Jumat, 23 Januari 2009

Situasi Aceh di Tahun 90-an dan Kini

Kemarin, iseng-iseng saya pergi ke perpustakaan. Saya membaca koran-koran dan majalah lama edisi tahun 90-an. Sangat menarik sekali membaca artikel dan berita yang tertulis dalam media cetak itu. Saat kita menilainya dengan situasi sekarang, ada perasaan aneh ketika saya membaca sebuah iklan komputer canggih yang begitu bombastis. Dalam iklan itu dikatakan IBM telah memasarkan sebuah komputer PC tercanggih yang pernah ada dengan kapasitas hard disk 2 Gigabytes yang dipasarkan dengan harga hanya $ 8150 saja.

Saat itu Soeharto sedang lucu-lucunya, dalam beberapa foto yang dipublikasikan di media-media itu, saya melihat tiga orang menteri diantaranya Mar'ie Muhammad dan Tungky Aribowo yang sedang meyerahkan map dan menghadap beliau dengan takzimnya.

Berita dalam negeri saat itu didominasi oleh berita penculikan yang dilakukan GPK Irja yang dipimpin Kelly Kwalik dan tenggelamya kapal Gurita di hari Meugang (sehari menjelang Ramadhan) di perairan Sabang. Membaca itu, saya teringat kembali betapa 5 hari sebelum kejadian itu saya baru saja dari Sabang bersama rombongan Pecinta Alam dari seluruh Indonesia dengan menumpang kapal yang sama.

Saat saya baca koran edisi januari 1996, saya membaca saat itu APBN tahun 1996 yang baru disahkan mendapat tanggapan positif, bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar. Pujian itu misalnya datang dari Michel Camdessus, direktur IMF untuk Asia yang belakangan menjadi Ketua IMF. Dalam tulisannya di Gatra, Michel mengatakan keyakinannya kalau kurang dari sepuluh tahun lagi Indonesia akan menjadi salah satu negara penting di kawasan ini.

Saat itu Michel Camdessus, seperti juga kita semua yang tinggal di negara ini, sedikitpun tidak bisa menduga atau bahkan membayangkan kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimistis itu akan ada kejadian luar biasa di negara ini. Seperti Michel Camdessus yang tidak pernah membayangkan kalau beberapa tahun kemudian wajahnya akan dilempar kue pie di depan umum oleh Robert Naiman, seorang aktivis anti globalisasi. Saat itu, tidak seorangpun bahkan dengan fantasi yang paling liar sekalipun yang bisa membayangkan, kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimisme itu, Soeharto presiden kita tercinta yang begitu berkuasa dan sangat ditakuti, yang bahkan harus menjadi idola seluruh penduduk negara ini yang berminat menjadi pegawai negeri akan turun tahta dengan cara yang sangat hina.

Saya sendiri saat itu masih menjadi Mahasiswa di Fakulas Teknik, Jurusan Teknik Sipil Unsyiah. Masih belum begitu terkoneksi dengan berita-berita dan perkembangan yang terjadi di luar provinsi. Kami di Aceh saat itu terbilang masih terisolasi, jangankan berita di luar bahkan adanya operasi militer bersandi jaring merah untuk membasmi GAM yang saat itu masih disebut dengan istilah GPK Aceh saja tidak benar-benar kami ketahui. Kecuali hanya dari kabar-kabar burung tidak resmi dari orang-orang yang tinggal di Aceh Utara atau Pidie. Imajinasi terliar siapapun saat itu akan bisa membayangkan saat ini Aceh akan dipimpin oleh seorang Gubernur yang anggota GAM bernama Irwandi dan wakilnya Nazar anak IAIN yang lahir persis di tahun yang sama dengan saya.

Waktu itu saya sedang tergila-gila main batu, sebutan kami untuk permainan domino. Dua senior saya yang sudah tamat bernama Jojo dan Syuhada (sekarang sudah almarhum), tiap malam datang ke kost-an saya di Jalan Cumi-Cumi, Lamprit. Di sana apalagi yang kami lakukan kalau bukan main batu, bertarung dan berjudi kecil-kecilan, dengan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak sebagai taruhan. Karena sudah malam siapapun yang kalah harus membeli apa yang kami pertaruhkan ke Jambo Tape yang buka sampai pagi . Sementara untuk pergi ke Jambo Tape yang jaraknya sekitar 2 kilo meteran dari Jalan Cumi-Cumi, satu-satunya kendaraan yang ada adalah Motor Honda GL Pro keluaran tahun 1982 milik Jojo yang lebih sering bukannya membantu tapi malah menjadi masalah baru karena tidak bisa dihidupkan. Akibatnya lengkaplah penderitaan bagi yang kalah main batu, sudah kalah berjudi, membawa macam-macam barang malam-malam masih ditambah harus mendorong motor butut pula. Tapi untungnya Banda Aceh pada waktu itu benar-benar sangat aman, di kota ini tidak ada preman, sehingga jalan kaki di malam hari yang sepi dari Jambo Tape ke Lamprit pun kita tidak merasa was-was.

Saat itu di Banda Aceh belum ada internet, obrolan di kalangan anak muda baru sekedar membahas, tadi Devi Padiana ngomong apa aja waktu siaran pagi di Flamboyan, ada festival musik apa di taman budaya, siapa nama cewek mahasiswa baru asal Lhokseumawe yang sekarang kost di Jalan Pari dan pembicaraan-pembicaraan sejenisnya. Hampir tidak pernah saya mendengar pembicaraan yang menyangkut politik dan sejarah. Apalagi Filsafat dan Sastra yang keduanya adalah benda asing bagi kami di Aceh waktu itu. Politik paling-paling menjadi bahan omongan di kalangan anak-anak HMI yang eksklusif dan pergaulan mereka secara politis terpisah dari budaya keseharian anak muda di Aceh.

Novel yang kami baca saat itu masih model Mira W, Lupus, Gola Gong dengan Balada Si Roy-nya. Karya Pramoedya masih jadi barang haram. Kalaupun membaca novel luar paling banter bacaan kami Sidney Seldon, Mario Puzzo, Agatha Christie, Michael Crichton atau John Grisham. Tidak ada novel dari pengarang-pengarang semacam Paulo Coelho, Arundhati Roy apalagi George Orwell.

Seperti juga tidak ada yang menduga akan terjadi sesuatu yang luar biasa tahun 1998, lebih tidak ada yang menduga lagi akan terjadi sesuatu yang lebih luar biasa bagi Aceh dan dunia. Akhir tahun 2004 terjadi bencana Tsunami yang menewaskan lebih dari 300 ribu penduduk provinsi ini. Sebuah bencana dahsyat yang kedahsyatannya melebihi imajinasi manusia manapun yang hidup di tahun 90-an itu.

Bencana itu benar-benar membawa kesedihan bagi orang-orang Aceh yang tersisa. Tapi seperti biasa, saat terjadi suatu musibah pasti juga ada hikmah di baliknya.

Pasca tsunami, Aceh jadi terbuka berbagai lembaga asing dan nasional berdatangan. Orang Aceh yang karakternya memang berjiwa bebas dengan cepat menyerap segala informasi dan peradaban yang dibawa oleh orang-orang yang datang.

Sebagaimana sebuah produksi yang pasti akan banyak menghasilkan limbah. Efek dari keterbukaan inipun demikian, yang paling banyak terserap oleh masyarakat Aceh adalah limbah-limbah yang dibawa oleh keterbukaan itu, diantaranya perilaku hedonis yang terlihat nyata di antara para OKB yang mendapat keutungan besar selama proses rehap rekon terbesar yang pernah dilakukan sepanjang sejarah manusia, lalu dengan mudah pula ditemui orang Aceh dengan gaya sok pamer, gaya bahasa yang meniru logat Jakarta dan sejenisnya.

Tapi tentu saja bukan hanya limbah yang dihasilkan oleh keterbukaan itu, keterbukaan Aceh juga menghasilkan banyak produk paten. Keterbukaan itu membuat Aceh menjadi tempat bergumulnya aneka pemikiran dan aneka semangat yang bersifat membebaskan.

Empat tahun sesudah tsunami saya kembali ke Aceh, masuk ke masyarakatnya dan merasakan sendiri dinamikanya.

Begitulah, saat di Aceh kemarin, saya menyaksikan dan merasakan sendiri betapa dinamisnya pergumulan pemikiran yang terjadi di Aceh saat ini. Anak-anak muda di Aceh sekarang dengan fasih berdiskusi tentang sastra, filsafat, sejarah, politik dan ekonomi global sampai ke isu-isu lingkungan. Partai-partai lokal baru yang mengusung semangat yang bersifat membebaskan juga bermunculan. Yang menariknya rata-rata partai baru itu dipimpin dan diisi oleh anak-anak muda seumuran atau lebih muda dari saya.

Permainan yang digemari anak muda di Aceh sekarang juga sudah berbeda. Jika mahasiswa jaman kami dulu berjudi di meja domino, dengan modal meja atau triplek yang jika dipukul bisa mengeluarkan bunyi yang keras. Dalam permainan itu kami beradu ketangkasan berpikir dan kekuatan menganalisa permainan dengan taruhan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak. Mahasiswa Aceh sekarang tidak lagi seperti kami. Sekarang mereka berjudi Valas, menggunakan perangkat laptop dan fasilitas IM2 dari Indosat sambil duduk di warung kopi. Yang mereka analisa juga bukan sekedar batu apa dipegang kawan sehingga harus diberi jalan dan batu apa yang dipunyai lawan dan harus dihambat agar tidak bisa keluar. Tapi yang mereka analisa adalah setiap detail isu internasional mulai dari Argentina sampai Afrika Selatan yang kemungkinan bisa mempengaruhi sentimen di pasar uang. Taruhannya juga Dollar betulan.

Sementara itu pemerintahan Irwandi-Nazar masih terlihat gamang dengan peran barunya. Irwandi seperti Lech Walesa ketika memimpin Polandia pasca berhasilnya gerakan Solidarity, terlihat masih kesulitan melepaskan perannya dari seorang pemberontak menjadi orang yang mengurusi negeri. Irwandi tidak terlalu bisa berbasa-basi dengan bawahan. Semua birokrat lama yang berpengalaman yang jauh lebih paham keadaan dan situasi di pemerintahan, semua dia curigai dan dia musuhi. Sehingga tidak jarang kita lihat Irwandi uring-uringan, karena dia tidak percaya yang namanya pendelegasian. Mulai dari menyopiri mobil sampai berhadapan dengan wartawan semua dia urusi sendiri.

Diplomasi Irwandi dengan menteri di Jakarta juga buruk sekali. Hal sekecil apapun oleh Irwandi dilaporkan ke Jusuf Kalla sehingga menimbulkan antipati dari menteri-menteri, padahal menteri-menteri itulah pelaksana taktis, yang mengeluarkan dana dan sebagainya sehingga seharusnya dengan merekalah Irwandi lebih banyak berhubungan, bukan dengan Jusuf Kalla.

Kebijakan pemerintahan di Aceh saat ini juga tidak jelas arah dan prioritasnya. Semua hal berbau 'cet langit' disikat, mulai dari eksplorasi panas bumi sampai konsep lingkungan yang diberi nama Aceh Green yang cuma besar di media tapi tidak pernah jelas seperti apa pelaksanaan konkretnya.

Uang APBA (APBD versi Aceh), semua ditumpuk di provinsi, sehingga sampai akhir tahun 2008 sedikit sekali yang bisa tersalurkan. Akibatnya muncul ketidak puasan di daerah-daerah tingkat dua. Di daerah-daerah yang bupatinya punya agenda politik sendiri seperti di Aceh Tengah dan Bener Meriah, kelemahan Irwandi ini dieksploitasi sampai ke kampung-kampung. Yang oleh mereka digunakan sebagai senjata untuk mendorong berdirinya provinsi Aceh Leuser Antara.

Di Banda Aceh sendiri, Irwandi tampak mulai tersudut dan mulai kehilangan dukungan. Rakyat yang dulu memilihnya dan menaruh harapan besar di pundaknya mulai merasa kecewa. Lalu Irwandi yang mulai mengalami krisis kepercayaan, atas anjuran team asistensinya yang dipimpin oleh Teuku Rafli yang mantan suami Tamara, mulai terbiasa memasang iklan di koran-koran yang menyatakan bahwa dia adalah Gubernur Pilihan Rakyat dan berkali-kali menyebut MoU Helsinki sebagai pegangannya.

Padahal kalau kita analisa dengan pikiran jernih, pegangan Irwandi ini sangat rentan sekali. Sangat bergantung pada niat baik pemerintahan saat ini. Seandainya kepemimpinan Nasional berganti, katakanlah yang paling sial yang nantinya terpilih sebagai presiden adalah Megawati. Yang sejak awal sudah bilang tak akan mau sejengkalpun mendiskusikan soal kedaulatan dengan kelompok separatis. Meskipun dalam pelaksanaan MoU itu ada dukungan internasional, tapi jika Indonesia dipimpin oleh Presiden semacam itu, apakah Irwandi masih bisa dengan gagah mengatakan berpegang pada amanat MoU Helsinki?.

Saat membaca majalah dan koran-koran lama itu saya juga bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah Aceh dua tahun lagi?...Apakah di pemilu 2009 ini Partai Lokal bisa meraih kemenangan?. Apakah nanti kalau itu terjadi, kemenangan itu akan benar-benar merupakan solusi?. Saya bertanya begitu karena terus terang dalam hati saya menyimpan kekhawatiran, yang saya takutkan justru kemenangan partai lokal di Aceh nanti akan menjadi bumerang, karena dengan itu tidak akan ada kambing hitam lagi seperti sekarang. Saat itu semua kebijakan adalah tanggung jawab kita, kita tidak lagi bisa menyalahkan Jakarta.

Atau jangan-jangan di depan ini sudah menanti sebuah kejadian luar biasa yang tidak kita perkirakan seperti apa yang terjadi di tahun 1998.

Dan terakhir yang tidak kalah membuat saya penasaran adalah, dua tahun lagi bagaimana perspektif saya, jika saya masih hidup dan membaca kembali tulisan yang saya post sekarang ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Kamis, 22 Januari 2009

Obama dan Hubungan Masa Kecilnya Dengan Relasi Indonesia-Amerika

Sebelum hari pelantikan Obama kemarin, saya membaca sebuah tulisan di facebook yang berisi nada pesimis yang ditulis di profil seorang temanku. Katanya " aku heran sama orang Indonesia yang begitu berharap dengan Obama, padahal padahal dalam hati Obama..Indonesia? sapa elu...:)".

Saya tidak sepakat dengan pendapat teman saya ini, karena menurut saya masa kecilnya di sini jelas meninggalkan pengalaman dan kesan kuat tentang negara ini bagi Obama. Terbukti dari apa yang dia tulis dalam bukunya, dia bercerita tentang Bali, Jakarta dan segala kenakalannya selama tinggal di sini. Apalagi waktu SBY menelpon untuk mengucapkan selamat saat dia resmi terpilih jadi Presiden, apa yang dikatakan Obama pada SBY?..."Gue kangen Nasi Goreng, Bakso dan Rambutan". Jadi jelas teman saya ini salah ketika dia mengatakan "begitu dia jadi Presiden mana dia ingat lagi Indonesia", karena faktanya adalah sebaliknya, Obama tidak pernah lupa Indonesia.

Terus apa implikasi dari kenangan pribadi masa kecil Obama ini terhadap posisi Indonesia di mata Amerika selama masa kepemimpinannya nanti?...Nah kalau ini pertanyaannya, baru jawabannya TIDAK ADA.

Amerika bukanlah tipe negara dakocan yang menjalankan politik luar negerinya berdasarkan pada perasaaan sentil mentil masa kecil presidennya. Sebagai sebuah negara, mereka sudah punya satu peta besar negara-negara yang dibagi dalam skala prioritas dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Mulai dari negara yang paling penting seperti Israel, Irak dan Afghanistan sampai ke negara yang paling tidak penting sama sekali semacam Vanuatu dan Tonga.

Siapapun presiden Amerika, dalam mengambil setiap kebijakannya dia tidak akan bisa melepaskan pertimbangan kebijakan luar negerinya dari peta yang sudah ada ini. Secara garis besar, siapapun presiden Amerika, negara-negara yang dianggap teman, musuh sampai yang biasa saja oleh Amerika ya itu-itu saja. Tidak berubah.

Siapapun presidennya, musuh Amerika ya tetap Kuba, Iran dan Korea Utara. Temannya?...untuk di Asia tinggal kita lihat saja dimana Amerika menempatkan pangkalan-pangkalan militernya. Philipina, Korea Selatan dan Jepang. Kalau di Timur tengah ya jelas Israel. Siapapun presiden Amerika, kenyataan ini tidak akan bisa diubah karena kuatnya lobi Yahudi sebagai hasil kuatnya kontrol mereka atas ekonomi Amerika.

Biarpun mungkin secara pribadi seorang Presiden Amerika sangat benci Israel dan yahudi, tapi secara institusi adalah mustahil seorang presiden Amerika untuk mengubah secara ekstrim kebijakan nasional mereka yang pro negara Yahudi di Timur Tengah itu. Kalaupun ada perbedaan antara kebijakan antara satu presiden dengan presiden lain. Itu cuma masalah tingkatan keras dan lunaknya saja. Tapi secara garis besar yang namanya Amerika siapapun presidennya ya Pro Israel.

Untuk negara arab teman-teman Amerika ya bakalan tetap, Mesir, Arab Saudi, Kuwait sama Jordania. Iran dan Suriah dianggap lawannya. Sama Libya udah rada baikan.

Di Eropa jelas sama NATO, sama Rusia yang sekarang udah mulai lagi menyusun kekuatan pasca bubarnya Uni Sovyet, Amerika juga mulai hati-hati dan nggak mau salah perhitungan.

Untuk mengamati pola kebijakan luar negeri Amerika, perlu kita tahu pula kalau Amerika ini adalah sebuah negara yang dijalankan dengan pemikiran filsafat Pragmatisme hasil pemikiran William James dan kawan-kawan. Pragmatis sendiri kurang lebih berarti hanya melakukan apa yang menguntungkan diri sendiri saja. Biarpun di kalangan kaum filsuf, filsafat yang dianut Amerika ini dicibir dan dihina kanan kiri dibilang kampungan lah atau dibilang sebagai pemikiran yang 'menaruh otak di bokong' lah dan dan lain sebagainya. Tapi apa boleh buat, faktanya dengan filsafat kampungan inilah Amerika menguasai dunia.

Dengan semua paparan saya di atas, kalau mau melihat posisi Indonesia di mata Amerika, kita tidak perlu melihat siapa yang menjadi presiden di sana. Karena siapapun presidennya kebijakan luar negeri yang dia ambil tidak akan bisa dilepaskan dari cara pandang Amerika yang seperti yang saya gambarkan itu.

Jadi untuk melihat apa seberapa berartinya Indonesia di mata Amerika, bukan dengan melihat fakta bahwa di masa kecilnya Obama pernah tinggal di Jakarta, melainkan dengan melihat apa untungnya keberadaan Indonesia bagi kepentingan nasional Amerika. Cara pandang yang sama juga berlaku buat Kenya, negara asal Bapak kandung Barack Obama.

Sebagai sekutu misalnya, seperti yang saya katakan, untuk kawasan ini secara tradisional Amerika itu kawan dekatnya ya Australia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang.

Memang kalau dilihat dari posisi geografis, posisi Indonesia yang terletak di antara dua samudra dan dua benua ini sangat strategis baik untuk militer apalagi ekonomi. Tapi seperti yang saya katakan di atas tadi, untuk kepentingan militer dalam memanfaatkan posisi strategis kawasan ini Amerika berpartner dengan Philipina. Untuk ekonomi? siapa di kawasan ini yang dianggap paling penting oleh Amerika?...ya Singapura.

Kenapa Singapura?...itu karena meskipun Singapura itu negara kecil yang bahkan bisa tenggelam cukup dengan kita ludahi saja dan orangnyapun berbicara dengan logat bicara yang jauh lebih jelek dibandingkan logat kita. Tapi negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek inilah yang secara empiris bisa memanfaatkan segala keuntungan ekonomi dari strategisnya posisi geografis nusantara ini.

Singapura yang baru 9 Agustus 1965 memerdekakan diri dari Malaysia ini adalah tempat transit paling penting dalam jalur laut dan penerbangan di kawasan Asia Tenggara. Untuk jalur laut malah bisa dikatakan sebagai salah satu tempat transit terpenting di dunia, mengingat Selat Malaka adalah jalur laut tersibuk di dunia.

Sementara Indonesia adalah sebuah nama yang dikenal sebagai negara yang gemar menyia-nyiakan seluruh potensi yang dia punya. Ya potensi alam, potensi melimpahnya penduduk yang seharusnya bisa diolah menjadi pasar yang sangat strategis, dan terutama potensi letak geografisnya yang luar biasa strategis itu.

Mentalitas pengelola negara ini rata-rata seperti Kosasih Bakar, Ceh amatiran yang secara genetik berasal dari Gayo, sama dengan saya. Pengelola negara ini bisa dikatakan adalah sekumpulan ahli yang sangat ahli mencari alasan. Seperti Kosasih Bakar yang ketika saya katakan, andai 30 Tahun yang lalu kita seperti Cina atau Korea selatan yang benar-benar membangun kekuatan hingga sekarang sudah setara eropa dan Cina bahkan Amerikapun bergetar dibuatnya. Yang pertama kali terpikir di kepalanya saat saya mengatakan itu adalah apa yang dipunyai negara-negara yang saya sebutkan tadi tapi tidak dipunyai negara ini...Oh Cina itu tidak dapat disamakan dengan kita, mereka komunis bisa maju karena buruh dibayar murah, Korea itu dibiayai IMF dari awalnya. Indonesia tidak punya itu semua dan dengan alasan seperti itu selesailah semua masalahnya. Ketertinggalan Indonesia sudah bisa dimaklumi.

Seperti Kosasih Bakar, di kepala pengelola negara ini tidak pernah muncul apa yang tidak dipunyai Korea dan Cina tapi bisa ditemukan melimpah di negara ini, misalnya negara ini punya potensi pertanian sedemikian besarnya, garis pantai yang sedemikian panjangnya, posisi geografis yang sedemikian strategisnya dan pasar domestik yang sedemikian besarnya (sekarang ada dalam taraf wacana ditawarkan oleh beberapa partai peserta pemilu, tapi saya sendiri tidak tahu persis seperti apa konsep matang mereka).

Konsekwensi dari mentalitas seperti ini apa?, tidak muncul inisiatif melobi ICAA misalnya untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat transit pesawat udara yang melintasi Amerika menuju Eropa dan sebaliknya, Eropa menuju Australia, Timur Jauh menuju Timur Tengah. Tidak ada inisiatif untuk membangun sebuah pelabuhan transit besar di Banda Aceh yang terletak tepat di mulut Selat Malaka. Akibatnya apa?...Semua potensi besar itu akhirnya dimakan habis oleh Singapura.

Sehingga seperti yang saya gambarkan di atas, di kawasan ini, Singapura, negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek itulah yang mengambil segala manfaat dari semua keuntungan itu, kita cukup makan ampasnya saja.

Selain potensi geografis, kita juga masih banyak punya potensi lain, diantaranya Hutan, Perikanan dan Pertambangan. Tapi karena kita punya banyak potensi seperti itu dan negara ini adalah negara yang murah hati pula. Sehingga potensi hutan dimakan sama Malaysia, potensi perikanan dimakan sama Thailand dan potensi pertambangan dimakan sama Amerika.

Karena kita cuma bisa mencari-cari apa yang dipunyai oleh orang lain, bukan apa yang kita punya, jadilah tidak dapat memanfaatkan segala potensi kita, akibatnya sejak 30 tahun yang lalu sampai sekarang, kita ya begini-begini saja. Tidak dipandang dalam pergaulan dunia, tidak terlalu serius dianggap oleh bangsa-bangsa lain bahkan dipandang sebelah mata oleh negara sesama Melayu, Malaysia atau Singapura, negara yang cuma sekecil upil kalau dibandingkan dengan kita.

Dengan cara pandang ini jelas kita bisa melihat kalau Indonesia di mata Amerika adalah negara yang biasa-biasa saja. Bukan negara yang terlalu penting buat dirangkul, bukan juga buat dijauhi. Alasannya tidak ada yang terlalu penting di Indonesia ini untuk menjadikannya sebagai pusat perhatian Amerika dalam arti positif seperti Singapura atau dalam arti negatif seperti Myanmar misalnya.

Kalau kita buat peta yang lebih jelas, untuk kawasan Asia tenggara. Negara-negara mana saja yang dianggap penting oleh Amerika. Maka kita akan melihat kalau yang dianggap penting oleh Amerika secara militer adalah Philipina dan Australia, kalau secara ekonomi ya Singapura. Lalu dalam peta yang sama akan kita lihat skala prioritas kebijakan luar negeri Amerika di kawasan ini, secara positif posisi Indonesia juga masih di bawah Thailand, Vietnam dan Malaysia. Tapi Masih di atas Brunei, Laos dan Kamboja dan jauh di atas Myanmar yang junta militernya dimusuhi Amerika yang sebaliknya kalau secara dilihat secara negatif, bisa jadi merupakan salah satu prioritas hubungan luar negeri mereka di kawasan ini.

Di Asia, secara umum yang belakangan menjadi perhatian Amerika dan dianggap strategis untuk ditingkatkan hubungan luar negerinya, jelas Cina dan India yang belakangan ini sangat luar biasa pertumbuhan ekonominya yang didukung jumlah penduduk dengan skala raksasa.

Siapapun yang menjadi Presiden Amerika, prioritas kebijakan luar negeri negara itu tidak akan jauh bergeser dari faktor-faktor yang saya sebutkan itu. Jadi, meskipun mungkin ada sedikit pengaruhnya, tapi adalah tidak relevan mengaitkan masa kecil Obama di Jakarta dengan potensi peningkatan hubungan luar negeri antara Indonesia dan USA secara drastis.

Tapi meskipun terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika tidak akan berpengaruh terlalu signifikan terhadap peningkatan hubungan luar negeri Indonesia-Amerika. Seharusnya orang Indonesia mesti berbesar hati dan berbangga dengan terpilihnya Obama. Karena dengan keberadaannya sekarang sebagai Presiden Amerika. Orang-orang sedunia jadi tahu kalau Bali adalah sebuah bagian dari Indonesia, bukan sebaliknya.

Tapi bagi siapa saja yang dulu sangat bersemangat mendukung Obama di saat pemilihannya, yang berharap dengan terpilihnya dia akan ada perubahan drastis kebijakan Amerika atas Israel-Palestina. Saran saya, sekarang anda sudah boleh menyiapkan beberapa keranjang yang berisi segala macam variasi kata makian baru.

Ini sangat perlu anda siapkan sebab sebentar lagi anda akan segera bosan dengan variasi makian yang itu-itu saja karena dalam waktu-waktu ke depan, kata-kata itu akan banyak sekali anda gunakan. Cacian terhadap Amerika dan presidennya nantinya akan tetap sama saja, tapi dengan mengganti kata 'Bush' yang delapan tahun belakangan ini sangat familiar di telinga kita dengan kata 'OBAMA' tentunya.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

Rabu, 21 Januari 2009

PKS,Leuser dan Bibit-Bibit Fasisme Dalam Diri Saya

Di samping di blog dan berbagai milis diskusi lainnya, tulisan saya tentang "PKS Partai Kaum Fasis", juga saya post di milis internal UKM-PA Leuser tempat saya bergabung sebagai anggota.

Di milis ini juga bergabung seorang teman yang sebetulnya junior saya di UKM itu dan bahkan selama pendidikan dasar dulu, sayalah yang membuatnya jungkir balik dengan berbagai macam latihan fisik dan mental. Tapi karena di UKM kami hirarki praktis berlaku hanya selama pendidikan dasar saja, begitu resmi menjadi anggota hak dan kewajiban langsung sama. Sehingga anak yang paling barupun tidak segan mengkritik senior yang paling tua. Karena situasi di Leuser yang seperti itu, sayapun sejak lama sudah tidak pernah lagi menganggapnya sebagai seorang Junior, tapi benar-benar sebagai seorang teman.

Teman yang nama lengkapnya Abdillah Imran Nasution yang di Leuser memiliki banyak sekali nama julukan ini, sampai saat ini adalah pemegang rekor sebagai pemilik nama julukan terbanyak di Leuser. Dari sekian banyak nama julukannya itu saya biasa memanggilnya Macan.

Saat membaca tulisan saya "PKS Partai Kaum Fasis". Teman yang biasa saya panggil Macan ini menanggapi tulisan saya tersebut dengan sebuah tanggapan dan disusul sebuah pertanyaan yang sederhana "Aku setuju dengan tulisan kee Cek Wen, tapi kutanyak dulu arti fasis itu apa dikaitkan dengan tulisan kee yang dulu-dulu", Katanya.

Pertanyaannya yang sederhana ini membuat saya tersentak. Saya teringat kembali tulisan-tulisan saya beberapa waktu yang lalu. Ketika saya begitu suntuk dan muak melihat gaya anak-anak dari luar Aceh yang datang bekerja mengais rezeki di Aceh pasca tsunami tapi merasa seolah mereka yang paling tahu tentang Aceh bahkan dibandingkan orang Aceh sendiri.

Akibat sentilan kecil dari Macan ini, tadi malam saya membaca kembali arsip tulisan-tulisan lama yang pernah saya post di berbagai milis, terutama tulisan-tulisan saya dalam sebuah debat dengan seseorang yang bernama Roysepta Abimanyu, seorang mantan anggota LMND dan PRD yang waktu itu bekerja di Aceh untuk sebuah lembaga milik pemerintah Canada.

Dulu saya pernah terlibat dalam debat panjang dengan orang yang bernama Roysepta ini. Saat itu, ketika mendebatku, dia berbicara dengan gaya sok tau khas orang-orang dari Jakarta yang tidak pernah benar-benar bergelut dengan permasalahan sosial di Aceh dan mengalami sendiri masalah-masalah gesekan etnis serta tidak pernah merasakan betapa tidak menyenangkannya kami orang Aceh diperlakuan diskriminatif yang ironisnya terjadi di tanah moyang kami sendiri.

Saya yang menyaksikan sendiri betapa seorang kerabat saya yang berkali-kali gagal melamar bekerja sebagai karyawan di PT. KKA, sebuah perusahaan nasional yang beroperasi di daerah kami. Akhirnya bisa diterima di perusahaan tersebut setelah memalsukan nama asli di Ijazahnya dengan menambahkan nama 'Hadibowo' di belakang nama aslinya, benar-benar kesal ketika Roysepta Abimanyu yang belajar geopolitik di Perancis yang baru tinggal setahun atau dua tahun di Aceh untuk mengais rezeki pasca tsunami ini. Dengan memakai teori-teori Geopolitik yang dia pelajari di eropa sana, dengan meng copy-paste apa yang dia pelajari di Perancis dan menyamakan situasi di Aceh dengan yang terjadi di Afrika sana. Berdasarkan perbandingan yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi di Afrika, Roysepta tidak mengakui kalau diskriminasi etnis yang menguntungkan Jawa yang terjadi di Aceh selama ini benar-benar ada.

Saya menuliskan tulisan itu dalam suasana ketika serombongan kepala desa asal Gayo dengan difasilitasi oleh Iwan Gayo menghadap DPR RI dengan mengenakan blangkon. Saat itu, beberapa kepala desa yang menghadap DPR RI itu dengan menggunakan bahasa Jawa 'kromo inggil' yang maksa dan belepotan logat Gayo berkata dengan takzimnya dihadapan para anggota dewan yang terhormat itu "kulo gelem pemekaran".

Ketika itu saya yang orang Gayo benar-benar merasa terhina melihat aksi yang diliput berbagai media secara nasional yang terang-terangan merendahkan martabat suku saya dihadapan Jawa ini. Dan aksi para kepala desa yang saya tahu dikompori dan didanai oleh beberapa elit lokal dan elit nasional yang terganggu kepentingannya di Aceh akibat perkembangan situasi perpolitikan 'Aceh Baru' pasca MoU Helsinki itu benar-benar membuat amarah saya memuncak.

Saya juga semakin merasa kesal dengan sikap inferioritas terhadap Jawa yang ditunjukkan oleh kepala desa-kepala desa asal Gayo itu, apalagi mereka melakukannya dengan berlagak seolah-olah mereka adalah representasi seluruh orang gayo di muka bumi. Kekesalan saya semakin memuncak karena saya yang cukup paham karakter dan budaya Jawa tahu persis kalau dalam perkembangan situasi dunia saat ini karakter asli suku Gayo yang bersifat 'republik' justru jauh lebih bisa diandalkan untuk bersaing di pentas global dibandingkan karakter asli suku Jawa yang 'feodal'.

Dalam suasana seperti itulah, ketika debat berlangsung panas dan sayapun sepenuhnya dikuasai emosi, tanpa sadar saya terpancing oleh sebuah jebakan yang rupanya telah dipersiapkan oleh Roysepta dengan cermat. Setelah sebelumnya dia berhasil memancing emosi saya dengan mengatakan 'perbedaan antara Jawa dan Gayo itu sebenarnya sama sekali tidak ada melainkan hanya hasil kategorisasi kolonial' dan untuk menegasikan adanya ketidak adilan terhadap orang Gayo di tanah Gayo sendiri. Dalam tulisan-tulisannya terdahulu Roysepta mengatakan " tidak seorangpun yang bisa mengklaim TANAH GAYO sebagai milik ORANG GAYO". Pernyataan-pernyataan provokatif dari Roysepta Abimanyu itu berhasil dengan sukses memancing emosi saya dan sayapun terjebak ketika Roysepta yang sebelumnya telah dengan cermat memasang perangkapnya menanyakan " Jadi menurut anda apakah ada orang yang berhak mengusir orang Jawa dari Aceh?". Dalam emosi yang memuncak saya katakan "ya tentu saja ada, yang bisa mengusir mereka adalah kami...orang Aceh pemilik sah tanah ini".

Saat itu saya tidak merasa ada yang salah dengan jawaban saya itu, karena saya pikir memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya dan itu pula yang harus dilakukan. Tapi sekarang setelah pikiran saya jernih kembali dan bebas dari kungkungan emosi. Saya baru menyadari betapa berbahayanya konsekwensi dari tulisan saya yang bernada sangat fasis waktu itu seandainya dibaca dan diikuti oleh konstituen saya dengan semangat dan kebencian yang sama seperti yang saya rasakan waktu itu.

Kalau itu terjadi dan kalau apa yang saya katakan itu benar-benar dilakukan. Pasti yang terjadi masalah di Tanoh Gayo yang saya cintai bukannya selesai dan suasana menjadi tenag tapi sebaliknya justru yang akan terjadi adalah masalah-masalah baru dan kebencian yang tak berujung.

Karena, belum benar-benar menyadari kesalahan yang saya buat waktu itu. Tanpa sadar, hal itu saya ulangi kembali ketika saya begitu emosinya saat bereaksi terhadap komentar seorang simpatisan PKS yang menyebut saya menulis karena dibayar oleh 'Agen-agen Israel'.

Tapi, sentilan pelan 'Macan' teman saya di Leuser ini telah mengingatkan saya dan mengembalikan kejernihan di otak saya. Dan sayapun kemudian menyadari betapa dengan tulisan saya yang penuh emosi itu, dengan menyebutkan kata-kata "memisahkan kepala dan tubuhnya" tanpa saya sadari ternyata sayapun telah menjadi sama Fasis-nya dengan PKS yang saya cerca.

Sama seperti ketika saya dulu dengan mengedepankan emosi, saat saya merasa suku saya diperlakukan tidak adil oleh Jawa. Tanpa sadar dalam reaksi saya yang emosional waktu itu, sayapun telah bersikap tidak adil terhadap Jawa.

Mengutip apa yang tertulis dalam kata-kata di iklan A Mild beberapa tahun yang lalu "susah jadi manusia". Apa yang dikatakan oleh iklan itu memang benar adanya. Memang sulit sekali menjadi manusia.

Tulisan saya yang lalu yang saya baca kembali dengan pikiran yang jernih telah menyadarkan saya bahwa saya yang dengan keras mengecam sikap fasis dan marah besar saat menjadi korban fasisme, tanpa sadar ternyata juga menyimpan bibit-bibit fasis dalam diri saya.

Dan yang seperti itu mungkin bukan hanya saya yang mengalaminya, bisa jadi hal itu juga terjadi pada setiap diri kita . Saat kita begitu berlebihan membenci suatu hal, seringkali di saat bersamaan tanpa sadar kitapun menanggalkan pikiran jernih dan rasionalitas yang menjadi pelindung setia kita. Sehingga kitapun terjebak dalam sikap emosional yang berlebihan. Di saat itu terjadi, saat kita begitu larut dalam suasana kebencian itu, tanpa sadar kitapun telah berubah menjadi sesuatu yang kita benci itu sendiri.

Kenyataan ini telah pula menyadarkan saya tentang fakta bahwa betapa lemah dan betapa penuh kekurangannya manusia. Betapa sebagai manusia ternyata sehebat apapun kita berpikir tentang diri kita. Ternyata kita tetap butuh orang lain untuk mengingatkan. Agar kita tidak terperosok dalam lubang yang tidak kita lihat keberadaannya.

Dalam setiap langkah dan tindakan kita, ternyata kita tetap butuh orang lain dari luar, yang bisa dengan jernih melihat segala permasalahan kita tanpa ikut larut di dalamnya. Yang bisa menilai segala sesuatunya dengan segala kejernihan akalnya.

Dan akhirnya saya sangat bersyukur mendapati kenyataan bahwa ternyata di dunia ini saya benar-benar masih memiliki kawan, yang bukan hanya bisa menyanjung dan mendorong saya untuk meluapkan segala kemarahan. Yang pasti akan membawa saya ke jurang kehancuran. Saya bersyukur, karena saya masih punya seorang sahabat yang seperti keahliannya sebagai seorang 'Speleologist' handal, dalam situasi kritis bisa menarik saya dari emosi yang mendekati kegilaan kembali kepada kejernihan.

Terima kasih kawan...terima kasih Macan...

Wassalam

Win Wan Nur

Selasa, 20 Januari 2009

Alasanku Menulis dan Situasi di Aceh Saat Ini

Dua hari belakangan itu saya sebegitu emosinya menyaksikan ketololan seorang manusia yang menjadikan PKS sebagai saluran politiknya. Saya emosi karena ketololannya itu melibatkan saya di dalamnya dan membuat jiwa saya terancam pula karenanya. Tapi setelah saya baca-baca kembali, ketika emosi saya sudah menurun tensinya, saya melihat ada sesuatu yang menarik di dalam tuduhan bodoh simpatisan PKS ini.

Dari tulisan yang memancing emosi saya itu, satu yang saya dapatkan. Betapa dari dulu sampai sekarang, dari zaman kuda gigit besi sampai masa ketika dunia larut dalam zaman teknologi informasi. Manusia masih tetap sama, perkembangan teknologi tidak mengubah banyak cara berpikirnya. Dari dulu sampai hari ini, tetap begitu banyak manusia yang tidak bisa menilai dunia lepas dari dirinya.

Zaman dulu, orang Bali berpikir seluruh sapi di dunia adalah sapi berbulu kuning dangan warna putih di pantatnya persis seperti sapi Bali hari ini yang seumur hidup dan sepanajang sejarah nenek moyang mereka memang sudah begitu bentuknya. Karena penapilan sapi di Bali yang seperti itulah itulah dalam legenda Lembu Nandini versi Bali dikatakan; Saat manusia pertama butuh makan, Lembu Nandinilah yang memasakkan. Saat memasak, karena kaget kepanasan, Lembu Nandini terduduk di depan tungku, abu dapur kena pantatnya dan meninggalkan bekas putih di sana sehingga sampai hari ini begitulah rupa anak keturunannya.

Pada zaman yang kurang lebih sama, orang Gayo berpikir ukuran kerbau selalu lebih besar dari sapi, seperti realita sehari-hari yang disaksikannya. Karena itulah di Gayo ada cerita, kalau zaman dulu Sapi dan Kerbau itu sahabat karib. Suatu saat mereka mandi ke sungai berdua, di tepi sungai mereka menganggalkan bajunya. Saat mereka mandi Harimau datang, kedua sahabat ini kaget dan ketakutan, bergegas keluar dari sungai dan dengan cepat menyambar pakaian, baju siapa yang dikenakanpun tidak lagi diperhatikan. Saat sudah lari jauh dan selamat dari kejaran sang Macan. Baru mereka perhatikan ternyata Kerbau dan Sapi sudah tertukar pakaian. Saat mau dilepaskan pakaian itu sudah berubah menjadi kulit. Sehingga sampai hari ini kita saksikan, sapi berjalan kemana-mana dengan kulit yang kedodoran, sementara Kerbau dengan susah payah berjalan dengan kulit yang kesempitan.

Kalau zaman dulu orang menilai dunia dengan cara seperti itu, kebanyakan manusia masa kinipun sama saja, masih berpikir seperti apa dirinya, orang lainpun pasti demikian pula. Simpatisan PKS yang menuduhku dibayar Isra'el untuk menulis itu adalah salah satunya. Logika yang dikemukakannya untuk melegitimasi tuduhannya itu adalah "tidak mungkin ada orang yang mau menulis sebegitu intens-nya kalau tidak ada yang membayar atau maksud lain dibaliknya, apalagi menulis di berbagai milis dan media online yang jelas butuh biaya paling tidak untuk membayar tagihan internet".

Yang tidak disadari oleh Bagudung PKS ini adalah, ketika dia mengatakan TIDAK MUNGKIN, saat Bagudung simpatisan PKS ini berkata begitu, sebenarnya ketika itu pula dia sedang membuka jati diri dan isi kepalanya. Saat berkata seperti itu sebenarnya dia sedang menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yaitu bahwa dia adalah seorang manusia yang bermental Jongos dan Kuli yang hanya mau berbuat kalau ada yang menggaji.

Orang yang bermental Jongos dan Kuli semacam ini dalam memandang duniapun tidak bisa dia lepaskan dari kacamata seorang Jongos dan Kuli. Baginya adalah tidak mungkin ada manusia yang mau membuang-buang waktu, uang dan energi semata hanya untuk menyalurkan hobi. Padahal bagi saya sendiri, menulis adalah sebuah sarana buat menyehatkan diri, menyalurkan ide, membuang kegelisahan sekaligus melepaskan emosi.

Bagi saya menulis adalah sebuah kebutuhan. Seperti mamalia betina yang baru melahirkan, yang memproduksi susu yang setiap hari harus dikeluarkan, agar tidak menjadi penyakit di badan. Soal kemudian ide yang saya keluarkan itu bermanfaat atau tidak bagi yang membaca. Itu soal lain lagi. Tergantung siapa yang mengkonsumsi dan bagaimana ide yang saya keluarkan itu diolah lagi. Sama seperti susu yang dikeluarkan oleh sapi, bermanfaat kalau langsung diberikan kepada orang dewasa atau anak sapi. Tapi akan menjadi penyakit kalau di berikan langsung tanpa pengolahan lebih lanjut kepada seorang bayi.

Kemajuan teknologi informasi sepuluh tahun belakangan ini sangat membantu saya menyalurkan hobi ini. Di media online yang berkembang saat ini, mulai dari milis, blog sampai facebook. Saya benar-benar bisa menulis dengan gaya yang sesuka hati. Menulis di media ini tidak seperti menulis di media cetak yang memiliki banyak rambu-rambu ketat yang haruskan kita patuhi. Ada aturan kaku tentang jumlah huruf, pemakaian etika bahasa, batas-batas penggunaan isu SARA dan aturan-aturan penulisan lainnya.

Aturan-aturan semacam inilah yang membuat hampir semua tulisan opini di media cetak apapun, membuat mengantuk kita yang membacanya. Itu karena penulis opini di media cetak, gaya menulisnya nyaris seragam semua, sok ilmiah, kering dan garing tak berjiwa karena ditulis lebih banyak dengan mengikuti aturan teknis bukan emosi.

Inilah alasannya, kenapa saya lebih suka membaca opini di blog dan di milis-milis. Itu karena di sini orang menulis opini lebih jujur, lebih apa adanya sehingga lebih menyentuh realita yang sebenarnya.

Untuk menulis di media cetak, kita harus bicara pula tentang kebijakan redaktur dan sesuai tidaknya ide kita dengan visi dan misi media yang dikirimi tulisan. Belum lagi ketika kita harus berhadapan dengan redaktur opini yang karena merasa medianya besar, kadang jadi merasa angkuh dan arogan. Pokoknya untuk menulis di media cetak, apalagi untuk mendapatkan bayaran, terlalu banyak tetek bengek urusan tai burung yang tidak boleh kita lewatkan.

Itulah sebabnya, karena tujuan saya menulis bukanlah untuk mendapat bayaran, satu-satunya publikasi tulisan saya yang pernah dibayar adalah tulisan saya tentang 'konferensi interpeace' yang dimuat di website resmi Aceh Institute. Itu saya lakukan karena seorang teman yang bekerja di lembaga itu yang juga mengikuti konferensi yang sama meminta saya untuk membuat tulisan. Selebihnya tidak pernah lagi, meskipun si teman ini minta saya mempublikasikan tulisan saya yang lain di media mereka yang teregister itu dan mendapatkan bayaran, saya tidak pernah mau lagi. Alasan saya adalah karena untuk menulis di media teregister semacam itu, seperti yang telah saya sebutkan di atas, terlalu banyak aturan yang harus saya penuhi dan aturan-aturan itu membuat buntu ilham dan inspirasi.

Memang, saya pernah menulis di media cetak, tepatnya di harian Aceh Independen. Tapi itu juga tidak dibayar, kebetulan redaktur opini di koran ini adalah adik kelas saya semasa kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah dulu. Ketika diterbitkan di sini, oleh si redaktur, tulisan saya tidak diatur harus seperti apa malah saat diterbitkan tidak diedit sama sekali.

Mengikuti saran beberapa teman, saya juga pernah terpikir untuk mencoba untuk menulis di media yang lebih besar Serambi Indonesia. Saat itu, ketika teman-teman saya menganjurkan, maksud mereka supaya ide-ide saya lebih banyak dibaca orang. Tapi untuk koran Serambi yang sebetulnya cuma koran kecil dalam skala nasional. Para pengelola koran ini merasa di Aceh, mereka adalah media terbesar. Jadi redaktur opininyapun tidaklah seramah adik kelas saya tadi.

Di Serambi, redakur opininya yang bernama Ampuh Devayan lagaknya bak orang penting, mau ketemu susahnya bukan main. Di SMS tidak pernah dibalas, ditelpon tidak mau diangkat, dikirimi e-mail tidak ditanggapi, diajak ketemu apalagi. Beberapa teman lama diantaranya Murizal Hamzah yang dulu bersama saya pernah meliput berita sampai ke Pasee bersama Almarhum Harry Burton pernah menganjurkan saya untuk menemui si Ampuh itu dengan menyebutkan namanya, dan mengatakan kepada Ampuh kalau Murizal adalah teman saya. Murizal memberi saran seperti ini karena Ampuh Devayan dan Murizal teman saya ini pernah bersama-sama menjadi editor sebuah buku. Tapi ketika anjuran Murizal saya praktekkanpun hasilnya sama saja, menemui redaktur kita ini jauh lebih susah daripada minta proyek ke pemerintah atau bertemu pejabat tinggi...sehingga sayapun berkata dalam hati "Ko makan lah koran ko itu, macam hebat kalipun ko pikir serambi bengakmu itu" (Seperti biasa, kalau sedang emosi logat yang saya pakai adalah logat Simalungun asli)

Tentang menerbitkan buku, sekarang menjelang berakhirnya masa tugas BRR dan NGO Asing di Aceh, kegiatan itu seolah menjadi tren. Tiba-tiba semua orang di Aceh jadi bisa menulis buku. Hal remeh-temeh apapun tentang Aceh, oleh siapapun bisa ditulis dan dijadikan sebuah buku. Buku-buku yang ditulis semacam itu kemudian dibagi-bagikan secara gratis kepada siapa saja yang meminatinya bahkan kadang kepada yang sama sekali tidak berminatpun diberikan juga. Rata-rata penerbitan buku-buku semacam ini disponsori oleh sebuah lembaga atau NGO Asing yang butuh menghabiskan dana di kas mereka sebelum kontrak kerja mereka berakhir.

Saya pernah menghadiri sebuah acara launching buku semacam ini, buku yang saya hadiri acara peluncurannya ini covernya begitu bagus dan mewah, diisi dengan kontribusi dari nama-nama terkenal yang sudah lama mengharu biru dalam pergerakan dan penegakan HAM di Aceh. Tapi setelah buku itu saya baca, isinya sampah semua dan yang paling menjengkelkan... basi!

Di Aceh, selain menerbitkan buku, tren lain yang berkembang saat ini adalah mengadakan seminar dengan skala lokal, nasional maupun internasional. Di semua hotel berbintang di Banda Aceh, setiap hari ada seminar yang membahas bermacam-macam masalah. Bahkan kadang di satu hotel seperti Hermes Palace atau Oasis, dalam satu hari ada dua sampai tiga seminar.

Dan sama seperti penerbitan buku tadi, seminar-seminar yang disponsori oleh berbagai lembaga donor dan NGO asing itupun kuat sekali kesan untuk menghabiskan dana kasnya. Karena setelah semua masalah selesai dibahas dalam seminar. Kemudian tidak ada tindak lanjut lagi sesudahnya. Termasuk dalam kategori ini adalah seminar yang diselenggarakan Interpeace yang pernah saya hadiri.

Ironis...karena saat begitu banyak lembaga dan NGO Internasional di Aceh yang kesulitan menghabiskan dana kasnya. Kita baca di koran dan kita saksikan di televisi, menjelang habisnya masa tugas BRR dan NGO Internasional di Aceh ini. Masih ada lebih dari 3000 keluarga korban tsunami yang belum mendapatkan rumah yang menjadi haknya dan sampai hari ini masih tinggal di barak pengungsi.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

PKS si Partai Kaum Fasis yang Sedang Membangun Kekuatannya

Menanggapi tulisan saya kemarin "Israel-Palestina, PKS dan Tangisan Umat Islam Indonesia", di beberapa milis banyak yang mempertanyakan kepada saya kenapa saya begitu emosinya terhadap anak PKS yang mengatakan saya menulis karena dibayar oleh agen Israel, sampai menyebutkan kalimat "memisahkan tubuh dan kepala" segala. Teman-teman yang benar-benar teman mengatakan "sudahlah Win...jangan buang-buang energi mereka memang sudah begitu".

Yang bukan teman dan bukan kemungkinan tapi pasti anak PKS juga, menyindir dengan gaya sok tua " Kemarahan saya itu justru menunjukkan kalau memang saya ada apa-apanya, kalau memang saya tidak seperti yang dituduhkan, kenapa harus marah?", begitu katanya. Ini adalah logika khas kaum fanatik gila yang sesama mereka memanggil ikhwan dan akhwat itu.

Saya begitu emosi dengan tuduhan itu adalah karena di kalangan kaum fanatik seperti kaum PKS ini, tuduhan sebagai agen Israel dan antek Amerika adalah sebuah VONIS MATI. Melemparkan tuduhan gila semacam ini kepada saya sama artinya dengan melemparkan saya ke tengah kawanan singa lapar. Ke tengah orang-orang fanatik yang percaya membunuh orang yang berseberangan pandangan dengan mereka akan mendapat pahala yang tinggi. Yang kalau dalam prosesnya sampai menyebabkan kematianpun, itu bukan kematian biasa. Tapi itu adalah 'syahid' nilai kematian tertinggi sehingga begitu sampai di surga mereka akan disambut 70 bidadari.

PKS ini adalah partainya kaum fasis, saya sebut begitu karena bagi mereka satu-satunya kebenaran adalah kebenaran versi mereka sendiri. Sementara definisi fasisme sendiri kurang lebih berarti : "isme yang mempromosikan supremasi dirinya [kelompoknya] lebih dari yang lainnya dimana supremasi itu sendiri dianggap merupakan kondisi yang terberi".

Karena definisi fasisme seperti itulah Hitler disebut fasis. Hitler fasis karena dia bilang kalau orang Jerman Aria itu ras nomor satu, ras paling unggul sementara ras-ras lainnya itu cuma 'monyet'. Suharto disebut fasis karena tindakan Suharto cenderung mensupremasikan kedudukan Jawa diatas suku bangsa lainnya. Jepang di jaman Hirohito itu disebut fasis karena mereka percaya bahwa mereka adalah anak tuhan di Asia, kaisar Jepang sendiri jadi Tuhannya, sementara orang asia lainnya kalau bukan monyet, paling jadi adik kecilnya. Israel dengan Zionismenya disebut fasis karena bagi mereka umat Yahudi adalah satu-satunya umat pilihan Tuhan di dunia, umat selainnya termasuk kita di Indonesia ini apalagi orang Palestina ya cuma monyet.

PKS sendiri, jelas adalah partai fasis! Semua tindak tanduk mereka ala wahabi yang serba ngarab dan dianjurkan sekali untuk ngarab. Lihat gaya berpakaian mereka. Atau lihat gaya mereka anak-anak ras mongoloid yang secara genetik memang tidak dianugerahi hormon yang memungkinkan jenggot tumbuh lebat memaksa diri menumbuhkan jenggot meskipun tumbuh hanya beberapa lembar saja, supaya terlihat mirip dengan orang arab. sesama merekapun mereka memanggil dengan sebutan "ikhwan" dan "akhwat". Bagi anggota PKS, orang lain yang non partainya yang tidak sepemikiran atau tidak menganut aliran Wahabi seperti mereka kalau bukan "anjing kurap" ya cuma "monyet".

Karena memang sama-sama fasis, kelakuan PKS ini persis sama dengan Soeharto pahlawan mereka. Baik PKS maupun Soeharto memiliki hobi yang sama yaitu membuat HANTU untuk menakut-nakuti orang yang berseberangan pandangan dengan mereka. Kalau Soeharto terkenal dengan hantu KOMUNIS dengan bahaya latennya maka PKS ini punya hantu peliharaan yang bernama 'Agen Israel dan Antek Amerika'.

Sikap Soeharto dan PKS terhadap orang yang mereka tuduh sebagai HANTU yang mereka buat sendiri itupun juga sama. Bagi mereka, tanpa perlu pengadilan apapun, orang yang sudah dicap sebagai hantu itu sudah layak untuk dilenyapkan. Seperti juga Soeharto, PKS dan para simpatisan fanatiknya juga tidak membutuhkan data dan fakta apapun untuk membuktikan tuduhannya. Cukup fantasi gila di kepala mereka.

Yang membedakan PKS dan Soeharto cuma pada tingkat kekuatan saja, jika Soeharto punya pasukan dan sampai hari inipun masih didukung penuh oleh militer di belakangnya. PKS ini masih 'Bayi Fasis' yang sedang membangun kekuatannya dengan membentuk lasykar-lasykar berani mati yang meneriakkan Allahu Akbar setiap kali mereka menghantam orang yang berseberangan.

Tapi kalau terus dibiarkan, PKS yang tumbuh besar dengan bibit-bibit fasis dalam dirinya ini akan terus tumbuh membesar dan menghancurkan seluruh peradaban. Unsyiah kampus tempat saya dulu pernah kuliah sudah merasakan.

Setelah tulisan ini saya posting, saya yakin orang-orang PKS akan kasak-kusuk sibuk sendiri seperti kucing garong yang dibakar ekornya. Mencari tahu siapa Win Wan Nur ini sebenarnya. Siapa di belakangnya, siapa yang mendanainya, apa kaitannya dengan Israel dan Amerika dan segala macam teori konspirasi tai kucing lainnya. Dan saya juga sudah bisa membayangkan kesimpulan akhirnya akan tetap Win Wan Nur itu agen Israel dan Antek Amerika.

Tapi kalau saya atau siapapun juga yang minta bukti kesimpulan atas tuduhan mereka itu berdasarkan data dan fakta, sampai mampus bahkan sampai mereka bongkar kuburan nenek moyang merekapun ya mereka tidak akan bisa menemukannya. Karena saya sama sekali bukan pengikut satu sekte apapun, bukan pengikut atau simpatisan partai politik apapun. Karena faktanya Win Wan Nur ini cuma warga biasa yang malas melihat gaya sok islam (wahabi), sok suci, gaya sok ngarab dan terutama kebiasaan sembarang tuduh mereka.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

Minggu, 18 Januari 2009

Israel-Palestina, PKS dan Tangisan Umat Islam Indonesia

Belakangan ini semua milis yang kuikuti, seluruhnya mengharu biru masalah Isra'el dan Palestina. Terus terang hatiku trenyuh dan sedih melihat darah yang tertumpah di tanah turunnya para nabi itu. Melihat anak-anak dan perempuan kesakitan meregang nyawa. Melihat adegan seperti itu aku seolah merasakan rasa sakit mereka itu bagaikan rasa sakit di tubuhku sendiri.

Rasa sakit yang mereka rasakan, aku rasakan sama seperti rasa sakit ketika aku membayangkan tubuh saudara-saudaraku mulai orang tua sampai anak-anak di di Waq, Jamur Atu atau Menderek meregang nyawa. Bedanya saat itu kematian saudara-saudaraku itu tidak ditanggapi dengan mengharu biru oleh dunia. Jangankan dunia, bahkan sesama saudara sesukunya sajapun kematian mereka dipersetankan asal bisa mendirikan ALA.

Pada acara penggalangan dana, sedikit uang berlebihpun dengan ikhlas aku sisihkan. Tapi apa yang membuatku merasa miris soal Palestina ini adalah reaksi kita umat Islam sedunia. Dari masa ketika pertama kalinya pesawat televisi ada di kota kelahiranku di Takengen di akhir tahun 70-an dulu. Yang kusaksikan di TV, melalui siaran Warta Berita waktu itu. Selalu masalah perang antara Isra'el dan Palestina melulu.

Kemudian ada jeda beberapa tahun, lalu perang kembali berulang. Setiap kali perang terjadi, yang menjadi korban paling banyak selalu orang Arab dan orang Palestina. Setiap perang terjadi, seluruh dunia kecuali Amerika mengutuki Israel. Umat Islam di seluruh dunia menangis, melaknati Israel dan berdo'a untuk keselamatan orang Palestina. Selanjutnya yang dilakukan umat Islam apa?...melakukan penggalangan dana, selanjutnya?...tidak ada...hanya itu saja!.

Dulu saat di akhir tujuh puluhan itu, aku masih belum bersekolah, orang tuaku mengutuki Isra'el dan mendo'akan keselamatan Palestina. Sampai hari ini ketika aku sudah menjadi bapak dengan anak yang umurnya sama denganku di akhir tahun 70-an dulu. Ketika konflik Israel-Palestina kembali berkecamuk. Yang dilakukan para orang tua Islam sekarangpun sama seperti yang dilakukan orang tuaku dulu. Melaknati Israel dan berdo'a untuk Palestina.

Pada masa itu, Korea Selatan masih setara dengan kita, Cina masih bangsa semenjana.

Tapi dalam kurun waktu yang hampir tiga puluh tahun itu. Korea Selatan sekarang telah bermetamorfosis, berubah menjadi negara yang memiliki kemampuan setara dengan bangsa maju di Eropa. Cina telah menjadi naga baru dunia yang dengan kekuatannya bahkan Amerikapun bergetar dibuatnya.

Dan kita?... Setelah hampir tiga puluh tahun kemudian. Kita jadi apa?...Ketika saya sudah menjadi bapak. Saat terjadi konflik antara Israel dan Palestina, saat melihat di TV Israel membantai anak-anak dan perempuan Palestina. Bantuan apa yang bisa kita lakukan pada saudara-saudara kita yang meregang nyawa nun jauh di sana?...sama seperti para orang tua kita dulu, sekarangpun hal terbaik yang mampu kita berikan masih tetap merintih dan berdo'a. Dengan tambahan variasi omong kosong perjuangan baru yang terlihat gaya, seksi dan heroik...Boikot Produk Israel dan Amerika.

Anehnya seruan boikot ini yang banyak diserukan oleh PKS Partai berbasis Islam yang kini cukup berkuasa hanya pada produk-produk semacam Mc Donald, Levi's, Chevrolet atau Coca Cola yang memang terbatas sekali orang Islam yang mengkonsumsinya. Dan lagi pula di perusahaan-perusahaan yang sudah Go Internasional semacam itu sahamnyapun sudah tidak murni milik orang Israel dan Amerika lagi, sudah bercampur-campur dengan milik orang dari bermacam negara termasuk orang Arab dan Indonesia.

Dalam hati aku kadang bertanya. Kalau memang mereka mau serius memboikot produk Amerika. Kenapa pula mereka perlu repot mengerahkan massa dan menganjurkan kita dan juga mereka yang memakai perangkat Windows, intel, IBM, Apple dan sejenisnya untuk membaca dan mempublikasikan seruan boikot mereka. Padahal PKS yang punya kekukatan signifikan di parlemen bahkan punya ketua MPR yang merupakan anggotanya sama sekali tidak perlu mengerahkan massa ke jalan. Mereka cukup mendesak pemerintahan SBY-Kalla untuk menghentikan impor Gandum dan Kedelai yang memang jelas PRODUK AMERIKA dan pasti!... Kalau itu kita lakukan, Amerika akan cukup terpukul karena kita, negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia ini adalah salah satu pasar terbesar produk pertanian mereka.

Kalau boikot yang dianjurkan PKS itu benar terjadi, dalam beberapa hari saja, tempe, tahu, kecap, mie instan sampai ongol-ongol dan bakwan akan menghilang dari semua pasar tradisional kita.

Dan setelah itu tinggal kita yang balik mendemo Hidayat Nurwahid, Tifatul Sembiring dan petinggi-petinggi PKS lainnya. Kita minta tanggung jawab mereka untuk memberi makan anak-anak Aa Asep penjual Tahu Sumedang, Uda Ali penjual Sate Padang, Cak Tolib penjual Soto Madura, Lik Warno Penjual Bakso Wonogiri, Bang Lah, Bang Amat dan Bang Razali, Penjual Martabak dan Mie Aceh di warung-warung pinggir jalan mulai dari Lam Teumen, Ulee Kareng sampai Darussalam.

Sering aku bayangkan, andai dulu kita seperti Cina membangun kekuatan dengan benar. Pemimpin dan pejabat kita tidak hanya bisa menghabiskan uang negara untuk kroni, kerabat dan handai tolan. Andai masa itu kita yang menjadi rakyat juga kritis dan tidak hanya manut apa kata tuan. Andaikan tiga puluh tahun yang lalu orang tuaku dan para orang tua lain dari anak-anak segenerasiku mau memacu diri. Menempuh segala upaya menaikkan taraf ekonomi agar kami anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang mumpuni. Bukan cuma pendidikan sampah model menghapal dan menjejali kepala kami dengan sejarah palsu karangan penguasa negeri. Supaya dengan penduduk sebanyak ini negara kita bisa memiliki sumber daya manusia melimpah dengan orang-orang sekaliber Habibi.

Kalau itu benar terjadi, bukan hanya mungkin, tapi pasti hari ini kita negeri yang begitu kaya dengan sumber daya alam ini sekarang sudah melebihi Cina. Punya roket, punya program ruang angkasa dan juga nuklir yang pasti membuat jeri Amerika dan sekutu-sekutunya.

Kalaulah khayalanku itu nyata adanya. Aku tidak bisa membayangkan Israel akan seberani sekarang. Ketika mereka mengetahui kenyataan bahwa jauh di sini, ada sebuah negeri yang penduduknya 240 Juta yang lebih dari 200 Juta diantaranya adalah pemeluk Islam yang secara konsisten dari dulu mendukung perjuangan rakyat Palestina. Sebuah negara berpenduduk 240 Juta mayoritas Islam yang punya roket, punya program ruang angkasa dan yang juga nuklir dan yang terpenting memiliki kekuatan ekonomi yang mampu mengguncang dunia. Tidak akan mampu ditandingi oleh Yahudi yang bukan hanya di Israel bahkan di seluruh planet inipun populasi totalnya hanya 14 juta saja!

Tapi itu semua tentu hanya khayalanku saja, karena yang terjadi benar-benar sebaliknya. Kita adalah sekumpulan para pecundang yang setiap menghadapi masalah hanya bisa menemukan alasan. Bukan introspeksi apalagi solusi yang tepat sasaran. Sehingga dalam kurun waktu satu generasi itu bukannya kita makin disegani, malah dalam hubungan dan pergaulan Internasional kita makin terpinggirkan.

Seperti orang tua generasiku dulu. Ketika di TV anak-anak dan perempuan Palestina dibantai Israel, kesakitan meregang nyawa. Orang tua zaman sekarangpun hanya bisa melolong-lolong minta tolong kepada Tuhan. Meskipun mereka tahu persis kalau dalam kasus Israel-Palestina ini. Tuhan yang dimintai tolong tidak akan pernah memberikan bantuan secara instan. Seperti mengirimkan burung ababil yang menghancurkan tentara gajah atau seperti Nabi Musa yang membelah lautan. Tapi apa boleh buat memang hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Seperti orang tua kami dulu, kami yang sekarang sudah menjadi orang tuapun sama. Tidak mau memacu diri. Menempuh segala upaya menaikkan taraf ekonomi agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang mumpuni. Agar tiga puluh tahun ke depan nanti anak-anak yang tumbuh sekarang ini mampu bertarung satu lawan satu dengan orang yang berasal dari negeri manapun di planet ini. Agar suatu saat, ketika Presiden Amerika datang ke sini. Kita bisa bilang padanya dengan bahasa Melayu logat Simalungun, Hey mister...kami orang Islam, jangan macam-macam pulak kau sama kami!. Agar anak-anak kami tidak seperti generasi kami yang bermoral 'SELANGKANGAN' yang dimana-mana menjadi pecundang. Yang bahkan oleh sesama Melayupun dilecehkan dan dikatai 'Indon' saat kita berkunjung ke negara mereka.

Makanya sekarang darahku serasa mendidih, saat aku yang sedang berkonsentrasi mempersiapkan generasi penggantiku agar tidak menjadi pecundang seperti generasi bapaknya, tapi saat itupun aku masih bisa menyisihkan sedikit uang untuk saudara yang menderita di Palestina. Seorang saudara yang biasanya mempersetankan orang Gayo dibunuh di sebelah rumah kakeknya. Berani melarangku untuk berbahagia menyaksikan generasi penggantiku sedang dalam proses tumbuh yang nantinya akan jauh melebihi bapaknya.

Darahku semakin panas mendidih ketika aku, orang Gayo yang Islam yang dari semua garis keturununannya yang bisa ditelusuri dengan sejarah semuanya adalah pemeluk Islam yang muyang dan seluruh rakyatnya habis dibantai Van Daalen di Rema Blang Kejeren sana. Hanya karena belakangan ini dalam tulisan-tulisanku aku jarang menyinggung masalah Palestina, oleh Bagudung simpatisan PKS yang tidak tahu apa-apa aku dikatakan sebagai penyambung lidah Israel dan tidak punya simpati pada rakyat Palestina. Si Bagudung yang sama ini dengan yakinnya pula mengatakan seperti yakinnya 1+1 =2 bahwa aku dibayar agen-agen Israel untuk menulis di Blog, di Milis dan berbagai media online lainnya.

Kalaulah saja si anak PKS pengecut itu tidak memakai nama samaran dalam menulis postingannya, dan kalau saja dia berani secara jantan menunjukkan wajah di facebook. Akan kucari dia ke lobang tikus manapun bersembunyinya dan jangan sebut Win Wan Nur ini orang Gayo kalau belum kupisahkan bagian tubuh dan kepalanya.

Aku juga tidak tahu harus sedih atau tertawa ketika si saudara Gayo yang sama, yang biasanya dalam setiap tulisannya hanya menganggap orang Aceh yang juga Islam yang hidup di samping rumahnya yang karena suka memprotes ketidak adilan negaranya, nyawanya sah-sah saja dicabut oleh aparat negaranya. Kini malah menasehatiku tentang perlunya menangis dan berdo'a untuk Palestina.

Tapi meskipun sangat jengkel dan marah, sebagai orang Gayo yang beradab dan tidak menyukai berkonflik dengan orang Gayo lainnya. Aku membalas dengan lembut dan berterima kasih atas nasehatnya.

Padahal dalam hati sebenarnya aku ingin berkata dengan logat melayu terburuk yang aku bisa : KAU SUMBAT SAJALAH MULUT BAU KAU ITU LAE...BAGUSAN KAU SIKAT-SIKAT GIGI BABIMU DI KANDANGNYA SANA!.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

JAPRI Serinen Kosasih dan Masa Depan...

Ketika aku membuka E-Mailku hari ini aku mendapatkan sebuah e-mail dari seorang serinen yang selama ini banyak dikenal orang sangat berbeda pandangan denganku dalam melihat masalah politik di Gayo.
Mungkin banyak yang menyangka, karena perbedaan pandangan itu membuat secara pribadipun kami saling membenci.

Tapi itu sama sekali tidak benar, seperti yang tercatat di sepanjang sejarah dalam tradisi kita di Gayo. Jangankan politik bahkan perbedaan pandangan agamapun bisa kita sikapi dengan elegan. Para pendahulu kita telah membuktikan.

Begitu juga dengan perbedaan pandanganku dengan serinen ini. Perbedaan-pandangan itu tidaklah mebuat aku merasa benci kepada pribadi serinen Kosasih. Dan serinen inipun sebaliknya juga kurasakan sama sekali tidak pernah membenciku.

Mengomentari tulisanku tentang kebahagiaan. Dengan elegan serinenku ini mengirimkan sebuah e-mail pribadi sambil mengatakan tabi. Mengingatkanku untuk tidak terlalu larut dengan kebahagiaan yang aku dapatkan.

Aku merasa sangat terhormat mendapat perhatian dari serinenku ini, dan karena itulah akupun membagikan di milis ini apa yang kutuliskan padanya via JAPRI.

Dalam JAPRI-nya serinen Kosasih mengingatkanku bahwa 'perjalanan keluarga itu masih panjang, akan banyak onak-onaknya'

Inilah balasanku atas perhatian yang ditunjukkan serinenku itu :

Nggak ada masalah itu Serinen...Soal dalam negeri keluargaku itu memang sengaja kuhambur dan kubagi. Aku melakukan itu karena aku orang yang percaya yang namanya kebahagiaan itu adalah antitesis dari uang dan materi yang semakin banyak dibagi, semakin banyak tangan yang mendapatkannya. Semakin cepat habisnya.

Kebahagiaan sebaliknya, makin banyak dibagi dan semakin banyak orang merasakannya...semakin lama terasanya.

Soal perjalanan masih panjang dan banyak onak duri, itu tidak ada orang yang tau Serinen...Tidak ada satu makhluk ciptaan Tuhanpun yang pernah tau sepanjang apa masa depan itu. Yang kita tahu cuma masa kini dan masa lalu (itupun tidak semua). Aku dan keluargaku bukan tipe orang yang terlalu khawatir dengan masa depan dan terlalu memikirkan masa lalu. Yang kami lakukan cuma mensyukuri apa yang kami dapatkan hari ini dan detik ini dan mengambil hikmah dari masa lalu. Masa depan seperti apa nantinya?...Tidak ada yang tahu.

Di masa depan, bisa jadi bisnisku tiba-tiba hancur, bisa jadi aku tiba-tiba harus masuk rumah sakit dan hampir mati seperti tahun 2006 dulu. Bisa jadi nanti di masa depan aku malah tertarik pada perempuan lain yang lebih bohay dibandingkan istriku. Atau sebaliknya bisa jadi nanti istriku yang malah tertarik pada laki-laki lain yang lebih menarik dari aku. Bisa jadi entah terjadi kejadian buruk apa yang menimpa anakku, nggak pernah ada satu orangpun yang tau seperti apa rupanya masa depan itu serinen.

Karena hantu yang bernama masa depan itu sama sekali tidak jelas rupanya seperti apa. Aku dan keluargaku tidak pernah terlalu khawatir dengan yang namanya masa depan yang sama sekali tidak jelas wujudnya itu. Dan itu juga kuajarkan pada anakku.

Yang selalu kukatakan pada anakku. Bersyukurlah dengan apa yang ada sekarang, berbuatlah yang terbaik yang bisa dilakukan sekarang dan belajarlah dari masa lalu. Soal masa depan?...Tak usah dipikirkan, terlalu banyak faktor X di sana yang membuatnya susah diperkirakan.

Begitu kiranya serinen Kosasih.

Wassalam

Win Wan Nur

Sabtu, 17 Januari 2009

Ulang Tahun di Montessori dan Rasisme Kulit Coklat

Tadi siang aku menghadiri acara ulang tahun Lyndon, teman sekelas anakku yang punya bapak Argentina dan ibu Italia. Acara di rumah Lyndon ini adalah pesta ulang tahun lanjutan setelah sebelumnya diadakan sebuah perayaan sederhana di Montessori.

Perayaan ulang tahun anak-anak yang diadakan di Montessori itu, meski sederhana tapi sangat bermakna. Anak-anak yang merayakan pesta di larang membawa makanan-makanan yang tidak sehat. Kue yang dibawa untuk merayakan ulang tahun di Montessori, biasanya kalau bukan kue wortel ya kue pisang. Ini untuk membiasakan anak-anak makan makanan sehat.

Tapi yang paling menarik dari perayaan ulang tahun di Montessori adalah prosesinya, seperti yang kusaksikan dalam rekaman perayaan ulang tahun Matahari Kecil tanggal 7 Desember yang lalu (aku sendiri tidak hadir di sana karena ada di Banda Aceh pada waktu itu).

Dalam prosesi itu, anak yang berulang tahun berdiri di tengah lingkaran dengan dikelilingi teman-temannya. Di pusat lingkaran itu ada selembar kertas bundar bertuliskan matahari, lalu ada dua kertas bundar lain berukuran lebih kecil bertuliskan bumi dan bulan. Lalu si anak yang berulang tahun mengitari lingkaran-lingkaran di tengahnya bulan perbulan sampai genap setahun. Setiap satu langkah mereka bernyanyi yang lirik nyanyiannya berbunyi bulan telah selesai melingkari bumi dan setiap menylesaikan langkah ke dua belas tepat di 7 Desember. Mereka menyanyikan bumi telah selesai mengitari matahari.

Saat mengitari lingkaran itu, anak yang berulang tahun memegang album foto yang berisi foto-fotonya sejak lahir sampai hari ulang tahunnya itu. Setiap satu langkah dia berhenti dan menunjukkan foto-foto di album itu kepada teman-temannya. Sehingga dia dan teman-temannya bisa merasakan pertambahan umurnya. Mereka bisa menyaksikan perubahan bentuk tubuh dan wajahnya dalam setiap kurun waktu perputaran bulan dan tahun yang digambarkan dengan kertas-kertas bertuliskan bulan, bumi dan matahari yang dikelilinginya.

Cara perayaan seperti ini bermakna, karena dengan cara itu, dengan melihat fotonya selama waktu-waktu yang dilewatinya. Anak-anak betul-betul menghayati pertambahan usianya dan juga sekaligus pertambahan usia bumi, planet yang menjadi tempat tinggalnya ini. Satu-satunya planet yang sejauh ini diketahui cocok untuk menjadi tempat segala bentuk kehidupan, mulai dari kehidupan terendah makhluk bersel satu sampai ke kehidupan tertinggi Manusia, makhluk yang memiliki kesadaran dan kemampuan intelektual.

Dengan kemampuan intelektualnya manusia bisa menentukan hitam putihnya planet ini. Dengan kemampuan intelektualnya Manusia bisa menyebabkan kepunahan suatu spesies atau juga mempertahankannya. Dengan kesadaran dan kemampuan intelektualnya Manusia bisa menetukan sejauh mana planet ini bisa bertahan sebagai tempat yang nyaman bagi kehidupan.

Perayaan ulang tahun semacam ini bagiku sangat bermakna, karena anak yang berulang tahun itu adalah anak manusia. Makhluk yang beberapa tahun ke depan akan mejadi sosok-sosok yang bertanggung jawab atas kelangsungan planet ini. Dengan perayaan semacam itu ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Tanpa sadar dalam diri para calon KHALIFAH ini telah tertanamkan rasa cinta terhadap BUMI, planet biru tempat tinggalnya ini. Kesadaran ini penting karena tanpa ada rasa cinta dan sayang terhadap planet ini, beberapa tahun ke depan planet ini bisa musnah. Sebagai gambaran betapa riskannya keadaan bumi saat ini. Hanya dalam waktu kurang dari seabad manusia, makhluk yang memiliki akal budi ini sudah berhasil menciptakan sebegitu banyak senjata nuklir sehingga dengan kekuatannya cukup untuk menghancurkan planet ini sampai TIGA PULUH KALI. Belum lagi kita bicara tentang kehancuran yang disebabkan manusia terhadap atmosfer yang untuk bisa nyaman kita hirup seperti sekarang ini, sebelumnya harus melalui proses poanjang yang milyaran tahun lamanya (sementara manusia belum ada 100 ribu tahun menghuni planet ini)

Perayaan ulang tahun sederhana seperti ini menurut pandanganku jauh lebih bermakna dibandingkan ulang tahun ala kaum hedonis yang kadang juga dirayakan di rumah karena keinginan orang tua. Perayaan ulang tahun ala hedonis semacam itu salah satunya seperti acara ulang tahun Lyndon yang kuhadiri kemarin.

Acara ulang tahun Lyndon diadakan di rumahnya yang khas rumah kaum ekspatriat. Bertembok tinggi, berhalaman luas dan dilengkapi kolam renang. Di acara itu ada badut, pesulap, acara menembak dan lain-lain. Berbagai jajanan tidak sehat juga tersedia, mulai dari potato chips sampai goreng-gorengan berminyak. Untuk minuman tersedia mulai dari yang sehat semacam jus jeruk, jus apel sampai ke yang berbahaya coca cola, fanta dan sejenisnya. Untuk orang tua disediakan minuman beralkohol, Wine, Champaigne sampai Vodka.

Dalam acara di rumah Lyndon, yang diundang bukan hanya anak-anak Montessori tapi juga anak-anak tetangga dan teman orang tuanya yang bersekolah di sekolah-sekolah internasional lainnya, di pesta itu mereka semua berbaur bersama dan tidak kelihatan lagi bedanya.

Tapi pada saat acara pembagian kue, atau acara rebutan mainan. Anak-anak dalam kerumunan itu langsung terlihat berbeda. Sementara anak-anak lain yang rata-rata berkulit putih, berhidung mancung dan berambut pirang langsung menyerobot antrian, meraup semua mainan yang diperebutkan. Anak-anak Montessori tidak peduli kewarga negaraan dan warna kulitnya apa. Lyndon orang Argentina-Italia yang putih, Matahari Kecil orang Gayo yang coklat, Karuna orang Jepang yang berkulit kuning atau Niluh Inggris-Indonesia yang putih kecoklatan. Terlihat tertib dalam antrian dan hanya memilih apa yang mereka perlukan saat mengambil mainan.

Aku, Ian, Mike dan Cybill para orang tua anak-anak Montessori yang hadir dan duduk santai di atas rumput di samping kolam renang. Geleng-geleng kepala memperhatikan adegan di depan kami, lalu kemuadian mengatakan betapa beruntungnya kami, anak-anak kami diterima di Montessori.

Melihat pemandangan itu aku jadi teringat pula pada tulisan dalam buku-buku antropologi karangan penulis-penulis eropa abad ke 19 yang pernah kubaca. Dalam tulisan-tulisan ini mereka masih memahami teori evolusi dengan begitu naif dan sederhananya. Saat mereka memahami kalau proses evolusi manusia dalam jangka yang pendek sekali dan percaya kalau proses evolusi yang sederhana itu masih berlangsung sampai sekarang. Dalam salah satu buku yang kubaca ada tertulis mengenai begitu bervariasinya peradaban di Nusantara. Dalam buku itu dikatakan, di sebagian daerah peradaban dan penampilan fisik orangnya sudah sedemikian majunya sampai sudah mendekati orang eropa. Sementara di bagian lain yang masih begitu primitif karena baru saja mengalami evolusi dari Orang Utan berubah jadi Manusia.

Pemahaman zaman itu, bahwa proses evolusi diawali dari titik terendah makhluk bersel satu sampai menuju proses tertinggi menjadi makhluk berperadaban tinggi, yaitu manusia dengan ciri fisik berkulit putih dan berhidung mancung. Pemahaman seperti ini cukup lama bertahan, pemahaman seperti ini pula yang nyaris memusnahkan ras Aborigin di Australia sana yang dibantai tanpa ampun oleh kulit putih eropa karena hanya dianggap sebagai sub-human alias setengah manusia yang proses evolusinya dari orang utan belum sepenuhnya sempurna.

Tapi penelitian selanjutnya dan terus menerus membuktikan bahwa meskipun indikasi yang ada menunjukkan kalau sepertinya proses evolusi itu pernah ada, tapi prosesnya tidaklah sesederhana bayangan kaum ilmuwan abad ke 19 dan abad-abad sebelumnya. Penelitian lanjutan menunjukkan kalau manusia dari ras apapun kulit berwarna apapun adalah satu spesies yang sama. Yang mebedakan tingkat peradaban bukanlah ras atau warna kulit tapi pola asuh dan pola prestise yang berlaku di lingkungannya.

Bukti kebenaran penelitian terbaru ini kemarin ada di depan mata saya. Anak-anak Montessori dengan warna kulit yang berwarna-warni tapi dibesarkan dalam pola asuh dan pola prestise yang sama jelas terlihat jauh lebih beradab dibandingkan anak-anak berkulit putih, berhidung mancung dan berambut pirang yang bersekolah di sekolah internasional lainnya yang seringkali justru lebih mahal bayarannya.

Karena pemahaman tentang evolusi itu awalnya berkembang di eropa dan penelitian lanjutannyapun juga lebih dulu dipahami di eropa dan negara-negara yang memiliki kebudayaan eropa sehingga di eropa sendiri, yang pernah menjadi pusat rasisme dunia. Sebenarnya pemikiran seperti abad ke 19 itu sudah nyaris tidak ada lagi kalau tidak bisa dikatakan sudah punah.

Tapi justru di Indonesia, negara yang katanya punya peradaban tinggi yang adi luhung ini pemikiran ala ilmuwan abad ke 19 itu masih tetap eksis. Di sini anggapan bahwa kulit berwarna adalah makhluk yang lebih rendah dari kulit putih itu masih subur berkembang. Adalah pemandangan biasa kita melihat orang berkulit coklat yang minta berfoto dengan orang kulit putih yang ditemuinya yang gunanya seringkali cuma buat dipameran ke teman-teman di kampungnya. Foto yang ditunjukkan dengan rasa bangga itu biasanya dipandangi dengan iri oleh teman sekampungnya.

Perlakuan rasis berkaitan dengan warna kulit justru lebih sering kuterima di Indonesia. Ketika berjalan bersama kolega berkulit putih yang menganggap aku sebagai teman yang setara. Justru orang berkulit coklat yang melihatnya yang biasanya menganggap kami tidak setara. Biasanya aku selalu dianggap anak buah teman kulit putihku itu. Sifat rasis seperti ini kadang terasa sangat mengganggu karena saat melayani pesananan di satu restoran atau malah dalam angkutan umum, selalu teman kulit putihku itu yang didahulukan.

Seringkali sifat rasis yang bersifat rendah diri di kalangan kulit coklat ini begitu parahnya, pemujaan mereka terhadap makhluk dengan spesies yang sama dengan dirinya sendiri tapi berkulit putih sedemikian tingginya. Di Indonesia ini segala sesuatu yang berbau impor dianggap sebegitu hebatnya. Sampai pernah suatu saat, ketika aku mem-post di facebook foto-foto Matahari Kecil bersama teman-temannya. Ada sebuah komentar dari orang berkulit coklat yang ironisnya memiliki pendidikan tinggi dan berasal dari keluarga terhormat pula. Hebat ya si Matahari Kecil, temannya 'impor' semua...begitu katanya.

Wassalam

Win Wan Nur

Jumat, 16 Januari 2009

Laki-laki paling bahagia di Dunia dan 'petite Amie'-nya

Kalau saat ini ada sebuah lembaga semacam Miss Universe mengadakan pemilihan laki-laki yang paling berbahagia di dunia. Aku yakin aku akan termasuk menjadi salah satu kandidat kuat pemenangnya.

Bagaimana tidak, saat ini di umurku yang menjelang 35 ini aku sudah mendapatkan segala aspek puncak kebahagiaan yang mungkin bisa diberikan Tuhan kepada makhluknya.

Aku memiliki seorang anak yang sedemikian sempurna. Sesempurna-sempurnanya seorang anak yang bisa dibayangkan oleh orang tua manapun, cantik, pintar, lucu dan yang paling penting sangat menyayangi aku bapaknya.

Istri juga demikian, meskipun menurut banyak orang yang pernah lama mengenalku dan juga menurutku dan juga menurut istriku sendiri, secara fisik istriku tidaklah secantik dan semenarik perempuan-perempuan lain yang dulu pernah dekat denganku. Tapi istriku yang sangat tidak menguasai urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan menyetrika ini adalah sesempurna-sempurnanya seorang istri yang mungkin bisa diberikan Tuhan untukku.

Aku merasa istriku demikian sempurna karena hanya bersama istri yang sekaligus sahabat terbaik yang pernah kupunya inilah aku bisa merasa bebas, sebebas-bebasnya. Aku merasa kalau aku dan istriku seperti dua tubuh yang memiliki satu jiwa.

Aku sama sekali tidak pernah merahasiakan apapun pada istriku. Dia juga tidak pernah merasa harus menyembunyikan sesuatu padaku. Kadang naluri hewaniah dalam diriku membuat aku birahi melihat perempuan lain yang tidak bisa aku tolak daya tarik seksualnya yang seringkali memang secara provokatif sengaja dipamerkan untuk menyiksa laki-laki normal yang melihatnya.

Kalau itu terjadi padaku, aku sama sekali tidak segan untuk mengatakannya pada istriku, dan istrikupun menanggapinya tanpa sedikitpun merasa cemburu, karena dia memang memahami naluri itu dan diapun tahu persis naluri manusiawi tetap lebih dominan dan lebih berkuasa dibandingkan naluri hewaniah dalam diriku.

Dia bahkan tahu saat aku masih memiliki perasaan khusus terhadap mantan pacarku. Dan begitu juga sebaliknya. Maka ketika tidak setitik pun aku rahasiakan padanya, aku merasa hidup tanpa beban, tanpa tekanan. Hanya ada cinta kasih tanpa tuntutan dan tanpa mengharap imbalan.

Betapa banyak pasangan menikah bagaikan air dan minyak dalam satu gelas, sebagian pasangan menikah seperti air dan pasir dalam gelas, tetapi hanya sedikit pasangan menikah seperti air dan gula. Menyatu dan larut sepenuhnya. Tidak ada lagi “aku” dan “kamu”, tetapi hanya ada “kita”. Seperti aku dan istriku, kami adalah jenis pasangan yang terakhir.

Sehingga begitulah, di umurku yang menjelang 35 ini bagiku hidup terasa begitu lega, bebas dan lepas. Badan terasa ringan dan jiwa terasa lapang.

Tapi itu semua tidak kudapatkan secara instant, semua berawal dari kegagalan yang disusul kegagalan demi kegagalan yang tidak sanggup lagi kuhitung jumlahnya.

Kalau mau diurut-urutkan, semua kebahagiaan yang kudapatkan sekarang bisa jadi berawal dari Bioskop Gajah di Banda Aceh 13 tahun yang lalu. Ketika itu aku yang baru pulang dari sebuah ekspedisi pendakian gunung. Saat itu pertama kalinya aku bertemu seorang perempuan yang saat pertama kali melihatnya saja langsung membuatku marasakan rasa hangat dalam hatiku.

Saat itu aku sama sekali tidak tahu dimana letak ke istimewaan perempuan itu sehingga membuat aku sedemikian tertarik dan terseret oleh pesonanya. Dia memang cantik, tapi kalau diperhatikan dengan seksama, meskipun cantik tapi dia tidak lebih cantik dibanding banyak perempuan lain yang pernah kukenal.

Saat pertama kulihat, dia memakai baju kuning dan memakai topi bisbol berwarna pink untuk menutupi kepalanya. Umurnya waktu itu baru menjelang 17 tahun. Kulitnya putih, tubuhnya tidak terlalu tinggi untuk ukuran perempuan Aceh dan rambutnya dipotong pendek, lebih pendek dari rambutku yang gondrong sebahu. Entah di bagian mana, wajahnya mengingatkanku pada Agnes Monica penyanyi cilik yang memandu acara Tralala trilili yang saat itu menjadi idola kami bersama di Leuser, kelompok pecinta alam Unsyiah dimana aku merupakan salah satu anggotanya.

Tapi sepertinya yang paling kusuka dari seluruh penampilannya saat itu adalah wajahnya yang sama sekali bersih dari make-up sehingga dia tampak begitu alami, meskipun di wajah putihnya saat itu dihiasi beberapa bekas jerawat, dia tidak berusaha menutupinya. Aku sangat senang ketika dia menyambut dengan ramah saat aku mencoba mengajaknya bicara. Sesudah itu yang terjadi adalah kejadian standar saat laki-laki tertarik pada perempuan pujaannya. Aku minta nomer telponnya.

Saat aku minta nomer telponnya, waktu itu sebenarnya aku sama sekali tidak berharap dia mau meberikannya. Tapi ketika ternyata dia memberikannya aku begitu gembira meskipun aku tidak begitu yakin kalau nomer yang dia berikan itu benar-benar nomer teleponnya. Ketidak yakinanku ini didasari oleh pengalaman teman-temanku yang lebih fasih berurusan dengan perempuan. Ketika itu di Banda Aceh, saat seorang perempuan yang baru dikenal memberikan nomer telepon. Seringkali yang dia berikan bukan nomer telepon rumahnya. Tapi nomer telepon pemadam kebakaran atau rumah sakit jiwa.

Meskipun tidak yakin, malamnya aku tetap menelpon nomer yang diberikannya, menggunakan fasilitas gratis pesawat telepon di kantor SMPT alias Senat Mahasiswa. Dan aku betul-betul terlonjak gembira saat mengetahui ternyata nomer telepon yang dia berikan itu benar-benar nomer telepon rumahnya.

Sejak saat itu, aku tidak tahu dan tidak merasa perlu tahu kenapa. Secara naluriah aku merasa tertantang untuk berusaha terus ‘memburunya’. Dalam proses perburuan yang panjang itu kamipun menjadi akrab. Tapi setiap kali aku mencoba membujuk dan merayunya untuk kujadikan pacarku, aku selalu ditolaknya. Begitu sering aku ditolaknya sampai aku lupa sudah berapa kali aku mencoba. Tapi entah kenapa setiap penolakannya itu tidak pernah sampai membuatku merasa hampa. Tiap kali aku pulang dari perjalanan atau ekspedisi ke luar daerah aku selalu rindu untuk menemuinya .

Sampai 3 tahun kemudian entah terjadi keajaiban apa, di lapangan bola di samping gelanggang mahasiswa Unsyiah di acara Turnamen Sepk Bola tahunan Fakultas Teknik, Piston Cup. Saat aku masih berkeringat sehabis bermain bola sebagai penjaga gawang di tim Sipil 92. Tanpa angin tanpa hujan sebelumnya, tiba-tiba dia mengatakan mau menerimaku sebagai pacarnya. Saat itu aku begitu gembira, serasa melambung di udara dan merasa seluruh planet bumi dan segala isinya ini diciptakan oleh Tuhan khusus hanya untuk Win Wan Nur seorang saja.

Tapi apa yang tidak kusadari saat itu bahwa ternyata kejaiban yang kudapatkan itu adalah awal dari bencana. Aku yang seumur-umur baru pertama kali dekat dengan perempuan ternyata benar-benar belum siap untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengannya.

Sejak kami pacaran entah kenapa tingkahku di hadapannya tiba-tiba menjadi aneh. Tidak seperti sebelumnya yang apa adanya. Saat kami benar-benar pacaran entah kenapa aku tidak bisa lagi menampilkan diriku seperti diriku yang pernah dikenalnya.

Mungkin karena terlalu gembira, mungkin karena terlalu takut kehilangan dia. Yang terjadi saat kami pacaran adalah aku selalu berusaha menyenangkannya. Aku seperti kehilangan jati diriku. Tanpa bisa kucegah dan kurencanakan, sejak kami pacaran entah kenapa diriku yang selalu kutampilkan di depannya adalah diriku yang secara ‘artifisial’ kubuat supaya terlihat sempurna. Sikapku yang aneh tapi nyata itu membuatnya merasa tidak merasa nyaman dan kepadaku diapun menyatakan ketidak nyamanannya.

Aku merenung dan berusaha berubah dan mencoba kembali seperti biasa, sesekali mengkritiknya. Tapi sialnya karena mungkin dibawah tekanan. Saat mengkritikpun aku melakukannya tidak pada tempatnya, sehingga bukannya membantu dia malah merasa terhina karena dia merasa aku merendahkannya. Dia marah besar dan hubungan kamipun hancur sehancur-hancurnya.

Waktu itulah aku merasakan apa yang namanya hampa, sore itu juga aku mengambil ransel dan peralatan mendaki gunungku dan berangkat seorang diri ke Goh Leumo. Duduk sendirian di puncak tugu trianggulasinya menatapi bintang yang jutaan tahun cahaya jaraknya. Saat itu aku merasa seolah tidak ada seorangpun di dunia ini kecuali aku sendiri yang merasa hampa.

Tapi kehampaan yang kurasakan waktu itu ternyata baru tahap awal dan perkenalan saja. Mungkin entah karena dia merasa hampa juga, sepertinya dia ingin kembali juga. Sepertinya karena ingin membuatku cemburu dia menyatakan kekagumannya pada seorang temanku yang juga dikenalnya. Kebetulan temanku ini yang tidak tahu kami pacaran juga suka padanya. Bukannya cemburu atau malah karena aku lagi-lagi ingin menyenangkannya, aku malah memberikan nomer telponnya pada temanku itu dan apa yang kulakukan itu kembali memantik kemarahannya.

Berdasarkan pengalaman itu, lalu akupun menanamkan sebuah keyakinan yang kubuat sendiri di kepalaku kalau dia memang sama sekali tidak cocok untukku. Aku benar-benar mempercayai keyakinan itu. Suatu ketika dia mengatakan pada seorang teman dekatku kalau dia ingin kembali menjalin hubungan denganku. Tapi karena kepercayaan yang sudah kutanamkan di kepalaku, dengan menahan perasaan sakit di hati aku menolaknya.

Kehampaan yang sebenarnya datang saat suatu ketika dia menemukan orang lain yang benar-benar bisa menjadi tambatan jiwanya yang bisa dia mengerti dan bisa mengerti dirinya. Mereka pacaran dan tidak lama kemudian menikah. Saat itulah aku merasakan hampa yang sebenar-benarnya hampa. Bagiku saat itu dunia terasa hampa secara permanen, bahkan aku sempat merasa hidupku selanjutnya sudah tidak ada lagi gunanya. Setiap saat menyaksikan kemesraan mereka berdua, jantungku serasa seperti direnggut paksa secara kasar keluar dari tempatnya.

Saat itu aku punya seorang teman asal Canada, bukan hanya teman tapi sudah seperti abangku sendiri. Dialah yang saat itu selalu menyemangatiku dan menunjukkanku banyak hal yang menarik di dunia.

Lalu akupun mulai mencoba menjalin hubungan dengan perempuan lain. Dalam menjalin hubungan, berbagai jenis dan tipe perempuan sudah kucoba. Mulai dari perempuan Gayo sampai perempuan mancanegara. Aku pernah mencoba menjalin hubungan dengan segala tipe perempuan yang menjadi impian laki-laki kebanyakan. Mulai dari yang cantik dan menarik secara fisik, yang pintar masak dan fasih mengerjakan segala urusan rumah tangga. Sampai yang sangat alim dan mengerti agama yang menutup rapat dengan jilbab bukan hanya aurat tapi seluruh tubuhnya. Bahkan ada yang merupakan perpaduan dari semuanya. Tapi entah kenapa tidak satupun dari perempuan-perempuan itu yang bisa membuatku merasakan kehangatan yang sama seperti yang aku rasakan pada pacarku yang pertama.

Aku sempat merasa frustasi dan sempat merasa ada yang tidak normal dalam diriku sampai suatu waktu secara tidak disengaja aku bertemu seorang perempuan. Mahasiswi di HI Unpar, seorang penyiar yang sekaligus menjadi Music Director di SKY FM, sebuah stasiun radio swasta dengan segmen perempuan kelas menengah di Bandung sana.

Saat bertemu dan berbincang dengannya, aku langsung merasakan kehangatan yang sama seperti yang kurasakan di Bioskop Gajah di Banda Aceh 8 tahun sebelumnya. Cukup tiga bulan mengenalnya, aku langsung melamarnya dan mengajaknya menikah dan diapun tidak menolaknya. Sehingga jadilah dia Istriku yang sekarang juga menjadi ibu Matahari Kecilku.

Sampai detik ini aku merasa bahwa keputusanku mangajaknya menikah waktu itu adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil sepanjang hidupku.

Selama ini aku tidak pernah tahu, kenapa tidak pada perempuan lain tapi justru pada perempuan yang sekarang menjadi istriku aku bisa merasakan kehangatan seperti yang kurasakan pada pacar pertamaku dulu. Aku tidak paham dan tidak pernah peduli kenapa, aku cukup menikmatinya saja.

Aku baru paham setelah aku kembali ke Banda Aceh beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku bertemu pacar pertamaku, bukan bertemu sebenarnya, tapi hanya melihat sekilas dan diapun melihatku tanpa sempat bicara.

Saat melihatnya kembali setelah sekian lama. Aku baru menyadari betapa mirip dia dengan istriku. Bukan secara fisik tapi Jiwa. Kedua orang yang aku cintai ini adalah orang yang sangat apa adanya. Tidak ber make-up yang berguna untuk menutupi keburukan wajahnya. Saat melihatnya aku baru menyadari kalau dia dan istriku, mereka berdua adalah perempuan yang jujur pada diri dan pasangannya. Keduanya adalah jenis perempuan yang tidak merasa perlu menyembunyikan sisi negatif dirinya. Entah itu melalui make-up ataupun melalui sikap artifisial yang dibuat bagaikan abdi dalem keraton Jawa.

Saat melihatnya itu pula aku baru menyadari kalau ternyata aku bukanlah tipe laki-laki yang cukup merasa puas dan bahagia hanya dengan kenikmatan hedonis semata. Ternyata aku adalah tipe laki-laki yang baru bisa puas dan bahagia setelah menemukan tambatan jiwa.

Dan kenapa aku baru bisa menemukan tambatan Jiwa pada diri istriku. Jawabnya adalah itu karena di dunia ini memang hanya ada dua perempuan yang punya segala syarat untuk menjadi tambatan jiwaku. Pacar pertamaku dan yang kedua tentu saja istriku.

Karena itulah meski begitu banyak perempuan dengan segala kelebihan dan keindahan fisiknya yang hadir dalam perjalanan dan petualangan hidupku tapi hanya dua yang benar-benar pernah menjadi ‘Petite Amie’ ku. Petite Amie, kata pacar dalam bahasa Perancis yang secara harfiah berarti teman kecil. Teman yang sebegitu kecilnya hingga bisa masuk dan bersemayam di hati.

‘Petite Amie’ yang menjadi istriku hidup bahagia menjalani hidupnya dan berbagi jiwanya denganku. Dan satu hal yang membuatku hari ini sangat-sangat bahagia. Waktu di Banda Aceh kemarin, saat aku sekilas melihat ‘Petite Amie’-ku yang lain. Yang kulihat di wajahnya saat itu adalah dia begitu bahagia, sama seperti diriku. Aku melihat saat ini diapun benar-benar telah menemukan dan akan menghabiskan hidup bersama belahan jiwanya.

Karena itulah kalau sekarang ada pemilihan Laki-laki paling berbahagia di dunia, mungkin terlalu optimis kalau kukatakan aku akan menjadi juaranya. Tapi bukan mau narsis kalau kukatakan aku pasti ada dalam sepuluh besar Laki-laki paling berbahagia di antara hampir 3 milyar laki-laki penghuni planet yang sedang bermasalah dengan kenaikan suhu rata-ratanya ini.

Wassalam

Win Wan Nur
Pria Paling Bahagia di Dunia

Logat Melayu Malaysia/Singapura Yang Tak Punya Estetika

Dalam menanggapi tulisan saya " My Hero Cinta Laura", seorang miliser menyatakan keheranannya atas banyaknya orang Indonesia yang tidak menyukai "Singlish" alias Bahasa Inggris Logat Melayu. Si miliser ini bertanya apakah ketidak sukaan itu karena dalam “Singlish” ada logat melayunya?, “bagaimana dengan bahasa Inggris Logat Amerika atau Bahasa Inggris Logat Australia?”, tanyanya.

Dengan pertanyaannya itu saya menangkap ada kesan kalau si miliser yang melayu ini seolah-olah menuduh orang seperti saya yang juga melayu ini dan juga orang-orang Indonesia lainnya merasa rendah dengan budaya sendiri ketika disandingkan dengan budaya eropa.

Padahal masalahnya bukan itu.

Bahasa Inggris sering terdengar eksotis atau minimal unik ketika diucapkan bukan dengan logat aslinya. Misalnya ketika diucapkan dengan logat Perancis.

Bagi yang kurang paham maksud saya tontonlah film "Before Sunrise", Film yang disutradarai Richard Linklater, dibintangi oleh Ethan Hawke dan aktris Perancis Julie Delpy. Perhatikan dialog-dialog mereka di film itu, terutama pada adegan ketika 'Celine', karakter yang diperankan oleh Julie Delpy pura-pura menelpon temannya.

Dalam dialog itu Bahasa Inggris yang diucapkan oleh lidah Perancis Julie begitu seksinya sampai lelaki normal manapun akan bangkit kelakian-lakiannya saat Julie Delpy mengatakan "Dring..dring". Begitu juga jika bahasa Inggris diucapkan dengan logat Italia yang mengalun-alun.

Sebaliknya kalau bahasa Perancis diucapkan dengan lidah Anglo Saxon (Inggris, Amerika dan Australia). Bahasa yang indah itu jadi terdengar jelek sekali. Perhatikan orang Amerika yang mengatakan terima kasih dalam bahasa perancis. "Mersyi Byukyu" kata mereka. Sama sekali tidak indah.

Bahasa Inggris juga bisa terdengar menarik ketika diucapkan dengan logat non eropa, misalnya bahasa Inggris logat Jamaika yang diucapkan dengan lidah afrika. Bahkan bahasa Inggris juga bisa terdengar unik ketika diucapkan dengan logat Asia. Contohnya bahasa Inggris logat India.

Untuk lebih mengerti maksud saya tontonlah acara ‘Coffee with Karan’. Sebuah acara bincang-bincang yang menghadirkan bintang-bintang Bollywood dengan dipandu oleh Karan sutradara film India legendaris ‘Kuch Kuch Hota Hai’.

Dalam acara itu, baik Karan maupun tamu-tamunya semua berbahasa Inggris dengan logat India, tidak asli Inggris tapi terdengar unik dan nyaman buat didengar. Sama sekali tidak mengganggu seperti 'Singlish'.

Jadi yang harus diketahui oleh miliser ini adalah; masalah kenapa banyak orang Indonesia yang tidak menyukai Singlish. Itu adalah semata karena masalah estetika.

Harus diakui meskipun secara ekonomi jauh dibawah Malaysia/Singapura. Tapi dalam hal memahami estetika orang Indonesia jauh lebih maju dibandingkan orang Malaysia dan Singapura yang sama-sama berakar Melayu.

Bukti dari lebih majunya orang Indonesia dalam hal memahami estetika ini bisa kita saksikan beberapa waktu yang lalu. Ketika Malaysia dengan muka tembok tanpa sedikitpun rasa malu mengakui berbagai hasil karya budaya negeri ini sebagai milik mereka.

Jadi menurut saya pertanyaan aneh seperti yang diungkapkan si miliser ini bisa muncul adalah semata karena si penanya ini sudah putus salah satu bagian sarafnya yang bertanggung jawab dalam menilai estetika.

Masalah kenapa saya dan banyak orang Indonesia tidak menyukai ‘Singlish’ (saya malah membenci) adalah karena satu alasan saja. Logat Malaysia dan Singapura itu adalah salah satu kalau tidak bisa disebut sebagai Logat terjelek di Dunia. Logat Melayu Malaysia/Singapura itu seperti logat Jerman yang sama sekali tidak enak didengar saat dipakai untuk mengucapkan bahasa apapun, termasuk bahasa Jerman sendiri.

Bahasa Melayu adalah salah satu bahasa paling Indah di dunia. Tapi Bahasa Melayu yang indah inipun bisa terdengar jelek jika diucapkan dalam logat beberapa daerah. Misalnya ketika bahasa Melayu diucapkan dengan logat Jawa, Madura dan tentu saja logat Batak yang 'best of the best' atau lebih tepat ‘worst of the worst’ alias sejelek-jeleknya logat di Indonesia.

Tapi sejelek-jeleknya mendengarkan orang berbicara bahasa Melayu dengan logat lokal itu. Logat-logat yang buruk itu masih jauh lebih enak terdengar di telinga dibanding mendengarkan orang yang berbicara bahasa Melayu dengan logat Malaysia/Singapura, yang bahkah terasa lebih mengganggu di telinga dibanding mendengar ringkikan kuda.

Logat Melayu yang paling indah menurut saya adalah Logat Melayu Deli yang dipakai sehari-hari oleh orang Medan dan sekitarnya. Cewek Medan yang bicara dengan logat Melayu Deli, di telinga saya sama seksinya dengan Bahasa Inggris yang diucapkan oleh lidah Perancis Julie Delpy dalam "Before Sunrise", sama-sama bisa langsung membangkitkan syaraf kelaki-lakian saya.

Keindahan logat Melayu Deli ini tidak banyak diketahui orang, karena orang di luar Medan tidak banyak yang tahu keindahan Logat asli Medan ini. Medan yang sekarang menjadi ibukota Sumatera Utara ini. Dalam wilayah provinsinya jauh lebih banyak Batak daripada Melayunya. Sementara Batak adalah suku yang terkenal dengan tembak langsungnya. Mentalitas mereka seperti supir angkot, melibas apa saja yang ada di hadapannya.

Apa yang terjadi ketika Batak dan Melayu yang berbeda karakter disatukan dalam satu administrasi sebuah Provinsi?. Hasilnya adalah seperti yang terjadi di Sumatera Utara. Orang Melayu yang seperti juga bahasanya yang mengalun berkelok dan berputar-putar untuk sampai ke satu masalah. Habis dilindas oleh Batak seperti buldozer yang melindas jejeran botol limun.

Dominasi orang Batak di Medan bukan hanya dalam sisi ekonomi dan kekuasaan. Dalam hal bahasa juga, logat Melayu Deli yang indah 'dipermak' habis-habisan oleh orang-orang Batak yang sekarang mendominasi Kota Asli Melayu itu. Sehingga Logat Melayu Deli yang Indah itupun hancur lebur remuk redam ketika diucapkan dengan lidah ‘Balige’ atau ‘Simalungun’.

Begitu dominannya Batak di Medan sampai-sampai orang tidak tahu lagi kalau Medan itu adalah kota melayu terbesar di Sumatera. Sehingga kalau sekarang kita berada di luar Medan dan mengatakan berasal dari Medan. Orang akan menanyakan “bisa bahasa Batak?”, atau langsung dengan semena-mena memanggil kita dengan panggilan ‘Ucok’.

Sialnya lagi akibat dari dominannya Batak di Medan ini. Sekarang logat Medan yang dikenal oleh orang di luar Medan adalah logat Melayu Deli hancur lebur remuk redam yang diucapkan oleh lidah ‘Balige’ atau ‘Simalungun’ tadi. Sehingga logat Melayu Deli bukannya dikagumi keindahannya, tapi sebaliknya malah dijadikan bahan olok-olok dan tertawaan di televisi atau film-film Indonesia semacam Naga Bonar dan sejenisnya.

Kembali ke logat Melayu Malaysia/Singapura. Saya akui, mendengar orang Jawa, Madura dan terutama Orang Batak berbahasa melayu memang terasa mengganggu. Tapi setidaknya logat mereka tidak sampai membuat sakit kuping seperti ketika bahasa itu digunakan oleh orang Malaysia atau Singapura.

Nah ketika digunakan saat berbicara dalam bahasa Inggris juga sama, yang salah sebenarnya bukan bahasa Inggris atau logat Melayunya. Tapi ‘Singlish’ menjadi tidak enak didengar adalah semata karena logat Malaysia/Singapura itu memang sama sekali tidak memiliki estetika.

Meskipun mungkin akan banyak orang Malaysia/Singapura yang tidak setuju dan sakit hati membaca tulisan saya ini. Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, di bagian nurani mereka yang paling jujur yang bebas dari kesombongan akibat kemajuan ekonomi negaranya beberapa dekade belakangan ini. Orang Malaysia/Singapura, seperti juga orang Jawa dan Sunda sebenarnya sangat menyadari kalau logat mereka memang sama sekali tidak ada bagus-bagusnya.

Karena kesadaran dari lubuk hati terdalam inilah, orang Melayu Malaysia/Singapura akan membuang ke tong sampah logat asli mereka ketika bahasa Melayu mereka gunakan dalam mengekspresikan keindahan suatu seni. Seperti bernyanyi misalnya.

Seperti Duta, Shelia On 7 yang hilang logat Jawanya ketika menyanyikan lagu Sephia, coba perhatikan pula ketika sedang menyanyi penuh perasaan, Amy Search, Sheila Madjid atau Siti Nurhaliza sampai Hadi Mirza yang Singaporean Idol itu...Apakah mereka menggunakan logat asli mereka?...Logat Melayu Malaysia/Singapura yang terdengar lebih buruk dari suara ringkikan kuda?

Tidak!...ketika bernyanyi, dengan penuh rasa sadar mereka semua meninggalkan logat asli mereka yang kampungan dan luar biasa norak itu. Mereka memilih menggunakan logat Melayu Indonesia yang modern dan penuh estetika.

Untuk lebih bisa merasakan betapa hancurnya logat Melayu Malaysia/Singapura dan betapa indahnya logat Melayu kita...coba nyanyikan potongan bait "Isabella", lagu legendaris kelompok ‘Search’ yang saya tuliskan di bawah ini dengan logat aslinya.

Isabelè adèlah...kisah cintè duè duniè
Mengapè kitè berjumpè...namon akhirnyè terpisah.
.....

Smogè dibukè kan pintu hatimu untok ku
agar terbentang jalan...andaikan engkau setiè...
Oh..Isabelè....
.....

Diè...Isabelè...kisah cintè...yang tlah larè
Terpisah...keranè adat yang berbezè...
Cintè Gugor bersamè...
daon-daon kekeringan....

Bayangkan... Amy sang vokalis ‘Search ‘ itu bernyanyi dengan logat aslinya yang seperti itu, dengan huruf ‘R’ cadel yang terdengar indah jika diucapkan orang Perancis tapi terdengar seperti ngeongan kucing yang tersedak duri ikan asin jika diucapkan oleh orang Malaysia/Singapura.

Kalaulah dulu ‘Search’ memutuskan memakai logat asli mereka itu saat menyanyikan Isabella. Saya jamin orang Batak yang logat melayunya paling hancur di Indonesia inipun akan muntah mendengarnya.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com