Rabu, 18 November 2009

ANIMAL FARM; Mantan Aktivis Aceh di Tahun 98 dan Sekarang

George Orwell yang bernama asli Eric Arthur Blair yang lahir di India adalah salah satu penulis Inggris terbesar di zaman modern.

Disamping 1984 (Nineteen Eighty Four), Animal Farm adalah salah satu novel legendaris karya George Orwell. Animal Farm adalah roman klasik berbentuk fabel. Kisah dalam roman klasik ini selalu 'nyambung' ketika dikaitkan dengan situasi yang terjadi pada pra dan pasca pergantian rezim yang dilakukan dengan cara-cara berbau revolusi di negeri manapun.

Aceh adalah sebuah negeri yang termasuk dalam kategori seperti ini.

Animal Farm berkisah tentang sekumpulan binatang ternak yang hidup tertindas di Manor Farm, sebuah tanah pertanian milik Mr. Jones.

Ada bermacam jenis binatang ternak yang hidup di tanah pertanian itu. Masing-masing binatang ternak memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri. Di Manor Farm ada sapi yang memproduksi susu, ayam yang memproduksi telur dan daging, Babi yang memproduksi daging dan juga ada binatang yang dimanfaatkan tenaganya, seperti kuda dan anjing.

Di antara para binatang yang tinggal di Manor Farm, terdapat seekor babi jantan tua bernama Old Major. Babi cerdas bernama Old Major ini mengajari binatang-binatang di Manor farm tentang arti kebahagiaan yang hanya bisa didapatkan dengan KEBEBASAN. Menurut Old Major, tidak satupun binatang di Inggris dan Irlandia yang hidup merdeka dan bahagia. Kehidupan binatang di sana digambarkan oleh Old Major dengan dua kata DIPERBUDAK dan MENDERITA. Kedua hal itu dialami oleh semua binatang sebagai akibat dari satu sebab saja yaitu MANUSIA.

Menurut Old Major, sebenarnya manusia itu adalah makhluk yang paling tidak berguna di muka bumi. Manusia adalah makhluk yang hanya bisa mengkonsumsi tanpa bisa memproduksi. Manusia tidak menghasilkan susu untuk dinikmati makhluk lain, manusia tidak menghasilkan telur, tenaga manusia terlalu lemah untuk menarik bajak dan kereta, bahkan kecepatan larinya pun terlalu lambat untuk bisa menangkap kelinci. Tapi dengan segala keterbatasannya itu, manusia malah menjadi penguasa semua binatang. Manusia memaksa binatang bekerja, mengambil hasil kerja dan produksi mereka dan mengembalikannya kepada para binatang dalam porsi yang sangat sedikit. Hanya sebatas kadar minimum agar para binatang tidak mati kelaparan saja. Sementara sisanya dijual ke pasar untuk mendapatkan uang bagi Mr. Jones dan para pegawainya.

Pada suatu malam, ketika Old Major yang sudah tua merasa waktunya hidup di dunia sudah tidak lama lagi, dia mengumpulkan seluruh hewan di Manor Farm untuk mendengarkan ceritanya. Malam itu Old Major menceritakan mimpinya dimana dia melihat kebebasan menghampiri seluruh binatang yang hidup di Inggris dan Irlandia yang oleh Old Major disarikan ke dalam sebuah lagu berjudul "Beast of England".

Tiga hari setelah pertemuan itu Old Major pun mati, sebelum mati Old Major sempat memberi petuah kepada semua binatang bahwa semua binatang adalah setara, dan musuh para binatang adalah MANUSIA.

Setelah kematian Old Major, pada satu waktu tertentu rasa jenuh dan tertekan yang dialami binatang-binatang yang tinggal di tanah pertanian ini pun mencapai puncaknya dan binatang-binatang inipun memimpikan perubahan. Mereka ingin melawan tapi tidak memiliki keberanian, karena Mr.Jones suka bertindak kejam kepada siapapun yang berani menentang.

Sebenarnya tidak semua binatang benar-benar takut kepada Mr. Jones. Sepeninggal Old Major, ide-idenya tetap hidup dan diteruskan oleh Babi-babi lain yang masih hidup di peternakan. Babi-babi inilah yang terus menyemangati binatang-binatang di Manor Farm untuk terus memelihara semangat untuk mendapatkan KEBEBASAN. Ketika tekanan dan kejenuhan telah memuncak sedemikian rupa akhirnya perlawanan pun pecah, revolusi tidak bisa dihindari. Seluruh penghuni Manor Farm bersatu padu melawan Mr. Jones.

Yang menjadi pemimpin dalam gerakan perlawanan ini tentu saja para babi yang merupakan binatang paling cerdas diantara para binatang yang ada di Manor Farm.

Pendeknya, dibawah komando para babi, binatang-binatang di Manor Farm akhirnya bisa mengusir Mr.Jones dan antek-anteknya keluar dari Manor Farm. Para binatangpun merayakan kebebasan. Lagu "Beast of England" pun berkumandang dimana-mana. Semua yang mengingatkan tentang Mr.Jones dihancurkan. Plang nama MANOR FARM di gerbang tanah pertanian ini pun diturunkan diganti dengan nama baru ANIMAL FARM sebagi bukti bahwa tanah pertanian ini sepenuhnya milik para binatang.

Setelah manusia berhasil diusir, kini para Babi lah sekarang memimpin para binatang. Tapi tentu saja tidak seperti manusia yang menempatkan diri sebagai makhluk dengan status paling tinggi diantara para makhluk penghuni tanah pertanian, kali ini babi memimpin dengan status yang (katanya) sama dengan binatang-binatang lainnya.

Dalam deklarasi kemerdekaan, para babi menegaskan semangat awal kemerdekaan yaitu para binatang tidak boleh meniru kebiasaan manusia, seperti berpakaian, minum alkohol dan tinggal di dalam rumah. Pasca kemerdekaan itu disepakati bahwa para binatang tidak boleh menempati rumah bekas tempat tinggal Mr. Jones, karena rumah itu merupakan simbol kesewenang-wenangan Manusia. Rencananya rumah itu akan dijadikan semacam monumen perjuangan.

Dalam perjalannya, ketika Manor Farm yang kini telah berganti nama dengan Animal Farm ini sepenuhnya dikelola para binatang sendiri di bawah kepemimpinan para babi, para pemimpin baru ini semakin lama semakin nyaman dengan kekuasaan yang mereka miliki dan mulai merasakan nikmatnya menyandang status pemimpin. Lama kelamaan merekapun berusaha mempertahankan kepemimpinan itu dengan berbagai cara.

Dalam perjalanan waktu, ide awal kesetaraan antar sesama binatang pun berubah menjadi semua binatang adalah setara, kecuali babi yang statusnya 'lebih setara' dibanding binatang lain.

Karena sudah terbiasa hidup nikmat, para babi pun ingin tetap mempertahankan bahkan kenikmatan yang mereka dapat. Dengan alasan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan penghuni Animal Farm, para Babi kemudian menggalang kerja sama dengan pemilik peternakan lain dan juga para pedagang penampung hasil pertanian yang nota bene adalah manusia yang merupakan musuh para binatang.

Apa yang dilakukan para Babi ini jelas bertentangan dengan semangat awal berdirinya Animal Farm, tapi dengan berbagai argumen yang didapat dengan menafsirkan ulang ide awal kemerdekaan. Di depan para binatang bodoh penghuni Animal Farm, para babi dengan mudah mendapatkan alasan untuk menjustifikasi apa yang mereka lakukan.

Pada akhirnya para Babi yang sekarang menjadi penguasa menggantikan Mr. Jones pun bertransformsi dengan sempurna menjadi penindas baru bagi para binatang yang menghuni Animal Farm, perilaku mereka pun dari hari ke hari semakin mirip dengan manusia.

Di akhir cerita dikatakan, para Babi tidak lagi tinggal di kandang bersama para binatang, mereka pindah ke rumah peninggalan Mr. Jones. Mereka mulai minum anggur dan dari hari ke hari persahabatan yang mereka jalin dengan manusia pun semakin erat. Para babi pun semakin lama semakin merasa asing dengan cara hidup dan cara berpikir para binatang, mereka bahkan sama sekali tidak lagi paham segala kegelisahan dan permasalahan yang terjadi di dunia para binatang.

Pada akhir cerita orwell menceritakan para Babi mengadakan pesta di Animal Farm, di rumah peninggalan Mr. Jones. Pesta itu tentu saja dihadiri oleh banyak Manusia yang menjadi sahabat baru mereka sekarang. Sementara para binatang hanya bisa menyaksikan pesta mewah tersebut dari dalam kandang.

Sebagai penutup Novel ini Orwell menuliskan;

"The creatures outside looked from pig to man, and from pig to man again; but already it was impossible to say which was which"

Wassalam

Win Wan Nur

Bali, Penyembah Berhala dan Film 2012 yang diprotes MUI

Sepanjang yang pernah saya amati berdasarkan pengalaman saya mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, Umat Hindu Bali adalah umat yang paling tekun menjalankan segala ritual keagamaan mereka.

Dalam kepercayaan keagamaan mereka ini, umat Hindu Bali menyembah banyak Dewa. Mereka memberi penghormatan besar pada arwah leluhur, hewan, pohon, batu dan objek-objek lain di alam pun mereka hormati. Bahkan oleh umat Hindu Bali, roh jahat pun mereka hargai dengan memberi sesajen.

Dalam ritual keagamaan yang mereka lakukan, di Bali banyak sekali patung-patung yang diberi pakaian dan sesaji. Melihat hal itu, orang yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang berbeda, terutama orang yang menganut agama mayoritas penduduk negeri ini, tanpa merasa perlu tahu latar belakang dan alasan mereka melakukan itu langsung menyimpulkan bahwa orang Bali adalah PENYEMBAH BERHALA.

Benarkah demikian?...dalam tulisan yang saya muat di blog saya beberapa waktu yang lalu http://winwannur.blog.com/2009/10/20/xenophanes-aceh-dan-penyembah-berhala/ saya mengatakan;

Ada satu fakta menarik yang saya lihat setiap kali saya membaca kisah-kisah para penyembah berhala ini. Yaitu adanya kesamaan latar belakang situasi sosial dan moralitas dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat penyembah berhala seperti ini. Ketika saya amati dalam kisah-kisah yang saya baca, bahwa di mana pun tempatnya dan di zaman apapun terjadinya. Di sana selalu terdapat masyarakat yang jatuh ke dalam situasi sosial yang dipenuhi rasa frustasi karena ketidak adilan yang merata di mana-mana. Masyarakat penyembah berhala selalu digambarkan sebagai masyarakat yang terjebak dalam suasana dekadensi moral yang parah.

Dari kisah-kisah yang saya baca, selalu diceritakan bahwa di tempat-tempat yang didiami para penyembah berhala ini, konsep-konsep non-kemanusiaan mekar dan berkembang biak dengan suburnya. Segala kejelekan dan keburukan akan menjulang. Perbuatan menipu akan menghasilkan kekayaan, bersikap munafik dan bermuka dua akan menguntungkan. Dan bagi saya, yang paling menarik dari semuanya adalah; berhala-berhala yang disembah sebagai Tuhan itu bukan kebetulan selalu hadir sebagai sosok yang sangat pro penguasa dan memusuhi rakyat jelata. Dalam masyarakat seperti ini, setiap terjadi masalah atau kejadian yang tidak menyenangkan, dan harus ada pihak yang di salahkan. Maka yang salah selalu rakyat jelata, bukan penguasa.

Apakah keadaan di Bali juga seperti yang saya gambarkan itu?..mari kita lihat dan amati.

Sekitar bulan april tahun ini, Bali dihangatkan dengan pro kontra RENCANA revisi Perda RTRW Bali yang dilakukan oleh pemerintah yang ditengarai cenderung pro investor.

Rencana pemerintah yang dimotori oleh gubernur I Made Mangku Pastika, yang merupakan gubernur pertama yang di pilih langsung oleh rakyat sekaligus gubernur pertama pula yang berkasta sudra (kasta terndah dalam catur warna) ini langsung mendapat tentangan dari berbagai pihak.

Sebelumnya Bali juga mempunyai sejumlah catatan adanya konflik kepentingan antara pemerintah yang pro investor yang hanya memikirkan keuntungan dengan masyarakat yang selain menghendaki kesejahteraan tapi juga menginginkan kelestarian tempat-tempat suci agama, pelestarian lingkungan hidup, pelestarian keyakinan agamanya.

Kasus semacam ini ini, salah satunya adalah pembangunan megaproyek Bali Nirwana Resort di dekat Pura Tanah Lot yang ditolak umat Hindu. Waktu itu Soeharto, si bapak pembangunan kita ini sedang lucu-lucunya, si Bapak sama sekali tidak memberi ampun pada siapapun yang menurutnya 'anti pembangunan'. Sehingga dalam konflik dengan penguasa/investor ini umat Hindu kalah telak dan Bali Nirwana Resort, resort mewah yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga BAKRIE inipun sampai hari ini itu dengan angkuh tegak berdiri di sebelah timur Pura Suci Tanah Lot.

Penolakan umat Hindu kembali terjadi ketika Pulau Serangan direklamasi, proyek milik Tommy Soeharto ini dipersoalkan karena kedekatan loksi proyek ini dengan Pura Sakenan.

Kemudian konflik seperti ini juga terjadi saat adanya rencana reklamasi Pantai Padanggalak Dan, yang paling mutakhir adalah penolakan umat Hindu terhadap megaproyek Geothermal Bedugul, karena eksplorasi tersebut dilakukan dalam kawasan suci di lereng Gunung Batukaru. Kedua proyek ini gagal, karena pada saat rencana proyek ini diajukan Soeharto si bapak Pembangunan sudah tidak 'lucu' lagi.

Bertolak belakang dengan posisi para pemimpin agama dalam masyarakat penyembah berhala, dalam konflik antara pemerintah/investor melawan masyarakat Bali itu,posisi para Sulinggih (Pimpinan tertinggi keagamaan dalam agama Hindu Bali) dari kasta apapun selalu berada di fihak masyarakat. Dalam konflik semacam itu Sulinggih Bali selalu berada dalam posisi mengingatkan penguasa agar tidak mengabaikan aspirasi walaka (masyarakat umum) dan umat Hindu.

Dalam pro kontra RENCANA revisi Perda RTRW Bali ini misalnya seorang sulinggih berkasta Brahmana bernama Ida Ida Pedanda Made Gunung tanpa ragu mengingatkan Made Mangku Pastika.

'Jangan sampai revisi RTRW sampai melupakan bhisama yang telah mampu mempertahankan Bali hingga mempunyai taksu yang dikenal ke seluruh dunia,' tegas tokoh spiritual Bali, Ida Pedanda Made Gunung, Sabtu (18/4) kemarin, menyikapi fenomena rencana revisi Perda RTRW yang dilakukan oleh pemerintah Bali.(Berita Kota
19 April 2009).

Lalu bagaimana yang terjadi dengan umat penganut agama mayoritas di negeri ini?.

Dulu ketika Indonesia masih belum ada. Sebagai mana halnya di masa-masa awal kelahiran Islam, di tempat yang sekarang dinamakan Indonesia ini, ulama memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan sosial kemasyaratan. Pada masa itu ulama hidup bersama masyarakat, terintegarasi secara utuh dengan masyarakat.

Pada masa-masa itu, seperti para Sulinggih di Bali, ulama selalu menjadi sosok yang paling mengerti apa yang menjadi kegelisahan dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Ucapan dan tindakan mereka pun saat itu lebih banyak mencerminkan apa yang dimaui masyarakat ketimbang apa yang dimaui penguasa.

Pada masa yang lebih maju, pada awal-awal pergerakan SDI yang kemudian berubah menjadi SI adalah pelopor pergerakan nasional yang bahkan lebih dulu hadir sebelum Boedi Utomo. Keberadaan organisasi ini dipelopori oleh orang-orang yang bisa dikategorikan sebagai ulama. Demikian juga Muhammadiyah, organisasi Islam yang didirikan oleh para ulama yand dimaksudkan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.Tapi pada perkembangannya organisasi ini juga berdiri untuk menjawab kebutuhan masyarakat pada masa itu terhadap dunia pendidikan.

Ketika Indonesia merdeka, Ulama kemudian banyak mengambil peran di dunia politik praktis. Energi mereka lebih banyak dihabiskan untuk mengawal perjuangan politik kelompok dan politik aliran, kepedulian mereka terhadap masalah kesejahteraan umat yang lebih universal jadi jauh berkurang.

Keadaan seperti itu mengundang keprihatinan banyak orang termasuk para Ulama dan merekapun membuat berbagai pertemuan untuk membicarakan masalah ini dan menemukan cara untuk keluar dari situasi memprihatinkan ini. Lalu pada tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta, dalam sebuah pertemuan yang selanjutnya disebut sebagai Musyawarah Nasional Ulama I yang dihadiri oleh lebih dari 50 orang ulama atau tokoh Muslim se-Indonesia,lahirlah kesepakatan yang dituangkan dalam "Piagam Berdirinya MUI".

MUI didirikan atas dasar kesadaran kolektif diantara para ulama, yang merasakan pentingnya untuk segera mengembalikan khittah dan peran ulama sebagai pewaris dari tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya), sebagaimana yang pernah dilakukan para ulama pada zaman penajajahan dan masa perjuangan kemerdekaan.

Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik seorang ulama besar asal minang yang dikenal dengan nama Hamka yang merupakan akronim dari nama panjangnya, sebagai ketua umum MUI.

Hamka yang sangat mahir berbahasa Arab ini adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Melalui kemampuannyayang tinggi dalam berbahasa Arab, Hamka mempelajari berbagai karya dari berbagai ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab pula, mempelajari karya berbagai sarjana kafir asal Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Sehingga tidak mengherankan kalau berbagai pemikirannya sangat membumi dan Hamka pun dengan mudah memahami kegelisahan umat yang diayominya. Hal inilah yang membuat Hamka dihormati tidak hanya di Indonesia, namanya juga harum di Malaysia dan Singapura.

Bukti jelas keberpihakan Hamka pada kepentingan rakyat yang diayominya terlihat ketika pada tahun 1981, beliau memilih meletakkan jabatan sebagai ketua MUI karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kemudian bagaimana dengan keadaan sekarang?.

Sejak reformasi 1998, negeri ini banyak sekali mendapatkan masalah dan rakyat hidup dengan tekanan. Pemerintah dan parlemen sibuk mengurusi dirinya sendiri. Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan, tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang diperlakukan semena-mena. Di dalam negeri banyak penganggur dan orang yang kehilangan kesempatan kerja. Korupsi dilakukan semakin tanpa malu-malu dan terang-terangan, ada banyak kasus pengrusakan lingkungan , PLN yang memonopoli penyediaan listrik gagal memenuhi tanggung jawabnya dan yang paling hangat sekarang terkuak lebarnya praktek Mafia peradilan.

Situasi di negara ini persis seperti situasi yang terjadi dalam masyarakat penyembah berhala dan terjadi di zaman baheula.

Menghadapi kenyataan seperti ini rakyat jelas gelisah, protes terjadi dimana-mana. Bebrbagai elemen masyarakat seolah bersatu padu menuntut pemerintah agar menjalankan pemerintahan dengan benar, malah di hari-hari belakangan ini ramai orang turun ke jalan.

Lalu dalam situasi seperti ini dimana posisi ulama yang diwadahi oleh MUI, bersama rakyat kah?...atau penguasa?. Bersama rakyat jelas tidak, bersama penguasa kadang iya tapi kadang-kadang mereka sibuk mengurusi 'planet' mereka sendiri.

Ketika berbagai masalah mendera dan menyengsarakan masyarakat negeri ini apa yang diurusi MUI?. Berbeda dengan para sulinggih Bali yang saat masayarakatnya berada dalam kegelisahan mendalam, mereka langsung berdiri di barisan depan untuk mengingatkan penguasa.

MUI malah sebaliknya, ketika masyarakat dilanda kegelisahan mendalam yang mereka urusi malah mengharamkan facebook.

Saat pemerintah merasa terganggu dengan berbagai kritikan kritis MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan liberalisme. Saat pemerintah terganggu dengan banyaknya pengemis di kota-kota, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan mengemis.

Dan yang paling mutakhir, saat bangsa ini sedang berada dalam keprihatinan mendalam dan kemarahan hebat terhadap praktek MAFIA PERADILAN yang dilakukan tanpa malu-malu dan telanjang. MUI malah sibuk memprotes film 2012, film sci-fi khas bikinan Hollywood yang suka memamerkan logika jungkir balik .

Melihat kenyataan seperti ini kita sayapun jadi bertanya-tanya siapakah sebenarnya yang menyembah berhala?

Wassalam

Win Wan Nur

Referensi :
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1236&Itemid=26
www.wartabali.com/index/article/2067.htm?print=1
http://winwannur.blog.com/2009/10/20/xenophanes-aceh-dan-penyembah-berhala/
http://www.muidiy.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=23&Itemid=11
id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah

Kamis, 12 November 2009

Karena Benci dan Bosan Melihat KPK ...Makanya Kami EMOSI

Melihat perkembangan kasus Cicak Vs Buaya belakangan ini, muncul beberapa komentar yang secara malu-malu menentang arus besar opini yang beredar di negeri ini. Komentar-komentar seperti itu biasanya muncul dari aparat negara atau orang-orang yang dirugikan dengan keberadaan KPK.

Contohnya seperti sikap yang diperlihatkan oleh Menkumham di depan sidang MK. Saat itu dia mempertanyakan tentang relevansi pemutaran rekaman dugaan rekayasa kasus Bibit-Chandra. Menkumham yang mewakili pemerintah jelas tidak senang kalau aib itu dibuka, tapi karena tidak berani melawan arus. Menkumham memulai ungkapan keberatannya dengan memuji-muji langkah MK.

Selanjutnya kejadian seperti ini bisa kita lihat saat Kapolri dengar pendapat di depan Komisi III. Yang kita saksikan adalah pertunjukan cium pipi ditambah adegan ala sinetron dari Susno Duadji yang direspon dengan tepuk tangan membahana. Lalu dengar pendapat yang luar biasa ini diakhiri dengan adegan foto bersama sambil tertawa-tawa. Melihat kejadian seperti itu tentu banyak pihak jadi emosi, apa maunya DPR ini?.

Untuk memahami fenomena ini kita tidak memerlukan pejelasan dari seorang ahli, baik itu sosiologi, antropologi dan psikologi. Dengan logika paling awam pun kita bisa memahami kalau yang menjadi dasar dari terjadinya fenomena ini adalah DUIT alias FULUS.

Sebagaimana kita ketahui bersama, demokrasi di negara ini adalah demokrasi berbiaya tinggi. Biaya untuk bisa duduk di kursi dewan yang terhormat itu tidak murah, apalagi gratis. Ada banyak pengorbanan yang dilakukan oleh anggota dewan sebelum mereka bisa dipastikan duduk di sana. Ada pengorbanan waktu, tenaga, perasaan sampai air mata. Dan yang terpenting dari semuanya adalah pengorbanan BIAYA. Untuk bisa mendapatkan satu kursi di dewan, biaya yang dibutuhkan bukan dalam kisaran, satu, dua atau puluhan juta. Kalau kita mau mengaudit dengan seksama jelas kita akan menemukan fakta bahwa satu kursi dewan yang terhormat itu minimal berharga di kisaran ratusan juta.

Lalu, melihat latar belakang orang-orang yang duduk di kursi dewan terhormat itu, adalah sangat tidak logis dan naif sekali kalau kita berpikir mereka menghamburkan duit sebanyak itu hanya demi sebuah kesempatan suci mengabdi pada negara dan bangsa. Penjelasan paling logis dari dihamburkannya ratusan juta sampai miliaran rupiah uang demi mendapatkan satu buah kursi di dewan yang hanya diduduki selama 5 tahun itu adalah perhitungan ekonomi.

Tidak sedikit dari mereka yang duduk di sana itu berlatar belakang pengusaha juga pengacara yang berpenghasilan milyaran rupiah per tahunnya. Sebelum duduk di sana tentu saja mereka terlebih dahulu berhitung untung ruginya, mana lebih untung menginvestasikan dana di properti, saham blue chips, tambak udang atau di kursi dewan. Karena mereka menganggap duduk sebagai anggota dewan jauh lebih menguntungkanlah makanya mereka mau menginvestasikan dana untuk kampanye.

Memang tentu saja tidak semua seperti itu, ada juga sosok bersih seperti dulu yang ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie misalnya...tapi ada berapa sih orang semacam itu di negeri ini?

Lalu pertanyaan selanjutnya, untuk bisa balik modal dan mendapatkan keuntungan dari investasi yang telah ditabur itu bagaimana?. Gaji yang diberikan negara jelas tidak akan bisa menutupi. Maka solusinya adalah mengharap perhatian dan kebaikan hati cukong-cukong sejenis Anggodo dan kawan-kawan. Dalam relasi dengan orang-orang semacam ini, hubungan yang dibangun tentu saja harus bersifat SIMBIOSIS MUTUALISME. Bagi para 'Investor' senayan orang-orang seperti ini adalah teman yang sudah seharusnya dilindungi, bukannya malah dimusuhi.

Bagaimana dengan perangkap jeratan hukum, ah mudah saja. Aparat hukum di negara ini sudah sejak lama terkenal mudah dibeli, meskipun tidak pernah ada bukti (ya bagaimana mau ada bukti kalau yang berhak dan memiliki kuasa untuk membuktikannya adalah aparat hukum itu sendiri?).

Masalahnya, sekarang di negeri ini ada KPK. Institusi ini bukanlah sebuah institusi hukum yang normal. KPK ada untuk mengantisipasi ketidaknormalan penegakan hukum di negeri ini. Meskipun beberapa waktu yang lalu banyak sorotan yang diarahkan ke lembaga ini karena mereka disinyalir melakukan tebang pilih dalam menangani kasus Korupsi. Tapi dibanding lembaga-lembaga lain, lembaga abnormal ini relatif lebih tidak bisa dibeli.

Keadaan ini tentu menimbulkan rasa tidak nyaman bagi 'investor-investor' yang duduk di Senayan. Karena itulah ketika dalam kasus Cicak melawan Buaya, jelas investor senayan berpihak pada buaya yang bisa diajak bekerja sama dalam mengamankan investasi mereka. Adalah mustahil mengharapkan para investor senayan berpihak pada Cicak yang sangat berpotensi besar akan merusak prospek investasi mereka.

Ketika sudah menjadi sorotan dan masyarakat yang memilih mereka emosi dengan perilaku yang mereka tunjukkan. Seperti biasa, sebagaimana lazimnya terjadi pada orang-orang yang mencari nafkah dengan mengumbar kata. Merekapun berkilah dengan berbagai argumen mengutip berbagai referensi dan disampaikan dengan kalimat-kalimat yang kadang susah dimenngerti yang intinya menggambarkan mereka (para investor senayan) adalah patriot sejati yang semata bertindak demi kepentingan rakyat dan bangsanya.

Argumen standar mereka adalah mereka melakukan itu karena mereka cinta pada penegakan hukum di negeri ini, mereka tidak ingin Polri dan Jaksa terus dihujat dan dicaci, dikerdilkan dan dilemahkan. Mereka tidak ingin KPK jadi terlalu berkuasa.

Lucu mendengar komentar ini, entah sebagai kambing conegk, keledai dungu atau binatang bodoh apa mereka mengasumsikan status hampir seperempat milyar rakyat negeri ini. Sehingga mereka berpikir hampir sepertempat milyar manusia ini begitu mudahnya dikibuli

Pada kenyataannya rakyat negeri ini tidak pernah lupa kalau KPK itu ada karena sistem hukum di negara ini tidak berdaya melawan korupsi.

Polri hebat melawan teroris, oleh Polri teroris berbahaya sekelas Dr. Azhari dan Noordin M. Top di buat terkapar meregang nyawa, mengutip ucapan Sarlito dalam sebuah tulisan di rubrik OPINI Kompas "menghadapi teroris Polri adalah Polisi terbaik di dunia". Tapi menghadapi koruptor model Super Anggodo dan teman-temannya, Polri tampak seperti orang tua ringkih...Impoten dan sama sekali tidak berdaya.

Kalau kejaksaan sih memang lebih dikenal reputasinya sebagai teman baik koruptor, jadi jujur saja sulit bagi saya untuk menunjukkan prestasi institusi ini.

Apa yang terjadi ini adalah situasi yang sangat tidak normal dalam penyelenggaraan sebuah negara. Ketidak normalan inilah yang menjadi alasan kelahiran KPK. Lalu KPK akan dimatikan lagi kalau kedua institusi diatas sembuh dari impotensi ketika berhadapan dengan korupsi.

Jadi anggota dewan yang terhormat kalau anda kebetulan membaca tulisan ini camkanlah...yang saya tulis di bawah ini.

Seandainya Institusi Polisi dan Jaksa berjalan normal...KPK tidak akan dibutuhkan.
Seandainya Polisi dan Jaksa tidak bisa dibeli....KPK tidak akan pernah ada.
Seandainya Polisi dan Jaksa...dengan sadar cepat membersihkan diri, tentu sekarang keberadaan KPK tidak dibutuhkan lagi.

Jadi tidak seperti prasangka busuk anda yang menyangka kalau gerakan moral dan kemarahan yang ditunjukkan rakyat Indonesia saat menentang penahanan Bibit dan Chandra adalah karena rakyat Indonesia terlalu memuja KPK dan membenci Jaksa dan Polisi.

Anggota dewan yang terhormat, yang terjadi justru adalah sebaliknya.

Sebenarnya rakyat Indonesia marah adalah karena rakyat Indonesia CINTA kepada kejaksaan dan Polisi. Orang-rang di Indonesia ini emosi karena ingin memiliki aparat hukum yang bersih dan berpihak kepada rakyat. Rakyat Indonesia marah karena rakyat Indonesia muak dan benci melihat keberadaan KPK yang terlalu lama eksis dalam sistem hukum negara ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Sabtu, 07 November 2009

Indonesia Raya Ternyata Tidak Butuh Instrumen Hukum Yang Rumit

Pada kamis malam yang lalu, dalam pertemuan dengan Komisi III DPR yang terhormat yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi, Susno Duadji, Kabareskrim POLRI Non aktif bersumpah bahwa dia sama sekali tidak menerima dana 10 Milyar terkait kasus Bank Century. Menanggapi hal itu anggota Komisi III DPR manggut-manggut bahkan sebagian dengan antusias bertepuk tangan mengamini.

Sebagai penonton, kita harus memahami bahwa apa yang ditunjukkan oleh Komisi III DPR itu adalah komunikasi politik kepada konstituen pemilih mereka. Yang kita lihat malam itu adalah penegasan dari Komisi III DPR RI kepada konstituen pemilih mereka bahwa Susno Duadji sama sekali bersih dari segala tuduhan keterlibatannya dalam kasus Bank Century. Buktinya (Dalam komunikasi yang dibangun oleh anggota komisi II DPR RI tersebut) Susno Duadji berani BERSUMPAH atas nama TUHAN yang suci.

Belum cukup sampai di situ, untuk lebih memperkat unsur dramaturgi (sisi terpenting dalam menilai keseluruhan sebuah cerita) kejadian ini dilanjutkan dengan adegan mengharukan ketika Susno Duadji dengan berurai air mata membuat klarifikasi. Bagi Susno Duadji sendiri, dengan aksinya malam itu dia ingin menunjukkan kepada seluruh rakyat negeri ini bahwa dia sedang diperlakukan tidak adil, dia dizalimi.

Inilah yang dimaksudkan oleh Komisi III DPR RI , Kapolri dan juga Susno Duadji malam itu. Pernyataan tegas Komisi III DPR RI malam itu baik secara eksplisit maupun langsung, di hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan berbagai pernyataan yang lebih menguatkan maksud yang ingin mereka sampaikan tersebut.

Kepada konstituen pemilihnya malam itu Komisi III DPR RI menegaskan bahwa ketika Susno sudah berani bersumpah menyebut nama Tuhan yang suci apalagi sampai meneteskan air mata segala. Maka segala dugaan keterlibatan Susno dalam kasus Bank Century otomatis jadi tidak terbukti. Jadi rakyat negeri ini yang suaranya mereka wakili jangan pernah lagi menuduh Susno apalagi kepada institusi Polri bahwa dalam kasus Bibit-Chandra yang menghebohkan itu institusi ini dan terutama Susno Duadji sendiri merekayasa perkara karena dendam pribadi atau karena sesuatu hal yang ditutupi. TUHAN adalah entitas tertinggi, kalau entitas tertinggi itupun sudah tidak dipercaya lagi apalagi yang bisa kita meyakinan kita. Itulah sebenarnya inti dari semua yang ditampilkan Komisi III DPR RI malam itu.

Sebagai warga negara yang baik yang telah dengan sukarela mempercayakan suara kita kepada mereka sesuai dengan sila ke-empat Pancasila yang menjadi dasar negara ini. Kita tidak seharusnya berburuk sangka pada wakil-wakil kita yang duduk di Komisi III DPR RI yang terhormat itu.

Sebaliknya, sebagai warga negara yang baik, kita harus memahami apa yang terjadi malam itu sebagai pelajaran dan tuntunan dari Komisi III yang terhormat itu. Apa yang mereka tunjukkan malam itu harus kita tiru dalam keseharian kita.

Karena itu supaya tidak salah langkah dalam kehidupan bernegara, marilah kita telaah secara lebih mendalam apa yang terjadi malam itu.

Kalau kita telaah kejadian malam itu secara lebih mendalam, maka kita akan memahami bahwa dalam acara yang disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi. Melalui dukungan mereka kepada Susno Duadji, Komisi III DPR RI yang terhormat sebenarnya sedang memberitahukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa negara yang bernama Indonesia ini sebenarnya sama sekali tidak butuh Polisi, Jaksa, Pengacara, Pengadilan dan semua instrumen hukum yang rumit berbiaya mahal.

Untuk membuktikan seseorang tersangkut perkara atau tidak. Yang bersangkutan cukup disuruh BERSUMPAH atas nama TUHAN yang suci di depan anggota dewan terhormat. Sebagaimana yang telah dilakukan Susno Duadji.

Penempatan sosok Susno Duadji sendiri dalam komunikasi politik yang dibangun oleh Komisi III DPR RI yang terhormat ini juga tidak boleh kita pahami sebagai sebuah kebetulan.

Susno Duadji adalah seorang KABARESKRIM, seorang yang sangat ahli dalam berbagai teknik untuk membuktikan seseorang tersangkut perkara atau tidak. Dia bukan orang sembarangan. Tapi malam itu, Susno Duadji yang sangat ahli ini di depan kamera televisi yang disaksikan jutaan pasang mata mendeklarasikan dengan jelas bahwa semua keahlian yang dia punya untuk menjerat seseorang menjadi tersangka, tersangkut atau tidaknya seseorang dalam sebuah perkara adalah sebuah KEAHLIAN yang sama sekali TIDAK BERGUNA. Karena seperti yang telah ditunjukkan oleh Susno Duadji sendiri, untuk membuktikan seseorang terlibat dalam suatu perkara atau tidak, ada sebuah teknik sederhana yang berbiaya sangat murah dan tidak bisa diragukan keakuratannya yaitu meminta yang bersangkutan BERSUMPAH atas nama TUHAN yang suci.

Dengan teknik yang sederhana dan berbiaya murah seperti yang dipraktekkan oleh sang ahli sendiri seperti yang dimaksudkan oleh Komisi III DPR RI di atas, otomatis Polisi, Jaksa, Pengadilan dan semua instrumen hukum yang rumit sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkan di negara ini.

Kesimpulannya, selama ini trilyunan uang yang dialokasikan untuk sistem peradilan sebenarnya MUBAZIR. Karena uang itu dikeluarkan untuk sesuatu yang sama sekali TIDAK DIBUTUHKAN.

Dan untuk menghormati wibawa Komisi III DPR yang terhormat marilah kita rakyat negeri ini membangun kekuatan mendukung Komisi III DPR RI untuk mengeluarkan undang-undang penghapusan POLRI, KEJAKSAAAN dan segala sistem hukum yang sama sekali tidak dibutuhkan dari negara. Uang yang selama ini digunakan untuk membiayai hal yang tidak perlu itu cukup dibelikan KITAB SUCI, sisanya bisa dialihkan ke kebutuhan lain yang lebih mendesak. entah itu pendidikan, kesehatan, pembiayaan kewiraswastaan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang untuk menjalankannya dibutuhkan lebih dari sekedar kesaksian dengan menyebut nama TUHAN yang SUCI.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.wnwannur.blogspot.com

Minggu, 01 November 2009

Anak Haram Bernama KPK dan Kampus-Kampus Yang Melulu Berisi BANCI

Korupsi yang dimulai dari kejadian kecil-kecilan di akhir tahun 1960-an, pada masa itu Abdul Haris nasution mulai mengkawatirkan perkembangan itu. Seorang petinggi orde baru ketika itu bisik-bisik menyebut korupsi seperti "kentut, tidak kelihatan tapi terasa baunya". Kurang lebih seperti itulah yang dikatakan Widodo Dwi Putro di Kompas 30/10/2009 dalam rubrik Opini.

Itu cerita dulu, selanjutnya tidak begitu lagi. Dalam perkembangan selanjutnya Korupsi dari yang dilakukan malu-malu sampai kemudian dipamerkan terang-terangan dan kemudian menjadi budaya. belakangan kalau ada pejabat atau aparat pemerintahan yang tidak korupsi malah terlihat aneh. Dalam peri kehidupan bermasyarakat tidak dihormati (karena tidak kaya) di kalangan koleganya dimusuhi karena dianggap menghambat 'kemajuan'.

Dalam waktu-waktu selanjutnya, seluruh sistem di negara ini pun terinfeksi oleh virus yang bernama korupsi itu. Seluruh pilar demokrasi mulai dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif terinfeksi parah virus korupsi. Sehingga orang-orang yang mengambil peran dalam tiga pilar demokrasi itu merasa, seperti itulah sistem kenegaraan yang normal.

Tapi tentu saja itu tidak normal, meskipun banyak anggota masyarakat yang memaklumi tapi tetap ada sekeklompok orang yang berpikiran jernih yang merasakan penderitaan yang trjadi akibat extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa yang bernama korupsi ini.

Di paruh akhir tahun 1990-an, ketika kawasan dilanda krisis ekonomi semua negara di kawasan ini terpuruk. Tapi belakangan negara-negara tersebut cepat bangkit dan menemukan kembali keseimbangan dalam ekonomi, kecuali negara ini. Saat itulah kesadaran tentang betapa berbahaya dan besarnya daya rusak korupsi semakin menjadi kesadaran kolektif di negara ini.

Pada masa itu, kepongahan aparat, pameran korupsi yang ditampilkan terang-terangan sedang berada pada puncaknya. pada saat bersamaan tekanan dan penderitaan yang dirasakan oleh rakyat negeri ini pun sedang berada pada puncaknya. Dari beratnya tekanan itulah muncul energi ledakan bernama reformasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Reformasi 98 ini berhasil menurunkan Soeharto yang menjadi puncak dan biang dari gunung es korupsi yang telah menggurita di negara ini.

Semangat reformasi 98 inilah yang kemudian melahirkan KPK untuk menjadi salah satu anggota keluarga dalam sistem yang mengatur negara ini.

Soeharto memang telah jatuh, tapi yang menjalankan sistem di negara ini masih orang di sistem lama yang masih hidup dalam kebiasaan lama, kalaupun ada orang baru, merekapun biasanya ikut larut dalam sistem bergaya lama, sedikit sekali yang tidak terinfeksi.

Kemudian, Pasca reformasi, demokrasi yang terbangun di Indonesia ini adalah demokrasi biaya tinggi. Kekuatan politik di Indonesia dibangun dengan biaya tinggi. Dan haqmpir bisa dipastikan uang yang dipakai untuk membiayai demokrasi biaya tinggi itu adalah uang haram A.K.A uang korupsi. Di negara ini mana ada orang yang mau menghamburkan uang halal yang didapat susah payah untuk dibuang-buang dalam pertarungan politik. Kalaupun ada, itu adalah penjudi yang menaburkan uang itu dengan harapan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar lagi.

Begitulah jika sistem dan demokrasi pasca reformasi ini diibaratkan sebagai ibu dan KPK, lembaga yang dilahirkan pasca reformasi sebagai anaknya. Maka kitapun bisa melihat bahwa kelahiran anak yang bernama KPK ini bukanlah kelahiran yang diharapkan oleh sang ibu dan keluarga besarnya (seluruh sistem yang telah menjadi status quo di negara ini). KPK bukanlah anak yang lahir dari buah cinta ibu dan bapak yang kelahirannya begitu dinantikan oleh orang tuanya. Dalam pandangan 'ibu'-nya, KPK adalah anak yang lahir dari proses pemerkosaan', lahir dari bibit yang ditaburkan dengan paksa oleh 'haram jadah' bernama REFORMASI.

Sudah berstatus 'haram jadah', anak haram bernama KPK ini pun dengan cepat tumbuh menjadi anak yang 'tidak tahu diri'. Kelakuan 'anak haram' ini sama sekali tidak mirip Ibu dan keluarga besarnya, sebaliknya kelakuannya persis seperti bapak kandungnya 'si haram jadah pemerkosa' yang bernama 'REFORMASI'. Di usianya yang telah belia KPK, menghantam dengan telak jantung korupsi yang merupakan seumber kehidupan utama bagi 'keluarga besarnya'. Kelakuan KPK si anak haram ini sangat berbeda dengan kelakuan komisi-komisi sejenis yang sedikitnya berjumlah enam. keenam anak kandung keluarga besar ini yang mirip KPK tersebut sekarang semuanya telah berstatus almarhum.

Belum pernah ada dalam sejarah negara ini ada pejabat daerah dan pusat yang sakit jantung dan berkeringat dingin mendengar kedatangan personel sebuah lembaga penegakan hukum, hanya KPK.

Yang paling kurang ajar dari semuanya adalah, KPK bahkan tanpa menunjukkan rasa empati apalagi terima kasih, malah mengacak-acak kehormatan DPR, ibu kandung yang melahirkan, menyusui dan membesarkannya.

Akibatnya kekurang ajaran KPK si anak haram jadah ini pun semakin lama semakin meresahkan dan membuat tidak nyaman seluruh keluarga besarnya dan KPK pun akhirnya benar-benar dibenci. Sehingga sangatlah wajar kalau keluarga besar ini pun secara bersama-sama ingin menghabisi KPK, anak jadah yang kurang ajar ini. Ketika keinginan ini mengkristal dan berlanjut menjadi aksi, kita tidak melihat adanya satupun keberatan berarti dari anggota keluarga besar ini untuk menggagalkan aksi itu.

Yang menolak beramai-ramai, yang berdiri kukuh di belakang anak jadah bernama KPK ini hanyalah orang-orang yang diuntungkan dengan kelahirannya. Yaitu RAKYAT BIASA yang statusnya tidak lain hanyalah orang luar alias pelengkap penderita dalam keluarga besar ini.

Tapi yang sangat mengherankan saya adalah MAHASISWA yang merupakan pilar utama REFORMASI, BAPAK KANDUNG KPK, yang sangar, berotot dan berwajah keras yang dulu berhasil menurunkan SOeharto. Yang meskipun tidak termasuk dalam keluarga besar yang membesarkan KPK, tapi saya tahu sangat menyayangi anaknya kok adem ayem saja dan tidak bertindak apapun atas masalah yang dialami anak kandungnya ini.

Di televisi, sosok-sosok yang dulu sangat sangar ini sekarang dengan jas almamater kebanggaan tampak begitu berwibawa pamer intelektualitas dalam acara "Bukan Empat Mata" yang diasuh oleh Tukul Arwana.

Seorang adik kelas sekaligus paman saya, anak Teknik Sipil angkatan 95 yang tahun 1998 dulu merupakan salah seorang yang berpanas-panas dan berteriak dan lari pontang-panting dikejar aparat ketika meneriakkan Reformasi mengatakan " Harga untuk berkata benar..memang tertinggi dan sangat mahal, tapi harga untuk berkata salah, ternyata juga lumayan mahal. Yang termurah dan nyaris cuma-cuma, hanya harga utk yg selain dari keduanya, yaitu harga untuk plin plan atau diam tak peduli, disitulah para pengkhianat dan pengecut bersembunyi".

Itulah yang kita saksikan hari ini, harga termurah yang nyaris cuma-cuma itulah yang dipilih oleh MAHASISWA yang menuntut ilmu di seluruh kampus yang ada di negeri ini.

Kemudian jika kita periksa dan benar-benar kita amati...maka kitapun akan mendapati kenyatan bahwa situasi aman dan nyaman pasca reformasi, telah membuat sosok yang sangar, berotot dan berwajah keras yang duduk manis di bangku-bangku perkuliahan itu berubah menjadi BANCI.

Wassalam

Win Wan Nur

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com