Ketika berbagai tulisan yang saya post di berbagai media online tentang kasus penjualan lahan dan mesjid serta penyelewengan yang terjadi di Panti Asuhan Budi Luhur beredar luas, seorang teman lama yang kebetulan membacanya merasa terkesan. Setelah membaca tulisan-tulisan tersebut, teman ini berpendapat alangkah baiknya jika ide-ide yang saya tulis itu secara politis diperjuangkan di legislatif.
Berkaitan dengan itu, teman ini kemudian bertanya dan menyayangkan kenapa saya tidak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di pemilu yang berlangsung beberapa waktu yang lalu.
Yang menarik, teman saya ini bertanya seperti itu rupanya karena dia memandang Politik itu sama seperti pertandingan sepakbola yang biasa dia saksikan di layar kaca.
"Seperti main bola, kalau mau mengatur jalannya permainan, kita kan harus turun ke lapangan bukan cuma jadi komentator dari luar", begitu kata teman ini.
Dalam beberapa hal Politik memang ada kemiripan dengan pertandingan sepakbola. Tapi ketika berkata seperti itu, teman saya ini sepertinya menyamakan politik dengan sepakbola secara langsung dan menyeluruh. Saya melihat ada asumsi dan logika yang kurang tepat dengan asumsi yang dibuat oleh teman saya ini karena dalam banyak hal Politik memang sangat berbeda dengan sepakbola.
Alasannya sebagai berikut :
Sepakbola adalah sebuah permainan yang terukur yang diatur dengan aturan-aturan yang sangat jelas. Misalnya yang bertanding di lapangan adalah sebelas orangmelawan sebelas orang, ukuran lapangan, ukuran gawang, warna dan bentuk pakaian yang digunakan sampai lamanya pertandingan, semua diatur dengan jelas. Untuk menentukan menang kalah pun ukurannya jelas, yaitu jumlah gol yang bersarang di gawang lawan. Disaksikan oleh para penonton pasif yang hanya bisa menyemangati dan berkomentar tapi tidak berhak ikut ambil bagian di lapangan.
Sementara itu politik, apalagi politik di negara demokrasi adalah sebuah permainan kolektif yang melibatkan seluruh rakyat yang menghuni negara tersebut. Dalam politik, siapa lawan dan siapa kawan sangat cair, posisi sebagai lawan atau kawan bisa berubah dalam hitungan detik. Ukuran menang dan kalah juga tidak bisa diukur dengan angka-angka yang pasti. Aturan main dan pemilihan wasitpun diatur oleh para pemain sendiri. Dalam politik partai yang kalah dalam pemilu legislatif bisa menang dalam pemilihan presiden. Dalam politik juga tidak ada penonton pasif, seluruh rakyat yang hidup dalam sebuah negara demokrasi adalah pemain aktif yang ikut menentukan arah permainan.
Berbeda dengan komentator sepakbola yang komentarnya hanya berguna untuk membantu para penonton pasif untuk memahami jalannya pertandingan tanpa bisa mempengaruhi jalannya pertandingan di lapangan, komentar dari seorang komentator politik di sebuah negara demokrasi bisa sangat mempengaruhi pandangan rakyat di negara tersebut yang ujung-ujungnya akan secara signifikan mengubah kebijakan yang diambil oleh pemerintah, parlemen atau partai politik.
Indonesia, dengan segala kekurangannya harus diakui adalah negara yang demokrasinya paling baik di kawasan. Untuk saat ini, siapapun harus mengakui kalau iklim demokrasi di Indonesia ini jauh lebih baik dibandingkan iklim demokrasi di Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand bahkan Filipina. Apalagi kalau dibandingkan dengan Vietnam, Laos, Kamboja apalagi Myanmar.
Dalam iklim seperti ini, pilihan sarana untuk menyalurkan aspirasi politik kita sebagai warga menjadi sangat terbuka, tidak harus melalui partai politik. Aspirasi politik bisa disalurkan melalui LSM, organisasi massa dan yang paling efektif media. Meskipun penyampaian aspirasi melalui media ini sekarang mulai dibayangi ancaman penjara dengan alasan pencemaran nama baik, tapi setidaknya ancaman itu masih dilalui proses pengadilan, tidak langsung masuk tanpa banyak pertanyaan seperti di masa lalu.
Tapi meskipun berbeda bukan berarti politik (terutama di Indonesia) tidak bisa diasumsikan dengan sepakbola karena dalam iklim demokrasi yang lumayan sehat seperti di Indonesia ini, partai Politik dan pemerintah sebenarnya tidak lain hanyalah eksekutor.
Jadi kalau proses politik di negara ini diibaratkan seperti sebuah pertandingan sepakbola, maka anggota partai politik yang ada di parlemen dan juga pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan sebenarnya tidak lain hanyalah para striker yang bertugas mencetak gol. Sementara rakyat yang ada di luar adalah pelatih sekaligus playmaker yang bertugas mengarahkan alur permainan sekaligus penyuplai bola-bola matang bahkan menentukan siapa saja striker yang berhak bermain di lapangan.
Berhasil tidaknya para eksekutor itu mencetak "gol" ke "gawang lawan" sangat tergantung alur permainan yang diarahkan oleh "pelatih", pemilihan "striker" yang turun ke lapangan dan sebaik apa suplai bola dari "lapangan tengah".
Di sebuah negara demokrasi, peran politis rakyat sebenarnya jauh lebih penting daripada peran partai politik bahkan pemerintah sendiri. Kalau rakyat bisa mengarahkan permainan dengan baik dan banyak mengkritik kelalaian para "striker" dan juga banyak memberikan suplai "bola matang", maka akan banyak "gol" yang bersarang ke gawang lawan.
Tapi tidak akan ada "gol" yang tercipta ke "gawang lawan" kalau rakyat sebagai "pelatih" tidak peduli dengan alur permainan dan rakyat sebagai "playmaker" gagal menyuplai bola matang.
Dalam sepakbola Liga Italia atau Liga Champion, komentar dari Bung Kus atau Almarhum Roni Pattinasarani tidak pernah ada sejarahnya bisa mempengaruhi keputusan Carlo Ancelotti atau Alex Ferguson. Tapi dalam politik, sebuah komentar dari seorang Eep Syaifulloh Fatah atau Ahmad Qodhari, analisa ekonomi dari Faisal Basri atau analisa komunikasi dari Effendi Ghazali bisa mengubah keputusan seorang SBY.
Bukti terakhir betapa signifikannya pengaruh "umpan matang" dari "lapangan tengah" ini bisa kita lihat pada saat hiruk pikuk penentuan cawapres beberapa waktu yang lalu.
Saat itu dari banyaknya nama tokoh yang beredar untuk menjadi cawapres Demokrat, untuk mendampingi SBY. Nama Hidayat Nurwahid, ketua MPR yang mantan ketua umum PKS sempat mengemuka.
Tapi ketika nama tersebut muncul ke permukaan, terdengar penolakan keras dari berbagai penjuru. Penolakan itu muncul dengan berbagai varian komentar, mulai dari yang logis dan cerdas yang disampaikan dengan bahasa yang halus sampai ke berbagai jenis makian kasar kelas preman pasar. Tapi kalau kita amati baik-baik semua jenis dan varian penolakan itu, intinya orang-orang yang menolak ini khawatir jika Nurwahid naik, pluralisme di negara ini akan terancam.
Penolakan ini jelas membuat gusar PKS dan kemudian merekapun mencoba mencoba menetralisir penbolakan itu dengan berbagai argumen. Tapi seperti biasa, karena argumen-argumen yang dikeluarkan PKS selalu mirip argumen orang autis yang tidak sadar dengan situasi lingkungannya. Akibatnya penolakan terhadap Nurwahid itu bukannya mereda, tapi malah semakin menjadi-jadi.
Melihat ramainya penolakan tersebut SBY pun tidak mau mengambil resiko kehilangan suara dan segera mencoret nama Nurwahid dari daftar nama cawapresnya.
Keputusan yang diambil SBY ini sempat membuat PKS yang sempat merasa paling berkuasa diantara mitra koalisi demokrat merajuk. PKS yang sebelumnya merasa paling dekat dengan Demokrat sempat menyentil Golkar dan membuat tersinggung pendukungnya, PKS minta PDIP kulonuwun dulu sebelum berkoalisi dengan Demokrat, malah mengancam akan berkoalisi dengan partai lain. Meskipun akhirnya terbukti ancaman itu cuma sejenis rengekan anak kecil yang tidak dibelikan mainan. Partai yang mengaku paling bersih dan paling Islam ini ternyata tidak kuasa kehilangan empuknya kursi kekuasaan jika tidak bergabung dengan demokrat, lalu PKS yang sebelumnya secara terang-terangan merajuk ini pun dengan muka tebal dan tanpa malu-malu mendukung SBY-Budiono.
Kembali ke sepakbola, jika Negara Indonesia ini diibaratkan sebagai sebuah tim sepakbola. Maka dalam tim Indonesia ini dapat kita saksikan terdapat banyak sekali "striker" handal yang sangat piawai mencetak gol. Hanya saja, sayangnya para pemain yang berposisi sebagai"striker" di tim Indonesia ini (hampir) seluruhnya lebih mementingkan pencapaian pribadi sebagai "pencetak gol terbanyak", dibandingkan pencapaian tim secara kolektif yaitu kemenangan.
Bagi para "stiker" di tim Indonesia, yang paling penting adalah mencetak gol. Asal ambisi mencetak gol itu bisa tercapai, mereka tidak peduli berapa banyak gol yang diciptakan lawan ke gawang sendiri. Bahkan ketika "pelatih" dan "playmaker" lalai, demi pencapaian pribadi, para "striker" keblinger itu tidak segan-segan mencetak gol ke gawang timnya sendiri.
Jadi pada masa sekarang, sebenarnya yang sangat dibutuhkan di negara ini adalah "pelatih" dan "playmaker" berkualitas, bukan "striker" yang jumlahnya melimpah ruah.
Karena itulah dalam permainan yang oleh teman lama saya diibaratkan seperti sepakbola ini, untuk saat ini, ketimbang menjadi "striker" terus terang saya lebih suka bermain di "lapangan tengah".
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
Rabu, 20 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar