya yang masing-masing memerlukan pengetahuan dan keterampilan dari seorang ahli untuk mengolahnya.

Untuk meletakkan bangunan tersebutpun diperlukan pengetahuan dari ahli mekanika tanah dan geologi. Selain itu masih dibutuhkan data meteorologi untuk mengetahui jenis cuaca dan kekuatan angin yang biasa berhembus di tempat itu.

Jadi ketika kita melaksanakan sebuah proyek skala raksasa semacam membangun gedung tinggi pengetahuan umum yang sangat sederhana bahwa struktur gedung tinggi dibuat dari bahan beton dan besi sama sekali tidak ada artinya karena dalam membangun gedung dengan skala itu banyak dibutuhkan pengetahuan tentang detail-detail kecil setiap kemungkinan dengan skala yang sangat presisi.

Itu adalah gambaran bagaimana memabangun sebuah benda mati bernama gedung yang faktor-faktor dan variabel yang mempengaruhi reaksinya terhadap setiap teknologi yang kita terapkan relatif konstan dan bisa diperkirakan.

Bagaimana dengan membangun peradaban?...kira-kira sama saja, untuk membangun katakanlah sebuah masyarakat yang teratur dibutuhkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu sosial dan juga eksak. Untuk menerapkan sebuah produk hukum di masyarakat dibutuhkan kajian dari sisi antropologi, sosiologi, psikologi sejarah dan juga ekonomi. Untuk menerapkan sebuah produk hukum di masyarakat, sama sekali tidak cukup dengan mengandalkan pengetahuan bahwa ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA.

Untuk membangun sebuah peradaban tingkat kerumitannya jauh lebih tinggi daripada membangun sebuah gedung semacam menara BNI, karena dalam membangun peradaban yang dijadikan objek adalah manusia, makhluk kompleks yang demikian dinamis dan berjiwa dan bisa berfikir yang kadang tidak ada yang bisa membayangkan keliaran imajinasinya.

Karena saya sadar begitu rumitnya urusan manusia ini, saya begitu miris ketika menyaksikan sekumpulan ahli agama yang sama sekali tidak saya ragukan kompetensinya dalam pengetahuan tentang dalil-dalil agama memutuskan untuk menerapkan sebuah hukum di masyarakat Aceh yang berdasarkan atas kajian mereka terhadap dalil-dalil agama yang mereka kuasai.

Mereka memutuskan untuk menerapkan hukum itu tanpa merasa perlu melibatkan ahli-ahli bidang ilmu lainnya untuk mengkaji secara mendalam apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang Aceh dan produk hukum seperti apa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat Aceh yang lama berada dalam situasi tertekan dan kecewa. Yang lama berada dalam situasi dibohongi dan diperlakukan tidak adil secara terang-terangan.

Mereka merasa dengan tingginya tingkat pengetahuan mereka tentang dalil-dalil agama, semua permasalahan manusia dari A sampai Z bisa dijelaskan dan diatasi, karenanya merekapun memaksakan hukum tersebut untuk ditaati.

Maka ketika mereka memutuskan bahwa Mengharuskan pemakaian Jilbab, Melarang Khalwat, Melarang minum Minuman Keras, memberi sanksi pada orang yang tidak shalat jum'at dan memberi sanksi pada penjudi teri adalah hal paling penting untuk dijadikan hukum positif secara Syari'ah. Dan mereka begitu percaya dengan itu masyarakat Aceh akan sejahtera. Saya yang orang Islam dengan kategori awam ini, yang sama sekali tidak sebanding dengan mereka dalam pengetahuan soal ilmu-ilmu agama, melihat mereka ini tampak seperti Hesiod yang hidup hampir 3000 tahun yang lalu, yang berpikir bahwa elemen paling penting untuk sebuah benda bisa terbang adalah MATERI sayap burung yaitu BULU.

Saya berbohong dan merasa berdosa jika saya katakan saya berpikir sebaliknya.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: