Rabu, 23 Desember 2009

BAHAN BAKAR AIR, Solusi Pengurangan Emisi

"...saya percaya suatu saat nanti, air dapat menjadi bahan bakar masa depan" -Jules Verne, L'Île mystérieuse.

Sepulang dari Kopenhagen beberapa waktu yang lalu, kening SBY mengkerut. SBY dan para pemimpin negara berkembang dituntut untuk mengurangi emisi karbon di negara masing-masing. Masalahnya, jika emisi diturunkan, itu juga berarti produksi akan turun dan kemiskinan akan naik. Ini adalah masalah bersama seluruh umat manusia saat ini.

Sebenarnya, masalah itu tidak perlu terjadi seandainya kita bisa menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan yang dalam proses pembakarannya tidak menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya bagi keselamatan manusia dan banyak makhluk hidup lainnya.

Bahan bakar apakah yang bisa seramah itu?...jawabannya adalah AIR.

Bagi sebagian kita ini terdengar sangat janggal, karena selama ini air kita kenal alih-alih sebagai bahan bakar tapi malah lebih dikenal sebagai alat pemadam api. Tapi apakah karena sifatnya yang sekilas berlawanan itu air kemudian tidak bisa digunakan untuk menyalakan api?. Jawabannya adalah tidak. Mengenai pandangan tentang mustahilnya air menjadi bahan bakar, hal ini sama saja dengan pikiran orang jaman dulu yang mengatakan mustahil besi bisa mengapung dilautan. Orang pada zaman itu pasti akan melongo keheranan melihat besi sebesar Kapal Oasis of The sea mengambang di lautan. Bukan hanya mengambang di lautan, kini bahkan besi bisa terbang mengangkut ratusan orang.

Jules Verne (8 Februari 1828 - 24 Maret 1905) adalah seorang pengarang novel berkebangsaan Perancis yang oleh banyak penggemar sastra dianggap sebagai bapak pengarang aliran fiksi ilmiah.

Dalam novelnya L'Île mystérieuse yang ditulis antara tahun 1873-1875, Verne sudah memperkirakan kalau suatu hari nanti air akan menjadi bahan bakar.

Di dunia nyata, tahun 1897 Luther Wattles dikabarkan menggunakan air sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mobilnya. Terus selanjutnya tahun 1930 Rudolf A. Erren berhasil melakukan eksperimen penggunaan air sebagai pengganti bahan bakar fosil. Kemudian tahun 1932 Henry "Dad" Garret asal texas Amerika Serikat menemukan sistem karburator untuk bahan bakar air. Hasil penemuannya itu kemudian dibeli oleh perusahaan minyak dan tidak ada kabarnya lagi sampai hari ini.

Setelah itu bisa dikatakan inovasi baru terhadap teknologi ini mati suri sampai pada tahun 1974 seorang warga Australia yang tinggal di Sidney bernama Yull Brown yang terinspirasi buku-bukunya Jules Verne dan kisah-kisah penemuan bahan bakar air menemukan gas hasil elektrolisa dari air yang berupa campuran hidrogen dan oksigen (HHO) yang secara sempurna mampu dijadikan bahan bakar yang menggerakkan mesin. Oleh Yull Brown gas ini dipatenkan dengan namanya sendiri sebagai BROWN GAS.

Setelah penemuan Yull Brown itu selanjutnya ada beberapa penemuan penting tentang bahan bakar air ini, tapi yang paling fenomenal adalah Stanley Meyer yang berhasil dengan sempurna menemukan sistem elektrolisa air. Kemudian oleh Stanley Meyer gas hasil elektrolisa itu dia pakai untuk menjalankan mobilnya, tanpa tangki hidrogen dan tanpa bahan bakar fosil. Hasilnya, pada tahun 1995 mobil VW Kodok miliknya berhasil berjalan sejauh 160 Km hanya dengan menggunakan 3 liter air.

Seperti penemuan cemerlang sebelumnya, penemuan Stanley Meyer ini pun langsung mengundang minat perusahaan minyak untuk membelinya. Tapi berbeda dengan Henry "Dad" Garret yang bersedia menjual hasil penemuannya, Stanley Meyer menolak tawaran miliaran dollar dari perusahaan minyak. Karena dia bertekad memberikan penelitian ini bagi masyarakat. Malam 21 maret 1998, pada usia 57 tahun, selesai makan malam, Stanley Meyer meninggal di halaman parkir sebuah restoran di Grove City Ohio. Sebelum meninggal, Stanley Meyer berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya "aku diracun", katanya.

Tapi ternyata kematian Meyer bukanlah akhir bagi inovasi yang menjadi solusi bagi pengurangan emisi tanpa perlu mengurangi produksi ini. Setelah kematian Meyer, teknologi elektrolisa air menjadi gas HHO yang dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar tanpa memerlukan tangki hidrogen ini berkembang di berbagai belahan dunia dan menjadi teknologi "open source" tanpa paten, jadi siapapun bisa mengembangkannya.

Hasilnya tahun-tahun belakangan di abad ke 21 ini, kita pun menemukan banyak ragam penemuan alat yang berkaitan dengan teknologi ini. Mulai dari Amerika sampai ke Malaysia orang-orang telah mengembangkan teknologi ini dan menerapkannya pada kendaraan pribadi masing-masing. Salah satu di antaranya adalah mobil Hummer yang gambarnya saya post di artikel ini.

Prinsip elektrolisa air ini sebenarnya sederhana saja, yaitu menggunakan listrik dan memasukkan bahan kimia yang bersifat asam ke dalam air. Lalu dengan bantuan arus listrik bahan kimia dalam air tersebut akan bereaksi memisahkan molekul air (H2O) menjadi HHO yang mudah terbakar.

Bahan kimia yang bersifat asam tersebut bisa apa saja, mulai dari bahan kimia rumit semacam NaOH, KOH sampai air jeruk, air belimbing, air kelapa bahkan air kencing pun bisa digunakan sebagai bahan dasar untuk menghasilkan gas HHO. Masalahnya adalah; bahan kimia yang bersifat asam ini juga memakan pelat yang diperlukan sebagai anoda dan katoda dalam proses elektrolisa air. Jadi saat ini orang-orang yang mengembangkan alat ini semuanya sedang berusaha menyempurnakan alatnya masing-masing. Baik itu dari segi kecocokan bahan kimia ataupun dari segi kepraktisan.

Sampai sejauh ini, penemuan di berbagai negara itu semuanya masih tetap menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar utama, bahan bakar air dipakai sebagai bahan bakar penunjang untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil (HIBRIDA).

Pada beberapa eksperimen konsep hibrida ini terbukti bisa membantu pengurangan emisi sampai 30 %. Bahkan dua peneliti Indonesia bernama Poempida Hidayatullah dan F Mustari (sebagian informasi dalam artikel ini saya kutip dari buku karangan mereka berdua) dalam sebuah ujicoba berhasil menghemat penggunaan bahan bakar Mitsubishi L 300 sampai 94%. Jadi dengan adanya alat seperti ini dan seandainya alat semacam ini bisa diproduksi secara massal, segala perdebatan di Kopenhagen tentang pengurangan emisi sebagai mana terjadi beberapa hari yang lalu sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena dengan adanya alat seperti ini penurunan emisi tidak perlu diikuti dengan penurunan produktivitas.

Saat ini satu-satunya masalah yang menghalangi pemakaian bahan bakar air secara massal adalah; belum adanya industri yang memproduksi alat ini secara massal. Beberapa orang beranggapan kalau hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan minyak yang mencoba menghalangi. Tapi karena semakin lama harga minyak semakin melambung dan pencemaran udara semakin lama semakin mengkhawatirkan penduduk bumi, maka kebutuhan untuk pemakaian teknologi bahan bakar air ini semakin tidak bisa ditunggu lebih lama lagi.

Karena itulah saat ini saya sangat yakin kalau secara diam-diam banyak perusahaan di dunia yang sedang berlomba dalam diam untuk mengembangkan teknologi ini untuk bisa diproduksi secara massal. Bahkan saya yakin sekali kalau sepuluh tahun dari sekarang semua mobil baru yang diproduksi akan dilengkapi dengan alat elektrolisa air yang menghasilkan HHO alias bahan bakar air ini.

Wassalam

Win Wan Nur

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

Kamis, 17 Desember 2009

Hidrogen; Sumber Energi Utama di Masa Depan

Pada masa kita hidup sekarang ini, sebagai manusia hidup kita begitu tergantung pada mesin.

Sekarang saat anda membaca tulisan saya ini dan melihat ke sekeliling anda, saya bisa pastikan tidak satu pun yang di sekeliling anda itu yang benar-benar lepas dari ketergantungan terhadap mesin, baik langsung maupun tidak. Bangunan tempat kita berteduh, jalan yang kita leati, pohon yang ditanam di halaman bahkan Cicak yang berjalan di dinding pun berjalan di dinding dengan bahan-bahan yang dibuat dengan mesin.

Sekarang, nasi yang kita makan juga diproduksi dengan mesin, mulai dari pengolahan lahannya, pupuknya, proses pemisahan kulit dan bijinya semua dilakukan dengan mesin. Komputer yang kita pakai, AC yang mendinginkan ruangan kita, baju yang kita pakai, bahkan dua anak lelaki kembar saya yang masih dalam kandungan istri saya pun saya ketahui jenis kelaminnya menggunakan mesin.

Mesin membuat jarak di muka bumi ini menjadi tidak lagi berarti. Berkat mesin kita dapat bertemu dengan orang di belahan manapun di planet ini dengan mudah, baik hanya bertemu secara virtual maupun fisik.

Sementara itu, mesin sendiri hanyalah ALAT. Mesin hanya bisa berjalan kalau ada ENERGI, tanpa energi tidak ada mesin, tidak ada mesin tidak ada peradaban modern. Karena itulah dalam peradaban modern ini ENERGI menjadi isu yang paling besar yang penguasaannya diperebutkan dengan ketat oleh semua negara, perebutan kuasa atas sumber energi ini tidak jarang sampai menimbulkan perang.

Selama bertahun-tahun belakangan ini, bahan bakar fosil yaris menjadi satu-satunya sumber energi di planet ini. Sehingga tidak heran kalau tahun-tahun belakangan ini pula kita pun menyaksikan bagaimana wajah dunia babak belur akibat perebutan kuasa atas sumber utama penghasil energi ini.

Belakangan setelah penggunaan energi fosil dengan skala masif terutama dalam seabad terakhir ini, kita pun dihadapkan dengan berbagai masalah. Ketika dibakar untuk menghasilkan energi, bahan bakar fosil ini melepaskan karbon ke udara. Pelepasan karbon ini menyebabkan polusi dan merusak ozon, membuat bumi yang kita diami semakin panas. Meningkatnya produksi karbon hasil pembakaran bahan bakar fosil ini belakangan disinyalir telah menjebabkan fenomena pemanasan global (Global Warming). Meskipun fenomena pemanasan global masih didebat kesahihannya oleh beberapa ilmuwan, tapi tidak bisa tidak tetap saja fenomena ini menimbulkan kecemasan massif bagi warga dunia.

Masalah dengan bahan bakar fosil ini tidak hanya sampai di situ. Masifnya konsumsi bahan bakar ini dalam seabad terakhir, membuat fakta menipisnya cadangan bahan bakar ini tidak bisa kita hindari.

Sementara itu, ketika cadangan bahan bakar fosil semakin menipis, kebutuhan atas energi bukannya turun malah semakin hari semakin tinggi. Akibatnya sesuai prinsip ekonomi Penawaran dan permintaan, maka tanpa bisa dihindari harga bahan bakar ini pun semakin hari semakin melambung tinggi.

Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena kalau sampai terjadi dan manusia belum menemukan alternatif lain sebagai sumber energi, peradaban modern pun akan segera berakhir bersamaan dengan habisnya cadangan bahan bakar fosil.

Karena alasan itulah, belakangan kita lihat mulai banyak usaha umat manusia untuk mulai memanfaatkan sumber energi terbarukan dengan lebih maksimal. Sumber energi terbarukan itu bisa berupa tenaga matahari, angin, air, panas bumi, bio massa bahkan gelombang laut.

Sejauh ini, meskipun beberapa sumber energi itu terbukti efektif dalam mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, tapi hampir semua sumber energi terbarukan itu tidak bisa menyaingi bahan bakar fosil dari segi kepraktisan. Bahan bakar fosil memiliki sifat yang mobil, gampang disimpan dan dipindah-pindahkan. Tidak statis seperti banyakan sumber energi terbarukan itu.

Sebenarnya selain berbagai sumber energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas, masih ada satu sumber energi lain yang sangat potensial menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil ini bernama Hidrogen. Dibandingkan semua energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas Hidrogen memiliki beberapa keunggulan antara lain ; bahan bakar hidrogen bersifat mobil seperti bahan bakar fosil yang kita kenal selama ini. Bedanya, tidak seperti bahan bakar fosil, pembakaran hidrogen tidak menyebabkan polusi karbon.

Ketika terbakar, hidrogen melepaskan energi berupa panas dan menghasilkan air sebagai bahan buangan (2H2 + O2 —> 2H2O). Sama sekali tidak mengeluarkan karbon. Jadi penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi polusi Karbon Dioksida dan juga Karbon Monoksida sehingga sekaligus mengurangi efek rumah kaca (meskipun pembakaran hidrogen juga menghasilkan polutan berupa Nitrogen Oksida dalam jumlah kecil).

Dibanding bahan bakar fosil yang umum kita gunakan selama ini, Bensin dan solar, pemakaian hidrogen sebagai bahan bakar jauh lebih efektif dalam pembakaran.

Sebagai perbandingan 1 pound bensin yang dibakar pada suhu 25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer akan menghasilkan panas antara 19.000 Btu (44,5 kJ/g) s/d 20.360 Btu (47,5 kJ/g), sedangkan 1 pound Solar bisa menghasilkan panas antara 18.250/lb (42,5 kJ/g) s/d 19,240 Btu (44,8 kJ/g).

Hidrogen sendiri dalam kondisi yang sama (25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer) dengan berat yang sama mampu menghasilan panas 51.500 Btu/lb (119,93 kJ/g) sampai 61.000 Btu (141,86 kJ/g) yang berarti hampir 3 kali lipat dari panas yang bisa dihasilkan oleh pembakaran bensin dan solar.

Keunggulan lain dari Hidrogen adalah jumlahnya di alam ini sangat melimpah, 93 % dari seluruh atom yang ada di jagat raya ini adalah Hidrogen, unsur yang paling sederhana dari semua unsur yang ada di alam ini . Tiga perempat dari massa jagat raya ini adalah Hidrogen. Di bumi sendiri bentuk hidrogen yang paling umum kita kenal adalah air (H2o).

Hanya, meskipun memiliki banyak keunggulan dibanding bahan bakar lain, hidrogen juga memiliki kelemahan. Kelemahan Hidrogen (H2) ini sebagai bahan bakar adalah sifatnya sebagai sumber energi yang tidak bersifat langsung (primer) sebagaimana halnya gas alam, minyak atau batubara. Hidrogen adalah energi turunan (Sekunder) sebagaimana halnya listrik yang tidak bisa didapat langsung dari alam, melainkan harus diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain seperti Gas alam, minyak, batu bara, nuklir, energi matahari dan berbagai sumber energi lainnya.

Tapi meskipun hidrogen tidak bisa dilepaskan dari kelemahannya itu, tetap saja dalam skala kecil sudah banyak negara di dunia memanfaatkan hidrogen sebagai bahan bakar. Negara itu sebut saja Amerika serikat misalnya. Sebagai negara yang pengkonsumsi energi terbesar di dunia, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling aktif mengembangkan riset untuk mengembangkan Hidrogen sebagai bahan bakar. Pada tahun 1992 pemerintah Amerika mendirikan The Hydrogen Technical Advisory Panel (HTAP), untuk memberikan masukan kepada Menteri Energi tentang potensi hidrogen.

Kebanyakan dari hidrogen yang diproduksi sampai hari ini (di Amerika maupun di negara lain) adalah hidrogen yang didapat dari gas alam (CH4) melalui proses yang disebut "steam reforming". Tapi yang lebih potensial untuk dilakukan di masa depan adalah memproduksi hidrogen dari air melalui proses elektrolisis atau langsung menggunakan reaksi fotokimia.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, hidrogen itu seperti listrik yang merupakan sumber energi sekunder yang diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain. Pada kenyataanya hidrogen dan listrik memang bagaikan dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama. Hidrogen bisa diproduksi dengan menggunakan tenaga listrik melalui proses elektrolisis, sebaliknya hidrogen bisa digunakan untuk memproduksi listrik bebas polusi melalui proses elektrolisis pula.

Karena bersifat sekunder itulah, untuk tahap awal penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar, kita harus mengkombinasikan penggunaannya dengan bahan bakar primer (hibrida). Jadi fungsi hidrogen lebih sebagai bahan bakar pendamping yang berfungsi membantu mesin mengurangi konsumsi bahan bakar utama.

Memadukan teknologi elektrolisis yang menghasilkan hidrogen dari air dengan teknologi pembakaran menggunakan bahan bakar bensin atau solar kepada kendaraan ataupun mesin industri terbukti cukup efektif mengurangi konsumsi bahan bakar fosil antara 15-50 %. Jadi kalau saja teknologi seperti ini bisa diterapkan secara massal, konsumsi bahan bakar fosil tentu bisa diturunkan tanpa perlu ribut-ribut dan tarik urat seperti yang terjadi di Kopenhagen sekarang, karena disamping menghemat penggunaan bahan bakar fosil, penggunaan teknologi ini juga secara efektif mengurangi produksi karbon yang hari-hari belakangan ini menjadi pokok perdebatan para pemimpin berbagai negara yang sekarang sedang melakukan konferensi di Kopenhagen.

Untuk di Indonesia sendiri, kalau saja teknologi ini bisa digunakan secara masif, hal itu tentu akan banyak mengurangi 'sakit kepala' pemerintah yang setiap tahunnya harus menganggarkan uang APBN dalam jumlah yang tidak sedikit untuk mensubsidi BBM.

Karena daya tarik teknologi pemanfaatan hidrogen yang diproduksi dari air melalui proses elektrolisis inilah sekarang banyak negara yang sudah mulai mengembangkan teknologi ini. Negara-negara itu di antaranya Malaysia, Cina, Jepang dan tentu saja Amerika Serikat.

Kemudian pertanyaannya Indonesia kapan?. Kalau untuk mengembangkan teknologi ini kita harus menunggu pemerintah dan para sarjana yang memiliki sederet gelar di berbagai universitas terkenal di negeri ini yang mengambil inisiatif, maka jawabannya adalah WALLAHU ALAM. Ini disebabkan karena seperti yang sudah-sudah, orang-orang yang duduk di pemerintahan Indonesia dan juga para sarjana dan akademisi di negara ini jarang sekali ada yang mampu berpikir di luar bingkai. Para sarjana dan akademisi di negara ini lebih banyak terdiri dari orang-orang yang terlalu bangga dan silau dengan gelar yang mereka miliki.

Kalaupun ada ilmuwan di Indonesia yang cukup brilyan maka biasanya dia akan dihadapkan pada kurangnya dukungan dana untuk mewujudkan ide brilyan-nya. Di Indonesia ini, ide dan pemikiran hebat tidak pernah dihargai secara wajar. Beda dengan katakanlah Taiwan yang jika ada orang yang punya ide yang cukup cemerlang, maka pemerintah akan memberi dukungan dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian, yang semuanya akan dibayar jika penelitian itu sudah menghasilkan. Maka tidak heranlah jika akhirnya negara asinglah yang mengambil manfaat dari banyak bakat brilyan yang lahir di negeri ini.

Kembali ke hidrogen, sebagaimana juga untuk mengembangkan Pariwisata, untuk mengembangkan teknologi hibrida hidrogen dengan bahan bakar fosil ini pun, di Indonesia kita hanya bisa berharap kepada SWASTA. Karena di Indonesia ini pemerintah sebagaimana biasanya hanya bisa menjadi pahlawan kesiangan yang baru muncul belakangan, setelah masalah terselesaikan.

Wassalam

Win Wan Nur

Selasa, 15 Desember 2009

Krueng Peusangan dan Lake Geneva

Kemarin seorang teman men-tag saya di sebuah note berjudul Takengen Van Geneva. Note ini ditulis oleh Sabela Gayo yang mengaku sebagai . Dalam tulisannya Sabela mengatakan banyak kemiripan antara Takengen dan geneva. Dia bisa jadi benar karena seperti takengen, Swiss adalah sebuah wilayah yang terkenal dengan banyaknya gunung dan dan danau-danau cantik yang menghiasinya.

Salah satu dari beberapa danau yag cantik itu adalah danau yang oleh orang luar disebut danau Jenewa atau Lake Geneva dalam dialek Inggris. Tulisan Sabela ini mengingatkan saya pada danau kebanggaan orang Swiss ini.

Danau Jenewa ini bisa dikatakan sebagai salah satu danau yang paling terkenal di dunia. Di samping karena kecantikannya danau ini juga terkenal karena di sepanjang tepiannya banyak berdiri kantor-kantor pusat berbagai badan PBB dan organisasi Internasional lainnya.

Setiap tahun, di danau ini diselenggarakan sebuah festival internasional yang sangat meriah. Perayaan festival ini menyedot kehadiran banyak turis setiap tahunnya. "Smoke on the water" adalah salah satu lagu terkenal dari grup band legendaris Deep Purple yang liriknya bercerita tentang festival tahunan yang diselenggarakan di salah satu tepian danau cantik itu. (Mudah-mudahan festival Lut tawar yang digagas teman-teman saya bisa mengadopsi semangat dan kemeriahan festival tahunan yang diselenggarakan di tepian Lac du Leman ini)

Tapi penyebutan nama Lake Geneva sebagai mana kita dengar dalam lirik lagu "Smoke on the water" .... sebenarnya adalah penyebutan yang salah kaprah dan membuat tidak nyaman penduduk yang tinggal di tepian danau ini. Karena danau yang disebut dengan nama danau Jenewa ini sebenarnya adalah nama sebuah danau yang sangat luas yang wilayahnya mencakup Swiss dan juga Perancis. Jenewa hanyalah bagian kecil dari danau ini. Salah satu kota di Perancis yang terletak di pinggir danau ini adalah Kota Evian, kota yang terkenal memproduksi air mineral yang bermerk sama dengan nama kota itu.

Nama asli danau Jenewa ini sebenarnya adalah danau Leman atau Lac du Leman.Bagi penduduk yang mendiami tepian danau ini, menyebut nama danau ini dengan nama danau Jenewa adalah sebuah perbuatan yang sangat tidak sopan. Karena dengan penyebutan seperti itu berarti kota-kota lain yang juga terletak di tepi danau ini sama sekali tidak menghargai .

***

Di Aceh, ada sebuah sungai yang bernasib sama seperti danau Jenewa, namanya Krueng Peusangan. Kasus sungai Peusangan ini sebenarnya sama dengan pemberian nama ke Geneva yang dinamai dengan nama sebuah kota di tepian danau itu. Bedanya jika untuk Lac du Leman nama yang dilekatkan orang kepadanya adalah nama kota yang paling terkenal dibanding kota lain di tepian danau ini, untuk Krueng Peusangan, nama yang secara resmi di buku-buku geografi untuk sungai ini adalah nama sebuah kota kecil di bagian hilir sungai.

Kota terpenting yang dilewati oleh Sungai yang berhulu di danau Lut Tawar ini adalah Takengen, ibukota kabupaten Aceh Tengah yang merupakan kota terbesar dan bisa dikatakan pusat peradaban Gayo modern. Jadi kalau penamaan Lake Geneva jadi acuan, kalau sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas dilekatkan pada sungai ini adalah Wih ni Takengen.

Saat masih duduk di bangku SD saya pernah menemui sebuah peta terbitan Jakarta yang menulis nama sungai ini dengan nama terakhir.Tapi Peta-peta lain yang pernah saya miliki semua menulis nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan.

Meskipun kasus penamaan Lake Geneva dan Sungai Peusangan ini sebenarnya mirip. Tapi sikap penduduk yang mendiami kedua tempat itu sangat berbeda, jika penduduk yang mendiami tepian Lac du Leman seperti yang saya sebutkan di atas merasa tabu dan tidak nyaman (mal vu dalam bahasa Perancis) menyebut nama danau ini dengan sebutan Lake Geneva. Suku Gayo yang mendiami bagian terbesar tepian Krueng Peusangan sepertinya sama sekali tidak peduli dengan kejanggalan penamaan sungai ini.

***

Bagi suku-suku yang mendiami bumi Aceh, sungai yang merupakan sumber utama air tawar yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan juga pertanian adalah elemen penting bagi peradaban.

Keluarga saya dari pihak ibu, berasal dari Temung Penanti, sebuah kampung yang terletak di tepi sungai ini. Sewaktu masih kecil saya dan teman-teman saya yang tinggal di kampung ibu saya sangat akrab dengan sungai ini.

Bagi warga kampung kami dan juga kampung-kampung lain yang berada di tepiannya, sungai ini adalah tempat pemandian umum. Pada waktu saya masih kecil, di masa awal sampai pertengahan tahun 80-an juga menjadikan sungai ini sebagai tempat pemandian, di tempat ini pula saya belajar dan akhirnya bisa berenang.
kengen dan
Selain sebagai tempat mandi, sungai ini juga berfungsi sebagai penyedia protein utama bagi warga kampung kami. Jika di rumah sedang tidak ada lauk, warga kampung kami akan pergi ke sungai ini, ke bagian sungai berair dangkal dengan dasar berpasir untuk memunguti 'memin', kerang air tawar berukuran kecil (maksimal seukuran jari tangan) untuk kemudian dimasak menjadi sup kerang atau dikeluarkan dagingnya untuk dibuat sambal. Pada waktu saya masih kecil itu, di bagian sungai berair dangkal itu, jauh lebih mudah menemukan 'memin' ketimbang menemukan kerikil. Dengan sepotong kaca untuk alat bantu supaya memudahkan melihat dasar sungai, dalam waktu setengah jam saja satu ember memin sudah bisa kami dapatkan. Pada masa itu, di halaman belakang setiap rumah di kampung kami itu, kita selalu mendapati bukit kapur kecil yang tidak lain adalah tumpukan kulit kerang yang hampir setiap hari kami konsumsi.

Sayangnya sekarang 'memin-memin'kecil yang lezat itu sudah punah semuanya, bukan karena terlalu banyak dipunguti. Tapi 'memin-memin' itu tiba-tiba banyak yang mati dan akhirnya sekarang menghilang sama sekali.

Waktu itu, kalau kami ingin menikmati variasi lauk yang lain. Kami tinggal mendatangi bagian aliran sungai berair dangkal tapi berarus deras dengan dasar berbatu. Di tempat itu, di bawah batu-batu di dasar sungai berair dangkal dan berarus deras ini banyak terdapat ikan 'ILI', satu spesies ikan berkulit coklat dengan bintik hitam seperti macan tutul dengan ukuran tubuh maksimal sebesar jari kelingking. Dengan bermodalkan "serampang", tombak bermata dua seperti garpu yang kami buat dari peniti yang diikatkan di ujung bambu sebesar kelingking, kami mengangkat batu-batu itu dan dengan cepat menombak 'ili' yang terlihat. Untuk mendapatkan ikan ini tidak segampang mendapatkan memin, berbeda dengan memin yang dalam setengah jam kita bisa mendapatkan satu ember, dalam berburu 'ili' ini, seharian berada di sungai pun satu mangkok kecil 'ili' susah kami dapatkan. Senasib dengan 'memin', 'ili' pun sekarang sudah menghilang, bedanya kalau memin kami tidak mengetahui sebab menghilangnya, ili menghilang karena kemunculan alat penangkap ikan dengan menggunakan arus listrik dari aki yang kami sebut 'stroom'. Dengan alat ini 'ili' yang sebelumnya begitu sulit didapat dengan serampang menjadi sangat mudah ditangkap.

Sekitar tahun 1985, dengan bermodalkan satu buah alat 'stroom' kami sekampung pernah mengadakan pesta besar makan-makan di tepi sungai. Waktu itu saya ingat dalam waktu beberapa jam saja para orang tua dan kakak-kakak kami yang menggunakan alat stroom sudah mendapatkan hampir dua karung ikan berbagai jenis, mulai dari 'ili', belut, lele, gabus sampai 'denung', sejenis belut air tawar yang ukurannya bisa sampai sebesar alat takaran 2 literan.

Selain ikan-ikan itu, lauk alternatif lain yang bisa kami dapatkan di sungai ini adalah 'gerep', kepiting air tawar yang berukuran maksimal sebesar jempol kaki orang dewasa yang hidup di tempat yang sama dengan ili. Meski tidak semudan mendapatkan 'memin'mendapatkan kepiting ini jauh lebih mudah ketimbang 'ili', dengan modal yang sama seperti mencari memin yaitu kaca, seharian mencari di sungai kami bisa mendapatkan gerep sebanyak satu kantong plastik ukuran 1 kiloan.

Begitu pentingnya sungai bagi penduduk Aceh yang tinggal di sepanjang alirannya maka tidak heranlah kita menemui banyak sungai di Aceh dinamai sesuai dengan nama suku Aceh yang mendiami tepiannya. Di Aceh kita mengenal Lawe Alas yang terletak di bumi Alas yang dinamai sesuai nama suku yang mendiami daerah itu. Lalu ada Krueng Aceh yang membelah kota Banda Aceh, di Aceh Timur ada Sungai Tamiang yang dinamai sesuai dengan nama suku Tamiang dan di Aceh Selatan ada Sungai Kluet yang dinamai sesuai dengan nama suku Kluet.

Tapi anehnya, meskipun daerahnya banyak dilewati aliran sungai besar, tidak satupun sungai di Aceh yang dinamai Wih Ni Gayo.

Krueng Peusangan sendiri yang merupakan salah satu sungai terpenting di dataran tinggi Gayo, bagi orang Gayo seolah adalah sebuah sungai tanpa nama. Di
kampung saya dan semua kampung yang dilewati aliran sungai ini, orang Gayo yang mendiami tepiannya hanya menyebutnya dengan nama Wih Kul yang berarti sungai Besar. Nama Krueng Peusangan hanya akrab di telinga orang-orang di generasi saya yang mengenal nama ini dari pelajaran geografi di sekolah. Orang-orang di generasi kakek saya misalnya, sangat asing dengan nama ini. Orang-orang dari generasi bapak saya pun merasa sangat janggal menyebut nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan. Nama Peusangan yang dilekatkan pada sungai ini lebih banyak dikenal orang sebagai nama sebuah Klub Sepak Bola Garuda Pesangan yang berasal dari desa Asir-asir yang memang terletak di tepi sungai ini.

Karena itulah sampai hari ini saya masih tidak mengerti kenapa nama yang dilekatkan pada sungai tersebut adalah Krueng Peusangan, padahal sungai ini mengalir sejauh ratusan kilometer jaraknya melewati daratan luas yang sebagian besar adalah wilayah Gayo.

Kemudian karena DAS sungai ini juga yang paling banyak berada di wilayah dataran tinggi Gayo , saya jadi sering bertanya dalam hati kenapa sungai ini dinamakan "Krueng" yang berarti sungai dalam bahasa Aceh pesisir, bukan "Wih Ni" yang juga berarti sungai dalam bahasa Gayo.
Menurut logika saya, kalau pun sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas saya pikir adalah "wih ni Takengen" sebagaimana yang tertulis di sebuah peta yang saya lihat sewaktu saya duduk di bangku SD. Nama ini pantas bukan saja karena Kota ini yang terletak di hulu sungai yang merupakan sumber utama air yang mengaliri sungai ini, tapi itu juga karena kota inilah yang merupakan kota terpenting yang dilewati aliran sungai ini. Sementara Peusangan hanyalah nama sebuah kota kecil yang terletak di bagian hilir aliran sungai ini.

Tapi karena sekitar 80 % DAS (daerah aliran sungai) ini mengaliri bumi Gayo yang menyebabkan orang Gayo pun memiliki ketergantungan dan ikatan emosional yang kuat kepada sungai ini. Hubungan emosional yang jauh lebih kuat daripada yang dimiliki penduduk yang tinggal di wilayah hilirnya, kemudian fakta bahwa sungai ini pun berhulu di Danau Lut Tawar yang secara de facto merupakan simbol dari lansekap Gayo. Maka saya pikir, dibandingkan dengan nama Wih Ni Takengen akan lebih elok lagi kalau sungai ini dinamakan Wih Ni Gayo.

Tapi tentu saja itu semua hanya andai-andai saja. Sampai saat ini dan entah sampai kapan nama sungai kebanggaan orang Gayo ini tetap "Krueng Peusangan". Orang Gayo dari generasi sebelum kami, jika dibandingkan dengan orang suku Aceh bisa dikatakan rata-rata apolitis, sehingga hal-hal 'kecil' seperti ini tidak banyak menarik perhatian mereka.

Sikap mereka ini sangat berbeda dengan generasi Gayo yang seangkatan dengan saya, yang melihat kejanggalan penamaan sungai ini menjadi bertanya-tanya dalam hati. "Tidakkah pemberian nama KRUENG PEUSANGAN terhadap sungai ini berkaitan dengan politik dominasi suku Aceh yang selama ini mereka terapkan terhadap suku-suku minoritas yang sama-sama merupakan penduduk asli wilayah ini?".

Wassalam

Win Wan Nur

Kamis, 10 Desember 2009

Kenapa Nama TAKENGON Perlu Dikritisi

Tulisan saya tentang asal-usul nama TAKENGON, ternyata mendapat banyak tanggapan. Ada banyak yang setuju dengan pendapat saya tentang asal usul nama ini dan menganjurkan untuk tidak lagi menyebut nama TAKENGON karena nama asli kota ini adalah TAKENGEN.

Tapi ada yang tidak setuju menurutnya TAKENGON adalah nama TAKENGEN dalam bahasa Indonesia. Seorang rekan yang pro nama TAKENGEN tidak setuju karena menurut rekan ini "dimana-mana nama itu tidak bisa di ubah-ubah".

Menanggapi ini, menurut saya adalah hal biasa kalau nama sebuah kota diucapkan oleh orang luar dengan 'lidah' mereka.

Di Eropa misalnya nama-nama kota di Italia oleh orang Inggris semua diubah menjadi bercita rasa Inggris. Misalnya 'Napoli' menjadi 'Naples', 'Firenze' menjadi 'Florence', 'Roma' menjadi 'Rome'. Di Swiss 'Geneve' menjadi 'Geneva'. Kota 'London' di Inggris juga oleh orang Perancis namanya diubah menjadi 'Londre'. 'Makkah' di sini menjadi 'Mekkah', di Inggris menjadi 'Mecca', di Perancis jadi 'La Mec' aja.

Tapi untuk kota-kota itu, semua penghuninya dan orang yang berasal dari sana selalu menyebut nama Kota itu dengan nama aslinya.

Jadi nama Takengen diucapkan menjadi Takengon saya pikir sah-sah saja. Cuma kenapa soal nama 'Takengon' terada mengganggu bagi saya?. Itu dikarenakan penyebutan nama itu sangat erat kaitannya dengan sikap RENDAH DIRI orang Gayo terhadap diri dan adat istiadat dan budayanya sendiri. Dan yang paling menyebalkan dari semuanya adalah; nama ini merupakan pemberian CHRISTIAN SNOUCK HURGRONJE yang disewa oleh pemerintah Belanda untuk menghancurkan Aceh.

Jadi nama TAKENGON itu berkaitan erat dengan pengagungan orang Gayo nilai-nilai dari luar dan sikap pandang remeh terhadap diri sendiri. Ini adalah mentalitas khas BANGSA JAJAHAN.

Pemakaian nama Kota ini berkaitan erat dengan cara pandang penduduk kota ini terhadap dirinya sendiri.

Kalau kota-kota yang saya sebutkan di atas tidak pernah kehilangan nama aslinya, karena penduduk yang mendiaminya tetap menyebutnya dengan nama asli kota tersebut. Tidak demikian dengan TAKENGEN.

Kota kebanggaan orang Gayo ini sudah benar-benar kehilangan nama aslinya. Di setiap institusi resmi pemerintahan dan di peta nama Kota ini semua sudah menjadi TAKENGON.

Malah untuk semakin meyakinkan bahwa nama pemberian HURGRONJE inilah yang merupakan nama asli kota ini, beredar cerita bahwa nama Kota ini berasal dari kata beTA Ku ENGON. Cerita ini sangat diragukan kebenarannya, hampir mustahil mencari bukti sejarahnya, apalagi kalau referensi yang kita pakai untuk meyakininya adalah referensi seorang Gayo dengan inisial DC, yang lahir di Gayo dan besar di Afrika. Menurutnya nama ini berasal dari ekspresi orang Gayo yang melihat seorang tentara Belanda yang berteduh di bawah pohon Kelaping.

Jadi silahkan saja menyebut nama kota ini sesuai selera. Cuma untuk saya sendiri, saya merasa malu menyebut nama kota ini dengan nama TAKENGON, karena dengan menggunakan nama itu, bagi saya sama artinya dengan mengaku bahwa saya adalah seorang bangsa JAJAHAN.

Wassalam

Win Wan Nur

Senin, 07 Desember 2009

Kampus Teknik; PABRIK ROBOT, Bukan Tempat Mencetak Sarjana

Kemarin aku baru tahu kalau di facebook ada sebuah Group bernama SIKAT, kata yang sangat familiar bagiku karena kata ini adalah singkatan dari Silaturahmi Keakraban Aneuk teknik, yang merupakan sebuah acara penggojlogan alias Ospek di teknik saat kami baru memasuki fakultas ini. Istilah ini semakin terasa intim karena kamilah angkatan 92 yang merupakan angkatan pertama yang mengikuti kegiatan ini.

Yang cukup mengagetkan, setelah membuka Group ini ternyata aku sendiri adalah adminnya. Sepertinya Zulfan, teman seangkatanku di Teknik Sipil yang memasukkan aku sebagai admin di situs ini.

Kekagetan yang aku rasakan semakin bertubi-tubi, karena begitu membuka layar. Di wall group ini berisi hujatan dari seorang mahasiswa Teknik Arsitektur dengan nama facebook Dek Moens Ibn Ibrahim. Isinya hujatannya tidak tanggung-tanggung BUBARKAN GROUP INI.

Hujatan Dek Moens Ibn Ibrahim ini jelas membuat gerah anggota Group yang merasa jauh lebih senior, tanpa sama sekali menanyakan alasan kenapa Dek Moens Ibn Ibrahim mengeluarkan hujatan semacam ini.

Tapi hari ini Dek Moens Ibn Ibrahim menjelaskan alasannya. Alasan yang dia kemukakan saya paste di bawah ini :

Tabi' syara,tidak ada maksud saya untuk membubarkan SIKAT, saya salah satu diantara kawan2 yang sampai kedepan mempertahankan SIKAT.. Namun dimana 689 (ENAM RATUS DELAPAN PULUH SEMBILAN) orang anggota group ini ketika ada tekanan dari birokrasi kampus yang hampir MEMBUBARKAN SIKAT...????
ada yg bilang...
AKU BERSAMA KALIAN..
AKU DISAMPING KALIAN..
AKU DI BELAKANG KALIAN..... See More
ADA JUGA YANG NGAKU,, AKU SATU BARISAN SAMA KALIAN...

BAGIKU.......
"apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata :LAWAN"

Apa yang diungkapkan oleh Dek Moens Ibn Ibrahim ini adalah fakta yang terjadi di kampus teknik tercinta sekarang.

Banyak dari alumni Teknik yang berfikir kalau teknik masih seperti zaman dulu, kuliah begitu seru, penuh keakraban dan banyak kegiatan. Sesuai dengan motto Teknik "BUKU, CINTA DAN PESTA". Kenyataannya Teknik sekarang tidaklah demikian.

Tahun lalu ketika aku berkesempatan pulang ke Banda Aceh, aku menyempatkan diri mampir ke kampus. Suasana kampus yang aku bayangkan tentu saya seperti bayangan kampus saat aku masih kuliah dulu, suasana yang ceria dan penuh keakraban antar sesama mahasiswa. Dengan mahasiswa-mahasiswa yang tampil dengan pakaian santai dan cuek yang menganggap penampilan sebagai urusan nomer dua.

Tapi yang aku saksikan di kampus sangatlah berbeda, aku sama sekali tidak lagi mengenal Teknik. Saat masuk ke kampus fakultas ini aku merasa seperti alien yang berbeda sendiri. ROH Teknik yang membuat kampus ini disegani di Unsyiah bahkan di seantero banda Aceh seperti di saat aku kuliah dulu sama sekali tidak tersisau sedikitpun di kampus ini. Masuk ke kampus Teknik aku serasa seperti masuk ke kampus FKIP atau IAIN. Tidak ada mahasiswa dengan kaos dan Jins belel menenteng tas berisi kotak kalkir yang nongkrong di warung. Yang kulihat di Teknik adalah anak-anak manis berkemeja rapi yang sibuk dengan laptopnya.

Sebenarnya tidak ada masalah soal berpakaian ini, cuma yang menjadi masalah adalah tidak mungkin Teknik bisa menjadi ini seperti ini kalau tidak ada yang memaksa.

Saya menemukan masalahnya setelah saya mencoba berbicara dengan beberapoa adik yang berkemeja itu. Ternyata mereka berpakaian seperti itu karena memang dipaksa oleh dekanat.

Mendengar alasan si adik ini akupun maklum dan sangat memahami pola pikir orang dekanat ini. Aku maklum karena memang orang-orang dekanat di fakultas ini memang diisi oleh dosen-dosen yang diangkat dari mahasiswa yang dulunya berprestasi saat kuliah di kampus ini.

Masalah ini terjadi karena dosen-dosen yang dulunya mahasiswa berprestasi ini memang rata-rata adalah anak-anak gila belajar yang semasa kuliah dulu. Mereka rata-rata adalah para sarjana yang semasa kuliah sama sekali tidak pernah ikut merasakan dinamika mahasiswa. Bagi mereka kuliah itu hanya dan cuma BUKU saja, mereka sama sekali tidak pernah merasakan yang namanya CINTA dan PESTA. Ke kampus, mereka tahunya cuma kuliah dan mendapat IP tinggi. Dunia yang mereka tahu ya cuma itu, sehingga mereka pun berpikir untuk hidup ya satu-satunya jalan hanya seperti itu.

Karena itulah ketika menjadi dosen dan mendapatkan hak membuat kebijakan di Teknik merekapun membuat teknik menjadi seperti satu-satunya dunia yang mereka ketahui itu. Dunia tanpa gejolak, statis dan membosankan.

Dengan pikiran dan pandangan seperti itu, mereka pun dengan semena-mena mengambil HAK Mahasiswa Teknik untuk mengekspresikan diri. Menghambat perkembangan Mahasiswa teknik untuk menjadi manusia yang seutuhnya.

Akibat dari kebijakan dari dosen-dosen berkacamata kuda, kaku dan membosankan ini. Fakultas Teknik jadi lebih mirip PABRIK ROBOT dibanding tempat mencetak sarjana.

Sebenarnya cara pandang para dosen kuper ini tidak salah, kalau cuma mereka dan pengalaman hidup mereka yang membosankan itu yang dijadikan referensi. Tapi kalau para alumni lain yang sudah sukses sekarang juga kita tanyai apakah hanya IP tinggi itu yang menjadi modal utama untuk hidup setelah tidak lagi kuliah, ternyata jawabannya sangat berbeda.

Karena setelah kita meninggalkan teknik, ternyata pengalaman kita ikut berbagai kegiatan ekstra kurikuler, pengalaman kita berinteraksi dengan berbagai kalangan dan berbagai lapisan sosial masyarakat waktu kita mengadakan kegiatanlah yang paling banyak membantu waktu kita saat sudah selesai kuliah dan terjun ke masyarakat.

Buktinya katakanlah di angkatan saya saja sekarang, teman-teman seangkatan saya yang sudah bekerja sekarang. Di antara teman-teman seangkatan saya, rata-rata yang sukses justru adalah "hantu-hantu" jaman dulu, yang selalu dipandang sebelah mata oleh dosen-dosen sombong yang hidupnya membosankan itu. Teman-teman yang aku tau persis dulu membuat bersama-sama denganku main batu atau main truf di kantin Barret, yang membuat PR di kantin, yang waktu ujian suka mencontek pekerjaanku dan sering kucontek pekerjaannya, yang IP di KHS-nya jarang beranjak dari angka satu koma.

Untuk aku sendiri, aku malah sama sekali tidak punya ijazah, bukan cuma Ijazah sarjana tapi ijazah dari SD sampe SMA juga aku nggak punya. Tapi tanpa itu semua pun, alhamdulillah sampai hari ini, aku sama sekali tidak pernah merasakan kesulitan untuk menemukan pekerjaan. Malah yang terjadi sebaliknya, aku bisa memilih pekerjaan sesuai mauku, yang sesuai dengan kesenangan dan hobiku.

Selama ini yang kujadikan modal dalam bekerja cuma mentalitas dan cara pikir dan cara mengambil keputusan ala teknik, yang kudapat dari bergaul dengan banag-abang, kawan seangkatan dan adik-adik di teknik dulu. Dan dengan itu, meskipun tidak teramat sangat kaya, tapi paling tidak aku masih bisa hidup dan menghidupi keluargaku dengan perasaan senang dan bahagia dan mampu memberi mereka tingkat penghidupan di atas rata-rata.

Sementara kawan-kawan yang ber-IP tinggi tapi tidak mengerti cara bersosialisasi malah kesulitan dalam meniti karir apalagi membuat usaha.

Tahun lalu saat sedang boarding di Bandara, aku pernah bertemu dengan teman seangkatan saya yang seperti ini, dia berinisisal "S" yang bekerja di salah satu instansi pemerintah di Singkil. Teman ini menamatkan kuliahnya dalam waktu 5 setengah tahun saja dan mendapat IP di atas tiga. Saat bertemu saya, saya sangat kaget melihat teman saya ini. Saya kaget karena saya lihat wajah teman saya ini terlihat sangat tua dan penuh kerutan. Istri saya sama sekali tidak percaya waktu aku katakan kami satu angkatan. teman ini sebagaimana anak-anak pintar di angkatan saya yang hidupnya membosankan, tetap sangat pintar dalam ilmu keteknikan, tapi dia kesulitan dalam menjalin hubungan antar manusia dan akibatnya dia pun selalu tertekan dalam karirnya.

Apa yang dialami oleh "s" teman saya ini terjadi karena sebagaimana yang terjadi semasa kuliah, ternyata semasa bekerja pun ketidak mampuannya dalam bersosialisasi dengan lingkungan tetap terbawa. Akibatnya dalam lingkungan kerja pun dia jadi terisolasi dan karirnya mentok.

Memang tidak salah memiliki IP tinggi, karena ada juga beberapa teman Ber IP tinggi yang hdiupnya sukses. Tapi teman-teman ini adalah mahasiswa yang meskipun memiliki IP tinggi tapi tetap tidak melepaskan diri sepenuhnya dari dinamika kemahasiswaan yang ada di kampus.

Karena itulah melalui tulisan ini aku ingin mengajak teman-teman para alumni teknik untuk sedikit menekan para dosen kuper yang hidupnya membosankan itu agar sedikit mengubah cara pandangnya. Supaya mereka tidak mengubah fakultas teknik menjadi PABRIK ROBOT yang cuma bisa menghasilkan manusia-manusia menjemukan seperti mereka.

Mari kita bantu adik-adik seperti Dek Moens Ibn Ibrahim untuk mendapatkan haknya sebagai mahasiswa.

Karena kupikir inilah makna dari SIKAT yang sebenarnya.

Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Mahasiswa Teknik Sipil Unsyiah angkatan 92

Selasa, 01 Desember 2009

Takengon; Nama Warisan Hurgronje yang Dibanggakan Orang Gayo

Takengon, saat ini adalah nama resmi untuk menyebut ibukota Kabupaten Aceh Tengah yang juga kota terbesar di dataran tinggi Gayo. Nama ini dipakai secara resmi entah itu di peta atau untuk menyebut setiap instansi yang ada di kota ini.

Entah darimana asal muasalnya dan entah siapa yang memulai membuat teori ini, di Gayo sendiri banyak yang percaya kalau asal-usul nama Takengon adalah berasal dari kata bahasa Gayo "Beta ku engon" yang artinya begitu saya lihat.

Sekilas nama ini memang masuk akal, apalagi kalau asal-usul nama itu ditambah dengan cerita sejarah berbau spekulatif yang mengatakan kalau itu adalah ekspresi dari Genali (orang pertama yang dipercaya menemukan kota ini) saat pertama kali melihat danau yang menjadi ciri khgas lansekap kota ini dari salah satu bukit yang mengelilinginya.

Ketika berbicara dengan orang dari luar kota ini dan menanyakan asal, orang asal Kota ini memperkenalkan kota asalnya sebagai kota Takengon. Bahkan di kalangan suku-suku Aceh non-Gayo, nama Takengon secara de facto dipakai untuk menggantikan nama Gayo. Di Banda Aceh misalnya, oleh suku-suku Aceh lainnya darimana pun asalnya, "orang Gayo" lebih umum dipanggil sebagai "orang Takengon". Tidak peduli darimanapun asalnya, entah dari Tingkem, Ponok Baru, Ketol, Timang Gajah bahkan Isaq daN Lumut.

Berpedoman pada nama Takengon ini pula, di kalangan suku Aceh pesisir berkembang cerita tentang asal usul nama Kota ini, dengan sumber yang lebih tidak jelas lagi juntrungannya. Menurut beberapa orang Aceh pesisir, nama Kota Takengon itu berasal dari kata "Taki Ngon", kata-kata bahasa Aceh yang berarti "menipu teman". Lebih kacau lagi ada juga orang Aceh pesisir yang bilang nama Takengon berasal dari "Tak Ngon", artinya membacok teman. Keduanya sama sekali tidak berkonotasi positif.

Tapi anehnya meskipun cerita tentang asal usul nama Kota Takengon versi orang Gayo di atas cukup masuk akal. Tapi orang Gayo sendiri, jika sedang berbicara dalam bahasa Gayo, sama sekali tidak pernah menyebut nama ini dengan nama Takengon. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo orang gayo menyebut nama Kota ini dengan nama "Takengen" (huruf "e" pertama dibaca seperti "e" dalam kata "tempe" dan huruf e kedua dibaca seperti "e" dalam kata "sendu"). Pengucapan ini misalnya dapat kita dengar dalam lirik sebuah lagu Gayo legendaris karangan seniman besar almarhum AR Moese " Kin Takengen aku denem", bukan "Kin Takengon aku denem".

Berdasarkan fakta inilah saya berpendapat bahwa nama asli kota kelahiran saya ini adalah TAKENGEN bukan TAKENGON. Nama Takengen sendiri saya yakin berasal dari kata dalam bahasa Gayo yang dibentuk dari kata dasar "Takeng" dan akhiran "en". Kemungkinan ini adalah bahasa Gayo lama yang karena seperti banyak bahasa daerah lainnya bukanlah bahasa tertulis, kata-kata lama tersebut sudah banyak yang hilang digantikan kata-kata serapan baru dan tidak diketahui lagi artinya. Apalagi dalam berbahasa orang Gayo cepat sekali terpengaruh terhadap ungkapan-ungkapan baru. Baca : http://winwannur.blogspot.com/2008/12/takengen-setelah-10-tahun.html

Dalam bahasa Gayo akhiran "en" digunakan untuk menjelaskan tempat dilakukannya sebuah aktifitas. Misalnya "perempusen" yang berarti tempat berempus (berkebun), pelipenen yang berarti tempat berlipe (menyeberang sungai), peruweren yang berarti tempat beruwer (mengandangkan kerbau), Didisen yang tempat melakukan aktifitas Berdidis (menangkap ikan depik yang memijah di pinggir danau). Begitulah, dengan mengikuti pola yang sama seperti pembentukan kata-kata di atas, maka Takengen maksudnya adalah tempat melakukan aktifitas "bertakeng" yang entah apa artinya.

Seperti yang sudah saya ungkapkan di atas bahwa di kota kelahiran atau di tempat lain di dataran tinggi Gayo, orang Gayo hanya menyebut nama Takengon ketika mereka sedang berbicara dalam bahasa melayu, baik itu ketika berbicara dengan suku-suku Non-Gayo atau sesama orang Gayo sendiri.

Kebiasaan penyebutan nama Takengon ini bermula nama ini telah dilekatkan pada kota ini oleh pemerintah kolonial Belanda. Di samping itu saya pikir, penyebutan nama Takengon menjadi semakin kuat dan melekat dan dijadikan nama resmi kota ini oleh orang Gayo sendiri tidak lain karena masalah prestise. Dibanding nama Takengen (Nama kota ini ketika diucapkan dalam bahasa Gayo), di telinga orang Gayo nama Takengon (Nama Kota ini ketika diucapkan dalam bahasa Melayu) terdengar lebih keren.

Terbentuknya pola prestise seperti ini dalam masyarakat Gayo tidak bisa dilepaskan dari peristiwa merebaknya euforia modernisme di kota kecil kelahiran saya ini pada masa awal kemerdekaan dulu.

Pada masa itu, di negeri saya, modernisme kurang lebih dipahami sebagai segala sesuatu yang berbau 'luar'. Entah itu cara beragama, cara bersikap, bentuk rumah tinggal, cara berpakaian sampai penggunaan bahasa saat berbicara.

Praktek keagamaan misalnya, praktek lama yang banyak mengamodasi praktek-praktek religius lokal (kaum tue) diangap tidak modern dan kuno, karenanya praktek keagamaan ala "kaum tue" ini tidak begitu populer di kota ini.

Sejak masa awal kemerdekaan para pemeluk Islam yang tinggal di kota kelahiran saya lebih banyak menganut faham yang dipengaruhi oleh pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang dibawa ke kota ini oleh anggota Muhammadiyah yang belajar di Minang dan orang Gayo yang belajar Islam di perguruan Al Irsyad Surabaya . Di banding "kaum tue", paham yang disebut "kaum mude" ini lebih tegas membatasi praktek-praktek keagamaan yang diadopsi dari kebiasaan pra Islam. Paham ini disebut 'Kaum Mude".

Untuk rumah tinggal, pada masa itu, semua "Umah pitu ruang" (rumah adat Gayo) di kota kelahiran saya ini dihancurkan untuk diganti dengan rumah-rumah kayu modern, berbentuk ruko yang bertingkat dua. Di beberapa tempat, seperti daerah pasar pagi dan Bebesen, "rumah-rumah modern" yang menggantikan "Umah pitu ruang" ini masih bisa kita saksikan sampai hari ini.

Dalam hal berpakaian, demi modernitas, pakaian adat lama juga ditinggalkan dan diganti dengan pakaian modern, untuk mempertegas ditinggalkannya cara hidup lama itu, di Blang Kejeren, para perempuan membakar pakaian adat gayo di depan umum (Bowen 1991: 112).

Perilaku berbahasa juga demikian, bahasa melayu yang menjadi bahasa nasional di negara ini pun naik kasta menjadi bahasa yang memiliki status lebih tinggi dibanding bahasa Gayo yang merupakan bahasa sehari-hari orang-orang yang tinggal di daerah ini.

Sebagaimana paham 'kaum mude", rumah berbentuk ruko dan pakaian ala barat. Oleh masyarakat yang tinggal di kota kelahiran saya ini, penguasaan bahasa Melayu dianggap sebagai cermin modernitas. Secara umum masyarakat memandang status keluarga yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa Melayu lebih tinggi dibanding orang yang dalam keluarganya berbicara dalam bahasa Gayo. Dalam pandangan masyarakat kota ini, orang yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa melayu terkesan lebih terpelajar.

Cara pandang seperti inilah yang membuat penyebutan nama Takengon terdengar lebih keren dibanding nama Takengen.

Begitulah yang terjadi di Gayo pasca hengkangnya penjajah kolonial, tapi itu semua tidak menjawab asal usul nama Takengon.

Tapi, asal-usul nama TAKENGON akan terlihat sangat jelas jika kita membaca "Het Gajoland en Zijne Bewoners" (Tanah Gayo dan penduduknya) sebuah karya antropologis dari Christian Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda dari Universitas Leiden yang menulis tesis tentang Haji yang memulai pendidikannya di bidang Teologi dan kemudian mengalihkan studinya kepada studi bahasa Arab dan Islam.

C.Snouck Hurgronje sempat belajar di Mekkah selama 5 bulan, mengganti agamanya menjadi Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul al Ghaffar (Waardenburg 1962:19).

Tahun 1889 Hurgronje meninggalkan Belanda menuju Batavia dan 2 tahun kemudian dia diminta oleh pemerintah Belanda untuk menjadi penasehat politik dan militer Belanda di Aceh.

Atas nasehat Hurgronje inilah Gubernur Belanda J. Van Heutz, merekrut Ulee Balang (priyayi Aceh) untuk berkoalisi melawan Ulama yang oleh belanda dianggap sebagai pusat kekuatan perlawanan Aceh (van' t Veer 1980).

Pada tahun 1900 Hurgronje mulai mengumpulkan informasi tentang Gayo dari orang-orang Gayo yang dia temui di pantai barat Aceh. Hurgronje yang sampai akhir hayatnya tidak pernah menginjakkan kaki di Tanoh Gayo, mendapatkan kebanyakan informasinya tentang Gayo dari seorang pemuda cerdas asal Isaq bernama Njaq Putih yang saat itu sedang belajar agama di Aceh Barat dan pada tahun 1902, Hurgronje mendapat satu lagi nara sumber tentang Gayo yang bernama Aman Ratus yang berasal dari Gayo Lues.

Pada tahun 1903, Hurgronje yang dianggap Penghianat Besar Islam oleh orang Aceh dan Orang Gayo tapi dianggap pahlawan oleh pemerintah Belanda ini menyelesaikan Het Gajoland en Zijne Bewoners. Dalam buku ini Hurgronje memaparkan permasalahan perpolitikan dan militer di Gayo, jalan-jalan yang mlintasi daerah Gayo, lokasi desa dan dusun serta kekuasaan yang dimiliki setiap pemimpin kelompok di Gayo. Dalam buku ini Hurgronje juga memaparkan banyak informasi tentanga nama -nama tempat, benda yang kita lihat sehari-hari, praktek keagamaan dan budaya sehari-hari orang Gayo.

Dalam menjelaskan nama-nama ini, sepertinya lidah eropa Hurgronje kesulitan menyebut nama-nama yang mengandung bunyi "e" seperti bunyi "e" dalam kata "sendu" . Dalam buku Het Gajoland en Zijne Bewoners, semua kata yang mengandung bunyi "e" ini oleh Hurgronje diganti dengan "O".

Mengenai ini bisa dilihat di buku Het Gajoland en Zijne Bewoners yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tanah Gayo dan Penduduknya yang diterbitkan oleh Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1996.

Dalam buku ini kita bisa membaca di halaman 66 misalnya, oleh Hurgronje, kata "reje" disebut "rojo", "edet" menjadi "odot", "Tue" menjadi "Tuo", "saudere" menjadi "saudoro", "bedel" menjadi "bodol", "imem" menjadi "imom" dan "kerje" menjadi "kerjo".

Demikian juga dengan nama tempat sebagaimana nama TAKENGEN. Dalam buku ini Hurgronje mengubah nama itu menjadi TAKENGON.

Bukan hanya TAKENGON, tapi semua nama tempat lain yang mengandung bunyi "e" seperti bunyi "e" dalam kata "sendu" juga bernasib sama. Sebut saja misalnya Bebesen yang oleh Hurgronje diubah menjadi Bobasan (hal 17), Serbejadi menjadi Serbojadi (hal 10), Gayo Lues menjadi Gayo Luos (hal 9), Arul Ramasen menjadi Arul Ramason (hal 13), Kute Glime menjadi Kuto Glimo (hal 17), Oneng Niken menjadi Oneng Nikon (hal 21), Peruweren Tulen menjadi Peruworon Tulon (hal 29), Linge menjadi Linggo (hal 29), Ise-ise menjadi Iso-iso (hal 34), Blang Gele menjadi Blang Golo (hal 132), Reje Buket menjadi Rojo Buket (hal 141), Teungku Uyem menjadi Teungku (Uyom 144), Tami Delem menjadi Tami Dolom (hal 144), Paya Reje menjadi Paya Rojo (hal 144), Serule menjadi Serulo (hal 144), Menye menjadi Monyo (hal 152), Tingkem menjadi Tingkom (hal 154) dan banyak lagi.

Begitulah, soal nama-nama tempat di Gayo yang dimodifikasi oleh Hurgronje ini.

Belakangan ini saya melihat banyak orang Gayo yang begitu gencar untuk menunjukkan kembali identitas diri dan menggali kembali akar asal-usulnya. Sampai-sampai ada ide untuk membuat provinsi sendiri segala.

Tapi Ironisnya orang Gayo yang katanya sangat mencintai budayanya ini, yang katanya sangat Islami ini justru bangga memakai nama hasil modifikasi seorang pengkhianat besar Islam sebagai nama kota kebanggaannya.

Sejauh ini, saya sama sekali tidak melihat tokoh-tokoh Gayo, baik yang muda apalagi yang tua yang merasa terganggu dengan asal-usul nama TAKENGON yang sampai hari ini melekat menjadi nama kota kebanggaan orang Gayo ini. Sepanjang yang saya tahu, SAMPAI HARI INI hanya sayalah satu-satunya orang Gayo yang merasa terganggu dengan nama yang 'dihadiahkan' oleh Hurgronje kepada Kota Kelahiran saya tersebut.

Karena merasa terganggu, makanya dalam setiap tulisan saya yang menceritakan kota ini, saya selalu menyebut kota ini dengan nama TAKENGEN yang merupakan nama pemberian muyang datu saya, bukan TAKENGON yang merupakan 'hadiah' dari Hurgronje.

Wassalam

Win Wan Nur
Orang Gayo yang Lahir di TAKENGEN

Rabu, 18 November 2009

ANIMAL FARM; Mantan Aktivis Aceh di Tahun 98 dan Sekarang

George Orwell yang bernama asli Eric Arthur Blair yang lahir di India adalah salah satu penulis Inggris terbesar di zaman modern.

Disamping 1984 (Nineteen Eighty Four), Animal Farm adalah salah satu novel legendaris karya George Orwell. Animal Farm adalah roman klasik berbentuk fabel. Kisah dalam roman klasik ini selalu 'nyambung' ketika dikaitkan dengan situasi yang terjadi pada pra dan pasca pergantian rezim yang dilakukan dengan cara-cara berbau revolusi di negeri manapun.

Aceh adalah sebuah negeri yang termasuk dalam kategori seperti ini.

Animal Farm berkisah tentang sekumpulan binatang ternak yang hidup tertindas di Manor Farm, sebuah tanah pertanian milik Mr. Jones.

Ada bermacam jenis binatang ternak yang hidup di tanah pertanian itu. Masing-masing binatang ternak memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri. Di Manor Farm ada sapi yang memproduksi susu, ayam yang memproduksi telur dan daging, Babi yang memproduksi daging dan juga ada binatang yang dimanfaatkan tenaganya, seperti kuda dan anjing.

Di antara para binatang yang tinggal di Manor Farm, terdapat seekor babi jantan tua bernama Old Major. Babi cerdas bernama Old Major ini mengajari binatang-binatang di Manor farm tentang arti kebahagiaan yang hanya bisa didapatkan dengan KEBEBASAN. Menurut Old Major, tidak satupun binatang di Inggris dan Irlandia yang hidup merdeka dan bahagia. Kehidupan binatang di sana digambarkan oleh Old Major dengan dua kata DIPERBUDAK dan MENDERITA. Kedua hal itu dialami oleh semua binatang sebagai akibat dari satu sebab saja yaitu MANUSIA.

Menurut Old Major, sebenarnya manusia itu adalah makhluk yang paling tidak berguna di muka bumi. Manusia adalah makhluk yang hanya bisa mengkonsumsi tanpa bisa memproduksi. Manusia tidak menghasilkan susu untuk dinikmati makhluk lain, manusia tidak menghasilkan telur, tenaga manusia terlalu lemah untuk menarik bajak dan kereta, bahkan kecepatan larinya pun terlalu lambat untuk bisa menangkap kelinci. Tapi dengan segala keterbatasannya itu, manusia malah menjadi penguasa semua binatang. Manusia memaksa binatang bekerja, mengambil hasil kerja dan produksi mereka dan mengembalikannya kepada para binatang dalam porsi yang sangat sedikit. Hanya sebatas kadar minimum agar para binatang tidak mati kelaparan saja. Sementara sisanya dijual ke pasar untuk mendapatkan uang bagi Mr. Jones dan para pegawainya.

Pada suatu malam, ketika Old Major yang sudah tua merasa waktunya hidup di dunia sudah tidak lama lagi, dia mengumpulkan seluruh hewan di Manor Farm untuk mendengarkan ceritanya. Malam itu Old Major menceritakan mimpinya dimana dia melihat kebebasan menghampiri seluruh binatang yang hidup di Inggris dan Irlandia yang oleh Old Major disarikan ke dalam sebuah lagu berjudul "Beast of England".

Tiga hari setelah pertemuan itu Old Major pun mati, sebelum mati Old Major sempat memberi petuah kepada semua binatang bahwa semua binatang adalah setara, dan musuh para binatang adalah MANUSIA.

Setelah kematian Old Major, pada satu waktu tertentu rasa jenuh dan tertekan yang dialami binatang-binatang yang tinggal di tanah pertanian ini pun mencapai puncaknya dan binatang-binatang inipun memimpikan perubahan. Mereka ingin melawan tapi tidak memiliki keberanian, karena Mr.Jones suka bertindak kejam kepada siapapun yang berani menentang.

Sebenarnya tidak semua binatang benar-benar takut kepada Mr. Jones. Sepeninggal Old Major, ide-idenya tetap hidup dan diteruskan oleh Babi-babi lain yang masih hidup di peternakan. Babi-babi inilah yang terus menyemangati binatang-binatang di Manor Farm untuk terus memelihara semangat untuk mendapatkan KEBEBASAN. Ketika tekanan dan kejenuhan telah memuncak sedemikian rupa akhirnya perlawanan pun pecah, revolusi tidak bisa dihindari. Seluruh penghuni Manor Farm bersatu padu melawan Mr. Jones.

Yang menjadi pemimpin dalam gerakan perlawanan ini tentu saja para babi yang merupakan binatang paling cerdas diantara para binatang yang ada di Manor Farm.

Pendeknya, dibawah komando para babi, binatang-binatang di Manor Farm akhirnya bisa mengusir Mr.Jones dan antek-anteknya keluar dari Manor Farm. Para binatangpun merayakan kebebasan. Lagu "Beast of England" pun berkumandang dimana-mana. Semua yang mengingatkan tentang Mr.Jones dihancurkan. Plang nama MANOR FARM di gerbang tanah pertanian ini pun diturunkan diganti dengan nama baru ANIMAL FARM sebagi bukti bahwa tanah pertanian ini sepenuhnya milik para binatang.

Setelah manusia berhasil diusir, kini para Babi lah sekarang memimpin para binatang. Tapi tentu saja tidak seperti manusia yang menempatkan diri sebagai makhluk dengan status paling tinggi diantara para makhluk penghuni tanah pertanian, kali ini babi memimpin dengan status yang (katanya) sama dengan binatang-binatang lainnya.

Dalam deklarasi kemerdekaan, para babi menegaskan semangat awal kemerdekaan yaitu para binatang tidak boleh meniru kebiasaan manusia, seperti berpakaian, minum alkohol dan tinggal di dalam rumah. Pasca kemerdekaan itu disepakati bahwa para binatang tidak boleh menempati rumah bekas tempat tinggal Mr. Jones, karena rumah itu merupakan simbol kesewenang-wenangan Manusia. Rencananya rumah itu akan dijadikan semacam monumen perjuangan.

Dalam perjalannya, ketika Manor Farm yang kini telah berganti nama dengan Animal Farm ini sepenuhnya dikelola para binatang sendiri di bawah kepemimpinan para babi, para pemimpin baru ini semakin lama semakin nyaman dengan kekuasaan yang mereka miliki dan mulai merasakan nikmatnya menyandang status pemimpin. Lama kelamaan merekapun berusaha mempertahankan kepemimpinan itu dengan berbagai cara.

Dalam perjalanan waktu, ide awal kesetaraan antar sesama binatang pun berubah menjadi semua binatang adalah setara, kecuali babi yang statusnya 'lebih setara' dibanding binatang lain.

Karena sudah terbiasa hidup nikmat, para babi pun ingin tetap mempertahankan bahkan kenikmatan yang mereka dapat. Dengan alasan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan penghuni Animal Farm, para Babi kemudian menggalang kerja sama dengan pemilik peternakan lain dan juga para pedagang penampung hasil pertanian yang nota bene adalah manusia yang merupakan musuh para binatang.

Apa yang dilakukan para Babi ini jelas bertentangan dengan semangat awal berdirinya Animal Farm, tapi dengan berbagai argumen yang didapat dengan menafsirkan ulang ide awal kemerdekaan. Di depan para binatang bodoh penghuni Animal Farm, para babi dengan mudah mendapatkan alasan untuk menjustifikasi apa yang mereka lakukan.

Pada akhirnya para Babi yang sekarang menjadi penguasa menggantikan Mr. Jones pun bertransformsi dengan sempurna menjadi penindas baru bagi para binatang yang menghuni Animal Farm, perilaku mereka pun dari hari ke hari semakin mirip dengan manusia.

Di akhir cerita dikatakan, para Babi tidak lagi tinggal di kandang bersama para binatang, mereka pindah ke rumah peninggalan Mr. Jones. Mereka mulai minum anggur dan dari hari ke hari persahabatan yang mereka jalin dengan manusia pun semakin erat. Para babi pun semakin lama semakin merasa asing dengan cara hidup dan cara berpikir para binatang, mereka bahkan sama sekali tidak lagi paham segala kegelisahan dan permasalahan yang terjadi di dunia para binatang.

Pada akhir cerita orwell menceritakan para Babi mengadakan pesta di Animal Farm, di rumah peninggalan Mr. Jones. Pesta itu tentu saja dihadiri oleh banyak Manusia yang menjadi sahabat baru mereka sekarang. Sementara para binatang hanya bisa menyaksikan pesta mewah tersebut dari dalam kandang.

Sebagai penutup Novel ini Orwell menuliskan;

"The creatures outside looked from pig to man, and from pig to man again; but already it was impossible to say which was which"

Wassalam

Win Wan Nur

Bali, Penyembah Berhala dan Film 2012 yang diprotes MUI

Sepanjang yang pernah saya amati berdasarkan pengalaman saya mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, Umat Hindu Bali adalah umat yang paling tekun menjalankan segala ritual keagamaan mereka.

Dalam kepercayaan keagamaan mereka ini, umat Hindu Bali menyembah banyak Dewa. Mereka memberi penghormatan besar pada arwah leluhur, hewan, pohon, batu dan objek-objek lain di alam pun mereka hormati. Bahkan oleh umat Hindu Bali, roh jahat pun mereka hargai dengan memberi sesajen.

Dalam ritual keagamaan yang mereka lakukan, di Bali banyak sekali patung-patung yang diberi pakaian dan sesaji. Melihat hal itu, orang yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang berbeda, terutama orang yang menganut agama mayoritas penduduk negeri ini, tanpa merasa perlu tahu latar belakang dan alasan mereka melakukan itu langsung menyimpulkan bahwa orang Bali adalah PENYEMBAH BERHALA.

Benarkah demikian?...dalam tulisan yang saya muat di blog saya beberapa waktu yang lalu http://winwannur.blog.com/2009/10/20/xenophanes-aceh-dan-penyembah-berhala/ saya mengatakan;

Ada satu fakta menarik yang saya lihat setiap kali saya membaca kisah-kisah para penyembah berhala ini. Yaitu adanya kesamaan latar belakang situasi sosial dan moralitas dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat penyembah berhala seperti ini. Ketika saya amati dalam kisah-kisah yang saya baca, bahwa di mana pun tempatnya dan di zaman apapun terjadinya. Di sana selalu terdapat masyarakat yang jatuh ke dalam situasi sosial yang dipenuhi rasa frustasi karena ketidak adilan yang merata di mana-mana. Masyarakat penyembah berhala selalu digambarkan sebagai masyarakat yang terjebak dalam suasana dekadensi moral yang parah.

Dari kisah-kisah yang saya baca, selalu diceritakan bahwa di tempat-tempat yang didiami para penyembah berhala ini, konsep-konsep non-kemanusiaan mekar dan berkembang biak dengan suburnya. Segala kejelekan dan keburukan akan menjulang. Perbuatan menipu akan menghasilkan kekayaan, bersikap munafik dan bermuka dua akan menguntungkan. Dan bagi saya, yang paling menarik dari semuanya adalah; berhala-berhala yang disembah sebagai Tuhan itu bukan kebetulan selalu hadir sebagai sosok yang sangat pro penguasa dan memusuhi rakyat jelata. Dalam masyarakat seperti ini, setiap terjadi masalah atau kejadian yang tidak menyenangkan, dan harus ada pihak yang di salahkan. Maka yang salah selalu rakyat jelata, bukan penguasa.

Apakah keadaan di Bali juga seperti yang saya gambarkan itu?..mari kita lihat dan amati.

Sekitar bulan april tahun ini, Bali dihangatkan dengan pro kontra RENCANA revisi Perda RTRW Bali yang dilakukan oleh pemerintah yang ditengarai cenderung pro investor.

Rencana pemerintah yang dimotori oleh gubernur I Made Mangku Pastika, yang merupakan gubernur pertama yang di pilih langsung oleh rakyat sekaligus gubernur pertama pula yang berkasta sudra (kasta terndah dalam catur warna) ini langsung mendapat tentangan dari berbagai pihak.

Sebelumnya Bali juga mempunyai sejumlah catatan adanya konflik kepentingan antara pemerintah yang pro investor yang hanya memikirkan keuntungan dengan masyarakat yang selain menghendaki kesejahteraan tapi juga menginginkan kelestarian tempat-tempat suci agama, pelestarian lingkungan hidup, pelestarian keyakinan agamanya.

Kasus semacam ini ini, salah satunya adalah pembangunan megaproyek Bali Nirwana Resort di dekat Pura Tanah Lot yang ditolak umat Hindu. Waktu itu Soeharto, si bapak pembangunan kita ini sedang lucu-lucunya, si Bapak sama sekali tidak memberi ampun pada siapapun yang menurutnya 'anti pembangunan'. Sehingga dalam konflik dengan penguasa/investor ini umat Hindu kalah telak dan Bali Nirwana Resort, resort mewah yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga BAKRIE inipun sampai hari ini itu dengan angkuh tegak berdiri di sebelah timur Pura Suci Tanah Lot.

Penolakan umat Hindu kembali terjadi ketika Pulau Serangan direklamasi, proyek milik Tommy Soeharto ini dipersoalkan karena kedekatan loksi proyek ini dengan Pura Sakenan.

Kemudian konflik seperti ini juga terjadi saat adanya rencana reklamasi Pantai Padanggalak Dan, yang paling mutakhir adalah penolakan umat Hindu terhadap megaproyek Geothermal Bedugul, karena eksplorasi tersebut dilakukan dalam kawasan suci di lereng Gunung Batukaru. Kedua proyek ini gagal, karena pada saat rencana proyek ini diajukan Soeharto si bapak Pembangunan sudah tidak 'lucu' lagi.

Bertolak belakang dengan posisi para pemimpin agama dalam masyarakat penyembah berhala, dalam konflik antara pemerintah/investor melawan masyarakat Bali itu,posisi para Sulinggih (Pimpinan tertinggi keagamaan dalam agama Hindu Bali) dari kasta apapun selalu berada di fihak masyarakat. Dalam konflik semacam itu Sulinggih Bali selalu berada dalam posisi mengingatkan penguasa agar tidak mengabaikan aspirasi walaka (masyarakat umum) dan umat Hindu.

Dalam pro kontra RENCANA revisi Perda RTRW Bali ini misalnya seorang sulinggih berkasta Brahmana bernama Ida Ida Pedanda Made Gunung tanpa ragu mengingatkan Made Mangku Pastika.

'Jangan sampai revisi RTRW sampai melupakan bhisama yang telah mampu mempertahankan Bali hingga mempunyai taksu yang dikenal ke seluruh dunia,' tegas tokoh spiritual Bali, Ida Pedanda Made Gunung, Sabtu (18/4) kemarin, menyikapi fenomena rencana revisi Perda RTRW yang dilakukan oleh pemerintah Bali.(Berita Kota
19 April 2009).

Lalu bagaimana yang terjadi dengan umat penganut agama mayoritas di negeri ini?.

Dulu ketika Indonesia masih belum ada. Sebagai mana halnya di masa-masa awal kelahiran Islam, di tempat yang sekarang dinamakan Indonesia ini, ulama memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan sosial kemasyaratan. Pada masa itu ulama hidup bersama masyarakat, terintegarasi secara utuh dengan masyarakat.

Pada masa-masa itu, seperti para Sulinggih di Bali, ulama selalu menjadi sosok yang paling mengerti apa yang menjadi kegelisahan dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Ucapan dan tindakan mereka pun saat itu lebih banyak mencerminkan apa yang dimaui masyarakat ketimbang apa yang dimaui penguasa.

Pada masa yang lebih maju, pada awal-awal pergerakan SDI yang kemudian berubah menjadi SI adalah pelopor pergerakan nasional yang bahkan lebih dulu hadir sebelum Boedi Utomo. Keberadaan organisasi ini dipelopori oleh orang-orang yang bisa dikategorikan sebagai ulama. Demikian juga Muhammadiyah, organisasi Islam yang didirikan oleh para ulama yand dimaksudkan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.Tapi pada perkembangannya organisasi ini juga berdiri untuk menjawab kebutuhan masyarakat pada masa itu terhadap dunia pendidikan.

Ketika Indonesia merdeka, Ulama kemudian banyak mengambil peran di dunia politik praktis. Energi mereka lebih banyak dihabiskan untuk mengawal perjuangan politik kelompok dan politik aliran, kepedulian mereka terhadap masalah kesejahteraan umat yang lebih universal jadi jauh berkurang.

Keadaan seperti itu mengundang keprihatinan banyak orang termasuk para Ulama dan merekapun membuat berbagai pertemuan untuk membicarakan masalah ini dan menemukan cara untuk keluar dari situasi memprihatinkan ini. Lalu pada tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta, dalam sebuah pertemuan yang selanjutnya disebut sebagai Musyawarah Nasional Ulama I yang dihadiri oleh lebih dari 50 orang ulama atau tokoh Muslim se-Indonesia,lahirlah kesepakatan yang dituangkan dalam "Piagam Berdirinya MUI".

MUI didirikan atas dasar kesadaran kolektif diantara para ulama, yang merasakan pentingnya untuk segera mengembalikan khittah dan peran ulama sebagai pewaris dari tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya), sebagaimana yang pernah dilakukan para ulama pada zaman penajajahan dan masa perjuangan kemerdekaan.

Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik seorang ulama besar asal minang yang dikenal dengan nama Hamka yang merupakan akronim dari nama panjangnya, sebagai ketua umum MUI.

Hamka yang sangat mahir berbahasa Arab ini adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Melalui kemampuannyayang tinggi dalam berbahasa Arab, Hamka mempelajari berbagai karya dari berbagai ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab pula, mempelajari karya berbagai sarjana kafir asal Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Sehingga tidak mengherankan kalau berbagai pemikirannya sangat membumi dan Hamka pun dengan mudah memahami kegelisahan umat yang diayominya. Hal inilah yang membuat Hamka dihormati tidak hanya di Indonesia, namanya juga harum di Malaysia dan Singapura.

Bukti jelas keberpihakan Hamka pada kepentingan rakyat yang diayominya terlihat ketika pada tahun 1981, beliau memilih meletakkan jabatan sebagai ketua MUI karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kemudian bagaimana dengan keadaan sekarang?.

Sejak reformasi 1998, negeri ini banyak sekali mendapatkan masalah dan rakyat hidup dengan tekanan. Pemerintah dan parlemen sibuk mengurusi dirinya sendiri. Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan, tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang diperlakukan semena-mena. Di dalam negeri banyak penganggur dan orang yang kehilangan kesempatan kerja. Korupsi dilakukan semakin tanpa malu-malu dan terang-terangan, ada banyak kasus pengrusakan lingkungan , PLN yang memonopoli penyediaan listrik gagal memenuhi tanggung jawabnya dan yang paling hangat sekarang terkuak lebarnya praktek Mafia peradilan.

Situasi di negara ini persis seperti situasi yang terjadi dalam masyarakat penyembah berhala dan terjadi di zaman baheula.

Menghadapi kenyataan seperti ini rakyat jelas gelisah, protes terjadi dimana-mana. Bebrbagai elemen masyarakat seolah bersatu padu menuntut pemerintah agar menjalankan pemerintahan dengan benar, malah di hari-hari belakangan ini ramai orang turun ke jalan.

Lalu dalam situasi seperti ini dimana posisi ulama yang diwadahi oleh MUI, bersama rakyat kah?...atau penguasa?. Bersama rakyat jelas tidak, bersama penguasa kadang iya tapi kadang-kadang mereka sibuk mengurusi 'planet' mereka sendiri.

Ketika berbagai masalah mendera dan menyengsarakan masyarakat negeri ini apa yang diurusi MUI?. Berbeda dengan para sulinggih Bali yang saat masayarakatnya berada dalam kegelisahan mendalam, mereka langsung berdiri di barisan depan untuk mengingatkan penguasa.

MUI malah sebaliknya, ketika masyarakat dilanda kegelisahan mendalam yang mereka urusi malah mengharamkan facebook.

Saat pemerintah merasa terganggu dengan berbagai kritikan kritis MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan liberalisme. Saat pemerintah terganggu dengan banyaknya pengemis di kota-kota, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan mengemis.

Dan yang paling mutakhir, saat bangsa ini sedang berada dalam keprihatinan mendalam dan kemarahan hebat terhadap praktek MAFIA PERADILAN yang dilakukan tanpa malu-malu dan telanjang. MUI malah sibuk memprotes film 2012, film sci-fi khas bikinan Hollywood yang suka memamerkan logika jungkir balik .

Melihat kenyataan seperti ini kita sayapun jadi bertanya-tanya siapakah sebenarnya yang menyembah berhala?

Wassalam

Win Wan Nur

Referensi :
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1236&Itemid=26
www.wartabali.com/index/article/2067.htm?print=1
http://winwannur.blog.com/2009/10/20/xenophanes-aceh-dan-penyembah-berhala/
http://www.muidiy.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=23&Itemid=11
id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah

Kamis, 12 November 2009

Karena Benci dan Bosan Melihat KPK ...Makanya Kami EMOSI

Melihat perkembangan kasus Cicak Vs Buaya belakangan ini, muncul beberapa komentar yang secara malu-malu menentang arus besar opini yang beredar di negeri ini. Komentar-komentar seperti itu biasanya muncul dari aparat negara atau orang-orang yang dirugikan dengan keberadaan KPK.

Contohnya seperti sikap yang diperlihatkan oleh Menkumham di depan sidang MK. Saat itu dia mempertanyakan tentang relevansi pemutaran rekaman dugaan rekayasa kasus Bibit-Chandra. Menkumham yang mewakili pemerintah jelas tidak senang kalau aib itu dibuka, tapi karena tidak berani melawan arus. Menkumham memulai ungkapan keberatannya dengan memuji-muji langkah MK.

Selanjutnya kejadian seperti ini bisa kita lihat saat Kapolri dengar pendapat di depan Komisi III. Yang kita saksikan adalah pertunjukan cium pipi ditambah adegan ala sinetron dari Susno Duadji yang direspon dengan tepuk tangan membahana. Lalu dengar pendapat yang luar biasa ini diakhiri dengan adegan foto bersama sambil tertawa-tawa. Melihat kejadian seperti itu tentu banyak pihak jadi emosi, apa maunya DPR ini?.

Untuk memahami fenomena ini kita tidak memerlukan pejelasan dari seorang ahli, baik itu sosiologi, antropologi dan psikologi. Dengan logika paling awam pun kita bisa memahami kalau yang menjadi dasar dari terjadinya fenomena ini adalah DUIT alias FULUS.

Sebagaimana kita ketahui bersama, demokrasi di negara ini adalah demokrasi berbiaya tinggi. Biaya untuk bisa duduk di kursi dewan yang terhormat itu tidak murah, apalagi gratis. Ada banyak pengorbanan yang dilakukan oleh anggota dewan sebelum mereka bisa dipastikan duduk di sana. Ada pengorbanan waktu, tenaga, perasaan sampai air mata. Dan yang terpenting dari semuanya adalah pengorbanan BIAYA. Untuk bisa mendapatkan satu kursi di dewan, biaya yang dibutuhkan bukan dalam kisaran, satu, dua atau puluhan juta. Kalau kita mau mengaudit dengan seksama jelas kita akan menemukan fakta bahwa satu kursi dewan yang terhormat itu minimal berharga di kisaran ratusan juta.

Lalu, melihat latar belakang orang-orang yang duduk di kursi dewan terhormat itu, adalah sangat tidak logis dan naif sekali kalau kita berpikir mereka menghamburkan duit sebanyak itu hanya demi sebuah kesempatan suci mengabdi pada negara dan bangsa. Penjelasan paling logis dari dihamburkannya ratusan juta sampai miliaran rupiah uang demi mendapatkan satu buah kursi di dewan yang hanya diduduki selama 5 tahun itu adalah perhitungan ekonomi.

Tidak sedikit dari mereka yang duduk di sana itu berlatar belakang pengusaha juga pengacara yang berpenghasilan milyaran rupiah per tahunnya. Sebelum duduk di sana tentu saja mereka terlebih dahulu berhitung untung ruginya, mana lebih untung menginvestasikan dana di properti, saham blue chips, tambak udang atau di kursi dewan. Karena mereka menganggap duduk sebagai anggota dewan jauh lebih menguntungkanlah makanya mereka mau menginvestasikan dana untuk kampanye.

Memang tentu saja tidak semua seperti itu, ada juga sosok bersih seperti dulu yang ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie misalnya...tapi ada berapa sih orang semacam itu di negeri ini?

Lalu pertanyaan selanjutnya, untuk bisa balik modal dan mendapatkan keuntungan dari investasi yang telah ditabur itu bagaimana?. Gaji yang diberikan negara jelas tidak akan bisa menutupi. Maka solusinya adalah mengharap perhatian dan kebaikan hati cukong-cukong sejenis Anggodo dan kawan-kawan. Dalam relasi dengan orang-orang semacam ini, hubungan yang dibangun tentu saja harus bersifat SIMBIOSIS MUTUALISME. Bagi para 'Investor' senayan orang-orang seperti ini adalah teman yang sudah seharusnya dilindungi, bukannya malah dimusuhi.

Bagaimana dengan perangkap jeratan hukum, ah mudah saja. Aparat hukum di negara ini sudah sejak lama terkenal mudah dibeli, meskipun tidak pernah ada bukti (ya bagaimana mau ada bukti kalau yang berhak dan memiliki kuasa untuk membuktikannya adalah aparat hukum itu sendiri?).

Masalahnya, sekarang di negeri ini ada KPK. Institusi ini bukanlah sebuah institusi hukum yang normal. KPK ada untuk mengantisipasi ketidaknormalan penegakan hukum di negeri ini. Meskipun beberapa waktu yang lalu banyak sorotan yang diarahkan ke lembaga ini karena mereka disinyalir melakukan tebang pilih dalam menangani kasus Korupsi. Tapi dibanding lembaga-lembaga lain, lembaga abnormal ini relatif lebih tidak bisa dibeli.

Keadaan ini tentu menimbulkan rasa tidak nyaman bagi 'investor-investor' yang duduk di Senayan. Karena itulah ketika dalam kasus Cicak melawan Buaya, jelas investor senayan berpihak pada buaya yang bisa diajak bekerja sama dalam mengamankan investasi mereka. Adalah mustahil mengharapkan para investor senayan berpihak pada Cicak yang sangat berpotensi besar akan merusak prospek investasi mereka.

Ketika sudah menjadi sorotan dan masyarakat yang memilih mereka emosi dengan perilaku yang mereka tunjukkan. Seperti biasa, sebagaimana lazimnya terjadi pada orang-orang yang mencari nafkah dengan mengumbar kata. Merekapun berkilah dengan berbagai argumen mengutip berbagai referensi dan disampaikan dengan kalimat-kalimat yang kadang susah dimenngerti yang intinya menggambarkan mereka (para investor senayan) adalah patriot sejati yang semata bertindak demi kepentingan rakyat dan bangsanya.

Argumen standar mereka adalah mereka melakukan itu karena mereka cinta pada penegakan hukum di negeri ini, mereka tidak ingin Polri dan Jaksa terus dihujat dan dicaci, dikerdilkan dan dilemahkan. Mereka tidak ingin KPK jadi terlalu berkuasa.

Lucu mendengar komentar ini, entah sebagai kambing conegk, keledai dungu atau binatang bodoh apa mereka mengasumsikan status hampir seperempat milyar rakyat negeri ini. Sehingga mereka berpikir hampir sepertempat milyar manusia ini begitu mudahnya dikibuli

Pada kenyataannya rakyat negeri ini tidak pernah lupa kalau KPK itu ada karena sistem hukum di negara ini tidak berdaya melawan korupsi.

Polri hebat melawan teroris, oleh Polri teroris berbahaya sekelas Dr. Azhari dan Noordin M. Top di buat terkapar meregang nyawa, mengutip ucapan Sarlito dalam sebuah tulisan di rubrik OPINI Kompas "menghadapi teroris Polri adalah Polisi terbaik di dunia". Tapi menghadapi koruptor model Super Anggodo dan teman-temannya, Polri tampak seperti orang tua ringkih...Impoten dan sama sekali tidak berdaya.

Kalau kejaksaan sih memang lebih dikenal reputasinya sebagai teman baik koruptor, jadi jujur saja sulit bagi saya untuk menunjukkan prestasi institusi ini.

Apa yang terjadi ini adalah situasi yang sangat tidak normal dalam penyelenggaraan sebuah negara. Ketidak normalan inilah yang menjadi alasan kelahiran KPK. Lalu KPK akan dimatikan lagi kalau kedua institusi diatas sembuh dari impotensi ketika berhadapan dengan korupsi.

Jadi anggota dewan yang terhormat kalau anda kebetulan membaca tulisan ini camkanlah...yang saya tulis di bawah ini.

Seandainya Institusi Polisi dan Jaksa berjalan normal...KPK tidak akan dibutuhkan.
Seandainya Polisi dan Jaksa tidak bisa dibeli....KPK tidak akan pernah ada.
Seandainya Polisi dan Jaksa...dengan sadar cepat membersihkan diri, tentu sekarang keberadaan KPK tidak dibutuhkan lagi.

Jadi tidak seperti prasangka busuk anda yang menyangka kalau gerakan moral dan kemarahan yang ditunjukkan rakyat Indonesia saat menentang penahanan Bibit dan Chandra adalah karena rakyat Indonesia terlalu memuja KPK dan membenci Jaksa dan Polisi.

Anggota dewan yang terhormat, yang terjadi justru adalah sebaliknya.

Sebenarnya rakyat Indonesia marah adalah karena rakyat Indonesia CINTA kepada kejaksaan dan Polisi. Orang-rang di Indonesia ini emosi karena ingin memiliki aparat hukum yang bersih dan berpihak kepada rakyat. Rakyat Indonesia marah karena rakyat Indonesia muak dan benci melihat keberadaan KPK yang terlalu lama eksis dalam sistem hukum negara ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Sabtu, 07 November 2009

Indonesia Raya Ternyata Tidak Butuh Instrumen Hukum Yang Rumit

Pada kamis malam yang lalu, dalam pertemuan dengan Komisi III DPR yang terhormat yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi, Susno Duadji, Kabareskrim POLRI Non aktif bersumpah bahwa dia sama sekali tidak menerima dana 10 Milyar terkait kasus Bank Century. Menanggapi hal itu anggota Komisi III DPR manggut-manggut bahkan sebagian dengan antusias bertepuk tangan mengamini.

Sebagai penonton, kita harus memahami bahwa apa yang ditunjukkan oleh Komisi III DPR itu adalah komunikasi politik kepada konstituen pemilih mereka. Yang kita lihat malam itu adalah penegasan dari Komisi III DPR RI kepada konstituen pemilih mereka bahwa Susno Duadji sama sekali bersih dari segala tuduhan keterlibatannya dalam kasus Bank Century. Buktinya (Dalam komunikasi yang dibangun oleh anggota komisi II DPR RI tersebut) Susno Duadji berani BERSUMPAH atas nama TUHAN yang suci.

Belum cukup sampai di situ, untuk lebih memperkat unsur dramaturgi (sisi terpenting dalam menilai keseluruhan sebuah cerita) kejadian ini dilanjutkan dengan adegan mengharukan ketika Susno Duadji dengan berurai air mata membuat klarifikasi. Bagi Susno Duadji sendiri, dengan aksinya malam itu dia ingin menunjukkan kepada seluruh rakyat negeri ini bahwa dia sedang diperlakukan tidak adil, dia dizalimi.

Inilah yang dimaksudkan oleh Komisi III DPR RI , Kapolri dan juga Susno Duadji malam itu. Pernyataan tegas Komisi III DPR RI malam itu baik secara eksplisit maupun langsung, di hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan berbagai pernyataan yang lebih menguatkan maksud yang ingin mereka sampaikan tersebut.

Kepada konstituen pemilihnya malam itu Komisi III DPR RI menegaskan bahwa ketika Susno sudah berani bersumpah menyebut nama Tuhan yang suci apalagi sampai meneteskan air mata segala. Maka segala dugaan keterlibatan Susno dalam kasus Bank Century otomatis jadi tidak terbukti. Jadi rakyat negeri ini yang suaranya mereka wakili jangan pernah lagi menuduh Susno apalagi kepada institusi Polri bahwa dalam kasus Bibit-Chandra yang menghebohkan itu institusi ini dan terutama Susno Duadji sendiri merekayasa perkara karena dendam pribadi atau karena sesuatu hal yang ditutupi. TUHAN adalah entitas tertinggi, kalau entitas tertinggi itupun sudah tidak dipercaya lagi apalagi yang bisa kita meyakinan kita. Itulah sebenarnya inti dari semua yang ditampilkan Komisi III DPR RI malam itu.

Sebagai warga negara yang baik yang telah dengan sukarela mempercayakan suara kita kepada mereka sesuai dengan sila ke-empat Pancasila yang menjadi dasar negara ini. Kita tidak seharusnya berburuk sangka pada wakil-wakil kita yang duduk di Komisi III DPR RI yang terhormat itu.

Sebaliknya, sebagai warga negara yang baik, kita harus memahami apa yang terjadi malam itu sebagai pelajaran dan tuntunan dari Komisi III yang terhormat itu. Apa yang mereka tunjukkan malam itu harus kita tiru dalam keseharian kita.

Karena itu supaya tidak salah langkah dalam kehidupan bernegara, marilah kita telaah secara lebih mendalam apa yang terjadi malam itu.

Kalau kita telaah kejadian malam itu secara lebih mendalam, maka kita akan memahami bahwa dalam acara yang disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi. Melalui dukungan mereka kepada Susno Duadji, Komisi III DPR RI yang terhormat sebenarnya sedang memberitahukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa negara yang bernama Indonesia ini sebenarnya sama sekali tidak butuh Polisi, Jaksa, Pengacara, Pengadilan dan semua instrumen hukum yang rumit berbiaya mahal.

Untuk membuktikan seseorang tersangkut perkara atau tidak. Yang bersangkutan cukup disuruh BERSUMPAH atas nama TUHAN yang suci di depan anggota dewan terhormat. Sebagaimana yang telah dilakukan Susno Duadji.

Penempatan sosok Susno Duadji sendiri dalam komunikasi politik yang dibangun oleh Komisi III DPR RI yang terhormat ini juga tidak boleh kita pahami sebagai sebuah kebetulan.

Susno Duadji adalah seorang KABARESKRIM, seorang yang sangat ahli dalam berbagai teknik untuk membuktikan seseorang tersangkut perkara atau tidak. Dia bukan orang sembarangan. Tapi malam itu, Susno Duadji yang sangat ahli ini di depan kamera televisi yang disaksikan jutaan pasang mata mendeklarasikan dengan jelas bahwa semua keahlian yang dia punya untuk menjerat seseorang menjadi tersangka, tersangkut atau tidaknya seseorang dalam sebuah perkara adalah sebuah KEAHLIAN yang sama sekali TIDAK BERGUNA. Karena seperti yang telah ditunjukkan oleh Susno Duadji sendiri, untuk membuktikan seseorang terlibat dalam suatu perkara atau tidak, ada sebuah teknik sederhana yang berbiaya sangat murah dan tidak bisa diragukan keakuratannya yaitu meminta yang bersangkutan BERSUMPAH atas nama TUHAN yang suci.

Dengan teknik yang sederhana dan berbiaya murah seperti yang dipraktekkan oleh sang ahli sendiri seperti yang dimaksudkan oleh Komisi III DPR RI di atas, otomatis Polisi, Jaksa, Pengadilan dan semua instrumen hukum yang rumit sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkan di negara ini.

Kesimpulannya, selama ini trilyunan uang yang dialokasikan untuk sistem peradilan sebenarnya MUBAZIR. Karena uang itu dikeluarkan untuk sesuatu yang sama sekali TIDAK DIBUTUHKAN.

Dan untuk menghormati wibawa Komisi III DPR yang terhormat marilah kita rakyat negeri ini membangun kekuatan mendukung Komisi III DPR RI untuk mengeluarkan undang-undang penghapusan POLRI, KEJAKSAAAN dan segala sistem hukum yang sama sekali tidak dibutuhkan dari negara. Uang yang selama ini digunakan untuk membiayai hal yang tidak perlu itu cukup dibelikan KITAB SUCI, sisanya bisa dialihkan ke kebutuhan lain yang lebih mendesak. entah itu pendidikan, kesehatan, pembiayaan kewiraswastaan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang untuk menjalankannya dibutuhkan lebih dari sekedar kesaksian dengan menyebut nama TUHAN yang SUCI.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.wnwannur.blogspot.com

Minggu, 01 November 2009

Anak Haram Bernama KPK dan Kampus-Kampus Yang Melulu Berisi BANCI

Korupsi yang dimulai dari kejadian kecil-kecilan di akhir tahun 1960-an, pada masa itu Abdul Haris nasution mulai mengkawatirkan perkembangan itu. Seorang petinggi orde baru ketika itu bisik-bisik menyebut korupsi seperti "kentut, tidak kelihatan tapi terasa baunya". Kurang lebih seperti itulah yang dikatakan Widodo Dwi Putro di Kompas 30/10/2009 dalam rubrik Opini.

Itu cerita dulu, selanjutnya tidak begitu lagi. Dalam perkembangan selanjutnya Korupsi dari yang dilakukan malu-malu sampai kemudian dipamerkan terang-terangan dan kemudian menjadi budaya. belakangan kalau ada pejabat atau aparat pemerintahan yang tidak korupsi malah terlihat aneh. Dalam peri kehidupan bermasyarakat tidak dihormati (karena tidak kaya) di kalangan koleganya dimusuhi karena dianggap menghambat 'kemajuan'.

Dalam waktu-waktu selanjutnya, seluruh sistem di negara ini pun terinfeksi oleh virus yang bernama korupsi itu. Seluruh pilar demokrasi mulai dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif terinfeksi parah virus korupsi. Sehingga orang-orang yang mengambil peran dalam tiga pilar demokrasi itu merasa, seperti itulah sistem kenegaraan yang normal.

Tapi tentu saja itu tidak normal, meskipun banyak anggota masyarakat yang memaklumi tapi tetap ada sekeklompok orang yang berpikiran jernih yang merasakan penderitaan yang trjadi akibat extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa yang bernama korupsi ini.

Di paruh akhir tahun 1990-an, ketika kawasan dilanda krisis ekonomi semua negara di kawasan ini terpuruk. Tapi belakangan negara-negara tersebut cepat bangkit dan menemukan kembali keseimbangan dalam ekonomi, kecuali negara ini. Saat itulah kesadaran tentang betapa berbahaya dan besarnya daya rusak korupsi semakin menjadi kesadaran kolektif di negara ini.

Pada masa itu, kepongahan aparat, pameran korupsi yang ditampilkan terang-terangan sedang berada pada puncaknya. pada saat bersamaan tekanan dan penderitaan yang dirasakan oleh rakyat negeri ini pun sedang berada pada puncaknya. Dari beratnya tekanan itulah muncul energi ledakan bernama reformasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Reformasi 98 ini berhasil menurunkan Soeharto yang menjadi puncak dan biang dari gunung es korupsi yang telah menggurita di negara ini.

Semangat reformasi 98 inilah yang kemudian melahirkan KPK untuk menjadi salah satu anggota keluarga dalam sistem yang mengatur negara ini.

Soeharto memang telah jatuh, tapi yang menjalankan sistem di negara ini masih orang di sistem lama yang masih hidup dalam kebiasaan lama, kalaupun ada orang baru, merekapun biasanya ikut larut dalam sistem bergaya lama, sedikit sekali yang tidak terinfeksi.

Kemudian, Pasca reformasi, demokrasi yang terbangun di Indonesia ini adalah demokrasi biaya tinggi. Kekuatan politik di Indonesia dibangun dengan biaya tinggi. Dan haqmpir bisa dipastikan uang yang dipakai untuk membiayai demokrasi biaya tinggi itu adalah uang haram A.K.A uang korupsi. Di negara ini mana ada orang yang mau menghamburkan uang halal yang didapat susah payah untuk dibuang-buang dalam pertarungan politik. Kalaupun ada, itu adalah penjudi yang menaburkan uang itu dengan harapan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar lagi.

Begitulah jika sistem dan demokrasi pasca reformasi ini diibaratkan sebagai ibu dan KPK, lembaga yang dilahirkan pasca reformasi sebagai anaknya. Maka kitapun bisa melihat bahwa kelahiran anak yang bernama KPK ini bukanlah kelahiran yang diharapkan oleh sang ibu dan keluarga besarnya (seluruh sistem yang telah menjadi status quo di negara ini). KPK bukanlah anak yang lahir dari buah cinta ibu dan bapak yang kelahirannya begitu dinantikan oleh orang tuanya. Dalam pandangan 'ibu'-nya, KPK adalah anak yang lahir dari proses pemerkosaan', lahir dari bibit yang ditaburkan dengan paksa oleh 'haram jadah' bernama REFORMASI.

Sudah berstatus 'haram jadah', anak haram bernama KPK ini pun dengan cepat tumbuh menjadi anak yang 'tidak tahu diri'. Kelakuan 'anak haram' ini sama sekali tidak mirip Ibu dan keluarga besarnya, sebaliknya kelakuannya persis seperti bapak kandungnya 'si haram jadah pemerkosa' yang bernama 'REFORMASI'. Di usianya yang telah belia KPK, menghantam dengan telak jantung korupsi yang merupakan seumber kehidupan utama bagi 'keluarga besarnya'. Kelakuan KPK si anak haram ini sangat berbeda dengan kelakuan komisi-komisi sejenis yang sedikitnya berjumlah enam. keenam anak kandung keluarga besar ini yang mirip KPK tersebut sekarang semuanya telah berstatus almarhum.

Belum pernah ada dalam sejarah negara ini ada pejabat daerah dan pusat yang sakit jantung dan berkeringat dingin mendengar kedatangan personel sebuah lembaga penegakan hukum, hanya KPK.

Yang paling kurang ajar dari semuanya adalah, KPK bahkan tanpa menunjukkan rasa empati apalagi terima kasih, malah mengacak-acak kehormatan DPR, ibu kandung yang melahirkan, menyusui dan membesarkannya.

Akibatnya kekurang ajaran KPK si anak haram jadah ini pun semakin lama semakin meresahkan dan membuat tidak nyaman seluruh keluarga besarnya dan KPK pun akhirnya benar-benar dibenci. Sehingga sangatlah wajar kalau keluarga besar ini pun secara bersama-sama ingin menghabisi KPK, anak jadah yang kurang ajar ini. Ketika keinginan ini mengkristal dan berlanjut menjadi aksi, kita tidak melihat adanya satupun keberatan berarti dari anggota keluarga besar ini untuk menggagalkan aksi itu.

Yang menolak beramai-ramai, yang berdiri kukuh di belakang anak jadah bernama KPK ini hanyalah orang-orang yang diuntungkan dengan kelahirannya. Yaitu RAKYAT BIASA yang statusnya tidak lain hanyalah orang luar alias pelengkap penderita dalam keluarga besar ini.

Tapi yang sangat mengherankan saya adalah MAHASISWA yang merupakan pilar utama REFORMASI, BAPAK KANDUNG KPK, yang sangar, berotot dan berwajah keras yang dulu berhasil menurunkan SOeharto. Yang meskipun tidak termasuk dalam keluarga besar yang membesarkan KPK, tapi saya tahu sangat menyayangi anaknya kok adem ayem saja dan tidak bertindak apapun atas masalah yang dialami anak kandungnya ini.

Di televisi, sosok-sosok yang dulu sangat sangar ini sekarang dengan jas almamater kebanggaan tampak begitu berwibawa pamer intelektualitas dalam acara "Bukan Empat Mata" yang diasuh oleh Tukul Arwana.

Seorang adik kelas sekaligus paman saya, anak Teknik Sipil angkatan 95 yang tahun 1998 dulu merupakan salah seorang yang berpanas-panas dan berteriak dan lari pontang-panting dikejar aparat ketika meneriakkan Reformasi mengatakan " Harga untuk berkata benar..memang tertinggi dan sangat mahal, tapi harga untuk berkata salah, ternyata juga lumayan mahal. Yang termurah dan nyaris cuma-cuma, hanya harga utk yg selain dari keduanya, yaitu harga untuk plin plan atau diam tak peduli, disitulah para pengkhianat dan pengecut bersembunyi".

Itulah yang kita saksikan hari ini, harga termurah yang nyaris cuma-cuma itulah yang dipilih oleh MAHASISWA yang menuntut ilmu di seluruh kampus yang ada di negeri ini.

Kemudian jika kita periksa dan benar-benar kita amati...maka kitapun akan mendapati kenyatan bahwa situasi aman dan nyaman pasca reformasi, telah membuat sosok yang sangar, berotot dan berwajah keras yang duduk manis di bangku-bangku perkuliahan itu berubah menjadi BANCI.

Wassalam

Win Wan Nur

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

Selasa, 27 Oktober 2009

Syari'at Islam di Negeri Para Pendusta Agama

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim
Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS : 107 ayat 1-3)

Sejujurnya, saya bukanlah jenis orang yang suka menggunakan tafsiran teks ayat-ayat suci sebagai basis argumen. Karena itulah tiga ayat Al Qur'an di atas saya tuliskan di sini bukan untuk beradu debat soal penafsirannya tapi tidak lain hanya sebagai ilustrasi, tentang betapa ayat-ayat yang dipercaya suci dan dipercaya berasal dari Tuhan sendiri pun pada penerapannya sebenarnya tidak pernah bisa dilepaskan dari cara pandang, selera dan hawa nafsu manusia yang sama sekali tidak bersifat Ilahiah.

Tiga ayat di atas sengaja saya kutip di awal tulisan ini karena di Aceh negeri saya, belakangan ini saya melihat beberapa kalangan begitu antusias untuk memberlakukan hukum-hukum Tuhan yang ketat dan tanpa kompromi untuk menjatuhkan hukuman bagi beberapa kasus. Sementara anjuran Tuhan yang lain mereka abaikan.

Berkaitan dengan tiga ayat yang saya kutip di atas.

Bencana tsunami yang meluluh lantakkan Aceh pada tahun 2004 yang menewaskan ratusan ribu orang telah membuat ratusan ribu anak Aceh menjadi yatim yang kehilangan orangtua dan juga rumah. Hal ini membuat banyak orang yang ada di berbagai penjuru Aceh yang terpikir untuk mendirikan panti asuhan untuk menampung anak-anak yatim itu.

Saat saya meninggalkan Takengen tahun 2003 silam, di kota kelahiran saya ini baru ada dua panti asuhan untuk menampung anak yatim. Satu milik pemerintah yang terletak di Kemili dan satunya lagi milik swasta terletak di Paya Tumpi. Saya sendiri pernah cukup lama menghuni salah satu panti asuhan tersebut.

November tahun lalu saya kembali ke kota ini, saya saksikan jumlah panti asuhan di kota ini tumbuh dengan drastis seperti jamur di musim hujan. Salah satu dari panti asuhan baru yang didirikan pasca tsunami tersebut bernama Panti Asuhan Yayasan Noordeen. Terletak di Dedalu, sebuah desa di tepi danau Laut Tawar, 2 kilometer dari pusat kota Takengen.

Panti Asuhan ini dikelola oleh Bapak Syamsuddin A.S, mantan pengurus panti Asuhan Budi Luhur, panti yang sempat saya huni dalam waktu yang cukup lama. Gedung Panti Asuhan ini didirikan di atas tanah milik pribadi Bapak Syamsuddin A.S, di atas puing-puing rumah pribadi beliau yang dulu dibangun dengan susah payah yang dengan ikhlas sengaja beliau hancurkan demi berdirinya gedung panti asuhan ini.

Pembangunan gedung dan biaya sehari-hari Panti Asuhan ini ditanggung oleh Givelight Foundation, sebuah yayasan yang didanai oleh muslim amerika yang dibentuk salah satunya oleh Dian Alyan, seorang keponakan Bapak Syamsuddin A.S yang telah menjadi warga negara Amerika dan sekarang bermukim di San Francisco. Dian Alyan yang lulusan IPB ini adalah puteri Gayo asli kelahiran 1965, yang meniti karir di Procter & Gamble Indonesia. Karena kecemerlangannya Dian kemudian ditarik ke kantor pusat Procter & Gamble di Cincinati untuk duduk sebagai brand manager. Tapi beberapa tahun yang lalu Dian memutuskan untuk meninggalkan karirnya yang cemerlang untuk memfokuskan diri kepada kegiatan-kegiatan kemanusiaan melalui Givelight Foundation yang karena terinspirasi keberhasilan proyek panti Asuhan Yayasan Noordeen di Dedalu, sekarang telah membangun satu Panti Asuhan lagi di Kashmir, India.

Karena keterbatasan daya tampung, Panti Asuhan Yayasan Noordeen hanya mampu menampung 58 orang anak. Tapi melalui Yayasan Noordeen Givelight Foundation juga membantu membiayai anak-anak yatim korban tsunami yang tinggal di Panti Asuhan lain di Takengen. Mekanisme pemberian bantuan itu adalah; pengelola panti asuhan memberikan daftar nama penghuni Panti Asuhan yang dia kelola kemudian pengelola yayasan Noordeen mentransfer uang bantuan untuk nama-nama itu ke rekening pengurus panti. Suatu kali pengelola yayasan Noordeen curiga dengan daftar nama yang ada dalam daftar yang diserahkan pengurus Panti Asuhan yang dibantu tersebut karena bertahun-tahun nama itu tidak pernah berubah. Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia panti asuhan, pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen tahu persis kalau setiap tahun ada anak Panti yang lulus dan meninggalkan Panti. berdasarkan kecurigaan itu beliaupun mengecek kebenaran laporan pengurus panti tersebut ke lokasi panti asuhan itu berdiri. Dan apa yang beliau temukan, ternyata jumlah anak yang ditampung oleh panti asuhan tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan daftar nama anak-anak yang diberikan pengurusnya. Dan fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah ternyata kebanyakan dana bantuan tersebut masuk ke kantong pribadi pengurus Panti. Sejak saat itu Yayasan Noordeen hanya mau mentransfer uang bantuan ke rekening pribadi anak yang menerima bantuan.

Saat berada di Takengen, saya juga menyempatkan diri menemui Tengku Ali Djadun. Seorang ulama besar di kota ini yang sangat saya hormati karena saya angap konsisten antara ucapan dan tindakannya dan terkenal tanpa kompromi. Saat saya jumpai beliau menjabat sebagai ketua MPU Aceh Tengah. Dari beliau saya mendapati cerita yang lebih mengejutkan. Menurut Tengku Ali Djadun yang juga mengelola Panti Asuhan Muhammadiyah, eksploitasi anak yatim di kabupaten yang rencananya kalau jadi dimekarkan menjadi provinsi sendiri akan digelari Serambi Madinah ini jauh lebih parah dari cerita yang saya dengar dari Bapak Syamsuddin A.S. Menurut Tengku Ali Djadun, pasca tsunami ada belasan panti asuhan yang berdiri di Aceh Tengah yang mengatasnamakan diri untuk menampung korban tsunami tapi sama sekali tanpa penghuni. Uang dana bantuan yang diperuntukkan untuk Panti Asuhan tersebut sepenuhnya masuk ke kantong pengurus panti.

Berdasarkan kondisi faktual yang ada di Aceh yang menunjukkan fakta banyaknya anak yatim dan ketika anak yatim dieksploitasi sedemikian rupa, jika orang-orang Aceh benar-benar menerapkan hukum atas dasar cinta kepada agama dan menjalankan perintah Tuhan tanpa dipengaruhi selera dan hawa nafsu. Saya pikir orang-orang Aceh tentu mereka akan bergidik ketika membaca ayat Tuhan yang saya kutip di atas dan merekapun akan mencari dasar hukum agama yang kuat untuk menghukum manusia-manusia yang mengeksploitasi anak-anak yatim ini.

Tapi yang terjadi tidaklah demikian, ketika di negeri ini anak yatim dieksploitasi sedemikian rupa Pemda dan DPRK Aceh tengah alih-alih turun tangan. Pemda dengan sepersetujuan DPRK malah menjual lahan dan mesjid milik Panti Asuhan Budi Luhur yang tidak lain adalah panti asuhan tertua di Aceh Tengah. Yang lebih ironis lagi, Tengku Ali Djadun, Ulama ketua MPU yang saya hormati itu pun malah memilih berada di belakang Pemda dan menghardik anak yatim http://www.serambinews.com/news/tanah-panti-asuhan-budi-luhur-bukan-milik-yayasan.

Melihat pengabaian dan eksploitasi terhadap anak yatim yang terjadi di bumi Aceh pasca tsunami, melihat bagaimana eksploitasi itu dibiarkan oleh anggota DPRA 2004-2009, pemerintah dan ulama. Jika ayat-ayat Al Qur'an yang saya kutip di atas dijadikan acuan untuk menilai, maka jelas parlemen, pemerintah dan ulama yang ada di Aceh saat ini tidak lain adalah PARA PENDUSTA AGAMA.

Tapi seperti yang sering saya katakan, semua manusia sebetulnya tidak bisa lepas dari subyektifitas pengalamannya sendiri. Hukum yang dibuat manusia pun, meskipun katanya berasal dari Tuhan tapi pilihan atas Hukum Tuhan mana yang diikuti dan diterapkan serta hukum Tuhan yang mana yang boleh diabaikan juga tidak terlepas dari subyektifitas pengalaman manusia itu sendiri.

Misalnya Hukum rajam dipercaya banyak orang adalah hukum dari Tuhan bukan buatan manusia dan karenanya wajib dikuti. Katakanlah asumsi itu memang benar, tapi marilah kita renungkan, siapa yang memilih hukum rajam untuk diterapkan sementara hukum Tuhan yang lain diabaikan?...Bukankah manusia sendiri?.

Pilihan tersebut tidak bisa lepas dari subyektifitas pengalaman orang yang memilih itu sendiri.

Kita ambil contoh bapak pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen. Karena sejak kecil sudah dekat dengan lingkungan anak yatim dikarenakan orang tua beliau juga bekas pengurus Panti Asuhan. Orang seperti bapak pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen ini percaya Tuhan akan sangat marah jika ada anak yatim dieksploitasi. Orang seperti beliau akan ketakutan setengah mati ketika mendapati ada anak yatim dieksploitasi. Orang seperti beliau ini sering merasa kalau bencana yang banyak terjadi di negeri ini terjadi adalah akibat orang-orang, pemerintah dan ulama di negeri ini tidak mempedulikan anak yatim.

Sebaliknya orang-orang yang dekat dengan penguasa yang otaknya selalu berada di SELANGKANGAN, selalu merasa bahwa urusan SELANGKANGAN lah yang paling diperhatikan Tuhan. Sehingga Hukum Tuhan yang mereka pilih untuk diterapkan dengan ketat pun tidak jauh-jauh dari urusan SELANGKANGAN.

Anggota DPRA 2004-2009 bukanlah sekumpulan manusia yang dekat dan memahami permasalahan anak yatim dan orang miskin. Sebaliknya mereka adalah kumpulan orang-orang dengan subjektifitas pengalaman pribadi dekat dengan penguasa dan otak yang selalu berada di SELANGKANGAN. Mereka percaya bahwa berbagai masalah yang terjadi di negeri saya belakangan ini terjadi akibat orang Aceh tidak bisa menjaga SELANGKANGAN.

Dari orang-orang dengan subjektifitas pribadi semacam ini, yang menjadi anggota DPRA 2004-2009 adalah tidak mungkin kita melihat keluarnya pasal-pasal Qanun yang melarang orang 'menghardik' anak yatim ataupun pasal-pasal Qanun yang menganjurkan memberi makan orang miskin. Yang mungkin dihasilkan oleh orang-orang dengan subjektifitas pengalaman pribadi semacam ini hanyalah pasal-pasal Qanun yang berurusan dengan SELANGKANGAN. Terbukti orang-orang inilah yang di luar sidang paripurna mengeluarkan pasal Hukum rajam dalam Qanun Jinayat yang ditolak oleh Gubernur Irwandi.

Di Aceh dan juga di daerah lain yang memiliki komunitas 'ikhwan' dan 'akhwat', penolakan Irwandi ini langsung jadi kontroversi. Para pendukung hukum syari'ah berbasis SELANGKANGAN langsung menghujat Irwandi dengan berbagai cacian, diantaranya ada yang dengan terus terang mengatakan bahwa Irwandi yang menolak menandatangani Qanun ini adalah seorang yang pro Penzina.

Padahal jika para 'ikhwan' dan 'akhwat' ini mau sedikit membuka mata dan tidak pilih-pilih selera dalam menerapkan ayat-ayat Al Qur'an yang mereka percaya suci. Lalu mau menggunakan ayat-ayat Al Qur'an yang saya kutip di atas sebagai referensi. Maka mata mereka akan jelas melihat bahwa, Qanun Jinayat yang sekarang jadi kontroversi ini sebenarnya tidak lain adalah Hukum Syariat produk dari PARA PENDUSTA AGAMA.

Wassalam

Win Wan Nur