Desa Waq di Pondok Sayur adalah sebuah desa yang unik. Orang Gayo yang tinggal di desa yang terletak di salah satu kabupaten di Tanoh Gayo ini, dalam skala yang lokal adalah minoritas dibandingkan suku Jawa yang tinggal di desa-desa sekelilingnya. Desa yang mayoritas penduduknya suku Gayo ini seolah dikepung oleh empat desa lain yang memiliki penduduk mayoritas suku Jawa. Di Utara, Desa waq berbatasan dengan Desa Geresek. Di timur, Desa waq berbatasan dengan desa Mupakat Jadi yang dipimpin oleh kepala desa bernama Tukiran, salah satu dari puluhan kepala desa yang berdemo ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Saat itu nama Tukiran sempat populer karena namanya di blow berbagai media ketika atas nama kepala-kepala desa yang lain dia berbicara di gedung DPR Senayan menuntut pembentukan provinsi ALA. Di Selatan, Desa Waq berbatasan dengan Desa Panji Mulia I dan di Barat dengan desa Panji.
Semasa konflik, Desa Waq ini termasuk salah satu dari beberapa desa di Tanoh Gayo yang dikategorikan sebagai daerah 'hitam'. Desa ini disinyalir sebagai tempat tinggal beberapa tokoh GAM Linge yang berpengaruh pada masa itu. Sehingga di masa konflik, desa ini bisa dikatakan merupakan salah satu desa Gayo yang paling menderita.
Semua berawal dari sebuah peristiwa ketika dua orang suku Jawa yang berasal dari Desa Geresek ditemukan tewas di dalam hutan. Menurut seorang warga Desa waq yang saya wawancarai, kedua orang suku Jawa yang tewas itu terbunuh saat menenteng senjata api rakitan. Pembunuhan terhadap kedua orang suku Jawa itu disinyalir dilakukan oleh GAM.
Kejadian terbunuhnya dua orang suku Jawa warga Desa Geresek itu langsung mengundang perhatian. Tidak berapa lama setelah kejadian, aparat keamanan dikirim ke desa itu untuk mempelajari situasi dan kemudian memutuskan untuk mendirikan pos pengamanan di desa tetangga desa Waq tersebut. Bukan hanya desa Geresek tapi juga tiga desa yang lain. Dan dari sinilah penderitaan warga Desa Waq bermula.
Sama seperti warga Desa Waq, dalam konflik ini orang-orang suku Jawa yang tinggal di sekeliling Desa Waq juga diliputi rasa ketakutan atas keselamatan diri mereka. Tapi mereka merasa terlindungi dengan keberadaan aparat keamanan yang ditempatkan di desa mereka. Entah karena merasa terlindungi atau karena apa. Menurut warga desa Waq. Sejak kehadiran aparat di desa mereka, orang-orang suku Jawa yang tinggal disekeliling desa Waq mulai bersikap arogan terhadap suku Gayo.
Sejak keberadaan aparat keamanan di Desa mereka, orang-orang Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq seringkali tanpa alasan yang jelas memukuli orang Gayo warga Desa Waq. Ada kesan kalau mereka menganggap seluruh warga Desa Waq adalah sekumpulan pemberontak yang sama sekali tidak memiliki hak untuk hidup di wilayah administrasi negara yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta tahun 1945 ini. Ini bisa saya simpulkan berdasarkan penuturan warga desa Waq yang pernah menjadi korban pemukulan atau perampasan oleh warga desa tetangga mereka. Saat itu warga Desa Waq yang mereka pukuli diteriaki sebagai pemberontak, yang diikuti dengan berbagai kata caci maki lainnya sambil mengatasnamakan negara. Berdasarkan informasi dari penuturan beberapa warga Desa Waq yang saya wawancarai. Saya menangkap, ada kesan patriotisme dalam diri orang-orang suku Jawa yang tinggal disekeliling desa Waq ini ketika mereka melakukan penindasan terhadap warga Desa Waq.
Sepertinya karena adanya kesan patriotisme ini pulalah orang-orang Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq juga sering ikut dalam operasi penumpasan pemberontak yang dilakukan oleh aparat keamanan yang menjaga desa mereka. Dalam operasi itu mereka menunjukkan rumah orang-orang Gayo yang dicurigai sebagai pendukung GAM. Kadang mereka juga ikut bersama aparat memburu (Bisa diartikan secara harfiah) orang Gayo yang dijadikan target. Bahkan masih menurut warga Desa Waq, pada masa itu tidak jarang orang Jawa tetangga mereka juga ikut menyiksa sampai mati orang Gayo yang dicurigai sebagai anggota atau pendukung GAM.
Sementara itu orang-orang Gayo warga Desa Waq sendiri tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Ketidakmampuan Orang Gayo warga Desa Waq dalam memberi perlawanan ini membuat orang-orang suku Jawa yang tinggal desa tetangga mereka semakin merasa berkuasa. Buah kopi di kebun warga Desa waq yang merupakan sumber penghasilan mereka dengan leluasa dipetik oleh orang-orang suku Jawa yang tinggal desa tetangga mereka itu. Mereka juga tidak segan mengambil hak milik warga Desa waq. Toko kelontong milik seorang warga suku Aceh yang berdagang di Desa Waq mereka jarah secara terbuka. Begitu merasa berkuasanya orang-orang suku Jawa ini di masa konflik sampai-sampai lapangan Sepak Bola milik warga desa Waq juga berani mereka kuasai. Malah sekarang lapangan sepak bola itu sudah mereka jual.
Pada masa itu setiap malam hari tiba, warga Desa waq selalu dilanda ketakutan mencekam. Waktu itu sehabis shalat maghrib Warga Desa Waq akan segera masuk ke rumah dan mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa berani untuk keluar. Lalu di dalam rumah, setiap detik mereka berdo'a dan berharap-harap cemas jangan sampai ada ketukan di pintu rumah mereka. Bagi warga Desa waq, setiap kali matahari menghilang dari cakrawala dan udara berubah menjadi semakin dingin, seolah-olah malaikat maut turun dan dengan santai berjalan mengelilingi desa mereka, melewati setiap rumah satu persatu dan memilih dengan acak sesuka hati rumah mana saja yang ingin dia datangi.
Di masa konflik itu, ketukan pintu di malam hari adalah horor yang sehoror-horornya bagi warga Desa Waq. Pada masa itu, bagi mereka ketukan di malam hari berarti kematian telah menghampiri salah seorang anggota keluarga yang mereka cintai. Ketukan di malam hari berarti ada aparat yang datang bersama orang-orang suku Jawa warga desa tetangga mereka yang mencari salah satu anggota keluarga mereka yang disinyalir sebagai anggota atau simpatisan GAM. Dan kalau saat didatangi itu anggota keluarga yang dimaksud ditemukan berada di rumah. Tangisan dan raunganpun akan segera pecah di rumah tersebut. Karena ketika si anggota keluarga tersebut dibawa oleh aparat maka berarti saat itu pulalah terakhir kalinya mereka bisa menyaksikan anggota keluarga yang mereka cintai itu dalam kondisi bernyawa. Keesokan harinya ketika matahari kembali terbit dan alam kembali terang benderang, bisa dipastikan anggota keluarga yang dijemput tersebut akan ditemukan dalam kondisi babak belur dan sudah menjadi mayat.
Pada setiap keluarga di Desa Waq yang beruntung tidak mendapat ketukan di malam hari. Sedikit kelegaan muncul setiap kali pagi menjelang. Tapi rasa was-was dan ketakutan kembali datang ketika malam tiba.
Begitu mencekamnya suasana malam di Desa waq pada masa itu sehingga sampai hari inipun warga Desa Waq seringkali masih merasa cemas dan ketakutan jika pada malam hari warga desa ini mendengar suara ketukan di pintu rumah mereka.
Pada masa itu pemuda adalah komponen yang paling dicurigai sebagai anggota atau simpatisan GAM dan menjadi target utama operasi yang dilakukan oleh aparat dan suku Jawa warga desa tetangga Desa Waq. Sehingga waktu itu sangatlah berbahaya bagi seorang pemuda untuk berada di desa Waq. Akibat dari situasi seperti ini. Setelah banyak pemuda Desa Waq yang tewas menjadi korban. Semua pemuda desa Waq yang tersisa mengungsi ke luar daerah bahkan ke luar pulau Sumatra.
Keadaan ini sempat menimbulkan masalah tersendiri bagi Desa Waq. Karena sebagaimana halnya yang terjadi di desa-desa lain di Tanoh Gayo. Di Desa Waq inipun pemuda selalu memegang peranan penting dalam setiap hajatan yang diselenggarakan di desa ini. Entah itu hajatan perkawinan, kelahiran sampai orang meninggal. Karena pada masa itu di Desa Waq sudah tidak ada lagi pemuda yang tinggal. Pernah suatu waktu ketika ada warga desa Waq yang meninggal, warga desa ini kesulitan mencari penggali kubur.
Sekarang, setelah perdamaian berhasil dicapai, suasana di desa ini menjadi jauh lebih tenang dan wargapun tidak lagi dihinggapi rasa ketakutan. Pemuda-pemuda desa ini yang dulu melarikan diri telah kembali ke kampungnya dan Desa Waqpun kembali ramai.
Suasana tenang dan damai tanpa rasa was-was dan ketkutan itu dapat saya rasakan sendiri ketika proses wawancara ini berlangsung. Wawancara ini saya lakukan sekitar jam 12 malam dalam dinginnya udara pegunungan, di dapur bertiang bambu dan beratap seng yang terbuka tanpa dinding yang khusus dibuat untuk pesta pernikahan yang saya hadiri ini. Di dapur yang terletak tepat di tepi kebun kopi di bagian belakang rumah ini. Saya bersama sekitar sepuluhan pemuda Desa Waq yang semuanya (termasuk saya) menutupi tubuh dengan kain sarung, berdiang menghangatkan badan di depan tungku, mengobrol sambil minum kopi.
Pemuda-pemuda Desa Waq yang saya ajak mengobrol itu menceritakan dengan gamblang bagaimana pengalaman mereka menyelamatkan diri semasa konflik. Ada yang selamat kerena sempat menjatuhkan diri ke dalam jurang ketika sedang dikejar aparat. Ada yang sempat lari ke luar dalam mobil pick up dengan menyembunyikan diri di bawah tumpukan sayur dan macam-macam pengakuan lagi.
Mendengar pengakuan mereka dan cara mereka menyelamatkan diri saya mendapat gambaran kalau pada masa konflik yang belum terlalu lama terjadi itu tentu tidak sedikit teman-teman mereka yang tewas menjadi korban. Ketika perihal itu saya tanyakan. Seorang pemuda yang duduk paling dekat dengan tungku menyebutkan beberapa nama. "Subhan, Azhari..." katanya menyebut nama-nama temannya yang tewas sambil menggunakan jari tangannya untuk menghitung. Dia menyebutkan paling tidak ada 20 orang temannya yang tewas saat itu. Beberapa diantaranya sempat dia saksikan sendiri saat dijemput oleh aparat yang dibantu oleh warga desa tetangganya dan dia sendiri pula yang mengambil jenazah temannya itu tidak berapa lama berselang setelah diambil aparat.
Dia menceritakan saat itu seorang temannya tertangkap dsi saiang hari. Temannya itu dinaikkan ke mobil yang dipenuhi aparat dan warga desa tetangga mereka. Melihat itu karena tahu apa yang akan terjadi kalau temannya itu sempat dibawa. Dia bersama puluhan warga Desa waq yang lain yang menyaksikan kejadian itu menghalang-halangi mobil aparat yang akan membawa teman mereka ke suatu tempat itu. Tapi usaha mereka tidak berhasil. "Biarkan kami lewat, teman kalian cuma sebentar kami bawa", begitu kata si pemuda ini menirukan ucapan salah seorang aparat yang membawa teman mereka waktu itu.
Beberapa jam kemudian si aparat yang sama mendatangi mereka dan mengatakan urusannya dengan teman mereka sudah selesai dan si aparat menyuruh mereka menjemput temannya di sebuah tempat yang dia sebutkan. Merekapun bergegas ke tempat yang disebutkan oleh si aparat tadi. Ketika si pemuda yang saya wawancarai ini bersama beberapa warga Desa Waq lainnya sampai di tempat yang disebut si aparat. Mereka menemukan teman mereka yang tadi mesih segar saat dibawa dalam mobil sekarang sudah menjadi mayat dengan perut terbelah dan usus terburai.
Dari cerita-cerita yang saya dapatkan dari semua warga Desa waq yang sempat saya ajak ngobrol. Secara umum, pada masa itu orang-orang suku Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq bisa dikatakan semuanya bersikap arogan dan menunjukkan rasa permusuhan terhadap orang Gayo. Sehingga ada kesan konflik yang sebenarnya konflik vertikal ini telah berevolusi menjadi konflik antar etnis.
Tapi menurut pemuda warga Desa Waq yang saya wawancarai ini anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Karena meskipun secara umum pada masa konflik itu sikap orang Jawa yang tinggal di desa-desa di sekeliling Desa waq terhadap orang Gayo adalah seperti yang saya gambarkan di atas. Tapi ada juga sekelompok orang suku Jawa yang juga tinggal bertetangga dengan Desa Waq yang tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap orang Gayo.
Orang-orang Jawa ini bahkan beberapa kali membantu menyembunyikan dan menyelamatkan Orang Gayo yang sedang dicari dan diburu oleh orang Jawa dari desa lain. Pemuda yang saya wawancarai ini adalah salah satu saksi hidup peristiwa seperti itu. Dia bercerita kalau waktu itu dia sedang dikejar oleh aparat bersama orang-orang suku Jawa bersenjata rakitan sampai satu saat dia terpojok. Saat dia terpojok itu, dia bertemu dengan orang Jawa yang kebunnya berbatasan dengan kebun miliknya. Melihat situasi seperti itu. Oleh tetangganya yang orang Jawa ini dia disembunyikan di salah satu kolong dapur di rumah kebun milik tetangganya itu. Ketika aparat dan orang-orang Jawa yang mengejarnya bertemu dengan orang Jawa tetangganya ini. Si Tetangga ini mengatakan kalau si pemuda Gayo ini lari ke arah sungai. Aparat dan orang-orang suku jawa bersenjata rakitan yang memburunya mengejar ke arah yang ditunjukkan oleh si orang Jawa yang menyembunyikannya dan dia pun selamat.
Menurut si pemuda yang diselamatkan oleh orang Jawa tetangganya ini. Orang Jawa yang bersikap baik pada orang Gayo ini adalah warga Desa Geresek yang langsung berbatasan dengan Desa Waq. Masih menurut si pemuda yang saya wawancarai ini. Sebenarnya desa Geresek dibagi dua. Kedua desa Geresek itu dibatasi oleh sebuah alur sungai kecil. Satu bagian berbatasan langsung dengan Desa Waq, satu bagian lagi di sisi sungai bagian lain. Orang-orang Jawa yang tinggal di bagian Desa Geresek di sisi sungai dekat Desa Waq inilah yang bersikap bersahabat itu. Sementara warga desa Geresek di sebelah lain alur sungai sebaliknya sangat membenci warga Desa Waq karena dari desa inilah kedua orang Jawa yang ditemukan meninggal seperti yang saya ceritakan di atas berasal.
Sikap bersahabat orang Jawa dan Orang Gayo ini bisa saya saksikan sendiri pula pada malam itu di saat kami sedang mengobrol di dapur ini. Di saat kami sedang asyik mengobrol. Dari dalam kebun kopi yang gelap seorang pemuda suku Jawa datang. Dia masuk ke dapur, mencari tempat duduk lalu dengan santai ikut bergabung, mengobrol dan berdiang di dekat tungku bersama kami. Pemuda yang baru datang ini saya kenali sebagai suku Jawa karena ketika berbicara dalam bahasa Gayo, saya mendengar ada tekanan yang sangat khas Jawa pada pengucapan huruf 'P' dan 'B' dalam setiap kata yang dia ucapkan.
Sekarang setelah konflik berlalu. Seperti yang saya gambarkan di atas, orang Gayo warga Desa Waq tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap suku Jawa tetangga mereka yang dulu pada masa konflik juga menunjukkan sikap bersahabat kepada mereka. Tapi tidak demikian halnya pada orang-orang suku Jawa yang di masa konflik dulu menindas dan menzalimi mereka.
Pada masa damai ini, para pemuda yang dulu diburu dan dijadikan sasaran kekerasan oleh orang-orang suku Jawa tetangganya ini kembali bertemu dengan orang-orang yang dulu ikut memburu dan menyiksa mereka. Perjumpaan ini seringkali tidak bisa dihindari karena beberapa desa yang dihuni suku Jawa tersebut hanya memiliki akses jalan melalui Desa Waq untuk bisa mencapai kota-kota terdekat. Jadi intensitas pertemuan mereka cukup sering terjadi.
Beberapa dari pemuda desa Waq yang saya wawancarai ini sangat mengenali orang-orang suku jawa tetangga mereka yang semasa konflik dulu ikut memukulinya, bahkan membunuh teman dan saudaranya. Dan sekarang sering melintas di desa mereka.
Ketika pertemuan semacam itu terjadi. Menurut pemuda yang saya wawancarai ini, biasanya orang Jawa yang dulu memburu mereka itu selalu menundukkan kepala berusaha menyembunyikan wajah. Tampak sekali kalau mereka merasa was-was dan ketakutan.
Sepertinya rasa was-was dan ketakutan yang dialami oleh orang-orang suku Jawa yang dulu berlaku semena-mena terhadap orang Gayo adalah karena sekarang setelah perdamaian berhasil dicapai. Mereka merasa di posisi yang lemah. Aparat keamanan non organik yang dulu ditempatkan di desa mereka. Sesuai dengan amanat MoU Helsinki sekarang sudah ditarik.Sekarang mereka merasa telah kehilangan pelindung. Sepertinya dalam diri mereka mulai muncul rasa takut kalau-kalau warga desa Waq yang dulu mereka tindas dan mereka perlakukan semena-mena akan membalas dendam. Apalagi ketika mereka melewati Desa Waq, para pemuda desa ini seringkali memandangi mereka dengan pandangan sinis dan sikap menantang. Ketakutan dan rasa was-was merekapun semakin menjadi-jadi.
Tapi untungnya sejauh ini selama masa damai tidak pernah terjadi bentrok antar kelompok etnis yang berbeda ini. Sejauh ini selama masa damai, bentrokan terbuka tidak pernah terjadi karena saya melihat warga Desa Waq yang dulu sangat menderita akibat ulah orang-orang suku Jawa tetangga mereka itu tidak berani gegabah membalas perlakuan yang mereka terima dulu. Ada kesan yang saya dapatkan kalau warga Desa Waq ini begitu trauma dengan konflik yang dulu sempat terjadi di desa mereka. Sehingga ada kekhawatiran dalam diri warga Desa Waq kalau mereka membalas dendam hal itu akan kembali dijadikan alasan untuk mengundang kehadiran aparat ke desa-desa tetangga mereka.
Begitulah gambaran yang saya dapatkan mengenai keadaan desa Waq yang posisinya sangat unik ini, dalam tulisan berikutnya saya akan menceritakan pandangan warga desa ini tentang ide pembentukan provinsi ALA. Dan di lain waktu saya akan menuliskan pula pengalaman saya mengunjungi desa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari Desa Waq yang berkebalikan dengan Desa waq yang merasa terancam dengan keberadaan aparat TNI, desa ini justru merasa terancam dengan keberadaan GAM.
Wassalam
Win Wan Nur
Jumat, 19 Desember 2008
Rabu, 10 Desember 2008
Teritit-Pondok Sayur dan Pernikahan Seorang Pejabat
Pada hari keduaku di Takengen, aku mengunjungi Bener Meriah sekalian untuk menghadiri pernikahan seorang teman lama. Mungkin karena datang dari jauh, kehadiranku cukup diapresiasi oleh temanku ini. Aku diajak ikut dalam rombongan pengantin yang membawanya dari Takengen menuju ke Desa Waq Pondok Sayur, kampung teman ini, dimana pesta pernikahannya dilaksanakan. Untuk menuju Pondok Sayur ada dua alternatif jalan, melalui Teritit atau Pante Raya. Kami memilih lewat Teritit, melalui jalan yang sudah sangat aku kenal.
Dulu aku sering melewati jalan ini untuk menuju ke Isaq Busur di dekat Simpang Tiga, keluargaku memiliki sawah di sana. Dari Teritit sampai ke Tingkem, aku perhatikan belum ada hal yang terlalu istimewa yang terjadi di Bener Meriah sejak kabupaten ini dimekarkan. Pemandangan kanan kiri jalan di sepanjang perjalanan ini tetap didominasi oleh kebun kopi diselingi persawahan yang ditanami palawija atau padi. Kami juga melewati kampung-kampung khas dataran tinggi Gayo dengan rumah-rumah berdinding papan kayu yang tidak dicat, beratap seng yang berwarna kecoklatan akibat karat.
Di halaman depan beberapa rumah yang tampak bersih terlihat hamparan biji kopi arabika yang dijemur di atas tikar kain goni dengan seorang perempuan 'berupuh panyang' yang kadang sambil menggendong bayi di punggungnya sedang menggaruk biji-biji kopi yang dijemur. Pemandangan yang persis sama seperti apa yang ada di dalam kepingan memori tentang jalan ini yang tertanam di kepalaku. Aku mengenali biji kopi yang dijemur di halaman rumah-rumah yang kami lewati itu sebagai kopi arabika dengan melihat warna hamparan biji kopi yang dijemur itu yang didominasi oleh warna putih gading yang merupakan warna kulit tanduk biji kopi arabika dan sedikit bercak hitam yang merupakan sisa kulit merah yang tidak bersih terbuang saat penggilingan gelondong.
Perubahan mencolok baru terlihat ketika kami memasuki wilayah ibukota Bener Meriah, Simpang Tiga Redelung. Ada banyak bangunan baru yang dibangun sebagai gedung pemerintahan di sana. Bangunan-bangunan megah itu dibangun di atas lahan yang luas di antara persawahan dan kebun kopi.
Memasuki Kota Simpang Tiga Redelung dengan bermobil, serasa seperti sedang berada di Kota Bandung. Guncangan-guncangan sporadis yang aku rasakan saat berada di atas mobil yang membawaku ke Pondok Sayur ini menunjukkan adanya kesamaan bentuk permukaan jalan antara jalanan di ibukota Kabupaten Bener Meriah ini dengan permukaan jalan-jalan di ibukota Provinsi Jawa Barat. Sama-sama dipenuhi lobang menganga akibat kurang dirawat.
Selain perubahan mencolok dengan adanya bangunan-bangunan baru gedung pemerintahan, bangunan-bangunan di dalam kota Simpang Tiga Redelung masih tetap sama seperti dulu. Didominasi oleh bangunan-bangunan ruko berdinding papan kayu berlantai dua. Bedanya sekarang di ruko-ruko itu terlihat aktivitas jual beli yang ramai. Berbeda dengan Simpang Tiga Redelung, ibukota Kecamatan Bukit yang dulu kuingat nyaris seperti kota mati. Sangat berbeda dengan Pondok Baru yang merupakan ibukota kecamatan Bandar yang merupakan kota kedua terbesar di dataran tinggi Gayo setelah Takengen.
Keluar dari Kota Simpang Tiga Redelung kami melintasi desa Bale yang juga cukup familiar bagiku. Dulu waktu kecil aku cukup sering berkunjung ke sini karena aku punya seorang kerabat yang tinggal di desa ini. Kami terus melewati simpang Isaq Busur, melintasi Wih ni Konyel tempat kerabatku yang tinggal di desa Bale tadi pernah punya kebun kopi. Yang paling kuingat dari kebun kopi ini adalah pohon jambu air yang dulu ketika aku masih kecil selalu kupanjat setiap musim berbuah. Pohon jambu itu tumbuh di sisi kebun yang curam dekat alur sungai kecil yang memisahkan kebun milik kerabatku ini dengan kebun sebelah. Tapi sekarang kulihat di atas tanah bekas kebun kopi milik kerabatku ini telah dibangun sebuah pabrik kopi berukuran raksasa untuk skala Pondok Sayur.
Tidak lama kemudian kamipun tiba di desa Waq, desa kelahiran temanku yang menikah ini yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Simpang Tiga Redelung. Sepanjang jalan menuju ke rumah temanku ini berjejer puluhan karangan bunga dengan ucapan 'selamat menempuh hidup baru' yang datang dari berbagai kalangan baik itu institusi pribadi, partai politik sampai institusi pemerintahan.
Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, biasanya kalau dalam satu acara pernikahan ada banyak karangan bunga. Ttu menandakan kalau yang menikah itu adalah anak dari seoarng pejabat penting. Tapi banyaknya karangan bunga yang berjejer berisi ucapan selamat atas pernikahan temanku ini bukan karena temanku ini anak seorang pejabat penting. Orang tua temanku ini hanyalah seorang seorang guru SD sekaligus seorang petani kecil. Tapi temanku yang tidak sempat menamatkan kuliahnya di Universitas Gajah Putih Takengen tapi bergelar MSc (Master Semasa Conflict) ini sendirilah yang sekarang merupakan pejabat tinggi di salah satu institusi penting tingkat provinsi yang dibentuk pasca penanda tanganan MoU Helsinki.
Jika memakaii cara pandang lama dalam melihat seorang pejabat. Kondisi rumah temanku ini, akan terlihat sangat janggal untuk ukuran rumah seorang pejabat tinggi di sebuah institusi penting tingkat provinsi. Orang yang terbiasa melihat mewah dan menterengnya rumah seorang pejabat pimpro di dinas PU kabupaten yang mengelola proyek dengan nilai beberapa milyar pasti akan terkejut melihat rumah temanku yang dalam kapasitasnya sebagai pejabat tinggi di institusi tempatnya bekerja bertanggung jawab mengelola dana sedikitnya 300 Milyar rupiah per tahun. Aneh, karena setelah beberapa tahun menjabat teman ini hanya memiliki sebuah rumah berbentuk ruko, berdinding papan kayu tanpa cat, beratap seng kecoklatan karena karat. Aku taksir nilai dari seluruh bangunan rumah temanku yang sudah sangat lama dibangun oleh orang tuanya ini tidak lebih dari 20 juta rupiah. Bentuk dan kondisi rumah ini persis sama dengan rumah-rumah lain di sekitarnya dan rumah-rumah yang kulihat di pinggir jalan selama perjalanan dari Teritit sampai ke desa ini. Sama sekali tidak ada indikasi khusus yang menunjukkan bahwa rumah ini adalah rumah seorang pejabat tinggi.
Kondisi ini terasa lebih janggal lagi karena saya tahu di Banda Acehpun si teman ini tinggal di sebuah rumah bantuan untuk korban tsunami yang dia sewa seharga 7,5 juta per tahun dari si pemilik rumah. Rumah tempat tinggal temanku yang pejabat tinggi ini berbentuk rumah panggung dengan dua kamar berdinding kayu, terletak di pinggir kali yang diepanjang sisinya terlihat pemandangan bagian belakang rumah-rumah penduduk yang menjorok ke kali. Setiap siang dan sore hari aku bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang mencuci piring atau pakaian tepat di seberang kali yang tidak terlalu lebar di sebelah rumah temanku ini. Tanah urug di halaman depan rumah berwarna hijau daun yang disewa temanku di Banda Aceh ini becek seperti kubangan saat musim hujan tiba.
Turun dari mobil, rombongan kami disambut oleh keluarga teman ini. Berdiri di antara anggota keluarga temanku ini, tampak beberapa pejabat penting dari kabupaten Bener Meriah dan pejabat tinggi tingkat kabupaten dari institusi yang dipimpin temanku ini di tingkat provinsi. Kemudian acara pesta pernikahan inipun berlangsung. Dimulai dari sambutan tari guel, prosesi melengkan dan seterusnya. Pesta berlangsung sampai larut malam dengan pementasan seni Saman Gayo dan Didong Jalu.
Lamanya prosesi pesta ini serta bervariasinya kalangan yang hadir dalam acara pesta pernikahan temanku ini segera kumanfaatkan untuk mempelajari situasi yang sebenarnya terjadi di Bener Meriah berkaitan dengan Isu pemekaran provinsi ALA (Aceh Leuser Antara). Sepanjang prosesi pernikahan ini aku mewawancarai berbagai kalangan. Mulai dari warga biasa penduduk kampung Waq ini. Orang Jawa dari desa sebelah yang melihat ramainya acara pesta datang untuk berjualan gulali. Pedagang suku Aceh yang membuka toko kelontong di seberang jalan sampai intelektual Bener Meriah pimpinan sebuah LSM yang juga hadir dalam acara ini. Tidak lupa aku juga menyempatkan diri untuk mengunjungi daerah antara Bener Kelipah dan Ramung Kengkang yang dikenal sebagai basis utama pendukung ALA untuk menanyakan sendiri dan merasakan sendiri bagaimana situasi dan kondisi daerah ini sebenarnya, seperti apa pandangan dan pendapat mereka terhadap isu pemekaran yang cukup heboh belakangan ini.
Hasil wawancara serta situasi dan kondisi daerah dan masyarakat Bener Meriah berkaitan dengan isu ALA akan aku tuliskan dalam kesempatan lain.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Dulu aku sering melewati jalan ini untuk menuju ke Isaq Busur di dekat Simpang Tiga, keluargaku memiliki sawah di sana. Dari Teritit sampai ke Tingkem, aku perhatikan belum ada hal yang terlalu istimewa yang terjadi di Bener Meriah sejak kabupaten ini dimekarkan. Pemandangan kanan kiri jalan di sepanjang perjalanan ini tetap didominasi oleh kebun kopi diselingi persawahan yang ditanami palawija atau padi. Kami juga melewati kampung-kampung khas dataran tinggi Gayo dengan rumah-rumah berdinding papan kayu yang tidak dicat, beratap seng yang berwarna kecoklatan akibat karat.
Di halaman depan beberapa rumah yang tampak bersih terlihat hamparan biji kopi arabika yang dijemur di atas tikar kain goni dengan seorang perempuan 'berupuh panyang' yang kadang sambil menggendong bayi di punggungnya sedang menggaruk biji-biji kopi yang dijemur. Pemandangan yang persis sama seperti apa yang ada di dalam kepingan memori tentang jalan ini yang tertanam di kepalaku. Aku mengenali biji kopi yang dijemur di halaman rumah-rumah yang kami lewati itu sebagai kopi arabika dengan melihat warna hamparan biji kopi yang dijemur itu yang didominasi oleh warna putih gading yang merupakan warna kulit tanduk biji kopi arabika dan sedikit bercak hitam yang merupakan sisa kulit merah yang tidak bersih terbuang saat penggilingan gelondong.
Perubahan mencolok baru terlihat ketika kami memasuki wilayah ibukota Bener Meriah, Simpang Tiga Redelung. Ada banyak bangunan baru yang dibangun sebagai gedung pemerintahan di sana. Bangunan-bangunan megah itu dibangun di atas lahan yang luas di antara persawahan dan kebun kopi.
Memasuki Kota Simpang Tiga Redelung dengan bermobil, serasa seperti sedang berada di Kota Bandung. Guncangan-guncangan sporadis yang aku rasakan saat berada di atas mobil yang membawaku ke Pondok Sayur ini menunjukkan adanya kesamaan bentuk permukaan jalan antara jalanan di ibukota Kabupaten Bener Meriah ini dengan permukaan jalan-jalan di ibukota Provinsi Jawa Barat. Sama-sama dipenuhi lobang menganga akibat kurang dirawat.
Selain perubahan mencolok dengan adanya bangunan-bangunan baru gedung pemerintahan, bangunan-bangunan di dalam kota Simpang Tiga Redelung masih tetap sama seperti dulu. Didominasi oleh bangunan-bangunan ruko berdinding papan kayu berlantai dua. Bedanya sekarang di ruko-ruko itu terlihat aktivitas jual beli yang ramai. Berbeda dengan Simpang Tiga Redelung, ibukota Kecamatan Bukit yang dulu kuingat nyaris seperti kota mati. Sangat berbeda dengan Pondok Baru yang merupakan ibukota kecamatan Bandar yang merupakan kota kedua terbesar di dataran tinggi Gayo setelah Takengen.
Keluar dari Kota Simpang Tiga Redelung kami melintasi desa Bale yang juga cukup familiar bagiku. Dulu waktu kecil aku cukup sering berkunjung ke sini karena aku punya seorang kerabat yang tinggal di desa ini. Kami terus melewati simpang Isaq Busur, melintasi Wih ni Konyel tempat kerabatku yang tinggal di desa Bale tadi pernah punya kebun kopi. Yang paling kuingat dari kebun kopi ini adalah pohon jambu air yang dulu ketika aku masih kecil selalu kupanjat setiap musim berbuah. Pohon jambu itu tumbuh di sisi kebun yang curam dekat alur sungai kecil yang memisahkan kebun milik kerabatku ini dengan kebun sebelah. Tapi sekarang kulihat di atas tanah bekas kebun kopi milik kerabatku ini telah dibangun sebuah pabrik kopi berukuran raksasa untuk skala Pondok Sayur.
Tidak lama kemudian kamipun tiba di desa Waq, desa kelahiran temanku yang menikah ini yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Simpang Tiga Redelung. Sepanjang jalan menuju ke rumah temanku ini berjejer puluhan karangan bunga dengan ucapan 'selamat menempuh hidup baru' yang datang dari berbagai kalangan baik itu institusi pribadi, partai politik sampai institusi pemerintahan.
Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, biasanya kalau dalam satu acara pernikahan ada banyak karangan bunga. Ttu menandakan kalau yang menikah itu adalah anak dari seoarng pejabat penting. Tapi banyaknya karangan bunga yang berjejer berisi ucapan selamat atas pernikahan temanku ini bukan karena temanku ini anak seorang pejabat penting. Orang tua temanku ini hanyalah seorang seorang guru SD sekaligus seorang petani kecil. Tapi temanku yang tidak sempat menamatkan kuliahnya di Universitas Gajah Putih Takengen tapi bergelar MSc (Master Semasa Conflict) ini sendirilah yang sekarang merupakan pejabat tinggi di salah satu institusi penting tingkat provinsi yang dibentuk pasca penanda tanganan MoU Helsinki.
Jika memakaii cara pandang lama dalam melihat seorang pejabat. Kondisi rumah temanku ini, akan terlihat sangat janggal untuk ukuran rumah seorang pejabat tinggi di sebuah institusi penting tingkat provinsi. Orang yang terbiasa melihat mewah dan menterengnya rumah seorang pejabat pimpro di dinas PU kabupaten yang mengelola proyek dengan nilai beberapa milyar pasti akan terkejut melihat rumah temanku yang dalam kapasitasnya sebagai pejabat tinggi di institusi tempatnya bekerja bertanggung jawab mengelola dana sedikitnya 300 Milyar rupiah per tahun. Aneh, karena setelah beberapa tahun menjabat teman ini hanya memiliki sebuah rumah berbentuk ruko, berdinding papan kayu tanpa cat, beratap seng kecoklatan karena karat. Aku taksir nilai dari seluruh bangunan rumah temanku yang sudah sangat lama dibangun oleh orang tuanya ini tidak lebih dari 20 juta rupiah. Bentuk dan kondisi rumah ini persis sama dengan rumah-rumah lain di sekitarnya dan rumah-rumah yang kulihat di pinggir jalan selama perjalanan dari Teritit sampai ke desa ini. Sama sekali tidak ada indikasi khusus yang menunjukkan bahwa rumah ini adalah rumah seorang pejabat tinggi.
Kondisi ini terasa lebih janggal lagi karena saya tahu di Banda Acehpun si teman ini tinggal di sebuah rumah bantuan untuk korban tsunami yang dia sewa seharga 7,5 juta per tahun dari si pemilik rumah. Rumah tempat tinggal temanku yang pejabat tinggi ini berbentuk rumah panggung dengan dua kamar berdinding kayu, terletak di pinggir kali yang diepanjang sisinya terlihat pemandangan bagian belakang rumah-rumah penduduk yang menjorok ke kali. Setiap siang dan sore hari aku bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang mencuci piring atau pakaian tepat di seberang kali yang tidak terlalu lebar di sebelah rumah temanku ini. Tanah urug di halaman depan rumah berwarna hijau daun yang disewa temanku di Banda Aceh ini becek seperti kubangan saat musim hujan tiba.
Turun dari mobil, rombongan kami disambut oleh keluarga teman ini. Berdiri di antara anggota keluarga temanku ini, tampak beberapa pejabat penting dari kabupaten Bener Meriah dan pejabat tinggi tingkat kabupaten dari institusi yang dipimpin temanku ini di tingkat provinsi. Kemudian acara pesta pernikahan inipun berlangsung. Dimulai dari sambutan tari guel, prosesi melengkan dan seterusnya. Pesta berlangsung sampai larut malam dengan pementasan seni Saman Gayo dan Didong Jalu.
Lamanya prosesi pesta ini serta bervariasinya kalangan yang hadir dalam acara pesta pernikahan temanku ini segera kumanfaatkan untuk mempelajari situasi yang sebenarnya terjadi di Bener Meriah berkaitan dengan Isu pemekaran provinsi ALA (Aceh Leuser Antara). Sepanjang prosesi pernikahan ini aku mewawancarai berbagai kalangan. Mulai dari warga biasa penduduk kampung Waq ini. Orang Jawa dari desa sebelah yang melihat ramainya acara pesta datang untuk berjualan gulali. Pedagang suku Aceh yang membuka toko kelontong di seberang jalan sampai intelektual Bener Meriah pimpinan sebuah LSM yang juga hadir dalam acara ini. Tidak lupa aku juga menyempatkan diri untuk mengunjungi daerah antara Bener Kelipah dan Ramung Kengkang yang dikenal sebagai basis utama pendukung ALA untuk menanyakan sendiri dan merasakan sendiri bagaimana situasi dan kondisi daerah ini sebenarnya, seperti apa pandangan dan pendapat mereka terhadap isu pemekaran yang cukup heboh belakangan ini.
Hasil wawancara serta situasi dan kondisi daerah dan masyarakat Bener Meriah berkaitan dengan isu ALA akan aku tuliskan dalam kesempatan lain.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Selasa, 09 Desember 2008
Ketika Koki Digusur Tukang Sayur-Perenungan dari Sayed Mahdi
Beberapa waktu yang lalu seorang teman mengirimi saya sebuah artikel yang cukup menarik. Teman saya itu mendapatkan artikel ini dari sebuah Blog dengan alamat http://idhamdeyas.blogspot.com/. Artikel ini menarik karena permasalahan yang diulas dalam artikel ini banyak berhubungan dengan permasalahan sosial yang terjadi di Aceh sekarang ini. Terutama berkaitan dengan penerapan Syari'at Islam yang ketat.
Di bawah ini saya posting artikel yang menurut saya sangat menarik itu. Selamat membaca dan semoga setelah membacanya pikiran kita bisa sedikit lebih terbuka.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Sayed Mahdi: Ketika para koki digusur tukang sayur
Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: “sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa…” Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) :
“Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu.
[Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ]
Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya ini adalah saudara perempuannya. Nah lho... Besar kemungkinan si laki-laki adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan. Terus jadi gimana masalah ini?
Kita lihat pokok masalahnya .....
Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat 5 membolehkan perilaku seperti ini:
qad aflaha’l mu’minun
alladzina hum fi shalatihim khasyi’un
walladzinahum ’ani’l laghwi mu’ridhun
walladzinahum lizzakati fa’ilun
walladzinahum li furujihim hafizhun
illa ’ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fainnahum ghairu malumin
(Alquran Surah Al Mu’minun 1 – 5)
[sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman
yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna
dan orang-orang yang menunaikan zakat
dan orang-orang yang menjaga penisnya
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela ]
Ketika lama kemudian si laki-laki menjadi tahu bahwa budak perempuan itu adalah adiknya, maka hubungan ini menjadi incest, dan sangat dilarang. Qabihah bi dzatiha. Haram tanpa kompromi, karena Alquran dalam Surah An-Nisa ayat 23 melarangnya:
Hurrimat ’alaikum ummahatukum, wa banatukum, wa akhawatukum, ....
(diharamkan bagi kamu sekalian untuk menikahi ibu-ibumu [maksudnya ibu kandung terus ke nenek terus ke atasnya nenek], anak-anak perempuanmu [anak terus ke cucu dan seterusnya], dan saudara-saudara perempuanmu ......... dst.)
Dalam kasus di atas, si perempuan adalah saudarinya dan sekaligus budaknya. Kebolehan melakukan hubungan seksual dengan budak yang ditetapkan dalam Surah Al Mu’minun ayat 1-5 menjadi tidak relevan. Surah An-Nisa ayat 23 harus dimenangkan. Kenapa harus dimenangkan? Bisa jadi hati nurani dan akal sehat si laki-laki yang berkata demikian. Atau bisa juga sebuah fatwa dari seorang ahli fiqih yang mengangkat dua kaidah fiqih seperti: dar`u’l mafasidi awla min jalbi’l mashalihi (menghilangkan keburukan lebih utama dari memperoleh kemaslahatan) dan fa idza ta’aradha mafsadatun wa mashlahatun quddima daf’ul mafsadati ghaliban (apabila bertemu keburukan dan kebaikan dalam satu masalah, maka utamakanlah menghilangkan keburukan).
Kaidah-kaidah fikih di atas saya kutip dari kitab berjudul al-Asybah wa'l-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1562 M). Kaidah-kaidah ini adalah hasil penalaran hukum para fuqaha dari berbagai dalil seperti Alquran, hadis Nabi Muhammad, fatwa-fatwa para mujtahid besar, dan hal-hal lain. Jika pun kaidah-kaidah ini dilepaskan dari sumber-sumber religius, sifatnya tetap rasional, karena dalam banyak kasus, bunyi kaidah-kaidah fiqih menjadi sama dengan maxim hukum berbahasa Latin yang berasal dari penalaran rasional, contohnya seperti al-hukmu yaduru ma’a ‘ilatihi wujudan wa ‘adaman (hukum itu akan terus berlaku bila reason-nya masih terus ditemukan dan berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika reason-nya tidak ada lagi) yang sama dengan mutata legis ratione mutatur et lex (the law is changed if the reason of law is changed).
Saya mengangkat kisah di atas agar kita memikirkan kembali bahwa Alquran dan hadis sesungguhnya adalah bahan mentah. Seorang ahli fiqih dapat diibaratkan seorang chef (koki profesional) yang mengolah bahan-bahan mentah tersebut. Kitab-kitab fiqih klasik yang ditulis oleh para fuqaha di masa lalu dapat diibaratkan dengan kumpulan resep-resep masakan yang telah mengolah banyak bahan mentah menjadi masakan yang lezat. Membuang semua resep-resep itu tidak menjamin hasil kerja koki di zaman sekarang lebih baik dari yang dihasilkan para koki di masa lalu.
Para fuqaha klasik dan kitab-kitab fiqih yang mereka hasilkan adalah pilar terakhir rasionalitas di dalam tradisi pemikiran Islam, setelah filsafat dan ilmu kalam. Tradisi fiqih adalah tradisi rasional, karena peran akal sehat menjadi sangat menonjol ketika berhadapan dengan dalil-dalil yang berbenturan dan ambigu. Kini pilar terakhir ini semakin lama semakin lenyap, perlahan-lahan hilang ditengah menjamurnya para ”koki” tanpa resep. Para ”koki” yang pada hakikatnya hanyalah ”tukang sayur”. Para "tukang sayur" ini memang mengetahui beragam jenis sayur mayur, ikan, dan bawang, tetapi tidak pernah belajar menjadi ”koki” dan menganggap tidak ada gunanya mempelajari apa yang ditulis oleh para 'koki". Kini mereka menggusur para ”koki”, dan mulai menyajikan bahan-bahan mentah tanpa diolah untuk sarapan hingga makan malam.
Para "koki" di masa lalu memang menghasilkan banyak perbedaan resep masakan, dan beberapa "chef" membentuk aliran cara memasak yang menjadi mazhab para "koki" yang hidup di era selanjutnya. tetapi para "tukang sayur" di masa kini gerah dengan banyaknya mazhab para koki di masa lalu, mereka lalu memaksakan makanan yang orisinal, tunggal tanpa perbedaan cara memasak, sesuatu yang otentik tanpa perubahan, tanpa perlu dimasak.
Para ”tukang sayur” ini bisa ditemukan di banyak tempat, dan runyamnya lagi para "tukang sayur" ini sekarang semakin banyak di Indonesia. Di Saudi Arabia para "tukang sayur" ini berkumpul di al-Lajnah al-Daimah li’l-Buhuts al-’Ilmiyyah wa’l ifta’ (The Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions), namanya aja yang wah..
Di Lajnah ini berkumpullah pemuka-pemuka Islam Wahabi, seperti 'Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1911-1999), sampai meninggalnya ia adalah mufti agung Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin (1927 - .... ). Abdullah bin Jibrin (1930 - .... ); dan Shalih bin Fauzan yang juga memimpin al-Ma'had al-'Ali li'l Qudah (Supreme Judicial Council).
Sekarang coba kita perhatikan beberapa hasil fatwa kaum Wahabi ini :
PERTANYAAN 1
Saya ingin mengirimkan foto saya kepada istri, keluarga, dan teman-teman saya, karena sekarang saya berada di luar negeri. Apakah hal ini dibolehkan?
JAWABAN (oleh komite ulama Lajnah dalam Fatawa al- Lajnah)
Nabi Muhammad di dalam hadisnya yang sahih telah melarang membuat gambar setiap makhluk yang bernyawa, baik manusia atau pun hewan. Oleh karena itu Anda tidak boleh mengirimkan foto diri Anda kepada istri Anda atau siapa pun.
PERTANYAAN 2
Apakah hukumnya jika seorang perempuan mengenakan beha (kutang atau bra) ?
JAWABAN (oleh Abdullah bin Jibrin dalam Fatawa al- Lajnah)
Banyak perempuan yang memakai beha untuk mengangkat payudara mereka supaya mereka terlihat menarik dan lebih muda seperti seorang gadis. Memakai beha untuk tujuan ini hukumnya haram. Jika beha dipakai untuk mencegah rusaknya payudara maka ini dibolehkan, tetapi hanya sesuai kebutuhan saja.
PERTANYAAN 3
Apakah hukumnya Saudi Arabia membantu Amerika Serikat dan Inggris untuk berperang melawan Irak? (ini kasus Perang Teluk pertama sewaktu Bush senior jadi Presiden Amerika Serikat)
JAWABAN
Hukumnya adalah boleh (mubah). Alasannya karena (1) Saddam Husein telah menjadi kafir, jadi Saudi Arabia memerangi orang kafir dan bukan seorang Muslim (2) Mencari bantuan dari Amerika Serikat dan Inggris adalah suatu hal yang mendesak (dharurah) (3) Tentara Amerika sama statusnya dengan tenaga kerja yang dibayar. Tentara Amerika bukanlah aliansi kita, tetapi kita mempekerjakan mereka untuk berada di pihak umat Islam untuk berperang melawan orang kafir (yaitu Saddam Hussein).
Tampaknya Lajnah ini mengurus banyak hal, dari beha hingga perang teluk. Yang menyedihkan adalah fatwa-fatwa itu tampak berasal dari kondisi absennya rasionalitas yang cukup akut. Lenyapnya akal sehat untuk jangka waktu yang cukup lama. Fatwa-fatwa di atas juga tidak menunjukkan adanya koherensi, tidak terlihat dipakainya metode penetapan hukum yang dikembangkan para fuqaha klasik, tidak ada pula pendekatan melalui kaidah-kaidah fikih, dan tidak ada usul fikih. Yang tersisa hanyalah wacana hukum yang otoritarian.
Pada tahun 1990-an dulu, K.H. Ali Yafie yang benar-benar memahami fikih, seorang "koki" dengan banyak jam terbang, mengangkat kaidah fikih: idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihima (apabila bertemu dua keburukan, maka pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang dampak keburukannya lebih kecil).
Kaidah fikih di atas ia jadikan justifikasi ketika ia berpendapat bahwa lokalisasi bagi para pekerja seks komersial (psk) lebih baik daripada membiarkan mereka mencari pelanggannya di mana-mana. Karena memang belum ada hukum yang jelas melarang prostitusi, dan prostitusi tampaknya tidak bisa dihentikan sebelum perekonomian, kesempatan pendidikan, dan kesempatan kerja menjadi lebih baik. Apa yang terjadi kemudian? K.H. Ali Yafie dengan segera dihujat dan dikecam oleh banyak ”tukang sayur”. Ia dituding sebagai kiai sesat, dan bermacam-macam julukan negatif lainnya. Padahal setahu saya, KH. Ali Yafie adalah sosok ulama sederhana yang berfikir dan bernalar dari sudut pandang ilmu fiqih.
Di Jakarta, saya pernah menghadiri ceramah seorang penceramah kondang yang sudah dianggap ulama oleh yang menganggap (mungkin tidak etis jika saya menyebut nama ”tukang sayur” ini). Di akhir ceramah, ada yang bertanya: ”Pak Ustadz, apakah hukumnya meng-qadha shalat”? (meng-qadha shalat adalah melakukan shalat fardhu sebagai ganti dari shalat fardhu yang tidak dilakukan pada suatu waktu). Pak Ustadz ini dengan yakin dan berwibawa langsung menjawab: ”di dalam Islam tidak ada yang namanya qadha shalat.” Jawaban yang luar biasa, karena setahu saya empat mazhab fiqih utama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah) membolehkan qadha shalat kecuali mazhab Zahiriyah yang minoritas. Tapi sebenarnya bagi saya yang paling menarik adalah kata-kata "di dalam Islam......" Ini adalah jawaban standar para "tukang sayur". Dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak pernah tertulis jawaban "di dalam Islam....." atau "menurut Islam....", yang ada hanyalah "di dalam mazhab Syafi'i..." atau "menurut pendapat yang berlaku di kalangan mazhab Hanafi....". Para fuqaha klasik ini rendah hati, mereka tidak pernah mengklaim. Tapi para "tukang sayur" ini benar-benar arogan. Ketika ia menyatakan "di dalam Islam..." atau "menurut Islam..." maka secara tidak langsung ia telah menggusur setiap narasi atau siapa saja yang tidak sependapat dengan dia dari ruang lingkup Islam." Menggusur... seperti Sutiyoso saja. Bayangin aja empat mazhab fikih besar koq digusur sehingga sekarang berada di luar Islam.
Ketika isu penolakan presiden perempuan menghangat, saya sempat dijadikan obyek indoktrinasi oleh seorang ”tukang sayur”. Ia berasal dari perkumpulan ’Jama’ah Tabligh’. (menurut seorang teman, cara dakwah door to door Jama’ah Tabligh ini mirip dengan ’Saksi Jehova’ dalam Kristen Protestan. Saya pikir asyik juga kalau bisa mempertemukan antara Jama’ah Tabligh dan Saksi Jehova, biar mereka saling mendakwahi, saling menggembalai. Minimal kalau difilmkan dengan kamera video digital bisa menang di Festival Film Indie di MTV).
"tukang sayur" dari Jama'ah Tabligh ini dengan segera mencecar saya, berikut dialognya, huruf kapital menandakan perkataan dari "tukang sayur".
”ANDA MUSLIM KAN, ANDA SETUJU KALAU PEREMPUAN JADI PRESIDEN?”
"setuju saja, asal dia mampu, memang kenapa?"
"LHO, ANDA INI GIMANA, ISLAM MENGHARAMKAN PRESIDEN PEREMPUAN.."
"kok Anda tahu Islam mengharamkan presiden perempuan?"
"ADA HADISNYA. NABI MUHAMMAD MELARANG PEMIMPIN PEREMPUAN, KALAU PEREMPUAN JADI PEMIMPIN MAKA RUSAKLAH NEGARA."
"Oo.. begitu ya. Jadi menurut Bapak bagaimana cara kita menjalankan hadis Nabi secara benar?"
"HARUS APA ADANYA, GIMANA DI DALAM HADIS YA YANG BEGITU ITU KITA JALANKAN, SAMI'NA WA ATHA'NA. SAYA DENGAR SAYA TAAT. GAK BOLEH DIUBAH-UBAH, JANGAN DI BOLAK-BALIK MAKNANYA!"
"oo.. jadi harus apa adanya?"
"IYALAH!"
"Bapak pernah tau gak ada hadis yang sama sahihnya dengan hadis pelarangan pemimpin perempuan?"
"APA TUH?"
"al-aimmah minal Quraisy, pemimpin itu haruslah berasal dari Suku Quraisy. Kalau menurut hadis ini hanya orang Arab dari suku Quraisy yang boleh jadi presiden. Laki-laki pun kalau bukan Suku Quraisy gak boleh jadi presiden di Indonesia Pak.. Kita harus impor dari Arab."
"YAAH, SITUASINYA KAN UDAH BEDA, KITA HARUS LIHAT KEADAANNYA SEKARANG DONG.."
"tapi tadi bapak bilang hadis harus dijalankan apa adanya, gak boleh dibolak-balik pemahamannya?"
"...?!?!"
Tahun 1999, di kampus IPB Bogor, dalam suatu kesempatan saya pernah iseng-iseng menghadiri tabligh akbar organisasi Hizbut Tahrir. Organisasi ”tukang sayur” internasional yang radikal. Salah seorang penceramah dengan gagah perkasa mengatakan ”nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam.” Para hadirin yang hampir semuanya adalah mahasiswa-mahasiswi IPB Bogor serentak merespons dengan teriakan ”Allahu Akbar”. Luar biasa, mahasiswa-mahasiswi sebuah institut negeri yang bergengsi dengan gampang diindoktrinasi dan dicuci otak oleh komplotan ”tukang sayur”. Hebatnya lagi "tukang sayur" itu tidak mengangkat dalil apa pun ketika ia mengatakan nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam, ia tidak mengutip Alquran dan hadis seperti lazimnya "tukang sayur profesional". Tampaknya ada spesies baru "tukang sayur" di IPB Bogor ini, spesies yang paling memprihatinkan.
Ketika acara di IPB itu selesai, saya keluar dari ruangan itu. Saya perhatikan mahasiswa IPB yang rata-rata berjenggot, memakai celana gantung (di atas mata kaki), yang mahasiswi terbungkus jilbab rapat, ada juga yang bercadar. Sebagian mereka memegang buku-buku. Saya melirik melihat judulnya, ada Statistik, Ekonomi Pertanian, Teori Ekonomi Mikro, Ekonomi Pembangunan, Ilmu Kimia, dan banyak lagi. Semuanya ilmu-ilmu yang dibangun di atas rasionalitas dan dipahami secara rasional. Tetapi dimana mereka menitipkan rasionalitas ketika menghadiri indoktrinasi para "tukang sayur" di ruangan tadi?
Para ”tukang sayur” dengan kemampuan retorika yang luar biasa akhirnya memang meraih banyak pendengar dan pengikut, lambat laun para ”tukang sayur” ini tampaknya akan menang perang dalam menggusur para ”koki”.
Saya jadi teringat sebuah hadis Nabi Muhammad yang pernah saya dengar di pesantren dulu (tapi sayangnya saya lupa redaksinya dan sampai sekarang belum ketemu perawinya), kurang lebih hadis itu artinya begini: "akan datang suatu zaman bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali pendakwah, dan sedikit ulama."
Hadis di atas itu sekarang saya pahami menjadi "akan datang suatu zaman bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali 'tukang sayur', dan sedikit sekali 'koki'."
wallahu a'lam bi'l shawab.
dari blog Sayed Mahdi: http://idhamdeyas.blogspot.com/
Di bawah ini saya posting artikel yang menurut saya sangat menarik itu. Selamat membaca dan semoga setelah membacanya pikiran kita bisa sedikit lebih terbuka.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Sayed Mahdi: Ketika para koki digusur tukang sayur
Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: “sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa…” Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) :
“Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu.
[Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ]
Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya ini adalah saudara perempuannya. Nah lho... Besar kemungkinan si laki-laki adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan. Terus jadi gimana masalah ini?
Kita lihat pokok masalahnya .....
Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat 5 membolehkan perilaku seperti ini:
qad aflaha’l mu’minun
alladzina hum fi shalatihim khasyi’un
walladzinahum ’ani’l laghwi mu’ridhun
walladzinahum lizzakati fa’ilun
walladzinahum li furujihim hafizhun
illa ’ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fainnahum ghairu malumin
(Alquran Surah Al Mu’minun 1 – 5)
[sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman
yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna
dan orang-orang yang menunaikan zakat
dan orang-orang yang menjaga penisnya
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela ]
Ketika lama kemudian si laki-laki menjadi tahu bahwa budak perempuan itu adalah adiknya, maka hubungan ini menjadi incest, dan sangat dilarang. Qabihah bi dzatiha. Haram tanpa kompromi, karena Alquran dalam Surah An-Nisa ayat 23 melarangnya:
Hurrimat ’alaikum ummahatukum, wa banatukum, wa akhawatukum, ....
(diharamkan bagi kamu sekalian untuk menikahi ibu-ibumu [maksudnya ibu kandung terus ke nenek terus ke atasnya nenek], anak-anak perempuanmu [anak terus ke cucu dan seterusnya], dan saudara-saudara perempuanmu ......... dst.)
Dalam kasus di atas, si perempuan adalah saudarinya dan sekaligus budaknya. Kebolehan melakukan hubungan seksual dengan budak yang ditetapkan dalam Surah Al Mu’minun ayat 1-5 menjadi tidak relevan. Surah An-Nisa ayat 23 harus dimenangkan. Kenapa harus dimenangkan? Bisa jadi hati nurani dan akal sehat si laki-laki yang berkata demikian. Atau bisa juga sebuah fatwa dari seorang ahli fiqih yang mengangkat dua kaidah fiqih seperti: dar`u’l mafasidi awla min jalbi’l mashalihi (menghilangkan keburukan lebih utama dari memperoleh kemaslahatan) dan fa idza ta’aradha mafsadatun wa mashlahatun quddima daf’ul mafsadati ghaliban (apabila bertemu keburukan dan kebaikan dalam satu masalah, maka utamakanlah menghilangkan keburukan).
Kaidah-kaidah fikih di atas saya kutip dari kitab berjudul al-Asybah wa'l-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1562 M). Kaidah-kaidah ini adalah hasil penalaran hukum para fuqaha dari berbagai dalil seperti Alquran, hadis Nabi Muhammad, fatwa-fatwa para mujtahid besar, dan hal-hal lain. Jika pun kaidah-kaidah ini dilepaskan dari sumber-sumber religius, sifatnya tetap rasional, karena dalam banyak kasus, bunyi kaidah-kaidah fiqih menjadi sama dengan maxim hukum berbahasa Latin yang berasal dari penalaran rasional, contohnya seperti al-hukmu yaduru ma’a ‘ilatihi wujudan wa ‘adaman (hukum itu akan terus berlaku bila reason-nya masih terus ditemukan dan berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika reason-nya tidak ada lagi) yang sama dengan mutata legis ratione mutatur et lex (the law is changed if the reason of law is changed).
Saya mengangkat kisah di atas agar kita memikirkan kembali bahwa Alquran dan hadis sesungguhnya adalah bahan mentah. Seorang ahli fiqih dapat diibaratkan seorang chef (koki profesional) yang mengolah bahan-bahan mentah tersebut. Kitab-kitab fiqih klasik yang ditulis oleh para fuqaha di masa lalu dapat diibaratkan dengan kumpulan resep-resep masakan yang telah mengolah banyak bahan mentah menjadi masakan yang lezat. Membuang semua resep-resep itu tidak menjamin hasil kerja koki di zaman sekarang lebih baik dari yang dihasilkan para koki di masa lalu.
Para fuqaha klasik dan kitab-kitab fiqih yang mereka hasilkan adalah pilar terakhir rasionalitas di dalam tradisi pemikiran Islam, setelah filsafat dan ilmu kalam. Tradisi fiqih adalah tradisi rasional, karena peran akal sehat menjadi sangat menonjol ketika berhadapan dengan dalil-dalil yang berbenturan dan ambigu. Kini pilar terakhir ini semakin lama semakin lenyap, perlahan-lahan hilang ditengah menjamurnya para ”koki” tanpa resep. Para ”koki” yang pada hakikatnya hanyalah ”tukang sayur”. Para "tukang sayur" ini memang mengetahui beragam jenis sayur mayur, ikan, dan bawang, tetapi tidak pernah belajar menjadi ”koki” dan menganggap tidak ada gunanya mempelajari apa yang ditulis oleh para 'koki". Kini mereka menggusur para ”koki”, dan mulai menyajikan bahan-bahan mentah tanpa diolah untuk sarapan hingga makan malam.
Para "koki" di masa lalu memang menghasilkan banyak perbedaan resep masakan, dan beberapa "chef" membentuk aliran cara memasak yang menjadi mazhab para "koki" yang hidup di era selanjutnya. tetapi para "tukang sayur" di masa kini gerah dengan banyaknya mazhab para koki di masa lalu, mereka lalu memaksakan makanan yang orisinal, tunggal tanpa perbedaan cara memasak, sesuatu yang otentik tanpa perubahan, tanpa perlu dimasak.
Para ”tukang sayur” ini bisa ditemukan di banyak tempat, dan runyamnya lagi para "tukang sayur" ini sekarang semakin banyak di Indonesia. Di Saudi Arabia para "tukang sayur" ini berkumpul di al-Lajnah al-Daimah li’l-Buhuts al-’Ilmiyyah wa’l ifta’ (The Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions), namanya aja yang wah..
Di Lajnah ini berkumpullah pemuka-pemuka Islam Wahabi, seperti 'Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1911-1999), sampai meninggalnya ia adalah mufti agung Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin (1927 - .... ). Abdullah bin Jibrin (1930 - .... ); dan Shalih bin Fauzan yang juga memimpin al-Ma'had al-'Ali li'l Qudah (Supreme Judicial Council).
Sekarang coba kita perhatikan beberapa hasil fatwa kaum Wahabi ini :
PERTANYAAN 1
Saya ingin mengirimkan foto saya kepada istri, keluarga, dan teman-teman saya, karena sekarang saya berada di luar negeri. Apakah hal ini dibolehkan?
JAWABAN (oleh komite ulama Lajnah dalam Fatawa al- Lajnah)
Nabi Muhammad di dalam hadisnya yang sahih telah melarang membuat gambar setiap makhluk yang bernyawa, baik manusia atau pun hewan. Oleh karena itu Anda tidak boleh mengirimkan foto diri Anda kepada istri Anda atau siapa pun.
PERTANYAAN 2
Apakah hukumnya jika seorang perempuan mengenakan beha (kutang atau bra) ?
JAWABAN (oleh Abdullah bin Jibrin dalam Fatawa al- Lajnah)
Banyak perempuan yang memakai beha untuk mengangkat payudara mereka supaya mereka terlihat menarik dan lebih muda seperti seorang gadis. Memakai beha untuk tujuan ini hukumnya haram. Jika beha dipakai untuk mencegah rusaknya payudara maka ini dibolehkan, tetapi hanya sesuai kebutuhan saja.
PERTANYAAN 3
Apakah hukumnya Saudi Arabia membantu Amerika Serikat dan Inggris untuk berperang melawan Irak? (ini kasus Perang Teluk pertama sewaktu Bush senior jadi Presiden Amerika Serikat)
JAWABAN
Hukumnya adalah boleh (mubah). Alasannya karena (1) Saddam Husein telah menjadi kafir, jadi Saudi Arabia memerangi orang kafir dan bukan seorang Muslim (2) Mencari bantuan dari Amerika Serikat dan Inggris adalah suatu hal yang mendesak (dharurah) (3) Tentara Amerika sama statusnya dengan tenaga kerja yang dibayar. Tentara Amerika bukanlah aliansi kita, tetapi kita mempekerjakan mereka untuk berada di pihak umat Islam untuk berperang melawan orang kafir (yaitu Saddam Hussein).
Tampaknya Lajnah ini mengurus banyak hal, dari beha hingga perang teluk. Yang menyedihkan adalah fatwa-fatwa itu tampak berasal dari kondisi absennya rasionalitas yang cukup akut. Lenyapnya akal sehat untuk jangka waktu yang cukup lama. Fatwa-fatwa di atas juga tidak menunjukkan adanya koherensi, tidak terlihat dipakainya metode penetapan hukum yang dikembangkan para fuqaha klasik, tidak ada pula pendekatan melalui kaidah-kaidah fikih, dan tidak ada usul fikih. Yang tersisa hanyalah wacana hukum yang otoritarian.
Pada tahun 1990-an dulu, K.H. Ali Yafie yang benar-benar memahami fikih, seorang "koki" dengan banyak jam terbang, mengangkat kaidah fikih: idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihima (apabila bertemu dua keburukan, maka pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang dampak keburukannya lebih kecil).
Kaidah fikih di atas ia jadikan justifikasi ketika ia berpendapat bahwa lokalisasi bagi para pekerja seks komersial (psk) lebih baik daripada membiarkan mereka mencari pelanggannya di mana-mana. Karena memang belum ada hukum yang jelas melarang prostitusi, dan prostitusi tampaknya tidak bisa dihentikan sebelum perekonomian, kesempatan pendidikan, dan kesempatan kerja menjadi lebih baik. Apa yang terjadi kemudian? K.H. Ali Yafie dengan segera dihujat dan dikecam oleh banyak ”tukang sayur”. Ia dituding sebagai kiai sesat, dan bermacam-macam julukan negatif lainnya. Padahal setahu saya, KH. Ali Yafie adalah sosok ulama sederhana yang berfikir dan bernalar dari sudut pandang ilmu fiqih.
Di Jakarta, saya pernah menghadiri ceramah seorang penceramah kondang yang sudah dianggap ulama oleh yang menganggap (mungkin tidak etis jika saya menyebut nama ”tukang sayur” ini). Di akhir ceramah, ada yang bertanya: ”Pak Ustadz, apakah hukumnya meng-qadha shalat”? (meng-qadha shalat adalah melakukan shalat fardhu sebagai ganti dari shalat fardhu yang tidak dilakukan pada suatu waktu). Pak Ustadz ini dengan yakin dan berwibawa langsung menjawab: ”di dalam Islam tidak ada yang namanya qadha shalat.” Jawaban yang luar biasa, karena setahu saya empat mazhab fiqih utama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah) membolehkan qadha shalat kecuali mazhab Zahiriyah yang minoritas. Tapi sebenarnya bagi saya yang paling menarik adalah kata-kata "di dalam Islam......" Ini adalah jawaban standar para "tukang sayur". Dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak pernah tertulis jawaban "di dalam Islam....." atau "menurut Islam....", yang ada hanyalah "di dalam mazhab Syafi'i..." atau "menurut pendapat yang berlaku di kalangan mazhab Hanafi....". Para fuqaha klasik ini rendah hati, mereka tidak pernah mengklaim. Tapi para "tukang sayur" ini benar-benar arogan. Ketika ia menyatakan "di dalam Islam..." atau "menurut Islam..." maka secara tidak langsung ia telah menggusur setiap narasi atau siapa saja yang tidak sependapat dengan dia dari ruang lingkup Islam." Menggusur... seperti Sutiyoso saja. Bayangin aja empat mazhab fikih besar koq digusur sehingga sekarang berada di luar Islam.
Ketika isu penolakan presiden perempuan menghangat, saya sempat dijadikan obyek indoktrinasi oleh seorang ”tukang sayur”. Ia berasal dari perkumpulan ’Jama’ah Tabligh’. (menurut seorang teman, cara dakwah door to door Jama’ah Tabligh ini mirip dengan ’Saksi Jehova’ dalam Kristen Protestan. Saya pikir asyik juga kalau bisa mempertemukan antara Jama’ah Tabligh dan Saksi Jehova, biar mereka saling mendakwahi, saling menggembalai. Minimal kalau difilmkan dengan kamera video digital bisa menang di Festival Film Indie di MTV).
"tukang sayur" dari Jama'ah Tabligh ini dengan segera mencecar saya, berikut dialognya, huruf kapital menandakan perkataan dari "tukang sayur".
”ANDA MUSLIM KAN, ANDA SETUJU KALAU PEREMPUAN JADI PRESIDEN?”
"setuju saja, asal dia mampu, memang kenapa?"
"LHO, ANDA INI GIMANA, ISLAM MENGHARAMKAN PRESIDEN PEREMPUAN.."
"kok Anda tahu Islam mengharamkan presiden perempuan?"
"ADA HADISNYA. NABI MUHAMMAD MELARANG PEMIMPIN PEREMPUAN, KALAU PEREMPUAN JADI PEMIMPIN MAKA RUSAKLAH NEGARA."
"Oo.. begitu ya. Jadi menurut Bapak bagaimana cara kita menjalankan hadis Nabi secara benar?"
"HARUS APA ADANYA, GIMANA DI DALAM HADIS YA YANG BEGITU ITU KITA JALANKAN, SAMI'NA WA ATHA'NA. SAYA DENGAR SAYA TAAT. GAK BOLEH DIUBAH-UBAH, JANGAN DI BOLAK-BALIK MAKNANYA!"
"oo.. jadi harus apa adanya?"
"IYALAH!"
"Bapak pernah tau gak ada hadis yang sama sahihnya dengan hadis pelarangan pemimpin perempuan?"
"APA TUH?"
"al-aimmah minal Quraisy, pemimpin itu haruslah berasal dari Suku Quraisy. Kalau menurut hadis ini hanya orang Arab dari suku Quraisy yang boleh jadi presiden. Laki-laki pun kalau bukan Suku Quraisy gak boleh jadi presiden di Indonesia Pak.. Kita harus impor dari Arab."
"YAAH, SITUASINYA KAN UDAH BEDA, KITA HARUS LIHAT KEADAANNYA SEKARANG DONG.."
"tapi tadi bapak bilang hadis harus dijalankan apa adanya, gak boleh dibolak-balik pemahamannya?"
"...?!?!"
Tahun 1999, di kampus IPB Bogor, dalam suatu kesempatan saya pernah iseng-iseng menghadiri tabligh akbar organisasi Hizbut Tahrir. Organisasi ”tukang sayur” internasional yang radikal. Salah seorang penceramah dengan gagah perkasa mengatakan ”nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam.” Para hadirin yang hampir semuanya adalah mahasiswa-mahasiswi IPB Bogor serentak merespons dengan teriakan ”Allahu Akbar”. Luar biasa, mahasiswa-mahasiswi sebuah institut negeri yang bergengsi dengan gampang diindoktrinasi dan dicuci otak oleh komplotan ”tukang sayur”. Hebatnya lagi "tukang sayur" itu tidak mengangkat dalil apa pun ketika ia mengatakan nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam, ia tidak mengutip Alquran dan hadis seperti lazimnya "tukang sayur profesional". Tampaknya ada spesies baru "tukang sayur" di IPB Bogor ini, spesies yang paling memprihatinkan.
Ketika acara di IPB itu selesai, saya keluar dari ruangan itu. Saya perhatikan mahasiswa IPB yang rata-rata berjenggot, memakai celana gantung (di atas mata kaki), yang mahasiswi terbungkus jilbab rapat, ada juga yang bercadar. Sebagian mereka memegang buku-buku. Saya melirik melihat judulnya, ada Statistik, Ekonomi Pertanian, Teori Ekonomi Mikro, Ekonomi Pembangunan, Ilmu Kimia, dan banyak lagi. Semuanya ilmu-ilmu yang dibangun di atas rasionalitas dan dipahami secara rasional. Tetapi dimana mereka menitipkan rasionalitas ketika menghadiri indoktrinasi para "tukang sayur" di ruangan tadi?
Para ”tukang sayur” dengan kemampuan retorika yang luar biasa akhirnya memang meraih banyak pendengar dan pengikut, lambat laun para ”tukang sayur” ini tampaknya akan menang perang dalam menggusur para ”koki”.
Saya jadi teringat sebuah hadis Nabi Muhammad yang pernah saya dengar di pesantren dulu (tapi sayangnya saya lupa redaksinya dan sampai sekarang belum ketemu perawinya), kurang lebih hadis itu artinya begini: "akan datang suatu zaman bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali pendakwah, dan sedikit ulama."
Hadis di atas itu sekarang saya pahami menjadi "akan datang suatu zaman bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali 'tukang sayur', dan sedikit sekali 'koki'."
wallahu a'lam bi'l shawab.
dari blog Sayed Mahdi: http://idhamdeyas.blogspot.com/
Idul Adha di Lampu'uk
Lampu'uk adalah sebuah kemukiman (kumpulan beberapa desa) yang cukup ramai, terletak 15 Kilometer dari Banda Aceh ke arah Meulaboh.
Dalam wilayah kemukiman ini terdapat salah satu pantai tercantik di Aceh. Pantai Lampu'uk yang terkenal dengan pasir putih dan ikan bakarnya. Mirip-mirip Jimbaran di Bali. Salah satu ujung pantai ini terhenti di sebuah bukit bernama Goh Leumo yang dalam bahasa Melayu berarti Punuk Sapi. Di ujung pantai yang terhenti di Goh Leumo ini terdapat salah satu tebing paling menarik untuk dipanjat karena di bagian atas tebing ini terdapat apa yang dalam istilah Rock Climbing disebut 'Over Hang' dan 'Roof' dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Kedua istilah yang saya sebutkan tadi digunakan untuk menggambarkan satu bagian tebing yang sebegitu curamnya sampai sudutnya mencuat ke luar, seperti menggantung dan sisi paling curam sebuah tebing yang saking curamnya sampai berbentuk seperti atap.
Dulu saat aku masih mahasiswa, aku sangat sering mengunjungi Lampu'uk. Entah itu untuk berenang di pantainya, belajar surfing, memanjat tebing bersama Rakai, seorang temanku di UKM PA Leuser, memperlancar bahasa Inggris dengan cara mengajak ngobrol cewek-cewek bule berbikini yang menginap di Joel Bungalow atau sekedar menikmati sunset sambil meniup 'didgeridoo'.
Kadang aku datang ke Lampu'uk di hari Jum'at. Kalau itu terjadi aku biasanya shalat Jum'at di mesjid Lampu'uk yang cukup besar dengan bentuk luar sekilas sangat mirip dengan mesjid Baiturrahman di pusat kota Banda Aceh.
Shalat Jum'at di Lampu'uk tidak boleh terlambat karena kalau terlambat kita tidak akan mendapatkan tempat di dalam mesjid yang cukup besar ini. Kemukiman Lampu'uk yang saat itu terdiri dari tiga desa memiliki penduduk tidak kurang dari 4000 orang yang hampir semua kaum laki-lakinya shalat jum'at di mesjid ini.
26 Desember 2004, Tsunami melanda Aceh. Lampu'uk yang terletak tepat di pinggir pantai ini adalah salah satu tempat yang paling parah dihantam tsunami. Aku lihat di televisi kemukiman Lampu'uk rata dengan tanah. Satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak adalah mesjid tempat aku sering melakukan shalat Jum'at dulu. Mesjid ini juga sangat sering kulihat di berbagai koran, majalah atau karya fotografi yag menggambarkan ganasnya Tsunami.
4 tahun setelah Tsunami, aku kembali ke Lampu'uk. Penampilan fisik kemukiman ini sudah sangat jauh berbeda dengan yang pernah kuingat dulu. Tidak satupun rumah di pinggir jalan yang dulu kujadikan sebagai penanda lokasi yang masih berdiri. Sekarang seluruh rumah di Lampu'uk bentuknya seragam. Rumah-rumah itu adalah bantuan dari pemerintah Turki. Dibandingkan rumah-rumah bantuan di daerah lain. Rumah bantuan di Lampu'uk ini kondisinya terlihat jauh lebih baik. Satu-satunya yang tetap mengingatkanku pada suasana Lampu'uk lama adalah banyaknya sapi yang berkeliaran di jalanan yang jika kita tidak hati-hati mengemudi terutama di malam hari kita bisa tiba-tiba menabraknya.
Kemarin di malam menjelang hari raya Idul Adha, aku menginap di Lampu'uk di salah satu rumah bantuan Turki itu yang disewa oleh seorang temanku yang berasal dari Canada. Malam menjelang hari raya, hujan turun sangat deras. Sampai jam 6 pagi kulihat belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku sempat berpikir tidak akan pergi shalat Ied. Tapi kira-kira jam 7 hujan mereda meskipun masih turun rintik-rintik tapi tidak selebat sebelumnya dan akupun memutuskan untuk pergi Shalat Ied.
Shalat Ied untuk kemukiman Lampu'uk dilaksanakan di Mesjid Lampu'uk tempat aku sering shalat jum'at dulu. Biasanya Shalat Ied dilakukan di luar ruangan. Untuk kemukiman Lampu'uk dulunya Shalat Ied biasa dilakukan di lapangan bola Seri Musim. Di lapangan inilah Irwansyah, mantan pemain nasional sekaligus striker andalan Persiraja Banda Aceh yang hilang saat Tsunami belajar bermain bola. Kupikir kali ini Shalat Ied dilakukan di mesjid Lampu'uk karena alasan hujan. Bagiku sendiri berarti Shalat Ied di Lampu'uk ini akan menjadi Shalat Ied kedua yang aku lakukan di dalam ruangan setelah Shalat Ied hari raya Idul Fitri yang baru lalu aku laksanakan di mesjid desa Randu Agung di Banyuwangi.
Aku yang berangkat ke mesjid jam 7.30 sambil berpikir kalau aku pasti tidak akan mendapat tempat lagi dalam ruangan Mesjid. Aku bayangkan kalau Shalat Jum'at yang cuma dihadiri jama'ah laki-laki saja penuh sesak apalagi Shalat Ied yang dihadiri laki-laki dan perempuan. Karena merasa kemungkinan aku harus shalat di luar dengan resiko berbasah ria kalau hujan tiba-tiba turun, aku berangkat Shalat dengan mengenakan jacket parasut yang tahan air. Tapi saat tiba di mesjid aku mendapati jama'ah Shalat Ied yang datang belum terlalu ramai. Mesjid terisi belum sampai setengahnya padahal beberapa saat lagi Shalat Ied akan segera dimulai. Bentuk Mesjid ini secara garis besar masih persis sama seperti sebelum Tsunami dulu dengan penambahan beberapa dekorasi di sana sini.
Tidak berapa lama Shalat Ied langsung dimulai dengan jumlah jama'ah yang belum juga bertambah. Aku Shalat dengan menyimpan penasaran, apakah setelah tsunami, setelah Aceh diguyur uang milyaran dollar, didatangi ribuan pekerja asing yang membawa budaya baru semangat keislaman orang-orang Lampu'uk menjadi sebegitu rendahnya sampai-sampai Shalat Ied di mesjid inipun hanya didatangi sangat sedikit orang.
Selesai Shalat seperti biasa dilanjutkan dengan khotbah yang disampaikan dalam bahasa Aceh. Penghotbah yang tampil kali ini adalah seorang lulusan pesantren yang sepanjang khotbahnya memuji-muji kualitas seorang lulusan pesantren yang menganjurkan para jama'ah untuk memasukkan anaknya ke sekolah agama bukan sekolah umum. karena menurutnya dengan belajar di sekolah agama masa depan di akhirat kelak akan terjamin. Sepanjang khotbah aku masih penasaran dan tidak habis pikir kenapa jama'ah Shalat Ied di mesjid ini sangat sedikit.
Selesai Shalat, seluruh Jama'ah membentuk lingkaran dan saling bersalaman satu persatu. Semua wajah tampak begitu cerah dan gembira. Persis sama seperti suasana hari raya dimanapun yang pernah kualami entah itu di Indonesia ataupun di luar negeri. Aku yang tampak aneh sendiri dengan pakaian jacket parasut tahan air dan bercelana jeans langsung dikenali oleh penduduk Lampu'uk sebagai orang luar.
Dalam kumpulan jama'ah Shalat Ied di mesjid Lampu'uk ini aku melihat seorang jama'ah yang juga berpakaian tidak kalah anehnya dibandingkan aku, yang juga beda sendiri dibandingkan jama'ah yang lain. Bersorban ala Pangeran Diponegoro, mirip seperti patung ulama di depan kantor Kodim Banyuwangi, bedanya sorban si jama'ah ini berwarna abu-abu. Dia mengenakan jubah yang panjangnya sampai di atas mata kaki, juga berwarna abu-abu dengan wajah yang dihiasi jenggot beberapa lembar yang dipaksakan tumbuh panjang di dagunya. Saat giliranku bersalaman dengannya jama'ah bersorban yang juga seperti aku, sama-sama terlihat aneh dan mencolok dalam kumpulan jama'ah lain yang berkemeja dan bersarung ini memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan sinis yang kutanggapi dengan senyuman sambil melanjutkan acara bersalaman dengan jama'ah yang lain.
Selesai bersalaman, seorang jama'ah yang berumur sekitar 60-an tahun yang bahan pakaiannya terlihat lebih berkualitas dibandingkan bahan pakaian jema'ah lain dan raut wajah yang tampak berwibawa mendekatiku. "Tinggal di mana dik?", tanyanya. Aku menjawab kalau aku tinggal di rumah temanku yang berasal dari Canada itu dan bapak itupun mengangguk. Lalu tanpa merasa perlu menanyakan nama dan asalku darimana bapak ini mengajakku untuk mampir ke rumahnya dan mengundangku makan di sana. Karena menurut beliau saat ini tidak ada warung yang buka, aku pasti akan kelaparan kalau berharap makan di warung. Bapak ini tahu persis kalau temanku itu tidak masak di rumahnya.
Alasan si bapak yang mengajakku dengan penuh ketulusan ini terlalu kuat untuk aku tolak dan akupun mengikuti si bapak ini ke rumahnya yang juga merupakan rumah bantuan dari pemerintah Turki dengan bendera Turki yang bergambar bulan bintang yang mirip seperti bendera GAM yang terbuah dari ukiran beton terpampang di dinding di atas pintu depan rumah. Tapi meskipun bentuk dasarnya sama rumah bapak ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa dan ruangannya juga sudah diperbesar di bagian belakang. Bentuk pagar, taman dan dekorasi dalam ruangan rumah bapak ini yang dihiasi lampu kristal dan gorden berbahan mahal menunjukkan kalau secara ekonomi si bapak ini relatif lebih berada dibandingkan rata-rata penduduk Lampu'uk lainnya.
Saat masuk ke dalam rumah, aku bersalaman dengan seluruh anggota keluarga bapak ini termasuk istri dan anak perempuannya. Sebelumnya aku sempat menduga kalau setelah penerapan Syari'at Islam ala wahabi, perempuan di Aceh juga tidak mau lagi bersalaman dengan laki-laki sebagaimana kebiasaan teman-temanku anggota PKS. Tapi ternyata tidak, orang Aceh di Lampu'uk ini masih tetap seperti dulu.
Kami duduk di ruang tamu sambil makan makanan kecil khas lebaran yang karena perbedaan status ekonomi, kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan kudapan khas lebaran yang dihidangkan padaku oleh penduduk desa Randu Agung saat lebaran Idul Fitri yang lalu. Bapak ini menceritakan kalau nyaris seluruh keluarganya habis hilang saat tsunami. Beliau sendiri selamat karena pada saat kejadian beliau yang masih berstatus pegawai Bank BRI sedang menghadiri acara pertandingan olahraga yang diselenggarakan oleh kantornya di kota Banda Aceh. Saat itu beliau menghadiri acara itu bersama istrinya dan anak perempuannya yang menyalamiku tadi. Dan sekarang hanya mereka bertigalah sisa keluarga beliau yang masih hidup. Semua anggota keluarga beliau yang lain hilang bersama tsunami. Tapi saat menceritakan ini seperti orang-orang Aceh lain yang pernah aku tanyai. Aku sama sekali tidak melihat ada gurat kesedihan di wajah bapak ini ketika menceritakan peristiwa itu.
Melalui bapak ini pula aku mengetahui alasan kenapa jama'ah Shalat Ied di mesjid tadi sangat sedikit. Menurut Bapak ini jama'ah Shalat Ied tadi sedikit karena memang penduduk Lampu'uk sekarang sudah sangat sedikit. Sebagai gambaran bapak ini mengatakan penduduk Desa Meunasah Bale, desa tempat beliau tinggal dulu sebelum Tsunami lebih dari 1200 orang tapi sekarang tidak sampai 300 orang. Desa sebelahnya Meunasah Baro dari sekitar 800-an orang sekarang tinggal sekitar 200-an. Ternyata itulah alasan sedikitnya jama'ah Shalat Ied tadi, bukan karena semangat keisalaman orang Lampu'uk yang sudah sedemikian rendah.
Kami berhenti mengobrol saat anak perempuan beliau masuk ke ruang tamu dan mengatakan makanan sudah siap dan mempersilahkan kami untuk makan. Akupun makan di sana dengan lauk daging olahan bumbu Aceh yang khas. Ditambah sebuah menu asing yang tidak pernah aku temui sebelumnya dalam menu di rumah-rumah orang Aceh. Sup Udang yang rasanya mirip Tom Yam Kung. Tapi Sup Udang bikinan anak perempuan bapak ini yang berumur sekitar 18 tahun yang memiliki wajah sekilas mirip Asmirandah, artis sinetron yang membintangi iklan Indosat ini jauh lebih enak, malah sejujurnya bagiku ini adalah Sup Udang terenak di dunia. Setidaknya sejauh yang pernah aku cicipi.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Dalam wilayah kemukiman ini terdapat salah satu pantai tercantik di Aceh. Pantai Lampu'uk yang terkenal dengan pasir putih dan ikan bakarnya. Mirip-mirip Jimbaran di Bali. Salah satu ujung pantai ini terhenti di sebuah bukit bernama Goh Leumo yang dalam bahasa Melayu berarti Punuk Sapi. Di ujung pantai yang terhenti di Goh Leumo ini terdapat salah satu tebing paling menarik untuk dipanjat karena di bagian atas tebing ini terdapat apa yang dalam istilah Rock Climbing disebut 'Over Hang' dan 'Roof' dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Kedua istilah yang saya sebutkan tadi digunakan untuk menggambarkan satu bagian tebing yang sebegitu curamnya sampai sudutnya mencuat ke luar, seperti menggantung dan sisi paling curam sebuah tebing yang saking curamnya sampai berbentuk seperti atap.
Dulu saat aku masih mahasiswa, aku sangat sering mengunjungi Lampu'uk. Entah itu untuk berenang di pantainya, belajar surfing, memanjat tebing bersama Rakai, seorang temanku di UKM PA Leuser, memperlancar bahasa Inggris dengan cara mengajak ngobrol cewek-cewek bule berbikini yang menginap di Joel Bungalow atau sekedar menikmati sunset sambil meniup 'didgeridoo'.
Kadang aku datang ke Lampu'uk di hari Jum'at. Kalau itu terjadi aku biasanya shalat Jum'at di mesjid Lampu'uk yang cukup besar dengan bentuk luar sekilas sangat mirip dengan mesjid Baiturrahman di pusat kota Banda Aceh.
Shalat Jum'at di Lampu'uk tidak boleh terlambat karena kalau terlambat kita tidak akan mendapatkan tempat di dalam mesjid yang cukup besar ini. Kemukiman Lampu'uk yang saat itu terdiri dari tiga desa memiliki penduduk tidak kurang dari 4000 orang yang hampir semua kaum laki-lakinya shalat jum'at di mesjid ini.
26 Desember 2004, Tsunami melanda Aceh. Lampu'uk yang terletak tepat di pinggir pantai ini adalah salah satu tempat yang paling parah dihantam tsunami. Aku lihat di televisi kemukiman Lampu'uk rata dengan tanah. Satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak adalah mesjid tempat aku sering melakukan shalat Jum'at dulu. Mesjid ini juga sangat sering kulihat di berbagai koran, majalah atau karya fotografi yag menggambarkan ganasnya Tsunami.
4 tahun setelah Tsunami, aku kembali ke Lampu'uk. Penampilan fisik kemukiman ini sudah sangat jauh berbeda dengan yang pernah kuingat dulu. Tidak satupun rumah di pinggir jalan yang dulu kujadikan sebagai penanda lokasi yang masih berdiri. Sekarang seluruh rumah di Lampu'uk bentuknya seragam. Rumah-rumah itu adalah bantuan dari pemerintah Turki. Dibandingkan rumah-rumah bantuan di daerah lain. Rumah bantuan di Lampu'uk ini kondisinya terlihat jauh lebih baik. Satu-satunya yang tetap mengingatkanku pada suasana Lampu'uk lama adalah banyaknya sapi yang berkeliaran di jalanan yang jika kita tidak hati-hati mengemudi terutama di malam hari kita bisa tiba-tiba menabraknya.
Kemarin di malam menjelang hari raya Idul Adha, aku menginap di Lampu'uk di salah satu rumah bantuan Turki itu yang disewa oleh seorang temanku yang berasal dari Canada. Malam menjelang hari raya, hujan turun sangat deras. Sampai jam 6 pagi kulihat belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku sempat berpikir tidak akan pergi shalat Ied. Tapi kira-kira jam 7 hujan mereda meskipun masih turun rintik-rintik tapi tidak selebat sebelumnya dan akupun memutuskan untuk pergi Shalat Ied.
Shalat Ied untuk kemukiman Lampu'uk dilaksanakan di Mesjid Lampu'uk tempat aku sering shalat jum'at dulu. Biasanya Shalat Ied dilakukan di luar ruangan. Untuk kemukiman Lampu'uk dulunya Shalat Ied biasa dilakukan di lapangan bola Seri Musim. Di lapangan inilah Irwansyah, mantan pemain nasional sekaligus striker andalan Persiraja Banda Aceh yang hilang saat Tsunami belajar bermain bola. Kupikir kali ini Shalat Ied dilakukan di mesjid Lampu'uk karena alasan hujan. Bagiku sendiri berarti Shalat Ied di Lampu'uk ini akan menjadi Shalat Ied kedua yang aku lakukan di dalam ruangan setelah Shalat Ied hari raya Idul Fitri yang baru lalu aku laksanakan di mesjid desa Randu Agung di Banyuwangi.
Aku yang berangkat ke mesjid jam 7.30 sambil berpikir kalau aku pasti tidak akan mendapat tempat lagi dalam ruangan Mesjid. Aku bayangkan kalau Shalat Jum'at yang cuma dihadiri jama'ah laki-laki saja penuh sesak apalagi Shalat Ied yang dihadiri laki-laki dan perempuan. Karena merasa kemungkinan aku harus shalat di luar dengan resiko berbasah ria kalau hujan tiba-tiba turun, aku berangkat Shalat dengan mengenakan jacket parasut yang tahan air. Tapi saat tiba di mesjid aku mendapati jama'ah Shalat Ied yang datang belum terlalu ramai. Mesjid terisi belum sampai setengahnya padahal beberapa saat lagi Shalat Ied akan segera dimulai. Bentuk Mesjid ini secara garis besar masih persis sama seperti sebelum Tsunami dulu dengan penambahan beberapa dekorasi di sana sini.
Tidak berapa lama Shalat Ied langsung dimulai dengan jumlah jama'ah yang belum juga bertambah. Aku Shalat dengan menyimpan penasaran, apakah setelah tsunami, setelah Aceh diguyur uang milyaran dollar, didatangi ribuan pekerja asing yang membawa budaya baru semangat keislaman orang-orang Lampu'uk menjadi sebegitu rendahnya sampai-sampai Shalat Ied di mesjid inipun hanya didatangi sangat sedikit orang.
Selesai Shalat seperti biasa dilanjutkan dengan khotbah yang disampaikan dalam bahasa Aceh. Penghotbah yang tampil kali ini adalah seorang lulusan pesantren yang sepanjang khotbahnya memuji-muji kualitas seorang lulusan pesantren yang menganjurkan para jama'ah untuk memasukkan anaknya ke sekolah agama bukan sekolah umum. karena menurutnya dengan belajar di sekolah agama masa depan di akhirat kelak akan terjamin. Sepanjang khotbah aku masih penasaran dan tidak habis pikir kenapa jama'ah Shalat Ied di mesjid ini sangat sedikit.
Selesai Shalat, seluruh Jama'ah membentuk lingkaran dan saling bersalaman satu persatu. Semua wajah tampak begitu cerah dan gembira. Persis sama seperti suasana hari raya dimanapun yang pernah kualami entah itu di Indonesia ataupun di luar negeri. Aku yang tampak aneh sendiri dengan pakaian jacket parasut tahan air dan bercelana jeans langsung dikenali oleh penduduk Lampu'uk sebagai orang luar.
Dalam kumpulan jama'ah Shalat Ied di mesjid Lampu'uk ini aku melihat seorang jama'ah yang juga berpakaian tidak kalah anehnya dibandingkan aku, yang juga beda sendiri dibandingkan jama'ah yang lain. Bersorban ala Pangeran Diponegoro, mirip seperti patung ulama di depan kantor Kodim Banyuwangi, bedanya sorban si jama'ah ini berwarna abu-abu. Dia mengenakan jubah yang panjangnya sampai di atas mata kaki, juga berwarna abu-abu dengan wajah yang dihiasi jenggot beberapa lembar yang dipaksakan tumbuh panjang di dagunya. Saat giliranku bersalaman dengannya jama'ah bersorban yang juga seperti aku, sama-sama terlihat aneh dan mencolok dalam kumpulan jama'ah lain yang berkemeja dan bersarung ini memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan sinis yang kutanggapi dengan senyuman sambil melanjutkan acara bersalaman dengan jama'ah yang lain.
Selesai bersalaman, seorang jama'ah yang berumur sekitar 60-an tahun yang bahan pakaiannya terlihat lebih berkualitas dibandingkan bahan pakaian jema'ah lain dan raut wajah yang tampak berwibawa mendekatiku. "Tinggal di mana dik?", tanyanya. Aku menjawab kalau aku tinggal di rumah temanku yang berasal dari Canada itu dan bapak itupun mengangguk. Lalu tanpa merasa perlu menanyakan nama dan asalku darimana bapak ini mengajakku untuk mampir ke rumahnya dan mengundangku makan di sana. Karena menurut beliau saat ini tidak ada warung yang buka, aku pasti akan kelaparan kalau berharap makan di warung. Bapak ini tahu persis kalau temanku itu tidak masak di rumahnya.
Alasan si bapak yang mengajakku dengan penuh ketulusan ini terlalu kuat untuk aku tolak dan akupun mengikuti si bapak ini ke rumahnya yang juga merupakan rumah bantuan dari pemerintah Turki dengan bendera Turki yang bergambar bulan bintang yang mirip seperti bendera GAM yang terbuah dari ukiran beton terpampang di dinding di atas pintu depan rumah. Tapi meskipun bentuk dasarnya sama rumah bapak ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa dan ruangannya juga sudah diperbesar di bagian belakang. Bentuk pagar, taman dan dekorasi dalam ruangan rumah bapak ini yang dihiasi lampu kristal dan gorden berbahan mahal menunjukkan kalau secara ekonomi si bapak ini relatif lebih berada dibandingkan rata-rata penduduk Lampu'uk lainnya.
Saat masuk ke dalam rumah, aku bersalaman dengan seluruh anggota keluarga bapak ini termasuk istri dan anak perempuannya. Sebelumnya aku sempat menduga kalau setelah penerapan Syari'at Islam ala wahabi, perempuan di Aceh juga tidak mau lagi bersalaman dengan laki-laki sebagaimana kebiasaan teman-temanku anggota PKS. Tapi ternyata tidak, orang Aceh di Lampu'uk ini masih tetap seperti dulu.
Kami duduk di ruang tamu sambil makan makanan kecil khas lebaran yang karena perbedaan status ekonomi, kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan kudapan khas lebaran yang dihidangkan padaku oleh penduduk desa Randu Agung saat lebaran Idul Fitri yang lalu. Bapak ini menceritakan kalau nyaris seluruh keluarganya habis hilang saat tsunami. Beliau sendiri selamat karena pada saat kejadian beliau yang masih berstatus pegawai Bank BRI sedang menghadiri acara pertandingan olahraga yang diselenggarakan oleh kantornya di kota Banda Aceh. Saat itu beliau menghadiri acara itu bersama istrinya dan anak perempuannya yang menyalamiku tadi. Dan sekarang hanya mereka bertigalah sisa keluarga beliau yang masih hidup. Semua anggota keluarga beliau yang lain hilang bersama tsunami. Tapi saat menceritakan ini seperti orang-orang Aceh lain yang pernah aku tanyai. Aku sama sekali tidak melihat ada gurat kesedihan di wajah bapak ini ketika menceritakan peristiwa itu.
Melalui bapak ini pula aku mengetahui alasan kenapa jama'ah Shalat Ied di mesjid tadi sangat sedikit. Menurut Bapak ini jama'ah Shalat Ied tadi sedikit karena memang penduduk Lampu'uk sekarang sudah sangat sedikit. Sebagai gambaran bapak ini mengatakan penduduk Desa Meunasah Bale, desa tempat beliau tinggal dulu sebelum Tsunami lebih dari 1200 orang tapi sekarang tidak sampai 300 orang. Desa sebelahnya Meunasah Baro dari sekitar 800-an orang sekarang tinggal sekitar 200-an. Ternyata itulah alasan sedikitnya jama'ah Shalat Ied tadi, bukan karena semangat keisalaman orang Lampu'uk yang sudah sedemikian rendah.
Kami berhenti mengobrol saat anak perempuan beliau masuk ke ruang tamu dan mengatakan makanan sudah siap dan mempersilahkan kami untuk makan. Akupun makan di sana dengan lauk daging olahan bumbu Aceh yang khas. Ditambah sebuah menu asing yang tidak pernah aku temui sebelumnya dalam menu di rumah-rumah orang Aceh. Sup Udang yang rasanya mirip Tom Yam Kung. Tapi Sup Udang bikinan anak perempuan bapak ini yang berumur sekitar 18 tahun yang memiliki wajah sekilas mirip Asmirandah, artis sinetron yang membintangi iklan Indosat ini jauh lebih enak, malah sejujurnya bagiku ini adalah Sup Udang terenak di dunia. Setidaknya sejauh yang pernah aku cicipi.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Minggu, 07 Desember 2008
Bener Meriah dan Identitas Kegayoan yang Terbelah
Saat saya kembali ke Takengen, saya mendapati Aceh Tengah kabupaten tempat saya berasal kini telah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah yang beribukota Takengen dan kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.
Ada satu kejanggalan yang saya rasakan berkenaan dengan keberadaan kabupaten baru yang bernama Bener Meriah ini. Kejanggalan itu saya rasakan baik saat saya berada di Aceh Tengah maupun di Bener Meriah sendiri. Saya merasakan ada suasana yang berbeda di Tanoh Gayo sekarang dibandingkan dengan ketika saya masih sering pulang dulu.
Dulu, sebelum ada Bener Meriah semua orang Gayo yang tinggal atau yang berasal dari seluruh wilayah kabupaten Aceh Tengah yang meliputi Kilometer 35 sampai Ise-ise, dari Rusip sampai Samarkilang. Semuanya memiliki kesadaran sebagai sebuah komunitas Gayo yang sama. Kalau sedang berada di luar Aceh Tengah, semua mengaku 'Urang Takengen'. dan diidentifikasi oleh orang luar Aceh Tengah sebagai ‘Orang Takengon’. Kesadaran inilah yang membentuk identitas kegayoan saya.
Sekarang, saya merasakan di antara masyarakat dua kabupaten ini mulai muncul semacam rasa keterpisahan secara sosiologis dan psikologis. Kesan yang saya tangkap, sekarang ini dalam diri orang Aceh Tengah dan Bener Meriah yang meskipun sama-sama orang Gayo tapi secara perlahan-lahan dalam individu Gayo yang tinggal di wilayah yang sekarang dipisahkan secara administratif ini mulai muncul kesadaran untuk mengasosiasikan identitas kelompok masing-masing sebagai 'kami' dan 'mereka'. Secara perlahan-lahan pula saya lihat sekarang sudah mulai muncul bibit-bibit rivalitas antara penduduk dua kabupaten ini. Salah satu indikasi dari munculnya fenomena ini bisa diperhatikan dalam kalimat-kalimat yang diucapkan para ceh didong jalu yang sekarang mendefinisikan ‘kami’ dan ‘kalian’ sekarang sudah dalam skala kabupaten bukan lagi kampung.
Sebelum Bener Meriah dimekarkan, sebenarnya sudah ada komunitas Gayo yang terlebih dahulu diasingkan dari komunitas besarnya dengan cara dipisahkan secara administratif. Mereka adalah Orang Gayo Lues dan Orang Gayo Serbejadi. Meskipun sama-sama Gayo dan berbicara dalam bahasa yang sama dengan saya dan orang-orang Gayo Aceh Tengah. Tapi kedua kelompok suku Gayo yang tinggal di luar wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah ini tidak termasuk kategori 'kami' dalam kesadaran kegayoan orang Gayo Aceh Tengah, termasuk saya. Padahal dalam tubuh saya sendiri mengalir darah keturunan Gayo Lues yang saya dapatkan dari Datu Anan (Ibu dari kakek) saya.
Dulu sekali sebenarnya Gayo Lues masuk dalam kategori ‘kami’. Tapi pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah melalui UU 4/1974 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juni 1974. Telah mencabut kesadaran kegayoan Orang Gayo Aceh Tengah terhadap Gayo Lues. UU 4/1974 itu mencabut akar kegayoan saya dari tanah asal Datu Anan saya, tepat 20 hari sebelum saya lahir.
Saat Gayo Lues masih merupakan bagian dari Aceh Tengah dan Takengen menjadi ibu kotanya. Di Takengen banyak sekali komunitas pelajar asal Gayo Lues yang bersekolah. Pelajar asal Gayo Lues ini bahkan sampai punya satu asrama khusus berlokasi di Dedalu dekat rumah orang tua saya. Panti Asuhan Budi Luhur yang saat itu dikelola oleh almarhum kakek saya juga banyak dihuni oleh anak-anak yang berasal dari Gayo Lues.
Pada saat itu orang Gayo Aceh Tengah masih menganggap orang Gayo Lues sebagai 'kami'. Tidak seperti orang Gayo Serbejadi yang sejak awal kemerdekaan tinggal di wilayah administrasi kabupaten Aceh Timur yang cerita tentang keberadaan mereka nyaris seperti dongeng dalam sudut pandang orang-orang Gayo di Takengen.
Tapi sejak Gayo Lues dimasukkan ke dalam wilayah Aceh Tenggara, Orang Gayo Lues jadi jarang sekali berhubungan dengan Takengen.
Ketika saya lahir, Gayo Lues sudah bukan bagian dari kabupaten Aceh Tengah. Orang Gayo Lues yang bersekolah di Takengen meskipun ada tapi sudah sangat sedikit. Saat itu mereka lebih banyak yang bersekolah di Kuta Cane yang merupakan ibukota kabupaten Aceh Tenggara.
Kegiatan pertandingan olah raga, pentas seni Gayo, Didong dan aktivitas budaya apapun yang berkaitan dengan Gayo yang diselenggarakan di kabupaten Aceh Tengah sama sekali tidak pernah melibatkan Orang Gayo Lues. Akibatnya interaksi Orang Gayo Aceh Tengah dengan Orang Gayo Lues menjadi sangat jarang. Sehingga sedikit demi sedikit Gayo Lues menjelma menjadi identitas Gayo yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Begitu berjaraknya Gayo Aceh Tengah dan Gayo Lues, sampai-sampai Tari Saman Gayo yang merupakan kesenian khas Gayo yang banyak dimainkan oleh Orang Gayo Lues menjadi seni yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Demikian pula dengan Didong Jalu, kesenian yang sering kami mainkan di Aceh Tengah menjelma menjadi sebuah seni yang asing di mata orang Gayo Lues dan Serbejadi.
Memang ketika sedang berada di luar Tanoh Gayo. Orang Gayo Lues dan Orang Gayo asal Aceh Tengah merasa mereka adalah saudara. Tapi hubungan persaudaraan itu bisa dikatakan seperti hubungan antar sepupu. Bukan hubungan antar saudara kandung. Ada kedekatan tapi sekaligus ada jarak psikologis yang memisahkan kedua kelompok suku Gayo ini.
Contoh dari adanya jarak psikologis ini adalah ketika saya tinggal di Banda Aceh. Di kota ini saya banyak memiliki kenalan orang Gayo Lues. Tapi meskipun akrab, ketika berada di antara komunitas teman-teman asal Gayo Lues ini saya tidak merasa senyaman saat berada dalam komunitas Orang Gayo asal Aceh Tengah. Saat berada dalam komunitas Orang Gayo Lues ada banyak materi pembicaraan mereka yang tidak saya fahami yang membuat saya merasa sebagai orang luar. Pembicaraan yang membuat saya merasa sebagi orang asing itu biasanya berkaitan dengan daerah asal dengan segala permasalahannya. Entah itu pembicaraan tentang bupati, pacuan kuda atau kegiatan kesenian yang mereka lakukan, rencana kegiatan amal yang akan dilakukan saat liburan nanti dan sebagainya. Semua pembicaraan itu terdengar asing di telinga saya dan membuat saya merasa tidak berhak untuk melibatkan diri di dalamnya.
Hal seperti inilah yang sekarang mulai terjadi dalam hubungan antara Aceh Tengah dan Bener Meriah. Contohnya saya lihat ketika seorang adik sepupu saya ditabrak oleh seorang pengendara motor asal Simpang Tiga Redelong.
Dulu kalau kejadian seperti itu terjadi lalu kita tanyakan siapa pelakunya. Orang Takengen pasti menyebut 'Orang Simpang Tiga' yang secara psikologis dianggap sebagai 'kita'. Biasanya pula untuk menyelesaikan masalah seperti ini juga lebih mudah untuk dilakukan secara kekeluargaan. Berbeda misalnya jika pelakunya adalah orang 'Bireuen' yang dikategorikan sebagai ‘mereka’.
Tapi sekarang situasinya berbeda, orang Redelong yang menabraknya oleh adik sepupu saya disebut sebagai 'Orang Bener Meriah' yang oleh sepupu saya ini dipahami sebagai 'mereka'.
Munculnya perasaan sebagai 'kita' dan 'mereka' ini tidak hanya terjadi pada kalangan remaja seperti sepupu saya. Sentimen perpecahan semacam ini saya lihat mulai melanda semua kalangan.
Ketika berada di Takengen saya sempat mewawancarai seorang ulama berpengaruh yang sekarang menjabat ketua MPU Aceh Tengah. Beliau berasal dari Teritit, sekitar 10 Kilometer dari Takengen tapi sekarang setelah pemekaran masuk ke dalam wilayah Bener Meriah.
Wawancara itu saya lakukan di rumah beliau di Pasar Pagi.
Saat sedang mengobrol dengan saya, ulama yang sangat saya hormati ini menerima panggilan telepon dari seorang kerabat beliau di Jakarta. Dalam omongan via telepon yang mereka lakukan. Saya mendengar mereka berdua berbicara tentang penjualan tanah sebuah yayasan di Jakarta yang uangnya akan digunakan untuk membangun yayasan yang sama di Bener Meriah. Secara umum tidak ada yang terlalu istimewa dalam obrolan mereka. Tapi ada satu kalimat dalam obrolan mereka yang dilakukan dalam bahasa Gayo yang membuat saya yang Orang Gayo merasa bukan bagian dari mereka.
Saya tiba-tiba merasa menjadi orang asing. Ketika mendengar Tengku yang saya wawancarai ini berkata kepada lawan bicaranya. Yang artinya kurang lebih begini “Apa yang kamu lakukan itu baik sekali, karena memang siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk membangun daerah kita kalau bukan kita sendiri orang Bener Meriah”.
Saya merasa asing karena saya yang lahir di Takengen dengan Bapak yang berasal dari Isaq dan Ibu dari Temung Penanti yang kedua wilayahnya masuk dalam wilayah admistrasi kabupaten Aceh Tengah tidak termasuk dalam ‘kita’ yang mereka bicarakan. Saya yang bukan ‘Orang Bener Meriah’ tidak termasuk dalam kategori orang yang bisa diharapkan oleh ulama yang saya hormati ini untuk membangun daerah ‘kita’.
Apa yang bisa saya simpulkan dari percakapan antara Tengku yang saya hormati ini dengan kerabatnya di Jakarta yang berasal dari Teritit seperti yang saya ungkapkan di atas adalah; pemekaran sebuah wilayah Gayo tidak hanya membelah identitas kegayoan orang Gayo yang tinggal di wilayah yang dimekarkan. Tapi pemekaran wilayah juga ikut membelah identitas kegayoan Orang Gayo yang tinggal di luar Tanoh Gayo.
Sebagaimana dulunya Orang Gayo Deret dan Gayo Lut seperti saya mengasosiasikan diri sebagai Orang Takengen dan Orang Gayo Lues mengasosiasikan diri sebagai Orang Belang Kejeren. Tidak lama lagi orang Teritit sampai Tiga Lima akan menyebut diri mereka sebagai Orang Redelong.
Saya dan Orang Gayo Aceh Tengah lainnya akan tetap disebut dan mengaku sebagai Orang Takengen, tapi dengan kesadaran sebagai individu yang merupakan bagian dari komunitas besar Orang Takengen dengan jumlah anggota yang tinggal setengah dari populasi sebelumnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Ada satu kejanggalan yang saya rasakan berkenaan dengan keberadaan kabupaten baru yang bernama Bener Meriah ini. Kejanggalan itu saya rasakan baik saat saya berada di Aceh Tengah maupun di Bener Meriah sendiri. Saya merasakan ada suasana yang berbeda di Tanoh Gayo sekarang dibandingkan dengan ketika saya masih sering pulang dulu.
Dulu, sebelum ada Bener Meriah semua orang Gayo yang tinggal atau yang berasal dari seluruh wilayah kabupaten Aceh Tengah yang meliputi Kilometer 35 sampai Ise-ise, dari Rusip sampai Samarkilang. Semuanya memiliki kesadaran sebagai sebuah komunitas Gayo yang sama. Kalau sedang berada di luar Aceh Tengah, semua mengaku 'Urang Takengen'. dan diidentifikasi oleh orang luar Aceh Tengah sebagai ‘Orang Takengon’. Kesadaran inilah yang membentuk identitas kegayoan saya.
Sekarang, saya merasakan di antara masyarakat dua kabupaten ini mulai muncul semacam rasa keterpisahan secara sosiologis dan psikologis. Kesan yang saya tangkap, sekarang ini dalam diri orang Aceh Tengah dan Bener Meriah yang meskipun sama-sama orang Gayo tapi secara perlahan-lahan dalam individu Gayo yang tinggal di wilayah yang sekarang dipisahkan secara administratif ini mulai muncul kesadaran untuk mengasosiasikan identitas kelompok masing-masing sebagai 'kami' dan 'mereka'. Secara perlahan-lahan pula saya lihat sekarang sudah mulai muncul bibit-bibit rivalitas antara penduduk dua kabupaten ini. Salah satu indikasi dari munculnya fenomena ini bisa diperhatikan dalam kalimat-kalimat yang diucapkan para ceh didong jalu yang sekarang mendefinisikan ‘kami’ dan ‘kalian’ sekarang sudah dalam skala kabupaten bukan lagi kampung.
Sebelum Bener Meriah dimekarkan, sebenarnya sudah ada komunitas Gayo yang terlebih dahulu diasingkan dari komunitas besarnya dengan cara dipisahkan secara administratif. Mereka adalah Orang Gayo Lues dan Orang Gayo Serbejadi. Meskipun sama-sama Gayo dan berbicara dalam bahasa yang sama dengan saya dan orang-orang Gayo Aceh Tengah. Tapi kedua kelompok suku Gayo yang tinggal di luar wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah ini tidak termasuk kategori 'kami' dalam kesadaran kegayoan orang Gayo Aceh Tengah, termasuk saya. Padahal dalam tubuh saya sendiri mengalir darah keturunan Gayo Lues yang saya dapatkan dari Datu Anan (Ibu dari kakek) saya.
Dulu sekali sebenarnya Gayo Lues masuk dalam kategori ‘kami’. Tapi pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah melalui UU 4/1974 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juni 1974. Telah mencabut kesadaran kegayoan Orang Gayo Aceh Tengah terhadap Gayo Lues. UU 4/1974 itu mencabut akar kegayoan saya dari tanah asal Datu Anan saya, tepat 20 hari sebelum saya lahir.
Saat Gayo Lues masih merupakan bagian dari Aceh Tengah dan Takengen menjadi ibu kotanya. Di Takengen banyak sekali komunitas pelajar asal Gayo Lues yang bersekolah. Pelajar asal Gayo Lues ini bahkan sampai punya satu asrama khusus berlokasi di Dedalu dekat rumah orang tua saya. Panti Asuhan Budi Luhur yang saat itu dikelola oleh almarhum kakek saya juga banyak dihuni oleh anak-anak yang berasal dari Gayo Lues.
Pada saat itu orang Gayo Aceh Tengah masih menganggap orang Gayo Lues sebagai 'kami'. Tidak seperti orang Gayo Serbejadi yang sejak awal kemerdekaan tinggal di wilayah administrasi kabupaten Aceh Timur yang cerita tentang keberadaan mereka nyaris seperti dongeng dalam sudut pandang orang-orang Gayo di Takengen.
Tapi sejak Gayo Lues dimasukkan ke dalam wilayah Aceh Tenggara, Orang Gayo Lues jadi jarang sekali berhubungan dengan Takengen.
Ketika saya lahir, Gayo Lues sudah bukan bagian dari kabupaten Aceh Tengah. Orang Gayo Lues yang bersekolah di Takengen meskipun ada tapi sudah sangat sedikit. Saat itu mereka lebih banyak yang bersekolah di Kuta Cane yang merupakan ibukota kabupaten Aceh Tenggara.
Kegiatan pertandingan olah raga, pentas seni Gayo, Didong dan aktivitas budaya apapun yang berkaitan dengan Gayo yang diselenggarakan di kabupaten Aceh Tengah sama sekali tidak pernah melibatkan Orang Gayo Lues. Akibatnya interaksi Orang Gayo Aceh Tengah dengan Orang Gayo Lues menjadi sangat jarang. Sehingga sedikit demi sedikit Gayo Lues menjelma menjadi identitas Gayo yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Begitu berjaraknya Gayo Aceh Tengah dan Gayo Lues, sampai-sampai Tari Saman Gayo yang merupakan kesenian khas Gayo yang banyak dimainkan oleh Orang Gayo Lues menjadi seni yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Demikian pula dengan Didong Jalu, kesenian yang sering kami mainkan di Aceh Tengah menjelma menjadi sebuah seni yang asing di mata orang Gayo Lues dan Serbejadi.
Memang ketika sedang berada di luar Tanoh Gayo. Orang Gayo Lues dan Orang Gayo asal Aceh Tengah merasa mereka adalah saudara. Tapi hubungan persaudaraan itu bisa dikatakan seperti hubungan antar sepupu. Bukan hubungan antar saudara kandung. Ada kedekatan tapi sekaligus ada jarak psikologis yang memisahkan kedua kelompok suku Gayo ini.
Contoh dari adanya jarak psikologis ini adalah ketika saya tinggal di Banda Aceh. Di kota ini saya banyak memiliki kenalan orang Gayo Lues. Tapi meskipun akrab, ketika berada di antara komunitas teman-teman asal Gayo Lues ini saya tidak merasa senyaman saat berada dalam komunitas Orang Gayo asal Aceh Tengah. Saat berada dalam komunitas Orang Gayo Lues ada banyak materi pembicaraan mereka yang tidak saya fahami yang membuat saya merasa sebagai orang luar. Pembicaraan yang membuat saya merasa sebagi orang asing itu biasanya berkaitan dengan daerah asal dengan segala permasalahannya. Entah itu pembicaraan tentang bupati, pacuan kuda atau kegiatan kesenian yang mereka lakukan, rencana kegiatan amal yang akan dilakukan saat liburan nanti dan sebagainya. Semua pembicaraan itu terdengar asing di telinga saya dan membuat saya merasa tidak berhak untuk melibatkan diri di dalamnya.
Hal seperti inilah yang sekarang mulai terjadi dalam hubungan antara Aceh Tengah dan Bener Meriah. Contohnya saya lihat ketika seorang adik sepupu saya ditabrak oleh seorang pengendara motor asal Simpang Tiga Redelong.
Dulu kalau kejadian seperti itu terjadi lalu kita tanyakan siapa pelakunya. Orang Takengen pasti menyebut 'Orang Simpang Tiga' yang secara psikologis dianggap sebagai 'kita'. Biasanya pula untuk menyelesaikan masalah seperti ini juga lebih mudah untuk dilakukan secara kekeluargaan. Berbeda misalnya jika pelakunya adalah orang 'Bireuen' yang dikategorikan sebagai ‘mereka’.
Tapi sekarang situasinya berbeda, orang Redelong yang menabraknya oleh adik sepupu saya disebut sebagai 'Orang Bener Meriah' yang oleh sepupu saya ini dipahami sebagai 'mereka'.
Munculnya perasaan sebagai 'kita' dan 'mereka' ini tidak hanya terjadi pada kalangan remaja seperti sepupu saya. Sentimen perpecahan semacam ini saya lihat mulai melanda semua kalangan.
Ketika berada di Takengen saya sempat mewawancarai seorang ulama berpengaruh yang sekarang menjabat ketua MPU Aceh Tengah. Beliau berasal dari Teritit, sekitar 10 Kilometer dari Takengen tapi sekarang setelah pemekaran masuk ke dalam wilayah Bener Meriah.
Wawancara itu saya lakukan di rumah beliau di Pasar Pagi.
Saat sedang mengobrol dengan saya, ulama yang sangat saya hormati ini menerima panggilan telepon dari seorang kerabat beliau di Jakarta. Dalam omongan via telepon yang mereka lakukan. Saya mendengar mereka berdua berbicara tentang penjualan tanah sebuah yayasan di Jakarta yang uangnya akan digunakan untuk membangun yayasan yang sama di Bener Meriah. Secara umum tidak ada yang terlalu istimewa dalam obrolan mereka. Tapi ada satu kalimat dalam obrolan mereka yang dilakukan dalam bahasa Gayo yang membuat saya yang Orang Gayo merasa bukan bagian dari mereka.
Saya tiba-tiba merasa menjadi orang asing. Ketika mendengar Tengku yang saya wawancarai ini berkata kepada lawan bicaranya. Yang artinya kurang lebih begini “Apa yang kamu lakukan itu baik sekali, karena memang siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk membangun daerah kita kalau bukan kita sendiri orang Bener Meriah”.
Saya merasa asing karena saya yang lahir di Takengen dengan Bapak yang berasal dari Isaq dan Ibu dari Temung Penanti yang kedua wilayahnya masuk dalam wilayah admistrasi kabupaten Aceh Tengah tidak termasuk dalam ‘kita’ yang mereka bicarakan. Saya yang bukan ‘Orang Bener Meriah’ tidak termasuk dalam kategori orang yang bisa diharapkan oleh ulama yang saya hormati ini untuk membangun daerah ‘kita’.
Apa yang bisa saya simpulkan dari percakapan antara Tengku yang saya hormati ini dengan kerabatnya di Jakarta yang berasal dari Teritit seperti yang saya ungkapkan di atas adalah; pemekaran sebuah wilayah Gayo tidak hanya membelah identitas kegayoan orang Gayo yang tinggal di wilayah yang dimekarkan. Tapi pemekaran wilayah juga ikut membelah identitas kegayoan Orang Gayo yang tinggal di luar Tanoh Gayo.
Sebagaimana dulunya Orang Gayo Deret dan Gayo Lut seperti saya mengasosiasikan diri sebagai Orang Takengen dan Orang Gayo Lues mengasosiasikan diri sebagai Orang Belang Kejeren. Tidak lama lagi orang Teritit sampai Tiga Lima akan menyebut diri mereka sebagai Orang Redelong.
Saya dan Orang Gayo Aceh Tengah lainnya akan tetap disebut dan mengaku sebagai Orang Takengen, tapi dengan kesadaran sebagai individu yang merupakan bagian dari komunitas besar Orang Takengen dengan jumlah anggota yang tinggal setengah dari populasi sebelumnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Sabtu, 06 Desember 2008
Feodalisme, Montessori dan Punjabi
Jika para ekspat orang tua teman-teman anakku mengeluhkan mentalitas para pembantu Indonesia yang bekerja pada mereka. Hal sebaliknya terjadi pada keluarga kaya Indonesia baik itu orang kaya lama yang turun temurun bermental feodal atau orang kaya baru yang biasanya selalu ditindas dan dilecehkan kaget tiba-tiba jadi kaya. Dari banyak tipe orang kaya di Indonesia yang pernah saya temui, tipe terakhir ini biasanya adalah tipe yang paling menyebalkan. Karena biasanya sikap orang kaya tipe ini lebih feodal dari keluarga feodal yang memang sudah feodal turun temurun.
Dalam keluarga orang kaya bermental feodal, biasanya pengasuhan anak diserahkan sepenuhnya kepada pembantu entah itu yang tidak berseragam atau yang berseragam yang merasa diri lebih keren dari teman sejawatnya serta lebih suka dijuluki dengan istilah berbahasa asing 'baby sitter'.
Anak orang kaya bermental feodal yang semasa kecil diasuh oleh pembantu ini biasanya kemudian tumbuh dan besar menjadi anak-anak yang keras kepala dan egois. Anak-anak ini sampai dewasanya biasanya juga susah sekali mengaku salah apalagi meminta maaf. Sifat khas seperti ini muncul bukanlah karena kesalahan si anak tapi karena orang dewasa yang mengasuhnya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini sejak kecil sebenarnya sedang dilatih untuk menjadi pribadi yang menyebalkan.
Metode latihannya misalkan jika si anak melakukan kesalahan. Orang dewasa yang ada di sekitar si anak tidak mengajarkannya untuk belajar dari kesalahan yang baru dia buat. Malah mencarikan kambing hitam buat disalahkan.
Contoh umum kejadian seperti ini yang saya lihat di setiap keluarga yang memiliki anak kecil. Paling gampang dilihat misalnya ketika seorang anak terjatuh di lantai akibat kesalahannya sendiri. Oleh orang dewasa di dekatnya yang biasanya pembantu, si anak bukannya diajari untuk berhati-hati dan menjadikan apa yang baru dialaminya sebagai pengalaman tapi malah lantainya yang dipukuli dan disalahkan. Begitu umumnya kejadian seperti ini di setiap keluarga Indonesia sampai-sampai seorang Anggun C. Sasmi, penyanyi internasional asal Indonesia yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negeripun masih menerapkan metode pendidikan anak khas Indonesia ini pada anaknya. Jadi tidak usah heranlah jika sekarang orang Indonesia termasuk pejabat-pejabatnya susah sekali mengakui kesalahan dan selalu mencari kambing hitam atas semua kesalahan yang mereka buat.
Masalah lain yang sering dialami oleh anak-anak di rumah adalah Televisi. Saya membaca di berbagai media ada banyak orang tua yang mengeluh tentang kualitas acara televisi di Indonesia. Banyak yang mengeluh acara televisi merusak perkembangan anak dan lain sebagainya. Menyalahkan para Punjabi dan cukong-cukong India lain yang mencari nafkah dengan menjadi produser berbagai sinetron sebagai tidak nasionalis dan lain sebagainya.
Sekolah Montessori sangat tidak menganjurkan anak-anak yang berumur di bawah 6 tahun untuk menonton televisi meskipun itu acara yang ditonton itu adalah acara-acara TV yang mendidik semacam Sesame Street atau Little Einstein. Jika ini saja tidak dianjurkan apalagi game-game komputer semacam playstation tentu lebih tidak boleh lagi.
Alasan sekolah Montessori tidak menganjurkan menonton televisi bahkan untuk acara semacam Sesame Street dan Little Einstein adalah karena meskipun acara semacam itu mendidik, tapi menonton acara semacam itu membuat anak menjadi pasif. Tubuh mereka tidak bergerak, mereka tidak melatih perangkat motoriknya. Di samping itu efek buruk lain yang didapatkan anak-anak yang kecanduan televisi di usia yang terlalu dini ini adalah mereka memiliki kecenderungan mencampuradukkan kenyataan dan fiksi. Berlari, naik sepeda, melompat-lompat di atas tempat tidur atau Sofa jauh lebih bermanfaat bagi anak-anak dibandingkan menonton TV. Karena itulah sekarang TV di rumahku sama sekali tidak pernah lagi kami nyalakan.
Sebagai pengganti nonton TV, anakku yang tampaknya mewarisi bakat melukis dariku kubelikan kertas, spidol, cat air dan krayon. Sehingga sekarang melukis itulah aktivitas favoritnya. Setiap dia bosan melakukan aktivitas apapun, yang dia cari selau kertas dan spidol. Kemudian setiap sore anakku ditemani istriku main ke lapangan di kompleks perumahan tempat kami tinggal. Di sana istriku mengajarinya memanjat pohon mangga. Tiga kali seminggu di lapangan ini ada latihan Tae Kwon Do, jadi tiap kali di lapangan ini ada latihan anakku juga ikut-ikutan berlatih dengan anggota dojang lainnya.
Karena itu, berdasarkan alasan di atas. Menurutku keluhan dan tudingan para orang tua pada para produser sinetron berdarah India adalah keluhan dan tudingan yang sangat konyol dan salah alamat sebab solusi untuk semua keluhan mereka bukan berada di tangan para produser itu. Tapi ada di diri para orang tua itu sendiri. Solusinya sangat sederhana, matikan bahkan kalau perlu jual TV-nya. Habis Perkara.
Mungkin untuk melaksanakan solusi ini sulit pada awalnya. Anak-anak yang sudah terbiasa dengan televisi juga pasti akan protes. Tapi apa yang harus diketahui oleh semua orang tua di dunia, anak-anak adalah makhluk pembelajar terbaik di jagat raya. Ketika mereka melihat orang tuanya tidak pernah menonton TV dan konsisten dengan sikap itu. Kemudian anak-anak itu juga diberi alternatif aktivitas lain maka anak-anak itu pasti akan segera melupakan televisi.
Jadi kesimpulannya, kalau sekarang banyak anak-anak yang perilakunya jadi aneh dan menyimpang karena Televisi, salahkanlah orang tuanya bukan Punjabi, Parwez atau Soraya apalagi si Anak.
Wassalam
Win Wan Nur
Dalam keluarga orang kaya bermental feodal, biasanya pengasuhan anak diserahkan sepenuhnya kepada pembantu entah itu yang tidak berseragam atau yang berseragam yang merasa diri lebih keren dari teman sejawatnya serta lebih suka dijuluki dengan istilah berbahasa asing 'baby sitter'.
Anak orang kaya bermental feodal yang semasa kecil diasuh oleh pembantu ini biasanya kemudian tumbuh dan besar menjadi anak-anak yang keras kepala dan egois. Anak-anak ini sampai dewasanya biasanya juga susah sekali mengaku salah apalagi meminta maaf. Sifat khas seperti ini muncul bukanlah karena kesalahan si anak tapi karena orang dewasa yang mengasuhnya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini sejak kecil sebenarnya sedang dilatih untuk menjadi pribadi yang menyebalkan.
Metode latihannya misalkan jika si anak melakukan kesalahan. Orang dewasa yang ada di sekitar si anak tidak mengajarkannya untuk belajar dari kesalahan yang baru dia buat. Malah mencarikan kambing hitam buat disalahkan.
Contoh umum kejadian seperti ini yang saya lihat di setiap keluarga yang memiliki anak kecil. Paling gampang dilihat misalnya ketika seorang anak terjatuh di lantai akibat kesalahannya sendiri. Oleh orang dewasa di dekatnya yang biasanya pembantu, si anak bukannya diajari untuk berhati-hati dan menjadikan apa yang baru dialaminya sebagai pengalaman tapi malah lantainya yang dipukuli dan disalahkan. Begitu umumnya kejadian seperti ini di setiap keluarga Indonesia sampai-sampai seorang Anggun C. Sasmi, penyanyi internasional asal Indonesia yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negeripun masih menerapkan metode pendidikan anak khas Indonesia ini pada anaknya. Jadi tidak usah heranlah jika sekarang orang Indonesia termasuk pejabat-pejabatnya susah sekali mengakui kesalahan dan selalu mencari kambing hitam atas semua kesalahan yang mereka buat.
Masalah lain yang sering dialami oleh anak-anak di rumah adalah Televisi. Saya membaca di berbagai media ada banyak orang tua yang mengeluh tentang kualitas acara televisi di Indonesia. Banyak yang mengeluh acara televisi merusak perkembangan anak dan lain sebagainya. Menyalahkan para Punjabi dan cukong-cukong India lain yang mencari nafkah dengan menjadi produser berbagai sinetron sebagai tidak nasionalis dan lain sebagainya.
Sekolah Montessori sangat tidak menganjurkan anak-anak yang berumur di bawah 6 tahun untuk menonton televisi meskipun itu acara yang ditonton itu adalah acara-acara TV yang mendidik semacam Sesame Street atau Little Einstein. Jika ini saja tidak dianjurkan apalagi game-game komputer semacam playstation tentu lebih tidak boleh lagi.
Alasan sekolah Montessori tidak menganjurkan menonton televisi bahkan untuk acara semacam Sesame Street dan Little Einstein adalah karena meskipun acara semacam itu mendidik, tapi menonton acara semacam itu membuat anak menjadi pasif. Tubuh mereka tidak bergerak, mereka tidak melatih perangkat motoriknya. Di samping itu efek buruk lain yang didapatkan anak-anak yang kecanduan televisi di usia yang terlalu dini ini adalah mereka memiliki kecenderungan mencampuradukkan kenyataan dan fiksi. Berlari, naik sepeda, melompat-lompat di atas tempat tidur atau Sofa jauh lebih bermanfaat bagi anak-anak dibandingkan menonton TV. Karena itulah sekarang TV di rumahku sama sekali tidak pernah lagi kami nyalakan.
Sebagai pengganti nonton TV, anakku yang tampaknya mewarisi bakat melukis dariku kubelikan kertas, spidol, cat air dan krayon. Sehingga sekarang melukis itulah aktivitas favoritnya. Setiap dia bosan melakukan aktivitas apapun, yang dia cari selau kertas dan spidol. Kemudian setiap sore anakku ditemani istriku main ke lapangan di kompleks perumahan tempat kami tinggal. Di sana istriku mengajarinya memanjat pohon mangga. Tiga kali seminggu di lapangan ini ada latihan Tae Kwon Do, jadi tiap kali di lapangan ini ada latihan anakku juga ikut-ikutan berlatih dengan anggota dojang lainnya.
Karena itu, berdasarkan alasan di atas. Menurutku keluhan dan tudingan para orang tua pada para produser sinetron berdarah India adalah keluhan dan tudingan yang sangat konyol dan salah alamat sebab solusi untuk semua keluhan mereka bukan berada di tangan para produser itu. Tapi ada di diri para orang tua itu sendiri. Solusinya sangat sederhana, matikan bahkan kalau perlu jual TV-nya. Habis Perkara.
Mungkin untuk melaksanakan solusi ini sulit pada awalnya. Anak-anak yang sudah terbiasa dengan televisi juga pasti akan protes. Tapi apa yang harus diketahui oleh semua orang tua di dunia, anak-anak adalah makhluk pembelajar terbaik di jagat raya. Ketika mereka melihat orang tuanya tidak pernah menonton TV dan konsisten dengan sikap itu. Kemudian anak-anak itu juga diberi alternatif aktivitas lain maka anak-anak itu pasti akan segera melupakan televisi.
Jadi kesimpulannya, kalau sekarang banyak anak-anak yang perilakunya jadi aneh dan menyimpang karena Televisi, salahkanlah orang tuanya bukan Punjabi, Parwez atau Soraya apalagi si Anak.
Wassalam
Win Wan Nur
Kamis, 04 Desember 2008
Montessori, Pendidikan Anak dan Pembantu Indonesia
Kemarin istriku yang baru pulang dari pertemuan di sekolah anakku menelponku untuk menceritakan hasil pertemuan tentang kemajuan yang dicapai oleh anak kami selama sekolah dan juga kendala-kendala yang dia hadapi. Pertemuan yang diikuti istriku ini adalah semacam acara pembagian rapor di sekolah-sekolah tradisional.
Di TK Montessori tempat anakku sekolah, mereka tidak mengenal yang namanya penilaian dan laporan tertulis apalagi pemberian rangking. TK dan SD Montessori tidak pernah mengklasifikasikan murid-muridnya ke dalam klasifikasi bodoh dan pintar. Di sekolah ini setiap anak diperlakukan sebagai pribadi yang unik yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itulah Montessori menganggap adalah tidak mungkin menilai kemampuan seorang anak dengan ukuran angka. Cara Montessori melaporkan perkembangan anak adalah dengan mengundang orang tua untuk menyaksikan aktivitas anak mereka di kelas selama setengah jam. Lalu kemudian apa yang disaksikan selama setengah jam itu didiskusikan dengan guru yang di Montessori disebut 'Direktris'.
Yang menjadi direktris di kelas rose, kelas anakku adalah Valda, gadis Amerika berumur 26 tahun. Di samping aku dan istriku, Valda yang cantik dan sangat ramah ini termasuk salah satu orang yang paling diidolakan oleh anakku. Kepada istriku Valda menceritakan kalau anakku memiliki kemampuan yang sangat baik dalam hal berkonsentrasi. Menurut Valda anakku mampu mengerjakan aktivitas yang dia suka sampai selesai tanpa terganggu oleh suara gaduh teman-temannya. Daya serap terhadap informasi baru juga sangat baik. Ada beberapa hal positif lain yang disebutkan Valda tentang anakku.
Anakku yang tanggal 7 Desember nanti akan tepat berumur 4 tahun sekarang sudah bisa menyiapkan semua kebutuhannya sendiri tanpa perlu dibantu oleh orang dewasa. Itu bisa terjadi karena di sekolah Montessori ini anak-anak diajarkan untuk mandiri. Di sini anak-anak dibiasakan memakai sepatu sendiri, selesai makan mencuci piring sendiri, bahkan beberapa anak yang mengompol di kelaspun diajarkan untuk mengepel lantai dan mencuci celana bekas ompolannya sendiri.
Di samping mengajarkan kemandirian, aktivitas seperti itu juga melatih keterampilan motorik anak. Karena memang anak-anak yang masih berumur tiga tahun ini dalam tahapan psikologi perkembangan dikatakan masih berada dalam masa peralihan dari tahap perkembangan 'sensori motorik' ke masa 'pra operasional'.
Berdasarkan hasil dari banyak riset, para ahli menyimpulkan bahwa mengarahkan anak-anak sangatlah mudah. Melatih anak-anak untuk bisa mandiri seperti yang dilakukan di sekolah Montessori juga sangat mudah, karena anak-anak pada umur-umur TK seperti anakku ini perilakunya masih sangat mudah dibentuk. Yang menjadi masalah terbesar dalam membentuk kemandirian anak selalu datang dari orang tua dan orang dewasa lain yang berada di sekitar si anak. Berdasarkan pengalaman Montessori yang sudah nyaris seabad eksistensinya mereka juga menemukan bahwa semua kegagalan yang dialami oleh anak dalam mengikuti metode Montessori selalu berasal dari orang tua.
Karena itulah sebelum menerima seorang murid di sekolah ini, fihak Montessori terlebih dahulu melakukan seleksi ketat. Yang mereka test dalam proses seleksi tersebut bukan si anak yang menjadi calon murid melainkan orang tuanya. Hanya anak dari orang tua yang memiliki kesepahaman dengan Montessori yang bisa diterima di sekolah ini. Seleksi semacam itu mereka lakukan supaya program yang mereka buat dapat berjalan optimal. Sebab kalau orang tua tidak memiliki cara pandang yang sama dengan Montessori dalam mendidik anak. Apa yang didapatkan anak di Montessori akan sia-sia karena di rumah anak-anak yang sudah diajari mandiri ini kembali dilayani, biasanya oleh pembantu. Lalu jika anak seperti ini ada di Montessori, kebiasaan dilayani yang dia dapatkan di rumah akan dia bawa ke sekolah dan anak inipun akan menularkan mentalitas feodalnya itu kepada anak-anak yang lain. Dan hancurlah semua program yang dibuat Montessori.
Masalahnya biaya pendidikan di Montessori yang terbilang cukup mahal membuat anak-anak yang mendaftar ke sana selalu berasal dari kalangan mampu. Yang menjadi masalah dengan orang-orang yang berasal dari kalangan ini, biasanya mereka selalu memiliki pembantu di rumah. Para pembantu itu bertugas mengurusi semua keperluan anggota keluarga tersebut, termasuk anak-anak Balita yang sedang berada dalam tahapan psikologis sensori motorik dan pra operasional. Padahal anak-anak seumuran itu seharusnya dibiarkan melakukan berbagai aktivitas motorik untuk melatih keterampilan geraknya. Tapi karena diumur-umur seperti itu anak-anak ini malah dilayani bagaikan raja dan ratu. Akibatnya kemandirian dan kemapuan motorik anak-anak itu tidak berkembang dan merekapun tumbuh menjadi anak manja.
Situasi yang dihadapi kaum kaya ini diperburuk oleh kenyataan bahwa mereka tinggal di Negara yang bernama Indonesia. Di negara ini sulit sekali mencari pembantu yang punya mental orang merdeka yang bisa memandang majikan di tempatnya bekerja sebagai manusia yang setara. Hal ini sangat sering dikeluhkan oleh para orang tua murid di Montessori yang saya kenal ketika kami mengobrol di setiap acara pertemuan orang tua.
Di Indonesia ini para pembantu, baik yang berseragam maupun tidak. Hampir bisa dikatakan seluruhnya bermental Abdi Dalem yang dalam hubungan profesionalnya ketika bekerja selalu menempatkan diri sebagai alas kaki tuannya. Padahal para orang tua anak-anak Montessori yang saya kenal rata-rata adalah para ekspat berjiwa humanis yang tidak pernah menganggap pembantu di rumah mereka sebagai orang yang derajatnya lebih rendah. Tapi masalahnya mentalitas menghamba di kalangan kaum pembantu di Indonesia ini memang sudah berurat dan berakar karena tradisi. Inilah yang dikeluhkan para orang tua teman-teman anakku. Mereka mengeluh karena mereka sangat menyadari kalau keberadaan pembantu model begini di sekitar anak-anak mereka yang sedang mencari bentuk jati diri, betul-betul merusak.
Wassalam
Win Wan Nur
Di TK Montessori tempat anakku sekolah, mereka tidak mengenal yang namanya penilaian dan laporan tertulis apalagi pemberian rangking. TK dan SD Montessori tidak pernah mengklasifikasikan murid-muridnya ke dalam klasifikasi bodoh dan pintar. Di sekolah ini setiap anak diperlakukan sebagai pribadi yang unik yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itulah Montessori menganggap adalah tidak mungkin menilai kemampuan seorang anak dengan ukuran angka. Cara Montessori melaporkan perkembangan anak adalah dengan mengundang orang tua untuk menyaksikan aktivitas anak mereka di kelas selama setengah jam. Lalu kemudian apa yang disaksikan selama setengah jam itu didiskusikan dengan guru yang di Montessori disebut 'Direktris'.
Yang menjadi direktris di kelas rose, kelas anakku adalah Valda, gadis Amerika berumur 26 tahun. Di samping aku dan istriku, Valda yang cantik dan sangat ramah ini termasuk salah satu orang yang paling diidolakan oleh anakku. Kepada istriku Valda menceritakan kalau anakku memiliki kemampuan yang sangat baik dalam hal berkonsentrasi. Menurut Valda anakku mampu mengerjakan aktivitas yang dia suka sampai selesai tanpa terganggu oleh suara gaduh teman-temannya. Daya serap terhadap informasi baru juga sangat baik. Ada beberapa hal positif lain yang disebutkan Valda tentang anakku.
Anakku yang tanggal 7 Desember nanti akan tepat berumur 4 tahun sekarang sudah bisa menyiapkan semua kebutuhannya sendiri tanpa perlu dibantu oleh orang dewasa. Itu bisa terjadi karena di sekolah Montessori ini anak-anak diajarkan untuk mandiri. Di sini anak-anak dibiasakan memakai sepatu sendiri, selesai makan mencuci piring sendiri, bahkan beberapa anak yang mengompol di kelaspun diajarkan untuk mengepel lantai dan mencuci celana bekas ompolannya sendiri.
Di samping mengajarkan kemandirian, aktivitas seperti itu juga melatih keterampilan motorik anak. Karena memang anak-anak yang masih berumur tiga tahun ini dalam tahapan psikologi perkembangan dikatakan masih berada dalam masa peralihan dari tahap perkembangan 'sensori motorik' ke masa 'pra operasional'.
Berdasarkan hasil dari banyak riset, para ahli menyimpulkan bahwa mengarahkan anak-anak sangatlah mudah. Melatih anak-anak untuk bisa mandiri seperti yang dilakukan di sekolah Montessori juga sangat mudah, karena anak-anak pada umur-umur TK seperti anakku ini perilakunya masih sangat mudah dibentuk. Yang menjadi masalah terbesar dalam membentuk kemandirian anak selalu datang dari orang tua dan orang dewasa lain yang berada di sekitar si anak. Berdasarkan pengalaman Montessori yang sudah nyaris seabad eksistensinya mereka juga menemukan bahwa semua kegagalan yang dialami oleh anak dalam mengikuti metode Montessori selalu berasal dari orang tua.
Karena itulah sebelum menerima seorang murid di sekolah ini, fihak Montessori terlebih dahulu melakukan seleksi ketat. Yang mereka test dalam proses seleksi tersebut bukan si anak yang menjadi calon murid melainkan orang tuanya. Hanya anak dari orang tua yang memiliki kesepahaman dengan Montessori yang bisa diterima di sekolah ini. Seleksi semacam itu mereka lakukan supaya program yang mereka buat dapat berjalan optimal. Sebab kalau orang tua tidak memiliki cara pandang yang sama dengan Montessori dalam mendidik anak. Apa yang didapatkan anak di Montessori akan sia-sia karena di rumah anak-anak yang sudah diajari mandiri ini kembali dilayani, biasanya oleh pembantu. Lalu jika anak seperti ini ada di Montessori, kebiasaan dilayani yang dia dapatkan di rumah akan dia bawa ke sekolah dan anak inipun akan menularkan mentalitas feodalnya itu kepada anak-anak yang lain. Dan hancurlah semua program yang dibuat Montessori.
Masalahnya biaya pendidikan di Montessori yang terbilang cukup mahal membuat anak-anak yang mendaftar ke sana selalu berasal dari kalangan mampu. Yang menjadi masalah dengan orang-orang yang berasal dari kalangan ini, biasanya mereka selalu memiliki pembantu di rumah. Para pembantu itu bertugas mengurusi semua keperluan anggota keluarga tersebut, termasuk anak-anak Balita yang sedang berada dalam tahapan psikologis sensori motorik dan pra operasional. Padahal anak-anak seumuran itu seharusnya dibiarkan melakukan berbagai aktivitas motorik untuk melatih keterampilan geraknya. Tapi karena diumur-umur seperti itu anak-anak ini malah dilayani bagaikan raja dan ratu. Akibatnya kemandirian dan kemapuan motorik anak-anak itu tidak berkembang dan merekapun tumbuh menjadi anak manja.
Situasi yang dihadapi kaum kaya ini diperburuk oleh kenyataan bahwa mereka tinggal di Negara yang bernama Indonesia. Di negara ini sulit sekali mencari pembantu yang punya mental orang merdeka yang bisa memandang majikan di tempatnya bekerja sebagai manusia yang setara. Hal ini sangat sering dikeluhkan oleh para orang tua murid di Montessori yang saya kenal ketika kami mengobrol di setiap acara pertemuan orang tua.
Di Indonesia ini para pembantu, baik yang berseragam maupun tidak. Hampir bisa dikatakan seluruhnya bermental Abdi Dalem yang dalam hubungan profesionalnya ketika bekerja selalu menempatkan diri sebagai alas kaki tuannya. Padahal para orang tua anak-anak Montessori yang saya kenal rata-rata adalah para ekspat berjiwa humanis yang tidak pernah menganggap pembantu di rumah mereka sebagai orang yang derajatnya lebih rendah. Tapi masalahnya mentalitas menghamba di kalangan kaum pembantu di Indonesia ini memang sudah berurat dan berakar karena tradisi. Inilah yang dikeluhkan para orang tua teman-teman anakku. Mereka mengeluh karena mereka sangat menyadari kalau keberadaan pembantu model begini di sekitar anak-anak mereka yang sedang mencari bentuk jati diri, betul-betul merusak.
Wassalam
Win Wan Nur
Rabu, 03 Desember 2008
Takengen Setelah 10 Tahun
Dua hari setelah acara konferensi di Hermes Palace saya berangkat ke Takengen, kota kelahiran saya yang sudah cukup lama tidak pernah saya kunjungi.
Tidak banyak yang berubah dari Kota ini, kecuali jalan dua jalur dari Paya Tumpi menuju pusat kota ditambah dengan lampu lalu lintas di simpang empat dan simpang Polres. Selebihnya pusat Kota Takengen, secara fisik bisa dikatakan masih persis sama seperti saat saya masih SD dulu.
Di sekitar pasar pagi saya lihat rumah-rumahnya tetap rumah papan dua tingkat berbentuk ruko sebagaimana yang pernah saya ingat saat saya pertama kali bisa mengingat. Sedikit perubahan baru terasa saat saya melintas daerah sekitar pasar Inpres. Ada banyak bangunan ruko yang baru dibangun di sana ditambah dengan keberadaan sebuah restoran mahal berkelas nasional yang rasa makanannya sama sekali tidak jelas dan sama sekali tidak istimewa. Gurami Goreng Asam manis di Restoran ini rasanya hambar sehingga butuh sedikit perjuangan dan sedikit kenangan terhadap bayi kurang Gizi di NTB sana untuk bisa menghabiskannya. Jika rasa Gurami Asam manis di restoran ini saya bandingkan dengan rasa gulai bandeng di warung Yusra Baru di Simpang Lima. Perbandingannya seperti rasa gula jawa berbading rasa coklat bulat Home Made bersertifikat buatan Swiss yang berlapis lima dengan tiap lapis masing-masing memiliki variasi rasa yang berbeda.
Yang lain jika bisa dikatakan sebagai perubahan adalah penampilan mesjid raya Ruhama yang sekarang jadi terlihat aneh dengan kubah-kubah baru berwarna emas yang bukannya membuat mesjid ini tampak lebih indah justru sebaliknya membuatnya jadi terlihat norak dan 'nggak matching' dengan lingkungan sekitarnya.
Selain perubahan negatif pada penampilan Mesjid Ruhama, saya juga melihat sebuah perubahan lain pada wajah kota ini yang sangat saya sesalkan. Perubahan ini sangat saya sesalkan karena tidak seperti perubahan penampilan mesjid Ruhama yang suatu saat bisa saja diubah kembali jika Takengen beruntung dipimpin oleh Bupati yang punya cita rasa seni, perubahan yang satu ini adalah cacat permanen terhadap wajah cantik kota Takengen. Cacat permanen yang dibuat sendiri dengan sengaja dan berbiaya mahal pula.
Dulu Kota Takengen dikenal sebagai kota dataran tinggi yang indah, kota yang dikelingi gunung-gunung yang ditumbuhi hutan pinus alami yang keindahannya menyatu dengan lansekap kota ini. Salah satu di antara gunung-gunung yang menyatu membentuk kecantikan alami kota Takengen itu adalah Bur ni Pereben yang terletak tepat di belakang rumah saya. Gunung ini dulu pernah ditanami pohon pinus yang membentuk aksara yang akan terbaca sebagai kata GAYO. Tapi sayangnya pohon pinus yang membentuk kata GAYO itu tidak pernah besar karena selalu terbakar di musim kemarau.
Sekarang Bur ni Pereben, gunung yang merupakan salah satu latar belakang dan ciri utama kota Takengen ini terlihat jelek sekali. Bur ni Pereben terlihat jelek karena di gunung ini Pemerintah Aceh Tengah membangun jalan yang sama sekali tidak jelas peruntukannya. Jalan itu dibangun tepat di bagian tengah antara kaki dan puncak gunung ini, tepat menghadap Kota Takengen melintang dari Bale sampai ke ujung desa Dedalu. Jalan yang dibangun entah untuk manfaat apa ini membuat penampilan gunung cantik ini tampak cacat sehingga merusak seluruh aspek keindahan kota Takengen. Akibat dari cacat yang sengaja dibuat pada 'wajah' Bur ni Pereben ini, kota Takengon yang cantik sekarang terlihat seperti Luna Maya dengan codet besar melintang di pipi.
Di gunung lain yang letaknya tepat di seberang gunung ber'codet' ini. Di sisi lain danau Laut Tawar di daerah Kebayakan sekitar Mendale, tampak bendera merah putih ukuran besar yang sepertinya dibuat dari beton. Bendera ini dibuat dengan sangat baik dan dapat dilihat dari seluruh bagian Kota Tekengen.
Meskipun ada beberapa perubahan negatif pada fisik kota ini tapi perubahan-perubahan itu tidak cukup signifikan untuk sampai membuat saya merasa merasa asing sebagaimana yang terjadi pada saya ketika saya tiba di Banda Aceh, kota yang membesarkan saya menjadi manusia dewasa. Apa yang saya rasakan di Takengen terbalik dengan apa yang saya rasakan di Banda Aceh.
Di Banda Aceh saya merasa asing dengan tampilan baru kotanya tapi tidak dengan orang-orangnya. Saya tidak merasa asing karena ketika saya mulai berbicara dengan orang-orang Banda Aceh, saya langsung dapat merasakan semangat yang sama seperti yang saya rasakan dulu ketika saya masih menjadi penduduk resmi kota ini. Meskipun secara materi apa yang diomongkan sudah berbeda dengan beberapa tahun yang lalu tapi saya dapat melebur dengan orang-orang Banda Aceh langsung pada saat itu juga, meskipun orang yang saya ajak mengobrol itu belum pernah saya kenal sebelumnya.
Berkebalikan dengan Takengen, saya merasa sangat familiar dengan tampilan fisik kotanya tapi langsung merasa asing ketika saya mulai berbicara dengan penduduk kota kelahiran saya ini. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo dengan mereka, terutama dengan kalangan mudanya. Saya langsung merasakan ada perubahan yang asing dalam cara, nada bicara dan istilah-istilah yang mereka gunakan.
Saya yang terlahir dengan bahasa ibu 'Gayo' tentu saja sangat fasih berbahasa Gayo karena bahasa inilah bahasa yang pertama kali saya kenal dalam hidup saya. Tapi selama kurun waktu 10 tahun belakangan ini bahasa Gayo yang saya gunakan sama sekali tidak mengalami perkembangan, karena dalam kurun waktu itu bisa dikatakan saya terisolasi penuh dari komunitas utama penutur bahasa Gayo. Ketika sekarang, saya penutur asli bahasa Gayo yang mengenal bahasa Gayo versi lama tiba-tiba masuk kembali ke dalam komunitas utama penutur bahasa Gayo di Kota Takengen ini. Secara ajaib tiba-tiba saya merasa sedikit asing dengan bahasa ibu saya ketika bahasa itu dituturkan oleh orang Gayo lain yang menetap di tempat asli bahasa ini berkembang.
Saat berbicara dengan orang-orang Takengen saya menemukan banyak kata-kata janggal serapan dari bahasa Melayu versi Indonesia dalam kosa kata bahasa Gayo mereka, kosa kata yang dulu sama sekali tidak pernah saya kenal.
Kosa kata baru itu misalnya kata 'kayak e' yang merupakan terjemahan dari bahasa Indonesia 'sepertinya'. Dulu saat saya masih berada dalam komunitas ini, saya dan orang orang Gayo lainnya menggunakan kata 'nampak e' untuk terjemahan kata ini. Sebagaimana halnya ketika saya masih sering pulang ke Takengen dulu, sampai sekarangpun saya masih tetap menggunakan istilah 'nampak e' ketika konteks ini saya gunakan saat saya berbicara dalam bahasa Gayo dan semua orang gayo yang saya kenal juga menggunakan kata itu. Tapi sekarang, pilihan kata yang saya gunakan ini terdengar janggal di telinga orang Gayo yang tinggal di Takengen. Sayapun juga demikian, saya merasa janggal dengan kata baru yang mereka gunakan, yaitu 'kayak e' yang merupakan peng'gayo'an dari kata bahasa Melayu versi Indonesia 'Kayaknya'.
Masih banyak kosa kata baru lainnya yang sekarang umum mereka gunakan tapi dulu tidak pernah saya kenal. Kata-kata itu misalnya untuk mengatakan besarnya, sekarang beberapa orang Gayo yang saya temui mengatakan 'besar e', bukan lagi 'kul e' yang merupakan kosa kata asli bahasa Gayo. Demikian juga untuk pemakaian istilah dalam kata-kata lain seperti kata 'duduk' dan 'teman' misalnya. Sekarang anak muda di Takengen saya lihat cenderung lebih suka menggunakan kata serapan dari bahasa melayu tersebut ketimbang kosa kata asli bahasa Gayo 'kunul' dan 'pong'.
Kejanggalan lain yang saya rasakan ketika berada di Takengen adalah ketika saya menyaksikan pergaulan antara muda-mudi di kota ini. Saya amati kalau sekarang pergaulan antar jenis anak-anak muda Takengen sudah jauh lebih bebas dan terbuka dibandingkan pergaulan muda-mudi pada saat saya masih seumuran mereka dulu. Perbedaan itu tampak sangat mencolok ketika saya memperhatikan perilaku dan penampilan gadis-gadis muda kota Takengen. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan penampilan dan perilaku umum gadis-gadis muda di masa saya masih ABG dulu.
Ada dua perbedaan mencolok yang saya lihat; pertama dibandingkan dengan gadis-gadis muda pada masa saya, gadis-gadis muda Takengen sekarang terlihat jauh lebih tidak malu-malu menunjukkan kemesraan terhadap pasangan ABG mereka di depan umum, perilaku mereka sekilas sangat mirip seperti perilaku ABG-ABG dalam Sinetron yang diputar di berbagai saluran TV swasta. Perbedaan kedua, yang sangat jelas terlihat ada pada penampilan fisik. Tidak seperti gadis-gadis muda di masa saya ABG dulu yang rata-rata keindahan rambutnya bisa bebas kita nikmati, sekarang kepala gadis-gadis muda kota Takengen yang enerjik itu semuanya ditutupi jilbab atau kerudung.
Begitulah kesan awal kunjungan saya sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di Takengen dan sekaligus penutur asli bahasa Gayo terhadap kota terbesar di tanah Gayo ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Tidak banyak yang berubah dari Kota ini, kecuali jalan dua jalur dari Paya Tumpi menuju pusat kota ditambah dengan lampu lalu lintas di simpang empat dan simpang Polres. Selebihnya pusat Kota Takengen, secara fisik bisa dikatakan masih persis sama seperti saat saya masih SD dulu.
Di sekitar pasar pagi saya lihat rumah-rumahnya tetap rumah papan dua tingkat berbentuk ruko sebagaimana yang pernah saya ingat saat saya pertama kali bisa mengingat. Sedikit perubahan baru terasa saat saya melintas daerah sekitar pasar Inpres. Ada banyak bangunan ruko yang baru dibangun di sana ditambah dengan keberadaan sebuah restoran mahal berkelas nasional yang rasa makanannya sama sekali tidak jelas dan sama sekali tidak istimewa. Gurami Goreng Asam manis di Restoran ini rasanya hambar sehingga butuh sedikit perjuangan dan sedikit kenangan terhadap bayi kurang Gizi di NTB sana untuk bisa menghabiskannya. Jika rasa Gurami Asam manis di restoran ini saya bandingkan dengan rasa gulai bandeng di warung Yusra Baru di Simpang Lima. Perbandingannya seperti rasa gula jawa berbading rasa coklat bulat Home Made bersertifikat buatan Swiss yang berlapis lima dengan tiap lapis masing-masing memiliki variasi rasa yang berbeda.
Yang lain jika bisa dikatakan sebagai perubahan adalah penampilan mesjid raya Ruhama yang sekarang jadi terlihat aneh dengan kubah-kubah baru berwarna emas yang bukannya membuat mesjid ini tampak lebih indah justru sebaliknya membuatnya jadi terlihat norak dan 'nggak matching' dengan lingkungan sekitarnya.
Selain perubahan negatif pada penampilan Mesjid Ruhama, saya juga melihat sebuah perubahan lain pada wajah kota ini yang sangat saya sesalkan. Perubahan ini sangat saya sesalkan karena tidak seperti perubahan penampilan mesjid Ruhama yang suatu saat bisa saja diubah kembali jika Takengen beruntung dipimpin oleh Bupati yang punya cita rasa seni, perubahan yang satu ini adalah cacat permanen terhadap wajah cantik kota Takengen. Cacat permanen yang dibuat sendiri dengan sengaja dan berbiaya mahal pula.
Dulu Kota Takengen dikenal sebagai kota dataran tinggi yang indah, kota yang dikelingi gunung-gunung yang ditumbuhi hutan pinus alami yang keindahannya menyatu dengan lansekap kota ini. Salah satu di antara gunung-gunung yang menyatu membentuk kecantikan alami kota Takengen itu adalah Bur ni Pereben yang terletak tepat di belakang rumah saya. Gunung ini dulu pernah ditanami pohon pinus yang membentuk aksara yang akan terbaca sebagai kata GAYO. Tapi sayangnya pohon pinus yang membentuk kata GAYO itu tidak pernah besar karena selalu terbakar di musim kemarau.
Sekarang Bur ni Pereben, gunung yang merupakan salah satu latar belakang dan ciri utama kota Takengen ini terlihat jelek sekali. Bur ni Pereben terlihat jelek karena di gunung ini Pemerintah Aceh Tengah membangun jalan yang sama sekali tidak jelas peruntukannya. Jalan itu dibangun tepat di bagian tengah antara kaki dan puncak gunung ini, tepat menghadap Kota Takengen melintang dari Bale sampai ke ujung desa Dedalu. Jalan yang dibangun entah untuk manfaat apa ini membuat penampilan gunung cantik ini tampak cacat sehingga merusak seluruh aspek keindahan kota Takengen. Akibat dari cacat yang sengaja dibuat pada 'wajah' Bur ni Pereben ini, kota Takengon yang cantik sekarang terlihat seperti Luna Maya dengan codet besar melintang di pipi.
Di gunung lain yang letaknya tepat di seberang gunung ber'codet' ini. Di sisi lain danau Laut Tawar di daerah Kebayakan sekitar Mendale, tampak bendera merah putih ukuran besar yang sepertinya dibuat dari beton. Bendera ini dibuat dengan sangat baik dan dapat dilihat dari seluruh bagian Kota Tekengen.
Meskipun ada beberapa perubahan negatif pada fisik kota ini tapi perubahan-perubahan itu tidak cukup signifikan untuk sampai membuat saya merasa merasa asing sebagaimana yang terjadi pada saya ketika saya tiba di Banda Aceh, kota yang membesarkan saya menjadi manusia dewasa. Apa yang saya rasakan di Takengen terbalik dengan apa yang saya rasakan di Banda Aceh.
Di Banda Aceh saya merasa asing dengan tampilan baru kotanya tapi tidak dengan orang-orangnya. Saya tidak merasa asing karena ketika saya mulai berbicara dengan orang-orang Banda Aceh, saya langsung dapat merasakan semangat yang sama seperti yang saya rasakan dulu ketika saya masih menjadi penduduk resmi kota ini. Meskipun secara materi apa yang diomongkan sudah berbeda dengan beberapa tahun yang lalu tapi saya dapat melebur dengan orang-orang Banda Aceh langsung pada saat itu juga, meskipun orang yang saya ajak mengobrol itu belum pernah saya kenal sebelumnya.
Berkebalikan dengan Takengen, saya merasa sangat familiar dengan tampilan fisik kotanya tapi langsung merasa asing ketika saya mulai berbicara dengan penduduk kota kelahiran saya ini. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo dengan mereka, terutama dengan kalangan mudanya. Saya langsung merasakan ada perubahan yang asing dalam cara, nada bicara dan istilah-istilah yang mereka gunakan.
Saya yang terlahir dengan bahasa ibu 'Gayo' tentu saja sangat fasih berbahasa Gayo karena bahasa inilah bahasa yang pertama kali saya kenal dalam hidup saya. Tapi selama kurun waktu 10 tahun belakangan ini bahasa Gayo yang saya gunakan sama sekali tidak mengalami perkembangan, karena dalam kurun waktu itu bisa dikatakan saya terisolasi penuh dari komunitas utama penutur bahasa Gayo. Ketika sekarang, saya penutur asli bahasa Gayo yang mengenal bahasa Gayo versi lama tiba-tiba masuk kembali ke dalam komunitas utama penutur bahasa Gayo di Kota Takengen ini. Secara ajaib tiba-tiba saya merasa sedikit asing dengan bahasa ibu saya ketika bahasa itu dituturkan oleh orang Gayo lain yang menetap di tempat asli bahasa ini berkembang.
Saat berbicara dengan orang-orang Takengen saya menemukan banyak kata-kata janggal serapan dari bahasa Melayu versi Indonesia dalam kosa kata bahasa Gayo mereka, kosa kata yang dulu sama sekali tidak pernah saya kenal.
Kosa kata baru itu misalnya kata 'kayak e' yang merupakan terjemahan dari bahasa Indonesia 'sepertinya'. Dulu saat saya masih berada dalam komunitas ini, saya dan orang orang Gayo lainnya menggunakan kata 'nampak e' untuk terjemahan kata ini. Sebagaimana halnya ketika saya masih sering pulang ke Takengen dulu, sampai sekarangpun saya masih tetap menggunakan istilah 'nampak e' ketika konteks ini saya gunakan saat saya berbicara dalam bahasa Gayo dan semua orang gayo yang saya kenal juga menggunakan kata itu. Tapi sekarang, pilihan kata yang saya gunakan ini terdengar janggal di telinga orang Gayo yang tinggal di Takengen. Sayapun juga demikian, saya merasa janggal dengan kata baru yang mereka gunakan, yaitu 'kayak e' yang merupakan peng'gayo'an dari kata bahasa Melayu versi Indonesia 'Kayaknya'.
Masih banyak kosa kata baru lainnya yang sekarang umum mereka gunakan tapi dulu tidak pernah saya kenal. Kata-kata itu misalnya untuk mengatakan besarnya, sekarang beberapa orang Gayo yang saya temui mengatakan 'besar e', bukan lagi 'kul e' yang merupakan kosa kata asli bahasa Gayo. Demikian juga untuk pemakaian istilah dalam kata-kata lain seperti kata 'duduk' dan 'teman' misalnya. Sekarang anak muda di Takengen saya lihat cenderung lebih suka menggunakan kata serapan dari bahasa melayu tersebut ketimbang kosa kata asli bahasa Gayo 'kunul' dan 'pong'.
Kejanggalan lain yang saya rasakan ketika berada di Takengen adalah ketika saya menyaksikan pergaulan antara muda-mudi di kota ini. Saya amati kalau sekarang pergaulan antar jenis anak-anak muda Takengen sudah jauh lebih bebas dan terbuka dibandingkan pergaulan muda-mudi pada saat saya masih seumuran mereka dulu. Perbedaan itu tampak sangat mencolok ketika saya memperhatikan perilaku dan penampilan gadis-gadis muda kota Takengen. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan penampilan dan perilaku umum gadis-gadis muda di masa saya masih ABG dulu.
Ada dua perbedaan mencolok yang saya lihat; pertama dibandingkan dengan gadis-gadis muda pada masa saya, gadis-gadis muda Takengen sekarang terlihat jauh lebih tidak malu-malu menunjukkan kemesraan terhadap pasangan ABG mereka di depan umum, perilaku mereka sekilas sangat mirip seperti perilaku ABG-ABG dalam Sinetron yang diputar di berbagai saluran TV swasta. Perbedaan kedua, yang sangat jelas terlihat ada pada penampilan fisik. Tidak seperti gadis-gadis muda di masa saya ABG dulu yang rata-rata keindahan rambutnya bisa bebas kita nikmati, sekarang kepala gadis-gadis muda kota Takengen yang enerjik itu semuanya ditutupi jilbab atau kerudung.
Begitulah kesan awal kunjungan saya sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di Takengen dan sekaligus penutur asli bahasa Gayo terhadap kota terbesar di tanah Gayo ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Selasa, 25 November 2008
Represi Kultural, Minorities Within Minorities dan Isu ALA
Tanggal 19 November yang lalu, bertempat di Hotel Hermes Palace, saya mengikuti konferensi internasional yang diprakakarsai oleh Interpeace dan ASEM networks. Konferensi yang diberi tema “Locals, “Outsiders” and Conflict ini salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi baru dan analisa yang solid tentang bagaimana komunitas lokal dan komunitas pendatang mempengaruhi dinamika perdamaian dan konflik.
Berbeda dengan diskusi di acara peluncuran buku yang saya hadiri dua hari sebelumnya, dalam konferensi yang dihadiri oleh banyak ahli dari berbagai negara dengan membawa informasi dan pengalaman masing-masing dalam memetakan dan menangani konflik ini saya menemukan banyak informasi baru yang dapat digunakan untuk memetakan dan menemukan solusi yang tepat untuk menangani situasi perpolitikan Aceh saat ini.
Khusus untuk memahami permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya berkaitan dengan isu ALA. Saya merasa sangat tertarik pada makalah dari dua pembicara dalam konferensi ini. Pertama makalah dari pembicara asal Aceh, Dr.Humam Hamid yang dan yang kedua adalah makalah dari pembicara asal Barcelona, Dr.Jordi Urgell.
Dalam makalahnya dia beri judul ‘Dynamics of Ethnic Relationships in Aceh’ Dr.Humam mengatakan bahwa berkembangnya isu diskriminasi etnis di Aceh belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dan masyarakat Aceh pesisir yang merupakan etnis dominan di provinsi ini yang kurang menghormati budaya etnis minoritas yang juga merupakan penduduk asli provinsi Aceh.
Makalah Dr.Humam ini menarik bagi saya karena ide-ide yang ditulis Dr.Humam dalam makalahnya banyak yang sejalan dengan pandangan saya selama ini. Misalnya dalam berbagai tulisan yang saya post di blog saya www.winwannur.blogspot.com dan www.gayocare.blogspot.com, saya selalu membedakan antara Aceh sebagai sebuah wilayah dan Aceh sebagai sebuah etnis. Aceh sebagai etnis adalah Orang Aceh yang tinggal di pesisir, sedangkan Aceh sebagai sebuah wilayah adalah Aceh yang dihuni oleh 9 macam etnis penduduk asli.
Seperti yang sering saya nyatakan dalam berbagai tulisan saya. Dalam makalahnya Dr.Humam juga menjelaskan hal yang sama. Sayangnya menurut Dr.Humam kenyataan ini tidak disadari atau pura-pura tidak disadari oleh etnis Aceh dan juga pemerintah Aceh yang didominasi oleh orang Aceh yang berasal dari etnis Aceh.
Dalam kultur yang plural seperti di Aceh ini idealnya etnis-etnis minoritas yang juga merupakan penghuni asli wilayah Aceh diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri baik secara politik, ekonomi maupun budaya.
Saya sangat setuju dengan pandangan Dr.Humam karena kenyataannya dominasi suku Aceh dalam setiap aspek kehidupan di provinsi ini memang sangat terasa. Bahkan dalam hal berkesenianpun. Ketika orang Aceh memperkenalkan kesenian Aceh ke dunia luar, baik dalam maupun luar negeri. Yang selalu ditonjolkan adalah kesenian Aceh pesisir. Seolah-olah semua kesenian yang ada di Aceh ini hanyalah kesenian milik Aceh pesisir. Padahal kesenian etnis lain juga banyak yang tidak kalah menariknya. Misalnya dalam seni tari selain Seudati yang merupakan tari klasik Aceh pesisir dan berbagai tarian Aceh pesisir kreasi baru lainnya. Sebenarnya di Aceh ada banyak tarian klasik dari suku lain misalnya Saman Gayo, Tari Bines dan Tari Guel yang berasal dari Gayo. Saya yakin ada banyak tarian asli Aceh lain milik suku Tamiang, Singkil, Kluet, Aneuk Jamee dan lain-lain, tapi semua jarang sekali ditampilkan sehingga orang luar hanya mengenal kesenian Aceh hanyalah kesenian Aceh pesisir.
Orang Gayo yang merupakan etnis terbesar kedua di provinsi ini setelah ertnis Aceh seringkali merasa mereka direpresi oleh suku Aceh secara kultural. Banyak orang Gayo yang merasa eksistensi kultural mereka diabaikan oleh orang Aceh. Tapi di sisi lain orang Gayo melihat beberapa karya budaya mereka dibajak dan diakui sebagai karya budaya milik suku Aceh. Misalnya banyak seni tari Aceh kreasi baru sebenarnya adalah tarian modifikasi dari tarian klasik milik suku Gayo terutama tari Saman Gayo. Tapi oleh seniman yang menciptakannya tarian hasil modifikasi itu dinamai dengan berbagai nama khas Aceh pesisir tanpa sedikitpun menjelaskan bahwa tarian itu adalah hasil adaptasi dari tari Gayo klasik yang bernama tari Saman. Karena tidak ada penjelasan, para penonton yang menikmati tarian itu merasa seolah-olah bahwa tarian yang mereka saksikan dengan penuh kekaguman itu adalah tarian klasik Aceh pesisir. Ini sangat menyakitkan bagi orang Gayo.
Hal yang sama juga terjadi dengan karya seni bordir khas orang Gayo yang disebut Kerawang Gayo. Karya seni Kerawang Gayo ini adalah karya cipta kebanggaan orang Gayo. Motif-motif bordirannya yang khas dapat kita lihat dalam sertiap pakaian adat orang Gayo. Tapi ketika belakangan orang-orang Aceh pesisir mulai mempelajari teknik pembuatan kerawang dan mulai memproduksi kerajinan kerawang. Merekapun mulai memperkenalkannya karya seni ini sebagai Kerawang Aceh. Sama seperti dalam hal tarian dalam hal inipun orang Gayo yang minoritas merasa dirampok.
Kebetulan dalam konferensi ini panitia menghadirkan pertunjukan tarian Aceh sebagai selingan saat jeda menjelang coffee break pertama. Salah satu tari yang ditampilkan adalah tarian Aceh kreasi baru yang banyak menampilkan gerakan-gerakan Saman Gayo dalam koreografinya. Dalam sesi tanya jawab dan diskusi, saat saya menanggapi pemaparan makalah Dr. Humam. Tarian yang ditampilkan ini langsung saya angkat sebagai salah satu contoh kurangnya penghormatan terhadap budaya minoritas.
Dalam forum yang dihadiri oleh peserta dari berbagai negara ini saya katakan bahwa tarian itu adalah salah satu bentuk pembajakan terhadap karya seni milik suku minoritas oleh suku mayoritas. Ketika menyebut kata pembajakan dalam forum ini saya menggunakan kata ‘hijack’ bukan ‘piracy’. Kata ini saya pilih karena saya menganggap kata ‘hijack’ lebih tepat untuk menggambarkan kasarnya aktivitas pembajakan kultural yang dilakukan oleh suku Aceh terhadap karya seni orang Gayo ini.
Pernyataan saya itu sepenuhnya diamini oleh Dr.Humam. Beliau sama sekali tidak menampik apa yang saya paparkan, malah beliau menambahkan kalau selama ini memang banyak hambatan kultural dan dominasi etnis Aceh pesisir yang membuat etnis-etnis minoritas di provinsi ini merasa asing di tanah mereka sendiri.
Setelah hal itu saya ungkapkan di forum ini, banyak peserta konferensi dari luar negeri yang mendekati saya untuk menanyakan lebih jauh tentang tari Saman Gayo yang gerakan-gerakannya dibajak oleh tari Aceh yang kami saksikan tadi dan dengan senang hati saya jelaskan. Sayangnya tidak semua konferensi internasional tentang Aceh atau pertunjukan seni Aceh dihadiri oleh orang Gayo.
Perasaan-perasan negatif yang dirasakan oleh etnis minoritas seperti ini, jika terus dibiarkan terjadi di provinsi yang pernah lama berada dalam situasi konflik ini tidak bisa tidak, pasti akan menghadirkan konflik baru antara mayoritas dengan minoritas. Bibit-bibit konflik ini sudah mulai disemai dengan cara mengeksploitir isu dominasi suku Aceh atas suku Gayo oleh orang-orang yang menamakan dirinya pejuang ALA.
Sebenarnya situasi seperti yang kita alami di Aceh sekarang ini adalah situasi yang jamak terjadi di wilayah dunia manapun yang pernah mengalami konflik vertikal.
Dr.Jordi Urgell dari School for a Culture of Peace, Autonomous University of Barcelona yang juga menjadi pembicara dalam konferensi yang saya hadiri ini. Dalam makalahnya yang dia beri judul ‘Minorities Within Minorities in South East Asia’, mengatakan bahwa dalam banyak konflik antara pusat yang mayoritas dengan daerah yang merupakan minoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak dari konflik itu terjadi disebabkan oleh cara pemerintah sebuah negara yang memperlakukan kelompok minoritas dengan cara pikir dan pola perlakuan ala kelompok mayoritas di negara tersebut.
Tapi ketika konflik terselesaikan dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas secara nasional. Hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal (minorities within minorities). Konflik sering terjadi karena kelompok yang merupakan minoritas secara nasional yang kini menjadi mayoritas secara lokal melalui kekuasaan yang lebih besar yang baru mereka dapatkan memperlakukan minorities within minorities ini seperti mereka dulu diperlakukan oleh kelompok mayoritas nasional sehingga minorities within minorities merasa terancam eksistensinya.
Perlakuan ini misalnya bisa dilihat dari sikap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di depan publik yang sering tidak menunjukkan rasa hormat kepada suku-suku Aceh minoritas. Sikap itu mereka tunjukkan dengan perilaku berbahasa mereka yang hanya mau berbahasa Aceh kepada orang Aceh mana saja yang menjadi lawan bicara mereka, tidak peduli asal-usul sukunya.
Situasi seperti ini seringkali membuat minorities within minorities merasa lebih terjamin eksistensinya ketika kelompok yang minoritas secara nasional ini masih dalam posisi minoritas.
Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan dari bingkai ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Berbeda dengan diskusi di acara peluncuran buku yang saya hadiri dua hari sebelumnya, dalam konferensi yang dihadiri oleh banyak ahli dari berbagai negara dengan membawa informasi dan pengalaman masing-masing dalam memetakan dan menangani konflik ini saya menemukan banyak informasi baru yang dapat digunakan untuk memetakan dan menemukan solusi yang tepat untuk menangani situasi perpolitikan Aceh saat ini.
Khusus untuk memahami permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya berkaitan dengan isu ALA. Saya merasa sangat tertarik pada makalah dari dua pembicara dalam konferensi ini. Pertama makalah dari pembicara asal Aceh, Dr.Humam Hamid yang dan yang kedua adalah makalah dari pembicara asal Barcelona, Dr.Jordi Urgell.
Dalam makalahnya dia beri judul ‘Dynamics of Ethnic Relationships in Aceh’ Dr.Humam mengatakan bahwa berkembangnya isu diskriminasi etnis di Aceh belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dan masyarakat Aceh pesisir yang merupakan etnis dominan di provinsi ini yang kurang menghormati budaya etnis minoritas yang juga merupakan penduduk asli provinsi Aceh.
Makalah Dr.Humam ini menarik bagi saya karena ide-ide yang ditulis Dr.Humam dalam makalahnya banyak yang sejalan dengan pandangan saya selama ini. Misalnya dalam berbagai tulisan yang saya post di blog saya www.winwannur.blogspot.com dan www.gayocare.blogspot.com, saya selalu membedakan antara Aceh sebagai sebuah wilayah dan Aceh sebagai sebuah etnis. Aceh sebagai etnis adalah Orang Aceh yang tinggal di pesisir, sedangkan Aceh sebagai sebuah wilayah adalah Aceh yang dihuni oleh 9 macam etnis penduduk asli.
Seperti yang sering saya nyatakan dalam berbagai tulisan saya. Dalam makalahnya Dr.Humam juga menjelaskan hal yang sama. Sayangnya menurut Dr.Humam kenyataan ini tidak disadari atau pura-pura tidak disadari oleh etnis Aceh dan juga pemerintah Aceh yang didominasi oleh orang Aceh yang berasal dari etnis Aceh.
Dalam kultur yang plural seperti di Aceh ini idealnya etnis-etnis minoritas yang juga merupakan penghuni asli wilayah Aceh diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri baik secara politik, ekonomi maupun budaya.
Saya sangat setuju dengan pandangan Dr.Humam karena kenyataannya dominasi suku Aceh dalam setiap aspek kehidupan di provinsi ini memang sangat terasa. Bahkan dalam hal berkesenianpun. Ketika orang Aceh memperkenalkan kesenian Aceh ke dunia luar, baik dalam maupun luar negeri. Yang selalu ditonjolkan adalah kesenian Aceh pesisir. Seolah-olah semua kesenian yang ada di Aceh ini hanyalah kesenian milik Aceh pesisir. Padahal kesenian etnis lain juga banyak yang tidak kalah menariknya. Misalnya dalam seni tari selain Seudati yang merupakan tari klasik Aceh pesisir dan berbagai tarian Aceh pesisir kreasi baru lainnya. Sebenarnya di Aceh ada banyak tarian klasik dari suku lain misalnya Saman Gayo, Tari Bines dan Tari Guel yang berasal dari Gayo. Saya yakin ada banyak tarian asli Aceh lain milik suku Tamiang, Singkil, Kluet, Aneuk Jamee dan lain-lain, tapi semua jarang sekali ditampilkan sehingga orang luar hanya mengenal kesenian Aceh hanyalah kesenian Aceh pesisir.
Orang Gayo yang merupakan etnis terbesar kedua di provinsi ini setelah ertnis Aceh seringkali merasa mereka direpresi oleh suku Aceh secara kultural. Banyak orang Gayo yang merasa eksistensi kultural mereka diabaikan oleh orang Aceh. Tapi di sisi lain orang Gayo melihat beberapa karya budaya mereka dibajak dan diakui sebagai karya budaya milik suku Aceh. Misalnya banyak seni tari Aceh kreasi baru sebenarnya adalah tarian modifikasi dari tarian klasik milik suku Gayo terutama tari Saman Gayo. Tapi oleh seniman yang menciptakannya tarian hasil modifikasi itu dinamai dengan berbagai nama khas Aceh pesisir tanpa sedikitpun menjelaskan bahwa tarian itu adalah hasil adaptasi dari tari Gayo klasik yang bernama tari Saman. Karena tidak ada penjelasan, para penonton yang menikmati tarian itu merasa seolah-olah bahwa tarian yang mereka saksikan dengan penuh kekaguman itu adalah tarian klasik Aceh pesisir. Ini sangat menyakitkan bagi orang Gayo.
Hal yang sama juga terjadi dengan karya seni bordir khas orang Gayo yang disebut Kerawang Gayo. Karya seni Kerawang Gayo ini adalah karya cipta kebanggaan orang Gayo. Motif-motif bordirannya yang khas dapat kita lihat dalam sertiap pakaian adat orang Gayo. Tapi ketika belakangan orang-orang Aceh pesisir mulai mempelajari teknik pembuatan kerawang dan mulai memproduksi kerajinan kerawang. Merekapun mulai memperkenalkannya karya seni ini sebagai Kerawang Aceh. Sama seperti dalam hal tarian dalam hal inipun orang Gayo yang minoritas merasa dirampok.
Kebetulan dalam konferensi ini panitia menghadirkan pertunjukan tarian Aceh sebagai selingan saat jeda menjelang coffee break pertama. Salah satu tari yang ditampilkan adalah tarian Aceh kreasi baru yang banyak menampilkan gerakan-gerakan Saman Gayo dalam koreografinya. Dalam sesi tanya jawab dan diskusi, saat saya menanggapi pemaparan makalah Dr. Humam. Tarian yang ditampilkan ini langsung saya angkat sebagai salah satu contoh kurangnya penghormatan terhadap budaya minoritas.
Dalam forum yang dihadiri oleh peserta dari berbagai negara ini saya katakan bahwa tarian itu adalah salah satu bentuk pembajakan terhadap karya seni milik suku minoritas oleh suku mayoritas. Ketika menyebut kata pembajakan dalam forum ini saya menggunakan kata ‘hijack’ bukan ‘piracy’. Kata ini saya pilih karena saya menganggap kata ‘hijack’ lebih tepat untuk menggambarkan kasarnya aktivitas pembajakan kultural yang dilakukan oleh suku Aceh terhadap karya seni orang Gayo ini.
Pernyataan saya itu sepenuhnya diamini oleh Dr.Humam. Beliau sama sekali tidak menampik apa yang saya paparkan, malah beliau menambahkan kalau selama ini memang banyak hambatan kultural dan dominasi etnis Aceh pesisir yang membuat etnis-etnis minoritas di provinsi ini merasa asing di tanah mereka sendiri.
Setelah hal itu saya ungkapkan di forum ini, banyak peserta konferensi dari luar negeri yang mendekati saya untuk menanyakan lebih jauh tentang tari Saman Gayo yang gerakan-gerakannya dibajak oleh tari Aceh yang kami saksikan tadi dan dengan senang hati saya jelaskan. Sayangnya tidak semua konferensi internasional tentang Aceh atau pertunjukan seni Aceh dihadiri oleh orang Gayo.
Perasaan-perasan negatif yang dirasakan oleh etnis minoritas seperti ini, jika terus dibiarkan terjadi di provinsi yang pernah lama berada dalam situasi konflik ini tidak bisa tidak, pasti akan menghadirkan konflik baru antara mayoritas dengan minoritas. Bibit-bibit konflik ini sudah mulai disemai dengan cara mengeksploitir isu dominasi suku Aceh atas suku Gayo oleh orang-orang yang menamakan dirinya pejuang ALA.
Sebenarnya situasi seperti yang kita alami di Aceh sekarang ini adalah situasi yang jamak terjadi di wilayah dunia manapun yang pernah mengalami konflik vertikal.
Dr.Jordi Urgell dari School for a Culture of Peace, Autonomous University of Barcelona yang juga menjadi pembicara dalam konferensi yang saya hadiri ini. Dalam makalahnya yang dia beri judul ‘Minorities Within Minorities in South East Asia’, mengatakan bahwa dalam banyak konflik antara pusat yang mayoritas dengan daerah yang merupakan minoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak dari konflik itu terjadi disebabkan oleh cara pemerintah sebuah negara yang memperlakukan kelompok minoritas dengan cara pikir dan pola perlakuan ala kelompok mayoritas di negara tersebut.
Tapi ketika konflik terselesaikan dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas secara nasional. Hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal (minorities within minorities). Konflik sering terjadi karena kelompok yang merupakan minoritas secara nasional yang kini menjadi mayoritas secara lokal melalui kekuasaan yang lebih besar yang baru mereka dapatkan memperlakukan minorities within minorities ini seperti mereka dulu diperlakukan oleh kelompok mayoritas nasional sehingga minorities within minorities merasa terancam eksistensinya.
Perlakuan ini misalnya bisa dilihat dari sikap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di depan publik yang sering tidak menunjukkan rasa hormat kepada suku-suku Aceh minoritas. Sikap itu mereka tunjukkan dengan perilaku berbahasa mereka yang hanya mau berbahasa Aceh kepada orang Aceh mana saja yang menjadi lawan bicara mereka, tidak peduli asal-usul sukunya.
Situasi seperti ini seringkali membuat minorities within minorities merasa lebih terjamin eksistensinya ketika kelompok yang minoritas secara nasional ini masih dalam posisi minoritas.
Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan dari bingkai ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Abdi Dalem Keraton Jogja dan 'Borobudur Gayo'
Beberapa hari setelah kunjungan kami ke Borobudur, aku bersama klienku berkunjung ke Kraton Yogyakarta, dalam kunjungan ke keraton ini kami tidak bersama-sama dengan Pak Bekti. Di sini kami langsung ditemani oleh Guide resmi Keraton yang berpakaian batik warna merah. Guide inilah yang menjelaskan setiap detail bangunan, pernak-pernik dan adat dalam keraton.
Dalam lingkungan keraton yang luasnya 1 kilometer persegi ini terdapat banyak sekali bangunan-bangunan dengan berbagai fungsi.
Di setiap bangunan dan halaman yang sangat bersih dalam lingkungan keraton ini aku melihat banyak sekali pekerja yang ternyata adalah para abdi dalem keraton. Mereka berpakaian biru dengan blangkon dan sarung khas jawa. Mereka ada yang sekedar duduk khusuk seperti bersemedi, bersila langsung di atas pasir tanpa alas, ada yang menyapu halaman, membersihkan debu yang melekat di instrument musik dan perabotan milik keraton dan ada pula yang membaca buku-buku yang ditulis dalam huruf sanskerta dan bahasa jawa.
Pemandangan seperti ini jauh lebih menarik perhatianku daripada sekedar mendengarkan penjelasan guide tentang sejarah dan seluk-beluk keraton, bagiku Manusia adalah bagian paling menarik dari seluruh alam semesta.
Sebelumnya, aku sudah sering mendengar cerita tentang bagaimana taatnya para abdi dalem ini kepada sultan junjungan mereka. Tapi rasanya tentu berbeda kalau aku mendengarkan cerita itu langsung dari orangnya. Karena saat ini aku berada di keraton ini aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenallangsung manusia yang disebut Abdi Dalem ini. Aku ingin merasakan langsung emosi mereka merasakan sendiri bagaimana bentuk ketaatan mereka yang melegenda terhadap raja junjungan mereka.
Aku mendekati seorang Abdi Dalem yang sedang membersihkan debu di salah satu bangunan keraton, aku duduk di sampingnya dan mulai mengajaknya bercakap-cakap. Aku menanyakan nama dan bertanya bagaimana ceritanya dia bisa menjadi seorang Abdi dalem di keraton ini. Namanya Pak Muchlosid, dia mengaku telah menjadi Abdi dalem di keraton ini sejak beberapa tahun yang lalu.
Pak Muchlosid bercerita kalau sekarang di Keraton ini sekarang ada peraturan yang mensyaratkan bahwa yang boleh melamar untuk menjadi Abdi Dalem harus yang berumur di bawah 40 tahun. Mendengar ini aku merasa penasaran dan menanyakan jumlah gaji yang diterimanya. Ketika itu kutanyakan, Pak Muchlosid dengan bangga mengatakan kalau dia tidak digaji apa-apa. Dia bekerja sebagai Abdi Dalem murni karena Lillahi Ta'ala. Pekerjaan sebagai Abdi Dalem yang dia lakukan sejak pagi hingga sore ini adalah bentuk pengabdiannya yang tulus dan tanpa pamrih kepada Sultan junjungannya. Pak Muchlosid pun tampak begitu bangga akan pengambdiannya ini, karena menurutnya sebenarnya banyak sekali orang lain yang berminat menjadi Abdi Dalem tapi ditolak. Kata Pak Muchlosid, dalam keraton ini Abdi Dalemlah yang membutuhkan Keraton, bukan sebaliknya.
Ketika kutanyakan bagaimana caranya dia menghidupi keluarganya kalau seluruh waktu produktifnya dihabiskan dengan bekerja di Keraton ini, Pak Muchlosid menjawab kalau unytuk itu dia memelihara ayam yang dikelola oleh istrinya. Urusan ekonomi keluarga itu sama sekali bukan urusannya. Aku benar-benar takjub mendengar penuturan Pak Muchlosid ini, lebih takjub lagi ketika aku mendengar pengakuan yang sama keluar dari mulut Abdi Dalem lain yang kuajak bicara.
Sehabis dari keraton, kami berjalan-jalan di pasar burung. Pasar ini sangat bersih, sangat berbeda dengan Pajak Petisah di Medan atau Pasar Ampera dekat rumahku di Jakarta. Ketika aku bertanya mengenai hal ini kepada beberapa pedagang yang berjualan di sana, kenapa pasar ini bisa sedemikian bersihnya. Mereka mengatakan, itu karena mereka tidak ingin pasar terlihat kotor jika tiba-tiba Sultan datang berkunjung kesana.
Begitu dahsyatnya pengaruh Sultan dalam kehidupan Orang Jogja, begitu besarnya rasa taat dan rasa hormat mereka kepada raja junjungan mereka. Bahkan Islam, agama yang katanya sangat egaliter dan memandang setiap manusia dengan derajat yang samapun tidak mampu mengikis 'mentalitas borobudur' dari dalam diri orang Jogja. Dengan mentalitas seperti ini tidak heranlah kalau makna Demokrasi bagi orang Jogja yang merupakan salah satu pusat dunia intelektual di Indonesia ini adalah meminta Sultan untuk menjadi penguasa seumur hidup.
Sehabis dari pasar burung, kami kembali ke hotel. Sore harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan menumpang kereta api.
Saat berada dalam gerbong kereta yang membawaku menuju Surabaya. Aku merenungkan apa yang kurasakan dan kualami selama di Jogja. Membayangkan Borobudur yang megah, membayangkan Pak Muchlosid dan para Abdi Dalem lainnya yang memiliki kesetiaan tanpa batas terhadap rajanya.
Kemudian aku mencoba membayangkan apa jadinya jika ada orang yang berencana membangun Borobudur di Aceh. Sekuat apapun aku berusaha aku tidak berhasil membayangkannya. Aku teringat pada ucapan seorang antropolog Belanda bernama Snouck itu, Belanda yang paling dibenci di Aceh ini mengatakan. Orang Gayo adalah 'True Republican'. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hurgronje mengatakan berkebalikan dengan Jawa, Orang Gayo adalah orang-orang yang bebas dari rasa takut terhadap raja atau pemimpinnya. Tidak seperti orang Jawa yang selalu mengatakan 'Inggih' terhadap semua titah rajanya, Orang Gayo selalu berani dan tidak pernah merasa ada beban jika mengatakan hal-hal yang berbeda dengan pendapat pemimpinnya.
Masyarakat dengan karakter jenis ini sampai kapanpun tidak akan pernah mampu membangun karya seni seagung dan seindah Borobudur.
Aku merenung sebentar, lalu kuperhatikan wajah-wajah klien perancisku yang 3 hari belakangan ini terus bersamaku. Wajah-wajah dari orang-orang yang mematuhi apapun yang aku katakan dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan.
Kemudian aku mengingat kembali wajah-wajah mereka yang sangat antusias mendengarkan aku bercerita saat kami mengobrol di Meja makan, saat aku bercerita tentang hal-hal kecil. Tentang diriku, keluarga dan juga tentang putri kecilku yang sekarang tumbuh besar dalam kesadaran sebagai seorang warga dunia yang tidak mengenal batas-batas artifisial yang disebut negara.
Aku juga mengingat saat akupun mendengarkan cerita mereka tentang kampung dan keluarga mereka, tentang budaya minum anggur mereka, tentang keju Perancis yang jenisnya ratusan banyaknya. Seperti mereka yang penuh antusias mendengarkan ceritaku akupun mendengarkan cerita mereka dengan antusiasme yang sama. Saat itu aku dapat merasakan dengan jelas betapa indahnya hidup seperti ini, hidup dalam perasaan setara, tidak ada rasa lebih rendah atau perasaan lebih tinggi sebagai sesama manusia.
Mengingat itu tiba-tiba aku merasa bersyukur, aku sadar Gayo dengan karakter khasnya memang tidak akan pernah bisa membangun karya seni berbentuk fisik yang nyata dan bisa diraba seindah dan seagung Borobudur yang kini menjadi kekagumanku dan juga dunia. Sebuah artefak yang menjadi bukti tingginya peradaban masyarakat yang membangunnya dulu.
Tapi kepadaku dan semua orang Gayo generasi sekarang, muyang datuku berhasil mewariskan karya seni lain yang tidak kalah indah dan agungnya dibandingkan Borobudur. Bedanya karya seni warisan muyang datuku ini hanya dapat dirasakan tapi tidak dapat dilihat dan diraba secara fisik. Karya seni Gayo yang indah dan agung itu adalah mentalitas Gayo yang oleh Hurgronje digambarkan sebagai mentalitas 'TRUE REPUBLICAN' yaitu perasaan setara dalam relasi antar sesama manusia.
Karya seni warisan muyang datuku ini adalah karya seni yang sama seperti yang bisa kita temukan dalam keindahan setiap relief peradaban modern di berbagai belahan dunia.
Inilah 'Borobudur Gayo' warisan muyang datuku yang paling berharga yang akan kujaga baik-baik dan akan kuwariskan kepada gayo-gayo keturunanku.
Wassalam
Win Wan Nur
Dalam lingkungan keraton yang luasnya 1 kilometer persegi ini terdapat banyak sekali bangunan-bangunan dengan berbagai fungsi.
Di setiap bangunan dan halaman yang sangat bersih dalam lingkungan keraton ini aku melihat banyak sekali pekerja yang ternyata adalah para abdi dalem keraton. Mereka berpakaian biru dengan blangkon dan sarung khas jawa. Mereka ada yang sekedar duduk khusuk seperti bersemedi, bersila langsung di atas pasir tanpa alas, ada yang menyapu halaman, membersihkan debu yang melekat di instrument musik dan perabotan milik keraton dan ada pula yang membaca buku-buku yang ditulis dalam huruf sanskerta dan bahasa jawa.
Pemandangan seperti ini jauh lebih menarik perhatianku daripada sekedar mendengarkan penjelasan guide tentang sejarah dan seluk-beluk keraton, bagiku Manusia adalah bagian paling menarik dari seluruh alam semesta.
Sebelumnya, aku sudah sering mendengar cerita tentang bagaimana taatnya para abdi dalem ini kepada sultan junjungan mereka. Tapi rasanya tentu berbeda kalau aku mendengarkan cerita itu langsung dari orangnya. Karena saat ini aku berada di keraton ini aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenallangsung manusia yang disebut Abdi Dalem ini. Aku ingin merasakan langsung emosi mereka merasakan sendiri bagaimana bentuk ketaatan mereka yang melegenda terhadap raja junjungan mereka.
Aku mendekati seorang Abdi Dalem yang sedang membersihkan debu di salah satu bangunan keraton, aku duduk di sampingnya dan mulai mengajaknya bercakap-cakap. Aku menanyakan nama dan bertanya bagaimana ceritanya dia bisa menjadi seorang Abdi dalem di keraton ini. Namanya Pak Muchlosid, dia mengaku telah menjadi Abdi dalem di keraton ini sejak beberapa tahun yang lalu.
Pak Muchlosid bercerita kalau sekarang di Keraton ini sekarang ada peraturan yang mensyaratkan bahwa yang boleh melamar untuk menjadi Abdi Dalem harus yang berumur di bawah 40 tahun. Mendengar ini aku merasa penasaran dan menanyakan jumlah gaji yang diterimanya. Ketika itu kutanyakan, Pak Muchlosid dengan bangga mengatakan kalau dia tidak digaji apa-apa. Dia bekerja sebagai Abdi Dalem murni karena Lillahi Ta'ala. Pekerjaan sebagai Abdi Dalem yang dia lakukan sejak pagi hingga sore ini adalah bentuk pengabdiannya yang tulus dan tanpa pamrih kepada Sultan junjungannya. Pak Muchlosid pun tampak begitu bangga akan pengambdiannya ini, karena menurutnya sebenarnya banyak sekali orang lain yang berminat menjadi Abdi Dalem tapi ditolak. Kata Pak Muchlosid, dalam keraton ini Abdi Dalemlah yang membutuhkan Keraton, bukan sebaliknya.
Ketika kutanyakan bagaimana caranya dia menghidupi keluarganya kalau seluruh waktu produktifnya dihabiskan dengan bekerja di Keraton ini, Pak Muchlosid menjawab kalau unytuk itu dia memelihara ayam yang dikelola oleh istrinya. Urusan ekonomi keluarga itu sama sekali bukan urusannya. Aku benar-benar takjub mendengar penuturan Pak Muchlosid ini, lebih takjub lagi ketika aku mendengar pengakuan yang sama keluar dari mulut Abdi Dalem lain yang kuajak bicara.
Sehabis dari keraton, kami berjalan-jalan di pasar burung. Pasar ini sangat bersih, sangat berbeda dengan Pajak Petisah di Medan atau Pasar Ampera dekat rumahku di Jakarta. Ketika aku bertanya mengenai hal ini kepada beberapa pedagang yang berjualan di sana, kenapa pasar ini bisa sedemikian bersihnya. Mereka mengatakan, itu karena mereka tidak ingin pasar terlihat kotor jika tiba-tiba Sultan datang berkunjung kesana.
Begitu dahsyatnya pengaruh Sultan dalam kehidupan Orang Jogja, begitu besarnya rasa taat dan rasa hormat mereka kepada raja junjungan mereka. Bahkan Islam, agama yang katanya sangat egaliter dan memandang setiap manusia dengan derajat yang samapun tidak mampu mengikis 'mentalitas borobudur' dari dalam diri orang Jogja. Dengan mentalitas seperti ini tidak heranlah kalau makna Demokrasi bagi orang Jogja yang merupakan salah satu pusat dunia intelektual di Indonesia ini adalah meminta Sultan untuk menjadi penguasa seumur hidup.
Sehabis dari pasar burung, kami kembali ke hotel. Sore harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan menumpang kereta api.
Saat berada dalam gerbong kereta yang membawaku menuju Surabaya. Aku merenungkan apa yang kurasakan dan kualami selama di Jogja. Membayangkan Borobudur yang megah, membayangkan Pak Muchlosid dan para Abdi Dalem lainnya yang memiliki kesetiaan tanpa batas terhadap rajanya.
Kemudian aku mencoba membayangkan apa jadinya jika ada orang yang berencana membangun Borobudur di Aceh. Sekuat apapun aku berusaha aku tidak berhasil membayangkannya. Aku teringat pada ucapan seorang antropolog Belanda bernama Snouck itu, Belanda yang paling dibenci di Aceh ini mengatakan. Orang Gayo adalah 'True Republican'. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hurgronje mengatakan berkebalikan dengan Jawa, Orang Gayo adalah orang-orang yang bebas dari rasa takut terhadap raja atau pemimpinnya. Tidak seperti orang Jawa yang selalu mengatakan 'Inggih' terhadap semua titah rajanya, Orang Gayo selalu berani dan tidak pernah merasa ada beban jika mengatakan hal-hal yang berbeda dengan pendapat pemimpinnya.
Masyarakat dengan karakter jenis ini sampai kapanpun tidak akan pernah mampu membangun karya seni seagung dan seindah Borobudur.
Aku merenung sebentar, lalu kuperhatikan wajah-wajah klien perancisku yang 3 hari belakangan ini terus bersamaku. Wajah-wajah dari orang-orang yang mematuhi apapun yang aku katakan dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan.
Kemudian aku mengingat kembali wajah-wajah mereka yang sangat antusias mendengarkan aku bercerita saat kami mengobrol di Meja makan, saat aku bercerita tentang hal-hal kecil. Tentang diriku, keluarga dan juga tentang putri kecilku yang sekarang tumbuh besar dalam kesadaran sebagai seorang warga dunia yang tidak mengenal batas-batas artifisial yang disebut negara.
Aku juga mengingat saat akupun mendengarkan cerita mereka tentang kampung dan keluarga mereka, tentang budaya minum anggur mereka, tentang keju Perancis yang jenisnya ratusan banyaknya. Seperti mereka yang penuh antusias mendengarkan ceritaku akupun mendengarkan cerita mereka dengan antusiasme yang sama. Saat itu aku dapat merasakan dengan jelas betapa indahnya hidup seperti ini, hidup dalam perasaan setara, tidak ada rasa lebih rendah atau perasaan lebih tinggi sebagai sesama manusia.
Mengingat itu tiba-tiba aku merasa bersyukur, aku sadar Gayo dengan karakter khasnya memang tidak akan pernah bisa membangun karya seni berbentuk fisik yang nyata dan bisa diraba seindah dan seagung Borobudur yang kini menjadi kekagumanku dan juga dunia. Sebuah artefak yang menjadi bukti tingginya peradaban masyarakat yang membangunnya dulu.
Tapi kepadaku dan semua orang Gayo generasi sekarang, muyang datuku berhasil mewariskan karya seni lain yang tidak kalah indah dan agungnya dibandingkan Borobudur. Bedanya karya seni warisan muyang datuku ini hanya dapat dirasakan tapi tidak dapat dilihat dan diraba secara fisik. Karya seni Gayo yang indah dan agung itu adalah mentalitas Gayo yang oleh Hurgronje digambarkan sebagai mentalitas 'TRUE REPUBLICAN' yaitu perasaan setara dalam relasi antar sesama manusia.
Karya seni warisan muyang datuku ini adalah karya seni yang sama seperti yang bisa kita temukan dalam keindahan setiap relief peradaban modern di berbagai belahan dunia.
Inilah 'Borobudur Gayo' warisan muyang datuku yang paling berharga yang akan kujaga baik-baik dan akan kuwariskan kepada gayo-gayo keturunanku.
Wassalam
Win Wan Nur
Langganan:
Postingan (Atom)