Minggu, 16 November 2008

Borobudur Dalam Pandangan Orang Aceh

Ketika aku masih duduk di bangku sekolah, Borobudur bagiku hanyalah nama sebuah situs yang harus dihapalkan dalam pelajaran IPS. Saat itu Borobudur bagiku sama seperti Piramid atau Patung Liberty, sama-sama sebuah situs terkenal yang ada diawang-awang yang tidak mengikatku dengan hubungan emosional apapun. Meskipun setiap guruku IPS ku mengatakan Borobudur ini adalah kebanggaan Indonesia dan disebut-sebut oleh sebagai bukti tingginya peradaban bangsa ini di masa lalu. Tapi realitas kesadaranku pada saat itu belum sampai mampu merasakan realitas Borobudur itu sebagai sesuatu yang nyata.

Sejak kecil aku sangat menggemari buku-buku yang bercerita tentang petualangan atau perjalanan ke berbagai daerah dan mengenal latar belakang dan masyarakat yang ada di daerah itu. Saat membaca buku-buku itu aku sering seperti merasakan sendiri antusiasme penulisnya ketika berada di tempat-tempat yang dia ceritakan dalam bukunya. Apalagi ketika SMA aku mulai berkenalan dengan majalah HAI dengan serial balada si Roy nya. Serial di HAI yang kemudian juga dibukukan inilah yang paling bertanggung jawab terhadap pilihan hidup yang kuambil di kemudian hari. Cerita bikinan Gola Gong ini membuatku benar-benar terobsesi untuk menjelajahi berbagai tempat di negeri ini. Hanya saja saat SMA untuk melakukan petualangan seperti itu aku tidak pernah memiliki kesempatan dan dana.

Kesempatan dan dana baru aku dapatkan ketika aku mulai kuliah, atmosfer perkuliahan yang berbeda dengan SMA membuatku bisa menyisihkan uang kiriman orang tua. Saat aku masuk ke fakultas Teknik Unsyiah tahun 1992, waktunya bertepatan dengan Lustrum VI fakultas Teknik Unsyiah. Sepanjang tahun itu banyak sekali kegiatan di fakultas kami. Kegiatan-kegiatan dalam rangka Lustrum VI fakultas Teknik Unsyiah ini memberiku kesempatan untuk mengunjungi berbagai daerah di Aceh, entah itu untuk mengedarkan prosposal ke berbagai instansi dan alumni di daerah atau untuk melakukan survey lapangan di kabupaten tempat kami akan menyelenggarakan kegiatan dengan biaya yang disediakan oleh panitia Lustrum. Dalam masa-masa itu, jika tidak sedang ditugaskan ke daerah-daerah, setiap hari aku nongkrong di kantor senat. Saat itu ketua senat dijabat oleh Bang Onny Vhonna, anak teknik mesin angkatan 1988 yang menamatkan SMA di Jakarta.

Bang Onny ini banyak sekali akalnya, ada saja akalnya untuk mendapatkan uang bagi kesejahteraan anggotanya. Mulai dari meminta dana dari fakultas sampai mengirim proposal ke berbagai instansi di Jakarta. Seringkali proposal itu sebenarnya tidak disetujui oleh pengambil kebijakan di Universitas tapi Bang, Onny tidak pernah kehilangan akal. Pernah untuk kegiatan Lustrum Unsyiah hanya memberi kami izin untuk mengedarkan lima buah Proposal ke beberapa instansi yang disetujui oleh PR III. Tapi karena PR III yang menandatangani proposal itu meminta agar sebelum diedarkan proposal itu terlebih dahulu distempel di bagian tata usaha. Bang Onny melihat peluang, Lembaran proposal itu dia copy menjadi puluhan lembar dengan fotocopy tanda tangan PR III. Lalu dengan sedikit'olah vokal' bang Onny berhasil memperdayai petugas bagian tata usaha untuk meminjamkan stempelnya. jadilah proposal yang beredar yang seharusnya cuma lima menjadi berpuluh-puluh. Kami mendapatkan banyak dana dari situ, karenan banyaknya dana yang di dapat itu. Di kantor senat fakultas teknik selalu tersedia makanan untuk para panitia setiap jadwal makan siang tiba. Jadi aku hampir tidak pernah mengeluarkan uang pribadi untuk membeli makanan sehingga banyak sekali uang kiriman orang tua yang bisa kuhemat.

Uang yang berhasil kuhemat pada masa inilah yang belakangan kugunakan buat merealisasikan obsesi jalan-jalanku. Pada masa-masa awal aku jadi backpacker, tempat yang kukunjungi adalah tempat-tempat yang tidak terlalu jauh dari Banda Aceh, mulai dari Sabang, lalu ke Medan dan sekitarnya seperti Bukit lawang, berastagi, Sipiso-piso sampai ke Prapat.

pada tahun kedua aku kuliah di teknik, aku bergabung dengan UKM-PA Leuser Unsyiah. Sejak itu sebagai anggota UKM-PA Leuser Unsyiah aku banyak mengikuti kegiatan ekspedisi sehingga akupun jadi banyak mengunjungi tempat-tempat di pelosok Aceh terkait dengan aktivitasku di organisasi mahasiswa ini. Pada masa-masa itu pula aku beberapa kali pula dikirim oleh UKM-PA Leuser untuk menjadi peserta pelatihan konservasi di berbagai kota di Indonesia. Seperti juga teman-temanku di Leuser. Pelatihan yang konon merupakan proyek untuk menghabiskan dana dari departemen kehutanan ini adalah tambang uang bagiku yang hanya mendapatkan kiriman uang dari orang tua dalam jumlah pas-pasan. Uang transportasi yang diberikan untuk kami saat menghadiri kegiatan itu selalu jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan uang yang kami keluarkan untuk biaya transportasi saat berangkat ke tempat itu. Di Leuser, uang saku dan uang transportasi dari pelatihan konservasi itu ditambah dengan uang kiriman orang tua yang tidak terpakai selama kegiatan itu biasanya kami pakai untuk membeli berbagai peralatan mendaki gunung atau ditabung untuk jalan-jalan sewaktu liburan.

Meskipun aku selalu menyisihkan uang yang kudapat dari pelatihan konservasi semacam itu, tapi baru sekitar sepuluh tahun yang lalu aku mulai melakukan perjalanan ke luar Sumatera dan kemudian mengunjungi Borobudur untuk pertama kalinya.

Waktu itu seperti biasa saat sedang berjalan-jalan sebagai backpacker ke berbagai kota seperti ini, aku tidak pernah menghitung biaya penginapan dalam daftar pengeluaranku. Setiap kali aku tiba di suatu kota, aku selalu langsung mencari angkutan menuju ke sebuah Universitas yang ada di kota itu, mencari sekretariat Mapala yang selalu disambut dengan hangat dan penuh sukacita oleh anggota mapala di tempat yang kukunjungi itu dan segera pula langsung mendapat teman baru. Begitu pula yang terjadi waktu itu ketika aku tiba di Jogja aku langsung menuju UGM bertanya kepada mahasiswa yang kutemui dimana lokasi sekretariat Mapala UGM dan seperti biasa ketika akhirnya kutemukan teman-teman di sana menyambutku dengan penuh sukacita.

Setelah beberapa hari berada di Jogja teman-teman UGM mengajakku melakukan melakukan arung jeram di kali Elo di Magelang. Sehabis melakukan arung jeram itu mereka mengajakku ke Borobudur. Itulah pertama kalinya aku mengunjungi candi yang selama ini cuma kulihat foto atau gambarnya di televisi.

Saat aku pertama kali mengunjungi Borobudur, kesadaranku sudah mulai bisa menerima kalau candi ini adalah sesuatu yang nyata. Meskipun realitas Borobudur dalam pandanganku saat itu masih berupa realitas yang dangkal, seperti realitas yang ada di kepala seorang turis domestik saat mengunjungi sebuah situs wisata yang memandang sebuah situs wisata menurut cara pandang dengan mentalitas pola prestise khasnya. Yang memahami sebuah situs sebagai sebuah realitas yang terpisah dari dirinya sendiri, tidak menyatu.

Jadi seperti kebanyakan turis domestik lainnya akupun saat itu mengunjungi Borobudur untuk pertama kalinya itu. Aku datang bukan dengan niatan untuk menikmati atau merasakan atmosfernya, memahami kerumitan proses pembuatannya, mengenal latar belakang masyarakat yang membentuknya, sama sekali tidak. Hal yang paling utama yang ingin kulakukan saat berada di sana adalah berfoto dengan latar belakang situs terkenal itu lalu memamerkannya kepada teman dan sanak saudara. Karena aku sadar sepenuhnya dibandingkan banyak teman-temanku di Aceh yang menganggap bahkan berkunjung ke Medan saja sudah merupakan kemajuan luar biasa, aku sangat beruntung bisa berada di situs kebanggaan Indonesia yang terletak di pulau yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban di negara ini.

Belakangan setelah tempat-tempat yang kukunjungi semakin banyak dan menemukan begitu banyak hal menarik di baliknya, aku kadang merasa seharusnya waktu itu aku bisa mengenal Borobudur lebih dalam, tapi kemudian aku menyadari pula kalau saat itu belum lepas dari sindrom backpacker pemula. Tapi satu saat aku tahu pasti aku akan kembali lagi ke tempat ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: