Minggu, 26 April 2009

Budi Luhur : KEJAHATAN MORAL YANG SAH MENURUT UNDANG-UNDANG

Hari ini JAUHAR si wakil bupati yang alim, mengerti hadits dan fasih mengutip ayat-ayat suci itu mengeluarkan pernyataan terkait penjulanan lahan Panti Asuhan Budi Luhur di Serambi. yang menarik dalam berita yang dirilis Serambi ini pernyataan JAUHAR ini didukung oleh Ketua MPU yang tidak lain adalah BAPAKNYA SENDIRI.

Kalau berita Serambi ini memang benar demikian adanya tanpa ada pelintiran sama sekali, ini akan sangat bagus buat saya untuk memudahkan saya membuat posisi baru terhadap Tgk. Ali Djadun, ulama yang pernah sangat saya hormati.

Dalam berita itu JAUHAR mengatakan Lahan panti Asuhan Budi Luhur bukan milik Yayasan tapi tanah yang dijadikan pertapakan Panti Asuhan Budi Luhur itu adalah tanah harta agama (Baitul Mal) yang dikumpulkan dari hasil pengumpulan zakat warga Kejurun Bukit. Lengkapnya baca http://serambinews.com/news/tanah-panti-asuhan-budi-luhur-bukan-milik-yayasan

Apa yang dikatakan Jauhar yang didukung oleh Bapaknya Tgk. Ali Djadun yang merupakan ketua MPU Aceh tengah itu benar sekali. Lahan Budi Luhur memang bukan milik yayasan, lahan itu adalah tanah HARTA AGAMA (Baitul Mal) yang dikumpulkan dari hasil pengumpulan zakat warga Kejurun Bukit, yang diperuntukkan untuk dijadikan PANTI ASUHAN, bukan untuk mendirikan BANK yang mendasarkan bisnisnya atas RIBA.

Itu pula sebabnya saya katakan penjualan lahan panti asuhan yang dilakukan oleh Pemda Aceh Tengah seperti dikatakan Jauhar adalah SEBUAH KEJAHATAN MORAL YANG SAH MENURUT UNDANG-UNDANG.

Warga Aceh Tengah dan Bener Meriah secara umum jelas tidak setuju dengan KEJAHATAN MORAL yang dilakukan oleh PEMDA ACEH TENGAH ini, tapi warga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melawan secara moral karena sekali lagi.

Kejahatan yang dilakukan oleh NASARUDDIN, JAUHAR dan kini didukung oleh Bapaknya TENGKU ALI DJADUN ini adalah KEJAHATAN MORAL YANG SAH MENURUT UNDANG-UNDANG.

Wassalam

Win Wan Nur

Sabtu, 25 April 2009

Panti Asuhan Budi Luhur, Gayo dan Demokrasi

Ketika pertama kali menulis tentang apa yang terjadi terhadap Panti Asuhan Budi Luhur di Takengen, saya pernah menyatakan kekecewaan saya pada sikap orang Gayo yang tinggal di Takengen. Saya kecewa melihat ketidak pedulian mereka pada apa yang terjadi di sekitar mereka, saya tidak habis pikir bagaimana mungkin Orang Gayo bisa begitu tidak peduli ketika lahan Panti Asuhan yang diperuntukkan untuk anak yatim dengan semena-mena dijual oleh seorang Bupati yang baru beberapa tahun menjabat, yang bahkan belum lahir saat Panti Asuhan tersebut didirikan. Yang lebih membuat saya tidak habis pikir lagi, Orang Gayo juga sama sekali tidak peduli dalam lahan tersebut ada sebuah Mesjid, sebuah RUMAH TUHAN yang biasanya begitu dihargai dan malah dianggap SAKRAL oleh orang Gayo.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat sebuah komentar di Blog saya, komentar ini berasal dari seseorang yang bernama Yusradi Usman Al Gayoni yang katanya tinggal di Bebesen yang juga merupakan teman baik dari beberapa anak Panti Asuhan Budi Luhur, yang ketika dia sebutkan nama-namanya, saya kenal sebagai adik-adik saya di Panti Asuhan Budi Luhur yang tingkatannya berada dua tahun di bawah saya.

Dua hari berselang dari munculnya komentar tersebut, saya mendapati komentar lain yang gagal masuk ke Blog saya karena persyaratan menulis komentar di sana terlalu ribet. Sehingga komentar ini dia kirimkan melalui E-mail saya. Kali ini yang berkomentar adalah Idrus, seorang pegiat LSM yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi yang mereka beri nama Jang-Ko.

Kedua orang yang mengomentari tulisan saya ini menceritakan kepada saya bahwa anggapan awal saya tentang tidak pedulinya Orang Gayo terhadap apa yang terjadi di sekitarnya adalah salah sama sekali. Keadaan yang sebenarnya ternyata sama sekali berbeda dengan apa yang saya duga. kenyataan yang sebenarnya adalah, Orang Gayo dan suku-suku lain yang tinggal di Kabupaten Aceh Tengah dikelabui oleh bupati Nasaruddin dan Wakilnya Jauhar. Oleh kedua pejabat tertinggi di kabupaten ini, kejahatan mereka (yang sah menurut undang-undang tapi TIDAK SAH MENURUT STANDAR MORAL YANG BERLAKU DI GAYO) ditutupi dengan kamuflase berupa pembangunan gedung megah yang dibangun dengan menghamburkan dana OTSUS.

Kamuflase yang dibuat oleh kedua petinggi lokal ini ternyata demikian sempurnanya sampai-sampai para tetangga di sekitar lingkungan panti pun tidak menyadari kalau sebenarnya pembangunan gedung tersebut adalah 'bungkus' yang dipakai oleh kedua petinggi tersebut untuk menutupi 'Bangkai' yang mereka timbun.

Saya bersyukur sekali pada akhir tahun lalu memiliki kesempatan kembali ke tempat kelahiran saya dan mengetahui adanya bangkai yang ditutupi oleh dua petinggi ini. Itulah awal mula kemunculan tulisan saya yang menyoroti penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur bersama mesjid yang ada di dalamnya.

Tulisan ini kemudian dibaca Murizal teman saya yang bekerja di The Globe Journal, yang lalu meminta wartawannya di Takengen yang bernama Khalisuddin yang juga adalah teman baik saya untuk melakukan investigasi dan mempublikasikannya melalui media mereka.

Oleh adik-adik saya sesama mantan penghuni Panti Asuhan Budi Luhur, tulisan yang saya publikasikan di blog dan berbagai milis tersebut di print dan di foto copy lalu disebebar luaskan kemana-mana dan ternyata sekarang sudah beredar luas di Tanoh Gayo dan akhirnya 'Bangkai' yang selama ini ditutup rapat oleh Nasaruddin, Jauhar dan keroco-keroconya terbuka penutupnya dan bau busuk yang ditimbulkan oleh BANGKAI inipun menyebar kemana-mana ke seantero Tanoh Gayo.

Nasaruddin si Bupati penjual lahan pati Asuhan beserta Mesjidnya ini tampaknya ingin melawan opini yang terbentuk di masyarakat. Seorang kerabat saya mengatakan, Nasaruddin akan memanfaatkan TEGANING, bulettin bulanan milik PEMDA Aceh Tengah yang dikelola oleh teman saya FIKAR ABATI.

Tampaknya, dengan kekuasan yang dia miliki, Nasaruddin akan memaksa teman saya yang bekerja sebagai pegawai negeri ini untuk menerbitkan sebuah artikel tentang kasus penjualan lahan Panti Asuhan ini.

Saya belum mendapatkan kebenaran berita ini dari Fikar sendiri, tapi masih menurut kerabat saya yang juga bekerja sebagai pegawai negeri yang menceritakan pada saya tentang artikel TEGANING ini, dalam artikel bulettin TEGANING yang akan terbit bulan Mei tersebut, akan ada pernyataan dukungan penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dan Mesjid dari alumni panti asuhan Budi Luhur sendiri.

Entah siapa alumni yang akan dijadikan umpan peluru oleh Nasaruddin ini, yang jelas sekarang semua alumni Budi Luhur hanya mempunyai satu wadah resmi yang diketuai Cik Muchtaruddin Gayo.

Cukup lucu melihat usaha Nasaruddin untuk memecah belah kami para Alumni Panti Asuhan Budi Luhur. Tapi itu belum seberapa lucu, yang menurut saya yang paling lucu dari cerita kerabat saya ini adalah betapa ketinggalan zamannya si Nasaruddin ini dibandingkan rakyatnya sendiri.
Entah Oon, entah bego atau sedang frustasi, Nasaruddin yang produk orde baru ini masih berpikir dalam kerangka pikir orde baru dulu, masih berpikir rakyat itu se-oon dan sebego dia. Dia pikir orang Gayo bisa semudah itu dimanipulasi dengan jurus lama HARMOKO si Hari-hari omong kosong yang sudah lama basi.

Begitulah, ketika berita kebusukan Nasaruddin ini menyebar, orang Gayo dan etnis-etnis lain yang ada di Aceh Tengah-pun beraksi.

Dua hari yang lalu, Khalisuddin, wartawan The Globe Journal yang pertama kali saya kenal saat kami berdua bertugas jaga malam di Kemili, ketika kami berdua masih SMA, mengirimkan sebuah pesan singkat di facebook saya. "Di Takengen ada demo yang menyoroti penjualan lahan Budi luhur" katanya.

Tadi malam, seorang kerabat saya di Takengen juga menelpon saya menceritakan jalannya demo tersebut, dalam demonstrasi tersebut ada sebuah spanduk yang berisi tulisan "PENJUAL MESJID LEBIH BIADAB DARI YAHUDI"

Ketika bungkus penutup bangkai itu akhirnya terbuka, RAKYAT GAYO-pun menunjukkan karakter asli Orang Gayo yang sebenarnya yaitu tidak pernah takut pada pimpinan. Mau kata Bupati, oleh Orang Gayo kalau memang salah itu orang akan tetap dikata-katai.

Rakyat Gayo, sejak dulu, sejak Belanda belum datang adalah sebuah masyarakat yang egaliter. Orang Gayo sejak dulu tidak pernah menempatkan raja di posisi sangat tinggi yang setiap titahnya bagaikan firman yang tidak bisa dibantah. Setiap Orang Gayo, sejak dulu adalah seorang PANG, mereka tidak pernah takut berseberangan pendapat dengan rajanya. Orang Gayo sejak dulu tidak pernah ragu menentang raja yang berbuat tidak benar.

Orang yang lama terlena dengan adi luhungnya budaya Jawa sering menyebut karakter istimewa Orang Gayo ini sebagai kelemahan. "Dengan karakter seperti itu Orang Gayo tidak bisa dipimpin" kata mereka. Mereka berargumen karakter yang dimiliki orang Gayo inilah yang mebuat Gayo tidak bisa maju.

Padahal menurut saya, yang salah bukanlah karakter orang Gayo, tapi orang yang berniat MEMIMPIN ORANG GAYO. Orang Gayo adalah kumpulan PANG, mereka tidak butuh dipimpin, mereka hanya butuh KOORDINASI. Fakta yang sebenarnya, karakter orang Gayo yang tidak mau tunduk total pada penguasa ini adalah bibit-bibit demokrasi modern.

Demokrasi modern adalah sebuah bentuk pengelolaan negara yang mengasumsikan bahwa setiap kekuasaan cenderung untuk diselewengkan. Karenanya di negara demokrasi, setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa dicurigai, diawasi dan dikritisi bukan ditaati dan dipercayai secara TOTAL.

Dalam memilih pemimpin, di Indonesia ini banyak orang yang mempercayai sebuah kepercayaan Jawa. Menurut kepercayaan Jawa, seorang calon pemimpin harus dilihat BOBOT, BIBIT dan BEBETNYA.

Padahal dalam demokrasi,itu semua tidak perlu sama sekali, yang diperlukan oleh demokrasi adalah rakyat yang mampu mengawasi. Semua itu tidak perlu, karena kalau sudah menyangkut urusan kekuasaan dan UANG. Kesalehan pribadi, asal usul keturunan sampai kemampuan menghafal hadits dan kepintaran mengaji sama sekali tidak berlaku lagi.

Contoh paling jelas soal ini lagi-lagi berkaitan dengan penjualan lahan panti dan mesjid yang ada di dalamnya, yang terjadi Gayo ini.

Tidak berlakunya BOBOT, BIBIT dan BEBET ini tampak jelas ketika kita melihat latar belakang salah seorang pelaku kejahatan moral yang sah menurut undang-undang ini. Wakil bupati yang bernama Jauhar, yang sedikit banyak ikut terlibat dalam penjualan lahan Panti Asuhan beserta Mesjid yang ada didalamnya ini.

Jauhar yang wakil bupati ini adalah seorang tokoh yang dikenal alim, taat bergama dan sangat fasih memberikan nasehat-nasehat agama, baik itu dengan mengutip hadits maupun firman Allah yang dikutip dari ayat-ayat kitab suci Al Qur'an.

Jauhar yang terkenal alim dan taat beragama ini adalah putra kandung dari seorang Ulama yang sangat dihormati di Tanoh Gayo yang berasal dari Simpang Teritit Bener Meriah, dalam struktur pemerintahan kabupaten Aceh Tengah, Bapak kandung Jauhar yang bernama Tgk. Ali Djadun menjabat sebagai ketua MPU dan juga merupakan Ketua yayasan salah satu Panti Asuhan non Pemerintah yang ada di Takengen.

Tapi ketika kasus penjualan lahan Panti Asuhan dan mesjid ini terjadi, Jauhar yang BOBOT, BIBIT dan BEBET-nya cukup mumpuni inipun cuma bisa jadi BEBEK yang cuma bisa mengikuti langgam gerak dan tarian Bupati.

Begitulah kenyataannya, faktanya Orang Gayo tidak butuh Jauhar atau siapaun yang mengaku alim dan pintar mengaji. Orang Gayo hanya butuh menjadi dirinya sendiri.

Seperti sekarang, ketika Orang Gayo sudah bergerak, kembali ke karakternya yang asli, semua terlihat jadi lebih cerah.

Sementara itu,surat yang kami buat tentang kasus penjualan lahan panti asuhan ini, atas nama para alumni, yang kami kirimkan ke berbagai instansi mulai mendapat tanggapan yang berarti.

Hari ini seorang petugas BPK ada di Takengen, apapun maksud keberadaannya di Tanoh Tembuni, saya yakin keberadaannya akan membuat panas dingin Nasaruddin sang Bupati.

Saat saya di Takengen desember yang lalu, seorang adik saya diopname di rumah sakit Datu Beru. Kami ingin menempatkan adik saya ini di kamar VIP rumah sakit tersebut. Tapi RSU Datu Beru tidak dapat mengabulkan maksud kami, menurut perawat yang ada di sana semua kamar VIP sudah penuh, padahal saya melihat ada beberapa kamar VIP yang tidak berisi.

Ketika itu saya tanyakan, si perawat cantik ini dengan polos menjawab; kamar-kamar VIP yang kosong tersebut sudah dibooking oleh para pejabat Kabupaten Aceh Tengah sebagai antisipasi, untuk berpura-pura sakit kalau KPK tiba-tiba datang mengunjungi.

Waktu itu saya pikir alangkah mubazirnya kamar-kamar itu dibiarkan kosong untuk waktu yang tak pasti, padahal banyak pasien yang benar-benar sakit yang sangat membutuhkan kamar-kamar tersebut.

Tapi Insya Allah, tidak lama lagi kamar-kamar mubazir tersebut akan segera terisi.

Wassalam

Win Wan Nur

Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur

Rabu, 22 April 2009

Leuser Dalam Kenanganku

Beberapa hari yang lalu aku membaca tulisan temanku Beni Hamuri yang mengomentari tulisan temanku yang lain bernama Nourman Hidayat yang dia post di milis internal kami dan juga di Blognya. Dalam tulisannya Nourman membeberkan kesan-kesannya terhadap Leuser dan kami anggota-anggotanya. Beni yang membaca tulisan tersebut menyatakan kekagumannya pada Nourman.

Membaca tulisan Beni dan Nourman betul-betul mengingatkan aku ke suasana waktu kami masih aktif di Leuser dulu. Setidaknya di masa aku aktif, seingatku kamidi Leuser nggak pernah mengungkapkan secara terbuka kekaguman kita sama kawan-kawan kita yang lain.

Anak Leuser yang satu nggak pernah mau dianggap di bawah yang lain, sehingga berbagai jabatan struktural organisasi termasuk jabatan ketua umumpun di Leuser nggak lebih dari sekedar tempelan.

Seperti Beni, biarpun aku suka melecehkan kawan-kawan di Leuser dalam omongan, tapi sebenarnya aku menaruh hormat pada mereka-mereka dan beberapa dari teman-temanku itu betul-betul aku kagumi. Aku respek pada semua kawan seangkatanku di Diksar X yang aktif di Leuser, mulai dari Nourman, Tris Susela (Selo), Asih, Joel Gunung, Yanti (Tunggir) dan Dek Nong.

Kalau Beni bilang mengagumi Nourman karena sedikit bicara dan banyak kerja, aku justru sebaliknya. Anak-anak Leuser yang aku kagumi justru anak-anak Leuser yang banyak omong tapi juga banyak kerja dan penuh ide brilian di kepalanya, serta mampu dia eksekusi menjadi sebuah aksi yang nyata. Orang-orang ini adalah orang-orang yang membuat berbagai terobosan penting di Leuser. Banyak anak leuser yang membuat berbagai karya di leuser, tapi rata-rata aku pikir aku mampu melakukannya, kalaupun tidak kulakukan hanya karena tidak ada niat saja. Tapi tidak dengan orang-orang yang aku kagumi ini, aku kagum pada mereka karena melihat apa yang mereka lakukan, aku sadar kalau aku tidak mampu melakukannya.

Dari semua kawan seangkatan itu aku paling kagum sama Asih. Kawanku yang satu yang asli Banyumas ini adalah pengecualian dia seperti Nourman, tidak banyak omong tapi banyak kerja. Sejauh yang aku tahu, Asih adalah cewek paling istimewa yang pernah ada di Leuser, orangnya berjilbab, anggun kemayu dan keibuan. Tapi di balik semua sikap femininnya itu Asih adalah cewek Leuser yang paling tangguh di alam bebas. Semua kegiatan ekspedisi besar di Leuser dia ikuti. Semua jenis aktivitas outdoor dia geluti, Asih yang sekarang berprofesi sebagai ibu guru ini menggeluti berbagai aktivitas outdoor, mulai dari mendaki gunung, panjat tebing, bersama Tajuddin dan Rakai mereka mengarungi jeram ganas yang belum pernah diarungi orang lain sebelumnya hanya dengan bermodal dua ban traktor yang diikat kain terpal. Ketika di Leuser sedang demam caving, Asih juga ikut ekpedisi pemetaan gua, tinggal berhari-hari puluhan meter di bawah tanah dalam gelapnya gua geurutee. Bukan hanya kegiatan yang ada di leuser, Asih juga menggeluti olahraga selancar alias surfing, Rakai seorang temanku yang lain menyebutnya sebagai satu-satunya Surfer berjilbab di dunia.

Angkatan di atasku, yang paling aku kagumi adalah Rakai, meskipun waktu aktif dulu aku sama sekali tidak pernah mau mengakuinya. Rakai ini banyak omong dan sok jago, suka mempopulerkan istilah yang aneh-aneh. karena dasarnya anak Leuser itu tidak suka secara terbuka mengakui kehebatan kawan sendiri, di Leuser Rakai selalu menjadi sasaran ejekan abang-abang dan kawan seangkatan karena gayanya yang sok hebat itu. Tapi sialnya, Rakai ini memang hebat.

Di Leuser Rakailah yang memperkenalkan segala instrumen dan peralatan panjat tebing artifisial, dia pula yang memperkenalkan arung jeram yang benar. Sebelum kehadiran Rakai, pengetahuan dan keterampilan anak-anak Leuser dalam penguasaan ilmu alam bebas sangat terbatas. Bang Mun salah seorang seniorku pernah menceritakan, kalau dulu saat melakukan panjat tebing, mereka minta Bang Kamel (Caleg PA di Pemilu lalu) untuk memanjat secara free climbing sampai ke Puncak, lalu mengikatkan tali di sana, baru kemudian yang lain memanjat.

Baru saat Rakai bergabung kami mengenal yang namanya Phyton, Cock Tail, Poulie dan berbagai alat panjat artifisial lainnya. Saat kami tidak mampu membeli alat-alat panjat yang mahal tersebut Rakai tidak kehilangan akal, dia membuat sendiri alat-alat tersebut di Laboratorium fakultas tempatnya kuliah yaitu Laboratorium Teknik Mesin. Demikian juga ketika kami mendapati banyak Phyton buatan luar negeri yang karakternya tidak sesuai dengan karakter tebing di Aceh, Rakai membuat phyton karyanya sendiri yang dia namai "Phyton Ngoh Droe".

Penampilannya juga demikian, Rakai ini penampilannya 'anak alam abis', rambut panjang tangan dan leher dipenuhi berbagai aksesoris khas anak gunung, sepatu boot tinggi dengan merk-merk yang tidak pernah kami kenal. Seragam sehari-harinya kalau bukan kemeja flanel ya kaos oblong dengan celana kargo berknatong banyak dan bandana.

Penampilan rakai pernah menjadi trend setter bagi anak-anak PA lain se Aceh, Kecuali anak Leuser, teman-teman anak PA lain seolah berlomba untuk berpenampilan semirip mungkin dengan Rakai agar status mereka sebagai anak PA dianggap Klop.

Selain penampilan, rakai juga bisa dikatakan sebagai duta besar Leuser yang paling berhasil. Rakai suka sekali mengikuti berbagai pertemuan kelompok Pecinta Alam Indonesia dimanapun diselenggarakan. Dan itu semua dia lakukan dengan biaya sendiri. Sehingga tidak heran ketika aku mengikuti jejaknya bertualang sendiri kemana-mana, setiap kali aku mengaku sebagai anak Leuser, teman-teman PA di daerah lain yang aku kunjungi selalu menanyakan namanya.

Hal lain yang membuat Rakai banyak dikagumi oleh anak PA di luar Leuser adalah pergaulannya yang menginternasional. Bahasa Inggris pada waktu itu masih merupakan kemampuan langka di Aceh. tapi pada masa itu Rakai sudah berteman dengan orang yang berasal dario berbagai negara, terkadang dia mengajak temannya yang berasal dari berbagai negara di eropa menginap di sekretariat Leuser. Rakai pulalah yang pertama kali mengajakku ke Sabang, membuatku berkesempatan mempraktekkan bahasa inggrisku kepada para native speaker yang berlibur di sana sehingga bahasa Inggrisku bisa seperti sekarang. Berkat Rakai yang pertama kali mengajakku ke sabang pula, di kemudian hari aku tertarik mempelajari bahasa Perancis dan kemudian menguasainya dan sekarang justru dari kemampuanku itulah aku bisa menghidupi diri dan keluargaku.

Untuk angkatan di bawahku, yang paling aku kagumi adalah KOPE. seperti istimewanya nama lengkapnya PARMA KOPE yang merupakan nama buku daftar obat-obatan di fakultas kedokteran yang kalau di Teknik Sipil kira-kira sama dengan DAFTAR BAJA. Anak ini anak juga 'istimewa', banyak kerja tapi juga banyak mencela. Kalau Kope mengungkapkan kritikannya, bahasa yang dia keluarkan bukan bahasa biasa. Tapi bahasa yang nyelekit telak menusuk sampai ke ulu hati. Dia sama sekali tidak peduli aku seniornya, kalau dia sedang tidak suka, aku bisa disebutnya dengan berbagai istilah yang membuat darah naik sampai ke kepala.

Belakangan setelah kami melakukan beberapa ekspedisi bersama-sama aku jadi lebih mengenal Kope dan mulai mengerti, seperti apa anak ini sebenarnya.

Seperti rakai, Kope inipun luar biasa banyak idenya. terobosan yang dia buat tidak biasa, kadang terobosannya membuat semua senior memusuhinya. tapi Kope tidak peduli dia tetap jalan terus dengan idenya. Di kemudian hari terbukti kalau idenya yang menyebalkan itulah yang benar. Dia juga yang memperkenalkan ilmu-ilmu speleologi terbaru, pemetaan gua yang tidak pernah kami dapatkan di masa kami aktif dulu.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Rabu, 15 April 2009

Golput, Tirani Undang-Undang Dan Perlunya Mendesakralisasi DPR dan Parpol

Satu fenomena mencolok di Pemilu kali ini adalah tingginya angka Golput. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya ketika para Golput rata-rata menentukan pilihan politiknya ini atas dasar kesadaran sendiri, kali ini tingginya angka Golput, disamping karena pilihan sendiri, juga sangat banyak dikarenakan oleh amburadulnya penyusunan DPT oleh KPU.

Seorang teman saya yang merupakan Sekjen dari sebuah Partai Lokal yang lumayan besar di Aceh adalah salah satu korban dari amburadulnya penyusunan DPT ini, dia yang juga caleg dari partainya, mendapati namanya tidak tercatat dalam DPT sehingga dia tidak berhak menyalurkan hak politiknya.

Ketika teman saya ini mempermasalahkan hal itu kepada anggota KPU yang berada di lokasi pemilihan, dengan arogan si anggota KPU mengatakan itu terjadi karena kesalahan teman saya itu yang tidak ikut pemilihan pada Pilkada yang lalu dan kemudian tidak mendaftarkan diri kembali.

Teman saya ini tentu saja tidak terima dengan alasan si anggota KPU karena namanya memang terdaftar dan ikut serta dalam Pilkada yang lalu, bahkan dia sendiri adalah salah satu kandidat wakil Bupati waktu itu dan memenangi suara nomer dua paling banyak.

Selain teman saya tersebut, seperti yang gencar diberitakan berbagai media belakangan ini, banyak warga Indonesia lain yang berjumlah konon sampai puluhan juta yang kehilangan hak pilihnya akibat kesalahan KPU.

Saya sendiri juga adalah korban dari amburadulnya penyusunan DPT ini, nama saya tidak tercatat dalam DPT sehingga otomatis saya kehilangan hak pilih. Bedanya dengan teman saya tadi, pilihan politik saya dalam Pemilu kali ini adalah TIDAK MEMILIH. Jadi saya sama sekali tidak peduli dengan tidak adanya nama saya dalam DPT karena meskipun nama saya terdaftar dalam DPT saya juga tidak akan memilih.

Di hari pencoblosan, saat lembaga-lembaga survei melakukan penghitungan cepat dan disiarkan berbagai stasiun televisi. Salah satu stasiun televisi yang saya tonton adalah TV One yang di studionya hadir banyak pengamat, anggota partai politik dan anggota KPU.

Di televisi saya saksikan, kepada seorang anggota KPU yang diundang oleh TV one menjadi tamu di acara hitung cepat itu, Effendi Ghazali, pakar komunikasi dari UI yang diundang oleh TV One untuk menjadi komentator mempertanyakan soal amburadulnya DPT ini dan juga banyaknya orang yang kehilangan hak pilih karena waktu Pemilu harus berada di rumah sakit misalnya. Kepada anggota KPU itu Effendi Ghazali bertanya kenapa kepada mereka yang kehilangan hak pilih itu KPU tidak menyediakan fasilitas TPS keliling.

Semua pertanyaan dan kritikan terhadap kinerja KPU tersebut dengan enteng dijawab oleh si petugas KPU dengan mengatakan hal-hal yang dikatakan Effendi, tidak ada dalam undang-undang, jika KPU melakukan hal-hal yang dikatakan oleh Effendi Ghazali, maka KPU akan melanggar undang-undang.

Faktanya, penyusunan DPT oleh KPU tahun ini yang terasa aneh, sok tegas dan kaku itu memang berpatokan pada undang-undang hasil dari kerja legislasi anggota DPR hasil pilihan rakyat Indonesia pada pemilu 2004 yang lalu.

Dari jawaban si anggota KPU ini, kita mendapatkan sebuah gambaran yang jelas tentang betapa saktinya benda yang bernama UNDANG-UNDANG itu. Sedemikian saktinya si UNDANG-UNDANG sehingga asal jangan melanggar undang-undang bahkan hak konstitusional seorang warga negara yang memberi mandat kepada si pembuat Undang-Undangpun boleh diabaikan.

Di masa kolonial, banyak sekali undang-undang yang dibuat oleh negara untuk menekan pribumi yang dimaksudkan untuk menghambat perlawanan kaum pribumi terhadap pemerintah kolonial dan segala kepentingannya. Di Afrika Selatan di masa pemerintahan apartheid, banyak sekali undang-undang yang dibuat untuk menegaskan dominasi kulit putih terhadap kulit hitam. Bahkan di amerika yang katanya merupakan negara dedengkotnya demokrasi, beberapa tahun yang lalu banyak undang-undang yang bertujuan meminggirkan peran dan hak warga kulit hitam. Bahkan zaman sekarangpun di Amerika masih banyak undang-undang yang memihak kelompok bermodal kuat.

Di Aceh Tengah, tempat kelahiran saya juga dengan bersandar pada Undang-undang, Bupati dengan persetujuan DPRK seenak perutnya menjual lahan panti asuhan secara diam-diam untuk penyertaan modal di BPD Aceh. Bupati dan DPRD tampaknya berani melakukan hal yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Aceh tengah secara umum itu karena memang undang-undang yang sakti itu tidak ada mengatur keharusan seorang Bupati untuk memberitahu kepada publik bahwa dia akan menjual lahan Panti Asuhan.

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Amerika Barack Obama tampil di sebuah acara bincang-bincang di televisi yang diasuh oleh Jay Leno. Saat itu Amerika sedang dihebohkan oleh kelakuan petinggi-petinggi AIG, sebuah perusahaan asuransi besar yang diambang kebangkrutan akibat krisis global lalu dibantu oleh pemerintah Amerika dengan memberi bantuan yang diambil dari dana talangan yang bernilai ratusan milyar dollar.

Kehebohan muncul karena oleh petinggi-petinggi AIG, ratusan juta dollar dana bantuan pemerintah Amerika dibagikan kepada para karyawan dan dewan direksi perusahaan tersebut sebagai bonus.

Kejadian ini langsung memantik protes dari jutaan rakyat Amerika yang rasa keadilannya terusik. Rasa keadilan mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas kebangkrutan perusahaan tersebut malah diberi bonus yang per orangnya ada yang mencapai 65 juta dollar. Dan yang lebih membuat jengkel lagi, uang untuk bonus sebagai rasa terima kasih karena telah berhasil membangkrutkan perusahaan itu diambil dari dana bantuan pemerintah yang didapatkan dari uang pajak yang dibayar oleh seluruh rakyat Amerika yang sekarang sebagain besar sedang menghadapi situasi sangat sulit.

Ketika dalam acara yang diasuh Jay Leno tersebut membuka sesi diskusi dengan penonton melalui saluran telepon. Seorang penelepon bertanya kepada Obama, "apakah dengan adanya kasus pemberian bonus di AIG ini, apakah itu artinya dalam waktu dekat penghuni penjara federal akan kembali bertambah?". Dengan nada miris Obama menjawab "Sepertinya tidak, karena apa yang dilakukan oleh para petinggi AIG ini adalah sepenuhnya LEGAL menurut undang-undang. Dan dari kasus ini kita bisa melihat betapa banyaknya masalah dalam undang-undang kita".

Begitulah pentingnya Undang-undang dalam kehidupan bernenegara, meskipun seringkali konyol dan mengoyak rasa keadilan tapi tetap harus dipatuhi karena hanya dengan berpegang pada undang-undanglah sebuah negara dijalankan. Karena undang-undang sedemikian pentingnya maka logikanya, sebuah undang-undang di sebuah negara itu dibuat untuk mengakomodir sebanyak mungkin kepentingan rakyat yang merupakan pemberi mandat kepada pembuat undang-undang.

Tapi prakteknya di lapangan tidaklah demikian, seperti contoh-contoh yang saya gambarkan di atas, oleh orang yang diserahi mandat, Undang-Undang dibuat seringkali lebih untuk mengakomodir kepentingan kelompoknya daripada untuk kepentingan pemberi mandatnya.

Kalau di Amerika, negara yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan rata-rata dan kesadaran berdemokrasi jauh lebih tinggi dari Indonesia ini saja undang-undang yang dibuat untuk kepentingan segelintir kelompok atau orang masih ada, apalagi di negara ini yang masih belajar berdemokrasi dengan mayoritas penduduk yang masih rendah tingkat pendidikannya dan para pemegang kekuasaan yang banyak diisi manusia-manusia bermental feodal.

Salah satu undang-undang seperti ini tentu saja undang-undang pemilu yang mengatur tata cara pemilihan dan penentuan calon pemilih yang dibuat demi memudahkan kerja penyelenggara Pemilu, bukan untuk menjaring sebanyak mungkin warga untuk menyalurkan hak pilihnya.

Selain itu kita juga masih mempunyai bermacam undang-undang bermasalah seperti undang-undang pornografi, undang-undang sisdiknas dan lain-lain.

Banyaknya undang-undang bermasalah di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan terhadap para pembuat undang-undang itu yang dianggap sebagai orang-orang terhormat. Sehingga mereka merasa apapun yang mereka lakukan adalah sepenuhnya perbuatan-perbuatan terhormat.

Di DPR, orang-orang yang sebenarnya kehormatannya sangat bisa diperdebatkan, merasa bahwa mereka adalah sekumpulan orang-orang terhormat yang kehormatannya jauh melebihi kehormatan rakyat pemberi mandatnya. Karena itu mereka merasa bisa berbuat sesukanya, membuat undang-undang dengan standar kepentingan mereka, karena mereka pikir, BAIK menurut orang terhormat seperti mereka tentu harus BAIK pula dalam pandangan orang-orang yang mereka anggap kurang terhormat seperti kita.

Begitulah anggota dewan yang merasa diri terhormat inipun merasa berhak membuat undang-undang yang seenak perut dan karena mereka adalah anggota dewan terhormat. Bahkan karena merasa diri terhormat merekapun merasa boleh berkata kasar kepada orang-orang yang mereka anggap kurang terhormat seperti yang dilakukan salah seorang anggota dewan yang merasa diri terhormat ini kepada direktur Pertamina.

Dengan cara pandang seperti ini, DPR dibuat menjadi sebuah institusi yang sakral, dan anggotanyapun merasa diri mereka adalah orang-orang yang sakral. Begitu sakralnya DPR di mata mereka, sehingga mereka merasa tidak ada yang boleh mengusik kepentingan mereka.

Salah seorang caleg yang juga teman sekolah saya dulu pernah mengatakan kepada saya tentang perasaan geramnya terhadap KPK yang tanpa pandang bulu menangkapi anggota Dewan terhormat ini. Teman saya ini dengan jujur mengatakan seandainya dia terpilih menjadi anggota DPR RI dan partainya menjadi partai dominan, maka mereka akan meminta keberadaan KPK ditinjau ulang.

Cerita teman saya tersebut membuat saya semakin yakin kalau cara pandang masyarakat dan terutama diri mereka sendiri terhadap status anggota DPR yang terhormat ini meski bukan semua, tapi hal ini merupakan salah satu masalah yang membuat buruknya kualitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR.

Karenanya menurut saya, salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR, agar undang-undang yang seharusnya membuat nyaman kehidupan bernegara ini tidak berubah menjadi TIRANI sebagai mana yang terjadi di Pemilu kali ini, adalah dengan cara mendesakralisasi institusi DPR sekaligus orang-orangnya dan partai-partai yang menaunginya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Gus Dur terhadap institusi kepresidenan.

Desakralisasi terhadap institusi dan anggota DPR dan partai-partai politik, selama ini sudah dilakukan dengan sangat baik oleh media massa. Pemberitaan yang massif tentang perilaku koruptif para anggota DPR ditambah dengan berbagai kelakuan tidak terhormat lainnya yang mereka lakukan seperti berselingkuh misalnya, telah sukses membentuk opini di masyarakat bahwa anggota dan institusi DPR itu bukanlah sebuah lembaga dan orang yang terhormat-terhormat amat.

Ketika kampanye pemilu dimulai, kita juga disuguhi dengan berbagai berita dan informasi yang berisi kesinisan terhadap perilaku dan metode kampanye para caleg sehingga mengesankan kalau para calon legislatif itu tidak lebih hanyalah para pemburu kekuasaan yang lebih banyak berjuang untuk kepentingan mereka sendiri dibanding kepentingan rakyat yang dimohon-mohon untuk memberi suara kepada mereka.

Setelah pemilu selesaipun, oleh media kita masih disuguhi berbagai berita tentang kelakuan tidak terhormat dari mantan caleg yang sepertinya gagal memperoleh kursi, entah itu yang stress, mengalami gangguan jiwa sampai bunuh diri. Media juga memberitakan banyaknya mantan caleg yang manarik kembali bantuan yang telah dia berikan kepada masyarakat sebelum Pemilu karena perolehan suaranya tidak memuaskan. Berita-berita seperti ini semakin menguatkan kesan di masyarakat bahwa para caleg yang bertarung di pemilu kali ini tidak lain hanyalah sekelompok orang yang memburu kekuasaan, sama sekali bukan sekelompok orang yang berlomba-lomba untuk membela kepentingan masyarakat sebagaimana selama ini mereka kampanyekan.

Saya pikir opini yang terbentuk seperti ini di masyarakatlah yang menjadi kunci dari amannya pemilu kali ini. Indikasi dari amannya pemilu kali ini bisa kita lihat dari respon positif bursa saham dan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika yang menguat beberapa poin.

Begitu tidak pedulinya rakyat yang dengan terlanggarnya hak konstitusinya pada penyelenggaraan Pemilu kali ini sampai-sampai para intelektual independenpun jadi merasa jengah untuk mempermasalahkan ketidak beresan pemilu kali ini. Mengutip apa yang dikatakan Effendi Ghazali, ketika mempermasalahkan soal DPT dan kisruh Pemilu kali ini, kesannya para intelektual independen jadi tampak seperti sekumpulan intelektual genit (kurang lebih seperti itu, saya lupa redaksi tepatnya).

Ini bisa terjadi karena masyarakat umum tampaknya sadar sesadar-sadarnya kalau tidak ada gunanya mengamuk dan berdarah-darah hanya untuk membela kepentingan para pemburu kekuasaan. Karena itulah ketika Pemilu kali ini jelas-jelas kualitasnya buruk sekali dan nyata-nyata mengebiri hak konstitusi rakyat, yang sibuk dan merasa paling berkepentingan dengan hal itu seperti kita saksikan bersama hari-hari belakangan ini bukanlah rakyat yang hak konstitusinya dicabut (padahal jumlahnya konon sampai puluhan juta orang). Yang sibuk justru partai-partai yang perolehan suaranya kecil, bukan rakyat tapi partai-partai yang memperoleh suara kecil inilah yang beranggapan ada kecurangan yang sistematis pada Pemilu kali ini. Sebagaimana bisa kita baca di semua koran yang terbit hari ini, partai-partai yang perolehan suaranya kecil itu berkumpul di rumah Megawati untuk menggugat legitimasi pemilu yang baru lalu.

Melihat fenomena ini kita biusa menyimpulkan kalau sebenarnya gerakan desakralisasi terhadap institusi dan anggota DPR yang dilakukan media massa belakangan ini sudah sangat berhasil di tingkat akar rumput.

Tapi, sebagaimana halnya persoalan dengan kultur feodal dimanapun, yang resisten dan selalu mempertahankan sikap feodal adalah para bangsawan dan orang-orang yang diuntungkan dengan adanya kultur feodalisme ini. Dalam kasus inipun anggota Partai Politik dan anggota DPR yang masih belum bisa melepaskan diri dari cara pandang feodal. Jika masyarakat sudah menganggap mereka sekedar pemburu kekuasaan, tidak demikian dengan anggota Partai Politik dan anggota DPR. Mereka masih beranggapan kalau rakyat masih menganggap mereka sebagai sekumpulan manusia terhormat, mereka masih merasa apapun yang mereka katakan akan tetap diamini oleh rakyat.

Inilah masalah yang kita hadapi sekarang, pesan yang sudah sedemikian kuat dan jelas dari masyarakat akar rumput ini sama sekali tidak berhasil ditangkap dengan sempurna oleh para anggota Partai Politik dan orang-orang yang duduk di DPR.

Karena itulah meskipun pemilu kali ini sudah berakhir, supaya pesan dari masyarakat bahwa sekarang kita-kita ini sebetulnya menganggap para anggota partai dan anggota DPR itu adalah orang biasa yang sama seperti kita. HARUS bisa kita sampaikan ke mereka supaya mereka bisa memahami pesan itu sebaik kita memahaminya.

Jadi kita tidak boleh mengendorkan upaya kita untuk mendesakralisasi DPR dan partai politik.

Supaya anggota-anggota DPR ke depan nanti tahu kalau kita tidak akan mengamini semua omongan mereka, sebaliknya kita akan terus mencurigai dan mengkritisi setiap kebijakan dan produk undang-undang yang mereka keluarkan. Supaya tidak ada lagi omongan orang autis semacam kamilah yang paling bersih, kamilah yang paling bebas korupsi dan kamilah yang paling mengerti apa mau rakyat negara iniyang keluar dari anggota DPR atau partai politik.

Karena kita para Golongan Putih sejati yang telah memilih aspirasi politik kita untuk tidak memilih sebagai bentuk protes dan ketidak puasan kita terhadap kebijakan Parpol maupun kualitas Caleg yang ditawarkan. Ditambah dengan fakta bahwa kitalah Golongan Putih yang tanpa kampanye, tanpa perlu keluar modal tercatat sebagai pemenang yang sebenarnya pemilu kali ini, dengan perolehan suara hampir dua kali lipat Partai Demokrat, calon pemilik kursi terbanyak di DPR.

Maka seharusnya adalah tugas dan kewajiban politik kita para Golongan Putih untuk terus memotori gerakan desakralisasi DPR dan Parpol ini, agar kualitas demokrasi kita semakin membaik dari hari ke hari, sehingga suatu saat nanti kitapun tidak perlu menjadi Golongan Putih lagi.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Sabtu, 11 April 2009

Serba-serbi Pasca Pemilu dan Kegairahan Ekonomi yang Diciptakannya

Sebelum pemilu legislatif diselenggarakan 9 april lalu, ada banyak 'note' di facebook dan diskusi di milis-milis yang membahasnya. Seperti biasa, saya tidak begitu peduli dengan hajatan besar berbiaya mahal ini karena menurut saya memang hajatan ini lebih banyak berguna untuk orang-orang yang menyodorkan diri untuk dipilih daripada orang yang memilihnya. Tapi seorang kenalan yang saya kenal hanya melalui Facebook dan milis serta tulisan-tulisannya di Kompas bernama T.Kemal Fasya menyarankan pada saya untuk menikmati saja proses dan lika-liku beserta intriknya, sebagaimana halnya menikmati reality show kontes pencarian bakat semacam Indonesian Idol.

Setelah saya praktekkan, ternyata usul Kemal ini memang menarik, malah ternyata menyaksikan kontes Pemilu jauh lebih seru daripada menyaksikan kontes Indonesian Idol.

Seru sekali menyaksikan prosentase suara yang susul menyusul di quick count. Puas sekali menyaksikan Golkar dan PDIP, dua partai songong yang begitu percaya diri dengan hasil yang mereka dapatkan di Pemilu 2004 lalu terperosok ke dalam lubang yang mereka gali sendiri.

Sebelum Pemilu, dengan menggunakan asumsi hasil yang mereka dapatkan di Pemilu 2004, Golkar dan PDIP bersatu padu di parlemen untuk untuk membuat undang-undang Pilpres yang menguntungkan mereka dengan mematok batas minimal 20% suara untuk syarat mengajukan calon presiden. Syarat yang jika menggunakan asusmsi hasil pemilu 2004 hanya akan bisa dipenuhi dua partai ini, jelas terbaca sebagai upaya untuk menjegal SBY yang merupakan calon terkuat presiden mendatang, yang di Pemilu 2004 suara Partainya yang baru didirikan tahun 2001 hanya di kisaran 7 persenen saja.

Tapi sial seribu sial, hasil 2009 malah membuat undang-undang yang disponsori dua mantan partai terbesar ini balik menghantam telak wajah mereka sendiri. Sekarang Megawati si ketua PDIP mulai kepanasan mencari-cari partner koalisi. Malah melihat komentar-komentar yang dikeluarkan para petinggi partai ini, tampak jelas mereka sudah mulai menyiapkan 'seekor kambing' dan 'sekaleng cat hitam'yang nantinya akan dijadikan pemikul tanggung jawab atas kesalahan mereka. PDIP yang arahnya semakin jelas akan berkoalisi dengan Hanura dan Gerindra untuk menghantam SBY dan Demokratnya, tampak sedang berancang-ancang cari perkara dengan mempermasalahkan amburadulnya kerja KPU.

Ini tentu akan menjadi tontonan lucu lain pasca Pemilu. Saya katakan lucu, karena buruknya kerja KPU dan amburadulnya pendataan DPT yang mereka lakukan adalah akibat andil besar PDIP juga.

Memang kalau kita lihat sekilas, kualitas orang-orang di KPU kali ini tampak masih di bawah kulaitas para anggota KPU sebelumnya yang setelah sukses menyelenggarakan Pemilu dengan lancar kemudian ditangkapi satu persatu dengan tuduhan korupsi. Mirip seperti yang terjadi pada anggota Tim Korea Utara yang menembus perempat final piala Dunia yang kemudian ditangkapi pemerintahnya dan dijebloskan ke dalam Penjara atas tuduhan mencoreng martabat negara, karena berpesta sampai mabuk dalam merayakan kesuksesan mereka.

Tapi meskipun kualitas orang-orang KPU memang begitu adanya, bukankah sebenarnya amburadulnya kerjaan mereka adalah akibat dari undang-undang Pemilu yang merombak total aturan pendataan Pemilih yang dipraktekkan di Pemilu-pemilu sebelumnya, yang ikut dirancang dan dibuat oleh PDIP sendiri. Kemudian bukankah alotnya pembahasan masalah ini di Parlemen yang mengakibatkan telatnya pencairan dana untuk memulai pendataan Pemilu juga atas andil PDIP juga?. Bukankah masalah-masalah yang disebabkan oleh andil besar PDIP ini pula yang membuat anggota KPU yang katanya tidak terlalu berkualitas ini jungkir balik menghadapi berbagai masalah sambil dikejar tenggat waktu sehingga berakibat amburadulnya pelaksanaan Pemilu kali ini.

Apa yang dilakukan oleh PDIP dan yang akan kita saksikan dalam hari-hari ke depan ini bukanlah hal yang aneh. Saya katakan bukan hal aneh karena PDIP ini adalah partai yang dasarnnya memang lucu dan ahli mengundang tawa.

Partai ini melalui ketuanya yang memiliki bakat menjadi pemain sinetron sekelas Chelsea Olivia atau Cinta Laura itu tampaknya mengidap penyakit pelupa yang parah. Dia tidak pernah konsisten dengan apa yang diucapkannya.

Misalnya dulu di Aceh sebelum Pemilu 1999, sambil menyebut diri sebagai Cut Nyak dan meneteskan air mata dia katakan, seandainya dia terpilih jadi Presiden, tidak akan ada setetespun darah tertumpah di bumi Aceh. Tapi ketika dia menjadi Presiden, dia malah menetapkan darurat militer. Saat tidak berkuasa lagi dia menentang perdamaian RI-GAM.

Lalu lihat pula iklan Pemilu partai ini soal BLT, awalnya partai ini sangat menentang kebijakan tersebut, menyebutnya sebagai kebijakan bodoh dan menghina rakyat kecil. Tapi begitu melihat BLT berhasil dijadikan kartu truf oleh lawannya untuk meraih simpati pemilih dari kalangan bawah, Partai berlambang banteng gemuk inipun dengan muka tebal tanpa rasa malu sedikitpun mengatakan kalau BLT berhasil adalah karena pengawasan mereka.

Mantan partai besar lain, Golkar dan ketuanya Jusuf Kalla pun tampaknya mulai tahu diri kalau posisi sebagai wakil presiden adalah posisi maksimal yang bisa dia dapatkan dan harus dia syukuri. Meskipun ada wacana di Golkar sendiri untuk menjalin koalisi dengan PDIP untuk menjadi oposisi, tampaknya wacana ini tidak akan populer, ide untuk merapat ke Demokrat tampaknya akan lebih menarik bagi para Kader Partai yang dari awal kelahirannya memang dirancang tidak untuk menjadi partai oposisi ini.

Juga sangat menyenangkan menyaksikan PKS, si partai autis yang narsis dan berpotensi fasis juga gagal menjual kecapnya. Hasil quick count dan juga penghitungan manual KPU sampai sejauh ini menunjukkan kalau di Pemilu 2009, Partai ini gagal total dalam usaha menarik simpati orang-orang di luar para Ikhwan dan Akhwat yang merupakan Kader fanatik mereka sendiri. Menurut Quick Count yang dirilis berbagai lembaga survey dan penghitungan manual KPU sampai sejauh ini, suara yang didapatkan PKS pada Pemilu kali ini sama sekali tidak bertambah dibanding Pemilu 2004. Meskipun Tifatul sang ketua yang dipuja seperti nabi oleh para kadernya ini dengan rasa percaya diri yang dipaksakan mengatakan PKS mengalami peningkatan persentasi. Tapi faktanya sebenarnya orang yang memilih PKS berkurag dibandingkan Pemilu tahun 2004. Mengingat jumlah pemilih tahun ini menurun sekitar 20% dibanding Pemilu tahun 2004, maka kalau dihitung jumlah pemilih sebenarnya jelas kalau suara Partai sok bersih dan sok suci ini turun dibanding Pemilu lalu.

Artinya apa, yang memilih partai ini di pemilu 2009 sebenarnya ya orang-orang yang sama dengan yang memilihnya tahun 2004, orang-orang yang memuja partai ini seperti berhala yang meniru dan menggugu omong kosong apapun yang keluar dari mulut para pimpinan partai yang merasa diri paling Islam ini.

Di luar itu, jutaan atau setidaknya ratusan ribu pemilih lainnya meninggalkan PKS dengan berbagai alasan. Indikasi paling jelas dari fenomena ini terlihat di Jakarta. Jika pada Pemilu tahun 2004, di Jakarta partai ini berjaya dengan lebih dari 22% suara, sekarang terlihat jelas kalau orang-orang Islam di ibukota negara ini sudah muak dengan gaya sok suci Tifatul, Nurwahid dan orang-orang PKS lainnya. Dari hasil quick count dan penghitungan manual KPU sampai sejauh ini, di Jakarta justru Demokrat yang sudah mencapai 35% suara.

Pemilu kali ini juga menunjukkan kalau perilaku dan pola pilihan dari para pemilih sudah berubah, perkembangan teknologi komunikasi dan keterbukaan media telah mengubah pola perilaku para pemilih. Jaringan partai yang kuat sampai ke akar rumput seperti yang dimiliki Golkar pada masa orde baru terbukti tidak lagi efisien untuk digunakan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan ide-ide dan pembentukan citra partai. SEperti fenomena kemenangan Obama di Amerika yang memanfaatkan pola-pola komunikasi baru, Demokrat di sini juga demikian.

Sesuai dengan tingkat kemajuan pola komunikasi baru di sini, untuk meraih simpati pemeilih Demokrat menggunakan sarana komunikasi massa semacam koran, spanduk, poster, radio dan terutama televisi yang bisa ditemukan hampir di setiap rumah penduduk negeri ini bahkan yang palig miskin sekalipun, terbukti jauh lebih efektif digunakan untuk menyampaikan ide dan membentuk citra Partai. Banyak partai-partai lama atau yang baru dengan kader-kader yang ketinggalan zaman yang tidak bisa membaca perubahan ini. Akibatnya mereka dan partai merekapun tenggelam. Dari sekian banyak Partai yang berkoalisi dalam pemerintahan saat ini, yang paling bisa mengambil manfaat dari segala kebijakan populis pemerintah hanya partai Demokrat.

Bahkan beberapa kebijakan yang sebenarnya adalah ide partner koalisinya malah memberi manfaat kepada partai demokrat, kebijakan ini misalnya perdamaian di Aceh, yang sebenarnya lebih banyak terjadi atas andil Jusuf kalla yang ketua Golkar, tapi oleh orang Aceh itu ditangkap sebagai ide SBY dengan demokratnya, sehingga dalam pemilu kali ini, berdasarkan perhitungan sementara demokrat menguasai hampir 50% suara untuk kursi DPR RI. Golkar sendiri hancur lebur.

Seperti biasa kemenangan partai demokrat yang merupakan partai dari orang nomor satu di negeri ini mengundang banyak nada sumbang yang menuduh demokrat berbuat curang. Secara langsung atau tidak ada yang mengatakan mereka merekayasa Pemilu lah, membuat sistem DPT yang kacau balau lah, dan lain sebagainya. Di Aceh kampung saya, saat ini banyak beredar tudingan bahwa Demokrat bekerja sama dengan Partai Aceh (PA) untuk memenangi Pemilu dengan segala cara. Faktanya, di Aceh, secara kasat mata saat ini kita memang bisa melihat kalau suara yang didapat Demokrat untuk DPR RI hampir sama signifikannya dengan suara yang diperoleh PA untuk ingkatan kabupaten dan provinsi. Fakta ini masih lagi ditambah kenyataan bahwa di hampir di semua TPS ditemukan banyak sekali kertas suara rusak milik partai-partai Non PA dan Non Demokrat, sampai-sampai di Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Singkil, yang merupakan kabupaten-kabupaten pro ALA pun, Demokrat dan juga PA sukses dan berjaya.

Kenyataan ini tentu saja membuat para caleg dan pengurus partai non Demokrat dan PA naik darah dan emosi memuncak sampai ke kepala.

Tapi bagi saya yang melihat segala keriuhan ini tidak lebih dari sekedar tontonan, saya menganggap fenomena ini tidak lebih seperti fenomena Liga Italia di paruh akhir 90-an, ketika Juventus begitu dominan. Saat itu klub berseragam zebra yang sangat saya benci sampai sekarang ini, didukung oleh dana melimpah, diperkuat pemain-pemain terbaik di dunia dan dilatih oleh pelatih mumpuni. Sudah begitu, mereka dikelola oleh orang-orang yang sangat paham trik dan strategi pemenangan di luar lapangan. Beberapa kali terlihat sangat jelas, bukan kemampuan di lapangan, tapi justru trik-trik di luar lapangan inilah yang membawa JUventus ke tangga juara. Begitu hebatnya trik luar lapangan Juventus saat itu, sampai-sampai klub favorit saya, Inter Milan yang saat itu baru memboyong Ronaldo, penyerang paling ditakuti di dunia yang di musim pertamanya mencetak 25 Gol pun, oleh Juventus dibuat tak berdaya.

Bukan itu saja, kehebatan Juventus di luar lapangan ini sampai membuat Massimo Moratti pemilik inter frustasi, karena ratusan juta dollar uang investasinya untuk membongkar pasang tim, baik itu pemain maupun pelatih demi mememangkan scudetto ternyata sia-sia. Saking frustasinya Moratti malah sempat mengundurkan diri dari jabatan presiden Inter segala.

Memang sepuluh tahun kemudian Juventus kena batunya, terjerat kasus Calciopoli dan dua gelar terakhirnya diserahkan ke Inter, tapi pada waktu itu yang jelas Juventus adalah juara dan Inter pecundang, itulah yang diakui dunia.

Nah beda Liga Italia dan pemilu kali ini bagi saya adalah; di Liga Italia saya punya Inter Milan sebagai Jagoan dan saya merasa memiliki ikatan emosional dengan klub itu, saya sakit hati pada Juventus saat merampok scudetto yang menjadi hak Inter. Sedangkan di Pemilu kali ini saya sama sekali tidak memiliki ikatan emosi apapun dengan partai apapun. Jadi biarlah segala urusan di dunia pemilu itu jadi urusan mereka, saya cukup menikmati sebagai penonton saja.

Sementara itu kalau kita berbicara manfaat Pemilu bagi masyarakat kebanyakan, menurut saya, yang paling bermanfaat dari Pemilu kali ini bagi masyarakat adalah kemampuan hajatan besar ini dalam menggairahkan ekonomi masyarakat melalui pendistribusian kekayaan secara sukarela oleh para kontestan yang kebetulan diberi rezeki berlebih dibandingkan kita-kita oleh yang maha kuasa.

Jika biasanya orang-orang kelebihan duit yang foto-fotonya banyak kita saksikan bertebaran pada masa kampanye Pemilu begitu pelit membagi kekayaannya bahkan tidak jarang menghalalkan segala cara untuk bisa menumpuknya, tapi menjelang Pemilu saudara-saudara kita yang emiliki rezeki berlebih ini jadi luar biasa dermawan dan welas asihnya. Mereka mendistribusikan rezekinya ke masyarakat baik itu secara langsung melalui pemberian bantuan sembako, sumbangan ke mesjid dan lapangan olah raga di desa-desa, penyelenggaraan lomba-lomba dan lain sebagainya ataupun pendistribusian yang tidak langsung menyasar masyarakat bawah tapi melalui perusahaan percetakan, periklanan, konsultan komunikasi, tukang spanduk dan poster, pembuat frame, tukang sablon, tukang kaos sampai para buruh kecil dan tukang becak dan dibayari untuk ikut kampanye.

Apa yang dilakukan para kontestan ini saya pikir memiliki arti yang cukup besar bagi bangsa ini karena sebagaimana halnya bangsa-bangsa lainnya juga tidak bisa lari dari imbas krisis keuangan global, meski tidak sebesar imbas yang dialami para tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Imbas ini sedikit banyak teringankan oleh gairah ekonomi yang diciptakan para kontestan pemilu ini.

Dan menariknya, kemampuan menggairahkan perekonomian yang dilakukan para kontestan Pemilu ini tidak langsung berakhir dengan berkahirnya Pemilu. Kegairahan ekonomi berkat pemilu ini tetap akan berlangsung sampai beberapa waktu ke depan. Jika sebelum Pemilu yang mangambil manfaat dari potensi ekonomi yang dimiliki para kontesan ini adalah orang-orang atau perusahaan yang bergerak di bidang-bidang yang saya sebutkan di atas, maka pasca pemilu yang mengambil manfaat atas potensi ekonomi para mantan caleg ini adalah klinik-klinik kesehatan jiwa ataupun ahli terapi freelance baik yang konvensional maupun alternatif.

Tadi pagi jam 6.45 WIB, saya menyaksikan tayangan fokus pagi Indosiar. Dalam tayangan itu ditampilkan rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang telah menyiapkan ruangan-ruangan rumah sakit untuk perawatan kejiwaaan sebagai antisipasi atas kemungkinan akan membludaknya pasien yang merupakan Caleg-caleg gagal.

Rumah Sakit Sanglah di Bali misalnya, sudah menyiapkan 100 kamar mulai dari yang berkelas internasional sampai kelas ekonomi yang menurut seorang dokter yang bertanggung jawab atas pelayanan rumah sakit itu disiapkan untuk menampung caleg-caleg yang sudah keluar uanga ratusan juta hingga milyaran yang berpotensi stress karena gagal menjadi anggota dewan. Kelas-kelas kamar di rumah sakit itu sengaja dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyesuaikan tarifnya dengan variasi kemampuan dana para mantan caleg yang habis-habisan sebelum pemilu. Kali ini tinggi rendahnya kelas kamar yang bisa mereka huni di rumah sakit ini sangat tergantung sisa dana yang mereka punya pasca Pemilu yang gagal mereka menangi.

Kemudian di Purbalingga, ada klinik alternatif HS Mustajab. Pemilik klinik ini yang bernama Supono begitu yakin dengan besar dan menggiurkannya potensi bisnisnya pasca pemilu yang sekarang sudah berakhir. Karena sedemikiann yakinnya akan kebanjiran Pasien, Supono berani membangun kamar-kamar baru di kliniknya sebagai persiapan 'panen raya' pasca Pemilu. Dan satu hal yang sangat menarik yang ditawarkan oleh klinik milik Supeno ini adalah sosok room boy yang membersihkan kamar-kamarnya. Si Room Boy di klinik ini adalah orang yang namanya sangat dikenal di seantero Nusantara, namanya Sumanto, yang di Indonesia dikenal luas sebagai pemakan manusia.

Potensi ekonomi yang dihadirkan para mantan caleg pasca Pemilu ini bukanlah sekedar olok-olok semacam April Mop yang megada-ada, tapi potensi ekonomi ini memang nyata adanya. Ujang Rustomi seorang pemilik klinik terapi jiwa alternatif di cirebon sudah mulai menangguk manfaat ekonomi dari para mantan Caleg pasca Pemilu. Kemarin dia mendapat seorang pasien berinisial AR, mantan Caleg sebuah partai yang stress karena suara yang dia dapat dalam pemilu tidak cukup signifikan untuk mendapatkan sebuah kursi Dewan, sementara dia sudah keluar uang ratusan juta.

Rumah sakit Sanglah di Bali juga sudah sangat tepat menyiapkan antisipasinya, karena di Bali memang ada potensi besar manfaat ekonomi dari para caleg gagal ini, kemarin sudah ada seorang perempuan, mantan caleg dari Hanura yang meninggal dunia akibat serangan jantung saat mendengar perolehan suaranya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Jadi, kalau dulu saya sempat kesal ketika di masa kampanye Pemilu menyaksikan polusi pemandangan yang diciptakan oleh gambar-gambar tidak indah para Caleg yang menyebar sampai jauh ke pelosok desa bahkan hutan. Sekarang, meski ketika pertunjukan pasca Pemilu ini sampai merengut korban jiwa, jujur terkadang saya merasa miris juga. Tapi melihat menariknya hiburan yang tercipta pasca pemilu ditambah dengan besarnya kegairahan ekonomi yang diakibatkan oleh kegiatan ini,baik pra maupun pasca. Tiba-tiba saya jadi berharap supaya Pemilu diadakan lebih sering lagi.

Wassalam

Win Wan Nur

Jumat, 03 April 2009

Kontroversi "Penjualan" aset Panti asuhan Budi Luhur Takengon

Posting Berita : ANTARA PEDULI DAN UPETI, KONTROVERSI "PENJUALAN" ASET
PANTI ASUHAN BUDI LUHUR TAKENGON..

Oleh : Muchtaruddin Gayo, MBA ( Ketua Ikatan Alumni Panti Asuhan Budi Luhur)


Saya tiba di Takengon 10 Maret 2009, hati saya sangat senang mendengar informasi ada pekan perayaan Pacuan Kuda di Bener Meriah , saya ingin melihatnya. Keesokan harinya saya disambut oleh suatu berita yang membuat perasaan saya tidak pernah tenang, lantas saya menemui teman-teman alumni Panti Asuhan Budi Luhur (PABL) dan beberapa mantan pimpinan di panti dulu untuk mencari tahu tentang berita yang mengusik perasaan saya tadi. Pada 17 Maret 2009 dengan ditemani oleh abang Djasli (alumni PABL 1976) dan dinda Sirwan (Alumni PABL 1987) kami berangkat menemui Kadis Sosnakertrans Kab. Aceh Tengah, bapak Drs. Tgk. Albar, tepat jam 12.30 Wib kami diterima oleh bapak Kadis Sosnakertrans dengan waktu yang sangat terbatas. Pertemuan saya mulai dengan memperkenalkan diri,
" Bapak berijin sudah berkenan menerima saya dan kawan-kawan alumni PABL, saya Muchtarudin tinggal di Jakarta, abang Djasli tinggal di Belang Bebangka dan Sirwan tinggal di Bale Bener Meriah.Bapak saya mendengar dari media online, koran dan informasi dari masyarakat bahwa Pemda Aceh Tengah CQ Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Aceh Tengah, "Menjual" aset PABL berupa 5000m tanah dengan harga Rp.8M, kepada Bank BPD Aceh sebagai penyertaan modal Pemda AT kepada Bank BPD Aceh cab. Tekengon, apa benar demikian pak?"

Bapak Drs, Tgk. Albar menjelaskan bahwa dirinya juga anak yatim, sebagai Kadis Sosnakertrans dia sangat menaruh perhatian guna menyediakan sarana dan prasarana yang layak guna meningkatkan kesejahteraan bagi anak binaan PABL. Untuk itu Pemda AT telah berusaha keras untuk membangun asrama baru yang refresentative di Kab. Aceh Tengah, dengan dana Otsus-migas 2007/2008 sebesar Rp.1.8m.
Tgk. Albar melanjutkan bahwa beliau telah mengajukan surat permohonan No.406/.../2009 tanggal 17 Februari 2009, kepada Ketua EDFF Prov.NAD untuk meminta tambahan dana pembanguanan PABL seniali Rp. 10m. Dirinya merasa yakin kalo dana tersebut akan cair pada tahun ini juga.

Pikiran sehat saya tidak dapat menerima statement seorang Kepala Dinas, bahwa tidak ada hubungan sama sekali pembangunan asrama baru dengan 'penjualan" aset PABL. Membanguan fasilitas baru untuk anak yatim adalah kewajiban utama Pemda/Negara sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 34 isi pasal ini antara lain " Fakir miskin dan anak terlantar/yatim dipelihara oleh negara". Lantas saya sibuk mencarai pasal yang menyatakan " setelah membangun asrama baru boleh menjual aset panti asuhan" ternyata tidak ada.
Kemudian saya tanya lagi " Pak bagaimana mengenai Masjid yang terdapat dalam areal yang akan "dijual" ? Kadis menjawab" areal PABL akan diperluas ke samping kanan dan kiri bangunan baru termasuk pembangunan Masjid jika dana bantuan Rp. 10m tadi cair.
Bapak Drs, Tgk. Albar memberi sinyal bahwa kami harus meninggalkan ruangan dengan alasan beliau dipanggil oleh Bupati Negeri Diatas Awan.

Untuk diketahui bahwa pembanguan Masjid tersebut berasal dari dana infaq, sadaqah, zakat dan waqaf para alumni PABL dan kaum muslimin di sekitar lingkungan PABL, Bapak Syamsuddin Ashaluddin, mantan pimpinan UPT. PABL mencatat sumbangan dari Dinas Sosial sebesar Rp, 6.000.000,- dan sumbangan dari Yayasan Dharmais sebesar Rp. 2.700.000,- sisanya dari swadaya masyarakat. Nah bagaimana ini menurut pandangan hukum Syari'at tentang pemeliharaan ZIS dan waqaf tentu para Tengku yang lebih mengetahuinya.

Kunjungan kami lanjutkan ke UPT. PABL Paya Ilang Takengon, setelah melaksanakan shalat Zuhur di Masjid yang sebertar lagi akan dibongkar, kami diterima oleh Ka. UPT. PABL yaitu bapak Ali Husin, S.Ag, saya tidak asing lagi dengan beliau karena sejak dia mahasiswa di Medan saya sudah kenal dan berkebetulan dia tinggal di rumah abangnya di Medan yang bersebelahan dengan rumah saya di Jalan Amal - Pinang Baris Medan.
Kami diajak melihat banguan yang baru di bahagian belakangan tanah PABL yang berbatasan dengan tanah MAN Takengon, Asrama yang baru cukup bagus ada ruang tidur putra putri, ruang makan putra putri, ada ruang belajar dan rumah Ka. UPT. Rumah Ibadah tidak ada, tempat olah raga tidak ada, halaman sempit untuk kegiatan 120 anak sehari-hari sangatlah tidak ideal. Bapak Ali Husin, S.Ag menuturkan bahwa " pembangunan asrama baru harus selesai selama 3-4 bulan itu target dari Provinsi NAD dan asrama tersebut telah diresmikan oleh Bupati AT pada 3 Maret 2009, tapi anehnya sampai 17 Maret 2009 belum dihuni oleh anak asuh. Dalam bincang-bincang tentang siapa penggagas 'penjualan" tanah PABL di bahagian depan dirinya meyatakan tidak tahu persis dan dirinya tidak pernah diajak bicara dan atau bermusyawarah oleh atasannya dalam hal ini Kadis, kita berharap ini sebuah pernyataan jujur dari seorang sarjana Agama. Kami sempatkan juga melihat-lihat keadaan asrama putri yang penuh sesak dengan himpitan almari dan tilam tempat tidur di rumah paling belakang, sedang di rumah tengah ada beberapa anak laki-laki. banguan ini dulu dipergunakan separuhnya untuk ruang shalat, saya pernah tiga tahun tinggal di ruangan ini dipojok timur depan, saya berkenalan dengan penghuninya dan saya berikan tanda mata dari saya, saya do'akan siapa yang tidur disini bakal jadi orang terkenal.Amin kata anak-anak lainnya.

Pada saat yang sama saya mendengar sebuah informasi yang penting dari sumber alumni PABL, bahwa Kantor Badan Pertanahan Nasional Takengon telah menerbitkan Sertifikat baru atas nama Bank BPD Aceh Cab. Takengon pada tanah Ex Panti Asuhan Budi Luhur, menurut sumber tersebut proses balik nama Sertifikat tersebut menjadi prioritas bagi Kantor BPN karena mendapat "intervensi" dari Pimpinan Negeri Diatas Awan. Mendengar berita tersebut kami para alumni PABL menjadi lemas seketika, karena nasi sudah jadi bubur akhirnya kami memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang pencarian fakta kepada pejabat dan instansi lainnya.
Pada 18 Maret 2009 kami Para Alumni PABL mengadakan pertemuan dan menghasilkan keputusan sebagai berikut :

1. Proses pelepasan aset PABL berupa tanah seluas 5000m di jalur jalan protokol Jl. Lebe Kader Takengon yang nota bene milik Harta Agama/ Negara sangat tertutup dan tidak transparan. Masyarakat ingin mengetahui dari mana ide awalnya?, siapa panitianya?, bagaimana mekanismenya?, berapa harganya?
2. Masyarakat ingin mengetahui : Pelepasan suatu aset negara menjadi aset Bank BPD apa dasar hukunya?, Apakah Bank BPD murni 100% milik negara? Andaikata benar administrasinya seperti apa? Atas persetujuan siapa?
TESTIMONI :
A. Tukar menukar sesama aset negara berupa tanah milik dinas Sosial DKI yang terletak di Jl. Dewi Sartika Jakarta Timur, yang lokasi ini akan digunakan olah dionas Kesehatan DKI untuk membangun rumah sakit mengalami negosiasi yang panjang dan alot sehingga harus diputuskan oleh Gubernur DKI .
B. Menyangkut Harta Benda Agama/Waqaf : Tanah waqaf di depan kantor Bupati Bener Meriah yang telah mendapat rekomendasi Bupati dan Kakanwil Depag Prov. NAD nasipnya masih terkatung-katung selama 3 tahun di Depag RI dan Badan Waqaf Indonesia(BWI) di Jakarta. Karena merubah fungsi Harta Agama/Waqaf harus sesuai dengan UU No.41 Tahun 2002 Tentanbg Harta Benda Waqaf dan PP No.42 Tahun 2003.

3. Jika benar nilai harga tanah seluas 5000m sebesar RP. 8.000.000.000,-, ini juga harus transparan melalui suatu proses negosiasi yang benar. Sebab harga pasaran tanah dilokasi jalan protokol tersebut adalah Rp. 2.000.000,-/ meter berarti total harganya menjadi Rp. 10.000.000.000,- ini patut diduga terjadi KKN karena ada angka bias Rp.2.000.000.000,- suatu jumlah yang sangat besar bagi sebuah daerah tingkat Kabupaten.

4. Masyarakat bertanya andaikata benar Pemda AT perlu mnyertakan modal pada Bank BPD Aceh kenapa harus tanah PABL yang harus dikorbankan. Apakah tidak ada lagi aset lain milik Pemda AT untuk digunakan sebagai upaya peningkatan PAD?
Masyarakat AT dan BM menilai apapun alasan Pemda AT melepas aset PABL hal itu sudah mencederai dan melukai hati umat Islam AT dan BM dan masyarakat dapat menukur sejauh mana kadar moralitas para Pemimpin Negeri Diatas Awan ini.
Bagi Masyarakat luas PABL adalah bukti nyata tonggak perjuangan rakyat Aceh Tengah merebut kemerdekaan. Setelah 3 tahun merdeka para tokoh masyarakat dan pimpinan umat bahu membahu membangun Asrama Sosial pada 1 Maret 1948 untuk menampung dan menyantuni anak yatim/piatu dan korban pergerakan melawan penjajah. Apa kata arwah para Pejuang kita setelah 61 tahun Indonesia merdeka tanah sosial tersebut "dijual"
tentu sangat tidak bijaksana.

5 Karena banyak hal penting yang masih belum jelas maka kami Ikatan Alumni PABL menulis Surat "Keberatan" kepada Bapak Buati Aceh Tengah dengan nomor surat : 01/Iluni-PABL /2009, tanggal 19 Maret 2009 dengan tembusan kepada beberapa Instansi terkait TK II, TK I dan Pusat, antara lain kepada Presiden RI, Ketua KPK, Medagri, Menag, Mensos dan Ketua BWI. Ada Laporan dari Alumni PABL bahwa surat Alumni kepada Ketua MPU dikembalikan kepada alamat si pengirim karena salah alamat, terjadi salah ketik nama Majelis Pertimbangan Ulama sehartusnya Majelis Permusyawaratan Ulama, kami dapat memahami hal tersebut, yang penting bagai kami ada gerakan Moral yang menetang Penjualan Aset Panti Asuhan Budi Luihur, sehingga kami membuat judul tulisan ini Antar PEDULI dan UPETI, Tujuan kami menurunkan tulisan ini hanya ingin membukan pintu hati kita, membuka mata kita dan membuka telinga kita untuk tetap berada pada jalur yang baik dan benar, bagi yang terseret-seret namanya pada tulisan ini saya mohon maaf, ini merupakan tanggungjawab moril bagi kami para Alumni PABL untuk tetap menjaga keutuhan PABL sampai akhir zaman, Zajakumullah Khairan Katsiran. Wassalamualikum warahmatullahi wabarakatuh.

* Penulis Alumni PABL Tahun 1982, Wiraswasta (konsultan Bisnis) tinggal di Cikeas - Bogor, Penulis saat ini sedang menulis naskah " Suscess Story anak PABL, Dari Paya Ilang ke Manca Negara" akan dirilis dalam Blog Resmi Ikatan Alumni PABL Takengon.

Rabu, 01 April 2009

Kultur Cina, Gayo dan Disneyland

Tulisan saya kali ini menyambung tulisan saya yang lalu, tentang etnis Cina yang menurut saya bisa menjadi etnis terunggul di negara ini, yang salah satunya adalah akibat dari reaksi mereka saat menjawab berbagai tekanan yang mereka terima di negara ini.

Mengenai hal itu seorang miliser bertanya kepada saya, apakah itu artinya setiap kali manusia ditekan dia akan bereaksi seperti itu kalau ditekan. Lalu ada pula yang bertanya bagaimana dengan Huaqiao di negara lain apakah mereka juga punya mentalitas yang sama seperti Huaqiao di sini?.

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan jawaban pendek 'Ya' dan 'Tidak', karena pertanyaan sang miliser ini berkaitan erat dengan Manusia. Sementara manusia modern adalah makhluk artifisial yang rumit.

Dalam menghadapi masalah yang dihadapi dalam hidup, manusia modern nyaris tidak lagi menyisakan insting bawaan lahir yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Dalam bertahan hidup, Manusia modern lebih banyak mengandalkan kesadarannya yang didapat dari pengetahuan yang dia serap dalam proses tumbuhnya. Lingkungan tumbuh dan latar belakang budaya yang membentuknya sangat mempengaruhi reaksi seperti apa yang diperlihatkan oleh manusia ketika dia menghadapi masalah.

Tiap budaya yang membentuk manusia umumnya mempunyai kekhasan masing-masing, kita biasanya dapat melihat benang merah dalam perilaku orang-orang yang tumbuh dalam latar belakang budaya yang sama. Kemiripan itu bisa terlihat ketika mereka bereaksi terhadap sebuah fenomena.

Para Huaqiao terbentuk menjadi seperti yang kita kenal sekarang adalah karena mereka memiliki latar belakang kultural yang khas, yang bisa kita temukan kemiripannya dengan perilaku etnis Cina manapun di dunia. Latar belakang budaya yang khas inilah yang membuat orang Cina menjawab tekanan sosial yang mereka hadapi dengan cara seperti yang saya gambarkan dalam tulisan sebelumnya.

Tapi jika tekanan yang sama diberikan kepada orang dari etnis lain, reaksinya belum tentu sama. Sebut saja misalnya orang Palestina yang ditekan Israel, seperti kita tahu bersama, tekanan itu dijawab oleh orang Palestina dengan Jihad berbentuk intifadah dan Bom bunuh diri. Yang berekasi seperti ini bukan hanya orang Palestina yang beragama Islam, tapi juga orang Palestina yang beragama kristen.

Para laki-laki di Minang juga mendapat tekanan secara kultural di daerah asalnya. Di Minang, secara kultural laki-laki ditempatkan dalam posisi yang kurang penting dibandingkan perempuan, laki-laki tidak mendapatkan warisan (meskipun sekarang banyak ahli budaya minang membagi harta warisan menjadi 'Limbago' dan 'Pusako', dan mengatakan 'Limbago' boleh dibagi sedangkan 'Pusako' sepenuhnya hak perempuan), tapi pada kenyataannya, yang saya lihat di banyak keluarga minang yang saya kenal, yang mendapat warisan memang hanya perempuan. Menjawab tekanan kultural seperti itu, laki-laki minang bereaksi menjawab tekanan itu dengan cara merantau, karena itulah kita bisa menemukan orang Minang di segala pelosok negara ini.

Orang Jawa yang budayanya dibentuk oleh raja-raja dan kaum feodal yang otoriter yang menuntut kepatuhan tanpa syarat kepada para bawahan dan rakyatnya, membuat orang Jawa secara umum juga memiliki karakter yang khas. karakter khas ini juga bisa dilihat dari cara mereka menjawab tekanan sosial yang mereka hadapi, yaitu dengan sikap patuh dan manut terhadap majikan dan tidak banyak protes.

Sementara orang Aceh sebaliknya, latar belakang budaya orang Aceh yang begitu rumit dan beragam dengan etnisitas yang berasal dari berbagai etnis dengan kultur mainstream dunia, telah menciptakan orang Aceh memiliki mental egaliter. Orang Aceh tidak suka menundukkan kepala dan mengaku kalah. Latar belakang budaya seperti inilah yang membuat membuat orang Aceh tidak pernah merasa posisinya lebih rendah dibandingkan Jakarta. Sehingga ketika mereka ditekan, orang Aceh menghadapi tekanan Jakarta itu dengan cara memberontak, orang Aceh tidak peduli dengan kenyataan bahwa faktanya mereka kalah dari segala segi, karena bagi orang Aceh harga diri ada di atas segalanya, bahkan di atas harga selembar nyawa sekalipun.

Orang Jawa yang tidak terbiasa menjawab tekanan dengan cara yang "tidak logis" seperti ini banyak yang tidak habis pikir dan tidak bisa memahami reaksi "tidak masuk akal" yang ditunjukkan oleh orang Aceh ini. Sehingga muncullah ungkapan PERANG BODOH.

Untuk menjawab pertanyaan miliser yang sama yang menanyakan, apakah fenomena yang ditunjukkan oleh Huaqiao tersebut hanya spesifik di negara ini saja, bagaimana dengan di negara lain yang menerapkan perlakuan berbeda terhadap mereka?. Untuk menjawabnya, kita harus terlebih dahulu mengenali apa itu kultur Cina.

Sebagai sebuah kultur, Cina itu sudah setua Mesir Kuno. Tapi, kalau Mesir Kuno sekarang sudah tinggal legenda dan bahan penelitian sejarah kuno, tidak demikian halnya dengan kultur Cina. Kultur ini tetap hidup lengkap dengan orang-orangnya dan terus berevolusi dan menyesuaikan diri dengan zaman dan selalu punya jawaban atas tantangan yang muncul di setiap zaman yang dilaluinya.

Dalam kultur Cina, mereka memiliki segala instrumen yang diperlukan dalam sebuah peradaban, filsafat, politik, musik, kedokteran sampai sastra. Kelengkapan instrumen sebuah peradaban dalam kultur mereka ini umumnya sangat disadari oleh orang Cina manapun, baik itu Cina yang warga negara Cina maupun Cina yang tinggal di negara lain.

Dengan kelengkapan instrumen peradaban seperti itu, Cina tidak merasa minder terhadap peradaban lain. Karena itulah ketika peradaban Barat dan pemikiran Barat sedemikian mengguasai dunia dalam beberapa abad terakhir, Cina tidak merasa minder atau merasa perlu menirunya mentah-mentah.

Selain itu, kultur Cina sangat menghargai yang namanya pendidikan, sejak sekitar 1400-an tahun yang lalu, pada zaman dinasti Tang (saat itu bangsa-bangsa di negara Indonesia ini boleh dikatakan masih dalam masa pra sejarah), Cina sudah punya sistem ujian negara yang menjadi syarat untuk masuk ke dalam sistem pemerintahan. Dengan sejarah kultural terhadap pendidikan yang seperti itu dan terus dipelihara turun-temurun, otomatis orang Cina bahkan yang termiskin sekalipun secara kultural sudah tersosialisasikan dengan pentingnya nilai pendidikan.

Dalam hal penghargaan terhadap pendidikan ini, kultur Cina banyak kemiripan dengan kultur Gayo dan Batak modern. Orang Gayo dan Batak zaman sekarang, semiskin apapun, rata-rata bercita-cita untuk bisa memproduksi minimal satu sarjana yang berasal dari keluarganya.

Kalau saat ini kita berkunjung ke rumah-rumah setiap keluarga Gayo, entah itu di kota Takengen atau di tengah perkebunan-perkebunan Kopi di Ramung Kengkang, Belang Gele atau Lukup Sabun sana, hampir pasti, kita akan menemui selembar foto ukuran 10 Inchi yang di bingkai dan dipajang di ruang tamu, tepat berhadapan dengan pintu masuk. Dalam foto itu tergambar salah seorang anggota keluarga tersebut mengenakan toga wisuda.

Kultur ini berbanding terbalik dengan kultur Jawa misalnya. Kultur Jawa secara umum saya amati, kurang atau bahkan di banyak desa yang saya kunjungi, saya lihat sama sekali tidak memberi harga dan nilai atas pentingnya pendidikan.

Bukan seperti di Gayo atau Batak yang orang tuanya rela sampai harus jungkir balik untuk mendapatkan uang buat menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua di desa-desa Jawa yang malah menyemangati anaknya untuk drop-out dari sekolah, sehingga pemerintahlah yang pusing untuk memikirkan, bagaimana caranya 'memaksa' agar anak-anak kecil di pedesaan itu bisa 'dipaksa' sekolah semua. Orang-orang di desa-desa Jawa, sejak zamannya Borobudur dibuat dulu mikirnya cuma 'kulo niki tiyang alit mas, aja macem-macem' (saya ini orang kecil mas, jangan punya mau yang enggak-enggak).

Saya menulis ini sama sekali tidak bermaksud melecehkan orang Jawa, tapi saya hanya menunjukkan bahwa seperti itulah realitasnya! Orang Jawa sendiri jelas tidak salah atau pun benar ketika mereka memiliki karakter seperti itu, karena SECARA KULTURAL orang Jawa memang sudah begitu.

Pengetahuan akan banyaknya kultur yang berbeda seperti inilah yang seharusnya menjadi dasar dari kebijakan apapun yang dibuat oleh pemerintah, segala bentuk penyeragaman dengan hanya berpatokan pada pemikiran sendiri tidak akan berhasil di negara yang berisi lebih dari 300 suku ini.

Jadi...Kalau ada orang yang bilang semua orang harus jadi wiraswastawan, mari kita galakkan kultur entrepreneurship, semua orang dipaksa berwiraswasta..., sudah tentu orang-orang Jawa yang tinggal di desa dengan kultur seperti yang saya katakan di atas akan langsung kalah bersaing dengan orang Cina atau pun orang Minang atau orang Aceh yang dari dulu memang sudah punya kultur dagang serta jiwa merantau yang baik.

Nah...kembali ke orang Cina. Etnis Cina itu, dimanapun mereka tinggal umumnya mereka tetap memelihara kultur kecinaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena tetap memelihara kultur kecinaan inilah, di manapun mereka tumbuh, entah itu di Indonesia, Singapura, Malaysia, Eropa, Australia atau Amerika, umumnya mereka tetap memliki kesamaan karakter.

Karena itulah di mana-mana secara karakter Cina ya tetap ada miripnya (apalagi secara fisik). Di Malaysia misalnya, di sana mereka ditekan dengan NEP, supaya Pribumi bisa menyaingi mereka. Tapi kenyataannya apa, karena memang pribumi yang mendapatkan kemudahan izin usaha melalui kebijakan NEP memang dasarnya tidak memiliki daya juang dan semangat tempur setinggi orang Cina, mereka banyak yang menjual izinnya kepada pengusaha Cina. Sehingga akhirnya yang terjadi di Malaysia, tetap saja pengusaha Cina lebih unggul dibanding pengusaha Melayu.

Itu negara melayu, bagaimana dengan negara maju semacam Amerika, Eropa dan Kanada?...sama saja!. di Amerika-pun orang Cina rata-rata sukses, kota-kota besar di Kanada semacam Toronto, Vancouver dan Montreal juga sekarang sudah mulai didominasi Cina. Di perancis juga demikian, etnis cina perlahan tapi pasti mulai menguasai perekonomian di negara itu, bahkan di Perancis, Cina sudah mulai menggusur Yahudi. Dulu di Perancis bisnis tekstil dikuasai oleh etnis Yahudi, tapi sekarang Cinalah pusat produksi tekstil dunia, lalu siapa yang punya akses paling mudah ke sana?...tentu saja etnis Cina, sehingga poerlahan tapi pasti Yahudi pun mulai tergusur dari bisnis ini.

Di Kota Paris, makin lama makin banyak Cina kaya, di mana-mana mulai bermunculan rumah-rumah mewah milik orang Cina, sehingga sekarang pandangan orang bule di sana terhadap etnis Cina lama-kelamaan mulai mirip seperti pandangan orang Melayu terhadap mereka, yaitu Cina = Kaya. Banyak rumah-rumah besar dan bagus di Kota Paris yang sebelumnya dimiliki oleh bule-bule kaya, sekarang dibeli oleh orang Cina.

Kota Paris dibagi dalam 20 bagian semacam blok yang disebut arrondissement yang masing-masing diberi nomer. Dari 20 arrondissement yang ada itu, satu arrondissement, yaitu arrondissement 13 sudah sepenuhnya dikuasai Cina, dan sekarang mereka mulai merambah ke arrondissement-arrondissement sekitarnya.

Begitulah orang Cina yang saya amati, mereka mampu bertahan menghadapi tantangan setiap zaman karena mereka berpegang teguh pada akar mereka, pada kultur mereka yang kuat tapi fleksibel yang terus meyesuaikan diri dengan setiap zaman yang dilaluinya.

Ketika miliser yang sama menanyakan kalau Etnis Cina memang terbukti paling unggul dibanding etnis-etnis lain di negara ini, kenapa saya tidak mengajarkan anak saya seperti cara orang Cina mengajarkan anaknya?.

Alasan-alasan di ataslah yang membuat saya tidak melakukannya. Saya bukan Cina, anak saya bukan Cina, keluarga saya juga tidak ada satupun yang Cina. Kami tidak tumbuh dalam kultur dengan lingkungan yang membuat kami bisa memiliki kesadaran dan mentalitas seperti orang Cina. Jadi, kalaupun saya ngotot meniru Cina, saya dan anak saya hanya akan jadi Cina jadi-jadian, sama seperti Bule jadi-jadian yang banyak bertebaran di Jakarta atau Arab jadi-jadian yang belakangan ini bermunculan dimana-mana, atau yang paling ironis, Jawa jadi-jadian yang sekarang banyak bermunculan di Tanoh Gayo sana.

Dari pengamatan saya terhadap kultur Cina itu, saya menarik pelajaran. Kalau tidak ingin tergilas oleh zaman, maka berpegang kuatlah pada akar kita. Kalaupun ada kekurangan dalam kultur yang membesarkan kita, saya pribadi selalu memilih untuk membenahi semuanya dari perombakan atas nilai-nilai yang ada di dalamnya, bukan membuang habis semua nilai yang ada beserta dengan fondasi-fondasinya.

Dengan sedikit modifikasi, sebuah kultur yang dianggap paling inferior sekalipun bisa menghasilkan sebuah produk superior. Contoh seperti ini yang sudah saya lihat sendiri adalah Pak Yanto, pemilik Ijen Resort, orang yang lahir besar di keluarga Jawa, di lingkungan orang-orang yang berpikiran 'kulo niki tiyang alit mas, aja macem-macem'. Ketika beliau sedikit memodifikasi pemikirannya, Pak Yanto bisa menjadi pengusaha sukses dengan skala seperti itu. Padahal dalam segala hal, sikap, kebiasaan dan perilaku sehari-hari, Pak Yanto masih tetap orang Jawa.

Kalau kultur Jawa saja bisa menghasilkan orang seperti Pak Yanto, apalagi kultur Aceh yang memang sudah dibekali modal kepercayaan diri dan menganggap semua manusia setara dari sananya.

Kultur Gayo juga sebenarnya demikian, dari dulu bahkan orang Gayo tidak pernah benar-benar tunduk 100% pada rajanya. Orang Gayo itu sangat republikan dan tidak feodal. Ditambah dengan kultur Gayo yang seperti kultur Batak yang sangat menghargai pendidikan, sebenarnya sangat besar peluang orang-orang dari suku ini untuk tampil ke permukaan. Yang perlu dibenahi dalam kultur Gayo, menurut saya hanya mental 'unung-unung' (mental copy paste) dan rendah dirinya. Kalau itu bisa sedikit dimodifikasi, orang Gayo sama sekali tidak akan punya masalah untuk hidup berdampingan dan bersaing terbuka dengan orang Aceh atau suku apa saja. Jadi Gayo sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan ALA, yang mebutuhkan ALA sebenarnya hanyalah para politisi cengeng dan orang-orang Gayo yang tidak mengenal akarnya.

Akhir tahun lalu, anak saya Qien Mattane Lao liburan sekolah dan dia dihadapkan pada dua pilihan tempat berlibur. Ke Disneyland di Amerika sana dengan Om dan tantenya tanpa kami perlu mengeluarkan speserpun biaya, atau ke Takengen dengan Bundanya dan kami harus merogoh kocek cukup dalam untuk bisa ke sana.

Dengan berbagai pertimbangan, saya dan istri saya mengarahkan Matahari Kecil anak saya untuk berlibur ke Takengen, meskipun kami harus mengeluarkan uang dengan jumlah lumayan untuk itu.

Awalnya Matahari Kecil protes, dia lebih memilih ke Disneyland, karena teman-teman sekelasnya juga rata-rata berlibur ke sana.

Tapi ketika saya menunjukkan foto-foto masa kecil saya, saat saya naik kerbau dengan adik-adik saya, berenang di sungai, memanjat pohon jambu dan jeruk lalu membandingkannya dengan foto-foto dan film yang dibuat ketika istri saya berkunjung ke Disneyland saat dia masih SMA. Matahari Kecil lebih memilih berlibur ke Takengen yang kemudian terbukti memang sangat disukainya.

Ketika dia sudah masuk sekolah, Matahari Kecil menunjukkan foto-fotonya saat berlibur di Takengen kepada teman-teman sekelasnya yang berlibur di Disneyland. Saat dia menunjukkan foto-fotonya yang sedang naik kerbau, berenang di danau, dan naik gunung bersama saya dan istri saya, teman-teman sekelasnya jadi tidak ingin ke Disneyland lagi, mereka semua jadi ingin ikut Matahari Kecil berlibur ke Takengen pada musim liburan tahun berikutnya.

Untuk kami sendiri, alasan yang membuat kami mengarahkan Matahari Kecil berlibur ke Takengen adalah supaya dia kenal akarnya, supaya dia familiar dan tidak asing dengan kultur yang melahirkannya.

Kami melakukan itu karena kami sadar, meskipun Matahari Kecil tidak lahir di Gayo, meskipun di sekolah dan lingkungannya dia bergaul dengan orang yang berasal dari berbagai bangsa dan negara. Tapi ada sebuah kenyataan yang tidak bisa diubah, Matahari Kecil adalah orang Gayo. Dan ini sangat penting untuk dia sadari.

Pengalamanlah yang membuat kami berdua, saya dan istri saya menyadari akan pentingnya mengenal akar ini.

Satu waktu, kami tinggal jauh dari orang tua, kerabat, teman dan sanak saudara. Di tempat kami tinggal ada komunitas kecil Gayo dan Aceh, karena saya tumbuh dengan nilai dan kultur Gayo dan besar di Aceh, saya dengan mudah berbaur dengan mereka dan langsung merasa sebagai bagian dari komunitas itu.

Sementara itu, di kota ini juga sangat banyak orang Minang lengkap dengan segala macam oraganisasi dan perkumpulannya. Mereka sering mengadakan acara pertemuan atau acara kesenian. Tapi istri saya yang lahir dan besar di Jakarta sebagai orang Minang dan tumbuh di dalam keluarga keluarga Minang, sejak kecil tidak pernah benar-benar diperkenalkan pada adat dan budayanya. Akibatnya, istri saya tidak akrab dengan akar yang membentuknya, sehingga ketika sudah besar, istri saya sama sekali asing dengan budaya Minang dan orang-orangnya. Ketika kami tinggal di kota itu, tidak seperti saya yang merasa seperti sedang berada di kampung halaman saja, istri saya pernah merasakan dirinya begitu kesepian, dia merasa seperti alien, seperti orang asing yang tidak punya siapa-siapa.

Karena itulah saat liburan sekolah beberapa waktu yang lalu, di antara kami berdua, istri sayalah yang paling bersemangat untuk mengarahkan Matahari Kecil berlibur ke Takengen. Istri saya tidak ingin Matahari kecil seperti dia, dia tidak ingin saat sudah dewasa, Matahari Kecil mengalami perasaan kesepian dan terasing seperti yang dia rasakan.

Dengan berlibur di Takengen saat dia masih kecil seperti ini, saat otaknya masih merekam setiap kejadian dengan demikian baiknya, kenangan indah akan tanah leluhurnya, keluarga dan kerabatnya serta budayanya akan melekat abadi dalam memori Matahari Kecil saat dia dewasa.

Sementara Disneyland, akan tetap begitu-begitu saja.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com