Sejak Kosasih terus menyerang saya di berbagai milis soal Israel dan Palestina, ketika dia memaksa saya untuk membantu rakyat palestina dengan caranya, yaitu memohon kepada Tuhan dengan cara merintih-rintih dan berdo'a .
Saya jadi tertarik membaca kembali arsip tulisan-tulisan yang pernah dia post, lalu sayapun membaca tulisan-tulisannya yang lain ketika dia memaksakan cara pandangnya untuk memaknai masa depan dan kebahagiaan terhadap saya. Bukan hanya kepada saya, kepada siapapun yang menjadi lawan diskusinya Kosasih selalu memaksakan cara pandangnya. Entah itu ketika dia berbicara tentang baik, buruk, santun, perang bodoh, presiden RI adalah Ulil Amri dan lain sebagainya. Dan puncaknya adalah ketika bagaimana Kosasih memaksa saya untuk mengikuti standar kesantunan yang berlalu dalam LINGKUNGAN SUBYEKTIFNYA. Bagi Kosasih seluruh cara pandangnya itu, baik soal agama, bernegara, bahkan etika yang sangat Njawani itu hanyalah satu-satunya cara pandang yang benar untuk seluruh lebih dari 6 milyar manusia yang mendiami dunia yang luas ini.
Perilaku Kosasih ini mengingatkan saya pada pendapat filsuf Perancis Saussure yang mengatakan bahwa semua di dunia manusia itu hanya teks, hanya narasi, hanya signifier, hanya simbol, hanya ujaran.
Berdasarkan pendapat Saussure ini kita bisa melihat bahwa cara orang berbicara, cara orang berpakaian, cara orang makan, bahkan cara orang kencing dan berakpun, semua itu adalah TEKS dan NARASI yang ditulis oleh LINGKUNGAN SUBYEKTIF di dalam diri orang tersebut. Apapun juga di dunia manusia jelas hanya bangun-pemikiran (mind construct).
Semua orang sebenarnya hanya bisa berpikir dalam batas pengalamannya sendiri saja.
Dikaitkan dengan tulisan saya sebelumnya, perilaku kita sebagai orang islam yang merasa jijik terhadap makanan yang mengandung babi sebenarnya juga tidak lain adalah NARASI yang dibentuk oleh TEKS yang ditulis oleh LINGKUNGAN SUBYEKTIF kita sebagai orang islam.
Waktu kita merasa jijik terhadap daging babi, sebenarnya perasaan itu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman kita yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Awalnya kita memang menghindari babi karena diharamkan oleh agama. Tapi karena sejak kecil di lingkungan kita babi yang haram itu tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang bisa dimakan, malah bersentuhanpun tangan kita harus disamak. Tanpa sadar pikiran kitapun membentuk suatu kesadaran bahwa daging babi itu adalah sesuatu yang menjijikkan. Dalam perkembangannya kesadaran bahwa daging babi itu adalah sesuatu yang menjijikkan malah tumbuh lebih kuat dibandingkan kesadaran bahwa daging babi itu adalah sesuatu yang diharamkan agama.
Sehingga akibat dari kuatnya kesadaran bahwa daging babi itu adalah sesuatu yang menjijikkan, jika kita tanpa sengaja termakan daging babi atau sesuatu yang mengandung babi. Yang pertama kali muncul dalam diri kita bukanlah perasaan berdosa karena telah memakan sesuatu yang diharamkan agama, tapi tubuh kita yang langsung bereaksi dengan munculnya rasa mual dan memuntahkan apa yang baru saja kita makan.
Tapi yang perlu kita sadari adalah, rasa jijik kita terhadap daging babi bukanlah sesuatu yang universal.
Orang lain yang memiliki LINGKUNGAN SUBYEKTIF yang berbeda dengan kita, sama sekali memiliki pandangan yang berbeda terhadap daging babi. Orang lain itu sebut saja misalnya orang Cina non muslim dan orang Bali. Bagi orang Bali, daging babi adalah elemen penting dalam setiap pesta dan upacara keagamaan yang mereka lakukan.
Bagi orang Bali, terutama kaum Brahmananya, justru daging sapilah yang dianggap sesuatu yang tidak bisa dimakan. Meskipun alasannya bukan karena jijik seperti kita memandang daging babi. Sebaliknya bagi kaum Brahmana Bali, sapi itu adalah binatang suci. Jadi bagi mereka, rasa mual yang muncul karena makan daging sapi kurang lebih sama seperti rasa mual yang muncul karena makan daging manusia.
Saya sendiri pernah menyaksikan seorang teman saya yang bernama Ida Bagus, orang Bali berkasta Brahmana yang muntah-muntah seharian sehabis makan bakso sapi yang tadinya dia kira bakso ayam.
Jadi sebenarnya daging babi yang menjijikkan bagi kita orang Islam atau daging sapi yang suci bagi orang Hindu, semua itu hanyalah bangun-pemikiran (mind construct) yang terbentuk oleh pengalaman khas dalam LINGKUNGAN SUBYEKTIF kita masing-masing.
Pengalaman yang khas ini menggantung di belakang pikiran kita, terproyeksi keluar melalui sikap kita, cara pandang kita bahkan reaksi tubuh kita, sehingga seolah-olah situasi pengalaman kita yang khas itu sifatnya 'universal'. Kita seringkali tidak sadar bahwa sikap kita itu sebenarnya adalah sikap masyarakat kita yang sudah begitu dari dulu secara 'terberi'.
Ketika 'yang terberi' itu diabaikan, maka kita akan berasumsi bahwa yang terberi itu sifatnya universal. Mereka yang mengabaikan 'yang terberi' itu akan berpikir 'saya manusia dan dia juga manusia'..., maka 'kalau saya begini jelas dia juga begini' selanjutnya akan muncul kesimpulan, kalau INI BAIK buat saya, maka itu pun harus baik buat siapa saja'.
Ketika ada dua kelompok manusia yang punya kekuatan cukup berimbang yang sama-sama mengabaikan 'yang terberi' itu dan kedua kelompok ini berasumsi bahwa yang terberi itu sifatnya universal. Maka terjadilah apa yang diistilahkan oleh Samuel Huthington sebagai 'Clash of Civilization'.
Secara pribadi, saya pernah mengalami 'Clash of Civilization' ini dalam skala kecil. Terjadi di Thailand pada awal tahun 2000, saat saya masih berumur 25 Tahun.
Waktu itu saya berada di Thailand untuk mengikuti konferensi meja bundar perkopian se Asia-Pasifik. Acara itu dihadiri oleh para ahli kopi yang berasal dari berbagai negara Asia dan Pasifik, atau para ahli yang melakukan bisnis atau penelitian tentang kopi di negara-negara Asia-Pasifik. Acara ini diselenggarakan di Chiang Mai oleh F.A.O dan dibiayai oleh oleh 'Royal Project', sebuah yayasan milik Raja Thailand, Bhumipol Adulyadej.
Saya sendiri yang merupakan satu-satunya pembicara yang berumur di bawah 50 tahun, diundang oleh panitia acara tersebut karena mereka membaca sebuah artikel tentang Kopi Gayo yang saya tulis dimuat di majalah 'Tea and Coffee Asia'.
'Clash of Civilization' skala kecil yang saya alami itu terjadi ketika saya berada dalam mobil bersama beberapa peserta konferensi lainnya sedang dalam perjalanan menuju sebuah perkebunan kopi yang dikelola oleh 'Royal Project' di Chiang Rai.
Waktu itu saya duduk di bagian belakang mobil Toyota yang saya tidak tahu tipenya apa karena Toyota model itu tidak pernah saya lihat di Indonesia. Di samping saya duduk seorang Ph.D ahli kopi Catimor asal Belanda berinisial 'J' yang berumur 64 tahun dan telah tinggal di Thailand selama bertahun-tahun untuk melakukan penelitiannya.
Dalam perjalanan itu, seorang panitia yang ikut di dalam mobil yang kami tumpangi membagi-bagikan makanan ringan sejenis jajanan anak-anak semacam Taro. Ketika si panitia yang bernama Myao ini memberikan sebungkus makanan ringan itu kepada saya, tanpa meneliti lebih dahulu, saya langsung membuka bungkus makanan ringan tersebut, mengambil sejumput dan memasukkannya ke mulut saya, mengunyah dan menelannya, rasanya mirip-mirip seperti makanan sejenis itu yang ada di Indonesia.
Setelah saya menelan sejumput makanan ringan tersebut, saya baru teringat kalau saya sedang berada di Thailand, negara yang menempatkan babi sebagai hewan ternak utama, melebihi ayam. Ketika mengingat itu dengan agak panik"jangan-jangan ini ada babinya", pikir saya waktu itu, saya langsung melihat informasi di kemasannya. Tapi saya segera sadar kalau yang saya lakukan itu tidak ada gunanya karena informasi tersebut ditulis dengan huruf cacing ala Thai, dan dalam bahasa Thai pula yang sama sekali tidak saya mengerti baik bacaan apalagi artinya.
Tapi meskipun tidak mengerti wajah saya tiba-tiba menjadi pucat, ketika di bagian depan bungkusan itu saya melihat gambar babi dengan wajah tertawa.
Dengan wajah pucat saya bertanya pada Myao, si panitia yang membagikan makanan ringan tersebut. Apakah tanda gambar itu menunjukkan bahwa makanan yang baru saya makan itu mengandung babi. Dengan tenang Myao menjawab, snack yang baru saya makan itu memang rasa babi.
Mendengar jawaban Myao, tiba-tiba tanpa bisa ditahan perut saya langsung bergolak, saya meminta sopir menghentikan mobil, lalu keluar dan sayapun muntah sejadi-jadinya.
Myao yang melihat keadaan saya langsung meminta maaf sedalam-dalamnya. Wajahnya memperlihatkan raut penyesalannya yang dalam itu, dengan tergopoh-gopoh dia mengambil air minum untuk diberikan kepada saya. Pikirnya air yang dia berikan itu bisa menghilangkan bekas daging babi yang saya telan, sementara saya sendiri berpikir bagaimana caranya 'menyamak' mulut dan tenggorokan saya. Sambil berjongkok di samping saya Myao tidak henti-hentinya meminta maaf karena sebelum memberikan makanan itu kepada saya dia tidak terlebih dahulu mengeceknya.
Saya merasa sangat bersimpati atas sikap yang ditunjukkan Myao dan sayapun tidak menyalahkannya karena saya tahu, dia tentu tidak sempat terpikir memeriksa snack yang dia bagikan itu mengandung babi atau tidak. Saya sadar dalam mind contruct-nya, Myao sama sekali tidak membuat pemisahan antara makanan mengandung babi atau tidak. Dia tidak seperti saya yang merasa babi sebagai sesuatu yang menjijikkan. Dan meskipun tetap merasa bersalah, Myao merasa tenang karena saya tidak meyalahkannya.
Kalau Myao yang merasa menyesal karena memahami keadaan saya, tidak demikian halnya dengan 'J' , Ph.D asal Belanda yang duduk di samping saya. Awalnya sebenarnya diapun bersimpati dengan keadaaan saya. Dia bersimpati karena menduga saya muntah disebabkan rasa mual akibat jalan yang kami lewati yang penuh tikungan dan kelokan tajam.
Tapi rasa simpatinya langsung berubah menjadi sikap sinis ketika dia mengetahui masalah yang menyebabkan saya muntah adalah rasa jijik saya terhadap babi. Mengetahui itu, diapun langsung mengomel karena akibat mobil berhenti untuk memberikan kesempatan saya muntah tadi, kami terpaksa berhenti sekitar 15 menit, sementara mobil-mobil yang membawa peserta lain sudah jauh di depan kami.
Saya tidak tahu preferensi kepercayaan si 'J' ini apa, malah saya juga tidak peduli dia punya agama atau tidak. Tapi sepertinya dia memiliki rasa tidak suka secara pribadi terhadap islam dan cara pandang orang-orangnya. Sehingga ketika mengetahui saya muntah karena jijik akibat makanan yang mengandung babi. Dia langsung menumpahkan segala kekesalannya terhadap berbagai anjuran dan larangan dalam Islam yang menurutnya bodoh, tidak logis dan tidak ilmiah.
Soal daging babi misalnya, menurut 'J ' ini, informasi yang mengatakan bahwa daging babi itu tidak sehat, mengandung cacing pita dan segala macam keburukan daging itu yang sering disampaikan oleh umat Islam. Tidak lain hanyalah mitos saja. Soal cacing pita misalnya, kalau dimasak dengan benar, cacing itu akan mati sendiri. Sebaliknya menurut 'J' justru daging sapi yang lebih berbahaya, karena beresiko terkena anthrax.
Untuk memperkuat pendapatnya bahwa daging babi itu tidak sehat adalah mitos, si 'J' yang Ph.D ini mengatakan bahwa bukti statistik menunjukkan kalau orang yang memiliki angka harapan hidup paling tinggi di dunia adalah warga negara-negara pemakan babi. Menurut 'J', justru sebaliknya, negara-negara Islam yang warganya hanya makan makanan 'daging sehat' (diucapkan dengan nada sinis) alias non-babi yang tercatat sebagai negara-negara dengan angka harapan hidup yang rendah.
Mendengar penuturan si 'J' yang kesal karena merasa saya telah membuat perjalanannya terhambat ini, saya diam saja. Saya malas mendebatnya, karena mendengar caranya berargumen, saya langsung tahu kalau si 'J' yang Ph.D ini adalah jenis manusia berpikiran sempit alias 'dudul'. Meskipun saya tahu yang namanya ke'dudul'an alias berpikiran sempit tidak memandang usia, warna kulit ataupun tingkat pendidikan. Tapi dalam hati saya sempat merutuk juga, "ni bule, udah tua, sekolah tinggi-tinggi, tapi 'dudul' tetap dipelihara".
Sejak kejadian itu, sepanjang sisa perjalanan suasana dalam mobil itu tidak lagi terasa nyaman.
Malam harinya, kami kembali ke hotel dan makan malam di restoran hotel itu juga. Saat makan malam itu, saya datang sedikit lebih lambat ke restoran dibandingkan si 'J' Ph.D asal Belanda tadi. Saat saya datang, saya lihat dia sedang mengambil makanan yang dihidangkan ala prasmanan. Setelah mengambil makanannya, si 'J' ini mencari meja yang kosong, meletakkan piringnya di meja dan langsung duduk. Melihat itu, saya langsung mendekatinya dan duduk di meja yang sama dengannya. Saya minta maaf atas kejadian tadi siang dan diapun memaklumi.
Saat duduk di bangku di samping 'J' asal Belanda ini, saya melihat ada sosis berwarna merah dan dipotong kecil sebesar jari telunjuk. Bentuk sosis yang dipotong kecil itu mengingatkan saya pada bayi tikus yang masih merah dan belum ditumbuhi bulu.
Saat si 'J' akan menyuapkan makanannya, saya mengatakan apa yang saya bayangkan tentang sosis di piringnya. Mendengar itu, si 'J' mengurungkan suapannya dan dengan nada tidak senang dia mengatakan mengatakan "saya pikir ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan hal seperti itu". Ketika saya bertanya kenapa, dia katakan tidak sepantasnya kita membicarakan sesuatu yang menjijikkan di waktu makan. "Nah ini dia", saya pikir, saya akan memberi Ph.D dudul ini pelajaran.
Mendengar protesnya, saya langsung bilang, kalau perasaan jijik terhadap bayi tikus itu hanya ada dalam budaya si 'J' saja. Di beberapa daerah orang bisa menikmati daging tikus dengan lahap. Si 'J' yang sepertinya karena warna kulitnya merasa berasal dari peradaban lebih tinggi ini mengatakan "tapi itu kan bukan makanan orang normal". Mendengar itu saya langsung 'on' dan mencecarnya, " Oh...apa itu normal?...bukannya normal atau tidak normal itu cuma kepercayaan kita saja, tidak normalnya tikus sebagi makanan, itu cuma tidak normal dalam ukuran anda, ukuran normal orang lain tidak sama dengan anda", kata saya. "sama seperti daging babi bukan makanan normal dalam budaya saya", kata saya menambahkan "apalagi secara ilmiah tidak ada bukti yang menunjukkan mengkonsumsi daging tikus itu berbahaya buat kesehatan", lanjut saya dengan nada sinis sambil mengutip argumennya tadi siang saat menceramahi saya yang muntah-muntah akibat termakan snack rasa babi.
Mendengar argumen saya, sepertinya dia sadar saya sedang menyerang balik dan saya lihat dia mulai agak hilang selera makannya. Melihat selera makannya yang hilang itu, saya tidak berhenti malah makin bersemangat. Saya langsung teringat cerita seorang Kil (Suami bibi) saya yang berasal dari Fak-Fak di Sumatera Utara. Kil saya orang Batak Fak-Fak asli bermarga Simanjorang ini, jauh sebelum dia pindah ke Takengen, dulunya adalah seorang non muslim.
Kil saya ini pernah menceritakan kalau di kampungnya di daerah Fak-fak sana, bayi tikus yang masih merah, yang belum tumbuh bulu adalah makanan favorit. Menurut Kil saya ini, di Fak-fak, orang sering menemukan bayi tikus yang masih merah seperti itu dalam gulungan tikar atau dalam lemari pakaian. Dan kalau itu terjadi, orang Fak-Fak yang menemukan bayi tikus yang masih merah seperti itu akan sangat bergembira. Mereka akan langsung mengambilnya, lalu menaruhnya di dalam periuk nasi yang masih panas menunggu tanak sehabis mendidih.
Ketika sudah sekalian matang bersama dengan nasinya, bayi-bayi tikus yang belum ditumbuhi bulu itu akan digiling dan diulek, diberi cabe dan tomat lalu dimakan bersama nasi.
Kepada si 'J' Ph.D asal Belanda ini yang tadi siang dengan segala analisa ilmiahnya melecehkan saya yang merasa jijik terhadap daging babi, cerita Kil saya ini saya ulang kembali dan saya ceritakan lengkap dengan segala detail-detail kecilnya .
Ketika saya perhatikan lagi piring makannya, saya lihat si 'J' melumuri nasinya dengan saos kental. Melihat itu, saya langsung mengatakan, ketika selesai diulek dengan bumbu bawang, tomat dan cabe, bayi tikus merah itu bentuknya jadi seperti saos dan orang Fak-Fak menikmatinya dengan cara melamuri saos bayi tikus itu ke atas nasinya, seperti saos yang di piring anda.
Mendengar kata-kata saya itu, saya lihat si 'J' tiba-tiba bersikap seperti orang tersedak, menutup mulutnya, pamit ke toilet dan tidak pernah kembali lagi ke mejanya. Dalam hati saya berpikir, "tadi saya kamu lecehkan karena tidak sengaja termakan babi, sekarang kamu baru mendengar cerita orang Fak-Fak makan tikus saja sudah muntah-muntah"
Begitulah, di dunia ini, banyak sekali orang pintar semacam 'J', Ph.D asal Belanda ini. Yang karena merasa lebih pintar, merasa berasal dari peradaban lebih tinggi, merasa hanya cara pandangnyalah yang benar. Semua cara pandang lain di luar itu bodoh dan tidak bermutu.
Sebaliknya, di dunia ini sedikit sekali orang seperti Myao yang meskipun tidak menyetujui atau tidak sependapat dengan cara pandang orang tapi bisa menghormati cara pandang yang berbeda tersebut.
Myao tetap menunjukkan simpati yang tulus atas penderitaan saya yang di sebabkan oleh sesuatu yang sebenarnya adalah sesuatu yang TOLOL jika dipandang berdasarkan TEKS yang ditulis oleh LINGKUNGAN SUBYEKTIF Myao sendiri.
Orang sejenis Myao ini adalah manusia jenis langka di negara ini. Sebaliknya di negara ini orang-orang pintar sejenis 'J', Ph.D Belanda yang saya temui di Thailand itulah yang tersedia dalam jumlah yang melimpah ruah. Aceh, Timor Timur dan Papua pernah menjadi korban dari kebijakan yang diambil oleh orang-orang pintar semacam ini.
Kosasih, rekan Gayo saya yang lahir dan besar di jawa yang menurutnya adalah pusat peradaban di nusantara. perilakunya persis seperti 'J', Ph.D Belanda yang saya temui di Thailand.
Dan karena populasi orang-orang semacam Kosasih dan 'J' ini sama sekali tidak berkurang sejak bergulirnya reformasi. Maka wajar sajalah ketika hari-hari belakangan ini kita dikejutkan dengan fatwa haram Rokok dan Golput. Saya sempat menonton wawancara TV One dengan pejabat yang memutuskan kebiakan itu di MUI. Dan hasil dari wawancara itu benar-benar luar biasa, si bapak yang memutuskan fatwa itu dengan gamblangnya menjelaskan dasar pengambilan Fatwanya, seolah-olah pikiran Tuhan telah termanifestasi utuh di dalam otaknya.
Melihat fenomena itu, saya merasa seolah sedang kembali berada di dalam Mobil yang membawa saya ke Chiang Rai sembilan tahun yang lalu. Ketika menonton wawancara TV one dengan pejabat MUI yang bertanggung jawab mengeluarkan fakta, saya seolah seperti sedang mendengarkan 'J', Ph.D asal Belanda yang dulu melecehkan rasa Jijik saya terhadap daging babi.
Di TV One, si bapak yang bertugas di bagian fatwa MUI ini dengan indahnya mempertontonkan kemampuannya dalam membuat sebuah kebijakan yang 'saya manusia dan dia juga manusia'... maka 'kalau saya begini jelas dia juga begini' sehingga kalau INI BAIK buat saya, maka itu pun harus baik buat siapa saja'.
Kenapa si Bapak ini bisa seperti itu?...Pendapat Saussure di atas sudah menjelaskannya.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Senin, 02 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
bagus banget sob, aku suka banget artikel ini.
yang aku bisa rangkum dari sini adalah isu yang harusnya di tanggapi dengan multi-isu, menjadi sempit karna keberadaan agama yang sekuler.
mengapa sih kita geser multi-isu ini ke isu agama. paragraf terakhir aku kuraNG SEPAKAT
Bukan maksud mau digeser, tapi masalahnya tulisan ini saya buat karena saya terinspirasi oleh Isu agama itu bro...
Posting Komentar