Jumat, 27 Maret 2009

Berhentilah Berharap, Pari Perjuangkan Nasib Kita Sendiri...

Seorang wartawan dari sebuah media terbitan Medan bernama Soaduon Siregar membalas tulisan saya tentang "Drama Penjualan Lahan Panti Asuhan oleh Bupati", ternyata sekarang tanpa saya ketahui sebelumnya, media tempatnya bekerja juga sedang serius mengangkat kasus ini.

Kepada saudara Soaduon Siregar, kembali saya atas nama seluruh mantan penghuni dan yang masih menghuni Panti Asuhan Budi Luhur mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada anda dan media anda Harian Medan Pos yang peduli dan mau mengangkat permasalahan ini.

Kasus penjualan sebenarnya bukanlah semata urusan kami para mantan penghuni panti, tapi kasus ini adalah bukti atau cerminan dari buruknya pengelolaan pemerintahan daerah di negara ini. Pengelolaan pemerintah di banyak daerah dikelola seolah daerah tersebut adalah sebuah perusahaan keluarga dan milik pribadi.

Kasus penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur ini ahanyalah puncak gunung es dari tumpukan besar permasalahan serupa di negeri ini. Bukan hanya Budi Luhur, sejak tsunami anak-anak yatim di Aceh sebenarnya telah dijadikan objek bisnis yang menggiurkan oleh banyak kalangan.

Di Aceh Tengah sendiri saat ini ada lebih sepuluh Panti Asuhan yang katanya menampung anak-anak korban Tsunami. Padahal pada kenyataannya hanya ada satu panti Asuhan di Takengon yaitu yayasan Noordeen yang benar-benar menampung anak-anak korban Tsunami dengan biaya sepenuhnya dari Givelight Foundation, sebuah yayasan yang beranggotakan kamum Muslim di Amerika yang didirikan oleh seorang keponakan pengelola panti asuhan Yayasan Noorden tersebut yang sekarang kebetulan sudah menjadi warga negara sana.

Sisanya adalah panti asuhan papan nama dengan penghuni fiktif, yang dimanfaatkan oleh pengurusnya untuk mendapatkan manfaat secara ekonomi. Yayasan Noordeen sendiri yang memang punya kebijakan memberikan santunan kepada anak korban Tsunami yang tidak bisa tertampung di panti Asuhan ini, beberapa kali menjadi korban penipuan dari yayasan-yayasan penampungan anak yatim fiktif semacam ini.

Sementara pemerintah daerah sendiri, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di berbagai daerah dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan dan seenak perut Bupati.

Anggota parlemen yang seharusnya mengkritisi segala kebijakan bupati asal memiliki kepentingan bersama juga cukup mudah untuk diajak kompromi.

Memang sejak dulu sudah terbukti kalau kekuatan intra parlementer, ketika berhadapan dengan berbagai kepentingan yang sama dengan penguasa, selalu menjadi impoten dan banci. Setiap perubahan sosial besar di negara ini selalau diawali dengan gerakan extra parlementer.

Karena itu, berhentilah berharap pada parlemen apalagi parlemen yang dihasilkan oleh Pemilu demokrasi biaya tinggi yang akan diselenggarakan tidak lama lagi. Kita harus berhenti berharap mendapat perubahan dari pemilu ini karena personel yang akan mengisi parlemen mendatang adalah orang-orang yang sudah mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan sebuah kursi. Sehingga jelas prioritas utama mereka setelah duduk di kursi itu nanti bukanlah permasalahan kita, tapi bagaimana menarik uang yang telah dikeluarkan, agar modal bisa kembali.

Sebagai masyarakat yang berada di luar sistem, mari kita perjuangkan kepentingan kita sendiri. Mari kita gunakan segala potensi yang kita punya, karena yang bisa mengubah nasib kita bukan siapa-siapa, selain diri kita sendiri.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

Drama Penjualan Lahan Panti Asuhan Oleh Bupati dan Kekuatan Media Online

Pada awalnya saya merasa sangat kesal, marah dan emosi ketika saya yang telah bertahun-tahun berada di luar daerah pulang ke tempat kelahiran saya di Takengen Aceh Tengah dan mendapati sebagian lahan beserta mesjid tempat ibadah di panti asuhan tempat saya dibesarkan telah dijual oleh Bupati Aceh Tengah.

Waktu itu, saya semakin kesal dan tidak habis pikir ketika mengetahui kenyataan bahwa penjualan lahan panti asuhan itu begitu mudahnya disetujui oleh anggota DPRD Aceh Tengah yang anggotanya begitu merata dari setiap partai tanpa ada partai dominan. Padahal, biasanya para anggota dewan terhormat ini begitu alot menentang setiap kebijakan bupati. Kekesalan saya semakin menjadi-jadi karena saya tahu persis kalau salah satu anggota DPRD itu adalah anak yang dulu belajar mengaji di mesjid yang dijual oleh Bupati itu, yang secara langsung atau tidak juga dia setujui penjualannya. Anak yang dulu belajar mengaji di mesjid panti dan kini menjadi anggota DPRK Aceh Tengah mewakili PKS itu bernama Bardan.

Saya juga sangat merasa miris, prihatin dan entah bahasa apalagi yang bisa saya gunakan untuk menggambarkan apa yang saya rasakan waktu itu, ketika saya mengingat bahwa penjualan lahan panti asuhan beserta mesjidnya itu terjadi di ACEH, negeri yang disebut-sebut sebagai Serambi Mekkah yang penduduknya mayoritas adalah orang Islam yang taat. Bahkan sekarang secara resmi telah menerapkan hukum Syari'ah.

Tapi ternyata di Aceh, di negeri yang latar belakang keislaman begitu kuat ini, rupanya kepedulian masyarakatnya terhadap Islam tidak lebih daripada kepedulian terhadap 'bungkus luar' saja. Jika 'bungkus luar' ini tampak buruk, semua orang akan berteriak, semua orang merasa harga diri dan keislamannya terluka. Namun tidak ada yang peduli bagaimana keadaan dan kondisi ISI yang ada di dalam 'bungkus' tersebut. Selama 'bungkus' Islamnya rapi, selama ISI yang busuk bisa ditutupi, tidak ada orang yang peduli apakah isi itu rusak, busuk atau bahkan sudah berbau bangkai dan digerogoti belatung sekalipun.

Itulah kenyataan yang saya hadapi saat saya berada di Aceh waktu itu.

Melihat kenyataan itu, saya tahu saya sama sekali tidak bisa berharap masyarakat semacam ini tergugah hatinya secara tiba-tiba. Maka untuk itu saya berniat menggugahnya melalui tulisan-tulisan di Blog saya.

Bukan hanya sekedar menggugah dengan cara biasa, saya menggugahnya dengan cara menyindir dengan halus, kasar bahkan sampai 'menampar dengan telak di muka'. Tapi semua itu sama sekali tidak ada hasilnya.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa di Aceh, urusan permasalahan penjualan lahan Panti Asuhan oleh Bupati itu hanyalah masalah pribadi saya beserta para alumni panti Asuhan Budi Luhur lainnya. Jadi yang bisa menyelamatkan panti asuhan itupun hanya kami para alumni yang tentu saja memiliki ikatan emosional yang kuat dengan panti tempat kami dibesarkan itu. Cuma masalahnya saya tidak tahu bagaimana caranya mengumpulkan alumni-alumni yang lain dan duduk bersama untuk membahas persoalan ini.

Ketika itu koran-koran di Aceh begitu mengharu biru membahas sensasi dugaan perselingkuhan Bupati Aceh Barat Daya, banyak terjadi Pro dan Kontra soal benar tidaknya perselingkuhan itu. Begitu seriusnya masalah ini sampai salah satu pihak menghadirkan Roy Suryo segala. Karena tahu nilai berita kasus ini sangat tinggi, seorang teman saya yang memiliki sebuah kantor pengacara bersedia menjadi kuasa hukum sang Bupati. Ketika memutuskan untuk menangani kasus ini, teman saya ini sama sekali bukan tertarik dengan nilai uang yang didapat dari perkaranya, tapi dari nilai berita kasus ini yang akan menaikkan nama kantor Pengacara yang berkantor di dekat Hotel Hermes Palace yang baru dia rintis. Begitulah yang terjadi di Aceh ketika persoalan Islam sudah menyangkut 'bungkus luarnya'.

Sebaliknya ketika pelanggaran terhadap Islam sudah menyangkut ISI seperti yang dilakukan oleh Bupati Aceh Tengah yang menjual lahan panti asuhan tempat tinggal anak yatim beserta mesjidnya yang berasal dari Baitul Mal (Harta Agama) untuk dijadikan tempat usaha yang mendasarkan keuntungannya atas riba. Masyarakat Aceh yang islami tidak ada yang peduli. Koran adem ayem, Televisi apalagi, bahkan ketika saya minta tolong secara terbuka kepada pihak-pihak yang mengerti permasalahan hukumnya, baik itu LSM, pemerintahan, Ulama atau lembaga hukum, juga tidak ada yang menanggapi.

Menghadapi kenyataan seperti ini sayapun jadi berhenti berharap. Tapi seperti yang pernah saya katakan, "Berbuat tidak harus berorientasi pada hasil", meskipun tidak lagi berharap, saya tetap menuliskan apa yang saya rasakan tentang Panti Asuhan itu. Saya sebenarnya ingin sekali menerbitkan tulisan saya tersebut di Serambi Indonesia, koran dengan oplah terbesar di Aceh, tapi Redaktur Opini di koran tersebut yang bernama Ampuh Devayan sama sekali tidak mau mengangkat telepon, membalas e-mail atau SMS saya. Apa boleh buat, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menulis di blog pribadi saya serta berbagai media online yang untuk menerbitkan sebuah tulisan tidak membutuhkan syarat berbelit.

Secara Global, saya tahu dalam tahun-tahun belakangan ini media online sangat kuat pengaruhnya. Di Amerika, belakangan ini banyak Koran besar yang mulai merugi bahkan tutup karena ditinggal pembacanya yang beralih ke media online, bahkan kemenangan Obama sebagai Presidenpun sangat banyak ditentukan oleh kekuatan media online. Mengingat begitu sombong dan arogannya kelakuan orang-orang yang punya pengaruh di media cetak besar yang terbit di Aceh, saya menduga kalau di Aceh, fenomena seperti yang terjadi di Amerika masih jauh panggang dari api. Karena itulah saya sama sekali tidak lagi berharap apa-apa.Ketika menyaksikan tulisan-tulisan yang saya post tidak ada yang menanggapi, apalagi mengomentari.

Tapi ternyata dugaan saya salah, tingkat melek internet di Aceh rupanya sudah sedemikian tingginya. Dan sepertinya di Acehpun, tidak lama lagi Koran akan ditinggal pembacanya. Tulisan sayapun tanpa saya sadari ternyata banyak dibaca oleh orang lain diam-diam tanpa dikomentari.

Yang membaca tulisan saya juga bukan hanya orang-orang yang tinggal di Aceh, tapi juga orang-orang Aceh yang tinggal di luar bahkan orang yang sama sekali tidak memiliki sangkut paut apapun dengan Aceh. Bahkan ada yang mengikuti bahkan mengoleksi tulisan-tulisan saya tersebut secara lengkap.

Salah satu yang membaca tulisan saya tersebut adalah seorang wartawan, teman saya yang bernama Murizal Hamzah yang tujuh tahun yang lalu pernah meliput berita bersama-sama dengan saya. Murizal rupanya baru mendirikan sebuah media online bernama 'The Globe Journal'. Membaca tulisan saya, Murizal meminta wartawannya di Takengen yang bernama Khalisuddin untuk menyelidiki informasi yang saya ceritakan di blog saya dan kemudian mengangkatnya melalui medianya. Sejak itu, berita tentang penjualan lahan Panti Asuhan oleh Bupati inipun terdengar kencang gaungnya.

Sementara itu di Jakarta, seorang bernama Muchtaruddin Gayo, MBA adalah pengoleksi tulisan-tulisan saya, beliau mengikuti setiap tulisan saya sejak saya pertama kali membuat blog, dalam membaca tulisan saya beliau cukup berhati-hati untuk menyimpulkan maksud tulisan saya. Keberpihakan saya yang terang-terangan terhadap Aceh ternyata membuat beliau mencurigai kalau saya adalah anggota GAM dan ketika saya menulis saya sedang melakukan propaganda. Tapi, beliau dan juga saya sendiri sama-sama tidak menduga kalau kami berdua ternyata alumni Panti Asuhan Budi Luhur. Karena itulah ketika saya menulis tentang Panti Asuhan Budi Luhur, beliau kaget dan mencari tahu siapa saya sebenarnya.

Untuk menggali informasi tentang saya, Muchtaruddin Gayo, MBA yang saya panggil Cik karena umurnya jauh di atas saya menemui Pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen di Dedalu. Pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen ini adalah pengurus di panti asuhan Budi Luhur sejak 1989 s/d 2003. 12 tahun sebelum beliau menjadi pengurus di panti Asuhan Budi Luhur, panti asuhan ini dikelola oleh orang tua beliau selama 27 tahun, sejak tahun 1950 s/d 1977, sehingga jika masa kepengurusan beliau ditambah dengan masa kepengurusan orang tua beliau, maka keluarga beliau total mengurusi Panti Asuhan Budi Luhur selama 40 Tahun. Jadi beliau tentu kenal setiap anak yang pernah tinggal di Panti Asuhan Budi Luhur.

Saat bertanya kepada Bapak pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen ini, Cik Muchtar pun mengetahui kalau saya bukanlah seperti yang dia bayangkan secara negatif selama ini.

Begitulah, tanpa mengecilkan peran the Globe Journal yang merupakan satu-satunya media yang awalnya berani mengangkat masalah ini ke pemermukaan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, yang bisa diharapkan memperjuangkan Panti Asuhan Budi Luhur hanyalah alumninya sendiri, terbukti ketika masalah ini saya lempar ke publik untuk meminta bantuan baik itu dari ahli hukum, pemerintahan LSM, partai politik dan lain sebagainya, sama sekali tidak ada peduli. Tapi ketika Cik Muchtar mengetahui ini melalui media online dan memastikan bahwa yang saya tulis adalah benar adanya, beliau langsung bergerak cepat. Dalam kapasitas beliau sebagai ketua Almuni Panti Asuhan Budi Luhur, beliau mengumpulkan kami semua baik yang pernah menjadi penghuni Panti Asuhan itu, baik secara langsung maupun Online. Membuat surat keberatan kepada Bupati dengan 17 tembusan, diantaranya kepada Presiden RI dan KPK.

Dan sekarang, kisah dijualnya lahan Panti Asuhan Budi Luhur oleh Bupati Aceh Tengah inipun memasuki babak baru.

Inilah kekuatan Media Online...dan kepada The Globe Journal terimalah rasa terima kasih yang besar dari kami para mantan penghuni panti asuhan Budi Luhur.

Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur
www.winwannur.blogspot.com

Selasa, 24 Maret 2009

Jogja Pagi Ini

Akhirnya di Jogja lagi, susah bener dapat tiket dari Bali. Semua penerbangan penuh, Garuda penuh, Mandala penuh yang sisa cuma Lion. padahal aku paling malas naik Lion karena seringnya bermasalah dengan bagasi. pernah dua kali bagasiku nyasar kemana-mana, dua minggu kemudian baru kembali. Dengan waktuku yang cuma 3 hari di Jogja, tentu nggak lucu namanya kalau bagasiku nyasar lagi. Tapi karena cuma itu satu-satunya yang tersisa, apa boleh buat akhirnya aku naik Lion meskipun harus berangkat ke Bandara jam 5.00 Wita yang sama dengan Jam 4.00 WIB.

Dan Kabar baiknya, tidak seperti garuda yang pramugarinya sudah tua-tua dan mandala yang dalam melayani penumpang kelihatan sekali sikap ramah dan senyum Palsunya. Pramugari Lion Air masih muda-muda, segar dan ramahnya alami. Lumayan bisa mengobati rasa kantuk karena bangun terlalu pagi.

Jam 6.30, aku udah di Jogja langsung berangkat ke hotel dan berjalan-jalan melintasi jalanan yang masih belum terlalu ramai, merasakan aktivitas Jogja di pagi hari. melihat orang-orang berangkat kerja, gelandangan yang masih pulas di depan toko dan sarapan di warung tenda di depan Rumah sakit Bethesda di seberang galeria. Milik orang Jogja asli bernama pak bambang yang sejak tahun 1987 berkelana di berbagai daerah di Aceh dan Sumatera Utara, bekerja di bidang konstruksi dan sekarang menghabiskan masa tua di kampung halaman dengan membuka warung nasi.

Sambil makan, berbincang dengan dua pelanggan lain yang bekerja sebagai Satpam di rumah sakit Bethesda, Satpam bernama Tono ini adalah seorang anggota Paramiliter Komando Trikora, yang pernah ditugaskan ke Aceh untuk menjadi sopir BRR di Simeulue.

Tono dan temannya yang juga bernama Tono menurut saya benar-benar merepresentasikan Jogja, materi pembicaraan mereka cukup intelek dan ilmiah, menganalisa permasalahan ekonomi dan dan peluang capres di pemilu dengan sangat logis dan ilmiah dan tampak begitu mereka yakini, karena Tono yang Satpam pernah bekerja di Cilacap semasa Pangeran Cendana ditahan di Nusa Kambangan, kemudian pembicaraan mereka beralih ke tema tentang Tommy Soeharto. Kali ini mereka berbicara tentang dunia Supra Natural. Menurut Tono yang Satpam, Tommy sebenarnya dulu tidak ditangkap tapi menyerahkan diri, menurutnya tidak ada yang bisa menangkap Tommy karena Tommy Soeharto memiliki sebuah keris bernama Kyai Pinayungan dari kerato Jogja yang dia beli seharga 70 juta. Kesaktian keris itu membuat Tommy tidak akan bisa dilihat oleh mata awam dalam jarak 7 langkah.

Dari pembicaraan inilah saya melihat ciri Jogja yang sangat khas, di sini yang dikenal sebagai kota pendidikan banyak sekali orang berpendidikan tinggi dan berpikir secara ilmiah, tapi di sini selain Bali) juga merupakan pusat dari segala sesuatu yang berbau klenik dan secara unik kedua hal yang bertentangan ini diterima secara wajar oleh masyarakatnya, mereka percaya hal ilmiah dengan keyakinan yang sama dengan kepercayaan mereka terhadap sesuatu yang berbau klenik.

Selesai makan, ngopi di exelso memesan secangkir kopi yang katanya mandheling pawani tapi aku tau itu aslinya Kopi gayo, Kopi yang dihidangkan pelayan manis bernama Krisna ini harganya secangkirnya tiga kali lipat makan pagiku dengan lauk lele, tempe, tahu dan sayur daun singkong cabe ijo (gila ya sarapan orang Aceh) di tenda pinggir jalan yang terletak tepat diseberangnya.

Di sini ada Wi Fi Gratis yang bisa dipakai sepuasnya, tidak seperti di Pantai Kuta tadi malam, waktu aku menggunakan Wi Fi di Minimart di samping mc Donald pantai Kuta, di sana Wi Fi-nya pakai password, yang baru bisa didapatkan kalau kita belanja di Deli yang satu bangunan dengan Minimart, itupun dibatasi waktunya hanya tiga jam saja.

Saat aku ke toilet, kulihat ada dua orang Abg dengan Laptopnya, sedang Chatting tampaknya, dua Abg yang bernama Rini dan Risa ini tidak keberatan saat kuminta untuk difoto.

Begitulah suasana Jogja pagi ini.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.com

Sabtu, 21 Maret 2009

Etnis Cina, dari Tukang Gorengan, Chris John Sampai Agnes Monica

Dua minggu yang lalu, Qien Mattane Lao, anakku yang biasa kupanggil si Matahari Kecil mengikuti lomba mewarnai dan lomba menghias donat yang diadakan di Carrefour yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahku.

Aku dan istriku sering mengikutkan Matahari Kecil lomba-lomba seperti ini supaya dia terbiasa merasakan karyanya diapresiasi orang lain. Kami tidak pernah mengajarkan si Matahari Kecil untuk mengutamakan hasil dari semua kegiatan yang dia lakukan, tapi yang selalu kami ajarkan dan juga yang diajarkan di Montessori sekolahnya adalah bagaimana menikmati setiap proses dari kegiatan apapun yang dia lakukan. Dan itulah yang terjadi pada perlombaan itu, si Matahari Kecil benar-benar menikmati setiap detail kegiatannya dan selalu tersenyum dengan menunjukkan wajah gembira, aku dan istriku tidak pernah dia izinkan untuk membantunya sedikitpun.

Tapi tidak semua orangtua dari anak-anak yang mengikuti lomba tersebut yang berpikiran sama dengan kami berdua. Contohnya seorang anak keturunan Tionghoa yang pada saat lomba mewarnai posisinya ada di kanan si Matahari Kecil. Anak bermata sipit ini terus diteriaki dan kadang dibentak oleh ibunya yang juga bermata sipit yang tidak pernah beranjak dari sampingnya sepanjang lomba. Bagi ibu anak ini sepertinya 'hasil' yang dalam lomba ini berarti kemenangan adalah segala-galanya. Kekalahan akibat kesalahan sekecil apapun yang dilakukan oleh si anak tampaknya tidak bisa ditolerir oleh ibu si anak ini. Beberapa kali ketika panitia lengah si ibu ini diam-diam membantu anaknya untuk mengerjakan pekerjaan yang dalam aturannya hanya boleh dilakukan oleh si anak tanpa dibantu orang tua.

Saat lomba selesai, semua peserta menyerahkan hasil pekerjaannya kepada panitia untuk dinilai.

Ketika pemenang diumumkan, aku, istriku dan si Matahari Kecil sama sekali tidak ambil peduli dia menang atau tidak. Kami bertiga bertepuk tangan setiap kali nama pemenang disebutkan oleh pembawa acara. Sebaliknya dengan ibu dari si anak yang tadi membantu anaknya untuk melakukan pekerjaannya. Si Ibu ini menunggu setiap nama pemenang yang disebutkan oleh pembawa acara dengan wajah tegang. Dan ketika di antara nama-nama yang disebutkan itu dia tidak mendapati nama anaknya, di depan semua orang si ibu ini marah besar pada anaknya. Si anak sendiri dengan wajah tertunduk sekalipun tidak berani membantah kata-kata si ibu. "Nanti di lomba menghias donat, ibu nggak mau tahu pokoknya kamu harus menang", kata si Ibu kemudian mengancam ketika lomba menghias donat yang juga diikuti anaknya akan segera dimulai.

Sama seperti lomba pertama, kali inipun si Matahari Kecil menikmati setiap detail kegiatannya, selalu tersenyum dan selalu menunjukkan wajah gembira. Dan anak yang disampingnya tadi, juga sama seperti saat lomba mewarnai, terus diteriaki oleh ibunya. Saat lomba menghias donat, anak tersebut posisinya jauh dari si Matahari kecil, tapi sesekali aku memperhatikannya dan kulihat seperti tadi, kali inipun ibunya sesekali membantu mengarahkan menunjukkan warna apa yang harus diberikan ke atas donat yang sedang dihias oleh anaknya.

Saat hasil lomba menghias donat diumumkan, tidak seperti lomba pertama, kali ini anak tersebut dinobatkan sebagai juara pertama. Aku melihat ada rona kelegaan di wajah si anak dan ada rona perasaan puas yang luar biasa di wajah ibunya.

Setiap keluarga Tionghoa, baik yang kukenal secara langsung, yang kudengar dari cerita orang maupun yang kubaca di buku atau yang kusaksikan di film-film, dalam mendidik anaknya kurang lebih semuanya memang bersikap seperti Ibu si anak yang mengikuti lomba mewarnai dan menghias donat di Carrefour ini. Mereka selalu memacu anaknya dengan keras untuk menjadi nomer satu di setiap aktivitas yang mereka ikuti, mereka tidak suka melihat anak mereka kalah, mereka selalu ingin anak mereka jadi pemenang apapun caranya.

Tentang hal ini digambarkan dengan sempurna dalam film karya Doug Atchinson yang berjudul "Akeelah and The Bee". Sebuah film yang menceritakan tentang lomba mengeja untuk anak-anak yang sangat populer beberapa tahun belakangan ini di Amerika.

Dalam film itu digambarkan bagaimana pertarungan untuk menjadi juara "Spelling Bee" se-Amerika antara seorang anak perempuan kulit hitam dan seorang anak laki-laki keturunan cina. Dalam salah satu adegan film tersebut digambarkan bagaimana bapak dari si anak cina tersebut memaksa anaknya yang telah dua kali secara berturut-turut menjadi juara nasional "Spelling Bee" untuk mempelajari ejaan berbagai kata-kata yang tidak umum. Si Bapak ini mengajari anaknya dengan keras diiringi bentakan bahkan kadang sambitan. Aku teringat pada adegan ini ketika menyaksikan ibu dari anak cina yang mengikuti lomba mewarnai di Carrefour tadi memarahi anaknya yang dianggapnya salah dalam melakukan pekerjaannya.

Apa yang ditunjukkan oleh si Ibu di Carrefour dan si bapak dalam film "Akeelah and The Bee" adalah gambaran umum dari sikap para orang tua Huaqiao alias etnis cina perantauan dalam membentuk anak mereka. Bentukan seperti ini kemudian tercermin dari sikap para Huaqiao setelah mereka dewasa. Mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik di setiap aktivitas apapun yang mereka ikuti. Beberapa dari mereka mencapainya dengan cara yang tidak jujur seperti yang ditunjukkan oleh si Ibu di Carrefour tersebut, tapi tidak sedikit yang mendapatkannya melalui usaha keras yang jauh melebihi usaha yang dilakukan oleh orang-orang non Cina.

Ketika aku masih SD, waktu naik ke kelas IV, mengikuti orangtuaku yang pindah ke Takengen, aku juga pindah sekolah dari SD Inpres Karang Jadi yang terletak di sebuah desa kecil di kaki Burni Telong di kecamatan Timang Gajah, ke SD negeri No. 1 Takengon.

Jika di sekolah lamaku, teman-temanku hanya ada satu orang etnis Aceh dan sisanya etnis Gayo dan etnis Jawa, di sekolah baruku ini aku mendapati selain dari etnis-etnis tersebut, ada teman baruku yang beretnis Minang dan juga banyak yang beretnis Cina. Dari 40 orang anak di kelas baruku itu ada 7 anak etnis Cina.

Meskipun ketujuh anak beretnis Cina di kelasku tersebut tidak pernah menjadi murid terbaik peraih rangking I sampai III, tapi aku bisa menyaksikan betapa keras usaha mereka untuk menjadi yang terbaik di kelas kami. Mereka gagal menjadi yang terbaik di kelas kami semata hanya karena faktor sial saja, karena entah apa penyebabnya, di angkatanku dulu, banyak sekali anak Gayo dan pribumi-pribumi lainnya yang dianugerahi oleh Tuhan kecerdasan di atas rata-rata. Sehingga khusus di angkatanku anak-anak Gayo inilah yang menjadi pemegang Rangking dari I sampai III di kelas, meskipun aku tahu persis usahaku dan teman-temanku anak-anak Gayo dalam belajar tidak pernah sekeras usaha teman-temanku beretnis Cina. Tapi setahun di atas kami, yang menjadi juara kelas tidak pernah lepas dari seorang anak etnis Cina bernama Julius.

Tapi, karena sejak kecil mereka memang sudah terbiasa berusaha dengan keras, sekarang, ketika kami semua sudah dewasa. Ke-7 teman-teman sekelasku yang beretnis Cina itu secara umum jauh lebih sukses dari kami, termasuk anak-anak pemegang rangking di saat kami masih SD dulu. Salah seorang teman sekelasku yang beretnis Cina di SD negeri No. 1 Takengon itu kabarnya sekarang ada yang menjadi seorang arsitek dengan reputasi Internasional.

Saat SMP, aku selalu menghadiri pengajian yang diselenggarakan di Mesjid Raya Ruhama. Pengajian tersebut diselenggarakan setiap habis Shalat maghrib sebelum Isya. Pengajian ini diasuh oleh seorang ulama aliran pembaharuan yang di Gayo dikenal sebagai 'Kaum Mude', bernama Tgk Abdul Jalil Bahagia atau lebih dikenal dengan nama Tengku Murni, yang diambil dari nama anak pertama beliau. Beliau ini merupakan penerus Tengku Abdul Jalil, tokoh ulama Gayo yang memperkenalkan aliran Islam pembaharuan (kaum mude) di Tanoh Gayo.

Salah seorang jamaah tetap pengajian ini adalah seorang muallaf etnis Tionghoa yang biasa kupanggil Bang Apuk. Bang Apuk ini adalah pemilik sebuah warung kopi di terminal labi-labi Takengen. Di sela-sela saat jeda pengajian, kami biasa mongobrol sambil minum kopi dan makanan penganan yang disumbangkan oleh jamaah (Bang Apuk sendiri adalah penyumbang tetap), waktu mengobrol seperti itu, Bang Apuk pernah menceritakan kepadaku alasan kenapa dia masuk islam.

Menurut Bang Apuk, salah satu alasan kenapa dia memilih masuk Islam adalah karena dia tidak kuat hidup sebagai Cina. Kata Bang Apuk, dalam masyarakat Tionghoa, hanya orang sukses yang dihargai. Almarhum Bapak Bang Apuk adalah salah seorang dari beberapa orang etnis Cina warga Takengen yang dikenal sebagai Cina Miskin. Oleh masyarakat etnis Cina di Takengen, orang-orang seperti orang tua Bang Apuk dianggap sebagai pembawa sial dalam komunitas mereka di kota kecil ini. Saat Bapak Bang Apuk meninggal dunia, menurut Bang Apuk bahkan mayatnyapun tidak boleh disentuh oleh orang Cina lainnya, karena dianggap akan menularkan kesialannya pada siapa saja yang menyentuhnya.

Kalau kita melihat dari kacamata moralitas yang kita anut berdasarkan tata nilai dalam adat dan kebiasaan kita, mungkin kita menyebut apa yang dilakukan oleh komunitas Cina di Takengen itu kejam. Tapi mari kita mencoba memahami situasi yang mereka hadapi di negara ini yang segala kebijakannya penuh tekanan terhadap etnis mereka. Di negara ini mereka tidak boleh memiliki tanah untuk dijadikan lahan pertanian, mereka tidak boleh menjadi pegawai negeri, mereka tidak boleh menjadi tentara dan polisi, bahkan bagi mereka untuk mendapatkan surat kewarganegaraan Indonesiapun begitu sulitnya dan ditambah berbagai tidak boleh lainnya, sudah begitu merekapun masih juga kita cemburui bahkan kita musuhi karena berbagai kesuksesan yang mereka raih.

Melihat dengan kacamata seperti itu, kita bisa memahami kalau apa yang saya ceritakan di atas adalah sebuah mekanisme pertahanan diri orang etnis Cina untuk bisa bertahan hidup dalam situasi faktual yang mereka hadapi di negara ini, apa yang mereka hadapi di sini mirip seperti situasi faktual yang dihadapi oleh kaum yahudi di masa lalu, di negara-negara tempat mereka tinggal.

Hasil nyata dari mekanisme pertahanan diri semacam ini terhadap orang etnis Cina bisa kita saksikan dan kita nilai dengan jelas. Kalau kita mau menilai dengan jujur, kita harus mengakui kalau dari semua etnis yang menghuni negara ini, secara kolektif bisa dikatakan etnis cina adalah yang paling unggul, baik secara ekonomi, pendidikan, olah raga, profesionalitas, dan lain-lain.

Ekonomi misalnya, di semua kota besar di Indonesia ini. Pertokoan di lokasi-lokasi strategis hampir semuanya dimiliki oleh Huaqiao. Di kota manapun yang aku kunjungi, wiraswastawan pribumi selalu menjadi kelas pariah yang jangankan mengalahkan, bersaing dengan etnis Cinapun mereka terkaing-kaing. Di Banyak kota di negara ini aku menyaksikan bagaimana becak-becak dayung milik kaum pribumi berjejeran di depan pertokoan milik etnis Cina di sela-sela lapak dagangan pribumi lain yang menumpang berjualan sayur di kaki lima pertokoan milik etnis Cina tersebut.

Bahkan ketika berjualan pisang goreng dan es krim ding dong pun, pisang goreng dan es krim ding dong buatan orang Cina kualitasnya lebih baik daripada buatan pribumi, sehingga dagangan mereka jauh lebih banyak pembelinya daripada dagangan yang sama milik pribumi.

Dari yang aku amati di kota-kota besar di Indonesia yang sudah pernah aku datangi, aku menemukan hanya ada tiga kota, yaitu Banda Aceh, Padang dan Denpasar yang pribuminya bisa mengimbangi etnis Cina, bersaing dalam segi ekonomi.

Prestasi di sekolah, kita bisa saksikan utusan Indonesia dalam berbagai olimpiade keilmuan, rata-rata anak etnis Cina, kita saksikan pula di sekolah-sekolah terbaik di negara ini, murid etnis apa yang menjadi mayoritas di sekolah-sekolah tersebut, jawabnya jelas CINA.

Olah raga, di setiap cabang olah raga yang ditekuni para Huaqiao di negara ini, kita bisa melihat atlet beretnis Cina terlihat jauh lebih menonjol dibandingkan pribumi, padahal jumlah mereka hanya kurang dari 5% dari penduduk negara ini. Lihat cabang Bulu Tangkis, kita tentu familiar dengan nama-nama para Huaqiao, mulai dari Rudi hartono, Liem Swie King, Christian Hadinata, Susi Susanti, Alan Budi Kusuma dan lain-lain. Diantara mereka menyelip nama-nama atlet Pribumi seperti Icuk Sugiarto dan Taufik Hidayat. Tapi mayoritas atlet Bulu Tangkis ternama berkelas dunia dari negeri ini adalah Huaqiao. Demikian juga di cabang tenis bahkan ketika Huaqiao menggeluti Tinju, kita mengenal Chris John sebagai juara dunia sekaligus petinju terbesar yang pernah dipunyai negara ini. Sayang para Huaqiao kurang tertarik menggeluti sepak bola, sehingga jadilah pemain sepak bola di negara ini berkelas di bawah rata-rata.

Dalam hal musik juga demikian, jika kita amati pemusik yang menggeluti musik klasik, anak-anak yang belajar biola dan piano maka kita akan menemukan fenomena yang sama, kebanyakan dari mereka adalah etnis Cina.

Di tataran Pop, mungkin pribumi lebih banyak berperan. Tapi di bidang musik pop inipun saksikanlah seorang penyanyi perempuan etnis Cina bernama Agnes Monica, lihat bagaimana serius dan kerasnya artis muda ini menempa dirinya untuk menjadi seorang artis yang profesional. Aku tidak pernah melihat ada artis lain di negara ini yang menempa dirinya sekeras dan seserius Agnes (bandingkan dengan artis seangkatannya, Dhea Ananda atau Eno Lerian, atau kalau mau lebih ektrim bandingkan dengan Sarah Azhari atau Julia Perez misalnya).

Selain karena wajahnya yang memang asli sangat cantik, sepertinya karakter dan profesionalitasnya yang membuatnya memancarkan aura kebintangan secara alami inilah yang membuat aku mengidolai Agnes Monica sejak dia masih menjadi penyanyi cilik dan menjadi host acara Tralala-Trilili dulu sampai dia dewasa seperti sekarang.

Dengan karakter yang dibentuk dan terbentuk seperti itu, tidak heran kalau Huaqiao, etnis cina yang minoritas ini bisa menguasai hampir 90% ekonomi negara berpenduduk hampir seperempat milyar yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia ini.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

Kamis, 19 Maret 2009

Demokrasi Kaum Penjudi dan Jurus Mabok Gus Dur yang Keluar Lagi

Sebentar lagi di negara ini akan diselenggarakan Pemilu untuk kesekian kalinya, sebuah kegiatan berbiaya tinggi yang diharapkan dapat mengubah wajah bangsa ini menjadi lebih baik dibanding sekarang.

Idealnya dalam hiruk pikuk menjelang Pemilu seperti ini, yang terjadi adalah kegairahan menyaksikan pertarungan ide antar kandidat yang mendedah persoalan yang dihadapi bangsa ini. Entah itu persoalan ekonomi, budaya sampai posisi kita yang berada di pinggiran dalam percaturan politik internasional.

Tapi yang terlihat di lapangan saat ini tidaklah seperti situasi ideal seperti yang saya katakan di atas. Menjelang Pemilu seperti ini, yang kita lihat di lapangan sama sekali bukan pertarungan ide, tapi lebih seperti sebuah pertarungan di meja judi dengan taruhan super besar dengan kemungkinan menang sangat kecil. Beberapa kandidat tidak populer tapi menghamburkan biaya besar untuk kampanye bahkan kemungkinan menangnya lebih kecil daripada memasang nomor togel.

Di lapangan kita melihat berbagai pamflet dan Baliho berbiaya besar yang diharapkan bisa menjadi jalan untuk mendapatkan sebuah kursi yang bisa memberi jalan untuk mendapatkan sepotong kekuasaan, yang memungkinkan si pemasang baliho untuk mendapatkan uang yang jauh lebih besar dari jumlah yang telah dia keluarkan.

Baliho dan pamflet itu menampilkan gambar orang yang 'berjudi' mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Bersama gambar-gambar itu selalu kita dapati berbagai tulisan dan janji-janji yang dangkal bahkan seringkali kosong tak berisi. Tulisan-tulisan itu intinya mengajak yang melihatnya untuk memilih orang dalam gambar itu sebagai anggota legislatif.

Bersama gambar wajah-wajah itu, kita sama sekali tidak bisa menemukan sebuah tulisanpun yang menjelaskan tentang ide besar yang mencerahkan ke arah mana bangsa ini akan dibawa. Yang ada hanya berbagai ucapan minta do'a restu, sebagai jualan atas kemampuan diri agar dia dipilih, yang dia tonjolkan adalah identitas fisik, baik itu keturunan, asal daerah, etnis dan agama. Sama sekali bukan pemikiran. Beberapa mendompleng nama-nama besar baik dari dalam maupun dari luar negeri. Di daerah pemilihan Malang raya di sekitar Tlogosari, Dampit sampai Turen aku menemui banyak baliho milik satu orang calon legislatif untuk DPR RI yang memampang gambar si kandidat ini sedang bersalaman dengan almarhum Yasser Arafat dengan tulisan besar namanya dengan program andalannya SAVE GAZA. Tulisan dan gambar di baliho ini membuat saya bingung, ini kandidat untuk legislatif Israel atau Indonesia. Karena aku pikir Baliho seperti ini lebih cocok buat ditempatkan di Knesset, sebuah kampung komunitas arab di Israel sana.

Tulisan-tulisan dalam berbagai baliho-baliho yang mencemari pemandangan yang kulihat di sepanjang perjalanan yang kuakukan itu mengingatkanku pada sebuah kalimat yang ditulis George Orwell dalam novel terkenalnya, 1984 (Nineteen Eighty Four) "Like ants, they see the small things, the big things they can't". Dalam bahasa melayu kata-kata Orwell ini kurang lebih berarti, "Seperti semut, mereka hanya bisa melihat hal-hal kecil, hal-hal besar luput".

Akibatnya, kita yang tinggal di pelosok manapun di negara ini, yang memiliki indera penglihatan normal, seolah dipaksa untuk menerima polusi pemandangan yang disebabkan oleh banyaknya pamflet dan baliho bergambar wajah-wajah tidak menarik. Mulai dari pinggir-pinggir jalan di kota-kota besar sampai ke pelosok-pelosok desa kecil yang terisolasi polusi semacam ini mau tidak mau harus kita terima.

Aku yang sering melakukan perjalanan berkeliling ke berbagai tempat yang memiliki pemadangan alam yang indah, benar-benar merasakan betapa tidak nyamannya setiap hari menghadapi polusi pemandangan semacam ini. Belakangan ini aku merasa sepertinya tidak ada satu tempatpun di bumi nusantara ini yang bisa dijadikan suaka untuk menghindari pencemaran pemandangan semacam itu. Di pinggir jalan sepanjang hutan alas kumitir, di tengah indahnya perkebunan cengkeh di Munduk, di tengah keindahan sawah bertingkat di Pupuan bahkan di tengah damai sentosanya Ranu Pani yang tersembunyi di dalam hutan di pelosok Tengger sanapun baliho dan pamflet dengan gambar wajah-wajah tidak indah ini tetap aku temukan.

Di banyak kota dan pelosok, misalnya seperti Kediri dan kota-kota kecil di sekitarnya baik di kabupaten Kediri sendiri, Malang maupun Jombang, di kota-kota kecil seperti Kandangan, Ngoro, Mojowarno, Cukir dan lain-lain, kita seringkali kesulitan untuk menuju ke suatu tempat karena minimnya papan penunjuk arah. Sangat menjengkelkan ketika kita tiba di tempat asing seperti itu dan bertemu dengan persimpangan kita tidak mendapati petunjuk perimpangan ini menuju kemana dan yang itu menuju kemana. Perasaan jengkel itu semakin menjadi-jadi ketika kita tidak mendapati papan penunjuk arah yang sangat berguna seperti itu, yang kita dapati di persimpangan itu justru jejeran baliho berisi gambar wajah-wajah tidak indah yang sama sekali tidak ada gunanya itu.

Mengenai hal ini, seorang klienku yang berasal Perancis pernah mengolokku. Saat itu jam 3 pagi dan suasana masih gelap, kami sedang menuju Bromo dari arah Malang, melalui Purwodadi lewat Nongko Jajar dan agak kelimpungan mencari jalan menuju Tosari untuk melihat Sunrise di Penanjakan. "Bagaimana negaramu ini" katanya, "Penunjuk arah yang sangat dibutuhkan tidak ada, tapi foto-foto yang tidak jelas gunanya itu ada dimana-mana, memangnya berapa sih harga papan penujuk arah itu", tanyanya menyindir. Aku diam saja, karena akupun heran juga, kok tidak ada satupun kandidat itu yang berpikir membuat papan penunjuk arah jalan yang berguna untuk orang lain dan membuat orang jadi lebih bersimpati padanya.

Karena berbagai alasan seperti di atas itulah meskipun MUI sudah mengharamkan golput, tapi aku tetap tidak akan mengubah preferensi politikku yang telah kuanut sejak aku pertama kali memiliki hak pilih.

Aku tidak mau memilih karena kulihat di negara ini, para penyelenggara negara bahkan yang masih calon sekalipun rata-rata bermental pemancing dan penjudi, bukan pengabdi dan pelayan masyarakat. Mereka rela menghamburkan banyak uang dan berharap untuk mendapatkan hasil yang lebih besar. Salah satu hasil nyata dari demokrasi kaum penjudi semacam ini adalah Ir. H Nasaruddin,MM, bupati kami di Aceh Tengah tercinta. Yang untuk mengembalikan modal kampanyenya bahkan Panti Asuhan yang menjadi tempat tinggal anak yatimpun tanpa sungkan diobjekkannya.

Memang benar, nasib Aceh juga dipertaruhkan pada pemilu kali ini. Akan ada kekacauan besar di tanah yang saya cintai itu kalau yang memenangkan pemilu adalah PDIP dan yang menjadi presiden adalah Megawati karena si Mbak yang ketuanya partainya wong cilik ini pernah dengan terang-terangan menyatakan ketidak sukaannya atas lunaknya sikap pemerintah yang memungkinkan terjadinya perdamaian di Aceh.

Tapi, kalaupun PDIP menang tapi kekuatan politik di Aceh sendiri solid dan gubernurnya tidak bersikap kekanak-kanakan seperti Irwandi sekarang. Aku pikir PDIP dan Megawati tidak akan bisa berbuat banyak. Karena itulah sebenarnya, kalau saja aku punya KTP Aceh dan tinggal di Aceh, aku sangat berpeluang mengubah preferensi politikku itu pada pemilu kali ini. Di Aceh aku mengenal banyak calon legislatif yang mempromosikan diri ini, beberapa di antaranya adalah teman baikku sendiri yang aku tahu persis kapasitas diri dan motif pencalonan dirinya. Dan kalau salah satu dari mereka aku pilih, akupun bisa langsung minta tanggung jawab mereka seandainya setelah terpilih mereka melenceng dari apa yang telah mereka janjikan.

Sayangnya KTP yang aku punya adalah KTP Jakarta, jadi aku merasa sama sekali tidak perlu membuang-buang waktu hanya untuk memberikan cek terbuka pada orang-orang yang tidak kukenal yang mempromosikan diri melalui baliho-baliho itu. Dan untungnya lagi, saat mengucapkan Syahadat yang kuakui sebagai Tuhan dalam Syahadatku adalah Allah, yang kusembah dalam sembahyangku juga Allah, bukan MUI. Tidak seperti MUI, Tuhan yang kuakui dan kusembah ini sangat fleksibel dalam menentukan halal dan haram. Dia tidak kaku seperti MUI, bagi Tuhanku ini, halal dan haramnya sesuatu sangat bergantung pada situasi faktual yang kita hadapi, bahkan daging babipun bisa dimakan dalam situasi sama sekali tidak ada makanan apapun lagi.

Tapi meskipun tidak ikut memilih, bukan berarti aku tidak berminat mengikuti lika-liku Pemilu kali ini. Ada banyak hal menarik dalam pemilu kai ini yang bagiku merupakan tontonan segar. Satu kejadian yang menarik untuk kuamati dari Pemilu kali ini adalah kejadian tersingkirnya satu pemain utama bahkan sebelum pertandingan di mulai. Pemain yang tersingkir sebelum bertanding itu bernama Gus Dur, orang yang sangat dihormati dan suaranya sangat didengarkan di seantero Jawa Timur, provinsi yang memiliki penduduk terbanyak di Indonesia. Gus Dur, pendiri PKB yang dalam dunia politik dikenal dengan jurus mabok-nya ini, disingkirkan oleh orangnya sendiri yang bernama Muhaimin Iskandar.

Sejak tersingkir dari persaingan, kulihat Gus Dur mulai memainkan jurus andalannya lagi. Beberapa waktu yang lalu dia mendekati PDIP, tapi tampaknya tidak berjalan mulus bahkan dia tampaknya telah membuat kesal orang-orang PDIP, beberapa waktu yang lalu Puan Maharani anak Megawati terang-terangan menunjukkkan kekesalannya pada Gus Dur. "Biasalah, Gus Dur suka mencari sensasi", katanya.

Melakukan perjalanan ke banyak daerah seperti yang sering kulakukan belakangan ini kadang memiliki efek yang sama dengan memiliki facebook, aku seringkali tanpa diduga bertemu di tempat tidak tidak terduga dengan orang yang pernah kukenal dalam beberapa waktu yang lama. Misalnya tanggal 27 februari yang lalu di stasiun kecil di kota kecil Kertosono aku bertemu Ratna, teman kuliah adikku di USU, yang terakhir bertemu denganku di Bukit Lawang 13 tahun yang lalu.

Tanggal 16 maret kemarin yang merupakan hari pertama kampanye terbuka Pemilu aku ke Bromo lagi, aku sarapan pagi di restorang Lava View yang terletak di salah satu sudut kaldera Tengger.

Di sana tanpa diduga aku bertemu dengan orang yang pernah kukenal hampir 10 tahun yang lalu yang ada kaitannya dengan kejadian menarik di pemilu ini yang sedang aku amati.

Orang yang pernah kukenal 10 tahun yang lalu dan kutemui lagi di Bromo ini bernama Siti Zanubah Chapsoh, tapi saat berkenalan denganku dulu dia mengenalkan diri dengan nama Yenny, orang-orang juga lebih mengenalnya dengan nama Yenny Wahid.

Yenny pertama kali kukenal sekitar akhir 1999, ketika aku bersama beberapa rekan sesama mahasiswa dan beberapa tokoh asal Aceh dari berbagai kalangan, mulai dari ulama, politisi, mahasiswa dan santri diundang oleh bapak Yenny yang bernama Abdurrahman Wahid yang saat itu bekerja sebagai Presiden RI. Saat itu kami semua diundang makan dan berbincang-bincang di rumahnya di Ciganjur. Waktu itu bapak Yenny mengundang kami dalam kapasitas profesinya saat itu.

Beberapa tokoh Aceh yang ikut saat itu, sekarang ada yang sudah dikenal secara nasional, seperti Bang Nasir Jamil yang anggota DPR dari PKS itu misalnya bahkan ada yang sudah jadi legenda seperti almarhum Sofyan Ibrahim Tiba, ada juga yang belakangan kudengar namanya begitu kuat gemanya secara lokal seperti Abu Panton yang beberapa waktu yang lalu sudah menulis buku. Sementara aku sendiri, sampai hari ini aku tidak pernah mengerti, saat itu namaku ada dalam daftar salah satu undangan itu dalam kapasitasku sebagai apa.

Di Lava View aku melihat Yenny ketika aku melintasi mejanya untuk mengambil sarapan, aku merasa familiar dengan wajahnya. Saat itu dia sedang berbicara serius dengan seorang laki-laki. Pembicaraan mereka terlihat serius dan akrab tapi tidak intim. Meski duduk menghadap meja yang sama, mereka duduk tidak terlalu rapat, di antara kursi yang mereka duduki bisa diletakkan satu kursi lagi.

Sementara berjarak tiga meja dari tempat mereka duduk tampak tiga orang berambut cepak yang sepertinya adalah pengawal mereka. satu berseragam polisi dan satu lagi berpakaian preman.

Saat melihatnya aku langsung menghampirinya "Yenny ya?", tanyaku. "Ee...Iya...", katanya dengan wajah agak bingung menatap ke arahku yang tampak sok akrab.
"Aku Win...kita pernah kenal sepuluh tahun yang lalu", kataku. Dahinya mengernyit mencoba mengingat dan tentu saja dia tidak ingat karena pasti begitu banyak orang yang dia kenal sekelibatan dan tidak pernah ada kontak apapun lagi kemudian.

"Dari Aceh, temannya Fuadri dan Bang Afdal Yasin, yang dulu diundang Gusdur ke Ciganjur tahun 99", Kataku dengan menyebut nama panggilan akrab bapaknya, sambil menyebut nama teman-temanku yang cukup akrab dengannya.

"Oo...iya, yang sama si itu...siapa namanya yang ketua Thaliban itu", Katanya yang mengingat momen itu. Momen yang salah satunya memiliki andil atas jatuhnya bapaknya dari kursi kepresidenan, karena ternyata uang yang digunakan oleh Bapak Yenny untuk membiayai kedatangan kami ke rumahnya waktu itu adalah uang dari Bulog yang merupakan bantuan dari Sultan Brunei, Hassanah Bolkiah. Masalah penggunaan uang Bulog yang salah satunya dipergunakan untuk membiayai kedatangan kami ini yang menurut lawan politik bapaknya saat itu tidak tepat peruntukannya itulah yang kemudian dijadikan alat masuk untuk menjatuhkan Bapak Yenny oleh lawan-lawan politiknya yang mulai gerah melihat gerakan Bapak Yenny yang arah-arahnya mulai mengancam kepentingan mereka.

"Bulqaini", kataku.
"Oh iya...", Katanya. Kami kemudian berbincang sedikit, dia menanyakan kondisi Aceh, apakah aku masih tinggal di Aceh dan lain sebagainya.

Lalu Yenny memperkenalkan temannya, laki-laki yang berbicara serius dengannya itu kepadaku.

"Aji..", kata temannya itu sambil mengulurkan tangannya.
"Win...", kataku, membalas uluran tangannya.

Sebenarnya aku tidak merasa asing dengan wajah teman Yenny yang bernama lengkap Aji Massaid yang dulu berprofesi sebagai model dan pemain sinetron ini, tapi aku tidak mau terlihat sok akrab karena memang baru kali ini aku berkenalan secara langsung dengannya.

Sejak lima tahun yang lalu Aji menjalani profesi sebagai anggota DPR dari Partai Demokrat, sehingga mudah ditebak kalau pembicaraan mereka yang tampak begitu serius tidak lain adalah urusan politik. Mengingat beberapa waktu yang lalu Yenny saat itu menjabat Sekjen PKB bermasalah dengan ketuanya Muhaimin Iskandar yang kemudian dimenangkan oleh pengadilan dan membuat Yenny terpental dari PKB, aku menduga perbincangan antara Yenny dan Aji di Lake View ini adalah manuver menjelang Pemilu yang ada hubungannya dengan pengalihan suara dari konstituen Yenny kepada Aji untuk menggembosi suara PKB yang diketuai Muhaimin. Ketika itu kutanyakan Yenny mengiyakan, memang rencananya suara pendukungnya di Probolinggo akan diarahkan ke Aji. Jadi waktu itu mereka sepertinya sedang berbicara deal-deal dan kompensasi. Kemudian aku meninggalkan mereka untuk melanjutkan pembicaraan serius mereka dan makan di mejaku bersama dua orang klienku.

Saat aku selesai makan dan bersiap berangkat kulihat mereka berdua masih serius dan akupun pamitan pada mereka berdua. Saat mau pergi, mereka berdua kuajak berfoto dan sebelum pergi kepada Aji kutanyakan apakah dia keberatan fotonya bersama Yenny kupublish di fecebook-ku. Aku merasa perlu menanyakan itu, mengingat status profesi Aji di masa lalu membuatnya sering dijadikan sasaran gosip oleh 'wartawan' infotainment yang suka membuat berita seenak perut sendiri. " Gosip apa?...ini kan urusan politik, silahkan aja", kata Aji. Dan akupun pergi melanjutkan perjalananku melalui Ranu Pani, Senduro, Lumajang menuju Ijen Resort di desa Randu Agung, Banyuwangi.

Entah apa hasil pembicaraan Yenny dengan Aji, malamnya saat aku menginap di Ijen Resort dan menyalakan televisi dalam kamarku. Jam 20.00 Kulihat di TV One, Abdurrahman Wahid, Bapak Yenny menyatakan mendukung Gerindra, partainya Prabowo. Jam 22.00, Partai Demokrat, partainya Aji dengan ketuanya Hadi Utomo dan Anas Urbaningrum bersama Muhaimin Iskandar ketua PKB yang menjadi lawan politik Yenny tampak sedang berancang-ancang untuk berkoalisi.

Kemarin, di Aditya Resort di Lovina, sepulang dari berperahu melihat lumba-lumba, aku membaca Jakarta Post bertanggal 18 maret. Di situ diberitakan Yenny seperti juga bapaknya mendukung Gerindra.

Entah bagaimana nasib pembicaraan Yenny dengan Aji, apakah ini bentuk manuver jurus mabok, khas Abdurrahman Wahid atau memang deal dengan Aji dan Demokrat tidak sesuai harapan...entahlah.

Aku yang ada di luar gelanggang dunia politik praktis ini baru akan tahu setelah hasil pertandingan yang akan dilaksanakan tanggal 9 maret ini diumumkan.

Wassalam

Win Wan Nur

Senin, 09 Maret 2009

Demokrasi Biaya Tinggi dan KORUPSI 3G

Sejak reformasi bergulir ada banyak perubahan yang terjadi di Indonesia. Salah satu perubahan yang paling nyata terlihat adalah sistem perpolitikan yang menjadi lebih demokratis.

Demokrasi sebagaimana halnya produk apapun buatan manusia, selalu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Sisi mana yang dominan, semua tergantung kepada manusia-manusia yang menjalankannya.

Pengalaman buruk pada masa otokrasi dibawah Soeharto membuat orang Indonesia berpaling kepada demokrasi. Tuntutan atas keterbukaan, desentralisasi dan pemberian peran yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola diri sendiri semakin mengemuka dan akhirnya mengkristal dan diwujudkan menjadi otonomi daerah.

Di masa orde baru, penunjukan kepala pemerintahan dari pusat sampai ke daerah dilakukan oleh anggota parlemen. Untuk kepala daerah baik itu tingkat I ataupun tingkat II, penunjukannya selalu harus dengan persetujuan dari kepala pemerintahan yang lebih tinggi. Cara seperti ini diyakini sebagai sumber dari berbagai macam penyalahgunaan kekuasaan yang marak terjadi di masa lalu yang sering diakibatkan oleh politik balas budi.

Karena itu setelah anggota parlemen pasca reformasi terpilih, berbagai perangkat undang-undangpun mereka luncurkan. Salah satunya adalah diputuskannya untuk mengganti sistem pemilihan kepala pemerintahan yang lama denga sistem pemilihan langsung. Sistem seperti ini sudah berjalan selama beberapa tahun belakangan.

Seperti halnya semua sistem yang ada di dunia ini, sistem demokrasi dengan pemilihan langsung inipun bukanlah sebuah sistem yang sempurna. Sistem apapun yang diterapkan dalam politik, kegagalan atau keberhasilannya lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan karakkter manusia yang menjalankannya. Jadi, meski diyakini memiliki banyak sisi positif, tapi sistem demokrasi dengan pemilihan langsung inipun tetap menyimpan banyak sisi negatifnya. Salah satunya sisi negatif dari model pemilihan langsung ini adalah timbulnya Demokrasi berbiaya tinggi yang membutuhkan ongkos sangat besar, baik dari negara sebagai penyelenggara dan terutama dari para aktor yang terlibat dalam kontes demokrasi yang diselenggarakan.

Ide besar dari demokrasi dengan pemilihan langsung ini sebenarnya adalah memberi peran atau kekuasaan lebih besar bagi rakyat yang memilih sendiri pemimpinnya untuk mengontrol dan mengkritisi jalannya pemerintahan yang dijalankan oleh pemimpin yang mereka pilih. Hanya saja, supaya rakyat bisa mengontrol dan mengkritisi berbagai kebijakan dan jalannya pemerintahan hasil pilihan mereka, dibutuhkan beberapa syarat dan kondisi.

Syarat dan kondisi itu diantaranya adalah tersedianya informasi dan pengetahuan yang memadai di kalangan rakyat. Tanpa itu tentu saja sikap kritis tidak bisa muncul dan yang terjadi adalah rakyat pemilih mengamini seluruh kebijakan pemerintah yang mereka pilih sendiri, rakyatpun tidak sadar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkjan oleh pemerintah itu banyak yang bersikap manipulatif dan merugikan mereka.

Pertanyaannya, darimana informasi tersebut bisa didapatkan oleh rakyat. Seharusnya disinilah posisi PERS sebagai pilar keempat dalam demokrasi berdiri. PERS seharusnya mampu dan harus memberikan informasi-informasi kritis yang dibutuhkan oleh rakyat untuk mengontrol pemerintahan hasil pilihan mereka.

Di banyak daerah hal ini tidak terjadi. Salah satu daerah yang seperti itu adalah Aceh Tengah, tempat kelahiran saya. PERS di sini bukannya memberikan informasi kritis, tapi lebih tepat dikatakan sebagai Humas dari pemerintahan. PERS di daerah ini hampir tidak pernah menyoroti kinerja pemerintahan secara kritis. Kalaupun ada itu hanya ulasan terhadap kulit luar yang seringkali lebih menonjolkan sisi emosional daripada data faktual.

Kondisi seperti inilah yang membuat sistem demokrasi dengan pemilihan langsung di daerah saya bisa dikatakan gagal total. Sistem demokrasi biaya tinggi ini di daerah saya bukannya makin mensejahterakan rakyat, tapi malah membuat para penyelenggara pemerintahan yang saya akui memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata menjadi lebih kreatif membuat berbagai inovasi mengagumkan dalam menciptakan korupsi generasi baru yang meminjam istilah teknologi telepon seluler terbaru saya istilahkan sebagai KORUPSI 3G.

Di atas, saya sudah mengulas tentang besarnya biaya yang dikeluarkan oleh negara dan para aktor yang terlibat dalam demokrasi dengan sistem pemilihan langsung.

Ongkos yang dikeluarkan negara memang besar dan mau tidak mau harus ditanggung oleh rakyat juga, karena uang yang diperuntukkan untuk ongkos demokrasi itu sebenarnya bisa dipergunakan untuk keperluan lain, entah itu pos pendidikan atau kesehatan yang lebih langsung terasa manfaatnya kepada rakyat. Tapi meskipun besar dan bisa dimanfaatkan untuk pos lain, ongkos yang dikeluarkan oleh negara itu sebenarnya tidak berpengaruh terlalu signifikan terhadap sejahtera atau tidaknya rakyat.

Yang berpengaruh sangat besar terhadap kesejahteraan rakyat adalah besarnya ongkos yang dikeluarkan oleh kontestan yang memenangi kontes demokrasi tersebut.
Besarnya ongkos yang dikeluarkan oleh kontestan untuk membiayai kampanye di saat pemilihan ini berpengaruh besar karena biasanya kontestan yang mengikuti pemilihan menggandeng berbagai pihak untuk mendukung pendanaan di saat pencalonannya. Pihak yang mendukung ini tentu saja pihak yang memiliki dana untuk dikucurkan kepada para kontestan dan pemilik dana ini siapa lagi kalau bukan pengusaha.

Ketika si kontestan terpilih menjadi pemenang, mau tidak mau dia harus membuat prioritas kebijakan yang menguntungkan suporternya yaitu para pengusaha yang menjadi penyandang dananya saat kampanye.

Di Aceh Tengah tempat asal saya, Pengusaha itu artinya adalah kontraktor, baik itu bidang konstruksi maupun pengadaan. Dan di daerah ini, perusahaan milik para pengusaha semacam itu bisa dikatakan hampir 100% mengandalkan proyek dari pemerintah. Berjalan atau tidaknya usaha semacam ini jarang sekali ditentukan oleh reputasi atau kualitas pekerjaan yang bisa ditawarkan oleh perusahaan. Tapi hidup matinya perusahaan semacam ini sangat bergantung pada dari dekat tidaknya hubungan sang pengusaha dengan si pemilik proyek a.k.a penguasa.

Praktek seperti ini memang tidak bisa dihindari dan sudah berjalan sejak lama dan tidak bisa kita ubah dalam waktu sesaat saja. Jika si kontraktor anu dekat dengan bupati polan maka dialah yang berjaya selama masa pemerintahan sang bupati. Ketika bupati berganti dengan si polin si kontraktor itu yang mendapat banyak pekerjaan. Polanya memang sudah seperti itu. Dan kalau kita berbicara soal kualitas peklerjaan antara kontraktor satu dan kontraktor lain juga tidak beda jauh. Praktek manipulasi kualitas pekerjaan selalu terjadi siapapun yang menjadi bupati dan siapapun yang menjadi kontraktornya. Jadi soal seperti ini tidak terlalu penting untuk kita bahas.

Bedanya, jika di masa lalu, proyek yang kualitasnya dimanipulasi dan uangnya dikorupsi itu selalu adalah proyek-proyek yang memang dibutuhkan oleh rakyat. Entah itu jalan tembus ke perkebunan, gedung sekolah, jembatan dan lain sebagainya. Yang meskipun kualitasnya tidak sesuai dengan standar yang diharapkan, tapi masih bisa dimanfaatkan.

Sekarang, karena besarnya tekanan dari para pengusaha penyandang dana kampanye dan kesadaran akan singkatnya masa tugas seorang bupati. Maka sekarang kebutuhan atas ketersediaan proyek untuk memberi kesempatan pada para penyandang dana kampanye bisa bekerja menjadi semakin tinggi.

Akibatnya sekarang sebuah proyek dikerjakan bukan lagi berdasarkan analisa atas kebutuhan rakyat melainkan atas kebutuhan KONTRAKTOR. Pokoknya ada proyek, sehingga diciptyakanlah berbagai proyek berbiaya mahal yang sebenarnya tidak perlu dibuat dan sama sekali tidak dibutuhkan oleh rakyat.

Salah satu dari proyek semacam ini adalah proyek pembangunan gedung Panti Asuhan Budi Luhur yang berbiaya 1,8 Milyar dari Dana Otsus dan Migas.

Dalam sambutannya saat peresmian gdeung baru panti asuhan ini, Bupati Aceh Tengah Ir. H. Nasaruddin,MM mengatakan penghuni panti yang berjumlah 120 orang menjadi saksi hidup bagaimana rasanya berada dalam satu ruangan yang sudah penuh sesak baik almari, dan kasur yang saling berhimpitan, belum lagi MCK yang seadanya terkesan kumuh dan tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

Ini jelas omong kosong,pemutar balikan fakta dan bisa disebut sebagai penipuan. Saya adalah salah satu orang yang terbiasa tidur dalam ruangan yang dikatakan sudah penuh sesak oleh Nasaruddin tersebut. Fakta yang saya ketahui yang kurang di Panti Asuhan Budi Luhur adalah PENGHUNI. Pengasuh Panti Asuhan di saat saya tinggal di sana, tiap beberapa hari sekali selalu didatangi oleh kerabat dari anak-anak yatim yang miskin yang menginginkan anak tersebut diterima di panti Asuhan Budi luhur supaya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Tapi pengasuh panti asuhan yang sangat saya kenal baik ini dengan sangat berat hati terpaksa menolak menerima karena dana yang tersedia hanya mencukupi untuk membiayai anak-anak sejumlah itu saja.

Sementara itu ruangan di Panti asuhan Budi Luhur malah berlebih. Ada tiga gedung di Panti Asuhan ini yang sengaja dikosongkan, satu dijadikan kantor, satu pernah dijadikan Mushalla dan satu lagi dijadikan gudang. Semua gedung itu dikosongkan karena memang tidak dibutuhkan karena penghuninya tidak mencukupi. ,

Tapi ketika Ir. H. Nasaruddin,MM, 120 orang anak panti tinggal berhimpitan juga tidak sepenuhnya salah. Karena pada saat gedung ini diresmikan, sebagaian lahan Panti Asuhan Budi Luhur sudah dijual oleh Nasaruddin kepada BPD Aceh. Dalam bagian lahan Panti Asuhan Budi Luhur yang dijual tersebut terdapat empat gedung asrama yang paling besar kapasitasnya. Masing-masing gedung yang terletak di atas lahan yang dijual oleh Nasaruddin ini mampu menampung tiga puluh orang anak.

Gedung yang tersisa di lahan panti asuhan Budi Luhur yang tidak dijual kepada BPD tinggal 1 gedung untuk anak-anak SD yang bisa memuat 10 orang anak dan satu gedung untuk penghuni perempuan yang mampu menampung 15 orang anak. Ditambah dengan rumah pengasuh panti dan ruang makan. Ir. H. Nasaruddin,MM benar, kalau gedung yang tersisa di lahan yang tidak dia jual itu yang difungsikan untuk menampung 120 orang anak panti. Jelas yang terlihat akan seperti suasana dalam Kamp Konsentrasi di zaman Nazi.

Yang lebih menarik lagi, di atas lahan yang dijual Nasaruddin juga terdapat sebuah rumah ibadah yang dibangun oleh pengurus panti yang lama dengan pendanaan yang sepenuhnya berasal dari donatur bebas yang merasa bertanggung jawab atas keberadaan anak-anak yatim di Panti Asuhan Budi Luhur. Kini setelah lahannya dijual oleh Nasaruddin, rumah ibadah tersebut bukan lagi milik Panti Asuhan Budi Luhur.

Dalam kata sambutannya saat meresmikan Panti Asuhan Budi Luhur yang dipublikasikan oleh Humas Pemda Aceh Tengah dengan mata berkaca-kaca Nasaruddin mengatakan Pembangunan gedung baru panti asuhan budi luhur ini masih memerlukan pembangunan sarana ibadah (mushola) lengkapnya baca di http://www.nad.go.id/index.php?option=isi&task=view&id=3686&Itemid=2

kata-kata Nasaruddin ini bisa jadi adalah ancang-ancang untuk rencana proyek tahun depan, yaitu membangun gedung Mushalla yang memang benar sangat dibutuhkan oleh Panti Asuhan Budi Luhur saat ini. Proyek yang bisa jadi bernilai beberapa ratus juta dan kembali akan dikerjakan oleh salah seorang anggota Tim Suksesnya di masa kampanye dulu.

Benar-benar kreatifitas yang luar biasa dari seorang bupati yang relijius, bergelar Insinyur dan magister ekonomi.

Inilah yang saya sebut sebagai korupsi generasi baru, inilah KORUPSI 3G.


Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur
www.winwannur.blogspot.com

Jumat, 06 Maret 2009

Panti Asuhan Budi luhur dan Aroma Korupsi Sang Bupati

Dua hari yang lalu, gedung baru untuk Panti Asuhan Budi Luhur yang pernah menjadi rumah saya dalam waktu yang cukup lama akhirnya diresmikan juga. Saya mengetahuinya dari sebuah postingan dalam sebuah milis yang saya ikuti.

Ketika membacanya emosi saya langsung tersulut dan menyemburkannya kepada Nasaruddin, bupati yang bertanggung jawab atas penjualan lahan dan pembangunan gedung baru Panti Asuhan ini.

Tulisan saya tersebut langsung ditanggapi oleh seorang miliser bernama Aulia, yang langsung menggurui saya dengan mengatakan "Bang Win, kita justru sebaliknya mesti bersyukur, pemda mau ngurus anak2 yatim itu. Kalo bukan pemda dan kita, siapa lagi yang mau ngurus. 120 anak yatim itu mestinya jg tanggung jawab kita bersama. Dan itu bukan jumlah yang sedikit. Apayang udah kita lakukan buat mereka??? Ada yang berani jawab???"

Saya merasa miris membaca tulisan yang begitu mengagungkan Pemda ini, apalagi ketika dia mengatakan SEHARUSNYA kita bersyukur karena pemda mau ngurus 120 anak yatim itu. Ucapan ini mengingatkan saya pada Harmoko, menteri penerangan di masa orde baru dulu yang terkenal dengan ucapan khasnya "menurut petunjuk bapak presiden" dan para penjilat yang satu spesies dengannya yang sangat umum kita temukan dalam jumlah yang melimpah ruah di zaman orde baru dulu.


Menurut saya, tulisan ini jelas adalah propaganda murahan dan menyesatkan khas pemerintahan di masa lalu, yang terbiasa memanipulasi fakta untuk membodoh-bodohi rakyatnya.

Indikasi adanya pembodohan ini terlihat jelas dari pernyataannya yang mengatakan bahwa anak-anak yatim itu diurusin oleh Pemda. Melalui kata-kata ini penulis ini seolah-olah mengatakan anak-anak Panti Asuhan itu bisa hidup karena kebaikan hati pemda di bawah pimpinan Nasaruddin sebagai bupati.

Pernyataan ini jelas sesat, karena dari dulu itu anak yatim di Panti Asuhan itu dibiayai oleh Depsos, mungkin kali ini sudah ada dana khusus ke sana dari pemda tapi itu bukan dana dari kantong pribadi mereka. Sudah ada dana khusus yang memang sudah HAK anak-anak yatim itu.

Ketika dia katakan 120 anak yatim itu adalah jumlah yang banyak ini juga sesat. 120 adalah jumlah yang sangat sedikit untuk ukuran kabuapten dengan jumlah penduduk sebanyak Aceh Tengah. Buktinya sedikitnya jumlah 120 adalah fakta bahawa di Aceh Tengah masih banyak Panti Asuhan Non Pemerintah yang menampung anak-anak yatim dari kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang tidak mampu ditampung oleh Panti Asuhan Budi Luhur.

Jadi kalaulah PEMDA yang dia puja-puja itu mengeluarkan uang 1,8 milyar itu niatnya memang tulus untuk membantu anak yatim. Maka uang itu jelas akan jauh lebih berguna jika digunakan untuk menambah kapasitas Panti yang sekarang cuma mampu menampung 120 orang anak itu.

Dengan uang sebanyak itu sebenarnya PEMDA yang sangat dia banggakan itu bisa membangun beberapa gedung sederhana di bagian tanah panti yang sudah mereka jual ke BPD Aceh Tengah. Itu kalau PEMDA mau menambah kuantitas pelayanan.

Kalau Pemda mau menambah kualitas, dana sebanyak itu bisa dijadikan dana abadi untuk menunjang pendidikan anak-anak panti yang berprestasi supaya bisa kuliah sampai di perguruan tinggi. Katakan dari dana sebesar itu bisa didapatkan keuntungan 1% saja sebulannya. Maka akan ada uang 18 juta per bulan, yang lebih dari cukup untuk membiayai sepuluh orang anak Panti yang berprestasi sampai tamat kuliah. Sehingga tidak seperti sekarang, anak-anak Panti yang berprestasi harus menunggu kebaikan para dermawan untuk bisa melanjutkan kuliahnya dan beresiko gagal di tengah jalan karena kekurangan pasokan dana. Hal seperti ini pernah terjadi belum lama ini terhadap seorang alumni Panti Asuhan ini yang bernama Mukti yang diterima di ITB (Institut Teknologi Bandung) tapi terpaksa D.O di semester 5 karena ketiadaan biaya.

Tapi kenapa pilihan-pilihan seperti yang saya katakan itu tidak diambil oleh PEMDA yang sangat dibanggakan oleh Aulia yang mengomentari tulisan saya ini?...jawabannya adalah karena kalau peruntukan uang tersebut untuk menambah kapasitas panti, proyeknya terlalu kecil. Sehingga dari uang yang 1,8 milyar itu, bupati dan para TIM SUKSES yang dulu membantunya menjadi bupati tidak akan mendapatkan apa-apa. Kalau digunakan untuk menambah kapasitas panti, uang tersebut tidak akan bisa dialokasikan untuk membuat proyek fisik berskala besar yang pengerjaannya diberikan kepada para kontraktor yang dulu menjadi TIM SUKSES Bupati Nasaruddin, pimpinan PEMDA Aceh Tengah yang begitu dibanggakan oleh yang mengomentari tulisan saya ini.

Lalu ketika dia bertanya, "Apa yang udah kita lakukan buat mereka??? Ada yang berani jawab???"...ya jelas saya sebagai mantan penghuni Panti Asuhan Budi Luhur yang tahu persis detail isi dapur panti asuhan ini berani menjawabnya.

Jawaban pertama saya terhadap pertanyaannya ini adalah "pertanyaan ini salah". Kesalahan pertanyaan ini terletak pada kata KITA yang dia gunakan dalam pertanyaan tersebut, Ketika Aulia mengatakan KITA berarti yang dia maksudkan adalah dia sendiri dan semua orang yang membaca tulisannya. Padahal masalah yang dia tanyakan tersebut adalah masalahnya sendiri bukan masalah orang-orang yang membaca tulisannya.

Pertanyaan yang dia lontarkan ini juga adalah pertanyaan yang terlalu angkuh dan semena-mena, seolah-olah dialah pusat dunia. Sehingga kalau dia tidak pernah berbuat berarti orang lain juga pasti tidak berbuat. Ini adalah logikanya orang gila. Saya sebut begitu karena tidak seperti dia yang tidak pernah berbuat apa-apa, bisa jadi beberapa pembaca tulisannya telah banyak berbuat untuk Panti Asuhan Budi Luhur.

"Ketika dia katakan, 120 anak yatim itu mestinya jg tanggung jawab kita bersama". Itu bukan hanya mestinya tapi memang begitulah kenyataannya dan begitulah yang sudah terjadi selama ini yang saya lihat, saksikan dan alami sendiri selama keberadaan saya di Panti Asuhan Budi Luhur.

Uang dari PEMDA dan Departemen Sosial yang diterima oleh Panti Asuhan Budi Luhur selama ini, sebenarnya sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anak-anak Panti Asuhan itu secara layak.

Uang untuk makan mungkin cukup. Tapi untuk pembayaran uang kegiatan sekolah dan SPP, jajan, pakaian sekolah, pakaian lebaran, buku-buku, olah raga, ekstra kurikuler lainnya dan lain sebagainya. Uang untuk kebutuhan-kebutuhan itu sama sekali tidak mencukupi kalau Panti Asuhan Budi Luhur hanya dengan mengandalkan uang dari Pemerintah.

Lalu kenapa selama ini anak-anak panti asuhan itu bisa mengenakan pakaian sekolah yang layak, buku sekolah yang memadai, punya uang jajan, kebutuhan gizi yang mencukupi, berprestasi dalam bidang olah raga dan seni?...bahkan beberapa anak yang berprestasi dari Panti Asuhan ini bisa kuliah sampai di ITB segala.

Itu adalah karena KAMI (saya sebut begitu karena si penulis komentar ini tidak termasuk di dalamnya) orang-orang Aceh Tengah dan Bener Meriah merasa anak-anak di Panti Asuhan Budi Luhur itu adalah tanggung jawab kami bersama. Dana untuk kebutuhan seperti itu datang dari sumbangan orang-orang Aceh Tengah dan Bener Meriah yang merasa bertanggung jawab terhadap anak-anak yatim yang tinggal di Panti Asuhan itu.

Siapa para penyumbang yang merasa bertanggung jawab terhadap para anak yatim di Panti Asuhan itu?...Semua kalangan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, tidak peduli apa profesi, suku dan agamanya. Mulai dari orang Gayo tukang becak, kenek labi-labi, kontraktor, pegawai negeri sampai toke Kopi. Lalu orang Batak penjual kain monza, orang Aceh penjual ikan dan kelontong, orang Minang penjual nasi padang dan kain di pasar inpres, sampai pedagang Cina penjual, emas, elektronik dan lain-lainnya. Para penyumbang itu kadang berasal dari Jamat,Isak, Angkup, Ponok Baru, Wih Tenang dan lain sebagainya. Bahkan para penyumbang itu bukan hanya warga Aceh Tengah dan Bener Meriah saja. Malah ada orang Cina warga negara Taiwan yang secara teratur menyumbang ke Panti Asuhan ini setiap tahunnya. Dia menyumbang ke Panti Asuhan ini karena bapaknya dulu tinggal di Takengen. Dulu sewaktu dia masih kecil, bapaknya selalu menyumbangkan sesuatu entah itu uang atau pakaian atau kue-kue ke Panti Asuhan ini. Kebiasaan bapaknya ini tetap diikuti oleh anaknya yang sekarang telah menjadi warga negara taiwan ini, meskipun anaknya itu sekarang bukan lagi warga RI. Tapi si anak pernah tinggal di Takengen ini tetap merasa memiliki tanggung jawab pribadi terhadap nasib anak-anak yatim penghuni Panti Asuhan Budi Luhur.

Mereka ini tidak pernah sepi menyumbang ke Panti Asuhan Budi Luhur melalui sumbangan yang berbagai bentuk. Entah itu berupa uang tunai, beras, pakaian, kue-kue sampai kambing, kerbau dan sapi. Pernah saking banyaknya kambing yang disumbangkan ke Panti Asuhan ini saat hari raya Idul Adha, saya dan beberapa orang anak panti lainnya yang sudah cukup besar, terpaksa mendapat tugas tambahan menguliti tiga ekor kambing seorang dalam satu hari.

Sumbangan-sumbangan tanpa pamrih yang selama ini mengalir deras ke Panti Asuhan Budi Luhur itu ADALAH BUKTI JELAS TANGGUNG JAWAB dan RASA MEMILIKI warga Aceh Tengah dan Bener Meriah terhadap panti Asuhan Budi Luhur yang sama sekali tidak pernah dipedulikan oleh si penulis komentar tulisan saya itu.

Berkat dukungan yang begitu besar yang diberikan warga Aceh Tengah dan Bener Meriah pada Panti Asuhan Budi Luhur, pada ada pertengahan tahun 90-an, Panti Asuhan ini dianugerahi gelar PANTI ASUHAN TERBAIK Se-INDONESIA oleh Presiden saat itu yang masih dijabat oleh Soeharto.

Lalu berkat dukungan masyarakat yang begitu besar di dalam kompleks Panti Asuhan itu, dulu sempat berdiri sebuah mesjid yang dibangun tanpa sepeserpun dana dari PEMDA, Mesjid itu dibangun sepenuhnya dengan uang sumbangan orang-orang ACEH TENGAH dan BENER MERIAH yang merasa anak-anak yatim penghuni panti Asuhan Budi Luhur adalah tanggung jawab mereka bersama.

Mesjid itu terletak di bagian tanah Panti yang sekarang telah menjadi milik BPD Aceh karena dijual oleh NASARUDDIN.

Setelah menjual mesjid yang dibangun atas sumbangan orang-orang ACEH TENGAH dan BENER MERIAH yang merasa anak-anak yatim penghuni panti Asuhan Budi Luhur adalah tanggung jawab mereka bersama. Mesjid yang selama ini digunakan sebagai tempat beribadah oleh anak-anak yatim penghuni panti dan warga sekitarnya. Dengan air mata buayanya saat peresmian gedung Panti yang dikerjakan para Tim Suksesnya, bupati Ir. H. Nasaruddin,MM yang sangat suka mengutip ayat-ayat suci Al Qur'an ketika bertemu warganya itu mengatakan Panti Asuhan ini masih memerlukan keberlanjutan pembangunan sarana ibadah (mushola).

Kalau saya ada di sana waktu peresmian itu, pasti sudah saya lempar telur busuk itu muka munafiknya.

Lalu ketika saya membaca dalam berita yang dipost oleh Humas pemda Aceh Tengah itu menggambarkan seolah-olah keadaan anak-anak Panti Asuhan itu sekarang jauh lebih baik ketika Aceh Tengah di bawah pimpinannya. Hal sebaliknya saya dapatkan ketika saya datang sendiri ke Panti Asuhan itu.

Beberapa waktu yang lalu, saat saya mengunjungi Panti Asuhan yang pernah lama menjadi rumah saya ini, saya mendapatkan cerita yang jauh berbeda dari gambaran yang dipublikasikan oleh HUMAS PEMDA melalui siaran persnya. Saat saya berkunjung sendiri ke panti Asuhan itu. Ketika meilihat saya datang, adik-adik saya penghuni panti asuhan itu langsung mengadu kepada saya. Mereka mengatakan bahwa kondisi panti asuhan sekarang jauh lebih sulit dibandingkan kondisi saat saya masih berada di sana dulu. Menurut adik-adik ini sekarang ketika mereka minta uang untuk keperluan sekolahpun pengurus panti sering mengatakan TIDAK ADA DANA.

Saya melihat cukup banyak kejanggalan dan bau-bau kolusi dalam pembangunan gedung panti asuhan ini. Tapi begitulah wartawan-wartawan yang ada di Aceh Tengah sepertinya memang tidak berminat untuk mengangkat masalah-masalah seperti ini. Karena memang sudah menjadi rahasia umum kalau meskipun tidak semuanya, tapi rata-rata wartawan yang mangkal di kabupaten ini biasa mendapatkan amplop dari Humas Pemda.

Kejanggalan-kejanggalan dalam urusan penanganan Panti Asuhan ini semakin terlihat kentara saat kita melihat fakta bahwa penjualan lahan panti asuhan yang dilakukan oleh Nasaruddin beberapa waktu yang lalu juga sangat kental kesan ditutup-tutupi. Buktinya, jangankan orang Gayo yang tinggal di luar Aceh Tengah. Bahkan para warga yang tinggal di sekitar Panti Asuhan Budi Luhur yang sempat saya temuipun rata-rata tidak mengetahui kalau bagian paling strategis lahan Panti Asuhan itu sudah dijual oleh BUPATI.


Keadaan ini diperburuk oleh sikap umum sebagian besar masyarakat di Aceh Tengah yang kurang kritis terhadap kebijakan Pemda dan kemungkinan penyalah gunaan kekuasaan oleh penyelenggaranya. Contohnya ya seperti si penulis komentar ini (seandainya benar dia cuma rakyat biasa dna bukan bagian dari pemda), dengan membaca informasi yang ada dalam siaran pers yang dipublikasikan oleh Humas Pemda, dia langsung menelan bulat-bulat dan mensyukurinya.

Di Aceh Tengah, Kalaupun ada sorotan dari masyarakat terhadap bupati, biasanya itu bukan soal kinerjanya, tapi urusan pribadinya. Seperti dulu tahun 1992 ketika TM. Yusuf Zainoel dilengserkan dari jabatannya karena dituduh berselingkuh.

Nasaruddin juga sama, diapun pernah jadi sorotan di Aceh Tengah dan itu bukan karena urusan penyalahgunaan jabatan, tapi karena urusan pribadinya.Nasaruddin menjadi sorotan di Aceh Tengah ketika pada masa kampanye untuk menjadi bupati istri pertamanya meninggal dunia dan kemudian untuk mengisi kekosongan jabatan calon ketua PKK di masa jabatannya seandainya dia terpilih menjadi Bupati. Nasaruddin memutuskan untuk menikahi seorang gadis belia yang reputasinya dikenal kurang baik karena kehilangan keperawannya di luar nikah dengan Brimob BKO yang ditugaskan di Takengen.

Begitu hebohnya berita tersebut saat itu sehingga popularitas Nasaruddin menurun drastis dalam pemilu, sampai-sampai konon dia sampai harus menurunkan tim suksesnya untuk memanipulasi data suara, sampai ada pembakaran kotak hasil suara segala. Oleh lawan-lawan politiknya pembakaran kotak suara ini disinyalir dilakukan oleh Nasaruddin untuk menghilangkan bukti-bukti kecurangannya. Masalah ini sempat menimbulkan konflik berkepanjangan dan cukup lama menunda pelantikannya.

Padahal kalau masyarakat mau berpikir jernih dalam hal ini, sebenarnya apa urusan kita dengan masalah pribadi Nasaruddin, apa urusan kita dengan urusan pribadinya mau menikah dengan siapa, kalau dia mau dia menikah sama nenek-nenek, atau dia mau menikah sama janda, perawan dan sebagainya, itu adalah urusan pribadinya. Dan sebenarnya masyarakat sama sekali tidak berhak untuk mengurusinya.

Yang menjadi urusan kita adalah masalah Nasaruddin dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, yang menjadi hak kita untuk mempertanyakan dan bahkan melakukan "class action", adalah ketika dia menyalahgunakan jabatannya.

Nah dalam kasus penjualan lahan dan pembangunan gedung Panti Asuhan Budi Luhur ini saya jelas sekali mencium aroma penyalahgunaan kekuasaan oleh Nasaruddin. Penjualan lahan panti ini terkesan sangat ditutup-tutupi.

Tapi itulah ajaibnya, semua kalangan yang berpengaruh di Aceh Tengah diam seribu bahasa atas apa yang dilakukan Nasaruddin, menutup mata atas kezaliman yang dilakukan oleh Nasaruddin terhadap anak-anak penghuni Panti Asuhan Budi Luhur.

Saya sendiri sebagai mantan penghuni Panti Asuhan Budi Luhur yang mencium jelas aroma penyalahgunaan kekuasaan oleh Nasaruddin dalam masalah penjualan lahan dan pembangunan gedung baru Panti Asuhan ini terus terang berniat melakukan "Class Action" terhadap Nasaruddin, saya menginginkan ada sebuah lembaga netral yang meneliti kejanggalan-kejanggalan dalam proses pembangunan dan penjualan lahan panti itu. Tapi saya tidak tahu caranya.

Adakah sebuah lembaga pemerintah, LSM atau lembaga apa saja yang bisa membantu saya?

Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penguni Panti Asuhan Budi Luhur
www.winwannur.blogspot.com

Kamis, 05 Maret 2009

Israel Akan Semakin Mengganas...Apa Antisipasi Kita?

We will not go down, in the night without the fight.
You can burn off our mosque and our home and our school.
But our spirit will never die.

We will not go down.
we will not go down, in the night without the fight.
We will not go down.
Gaza tonight.

Begitulah penggalan lirik lagu Michael Heart yang menceritakan semangat saudara-saudara kita di Palestina menghadapi gempuran Israel beberapa waktu yang lalu.

Lagu ini mengingatkan saya pada lirik lagu Hikayat Prang Sabi yang dulu dinyanyikan untuk membakar semangat muyang datu kami di Aceh melawan Belanda dan begitu hebatnya spirit yang disemburkan lagu ini pada masa itu sampai Belanda yang begitu percaya diri dengan kekuatannya, mendapati ternyata menaklukkan orang Aceh tidak segampang yang mereka perkirakan. Mau tidak mau Belandapun harus menghadapi 'Kegilaan' Orang Aceh yang sama sekali tidak merasa takut, bahkan bergembira ria menyambut maut. Begitu dahsyatnya semangat itu sehingga sisa-sisa spirit Prang Sabi ini bahkan masih bisa kita temui di jiwa orang-orang Aceh yang hidup dimasa sekarang.

Ini pulalah yang kita saksikan beberapa waktu yang lalu terjadi di Gaza, Israel dengan peralatan tempur canggihnya yang begitu percaya diri dengan kekuatannya, mendapati ternyata menaklukkan orang Gaza tidak segampang yang mereka perkirakan. Seperti dalam lirik lagu Michael Heart , bagi orang Palestina...You can burn off our mosque and our home and our school. But our spirit will never die.

Menghadapi semangat tempur orang Aceh yang seperti itu, Belanda dulu dikenal luas mengubah taktik perangnya dari sekedar pendekatan tempur dengan kombinasi pendekatan tempur dengan pendekatan budaya. Melalui seorang antropolog jempolan bernama Christian Snouck Hurgronje, Belanda mengumpulkan segala informasi yang mungkin mereka dapatkan tentang Aceh, mempelajari setiap segi budaya dan cara hidup orang Aceh. Melalui pengetahuan yang mereka punya itulah Belanda melakukan infiltrasi dan memanfaatkan konflik internal di dalam Aceh sendiri untuk menghancurkan Aceh dari dalam.

Sementara itu, orang Aceh sendiri saat itu sama sekali tidak memiliki pengetahuan apapun tentang Belanda dan segala maksud dan strateginya terhadap Aceh.

Yang terjadi di Israel dan Palestinapun saat ini kurang lebih demikian. Dari sebuah artikel yang saya baca, saya menemukan informasi bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi di Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya. Para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional,di Israel, rata-rata lancar dan fasih berbahasa Arab.

Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memiliki sebuah elemen penting untuk menguasai orang-orang Arab. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab yang semua informasinya disampaikan dalam bahasa Arab.

Seperti muyang datu kita dulu di Aceh yang tidak memiliki sama sekali tidak memiliki pengetahuan apapun tentang Belanda dan segala maksud dan strateginya terhadap Aceh. Orang Palestina dan kita yang mendukung Palestina di sinipun demikian. Kita dan orang-orang Arab tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel dengan alasan yang berbeda.

Kalau di Palestina dan negara-negara Arab lainnya, itu karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tidak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Sehingga ketika orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab. Orang Arab tidak mengerti sedikitpun apa yang dibicarakan di televisi, radio, dan surat kabar dari Israel.

Kalau kita di Indonesia yang mendukung Palestina, semua informasi yang didapatkan dari media dalam negeri, baik itu televisi, radio atau surat kabar juga sepertinya mengharamkan segala informasi apapun yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya di Israel, bagaimana kehidupa mereka dan apa yang mereka lakukan dan bicarakan sehari-hari di sana. Sehingga kita sama sekali tidak mengetahui, seperti apa sebenarnya Israel yang kita anggap sebagai musuh ini.

Saya sendiri selama ini sama sekali tidak memiliki gambaran yang jelas tentang keadaan di Israel yang sebenarnya, selama ini situasi di Israel saya bayangkan kurang lebih sama dengan situasi di Gaza, Tepi Barat atau Beirut yang gedung-gedungnya banyak yang hancur dan bolong-bolong kena montir di sana sini.

Sampai beberapa waktu yang lalu saat menginap di Candi Dasa, saya menonton sebuah acara di TV 5 yang menayangkan sebuah reportase bergaya film dokumenter tentang situasi di Israel pasca perang di Gaza. Dalam reportase itu saya melihat betapa berbedanya situasi di Israel dibandingkan dengan situasi di Palestina. Kota Tel Aviv ibukota Israel benar-benar layaknya kota-kota besar di eropa dan amerika utara. Mulai dari bangunan, kendaraan, gaya hidup dan gaya berpakaian orang-orangnya sama sekali tidak ada kesan timur tengahnya. Dan yang paling mengherankan di Tel Aviv yang terletak di gurun yang sama dengan Palestina itu, pohon-pohon tumbuh subur menghijau dimana-mana.

Reportase ini dimulai dengan menayangkan sebuah gambar yang menunjukkan situasi di sebuah pub yang sedang menyelenggarakan sebuah konser musik dengan penyanyi muda bernama Aviv Geffen yang menurut narator dalam reportase ini sekarang sedang naik daun di Israel. Aviv Geffen dan para fansnya yang menonton konsernya di pub itu adalah anak-anak muda Israel yang menentang serangan ke Gaza, dalam setiap akhir lirik lagu-lagunya Aviv Geffen selalu meneriakkan kata 'Shalom' yang artinya 'damai' dalam bahasa Ibrani.

Tapi menurut menurut narator dalam reportase ini, Aviv Geffen dan para pedukungnya adalah kelompok yang sangat minoritas di Israel saat ini. Pasca serangan ke Gaza, suasana di Israel saat ini dipenuhi dengan suasana kebencian. Reportase ini dilanjutkan dengan menayangkan gambar yang menunjukkan poster-poster kampanye partai-partai di Israel dengan gambar tokoh-tokoh pemimpinnya, Benjamin Netanyahu, Tzivi Livni, Ehud Barak dan yang paling mengerikan AVIGDOR LIEBERMANN. Semua partai politik yang diketuai tokoh-tokoh di atas mengusung tema kampanye tentang pentingnya keamanan nasional di israel, tidak satupun yang berbicara soal perdamaian. Dari semua tokoh itu, Avigdor Liebermann adalah yang paling ekstrim, dia ingin menyingkirkan orang Palestina dari tanah yang mereka diami sekarang.

Pembuat reportase ini kemudian memotret secara lebih personal empat anak muda Israel yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada di Israel saat ini.

Yang pertama ditampilkan adalah dua gadis muda yahudi berusia 17 dan 18 tahun bernama Omer dan Tamar, keduanya adalah kelompok Yahudi anti perang gaza, mereka bergabung dengan semacam kelompok pembela HAM. Mereka telah berkali-kali ditahan oleh Polisi Israel karena kegiatannya yang anti kebijakan keras Israel terhadap Palestina. Pembuat reportase ini mengikuti kegiatan mereka selama seharian itu, mulai dari bangun tidur yang kesiangan karena habis dugem semalaman. lalu ikut ke kampusnya, lalu ikut mereka yang melakukan demonstrasi anti Perang Di gaza yang seperti kita di sini dengan membawa sebuah foto anak Palestina yang berdarah-darah di bawah reruntuhan gedung dengan tulisan di bawahnya " Inikah yang anda maksud sebagai musuh perdamaian?".

Pembuat reportase ini dengan cermat menangkap reaksi orang-orang di jalan yang gusar dengan ulah mereka, sampai kemudian polisi datang menangkap mereka. Dan dikatakan oleh keduanya dan diperlihatkan jelas dalam gambar reportase itu, bagaimana keduanya sudah demikian akrab dengan polisi yang menangkap mereka, karena memang mereka telah puluhan kali ditangkap oleh polisi yang sama karena ulah yang serupa.

Yang kedua, mereka menampilkan sosok seorang pemuda yahudi yang baru berimigrasi dari Rusia bernama Maxim Nazarkovitch. Seorang pemuda kekar berusia 21 tahun yang sangat anti arab yang percaya satu-satunya cara untuk mencapai kedamaian di Israel adalah dengan cara melenyapkan seluruh orang Arab. Seperti yang mereka lakukan dengan Omer dan Tamar, terhadap Maxim Nazarkovitch inipun sama. Kegiatan sehari-harinya diikuti, mulai dari kegiatannya berlatih tinju di sasana yang dibangun oleh bapaknya di rumah tempat tinggalnya di lingkungan yang mayoritas penghuninya adalah warga negara Israel keturunan Arab. menurut Nazarkovitch sasana tinju itu dibangun bapaknya agar pemuda Yahudi bisa membela diri terhadap gangguan orang Arab yang menurut mereka sangat jahat.

Lalu, mereka menayangkan gambar demonstrasi yang dilakukan oleh Nazarkovitch bersama kelompoknya di jalan-jalan sambil mengibarkan bendera israel dan menerikakkan katra-kata, "Mampuslah orang Arab".

Kemudian, mereka menayangkan gambar saat Nazarkovitch yang menjadi ketua pemuda pendukung Avigdor Liebermann mengikuti kampanye Liebermann di sebuah gedung. materi kampanyenya juga tidak jauh-jauh dari slogan yang diteriakkan Nazarkovitch dan kelompoknya di jalanan tadi. Di dalam kampanye itu terbentang poster Avigdor Liebermann pemimpin Israel berikutnya.

Orang terkahir yang dipotret oleh pembuat reportase ini adalah seorang gadis Arab yang memiliki paspor Israel bernama Roan, tidak disebutkan apa agamanya dan preferensi agamanya juga tidak bisa ditebak dari pakaiannya, karena Roan berpakaian seperti umumnya gadis eropa, seperti Omer dan tamar dua gadis Yahudi yang ditampilkan sebelumnya.

Roan tinggal di Knesset, sebuah lingkungan yang mayoritas dihuni oleh orang Arab. Roan adalah bagian dari 20% warga israel keturunan Arab. yang juga sama seperti orang Arab-Israel lainnya yang juga memiliki kerabat di tepi barat dan jalur Gaza.

Dalam reportase ini ditunjukkan bagaimana khawatirnya Roan dengan perkembangan politik terbaru di Israel yang semakin anti Arab, dalam reportase ini juga ditunjukkan bagaimana Roan bersama teman-temannya sesama pemuda Arab berpaspor Israel membicarakan kelanjutan masa depan mereka. Dalam kelompok itu ada satu orang gadis yang berjilbab.

Yang paling mereka khawatirkan dalam pemilu kali ini adalah sentimen yang berkembang di Israel yang cenderung untuk melakukan konfrontasi dengan Palestina. Faktanya memang bisa dikatakan hampir seluruh warga Israel justru lebih mendukung agresi militer Israel beberapa waktu yang lalu. Alasan mereka melakukan itu karena katanya karena mereka capek setiap hari menerima kiriman roket dari Gaza. Mereka rata-rata berharap serangan kali ini benar-benar bisa menyelesaikan misi membungkam Palestina untuk selamanya. Berdasarkan data yang mereka paparkan, selama 7 tahun belakangan ini pejuang HAMAS di Gaza sudah mengirim 12,000 roket ke Israel. Jadi kira-kira sekitar 4-5 roket sehari.

Yang menolak serangan Israel ke gaza kali ini cuma kelompok-kelompok kecil komunitas Yahudi semacam Aviv Geffen dan Omer dan Tamar serta 20% warga Israel keturunan arab. sisanya mendukung serangan Israel ke Gaza. FDan sikap ini pulalah yang tercermin dalam setiap isu kampanye partai-partai yang bertarung dalam pemilu Israel, semuanya menjual ide konfrontasi dengan Palestina.

Yang paling ditakutkan oleh Roan dan teman-teman Arabnya adalah kemenangan Avigdor Liebermann yang dengan terang-terangan mengatakan Mapuslah Arab dalam kampanyenya. Dalam kacamata Roan dan pemuda-pemudi Arab- Israel ini, Israel di bawah Liebermann bukanlah Israel mereka. Di mata mereka Israel di bawah Liebermann adalah Israel yang ingin mengusir mereka semua dari tanah airnya, Israel di bawah Liebermann menurut mereka adalah israel yang merencacankan menjatuhkan Bom atom di Tepi Barat dan Gaza.

Kemudian ditambahkan oleh narator, meskipun mungkin tidak menang. Tapi melihat signifikannya kekuatan pendukung Liebermann, bisa dipastikan siapaun memenangi pemilu diantara Ehud Barak, Netanyahu dan Livni, mau tidak mau mereka harus merangkul Liebermann.

Itulah situasi Israel saat ini.

Melihat hiruk pikuknya demo anti Israel dan penggalangan dana buat Palestina beberapa waktu yang lalu di negara ini saya jadi bertanya-tanya. Setelah sekarang serangan Israel mereda, apakah para pendemo itu sudah menyiapkan langkah selanjutnya terhadap kemungkinan buruk yang akan dihadapi oleh orang-orang Palestina yang akan terjadi melihat iklim politik yang terjadi di Israel saat ini.

Apakah kita yang katanya dari dulu mendukung Palestina akan tetap memberikan dukungan klise seribu Doa untuk Palestina dan Sekeranjang makian buat Israel?
Apakah kita yang katanya teman bangsa Palestina akan tetap hanya mampu mengagumi (atau bagi yang sinis menganggap gila) semangat tempur mereka yang meskipun tubuh berkalang tanah tapi semangat tak pernah mati seperti dalam lirik We will not go down-nya Michael Heart?...dan kemudian membiarkan tubuh-tubuh mereka hancur menjadi serpihan

Sepertinya begitu, karena meskipun sekarang sudah begitu banyak informasi yang bisa kita dapatkan tentang Israel dan kemungkinan langkah-langkah yang mereka lakukan ke depan, dan dari situ bisa disiapkan antisipasinya. Tapi sampai saat ini kita tidak melihat ada satu kelompok kajian apapun yang membahas tentang kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi di Palestina berdasarkan atas perkembangan yang terjadi di Israel.

Dulu endatu kita memang tidak punya pilihan ketika bertempur dengan cara Prang Sabi seperti itu melawan Belanda, endatu kita tidak memiliki kapasitas untuk melakukan kajian antropologis terhadap budaya dan perkembangan politik di Belanda. Tapi saat kini dunia sudah sedemikian terbukanya, informasi sudah sedemikian mudahnya. Tapi kita ternyata belum bisa maju setapakpun lebih jauh dari endatu kita.

Paling kalau nanti terjadi pembantaian lagi di Palestina, isu itu akan kembali dijadikan komoditas politik di sini dan akan ada ribuan orang berpakaian putih berdemo dan menangis bombay dimana-mana.

Wassalam

Win Wan Nur

Rabu, 04 Maret 2009

PKS dan Kesempurnaan yang Mengerikan

Melanjutkan tulisan saya yang lalu tentang PKS dan budaya arab. Seperti juga jilbab awalnya saya juga sangat menghormati orang-orang Islam berjenggot di kampus saya.

Budaya memelihara jenggot ini pertama kali saya lihat muncul di Unsyiah ketika beberapa teman saya mendirikan lembaga dakwah kampus dengan nama UKM FOSMA. UKM ini beserta para anggotanya adalah UKM yang paling saya hargai di luar UKM-PA Leuser, UKM tempat saya bergabung.

Saya menghargai mereka karena saya lihat di kampus saya waktu itu banyak sekali UKM siluman yang didirikan oleh segelintir mahasiswa oportunis hanya untuk mengeruk keuntungan materi dari dana-dana operasional UKM. Selain UKM tempat saya bergabung yang sangat transparan dalam pengelolaan keuangan, saya melihat hanya UKM FOSMA lah yang paling mirip dengan kami dalam soal amanah terhadap uang.

Terus terang saja, sebenarnya saya sering merasa lucu dan ingin tertawa melihat penampilan para anggota UKM ini dengan jenggotnya. Tidak jarang saya melihat beberapa anggota UKM ini sebenarnya secara genetik tidak mendukung untuk menumbuhkan jenggot di dagunya, tapi karena mereka percaya itu adalah sunah, merekapun memaksakan jenggot yang hanya tumbuh beberapa lembar itu menghiasi dagu mereka. Tapi karena saya menghargai mereka, saya tidak pernah menunjukkan apa yang saya rasakan ini secara terang-terangan.

Saya sendiri berteman baik dengan para pendiri UKM ini yang kemudian menjadi cikal bakal calon anggota PK (Partai Keadilan), nama PKS di awal kemunculannya. Saya dan banyak anggota UKM saya menghormati anggota UKM ini karena sikap mereka yang santun dan wajah mereka yang selalu menyunggingkan senyum. Beberapa anggota UKM saya juga bergabung dengan UKM ini dan beberapa anggota UKM ini juga mendaftar untuk bergabung dengan kami. Saat inipun beberapa teman dekat saya dari UKM PA Leuser tercatat sebagai anggota legislatif dari PKS. Bahkan ketua fraksi PKS di DPRK Aceh Besar adalah teman dekat yang sudah seperti saudara dengan saya.

Jadi sebenarnya saya tidak menampik kalau banyak hal positif yang dimiliki oleh PKS. Saat PKS masih bernama PK dulu, saya bahkan sering secara terang-terangan menyatakan kekaguman saya pada Partai ini. Karena pernyataan saya yang terang-terangan, teman-teman yang menjadi pengurus PK di Banda Aceh, meskipun tidak secara resmi, pernah menyarankan saya untuk mengelola PK di Aceh Tengah, tempat asal saya.

Pada awal kemunculannya, PK di mata saya, sebagai sebuah partai saat itu PK memang nyaris sempurna. Pengurusnya mulai dari jajaran paling tinggi adalah anak-anak muda yang bisa dikatakan bebas dari pengaruh ORBA, lalu seperti yang saya lihat di FOSMA, mereka santun, amanah dan punya kecenderungan sangat kecil untuk korupsi dan organisasi partai merekapun begitu solid. Tapi belakangan justru semua sifat positif di ataslah yang membuat saya sangat khawatir melihat perkembangan partai ini. Semua sifat positif yang dimiliki partai ini ditambah dengan keberhasilan mereka mendapatkan suara yang cukup signifikan di Pemilu 2004 dengan mengusung nama PKS, membuat simpatisan dan kader partai ini merasa partai mereka adalah sebuah partai yang SEMPURNA yang sedikitpun tidak memiliki cacat cela dan karenanya tidak lagi bisa menerima kritik. Sikap sebagian sangat besar simpatisan dan kader partai ini yang memandang partai mereka demikian sempurna inilah yang membuat saya sangat khawatir dengan sepak terjang partai yang pernah saya kagumi ini.

Saya khawatir karena kata SEMPURNA bagi saya adalah sebuah kata yang hanya bisa dilekatkan pada satu entitas saja yaitu TUHAN. Ketika SEMPURNA dikaitkan kepada sesuatu yang bukan TUHAN biasanya yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang mengerikan. Mengerikan karena orang-orang yang mempercayai kesempurnaan sebuah entitas non-Tuhan itu, biasanya suka bersikap dan bertindak seolah mereka memiliki otoritas seperti yang dimiliki TUHAN. Saya pernah punya klien warga negara Perancis asal Kamboja yang beruntung selamat dari kekejaman Khmer Merah di bawah pimpinan Polpot yang membantai jutaan warga Kamboja. Klien saya ini menceritakan bagaimana sikap dan perilaku para tentara Khmer merah di awal-awal masa terbentuknya. Awalnya pasukan Khmer Merah adalah kumpulan dari anak-anak muda idealis yang sangat mencintai negaranya, mereka anti korupsi, anti kapitalisme. Pakaian yang mereka kenakan sebagai seragam sangat sederhana dan merekapun sangat santun ketika bertemu dengan rakyat.

Saat itu Khmer Merah begitu SEMPURNA, sehingga dalam perjalanannya merekapun merasa KESEMPURNAAN yang mereka miliki itu harus dipertahankan dengan segala cara dan seperti kita tahu bersama, dalam mempertahankan KESEMPURNAAN itu, Polpot bersama Khmer Merah-nya membantai jutaan rakyat Kamboja. Jika kita membaca sejarah dengan teliti, kita juga akan menemui cerita yang kurang lebih sama pada Hitler dengan Nazi-nya. NAZI yang didirikan Hitler pada awalnya adalah sebuah partai yang begitu SEMPURNA, untuk ras yang SEMPURNA. Untuk mempertahankan KESEMPURNAAN-nya, Hitler bersama NAZI membantai manusia-manusia yang dianggap bisa mencederai kesempuranaan mereka. Thaliban di Afghanistan juga demikian, mereka begitu percaya Islam yang mereka percayai berdasarkan penafsiran ulama mereka adalah Islam yang paling sempurna. Sehingga apapun yang bertentangan dengan penafsiran Islam yang mereka percayai adalah lawan. Dan seperti kita tahu yang terjadi di sana adalah pemaksaan keseragaman. Bukan hanya manusia yang menjadi lawan KESEMPURNAAN Islam versi Thaliban ini.

Situs Buddha yang berusia ribuan tahunpun mereka ledakkan karena dianggap mengganggu KESEMPURNAAN yang mereka percayai. Suku HUTU di Rwanda dan Burundi juga demikian, mereka percaya suku mereka adalah suku yang sempurna, sebaliknya suku Tutsi adalah kecoa. Karena itu harus dibersihkan. Soeharto bersama Orde Baru juga mempercayai bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang SEMPURNA, hasilnya kita tahu bersama berapa banyak nyawa yang melayang akibat dianggap mengusik KESEMPURNAAN Pancasila.

Soal PKI, jika hanya mengandalkan buku-buku sejarah resmi, kita tidak akan bisa mendapatkan informasi valid tentang Partai ini, karena cerita tentang partai ini di masa saya masih bersekolah sudah banyak sekali ditambahi bumbu-bumbu hiperbola oleh penguasa di masa itu. Tapi saat saya mencoba menanyakan kepada para pelaku sejarah yang hidup di masa saat partai ini eksis, saya juga menemukan informasi bahwa pada masanya PKI juga adalah sebuah partai yang menganggap ideologi Komunis adalah sebuah ideologi yang SEMPURNA, mereka memandang rendah setiap orang yang berbeda ideologi dengan mereka. Menurut beberapa orang yang saya tanyai, ada indikasi PKI akan bertindak seperti Khmer Merah yang membersihkan orang-orang yang tidak sepandangan dengan mereka dengan DARAH. Jadi meskipun saat ini banyak dari kita yang percaya bahwa pembantaian PKI yang mengerikan yang terjadi pasca 30 September 1965 adalah akibat hasutan Soeharto dan pendukungnya.Tapi dari cerita yang saya dengar dari pelaku peristiwa itu sendiri, mereka mengatakan pembantaian PKI yang dilakukan rakyat sipil di Jawa Timur saat itu lebih banyak didorong oleh naluri untuk mempertahankan diri. Mereka membantai PKI sebelum mereka sendiri dibantai oleh PKI.

Cerita-cerita di atas mengingatkan saya pada cerita tentang Dajjal yang sering diceritakan oleh tengku-tengku yang mengajari saya mengaji di saat saya masih kecil dulu. Tengku-tengku yang mengajari saya sering mengatakan bahwa ciri Dajjal adalah dia membawa air dan api di tangannya. Dajjal memiliki kemampuan yang hebat untuk memanipulasi fakta. Ketika dia menawarkan air dan kita melihat itu sebagai air, Dajjal sebenarnya sedang memberikan api. Karena itu berhati-hatilah dengan Dajjal, jangan hanya melihat apa yang tampak di permukaan. Meskipun redaksinya tidak persis sama, tapi begitulah kira-kira nasehat yang sering disampaikan oleh tengku-tengku yang mengajari saya mengaji saat saya masih kecil dulu.
Nasehat tengku-tengku saya ini ditambah dengan fakta-fakta yang saya paparkan di atas adalah beberapa alasan kenapa saat ini saya begitu khawatir melihat sepak terjang PKS belakangan ini.Saya khawatir karena saya melihat ada indikasi partai yang pada awal terbentuknya begitu menjanjikan ini, belakangan sudah berubah menjadi begitu menakutkan. Indikasi perubahan ini saya saksikan sendiri di Aceh. Badan pemerintahan mahasiswa di Unsyiah saat ini sudah sepenuhnya dikuasai para pendukung dan simpatisan PKS. Dan seperti yang saya ceritakan di atas, saat ini merekapun begitu mempercayai bahwa PKS dan ideologinya adalah partai dan ideologi yang sempurna, karena itu merekapun percaya segala kebijakan PKS, segala kebijakan di badan eksekutif mahasiswa Unsyiah harus sejalan dengan kebijakan PKS.

Untuk mengawal KESEMPURNAAN yang mereka percayai itu, merekapun membentuk satu pasukan paramiliter. Pasukan ini dicirikan oleh anggotanya yang menutupi wajah dengan zebo. Anggota pasukan ini tidak segan-segan menculik dan memukuli mahasiswa lain yang kebijakannya dianggap berseberangan dengan mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini diculik dan dipukuli karena dianggap potensial mengganggu KESEMPURNAAN partai dan ideologi mereka.

Begitulah kenapa belakangan ini saya merasa PKS jika dibiarkan tumbuh besar akan potensial menjadi bahaya. Itu karena dimata kader dan simpatisannya, PKS sekarang telah berubah menjadi partai yang SEMPURNA.

Tidak boleh ada kritik apapun yang ditujukan kepadanya. PKS sekarang kurang lebih seperti Aa Gym di masa jayanya, setiap kritik yang ditujukan kepadanya akan membuat kita berhadapan dengan pendukung fanatiknya. Berhadapan dengan PKS saat ini akan membuat kita langsung dicap sebagai anti Islam dan Pro Yahudi.

Sementara bagi saya sendiri, saya percaya yang namanya manusia dan segala produk buatan manusia tidak ada yang SEMPURNA, apa yang bisa dikatakan 'SEMPURNA' dalam dunia manusia adalah segala sesuatu yang masih memiliki cacat cela.

Manusia yang 'SEMPURNA' di mata saya adalah manusia yang masih menyediakan celah kelemahan untuk dikritik oleh manusia lainnya. Dalam kepercayaan yang saya anut, satu-satunya yang sempurna tanpa cacat cela hanyalah ALLAH YANG ESA. Di luar itu, apapun namanya yang mengaku dan dipercayai oleh manusia sebagai sebuah entitas yang SEMPURNA, sebenarnya tidak lain adalah BERHALA.

Wassalam

Win Wan Nur