Kamis, 22 April 2010

RUU Anti Jilbab Perancis dan Dukungan Yahudi Terhadap Jilbab

Tadi pagi Kamis 22/04/10 di tag berita TV One mengatakan bahwa pada Mei nanti, Presiden Perancis Nicholas Sarkozy akan mengajukan RUU Anti Jilbab.

Apa yang dilakukan oleh Sarkozy ini pasti akan segera menjadi berita seru, baik di Perancis sendiri dan terutama di negara-negara yang memiliki rakyat mayoritas penganut Islam termasuk Indonesia (terutama kaum radikal, yang tidak paham duduk permasalahan) yang akan dengan bersemangat mengecam dan mencaci-maki Perancis dan siapapun yang tidak beragama Islam.

Sebenarnya di Perancis sendiri, isu Jilbab ini adalah urusan lama yang menjengkelkan. Ada banyak latar belakang sejarah dan sosiologi Perancis yang perlu kita pahami untuk mengetahui dan memahami akar permasalahan Jilbab di Perancis ini. Tapi pada intinya, di mata para pengambil kebijakan di Perancis, Jilbab adalah ancaman bagi paham sekular yang mereka anut. Di Perancis sekularisme ini disebut sebagai prinsip laicite (versi sekularisme ala Perancis yang dengan ketat memisahkan antara gereja dan negara)

Bagi sebagian besar orang Perancis, jilbab adalah sebuah bentuk 'pameran' simbol-simbol agama. Oleh mereka ini dimaknai sebagai tantangan dari orang Islam terhadap prinsip utama negara perancis yaitu laicite. Di Perancis,laicite ini dipahami bukan hanya sekedar sekuler, tapi laicite ini adalah sekularisme yang keras yang begitu anti dengan segala sesuatu yang berbau simbol-simbol agama (meskipun pada prakteknya otoritas Perancis yang begitu sengit melihat orang berjilbab, sering menunjukkan sikap toleran pada orang yang memakai kalung salib).

Isu jilbab ini meluas sebagai sebuah kontroversi ketika pada tahun 1989, tiga gadis-gadis muslim mengenakan jilbab ke sekolah umum mereka di Creil, sebuah tempat di bagian utara Paris. Kepala sekolah di tempat ketiga gadis tersebut belajar memerintahkan ketiga gadis muslim ini untuk melepaskan jilbab yang mereka kenakan dan memakai "pakaian biasa" seperti murid-murid perempuan lain di dalam kelas. Tapi ketiga murid tersebut dan juga orang tua mereka menolak perintah itu, dengan alasan bahwa memakai jilbab adalah merupakan salah satu ibadah menurut agama yang mereka anut. Berita tentang kejadian itu menyebar dan menjadi perdebatan di seantero Perancis, sehingga akhirnya pada bulan november di tahun yang sama pemerintah Perancis mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah yang memperbolehkan murid-murid perempuan mengekspresikan kepercayaan agama agama yang meraska anut di depan publik.

Tapi pada tahun 1993 kasus lain mencuat, dan pada bulan september 1994 koalisi tengah -Kanan yang baru terbentuk di pemerintahan memutuskan untuk melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah umum. Dalam sebuah debat tentang jilbab di parlemen, Menteri pendidikan Perancis Francois Bayroun menyatakan bahwa "identitas nasional Perancis tidak terpisahkan dari institusi sekolah". Dan akibat dari pernyataan ini, pada tahun yang sama beberapa gadis-gadis Muslim mengenakan jilbab diusir dari sekolah umum.

Sementara Sarkozy sang Presiden yang akan mengajukan RUU Anti Jilbab ini, sejak masih menjabat sebagai menteri dalam negeri memang sudah dikenal sangat sentimen terhadap jilbab.

Pada 19 April 2003, dalam kapasitasnya sebagai Menteri dalam Negeri Sarkozy, pernah menghadiri acara pemilihan ketua Organisasi Islam Nasional yang baru, saat itu dalam kapasitasnya sebagai menteri dalam negeri, dia diminta menyampaikan pidato dihadapan para peserta acara ini.

Waktu itu Sarkozy masuk ke auditorium di bawah sorot lampu, penonton bertepuk dan melambaikan tangan. Kehadiran Sarkozy waktu itu adalah sejarah, Dia akan menjadi menteri kabinet pertama yang menghadiri pertemuan semacam ini. Pada awal pidatonya, Sarkozy berpidato memuji-muji orang Islam Perancis, tapi ditengah pidatonya (sepertinya karena Sarkozy telah membayangkan masa depan sebagai presiden dan merasa perlu menarik simpati dari mayarakat yang lebih luas) dia berbalik mengancam umat Islam Perancis agar mematuhi hukum Perancis tanpa protes. Sarkozy mengingatkan ribuan orang yang menonton pidatonya, supaya mengganti foto-foto berjilbab di kartu identitas mereka dengan foto yang menunjukkan kepala terbuka "Hukum ini (hukum sekuler) tidak dapat diubah, hukum ini adalah jantung Republik. Jika Anda menuntut hukum yang berbeda, maka (artinya) Anda tidak bisa menikmati hak-hak yang sama dengan orang yang beragama lain.", kata Sarkozy menegaskan ancamannya.

Sebenarnya ada dua macam argumen yang menolak pemakaian jilbab di tempat umum mendominasi debat-debat tentang urusan anti jilbab ini. Argumen pertama adalah klaim yang mengatakan bahwa sekularisme telah ditantang oleh jilbab. Para pendukung argumen pertama ini adalah Orang-orang Perancis dari aliran kiri yang memandang diri mereka sebagai pengawal aliran sekular anti tradisi katolik yang didirikan pada saat terjadinya momen revolusi Perancis. mereka melihat bahwa pendidikan umum adalah sebuah jalan untuk melawan kekuatan gereja. Para feminis (yang ada dalam barisan pendukung kelompok ini) berpendapat bahwa pemakaian jilbab adalah sebuah bentuk tekanan terhadap perempuan. Di mata kelompok ini, memakai jeans adalah simbol kebebasan, sementara memakai jilbab adalah simbol ketertundukan (Moruzzi 1994). Di mata kaum sekuler Perancis ini, Jilbab adalah sebuah ancaman besar bagi prinsip laicite (sekularisme ala Perancis) yang mereka anut. Dalam pandangan kelompok ini, toleransi terhadap keyakinan agama dibatasi hanya dalam lingkungan pribadi saja, dimana perbedaan kultural bebas dari kontrol dan pengawasan. Sementara tempat umum adalah tempat dimana berlakunya aturan-aturan universal, sehingga semua warga perancis yang ada di tempat umum harus terlihat seperti "Orang Perancis"

Argumen kedua yang menolak pemakaian jilbab, berasal dari politisi aliran kanan yang juga menentang pemakaian jilbab di tempat umum, tapi dengan alasan dan konteks yang sama sekali berbeda dengan argumen pertama. Mereka memandang isu jilbab ini sebagai pertempuran dan perebutan pengaruh antara Islam dan Kristen. Mereka memandang isu Jilbab sebagai ancaman terhadap identitas Perancis yang disusupkan oleh para Imigran.

Tapi bagi kita, umat Islam di Indonesia yang hidup sebagai mayoritas di negeri ini dan terutama bagi kaum radikal yang menganggap siapapun yang berbeda keyakinan agama dengan mereka adalah musuh. Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di Perancis, yang berkaitan dengan urusan jilbab ini yang perlu kita perhatikan.

Fenomena menarik di Perancis itu adalah fenomena bersatunya Gereja Katolik konservatif (bukan yang radikal), kaum feminis liberal dan kelompok Yahudi Ortodoks (kelompok-kelompok yang di negeri ini dianggap sebagai musuh Islam) untuk menentang kebijakan pelarangan pemakaian jilbab di tempat umum.

Seperti yang saya katakan di atas, di samping kalangan non-agama, kalangan non-Muslim Perancis yang lain yang mendukung dibolehkannya pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum, salah satu yang berada di garis terdepan adalah sebuah kelompok feminis bernama "Les Blédardes" yang memandang kontroversi atas pemakaian cadar sebagai manifestasi dari sentimen kolonial. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh kelompok ini pada tahun 2003, mereka menuntut kepada pemerintah perancis untuk memberikan kembali status mahasiswa kepada para gadis-gadis muslim bercadar yang sebelumnya pernah dipecat dari kampus tempat mereka belajar akibat dari pilihan pakaian yang mereka gunakan. - Demokrasi dan keadilan Negara akan menjadi lebih dewasa, setelah dimatangkan melaui rehabilitasi Peristiwa Dreyfus- begitu tulis kelompok ini dalam artikel yang sama.

Di luar kelompok feminis ini, bersatunya kelompok-kelompok agama dalam mendukung diperbolehkannya pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum adalah sebuah fenomena yang sangat unik jika dipandang dari kacamata kita di Indonesia yang terbiasa dengan berita persaingan dan perebutan pengaruh antar agama.

Kenapa bisa demikian?

Itu terjadi karena di Perancis, tekanan terhadap ekspresi keagamaan tidak hanya dialami oleh orang Islam. Tekanan semacam itu juga dirasakan oleh orang-orang Perancis penganut Katolik konservatif dan Yahudi.

Banyak orang di luar eropa yang melihat eropa sebagai barat, lalu menyamaratakan apa yang terjadi di Perancis ini juga terjadi di semua negara eropa. Padahal kasus yang terjadi di perancis ini adalah sebuah hal yang khusus di eropa. Kasus perancis ini mirip dengan yang terjadi di Amerika, dimana negara dengan jelas memisahkan antara gereja dan agama.

Sementara yang terjadi di negara-negara Uni Eropa lain di luar perancis tidaklah seperti itu, sebagai contoh nyata misalnya, negara-negara Eropa di luar Perancis biasanya menyediakan dana khusus dari negara untuk membiayai kegiatan-kegiatan agama. Malah di beberapa negara eropa kita melihat adanya aliansi partai politik dengan sebuah aliran agama, partai kristen misalnya.

Inggris malah punya gereja resmi yaitu gereja Anglikan atau gereja Episkopal, yang biasanya dijadikan tempat berlangsungnya upacara perkawinan dan pernikahan. Keberadaan gereja resmi ini membuat warga Inggris penganut kristen dari gereja non Anglikan atau Episkopal atau penganut agama lain seperti islam dan Yahudi juga merasa memiliki hak dan kesetaraan untuk mendapatkan kebebasan yang sama dalam menjalankan ritual agama masing-masing.

Sehingga tidak mengherankan kalau beberapa pemuka agama Islam dan yahudi di Inggris, beberapa kali secara terbuka menyatakan dukungan terhadap keberadaan gereja anglikan di Inggris (moodod 1994), mereka beralasan dengan adanya agama resmi di sebuah negara, maka penganut agama tersebut akan merasa nyaman menjalankan ajaran agama mereka lalu merekapun menjadi kurang begitu menekan praktek keagamaan yang dilakukan oleh penganut agama lain. Merka melakukan dukungan itu karena para pemuka agama Islam dan Yahudi di Inggris melihat kalau kristen aliran Anglikan tidak separah aliran sekuler dalam menekan Islam dan Yahudi.

Di Perancis, karena sama-sama berada dalam tekanan, di antara para pemeluk agama yang di tempat lain saling berseberangan bahkan bermusuhan dengan hebat ini, muncul suatu sikap senasib sepenanggungan.

The IOS Minaret http://www.iosminaret.org/vol-3/issue11/muslim_students.php, sebuah majalah Islam Online memberitakan; Ketika pemakaian jilbab dilarang dilarang di sekolah umum di Perancis, sekolah-sekolah katolik malah mempersilahkan murid-muridnya yang beragama Islam untuk mengenakan jilbab. Selama bulan Ramadhan, bagi para siswa yang beragama Islam, sekolah-sekolah katolik itu menyediakan ruang khusus untuk salat. Sehingga tidak heranlah kalau dari dua juta siswa yang belajar di sekolah-sekolah Katolik di seluruh Perancis, lebih dari 10 persen di antaranya adalah MUSLIM. Bahkan untuk sekolah Katolik Santo Mauront yang terletak di marseille, hampir 80 persen dari siswanya adalah Muslim.

Dalam artikel yang sama majalah online ini juga menceritakan bagaimana sikap saling dukung antara kaum tertindas ini juga terlihat di Alsace-Moselle di Strasbourg, wilayah yang memiliki populasi 2,9 juta orang.

Wilayah Alsace-Moselle ini adalah sebuah tempat yang unik, karena beberapa kali menjadi rebutan antara jerman dan Perancis. Orang-orang yang berasal dari daerah ini mudah dikenali dengan nama depan Perancis tapi bernama keluarga Jerman. Nama seperti Jean-Mark Moeller atau Thierry Schweinteiger adalah nama khas orang yang berasal dari wilayah ini.

Pada tahun 1905 (sesuai prinsip laicite) Perancis mengeluarkan undang-undang utama menetapkan suatu pemisahan yang jelas antara gereja dan negara. Tapi ketika kemudian Alsace-Moselle kembali berada di bawah pendudukan Jerman, prinsip laicite ini dihapus. Dan ketika akhirnya wilayah ini kembali ke Perancis setelah Perang Dunia II, pemerintah daerah di wilayah tersebut tetap melibatkan diri dalam urusan agama dengan menyediakan subsidi untuk pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Dan tidak seperti di semua tempat lain di Perancis, pemerintah setempat menawarkan bantuan dana untuk pembangunan tempat ibadah dan membayar gaji para ulama.

Dalam salah satu bagian dari Alsace-Moselle yaitu Alsace-Lorraine, sepertiga dari 15.000 penduduk adalah Muslim. Di sana ada banyak sikap saling memahami dan menjaga harmoni terjalin antara komunitas Muslim, Kristen dan Yahudi.

Di tempat ini, pada tahun 1998, empat pemimpin agama non-Islam dari agama Katolik Roma, Kristen Protestan aliran Lutherian, Kristen Protestan aliran Calvinis dan Yahudi-menandatangani surat dukungan atas pembangunan masjid baru di kota ini yang didesain oleh seorang arsitek berkebangsaan Italia bernama Paolo Portoghesi. Mesjid ini dibangun dengan dana yang disediakan oleh pemerintah setempat.

Untuk membangun Mesjid ini, Dewan Kota menyediakan sebidang tanah di tepi sungai untuk digunakan selama 50 tahun dan mereka juga setuju untuk menanggung 26% dari total biaya konstruksi.

Tapi pada tahun 2001, pemerintah sosialis di Alsace-Moselle kalah dalam pemilu melawan kelompok tengah-kanan yang kemudian menguasai pemerintahan. Sehingga penyelesaian proyek mesjid ini pun mengalami kesulitan. Walikota yang baru menolak untuk mengizinkan pembangunan menara, pusat studi dan auditorium.

Pembangunan Mesjid ini akhirnya dimulai kembali pada tahun 2007, tapi kemudian terhenti kembali akibat kekurangan dana dan kekuarangan dukungan dari pemerintah. Tapi menariknya umat Islam setempat, dengan dukungan dari komunitas Kristen dan Yahudi, terus menekan pemerintah setempat untuk menyelesaikan pembangunan kompleks masjid tersebut.

Itulah hal yang aneh yang terjadi di Perancis saat ini, sesuatu yang pasti sulit sekali dimengerti oleh para fundamentalis berkacamata kuda yang hidup di negeri yang bernama Indonesia ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Orang Aceh, suku Gayo yang suka mengamati apa saja

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

Sumber :

http://bostonreview.net/BR29.1/bowen.html
http://www.iosminaret.org/vol-3/issue11/muslim_students.php
moodod 1994 http://www.march.es/ceacs/ingles/publicaciones/working/archivos/2003_187.pdf
Moruzzi 1994 http://www.jstor.org/pss/192043
http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_scarf_controversy_in_France
"Les Blédardes" http://www.occidentalis.com/article.php?thold=-1&mode=thread&order=0&sid=2151
http://en.wikipedia.org/wiki/Dreyfus_affair

Senin, 19 April 2010

Tahafut al-Falasifah dan Kerancuan Filsafat Al-Ghazali (Membongkar Fitnah Teuku Zulkhairi)

Sebelum terjadi tsunami, Aceh adalah wilayah yang sangat sepi dari debat-debat intelektual. Perkembangan intelektual di Aceh begitu kering dan nyaris tanpa dinamika, kelompok diskusi hampir tidak bisa ditemukan sama sekali.

Tapi pasca tsunami semua berubah total. Aceh yang selama ini oleh pemerintah RI ditutup dengan ketat dari pengaruh luar, tiba-tiba menjadi terbuka, Aceh tiba-tiba dibanjiri berbagai ide dan gagasan. Sehingga dunia intelektual di Aceh yang sebelumnya statis tanpa perkembangan tiba-tiba berubah menjadi dinamis. Aceh tiba-tiba berubah menjadi kuali besar pertarungan gagasan.

Dulu, sebelum terjadi tsunami, di Aceh, saya akan terlihat seperti orang aneh jika berbicara tentang masalah-masalah ilmu sosial, semacam psikologi antropologi sampai filsafat. Tapi pasca tsunami, ada banyak sekali pemikiran yang berkembang, mulai yang kekiri-kirian, liberal, moderat sampai yang fundamentalis dan cenderung radikal muncul bersamaan.

Suasana ini benar-benar sangat menggairahkan, apalagi kemudian teknologi informasi yang berkembang begitu pesat dalam tahun-tahun belakangan ini membuat setiap gagasan apapun yang ada di kepala menjadi begitu mudah untuk dilemparkan ke publik untuk kemudian diperdebatkan.

Beberapa bulan yang lalu, saya pernah melemparkan sebuah gagasan di facebook untuk dijadikan bahan diskusi dan perdebatan. Saat itu saya menyinggung tentang sebuah Karya seorang tokoh besar Islam bernama Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) yang dibantah oleh Ibnu Rushd, tokoh besar lain yang lahir sesudah Al-Ghazali tiada. Karya Ibnu Rushd yang merupakan bantahan terhadap karya Al-Ghazali tersebut oleh Ibnu Rushd diberi judul Tahafut Al Tahafut (Kerancuan di atas Kerancuan).

Dalam debat antara kedua tokoh ini, saya dengan tegas memposisikan diri ada di kubu Ibnu Rushd.

Masalahnya, Al-Ghazali adalah tokoh pujaan kaum puritan, sehingga pilihan saya berada di kubu Ibnu Rushd membuat kelompok ini tidak senang. Dan dari semua aliran pemikiran dan gagasan yang muncul di Aceh pasca tsunami, kaum puritan ini adalah yang paling aneh. Jika kelompok lain antusias ketika diajak beradu gagasan, maka kelompok ini tidak. Mereka ingin gagasan apapun yang berkembang di Aceh, harus ada dalam jalur yang telah mereka gariskan secara sepihak.

Begitulah, ketika gagasan ini saya lemparkan, dengan segera saya pun mendapat serangan. Di antara beberapa orang kelompok puritan yang menyerang saya ini ada satu orang yang sangat bersemangat menyerang saya, namanya Teuku Zulkhairi. Tapi sayangnya semangat Teuku Zulkhairi saat menyerang saya ini tidak didukung oleh kecerdasan, wawasan dan penguasaan data yang memadai, sehingga serangannya terhadap saya pun pada akhirnya bukan lagi pada gagasan tapi lebih mengarah kepada pribadi (Ad Hominem), yang dengan hati saya layani sampai membuatnya terkaing-kaing lari.

Pilihan saya mendukung Ibnu Rushd ditambah dengan beberapa debat lain dengan saya yang tidak pernah bisa dia menangkan, membuat Teuku Zulkhairi memaki-maki dan menyebut saya sebagai kaum pengacau keimanan.

Dalam banyak pertemuan dengannya di dunia maya, dia begitu sering mempersalahkan saya saat saya mengkritisi Tahafut al-Falasifah karangan Al-Ghazali, yang selalu saya jawab dengan mempersilahkannnya mengambil argumen dari Tahafut al-Falasifah yang nanti akan saya balas dengan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.

Tapi Teuku Zulkhairi terus mengelak dari tantangan saya dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, sambil terus melecehkan ucapan saya yang mengatakan akan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.

"Kerancuan di atas Kerancuan" yang merupakan terjemahan tulisan Ibnu Rushd ini dalam bahasa Indonesia, terus menerus digunakan oleh Teuku Zulkhairi untuk melecehkan gagasan saya, yang berpuncak pada keluarnya fitnah yang yang dia tulis diam-diam di Kompasiana dengan judul " Membongkar Kerancuan Di Atas Kerancuan Pemikiran Win Wan Nur" yang penuh dengan berbagai fakta yang dia rekayasa untuk menyudutkan saya baca : http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/20/membongkar-%E2%80%9Ckerancuan-di-atas-kerancuan%E2%80%9D-pemikiran-win-wan-nur-oleh-teuku-zulkhairibersambung/

Karena itu, supaya masalah ini tidak berlarut-larut karena saya terus menunggu ditanggapinya tantangan saya, kali ini saya memilih untuk langsung menjawab pertanyaan Teuku Zulkhari kepada saya tentang bagaimana sebenarnya pandangan saya pribadi terhadap Al-Ghazali dan Tahafut al-Falasifah karangan tokoh besar Islam ini.

Untuk menjawab pertanyaan Teuku Zulkhairi tentang bagaimana saya menilai Imam Ghazali.

Saya harus terlebih dahulu menjelaskan, kalau soal sosok Al-Ghazali ini, sangatlah tidak mungkin saya membuat sebuah kesimpulan tunggal, karena cara pandang dan pemikiran tokoh ini banyak berevolusi sepanjang masa hidupnya. Dalam menilai ide-ide dalam karya Al-Ghazali, penilaian yang bisa kita lakukan sangat tergantung pada kapan karyanya tersebut dikeluarkan dan sudah sejauh apa evolusi spiritual yang dia alami saat karya itu ditulis. Sebab Abu-Hamid Muhammad Al-Ghazali yang lahir pada 450 H /1058 M dan wafat pada 505/1111 M ini adalah seorang manusia multi dimensi, dia adalah seorang Asy‘ariah ketika sedang ada bersama kaum Asy‘ariah, dia adalah seorang Sufi ketika bergabung dengan kaum Sufi, dan diapun adalah seorang filsuf ketika berada bersama para filsuf.

Jadi kalau kita ingin menilai pribadi tokoh yang satu ini secara komprehensif, maka akan ada banyak sekali dimensi yang harus disatukan, dan karena alasan inilah saya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi seorang penilai terhadap pribadi tokoh besar Islam yang satu ini.

***

Dunia Islam di masa Al-Ghazali hidup, beberapa generasi sebelum kelahirannya dan beberapa generasi sesudah kematiannya adalah dunia intelektual yang penuh dinamika. Ada banyak sekali ragam isu yang diperdebatkan antara sesama cendekia zaman itu. Entah itu ilmu kedokteran, kimia, fisika, matematika, astronomi, psikologi, tasawuf, tauhid dan segala macam ilmu yang kita kenal sekarang.

Tapi dari sekian banyak pemikiran tokoh-tokoh Islam pada masa abad pertengahan ini, terus terang minat terbesar saya lebih banyak tertuju pada bidang filsafat yang mereka kembangkan pada masa itu. Saya menaruh minat besar pada bidang ini karena dalam pandangan saya, kesalahan pengambilan pilihan pemikiran filsafat untuk dianut oleh umat Islam pada masa inilah yang menjadi kunci penyebab kemunduran peradaban Islam sampai hari ini.

Maka ketika saya berbicara tentang Al-Ghazali, fokus pembicaraan saya adalah pada PEMIKIRANNYA dalam kapasitasnya sebagai FILSUF, bukan pemikiran atau sosoknya sebagai seorang Asy'ariah (meskipun tentu saja akan tetap ada bagian Asy'ariah Ghazali yang akan saya singgung karena pandangan filsafat Al Ghazali memang tidak bisa dilepaskan dari cara pandang khas kaum Asy'ariah) atau sosoknya sebagai seorang Sufi (yang sangat diminati oleh musisi Ahmad Dhani).

Kehadiran Al-Ghazali sebagai FILSUF adalah sebagai antitesis untuk aliran Mu‘tazilah, yang merupakan aliran kritis pertama dalam Islam yang lahir kira-kira pada tahun 723 Masehi (orang-orang penganut paham ini disebut Mutakalimun).

Filsafat kaum Mu'tazillah ini banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani kuno dari tokoh-tokoh semacam Plato dan terutama Aristoteles.

Seperti yang saya katakan di atas, Al-Ghazali adalah pengikut aliran kritis yang lain bernama Asy‘ariah yang muncul kira-kira satu generasi setelah kemunculan Mu'tazillah. Aliran ini dinamai demikian dengan mengambil nama Al Asy‘ari, tokoh yang lahir pada tahun 873 masehi.

Asy'ariyah ini adalah aliran kritis yang mencoba berada di tengah-tengah antara pandangan tradisional yang yang maunya melarang penggunaan segala hal yang berbau rasional dalam memahami agama (seperti paham Salafi dan wahabi yang marak belakangan ini) dengan pikiran rasional. Aliran Asy'ariah ini terkenal dengan konsepnya yang mengatakan bahwa akal tanpa dibantu dengan wahyu tidak akan bisa menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya.

Nah ketika Al-Ghazali menghantam filsafat kaum Mu'tazillah, Al-Ghazali bersandar pada cara pandang kaum Asy'ariyah ini.

Sebagaimana filsafat Mu'tazillah yang banyak bersintesa dengan alam pikiran Yunani, konsep Asy'ariah yang diadopsi oleh Al Ghazali sendiripun sebenarnya tidak bisa melepaskan argumennya dari pengaruh pemikiran para filsuf Yunani dari kelompok Skeptis dan terutama dari aliran filsafat Stoisisme-nya Zeno dari Citium (334-262 SM) [dalam sejarah sekolah filsfat Stoi (baca : STOA) ada dua Zeno, selain Zeno dari Citium ada lagi Zeno dari Tarsus yang merupakan pemimpin keempat sekolah filsafat Stoi yang hidup sekitar tahun 200 SM] .

Dari aliran filsafat Stoisme ini, aliran Ays'ariyah yang dianut oleh Al-Ghazali mengadopsi epistemologi, sensasionalisme, nominalisme dan materialisme mereka.

Contoh besarnya pengaruh filsafat Stoi dalam cara pandang aliran ini adalah konsep Asy'ariah tentang kehendak Allah.

Dalam Tahafut al-Falasifa, halaman. hal 237, Al-Ghazali mengatakan "Manusia tidak (bisa dikatakan) baik atau jahat karena pembawaan, meskipun pada dasarnya manusia itu lebih cenderung menjadi baik ketimbang menjadi jahat". Ucapan Ghazali ini merujuk pada pandangan Asy'ariah yang mempercayai bahwa benar dan salah adalah urusan manusia yang tidak bisa disangkut pautkan dengan Tuhan.

Pandangan Asy'ariah ini jelas sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat Stoisisme (Aliran filsafat yang pada masanya menentang habis ajaran aliran filsafat Epicurus yang menyatakan Hedonisme yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup).

Apa yang dikatakan oleh Al Ghazali yang didasari oleh konsep Asy'ariah ini kurang lebih sama dengan "Cui mali nihil est nec esse potest quid huic opus est dilectu bonorum et malorum?" yang artinya kurang lebih "Pilihan apa yang bisa membantu seseorang (berbuat jahat) bagi orang yang tidak memiliki sifat jahat dan juga tidak dimiliki (oleh sifat-sifat jahat itu)" yang merupakan argumen Skeptis dari Carneades yang pernah menjadi mahasiswa di sekolah filsafat Stoi, yang belajar logika di bawah bimbingan Diogenes (Kepala sekolaf filsafat Stoi ke-lima yang hidup sekitar tahun 230-150 SM). Perkataan Carneades ini disampaikan oleh Cicero dalam De natura deorum, iii. 15. 38.

Beberapa detail epistemologi khas Stoi ini misalnya disampaikan oleh Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din Ihya’ dimana Al-Ghazali mengatakan, Jiwa saat lahir adalah putih seperti kertas dan disanalah sifat dicetak (ini yang menjadi dasar konsep tabula rasa) , kemudian Al-Ghazali juga mengatakan manusia memperoleh akan dan pengetahuan tentang baik dan benar pada umur 7 tahun (ini kemudian menjadi dasar anggapan dan cara pandang terhadap anak-anak selama ini yang belakangan oleh Jean Piaget, Erik H Eriksson dan para psikolog perkembangan lainnya telah dibuktikan salah, karena ternyata bayi sudah punya sifat dan karakter sejak masih di dalam perut)

Belakangan, oleh pengikutnya, apa yang dimaksud oleh Al-Ghazali sebagai Kehendak Allah yang menjadi rahasiaNya yang tidak bisa ditimbang dengan perhitungan-perhitungan yang berdasarkan akal itu juga termasuk hal-hal semacam jenis kelamin bayi di dalam perut, apakah hujan akan turun atau tidak di saat mendung. Konsep tauhid semacam ini yang merupakan warisan pemikiran Al-Ghazali tersebut masih sering diajarkan kepada saya oleh guru-guru ngaji saya semasa kecil di Takengen.

Pandangan Al-Ghazali yang semacam inilah yang ditentang oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut, yang salah satu diantaranya seperti contoh yang saya ambil dari ucapan Ibnu Rushd mengatakan ; Seluruh basis argumen Al-Ghazali salah, karena Al-Ghazali berasumsi bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak manusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan; Sementara untuk Zat yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan apa-apa, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan bahwa ketiak Dia melakukan sesuatu maka yang Dia lakukan itu adalah hal yang paling sempurna. Jadi kehendak Allah harus dipahami dengan makna yang lain dibanding kehendak manusia.

Ketika kemudian ucapan Ibnu Rushd ini saya post di status facebook saya, membuat kaum puritan radikal yang dimotori oleh Teuku Zulkhairi menuduh saya sebagai kaum pengacau keimanan dan berbagai sebutan buruk lainnya.

Jadi ketika Zulkhairi menanyakan bagaimana saya memandang Al-Ghazali, kalau dipandang dari sudut pandang ini, maka saya memandang Al-Ghazali sebagai tokoh yang berperan besar dalam mempertentangkan antara Iman dan Akal. Dan berkat Al-Ghazali, dalam pertarungan ini Iman lah yang menang. Sehingga merusak semua semangat eksplorasi dan penggalian ilmu pengetahuan yang pada masa itu begitu menggairahkan.

Meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya, Ibnu Thufayl dalam novel eksperimental pemikiran Hayy Ibn Yaqzan (dalam novel ini Ibnu Thufayl tampaknya sepakat dengan konsep Ghazali soal tabula rasa), Ibnu Rushd yang hadir belakangan mencoba untuk memperbaiki apa yang telah dirusak oleh Al-Ghazali ini, tapi usahanya tidak berhasil.

Oleh para pengikut Al-Ghazali, Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.

Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas "kesalahannya" Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi "Lucena".

Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd.

Setelah dibebaskan, Ibnu Rushd kembali ke Cordoba dan berkumpul lagi dengan keluarganya dan para sahabatnya. Namun tidak lama kemudian ia wafat pada tahun 1198 Masehi dalam usia 72 tahun.

Sementara itu fitnah yang dilakukan terhadap Ibnu Rushd yang sudah terlanjur menyebar.

Dalam bukunya Mr. Peabody Apple, Madonna penyanyi pop Amerika yang terkenal itu menggambarkan Fitnah itu ibarat sebuah bantal berisi bulu angsa yang di belah di sebuah tanah lapang dalam cuaca berangin.

Oleh Madonna digambarkan, bulu yang sebelumnya terkurung dalam bantal, ketika dibelah, diterbangkan angin ke segala penjuru, tanpa bisa diatur kemana arah terbangnya. Dan ketika bulu-bulu angsa pengisi bantal tersebut sudah terlanjur diterbangkan angin, bulu-bulu itupun hinggap di mana-mana, bahkan sampai ke tempat-tempat yang tidak diketahui oleh orang yang membelah bantal itu, bulu-bulu yang sudah terbang itu tidak akan pernah bisa lagi dikumpulkan untuk kembali disatukan menjadi sebuah bantal.

Hal seperti yang digambarkan oleh Madonna dalam bukunya itulah yang terjadi pada Ibnu Rushd yang sudah terlanjur dicap sesat oleh orang-orang yang merasa diri beriman. Orang-orang 'beriman' yang sudah termakan fitnah terhadap Ibnu Rushd yang disebarkan oleh orang yang merasa diri PALING BERIMAN tidak bisa lagi satu persatu dikumpulkan untuk diberi penjelasan, tentang duduk perkara yang benar.

Akibatnya, meskipun telah diberi pengampunan, ide dan pemikiran Ibnu Rushd sama sekali tidak bisa lagi diterima oleh sebagian sangat besar kalangan Islam (sampai hari ini). Setelah Ibnu Rushd diampuni dan dibebaskan, kalangan umat Islam tetap lebih suka mempertahankan ide-ide Al-Ghazali yang menyerahkan penjelasan dari hampir semua rahasia alam kepada kebijaksanaan Allah dan mempercayai kalau semua rahasia Allah itu tidak akan bisa dipecahkan oleh Manusia dengan mengandalkan akal.

Jika di kalangan Islam pemikirannya ditolak, sebaliknya, ide dan pemikiran Ibnu Rushd justru diterima dengan luas dan malah kemudian diadopsi oleh kaum Kristen dan Yahudi. Ide-ide dan pemikiran Ibnu Rushd kemudian diteruskan bukan oleh para pemikir dan filsuf Islam, melainkan oleh para pemikir dan filsuf Kristen dan Yahudi.

Di Barat Tahafut al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan. Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai.

Memang, kalau materi yang dibahas dalam filsafat Ibnu Rushd yang khas zaman itu yang melulu mengangkat tema-tema metafisika dan ketuhanan dinilai dengan kacamata filsafat modern, materi yang diangkat oleh Ibnu Rushd sekitar lebih dari 800 tahun yang lalu sudah sangat usang dan sudah tidak relevan lagi untuk diperdebatkan karena apa yang dibahas oleh Ibnu Rushd bahkan logika klasik Aristoteles yang begitu dipuja oleh Ibnu Rushd pun sudah banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern.

Tapi dalam menilai filsafat Ibnu Rushd, materi yang dibahas 800 tahun yang lalu tidaklah terlalu menarik bagi saya, apa yang menarik dari filsafat Ibnu Rushd di mata saya adalah IDE besar dari filsafat yang dikembangkan oleh tokoh yang satu ini, mulai dari rasionalitasnya, penghargaannya yang tinggi terhadap akal dan metode kritisismenya dalam menilai sebuah permasalahan. IDE BESAR filsafat Ibnu Rushd inilah yang telah menginspirasi para filsuf modern, mulai dari Thomas Aquinas sampai pada Immanuel Kant, filsuf positivis terbesar dengan karya fenomenalnya Critique of Pure Reason yang mengubah cara pandang manusia secara keseluruhan terhadap ilmu pengetahuan.

Voltaire dan Rousseau yang merupakan pelopor era Renaissance di Perancis, gerakan yang berhasil mengubah wajah eropa sehingga mencapai puncak demilang peradaban, bahkan mengatakan kalau mereka bukan hanya sekadar terpengaruh oleh pemikiran filsafat Ibnu Rushd, tapi mereka terang-terangan mengaku mendapat inspirasi setelah membaca karya-karya Ibnu Rushd.

Jadi tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa pemikiran filsafat Ibnu Rushd inilah sebenarnya menjadi dasar dari kegemilangan peradaban eropa dan barat secara keseluruhan.

Inilah yang disebut ironi, dalam Islam, pemikiran dan ide gemilang Ibnu Rushd ini tidak mendapat tempat, bahkan untuk di Indonesia, kalau kita merujuk pada ucapan Teuku Zulkhairi, pemikiran filsafat seperti ini malah diharamkan oleh MUI.

Begitulah, kalau ada orang yang menanyakan pendapat saya tentang Tahafut al-Falasifah yang merupakan karya besar Al-Ghazali, maka menurut saya buku ini adalah sebuah karya yang hebat yang dibuat oleh Ghazali untuk mempertahankan IMAN terhadap AKAL, yang dibuat oleh Al-Ghazali berdasar kegelisahannya menyaksikan banyaknya pemikiran intelektual Islam masa itu yang beberapa di antaranya sudah terlalu mendewakan akal.

Tapi sayangnya dalam usahanya ini, dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali malah menyerang seluruh perilaku orang-orang yang melakukan proses berpikir menggunaan akal dalam menjelaskan segala fenomena alam. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mencela perilaku seperti itu sambil mengajak umat Islam untuk hanya menyerahkan segala permasalahan dan penjelasan terhadap segala fenomena dan rahasia alam semata pada Allah.

Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali membahas dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah fisik. Dari dua puluh masalah yang dibahas oleh Al-Ghazali tersebut, tujuh belas diantaranya berisi tuduhan terhadap para filsuf yang dikatakan oleh Al-Ghazali telah melakukan bid’ah. Sementara di tiga masalah sisanya, Al-Ghazali dengan yakin mengatakan bahwa para filsuf telah keluar dari Islam, alias KAFIR.

Dalam buku berikutnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din (yang sedikit potongannya saya kutip di atas), Al-Ghazali mengatakan bahwa hanya ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi (fardlu ‘ain) olah para muslim. Sementara ilmu dunia,hanyalah fardlu kifayah yang kalau sudah ada orang Islam lain yang melakukannya, maka orang Islam sisanya sudah tidak lagi memiliki kewajiban untuk mempelajarinya.

Ihya’ ‘Ulum al-Din yang merupakan simbol pemikiran tasawuf, yang sesuai dengan namanya menganjurkan umat Islam untuk mendalami ilmu-ilmu agama saja, telah menjadi senjata pamungkas yang sukses mematikan pemikiran rasional di dunia Islam. Kemudian, ketika pemikiran tasawuf Al-Ghazali kemudian semakin diperkuat oleh Ibnu ‘Arabi. Sejarah kegemilangan dunia Islam-pun resmi berakhir.

Alasan-alasan seperti inilah yang membuat saya berpandangan, kalau buku Tahafut al-Falasifah memiliki lebih banyak sisi negatif daripada sisi positifnya, sehingga menurut saya, buku ini lebih bersifat merusak daripada membangun, sebab ide-ide dalam buku ini mengajak orang Islam untuk berhenti berpikir, hal yang menurut saya merupakan sumber keterpurukan umat Islam sejak pudarnya pengaruh Mu'tazillah di abad ke-12 M, sampai hari ini dan belum ada tanda-tanda akan bangkit lagi.

Ibarat kisah dalam cerita silat karangan Asmaraman S Kho Ping Hoo, Tahafut al-Falasifah adalah jurus sakti milik umat Islam yang saat dikeluarkan malah berbalik menghantam dan menghancurkan pemilik jurus itu sendiri.

Wassalam

Win Wan Nur

Orang Aceh berdomisili di Jakarta.

Sumber :

Abu Bakr Ibn Tufail, The History of Hayy Ibn Yaqzan, (New York : Frederick A. Stokes Company)
“L'atomisme antique face a l'amour,” Revue philosophique de la France et de l’Étranger (Morana, Cyril, 1996).
AL Ghazali/ghaz-mn.htm
Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan para Filosof) Penulis: Al-Gazali Pengantar: Dr Sulaiman Dunya Penerbit: Marja’ Bandung, Maret 2010
TAHAFUT AL-TAHAFUT The Incoherence of the Incoherence http://evans-experientialism.freewebspace.com/averroes03.htm
Mengembalikan Masa Kejayaan Islam http://www.albarokah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=226&Itemid=2
Carneades http://www.informationphilosopher.com/solutions/philosophers/carneades/
Epicureanism http://en.wikipedia.org/wiki/Epicureanism
Ash'ariyya and Mu'tazila http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H052

Nasaruddin, Mentalitas Kekuasaan Golkar dan Politisi Tuna Nurani

http://www.theglobejournal.com/kategori/politik/nasaruddin-mentalitas-kekuasaan-golkar-dan-politisi-tuna-nurani.php

Nasaruddin, Mentalitas Kekuasaan Golkar dan Politisi Tuna Nurani
Win Wan Nur I OPINI | Jum`at, 16 April 2010

Takengen - Setelah melalui beberapa manuver politik yang agak sulit diterima oleh akal sehat kaum non politisi Musyawarah Daerah (Musda) VIII Partai Golkar yang digalar di Bale Pendari, Takengon, Minggu (11/4) akhirnya berhasil memilih Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Aceh Tengah periode 2010-2015.

Pemilihan Ketua DPD Golkar Aceh Tengah pada Musda VIII ini diikuti oleh tiga kandidat dengan latar belakang beragam.

Kandidat pertama adalah Ir. Sukur Kobat, politisi senior yang sudah kenyang makan asam garam dunia perpolitikan Aceh Tengah ini sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Gajah Putih. Sebagai seorang kader Golkar, diantara ketiga kandidat ini Sukur Kobat adalah kandidat yang memiliki karir politik paling panjang di Golkar. Bersama Golkar Sukur Kobat telah mengalami berbagai pasang surut perpolitikan negeri ini, termasuk saat melewati masa-masa sulit pasca runtuhnya Orde Baru.

Secara pribadi bisa dikatakan, Sukur Kobat yang mantan ketua DPRD Aceh Tengah periode lalu ini adalah kandidat yang memiliki wawasan yang paling luas, paling mengerti seluk-beluk Golkar di Aceh Tengah serta memiliki tingkat intelektual paling tinggi kalau dibandingkan dengan kedua pesaingnya.

Kandidat kedua, Taqwa Wahab adalah politikus muda Golkar yang sudah cukup lama berkecimpung dan aktif di Golkar tapi baru belakangan ini benar-benar fokus dan serius membangun karir politiknya di Aceh Tengah. Taqwa, politikus dari trah Wahab ini memiliki latar belakang sebagai seorang pengusaha yang bergerak dibidang produksi dan penjualan bahan kimia pembersih yang digunakan di hotel-hotel, restoran sampai bandara.

Usaha yang dikelola Taqwa bersama keluarganya ini terbilang sukses. Produk mereka sempat menjadi leader dalam persaingan diantara produk-produk sejenis di berbagai kota penting di Indonesia mulai dari Jakarta, Medan, Batam sampai Bali. Tapi usaha yang terbilang sukses ini ditinggalkan oleh Taqwa untuk mengejar karir politiknya di Aceh Tengah.

Keputusan Taqwa untuk fokus kepada karir politik ini berbuah manis ketika pada Pemilu 2009 lalu, Taqwa yang oleh Golkar ditempatkan sebagai Caleg nomer urut 5 untuk daerah pemilihannya berhasil menduduki kursi DPRK Aceh Tengah periode tahun ini, dengan mengungguli caleg Golkar yang bernomor urut di atasnya sekaligus juga rival dari partai lain. Dalam pemilihan kali ini, Taqwa jelas menawarkan semangat muda yang segar dan ide-ide pembaharuan.

Kandidat ketiga adalah Ir. H Nasaruddin MM, yang sekarang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Aceh Tengah. Dibandingkan kedua pesaingnya, kandidat ketiga ini terbilang yang paling cetek pengalaman organisasi Golkar. Nasaruddin maju ke pemilihan ketua DPD Partai Golkar Aceh Tengah ini dengan bermodalkan pengakuannya sendiri bahwa dia pernah menjadi pengurus Partai Golkar saat bertugas di Aceh Barat, tapi pengakuannya ini banyak diragukan oleh beberapa kalangan.

Keraguan beberapa kalangan ini cukup masuk akal karena Nasaruddin memiliki latar belakanga karir sebagai PNS, tanpa banyak terlibat di organisasi. Dalam waktu cukup lama Nasruddin hanyalah seorang PNS biasa yang memulai karir dari bawah sampai kemudian meningkat menjadi asisten I Pemkab Aceh Tengah.

Terjunnya Nasaruddin ke dunia politik pun bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan, dimulai dari titik balik perjalanan karir Nasaruddin yang terjadi pada tahun 2002, di masa pemerintahan Bupati Mustafa M Tamy. Oleh Mustafa Tamy saat itu, Nasaruddin diangkat menjadi Sekdakab Aceh Tengah menggantikan Ibnu Hajar Lauttawar. Jabatan ini diduduki oleh Nasaruddin sampai 2004, ketika masa jabatan Mustafa Tamy habis. Saat masa jabatan Mustafa M Tamy habis, Nasaruddin naik menggantikan posisinya meski hanya berstatus pejabat bupati. Inilah yang menjadi titik balik bagi Nasruddin untuk menggeluti dunia politik.

Berakhirnya masa jabatan Nasaruddin sebagai pejabat bupati ditandai dengan perubahan fundamental sistem pemilihan bupati di Aceh Tengah, yang sebelumnya melalui penunjukan langsung, kini memasuki babak baru dengan pemilihan langsung. Situasi ini membuat Nasaruddin yang ingin melanjutkan jabatan sebagai bupati secara permanen mau tidak mau harus mendekati partai-partai politik sebagai kendaraan untuk mencalonkan dirinya sebagai bupati pada Pilkada 2006 lalu.

Saat itu Nasaruddin yang tidak pernah punya latar belakang aktivitas politik praktis ini gagal mendekati Golkar dan PPP yang menjadi kekuatan politik utama di Aceh Tengah waktu itu. Tapi Nasaruddin berhasil mendekati empat partai gurem yaitu PBR, PAN, PKPI, Partai Patriot Pancasila untuk menjadi kendaraan politik untuk maju sebagai calon bupati Aceh Tengah dengan menggandeng Drs.H.Djauhar, putra dari seorang ulama berpengaruh di Takengen.

Golkar, pada pemilu tahun 2006 tersebut menetapkan Mahreje Wahab sebagai calon bupati. Mahreje adalah abang kandung dari Taqwa Wahab yang juga merupakan salah satu kandidat dalam pemilihan Ketua DPD Golkar Aceh Tengah pada Musyawarah Daerah (Musda) VIII ini.

Di dalam Golkar sendiri, penunjukan Mahreje sendiri ternyata menimbulkan gejolak di dalam tubuh partai yang meraih kursi terbanyak untuk DPRD Aceh Tengah pada pemilu legislatif sebelumnya. Di internal Golkar sendiri, dalam proses pengajuan untuk menjadi calon bupati yang mewakili Golkar, Mahreje Wahab menyingkirkan Sukur Kobath, salah satu tokoh sentral di tubuh Golkar Aceh Tengah yang juga salah satu kandidat yang bertarung dalam dalam pemilihan Ketua DPD Golkar Aceh Tengah pada Musda VIII ini.

Tersingkir dari persaingan di internal partai Golkar ini ternyata tidak membuat pudar ambisi Sukur Kobath yang saat itu menjabat ketua DPRD untuk menjadi bupati Aceh Tengah. Gagal naik dari Golkar, Sukur Kobath kemudian bergerilya dan akhirnya berhasil menggandeng partai demokrat untuk menjadikan dirinya sebagai calon bupati untuk bertarung di Pilkada 2006.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Pilkada 2006 ini kemudian dimenangi oleh Nasaruddin.

Pasca memenangi pilkada, tidak serta merta membuat jalan Nasaruddin menuju kursi bupati menjadi mulus. Setelah Nasaruddin dipastikan memenangi pilkada 2006, di Takengen terjadi gejolak yang berpunca pada tuduhan bahwa kemenangan yang diraih Nasaruddin selama pilkada tidak didapat dengan cara-cara jujur.

Dengan membawa bukti-bukti, partai pendukung dan para calon bupati yang kalah pada Pilkada 2006 tersebut menuduh Nasaruddin melakukan banyak kecurangan. Salah satu yang paling sengit melancarkan tuduhan kecurangan ke arah Nasaruddin waktu itu tentu saja Golkar yang perolehan suaranya paling mendekati perolehan suara Nasaruddin.

Suasana semakin tidak menentu ketika tuduhan melakukan kecurangan yang diarahkan kepada Nasaruddin tersebut semakin memuncak, tiba-tiba secara ajaib kantor KIP Aceh Tengah terbakar. Kebakaran yang terjadi sekitar jam 4 subuh di kantor KIP yang terletak di belakang kediaman Kapolres Aceh Tengah itu, meludeskan seluruh dokumen pilkada yang bisa digunakan untuk menjadi bukti kecurangan Nasaruddin.

Kejadian ini jelas membuat gusar para calon yang kalah yang merasa dicurangi oleh Nasaruddin dalam pilkada 2006 tersebut. Kegusaran para calon yang kalah atas kejadian itu diberitakan secara lugas oleh koran online Kapanlagi.com

"Kami merasa dirugikan dengan terbakarnya kantor KIP. Kami minta Bapak Kapolres menuntaskan persoalan ini," tutur Sukur Kobath kepada media ini.

"Patut diduga ini dibakar, karena selain dijaga petugas dari kepolisian dan pamong praja, di kantor KIP tersimpan sejumlah dokumen yang akan sama-sama diteliti tentang adanya kecurangan dalam Pilkada. Dari dulu aman, kenapa ketika kami mau menegakkan kebenaran justru kantor ini terbakar atau dibakar," sebut Sukur di Kapanlagi.com

"Bagaimana mau duduk, kantornya sudah dibakar. Kami akan melakukan aksi turut berduka cita, atas matinya demokrasi dan kejujuran di Aceh Tengah," sebut Mahreje.

Peristiwa ini membuat penolakan terhadap kemenangan Nasaruddin semakin membesar, sehingga pelantikannya sebagai bupati terus tertunda dan semakin berlarut-larut. Para calon yang kalah dan partai politik yang menaunginya dengan didukung oleh masyarakat yang menjadi konstituen mereka menuntut pemilihan ulang. Pada 24 Desember massa bahkan sempat menyandera beberapa anggota KIP Aceh Tengah, mendesak mereka untuk menandatangani pernyataan bahwa KIP Aceh menyetujui Pilkada ulang.

Tapi, ketua KIP Aceh Tengah, Abdullah Ahmad yang menghubungi KIP Aceh tentang masalah tuntutan masyarakat tersebut mengatakan bahwa pilkada ulang tidak bisa dilakukan, menurutnya meskipun dokumen di Kantor KIP Aceh Tengah sudah ludes terbakar namun dokumen hasil penghitungan suara masih ada, karena dibawa oleh Ketua KIP Aceh Tengah ke Banda Aceh.

Keadaan seperti ini membuat situasi perpolitikan di Aceh Tengah tidak menentu dan penuh ketidak pastian, keadaan seperti ini terus berlangsung sampai lebih dari tiga bulan. Dalam masa ini Nasaruddin dan para pendukungnya juga tidak tinggal diam, mereka mulai mendekati para mantan anggota GAM yang memiliki akses ke gubernur Aceh yang baru yaitu Irwandi Yusuf, dan ternyata pendekatan itu berhasil.

Akhirnya di tengah berbagai ketidak pastian politik tersebut untuk mengakhiri polemik, pada 3 april 2007 dalam sebuah Sidang Paripurna Istimewa di itu Gubernur NAD, drh Irwandi Yusuf melantik Nasaruddin sebagai bupati Kabupaten Aceh Tengah yang baru.

Melihat latar belakang politik Nasaruddin ditambah dengan apa yang telah dia lakukan yang pernah sangat menyakitkan partai Golkar. Maka, pada pemilihan Ketua DPD Golkar Aceh Tengah pada Musyawarah Daerah (Musda) VIII, siapapun yang berpikir dengan logika dan etika normal di dunia beradab, pasti langsung memperkirakan kalau Sukur Kobath dan Taqwa Wahab lah yang akan bersaing ketat dalam usaha menduduki kursi ketua.

Di antara ketiga calon ini, Sukur Kobath jelas yang paling berpengalaman dan tahu segala detail kecil urusan Golkar di Aceh Tengah, Taqwa Wahab sendiri dikenal sebagai pendukung setia Akbar Tanjung yang sempat agak tersisih saat Jusuf Kalla menjadi ketua, tapi sekarang ketika Aburizal Bakri yang adalah orangnya Akbar Tanjung berkuasa, maka logikanya para kader Golkar tentu akan melihat ini sebagai nilai plus Taqwa.

Tapi, dunia politik di Indonesia ini logika dan etika normal di dunia beradab itu sama sekali tidak berlaku. Di negeri ini, atas nama politik pelecehan terhadap logika, akal sehat apalagi logika menjadi sah. Dalam dunia politik indonesia kepentingan jangka pendek nan pragmatis ada di atas segalanya.

Apalagi kali ini kita berbicara tentang partai Golkar, partai penyokong utama Orde Baru yang memang tidak didesain untuk menjadi sebuah partai oposisi, menjadi penguasa sudah menjadi DNA partai ini. Elite Golkar tidak bisa melepaskan diri dari mentalitas dan tradisi sebagai penguasa karena sejak awal kelahirannya, Partai Golkar memang didesain sebagai partai negara (state party) yang dibangun dengan semangat dari atas ke bawah, bukan sebaliknya. Golkar memang didesain untuk menjadi partai yang menyuarakan kehendak penguasa untuk didengarkan oleh rakyat, bukan sebaliknya.

Seorang tokoh di Golkar hanya dihargai kalau si tokoh tersebut memiliki kekuasaan, sebesar apapun jasanya terhadap partai di masa lalu, jika si tokoh tidak memiliki kekuasaan, maka di mata para kader Golkar nilainya adalah 'Nol Besar'. Akbar Tanjung, tokoh yang paling berjasa di Golkar pasca jatuhnya Orde Baru pernah merasakan ini.

Ketika Golkar dihujat habis-habisan oleh segala penjuru angin, ketika semua orang Golkar menghilang karena takut, Akbar membuktikan diri sebagai nahkoda yang handal. Sendirian Akbar menghadapi serangan-serangan itu dan Golkar terbukti selamat, malah pada Pemilu pertama Pasca Orde Baru, Golkar masih mampu menduduki posisi kedua. Bahkan lebih hebat lagi, Pemilihan Umum 2004, kepemimpinan AKbar berhasil membawa Golkar menjadi pemenang. Meskipun kemudian kalah di pemilihan Presiden yang kita ketahui bersama saat itu dimenangi oleh SBY dengan wakilnya Jusuf Kalla, seorang kader Golkar yang membelot bergabung dengan SBY dan bertarung melawan Wiranto yang merupakan kandidat pilihan Golkar.

Pasca terpilihnya SBY-Kalla, Golkar sempat menjadi partai oposisi bersama PDIP yang merupakan pemenang kedua dalam Pemilu 2004. Koaliasi kedua Partai ini benar-benar kuat, koalisi ini menyapu bersih semua jabatan yang ada di DPR.

Lalu diselenggarakanlah Musyawarah Nasional VII Partai Golkar di Bali, Jusuf Kalla yang secara resmi masih merupakan anggota Golkar ikut mencalonkan diri menjadi ketua. Saat itu, siapapun yang berpikir dengan logika dan etika normal di dunia beradab, pasti langsung memperkirakan kalau Jusuf Kalla tidak akan berkutik di pemilihan ini menghadapi Akbar Tanjung yang telah begitu banyak memberikan jasa kepada Golkar.

Tapi sekali lagi, elite Golkar tidak bisa melepaskan diri dari mentalitas dan tradisi sebagai penguasa. Sosok Akbar Tanjung yang saat itu tidak memiliki jabatan apa-apa, menjadi terlihat sama sekali tidak menarik di mata para elite Golkar. Sebaliknya Jusuf Kalla yang saat itu menjabat wakil presiden, jelas memancarkan sinar yang begitu kemilau. Kemudian politisi Golkar sendiri rata-rata adalah manusia tuna nurani.

Sehingga ketika pemilihan ketua umum partai Golkar dalam Musyawarah Nasional VII Partai Golkar di Bali itu berakhir, Akbar terpelanting dengan mengenaskan, lawannya Jusuf Kalla terpilih secara telak.

Dalam Munas VII Partai Golkar di Bali waktu itu, bukan hanya orang yang anti Akbar yang memilih Kalla, bahkan orang seperti Syamsul Mu�arif yang dikenal sebagai "orang dekat" Akbar, yang menjadikannya Ketua Fraksi Golkar di DPR. Lalu oleh Akbar bahkan namanya disodorkan kepada Presiden Megawati untuk diangkat sebagai Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Di Munas Golkar ini, membelot ke kubu Jusuf Kalla.

Maka tidak heranlah ketika pasca terpilihnya Jusuf Kalla waktu itu Akbar Tandjung dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun televisi dengan lemas berkata "Saya seperti dikepung dari delapan penjuru angin!"

Hal seperti ini pula terjadi di Takengen pada saat Musyawarah Daerah (Musda) VIII Partai Golkar Aceh Tengah kemarin. Sukur Kobath boleh telah berjasa banyak buat Golkar, boleh memiliki tingkat intelektual yang tinggi. Taqwa Wahab boleh punya masa depan cemerlang dan memiliki kedekatan dengan pengurus pusat partai Golkar. Tapi di mata para kader partai berlambang beringin, tiada cahaya yang lebih kemilau dibanding kemilau cahaya kekuasaan.

Sehingga ketika, Nasaruddin yang berstatus sebagai orang nomor satu di kabupaten ini maju sebagai calon ketua, mudah ditebak segala kelebihan alias nilai plus yang dimiliki oleh Sukur Kobath dan Taqwa Wahab langsung terlihat tidak memiliki nilai apa-apa di mata sebagian besar kader Golkar yang memilik hak suara. Sehingga tanpa banyak kesulitan Nasaruddin mempecundangi dengan telak kedua calon ini sekaligus.

Bagi Sukur Kobath yang telah banyak makan asam dan garam dan telah terbiasa dengan kalah dan menang, kekalahan ini mungkin sakit tapi pasti sudah dia perkirakan dari awal. Tapi bagi Taqwa Wahab, kekalahan ini adalah tamparan keras di wajah, kekalahannya dalam pemilihan ketua Golkar kali ini adalah bukti Nasaruddin sekaligus bukti ketidak berdayaan trah Wahab saat berhadapan dengannya. Dalam pemilihan kali ini, Taqwa seolah menapak tilasi jejak abangnya Mahreje Wahab yang dipecundangi oleh orang yang sama pada pilkada Bupati Aceh Tengah yang lalu.

Kemudian karena kultur "jilat" dan "ABS" selama puluhan tahun memang sangat mencolok dalam tubuh Golkar, terpilihnya Nasaruddin ini sudah pasti akan menumbuh suburkan kultur itu. Contoh nyata tumbuh suburnya kultur ini langsung bisa kita saksikan beberapa saat setelah Nasaruddin terpilih.

Begitu Nasaruddin telah terpilih secara resmi di facebook langsung muncul ucapan selamat terhadap Nasaruddin. Dalam status ini Nasaruddin yang tidak pernah memberi kontribusi apa-apa kepada Golkar ini disebut sebagai "seorang kader terbaik partai", dan penulis status ini adalah seorang anak muda yang selama ini dikenal sebagai demonstran yang sering menyerang kebijakan pemerintah, bernama Hendra Budian.

Lalu, kalau sudah begini keadaannya, buat kita rakyat jelata yang menyaksikan, apa yang bisa kita dapat dari peristiwa ini?. Ya tidak ada apa-apa, karena dunia politik ini memang bukan dunia rakyat jelata.

Seperti kata Iwan Fals di lagu "Asik Nggak Asik"

Dunia politik punya hukum sendiri
Colong sana colong sini atau colong colongan
Seperti orang nyolong mangga
Kalau nggak nyolong nggak asik

Rakyat lugu kena getahnya
Buah mangga entah kemana
Tinggal biji tinggal kulitnya
Tinggal mimpi ambil hikmahnya

Dunia politik dunia bintang
Dunia pesta pora para binatang

Wassalam

Win Wan Nur

SD Karang Jadi, Sekolahku dan Cik Jon Sahabat Keluarga Kami

Pada awal dekade 80-an, aku tinggal di desa Fajar Harapan, sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung Bur Ni Telong yang saat itu berada dalam Kecamatan Timang Gajah, kabupaten Aceh Tengah. Tapi sekarang desa ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Bener Meriah.

Aku bersekolah di SD Negeri Karang Jadi, sebuah SD Inpres yang saat itu merupakan satu-satunya sekolah Dasar dalam radius 10 kilometer (antara Lampahan dan Simpang Balik). Saat aku masuk di kelas I, kelas tertinggi di sekolah ini baru sampai kelas IV, kelas V dan kelas VI masih kosong.

Rumahku cuma terpisah jarak 200 meter dari sekolahku ini, jadi aku tidak poernah terlambat masuk sekolah, dan oleh guruku aku sering dititipi kunci ruangan kelas dan membuka ruangan itu setiap pagi. Sementara banyak teman-teman sekelasku tidak seberuntung aku, beberapa dari mereka tinggal di kebun-kebun kopi di daerah Bur Lah yang jaraknya sekitar 6 atau 7 kilometer dari sekolah kami. Jadi teman-temanku itu, agar tidak terlambat harus bangun lebih pagi dan berjalan kaki ke sekolah kami. Seringkali mereka terpaksa menenteng sepatu yang dikenakan, karena jalan setapak yang mereka lalui becek diguyur hujan.

Secara etnisitas, teman-teman sekelasku cuma terdiri dari dua suku, yaitu suku Gayo dan suku Jawa yang semuanya memiliki orang tua yang berprofesi sebagai petani.

Pada waktu itu, profesi petani bukanlah sebuah profesi yang menghasilkan banyak uang meskipun tidak sampai membuat orang kelaparan. Meskipun tidak kekurangan makan, tapi rata-rata teman sekalasku bahkan tidak memiliki cukup uang untuk sekedar membeli sabun mandi, aku tahu itu karena tidak satupun rumah di desa tempatku tinggal itu yang memiliki kamar mandi. Kami semua mandi di tempat pemandian umum, dan setiap kali mandi kulihat, cuma aku satu-satunya yang memiliki sabun mandi (merk Camay) dan shampo bubuk (merk Tancho) dalam kotak perlengkapan mandi. Teman-temanku yang lain semuanya menggunakan sabun cuci Cap Sampan untuk mandi dan air perasan jeruk yang biasa digunakan untuk bumbu sayuran sebagai pengganti Shampo untuk membersihkan kulit kepala.

Karena situasinya seperti ini, saat guru kami mengajarkan cara menjaga kesehatan mulut, kami tidak diajari untuk menggunakan sikat gigi yang benar dengan pasta gigi berfluoride. Dalam ruangan kelas, guru kami mengajari kami untuk menjaga kebersihan mulut dengan cara menggosok gigi menggunakan sejenis rumput yang dalam bahasa Gayo disebut 'tetusuk'atau yang agak lebih elit menggunakan arang.

Teman-teman sekelasku jarang sekali yang memiliki uang jajan. Saat itu teman-teman saya termasuk saya sendiri hanya diberikan uang oleh orang tua sebatas untuk keperluan sekolah saja, seperti untuk membeli buku dan alat tulis. Bagi kami bahkan memiliki banyak buku tulis pun sudah terhitung sebuah kemewahan, tidak sedikit teman sekelasku yang hanya memiliki satu buah buku tulis yang digunakan untuk mencatat semua pelajaran.

Mainan juga demikian, kami sama sekali tidak memiliki mainan plastik apalagi mainan elektronik. Satu-satunya anak yang memiliki mainan elektronik di kampung kami ini cuma aku sendiri. Waktu itu aku punya mainan semacam video tanpa suara yang dijalankan dengan tenaga baterai dan ditonton dengan cara diintip. Aku punya tiga buah kaset untuk alat ini, yang satu ceritanya tikus dan kucing yang kejar-kejaran, satu lagi orang berkostum aneh yang berloncat-loncatan di gedung-gedung, kata ayahku namanya Spiderman, satu lagi aku lupa.

Teman-temanku selalu berebutan untuk melihat mainanku ini, tapi ayahku bilang satu hari mainanku ini cuma bisa dipakai sekali. Karena mainan ini harus dijalankan dengan menggunakan baterai yang harganya mahal. Karena itulah aku membuat giliran untuk teman-temankku yang ingin melihat film dalam mainanku ini, yang sudah pernah menonton tidak boleh menonton lagi sampai gilirannya datang lagi.

Aku mendapat mainan ini dari seorang teman keluargaku yang biasa kupanggil Cik Jon, yang kukenal pada tahun 1979, saat aku masih tinggal bersama dengan kakekku di Isaq.

Cik Jon, sahabat keluarga kami ini memiliki ciri fisik yang sangat berbeda dengan semua orang yang pernah kukenal. Misalnya, secara ukuran tubuh saja Cik Jon benar-benar berbeda dengan orang yang pernah kulihat. Cik Jon bahkan lebih tinggi dari ayahku, padahal sebelum bertemu Cik Jon, aku belum pernah melihat ada satu orangpun yang lebih tinggi dari ayahku. Ciri fisik lain yang sangat berbeda dari Cik Jon adalah hidungnya yang sangat mancung, jauh lebih mancung dibanding hidung semua orang yang pernah kukenal.

Hal aneh lain yang kulihat dari fisik Cik Jon adalah kulitnya yang berwarna merah jambu, padahal selama ini kebanyakan orang yang kulihat memiliki kulit berwarna hitam seperti kulit ayahku, coklat seperti kulitku atau putih seperti kulit ibuku. Rambut dan semua bulu di tangan dan kaki Cik Jon berwarna kuning, tidak hitam seperti milikku dan hampir semua orang yang kukenal.

Warna kulit dan warna rambut Cik Jon ini mirip seperti warna kulit dan warna rambut Cina bisu yang bekerja sebagai pengayuh becak barang yang selalu lewat di depan rumah bibiku di Jalan Mersa Takengen. Yang selalu kuingat dari Cina bisu ini adalah dia selalu memicingkan mata setiap kali matahari bersinar terik.

Dulu waktu pertama kali melihat cina bisu pengayuh becak itu, aku pernah menunjukkan keherananku. Oleh bibiku yang bekerja sebagai perawat, aku dijelaskan kalau si Cina bisu itu kulitnya seperti itu karena satu kelainan (waktu menjelaskan padaku bibiku mengatakan kelainan itu sebagai "penyakit" )yang dia dapat sejak lahir, bukan cuma kulitnya, tapi matanya juga tidak tahan kena matahari langsung, karena itulah dia selalu memicingkan mata, kata bibiku itu.

Aku tidak begitu mengerti penjelasan bibiku ini, tapi aku tahu cina bisu terlihat berbeda dengan kami karena dia sakit, dia yang tidak bisa berbicara juga kupikir pasti karena sakitnya ini.

Karena itulah dulu waktu pertama bertemu Cik Jon aku menyimpulkan kalau Cik Jon juga sakit seperti Cina Bisu yang biasa kulihat lewat mengayuh becaknya di depan rumah bibiku. Tapi aku benar-benar kaget ketika mengetahui Cik Jon ternyata bisa bicara, lalu setelah kuperhatikan lagi Cik Jon tidak pernah memicingkan mata di bawah matahari yang bersinar terik.

Aku sempat merasa bingung dan penasaran melihat keanehan Cik Jon ini. Tapi karena kulihat Cik Jon sangat dihargai oleh orang-orang dewasa di keluargaku, aku takut untuk menanyakan kepada mereka kenapa Cik Jon bisa seperti itu. Belakangan ketika sudah ada televisi dan di televisi sering diputar film-film Amerika, baru aku tahu kalau di dunia ini ada banyak orang seperti Cik Jon di negara yang namanya Amerika itu, negara tempat Cik Jon berasal yang kutahu sangat jauh letaknya tapi tidak aku tahu persis dimana.

Waktu aku tinggal di Isaq itu, setiap malam sehabis shalat Isya, Cik Jon yang pulang shalat dari mesjid bersama kakekku, yang juga seperti kakekku masih mengenakan kain sarung selalu berbincang-bincang dengan kakekku di bale-bale dapur kami. Saat mereka berbincang-bincang, biasanya aku selalu berada di sana untuk mendengarkan, tapi meskipun Cik Jon dan Kakekku berbincang dalam bahasa Gayo, tidak satupun kalimat yang mereka bicarakan yang aku mengerti. Aku sendiri cukup akrab dengan Cik Jon, dia sering menggendongku dan pernah sekali memberiku uang jajan tapi dilarang oleh kakekku dan sejak itu dia tidak pernah lagi memberiku uang jajan.

Satu hari tiba-tiba Cik Jon menghilang dari kampung kami, aku tidak tahu dia kemana dan aku juga tidak pernah menanyakannya kepada kakekku. Hampir bersamaan dengan menghilangnya Cik Jon, aku juga kembali tinggal dengan orang tuaku untuk bersekolah. Aku bertemu kembali dengan Cik Jon di Medan, pada sekitar tahun 1981 ketika aku mengantarkan kakekku naik haji. Ketika itulah dia memberikan mainan kebanggaanku itu yang katanya dia beli di Hongkong yang tidak kutahu di mana letaknya itu.

Belakangan ketika aku dewasa aku tahu kalau Cik Jon ini memiliki nama lengkap John Richard Bowen, seorang profesor Antropologi yang banyak menulis karya antropologi tentang Gayo, diantaranya Sumateran Politics and Poetics, Muslim Through Discourse, Islam and The Equality in Indonesia dan lain-lain, beliau sekarang mengajar di University Of Washington di St. Louis, Missouri di Amerika sana. Belakangan pula aku ketahui kalau perbincangannya dengan kakekku yang dulu tidak kumengerti itu adalah wawancara yang Cik Jon lakukan sebagai bahan untuk menyelesaikan disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor.

Perbincangan antara Cik Jon dan kakekku di bale-bale dapur rumah kami itu, yang dulu sama tidak kumengerti itu sekarang tercatat di dalam dua buku karya Cik Jon yang dia beri judul, Sumateran Politics and Poetics Gayo History 1900-1989 yang diterbitkan oleh Yale University Press pada tahun 1991 dan Muslim Through Discourse.

Sekarang aku masih sering berhubungan dengan Cik Jon via E-mail, dari cerita-cerita di E-Mail aku meminta Cik Jon mengirimiku buku-bukunya dan dalam buku itu aku membaca kembali dialog Cik Jon dengan Kakekku yang sekarang sudah almarhum setiap malam sehabis shalat Isya pada tahun 1979 lalu.

Seperti dulu aku yang selalu mendengarkan dialog Cik Jon dengan almarhum kakekku dengan khusuk, sekarang pun aku menyimak dialog itu dengan penuh rasa ingin tahu, tapi bedanya dengan tahun 1979 lalu, sekarang aku sudah sangat paham apa yang mereka perbincangkan. Meskipun perbincangan yang mereka lakukan dalam bahasa Gayo itu, dalam buku ini sudah diterjemahkan oleh Cik Jon ke dalam bahasa Inggris.

Wassalam

Win Wan Nur

Jaringan Teroris Asal Aceh Versi Jawa Pos

Setiap kali ada berita seperti ini saya selalu suka membandingkan cara penyampaian berita oleh berbagai media.

Dan selalu cara penyampaian berita itu selalu terkait dengan suasana emosional pembaca berita tersebut.

Hari ini kebetulan saya ada di Bali, jadi saya mencoba membaca beberapa media lokal untuk mengetahui cara mereka menggambarkan peristiwa ini, dan seperti biasa, saya juga penasaran dengan cara JAWA POS dalam memberitakan peristiwa ini.

Pembaca di Bali yang tidak memiliki hubungan emosional yang kentara dengan Aceh dan secara umum bisa dikatakan memiliki hubungan yang tidak terlalu harmonis dengan suku Jawa yang merupakan mayoritas pendatang di provinsi tersebut, dalam menuliskan berita tertangkapnya 6 teroris di Medan ini sama sekali tidak menekankan pentingnya kata ACEH.

Surat Kabar terbesar di Bali, Bali Post misalnya, menurunkan berita ini di halaman pertama dengan judul "Enam Tersangka Teroris Ditangkap, Dua Kabur". Dalam seluruh isi berita kisah penangkapan teroris di Medan ini, Bali Post hanya menyebut kata Aceh satu kali, dalam kalimat " Setelah dibawa dan diperiksa di Mapoltabes Medan, pihaknya menemukan peta Sumut dan Aceh yang dimiliki tersangka itu"

Surat kabar terbitan Bali yang lain yang memiliki Oplag cukup signifikan, Nusa Bali juga menurunkan berita ini di halaman pertama, dengan judul utama (ditulis dengan huruf berukuran besar dan tebal ) "6 Teroris Ditangkap, 1 Tertembak". Lalu dibawahnya ada judul pendukung yang ditulis dengan huruf berukuran lebih kecil " Teroris Medan Mengaku Rencana Ledakkan Cikeas"

Di Nusa Bali nama Aceh disebut beberapa kali, tapi oleh Nusa Bali, penyebutan nama Aceh tersebut sama sekali tidak disebutkan sebagai tempat asal teroris.

Kata Aceh disebut di Nusa Bali dalam kalimat-kalimat berikut :

* Setelah serangkaian penggerebekan di Aceh, 6 teroris Medan Sumatera Utara, sabtu (11/4 subuh)
* Melintas dengan mobil Toyota Kijang plat BL (Aceh)
* Sebagaimana rekannya yang digrebek di Aceh
* Mobil Kijang plat Aceh yang digunakan teroris sudah disita polisi
* Peta Nanggroe Aceh Darussalam
* Sebuah Mobil Toyota Kijang Plat Aceh
* Dicari terkait jaringan teroris yang masuk ke Aceh

Dalam menjelaskan jati diri keenam teroris itu Nusa Bali menjelaskan " Untuk dua teroris berasal dari Bandar Lampung sedang empat lainnya berasal dari Jawa"

Bandingkan kedua penggambaran berita penangkapan teroris di medan ini dengan berita Jawa Pos yang dimuat di berita utama di halaman belakang surat kabar terbitan Surabaya ini

Enam Teroris DPO Aceh Tertangkap (ditulis dengan huruf berukuran besar dan tebal)
Dalam Razia di Medan (ditulis dengan huruf berukuran kecil)

MEDAN - Sekelompok orang yang diduga sebagai anggota jaringan teroris asal Aceh dan masuk DPO (daftar pencarian orang) tertangkap polisi dalam razia di Medan dini hari kemarin (11/4). Enam orang yang ditangkap itu langsung dibawa ke Mapoltabes Medan. Dua orang lainnya kabur.

Berdasar laporan Rakyat Aceh (Jawa Pos Group), enam orang tersebut ditangkap di depan eks pool ANS di Jalan Sisingamangaraja, Medan, sekitar pukul 03.00. Saat itu petugas Sabhara Poltabes Medan dibantu personel Polsek Medan Kota melakukan razia di tempat kejadian perkara (TKP).

Lengkapnya baca di http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=127870

Dengan membandingkan berita di dua surat kabar terbitan Bali ini dan surat kabar terbitan Surabaya ini, kita jelas melihat ada dua sikap yang berbeda. Bali yang tidak memiliki tendensi apa-apa terhadap Aceh sama sekali tidak mensangkut-pautkan kejadian penangkapan teroris di medan tersebut dengan Aceh. Untuk berita di Nusa Bali, Malah orang Medan yang ketiban sial mendapat cap teroris, nusa Bali juga dengan lugas menyebutkan kalau Empat dari enam teroris itu berasal dari Jawa.

Sementara Jawa Pos yang berita-beritanya tentang Aceh sejak zaman konflik dulu yang memang selalu tendensius terhadap Aceh, kali ini pun tidak berbeda.

Jawa Pos dengan lugas mengatakan bahwa tersangka teroris yang ditangkap di Medan tersebut sebagai "Sekelompok orang yang diduga sebagai anggota jaringan teroris ASAL ACEH"

Tapi karena memang sudah dari dulu demikian, saya tidak terlalu heran. Yang membuat saya penasaran adalah bagaimana cara harian Rakyat Aceh yang merupakan kaki tangan Jawa Pos di Aceh dalam memberitakan peristiwa ini.

Wassalam

Win Wan Nur

TV One dan Teroris Asal ACEH Warga MAGETAN

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis sebuah artikel tentang cara beberapa media di Indonesia dalam menurunkan berita tentang pelatihan teroris di Aceh. Baca : http://polhukam.kompasiana.com/2010/03/23/berita-terorisme-di-aceh-dan-opini-yang-dibentuk-media/

Di situ saya mengkritisi beberapa media yang secara konsisten menyebut para teroris iti sebagai teroris Aceh, padahal jelas-jelas mayoritas dari para teroris itu berasal dari Jawa.

Akibat penyebutan yang semena-mena seperti ini ada banyak warga Aceh yang dirugikan.

Misalnya ketika tulisan tersebut saya post di facebook, seorang mahasiswi asal Aceh yang kuliah di UNIMED (Universitas Negeri Medan) mengatakan kepada saya kalau sejak istilah TERORIS ACEH itu di blow oleh media, dia dijadikan bulan-bulanan oleh teman-temannya, dia diejek sebagai saudaranya teroris. Mahasiswi yang sama juga mengatakan kalau sejak berita itu diblow oleh media, banyak orang di Medan yang menyebut Mie Aceh yang cukup terkenal di kota itu sebagai Mie buatan teroris.

Komentator lain adalah orang Aceh yang tinggal di Surabaya, yang mengatakan juga mengalami tekanan yang sama seperti yang dihadapi oleh mahasiswi Aceh yang kuliah di Medan itu.

Entah punya sentimen atau rasa tidak senang apa media-media tersebut terhadap Aceh sehingga penyebutan yang sangat mengganggu ini sepertinya sudah menjadi standar media di Indonesia entah itu media cetak ataupun elektronik sampai hari ini.

Tadi ketika saya pulang ke rumah, saya menyalakan televisi dan memilih channel TV One. Di layar kaca tampak berita penangkapan tersangka teroris oleh polisi di kota Medan, Sumatera Utara.

Dalam menggambarkan penangkapan itu, pembawa acara berita itu mengatakan kurang lebih seperti ini.

"Siang tadi, di Medan, polisi berhasil menangkap 6 orang Teroris asal Aceh", kemudian TV One menampilkan gambar saat orang-orang tersebut diinterogasi dan kita dengan mudah mengenali aksen bicara mereka yang khas dengan pengucapan huruf D, B yang tebal.

Berikutnya di layar kaca muncul nama-nama ke enam orang tersebut.

Dalam menjelaskan nama-nama ke enam tersangka teroris itu wanita cantik pembawa acara berita tersebut menjelaskan

"Keenam teroris asal ACEH tersebut adalah

1. Komaruddin alias Abu Musa (35) penduduk Bandar Lampung,
2. Ibrahim alias Deni (31) warga Sidoarjo,Jawa Timur.
3. Yusuf Arifin (25) warga Bandar Lampung,
4. Bayu alias Budi (26) warga Solo,Jawa Tengah
5. Pandu alias Abu Asama (26) warga Solo,Jawa Tengah
6. Lutfi alias Jafar (30) warga Magetan Jawa Timur. "

Mendengar penjelasan wanita cantik pembawa acara ini, saya yang lahir dan besar di Aceh yang menghabiskan hampir 3/4 masa hidup saya di Aceh jadi merasa bingung.

Saya bingung karena saya sudah pernah berkeliling ke semua kabupaten yang ada di Aceh, tapi saya sama sekali tidak pernah mengetahui ada sebuah tempat di Aceh yang bernama Bandar Lampung, Sidoarjo Jawa Timur, Solo Jawa Tengah dan Magetan Jawa Timur di Provinsi itu.

Saya memang mengenal nama-nama Kota itu, tapi kota yang saya kenal dengan nama itu terletak ribuan kilometer jauhnya dari Aceh.

Tapi saat menyaksikan berita tersebut di televisi, saya jadi ragu apakah tempat tinggal para TERORIS ASAL ACEH tersebut adalah sebuah nama tempat baru di Aceh, atau sebenarnya itu adalah kehebatan TV One yang berhasil memindahkan Magetan yang terletak lebih dari 4000 kilometer jauhnya dari pangkalan susu (batas provinsi Aceh) ke wilayah teritori Aceh.

Entahlah hanya Tuhan dan TV One yang bisa menjawabnya...

Wassalam

Win Wan Nur

Jumat, 09 April 2010

Beginilah Cara Seorang FUNDIES Menikam dari Belakang (sebuah tanggapan untuk Teuku Zulkhairi)

Belakangan ini sering terjadi, tulisan saya di blog dan facebook dikutip oleh orang lain tanpa pemberitahuan apalagi izin dari saya. Mereka mengutip tulisan-tulisan tersebut untuk berbagai keperluan, kebanyakan untuk ditempatkan di website-website yang menampilkan iklan.

Terhadap kejadian seperti ini saya tidak terlalu ambil pusing, terserahlah orang mau mengambil untung dari apa yang telah saya tulis selama saya sendiri tidak dirugikan.

Tapi ada kelompok kedua yang mengutip tulisan saya, kemudian dimuat di blog, milis atau website untuk kemudian dihajar beramai-ramai tanpa memberi saya hak jawab untuk memberikan klarifiksi.

Untuk alasan yang kedua ini saya jelas dirugikan, karena itulah belakangan ini saya sering meng-google nama saya sendiri, supaya kalau saya menemukan hal seperti ini, saya bisa ikut nimbrung untuk memberi klarifikasi.

Tadi iseng-iseng hal ini (meng-google nama saya sendiri ) saya lakukan dan menarik sekali, saya menemukan hal baru yang merugikan diri saya. Kali ini saya menemukan (di kompasiana) bukan tulisan saya yang dikutip, tapi orang yang lari terkencing-kencing lari dari debat melawan saya di facebook lalu memfitnah dan menyerang saya dari belakang secara sembunyi-sembunyi. Baca : http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/20/membongkar-%E2%80%9Ckerancuan-di-atas-kerancuan%E2%80%9D-pemikiran-win-wan-nur-oleh-teuku-zulkhairibersambung/ .

Orang yang melakuan hal yang sedemikian pengecut dan tanpa harga diri ini siapa lagi kalau bukan Teuku Zulkhairi, si FUNDIES ayam sayur, caleg PKS yang gagal terpilih di Pemilu 2009 lalu, yang sekarang kuliah S2 di IAIN Arraniry dengan beasiswa dari pemerintah Aceh, pemerintah yang pernah dia fitnah dengan semena-mena. Orang yang mendaftar menjadi teman di facebook saya, untuk kemudian menghujat dan memaki-maki saya, lalu lari sembunyi dan menggonggong dari jauh ketika mendapati bahwa dia tidak memiliki cukup argumen ketika tantangannya saya layani.

Oleh Teuku Zulkhairi, tulisan ini diberi judul “Membongkar Kerancuan di Atas Kerancuan Pemikiran Win Wan Nur” judul tulisan ini diambil dari judul tulisan Ibnu Rushd Tahafut Al Tahafut yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Kerancuan di atas Kerancuan. Tulisan ini dibuat oleh Ibnu Rushd sebagai kritik terhadap pemikiran seorang Al Ghazali yang berjudul Tahafut Al falasifa yang merupakan kritik Al Ghazali terhadap pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh kaum Mu'tazillah (terutama Ibnu Sina).

Dalam perdebatan kedua tokoh besar Islam ini, saya dengan tegas menempatkan diri di kubu Ibnu Rushd.

Pilihan saya ini tampaknya sangat tidak disukai oleh Teuku Zulkhairi, sehingga dia pun mengata-ngatai saya dengan bermacam-macam sebutan yang tidak enak.

Supaya debat kusir tidak berlanjut, saya kemudian menantangnya untuk memperdebatkan pemikiran kedua tokoh besar Islam yang hidup berbeda zaman ini. Saya mempersilahkan dia memaparkan pemikiran Al Ghazali dalam Tahafut Al Falasifa untuk saya balas dengan pemikiran Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut. Tapi tantangan saya tersebut selalu dihindari oleh Teuku Zulkhairi.

Tapi meskipun menghindar, di belakang saya Teulu Zulkhairi terus menyerang pilihan saya ini, seperti tulisan di kompasiana yang saya komentari ini.

Di samping menyerang pilihan saya tersebut, dalam tulisannya di Kompasiana ini, saya mendapati Teuku Zulkhairi juga menyebarkan berbagai fitnah yang berdasarkan informasi yang tidak benar terhadap saya.

Bersyukur sekali saya bisa mengetahui keberadaan tulisan ini, sehingga saya bisa memberi klarifikasi dan lebih bersyukur lagi, dengan menjawab di Kompasiana ini, teuku Zulkhairi tidak akan bisa seenaknya menghapus berbagai perkataan yang telah dia keluarkan untuk dimodifikasi buat menydutkan saya.

Dalam “Membongkar Kerancuan di Atas Kerancuan Pemikiran Win Wan Nur” , Teuku Zulkhairi sebagai penulis artikel menafsirkan pemikiran saya dengan seenak perutnya, lalu (penafsirannya itu) dia komentari sendiri dengan seenak perutnya pula. Lalu tulisan ini mendapat komentar dari orang bernama Azhari yang membacanya, yang kemudian dengan serta merta menyimpulkan (berdasarkan informasi dari tulisan Teuku Zulkhairi) bahwa "WWN sejenis dg makhluk Islam liberal yg menyamaratakan semua agama, ini bertentangan dg aqidah agama Islam"

Apa yang dilakukan oleh Teuku Zulkhairi ini mengingatkan saya kepada sifat khas kaum fundamentalis yang mau menghalalkan segala cara (termasuk yang bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut) untuk memaksakan pendapat mereka.

Bagi kaum fundamentalis itu (jangan tersinggung kalau anda tidak merasa termasuk dalam golongan itu) memaksakan pendapat membom dan membunuhi orang yang nggak ngerti urusan apa-apa saja boleh, apalagi kalau kurang dari itu.

Teuku Zulkhairi seperti biasa selalu menolak sebutan fundamentalis disematkan terhadap dirinya, tapi ciri-ciri kaum fundamentalis yang suka menghalalkan segala cara (termasuk yang bertentangan dengan agama yang dia anut) selalu tergambar jelas dalam setiap tulisannya.

Ciri khas kaum fundamentalis (yang mau menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan yang mereka yakini) dalam tulisan ini. Pertama; jelas tulisan ini di post oleh Teuku Zulkhairi tanpa memberitahukan kepada saya sebagai orang yang dia hujat untuk memberi hak jawab terhadap segala hal yang dia katakan.

Dalam tulisan (mengenai saya) yang dia post di luar sepengetahuan saya ini, Teuku Zulkhairi dengan bebas menafsirkan dan menilai dan menghakimi saya dengan segala imajinasinya sendiri.

Kedua, tulisan-tulisan dan komentarnya yang membuat Teuku Zulkhairi berseteru dengan saya pun dengan licik telah dia modifikasi redaksinya tanpa dia memberi link kepada pembaca untuk membuktikan bahwa benar komentar yang dia tulis memang seperti itu dan kronologisnya memang seperti yang dia gambarkan.

Dalam tulisan ini, Teuku Zulkhairi melakukan banyak penipuan data untuk memaksakan diterimanya ide-ide fundamentalis yang dia anut.

Misalnya pada paragraf ketiga dalam tulisan ini, "Awal dari perdebatan itu adalah koment ringan saya pada notes-nya yang bercerita tentang budaya Bali. Dalam koment tsb, sambil bercanda saya menulis “ Orang Hindu di Bali memang tidak layak menganggap diri sebagai umat terbaik lho, sebab mereka masih menyembah berhala di era modern seperti sekarang ini, he he he”. Koment ini ternyata mebuat WWN murka."

Ini jelas penipuan dan pemalsuan fakta. Dalam redaksi yang dia tuliskan di sini, Teuku Zulkhairi menggambarkan seolah-olah orang Bali menganggap diri sebagai umat terbaik. Padahal, hal seperti yang digambarkan oleh Teuku Zulkhairi itu sama sekali tidak eksis dalam budaya dan agama orang Bali, karena agama orang Bali bukanlah agama DAKWAH yang mencari umat agama lain untuk berpindah menganut agama mereka. Agama orang Bali itu justru sangat berbeda dengan agama-agama yang memiliki akar di Timur Tengah (Islam, Kristen dan Yahudi ) yang hanya mengakui adanya satu kebaikan yaitu kebaikan agama itu sendiri.

Agama orang Bali sebaliknya, mereka menganggap kebaikan ada dimana-mana termasuk di luar agama mereka (mirip dengan ide-ide kaum pluralis semacam Ulil). Saya tahu itu dan tentu saja karenanya "Orang Hindu di Bali menganggap diri sebagai umat terbaik" sebagaimanai yang anda katakan itu sangat tidak mungkin saya tuliskan.

Redaksi kalimat ASLI yang ditulis oleh Teuku Zulkhairi di link saya http://www.facebook.com/note.php?note_id=271545243965&id=1524941840&ref=share yang kemudian memunculkan debat panjang yang diakhiri dengan pilihan Teuku Zulkhairi untuk kabur seperti anjing kurap yang dipukuli orang sekampung adalah "cara hidup dgn bertelanjang seperti di pantai Kuta atau memuja makhluk (dlm tradisi hindu) memang tdk layak dibanggakan... dlm masyarakat modern hal tsb dianggap sbg budaya jahiliyah... he he he "

Komentar saya menanggapi tulisan tersebut yang disebutnya merupakan MURKA itu adalah;

"Lalu selanjutnya karena menurut bos mereka memuja makhluk (dlm tradisi hindu) memang tdk layak dibanggakan dan masih menganut budaya jahiliyah.

Apa menurut Bos Teuku Zulkhairi dua kali pengeboman yang dilakukan Jihadis Islam yang sangat patriotis sebagaimana layaknya Bos Teuku Zulkhairi ini terhadap mereka masih perlu ditambah lagi?"

Modifikasi redaksi kedua tulisan ini jelas mengubah makna dan esensi komentar tersebut. Perubahan redaksi ini jelas membuat efek psikologis yang sangat berbeda bagi orang yang membaca. Dalam tulisan yang telah dimodifikasi oleh Teuku Zulkhairi ini, terbaca orang Bali lah yang sedang memprovokasi, sementara kalau kita baca redaksi asli yang ditulis oleh Teuku Zulkhairi, adalah sebaliknya, justru Teuku Zulkhairi sedang melecehkan orang Bali dan agama yang mereka anut.

Kemudian ketiga, seluruh bangun argumen dalam tulisan Teuku Zulkhairi ini juga jelas-jelas adalah kesimpulan sepihak yang dia ambil atas interpretasi sepihak (yang data aslinya telah dimodifikasi tentunya) atas semua yang pernah saya katakan.

Contoh mengenai interpretasi sepihak yang data aslinya telah dimodifikasi ini dapat dibaca dengan jelas pada paragraf kelima tulisan ini, di sini Teuku Zulkhairi mengatakan "Sebab WWN memandang bahwa semua aturan dalam Islam adalah berdasarkan interpretasi(tafsiran) ulama secara sepihak, sehingga muaranya adalah perihal AKIDAH-pun menurut WWN hanya persoalan interpretasi."

Di sini Teuku Zulkhairi menggambarkan dengan gamblang seolah-olah kesimpulan yang berdasarkan imajinasinya tersebut adalah ide yang dikatakan oleh Win Wan Nur sendiri, padahal kalau kita bertanya pada Teuku Zulkhairi, mana bukti Win Wan Nur pernah berkata seperti itu, jelas dia tidak bisa menunjukkan.

Dalam tulisan ini, Teuku Zulkhairi dengan licik menggambarkan bahwa seolah-olah Win Wan Nur memandang bahwa semua aturan dalam Islam adalah berdasarkan interpretasi(tafsiran) ulama secara sepihak. Padahal kenyataannya yang saya kritisi hanyalah aturan Syariat Islam yang berlaku di Aceh, yang memang jelas adalah aturan dalam Islam, yang ditafsirkan oleh Ulama lalu dipaksakan menjadi sebuah Hukum Positif di Aceh. Saya mengkritisi ini karena sejak sebelum hukum yang memuat empat pasal yang mengatur empat perkara (judi, minuman keras, shalat jum'at dan berkhalwat alias berdua-duaan di tempat sepi) diterapkan pun sudah banyak orang yang mempertanyakan urgensinya kenapa hukum ini harus diterapkan.

Qanun ini saya kritisi karena saya sama sekali tidak paham , kenapa di negeri yang baru dicabik-cabik konflik, dimana korupsi tumbuh subur, rakyat tidak terurus justru empat pasal yang mengurusi tetek bengek itu yang justru diprioritaskan. Kemudian kalau kemudian hukum ini diterapkan, saya dan banyak orang yang mengkritisi Qanun yang mengatur urusan moral ini mengkhawatirkan bukannya memmbuat keadaan lebih baik, tapi justru akan banyak terjadi penyelewengan oleh aparat polisi moral yang ditugaskan mengawalnya. Tapi semua kritikan ini seperti masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan, sama sekali tidak dihiraukan oleh para ulama penggagas Qanun ini.

Kemudian beberapa hal yang telah saya dan orang-orang yang mengkritisi Qanun ini khawatirkan terjadi, para Ulama yang dulu dengankeras kepala tidak mau mendengarkan kekhawatiran itu dengan santai buang badan menyalahkan oknum.

Jadi sama sekali bukan seperti yang dituduhkan oleh Teuku Zulkhairi dalam tulisannya yang seolah sengaja disembunyikan dari pantauan saya ini bahwa "WWN memandang bahwa semua aturan dalam Islam adalah berdasarkan interpretasi(tafsiran) ulama secara sepihak, sehingga muaranya adalah perihal AKIDAH-pun menurut WWN hanya persoalan interpretasi."

Semua hal yang saya kritisi ini dapat anda baca di sini : http://www.facebook.com/note.php?note_id=290444563965&id=1524941840&ref=share dan dari tulisan inilah sebenarnya semua sikap sentimen Teuku Zulkhairi kepada saya berasal. Tulisan ini memecahkan rekor tulisan saya yang paling banyak dikomentari (total ada 148 komentar)

Tulisan saya tersebut telah membuat Teuku Zulkhairi dan kelompoknya emosi, mati kutu dan kehilangan akal, karena biasanya dia berhasil mengintimidasi orang yang berseberangan pandangan dengan kelompok mereka dan memilih diam tidak mau mencari masalah, tapi di sini justru intimidasi mereka saya layani.

Alasan utama saya ketika melayani intimidasi mereka adalah untuk menunjukkan kepada orang-orang di Aceh yang selama ini selalu mundur ketika mereka intimidasi, bahwa untuk menghadapi kelompok yang suka memaksakan kehendak seperti ini, kita tidak boleh takut ketika mereka intimidasi. Karena memang itulah tujuan mereka, sebab ide-ide garis keras yang mereka sebarkan hanya bisa tumbuh subur dalam masyarakat yang diliputi ketakutan.

Harapan saya setelah intimidasi mereka ini saya layani, akan semakin banyak orang Aceh yang berani menghadapi intimidasi mereka.

Karena itulah, ketika mereka emosi, mereka semakin saya kompori supaya komentar yang mereka keluarkan pun semakin ngawur dan mereka jadi kehilangan simpati.

Harapan saya itu benar-benar terjadi, karena emosi kelompok ini ternyata demikian mudah dipermainkan. Ketika itu saya lakukan, berbagai komentar ngawur dari mereka pun berhamburan.

Salah satu komentar ngawur itu misalnya ketika Teuku Zulkhairi mengatakan " si Win gila ini pengen Aceh kayak Bali tempat dia bekerja sekarang jadi BUDAK di negri umat penyembah BERHALA(umat Hindu Bali) , kalo bicara syari'at dia pasti bermaksud utk menghujat dan mencari titik lemah utk menolaknya secara total, baca semua tulisan dia, pemikiran dia 100 persen copy paste dari pemikiran Cak Nur, jd dia seorang yg taqlid juga, bukan pemikir, hanya pengekor...

Dia ngomong ttg IPTEK dan menyalahkan para ulama atas ketinggalan umat Islam dlm bidang IPTEK, pdhl dia sendiri jg tdk memberikan sumbangsih apa2 utk kemajuan umat Islam, yg dia lakukan hanya MENGACAUKAN AKIDAH GENERASI ISLAM saja meski baru lewat Facebok."

Komentar-komentar semacam ini membuat mereka semakin kehilangan simpati. Dari orang-orang yang kehilangan simpati kepada kelompok mereka inilah saya mendapatkan informasi tentang kelompok Teuku Zulkhairi ini. Informasi yang saya sebutkan itulah yang kemudian membuat Teuku Zulkhairi, pergi diam-diam dan menghilang dari daftar friendlist saya.

Selanjutnya alhamdulillah setelah peristiwa itu, ada banyak yang berani menantang ide-ide kelompok ini, contohnya seperti yang sekarang yang sedang hangat-hangatnya berlangsung di www.acehinstitute.org , sekarang di sana ada banyak orang yang berani menantang kelompok Teuku Zulkhairi ini berdebat.

Sementara terhadap saya, pasca kaburnya dia dari account facebook saya, Teuku Zulkhairi hanya berani menghantam saya melalui berbagai tulisan dari jauh dan secara diam-diam tanpa saya ketahui.

Salah satu dari tulisan tersebut adalah tulisan ini (http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/20/membongkar-%E2%80%9Ckerancuan-di-atas-kerancuan%E2%80%9D-pemikiran-win-wan-nur-oleh-teuku-zulkhairibersambung/.)

Wassalam

Win Wan Nur

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com