Kamis, 28 Mei 2009

Merendahkan Pengetahuan Manusia, Orang Sombong Atau Orang Gila?

Hari ini saya membaca tulisan saya Tentang Kesempurnaan Islam dan Kesempurnaan Alam ditanggapi oleh seorang Gayo yang berdomisili di Medan bernama Ikhwana Mehatdi Kobat. Tanggapan ini meninggalkan sedikit ganjalan bagi saya karena tidak ditanggapi di tempat saya me-post berita tersebut, tapi di tempat lain. Sehingga saya baru mengetahui adanya tanggapan ini dari seorang teman saya yang kebetulan membaca media tempat Ikhwana mem-post tanggapannya tersebut.

Penanggap ini sepertinya adalah orang yang sangat memahami dalil-dalil agama. Orang seperti ini seperti biasa menganggap dengan memahami dalil-dalil agama berarti dia sudah memahami alam secara keseluruhan. Lalu menganggap rendah seluruh ilmu pengetahuan yang sudah dicapai oleh manusia melalui rentang ribuan tahun perkembangan peradaban.

Dalam tanggapannya yang bisa dibaca lengkap di http://gayolinge.com/index.php?open=news&bid=939 , dengan mengutip berbagai ayat Al Qur'an Ikhwana menggambarkan islam menurut ayat-ayat tersebut (yang tentu saja sesuai dengan PENAFSIRANNYA) bahwa orang, kaum, bangsa, atau suku yang menjalankan aturan Islam akan sejahtera.

Apa yang dikatakan Ikhawana ini, meskipun dalam bahasa yang dibuat rumit dan terlihat lebih ilmiah serta terstruktur ala seoarang akademisi, tapi isinya sebenarnya persis sama seperti yang dikatakan tengku dan guru agama yang mengajari saya waktu saya masih SD dulu, seperti yang saya katakan dalam tulisan saya yang dia tanggapi.

Meski berbelit kemana-mana, yang mau Ikhwana katakan sebenarnya tidak lain adalah Islam itu SUDAH SEMPURNA tidak ada alasan lagi untuk meragukannya.

Tapi seperti yang saya tulis dalam tulisan saya yang ditanggapi oleh Ikhwana "SEMPURNA adalah sebuah kata yang maknanya sangat subjektif, pengertian kata ini sangat bergantung sebanyak apa informasi yang ada dalam kepala orang yang memaknai kata SEMPURNA itu".

Maka ketika Ikhwana dengan berani mengajak (bahkan kalau kita amati dengan teliti nada tulisannya ada kecenderungan memaksa) kita memahami manusia dengan mengacu pada penjelasan Allah pada ayat Al Qur'an (QS. 2:30, QS. 6:165). Sebenarnya Ikhwana tidak lain adalah sedang mengajak (memaksa) kita memahami manusia dengan mengacu pada penjelasan Allah BERDASARKAN PENAFSIRAN IKHWANA sendiri. Melalui ajakannya ini, seolah-olah Allah sendiri telah memberi kekuasan eksklusif kepada Ikhwana untuk menjadi satu-satunya PENAFSIR SAH ayat-ayatNYA.

Tapi ketika dia memaksa kita untuk memahami ayat-ayat tersebut berdasarkan cara pandangnya, Ikhwana Mehatdi Kobat yang merasa sebagai satu-satunya PENAFSIR SAH ayat-ayat Allah ini saya lihat kemudian tampak kebingungan sendiri.

Ikhwana mengatakan Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas dan itupun datangnya dari Allah. Jadi untuk menentukan aturan hidup dan penghidupan apakah kita mereferensi kepada Allah atau dengan ilmu “manusia yang sedikit itu dimata Allah” dalam kemasan penggelaran atau sebutan antropologi, sosiologi, psikologi sejarah dan juga ekonomi (menurut sdr. Winwannur. Ref).

Apa yang bisa kita tangkap atas statemen Ikhwana di atas adalah; seolah-olah Ikhwana Mehatdi Kobat Urang Gayo berdomisili di Medan ini merasa sudah sangat menguasai SELURUH Ilmu manusia yang sangat sedikit dan terbatas yang datangnya dari Allah itu. Dengan penguasaannya SELURUH Ilmu manusia yang sangat sedikit dan terbatas itu dia menyimpulkan bahwa semua ilmu manusia itu sama sekali tidak berguna untuk dipakai untuk menentukan aturan hidup dan penghidupan. Sehingga ketika kita akan menentukan aturan hidup dan penghidupan, SELURUH Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas itu sama sekali tidak perlu lagi kita perhitungkan. Sehingga ketika kita akan menentukan aturan hidup dan penghidupan, dia menyuruh kita langsung saja mereferensi kepada Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas.

Tapi benarkah seperti itu?

Saya bukanlah orang yang langsung mudah percaya ketika ada orang seperti Ikhawana ini pamer kesombongan merendahkan ilmu manusia yang terbatas, seolah-olah ilmu manusia itu sama sekali tidak ada artinya sehingga untuk menyelesaikan masalah sehari-hari kita langsung saja mereferensi kepada Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas.

Karenanya saya ingin menguji pengetahuan Ikhwana yang memandang rendah pengetahuan manusia yang terbatas ini.

Pertama saya ingin menanyakan pertanyaan yang hanya merupakan bagian sangat-sangat kecil dari ilmu manusia yang terbatas yang tidak ada setetespun dibandingkan lautan ilmu yang sudah diturunkan Allah.

Bagaimana bisa cahaya matahari bisa sampai ke bumi tanpa membuat kerusakan?
Apa materi yang menyusun bulan?
Faktor genetik apa yang menyebabkan kegemukan?
Apa beda ritual kematian di Togo dengan di Bali?
Apa beda antara Psikoanalisa-nya Freud dengan Psikologi Analitis-nya Jung?

Saya ingin Ikhwana Mehatdi Kobat bisa menjelaskan kepada saya dengan detail ilmu-ilmu manusia yang terbatas yang saya ini dengan detail dan menyeluruh.

Kalau Ikhwana Mehatdi Kobat bisa menjelaskan ini dengan sempurna, baru saya percaya Ikhawana ini memang luar biasa. Kemudian saya akan meningkatkan mutu pertanyaan dari sebagian sangat kecil ilmu manusia ini.

Kalau semua pertanyaan yang berisi sebagian sangat kecil ilmu manusia ini bisa dijelaskan oleh Ikhwana Mehatdi Kobat dan kemudian dia bisa membuktikan kalau semua Ilmu itu memang tidak berguna dalam menyelesaikan masalah manusia. Baru saya bisa yakin kalau untuk menentukan aturan hidup dan penghidupan ILMU MANUSIA yang sedikit dimata Allah itu sama sekali tidak berguna. Dan untuk itu saya akan langsung sepakat dengan Ikhawana bahwa kita harus langsung mereferensi kepada Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas.

Tapi sebaliknya kalau bagian sangat-sangat kecil dari ILMU MANUSIA yang sangat terbatas inipun tidak sanggup dijelaskan oleh Ikhwana Mehatdi Kobat dengan sempurna. Maka tentu saja saya sangat tidak mungkin bisa percaya kalau Ikhwana mampu memahami perkataan Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas itu, persis seperti Allah sendiri memahaminya.

Kalau bagian sangat-sangat kecil dari ILMU MANUSIA yang sangat terbatas inipun tidak sanggup dijelaskan oleh Ikhwana Mehatdi Kobat dengan sempurna, maka bagi saya tanggapan Ikhwana Mehatdi Kobat atas tulisan saya yang dia post BUKAN DI TEMPAT SAYA MEMPOST TULISAN YANG DIA TANGGAPI INI adalah tidak lebih dari ocehan orang gila, yang sama sekali tidak paham apa yang diocehkannya.

Wassalam

Win Wan Nur

Selasa, 26 Mei 2009

Kaukus Tengah Tenggara dan Kemenangan PA

Saat saya mendukung ide pembentukan Kaukus Tengah Tenggara, dukungan saya tersebut langsung mengundang Pro dan Kontra. Saya sendiri tentu punya alasan sendiri kenapa saya mendukung ide itu. Salah satunya adalah karena saya melihat ide seperti itu bisa menutupi kelemahan pemerintah Aceh yang sekarang merupakan antitesis dari pemerintahan lama yang dulu banyak menimbulkan masalah di Aceh.

Satu kelemahan pemerintah Aceh saat ini yang saya perhatikan adalah ketidak mampuan mereka melihat dan membaca isu-isu yang berkembang dan kebutuhan di daerah-daerah yang penduduknya moayoritas bukan suku Aceh pesisir. Sejauh ini saya masih belum menganggap itu sebagai bentuk kesengajaan, tapi lebih kepada KETIDAK TAHUAN semata.

Seperti yang dikatakan saudara saya Badrul Irfan, "kenapa selama ini pembangunan jalan takengon bireun, medan - kuta cane, subussalam-Aceh selatan, gumpang tutut dll, diabaikan". Saya tambahkan lagi, juga Jalan Teritit- Pondok baru.

Pertanyaan Badrul Irfan ini adalah pertanyaan rakyat kebanyakan yang hidup di tempat-tempat yang disebutkan saudara saya Badrul Irfan, apalagi kemudian pertanyaan masyarakat itu semakin dipertajam oleh fakta yang dieksploitasi oleh aparat setempat dengan mencoloknya perbedaan kualitas antara jalan yang ada di bawah administrasi pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi (ini yang saya saksikan terjadi di daerah-daerah yang rakyatnya sangat kuat mendukung ide pemisahan provinsi, ide yang menurut saya tidak akan menyelesaikan masalah).

Kalau kondisi ini terus dibiarkan, jelas ini akan membuat sentimen kesukuan yang memang harus kita akui ada bersemayam di diri suku-suku minoritas di Aceh, karena selama ini merasa di nomor duakan akan semakin tumbuh subur dan gampang dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak menginginkan Aceh damai atau orang-orang yang terjebak dalam kepentingan kolompok atau pribadi yang sifatnya sesaat.

Sejauh ini rakyat yang hidup di tempat-tempat yang disebutkan oleh Badrul Irfan sama sekali belum merasakan perbedaan ke arah postif antara kebijakan pemerintah Aceh yang lama dengan kebijakan pemerintah Aceh yang sekarang.

Berkaitan dengan Pemilu Legislatif beberapa waktu yang lalu. Kemenangan PA dalam pemilu kemarin adalah pertaruhan besar. PA menang di atas harapan besar rakyat Aceh atas perubahan yang lebih baik.

Harapan rakyat yang sangat besar seperti itu terkadang tidak realistis dan sangat berpotensi besar untuk tidak terwujud karena terkadang harapan itu tidak berdasarkan fakta logis yang ada di lapangan. Dalam banyak daerah yang mengalami situasi yang mirip seperti kita di Aceh, harapan yang terlalu besar itu sering berbalik menjadi kekecewaan. Rakyat tidak bisa tidak akan membandingkan situasi di saat kekuatan lama berkuasa dengan situasi saat kekuatan baru berkuasa.

Keadaan seperti ini sangat sering berakhir dengan fakta bahwa pihak yang diganduli harapan tinggi itu di akhir kekuasaannya justru berubah menjadi dimusuhi dan rakyat kembali beralih ke kekuatan lama yang dirasa lebih memberi ketentraman dan kesejahteraan.

Hal seperti ini tentunya sangat tidak kita inginkan terjadi di Bumi Aceh yang sama-sama kita cintai.

Sebelum Pemilu, Pemerintah Aceh boleh berkilah DPRA dikuasai orang-orang pro Jakarta, tapi dengan kemenangan Partai Aceh sekarang jelas alasan seperti itu menjadi barang usang. Isu ini akan semakin sensitif dan gampang dieksploitasi jika tidak ada perubahan kebijakan terhadap suku-suku minoritas oleh pemerintah Aceh di masa mendatang. Apalagi faktanya anggota legislatif yang sekarang sekarang duduk di DPRA didominasi oleh saudara-saudara kita yang berasal dari suku Aceh pesisir.

Berdasarkan fakta itu, saya pikir akan sulit sekali bagi mereka untuk memahami apa yang dirasakan oleh kami-kami orang Aceh yang bukan bersuku Aceh kalau kami tidak memberi informasi kepada mereka, apa yang kami butuhkan, apa yang kami rasakan.

Keberhasilan pemerintahan baru Aceh adalah keberhasilan kita bersama, kegagalan mereka adalah kegagalan kita juga karena kegagalan mereka akan berkemungkinan sangat besar akan membuat rakyat berpaling kembali ke kekuatan lama.

Karena itulah meskipun saya tidak menutup mata atas banyaknya kekecewaan teman-teman dari partai lokal lain yang tidak mendapatkan kursi di parlemen yang menurut mereka karena tekanan dari PA. Tapi menurut saya dalam situasi sekarang PA harus dibantu, kesampingkan dulu segala bentuk kekecewaan kita terhadap PA.

Mereka yang duduk di parlemen harus banyak kita dukung dan kita suplai dengan informasi-informasi akurat dan isu-isu faktual yang berkembang di lapangan. Jangan sampai kelemahan mereka kemudian dimanfaatkan oleh kekuatan lama lagi.

Salah satu bentuk dukungan itu adalah dengan membentuk Kaukus-kaukus semacam yang dilemparkan Harimau Leuser. Saya mendukung ide ini karena menurut pengamatan saya, Kaukus seperti itu bisa menampung suara-suara baik positif maupun negatif dari tengah dan tenggara, Kaukus seperti itu bisa menjadi jembatan untuk berkomunikasi antara Pemerintah Aceh dengan rakyat suku-suku minoritas yang tinggal di wilayah tengah dan tenggara Aceh.

Saya secara pribadi mungkin bisa memberi masukan, tapi kemudian orang tentu akan bertanya SIAPA Win Wan Nur?...kenapa suara Win Wan Nur harus didengarkan?...apa buktinya dan atas dasar apa suara Win Wan Nur bisa dianggap mewakili suara orang yang tinggal di wilayah Tengah dan Tenggara secara keseluruhan?.

Itulah alasan kenapa saya sangat mendukung ide dibentuknya Kaukus Tengah Tenggara.

Kalau kemudian setelahnya besok Lahir Lagi Ide Membuat "Kaukus Pantai Timur Utara" (Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara Dan Kota Lhoksmawe). Itu juga perlu kita dukung dengan sungguh-sungguh karena ide seperti itu memperkuat demokrasi di luar perlemen yang selama ini terbukti lebih mampu menyerap aspirasi murni yang berkembang di masyarakat dibandingkan dengan demokrasi struktural.

Kaukus-kaukus semacam itu bisa dijadikan alat penekan supaya para pelaku demokrasi struktural tidak berpaling dari kepentingan rakyat yang mereka wakili.

Wassalam

Win wan Nur

Minggu, 24 Mei 2009

Pariwisata, Tegasnya Peraturan dan 'Ramah'nya Aparat Indonesia

Ketika krisis global melanda dunia, ada kekhawatiran dunia pariwisata Indonesia akan terpuruk. Kekhawatiran ini diperkuat dengan data menurunnya kunjungan wisatawan yang masuk ke Bandar Udara Ngurah Rai pada dua bulan pertama tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi ternyata tren penurunan itu tidak berlangsung lama, belakangan entah karena gencarnya promosi wisata Indonesia atau karena diuntungkan oleh situasi tidak menguntungkan yang terjadi di negara-negara pesaing Indonesia dalam merebut pasar wisata yang menawarkan alam tropis. Krisis politik di Thailand yang tidak menentu, krisis dengan Macan tamil di Sri Lanka dan yang terbaru Flu Babi yang merebak di Meksiko. Entahlah, yang jelas bulan-bulan selanjutnya kunjungan wisatawan yang masuk melalui Bandara Ngurah Rai melonjak drastis sampai melebihi jumlah kunjungan wisatawan tahun lalu pada periode yang sama.

Khusus untuk wisatawan asal Perancis, jumlahnya bahkan melonjak hampir tiga kali lipat dari jumlah wisatawan yang berkunjung tahun lalu. Ketika fenomena ini saya tanyakan pada beberapa wisatwan asal Perancis yang menjadi tamu saya, mereka mengatakan kalau sekarang di Perancis, berkunjung ke Bali sedang menjadi tren. Di mana-mana orang membicarakan Bali. Agen-agen perjalanan di Perancis pun kewalahan menerima permintaan kunjungan berwisata ke Bali, karena jumlah permintaan tidak seimbang dengan jumlah kamar yang bisa disediakan oleh hotel-hotel yang ada di Bali.

Ketika kunjungan ke Bali meningkat drastis, hal sebaliknya terjadi dengan daerah tujuan wisata yang lain seperti Lombok, Sulawesi atau Sumatera. Pariwisata di daerah-daerah tersebut menderita dan terpuruk akbibat larangan dari Uni Eropa bagi warganya untuk terbang dengan maskapai penerbangan dalam negeri Indonesia, sehingga agen-agen perjalanan tidak bisa menjual paket tour ke daerah-daerah tersebut karena tidak ada satupun perusahaan asuransi di eropa yang mau menanggung resiko kecelakaan wisatawan yang menumpang pesawat milik maskapai penerbangan Indonesia.

Jika daerah-daerah yang saya sebutkan di atas menderita karena tidak bisa mendapatkan limpahan wisatawan dari Bali. Sebaliknya situasi ini justru menguntungkan buat pulau Jawa. Dulu ketika tidak ada larangan terbang, biasanya wisatawan langsung naik pesawat dari Bali menuju Jogja atau sebaliknya. Untuk ke Bromo pun misalnya, mereka bisa langsung naik pesawat ke Surabaya.

Tapi sekarang akibat adanya larangan tersebut, mau tidak mau wisatawan dari Bali yang ingin ke Jogja atau sebaliknya, harus menempuh jalan darat. Akibatnya waktu tinggal wisatawan di Bali menurun dan sebaliknya waktu kunjungan wisatawan di Jawa meningkat. Keadaan ini menghidupkan bisnis pariwisata di sepanjang jalan yang dilalui wisatawan dari Jogja yang menuju Bali atau sebaliknya. Hotel-hotel dan restoran di kota-kota semacam Kediri, Jember dan Banyuwangi yang dulu kering kunjungan wisatawan asing kini mulai ramai disinggahi.

Di Bali sendiri, beberapa agen perjalanan menawarkan variasi kunjungan wisata ke Kawah Ijen yang terletak di kabupaten Banyuwangi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Pulau Bali. Objek wisata ini sekarang sangat terkenal di Perancis dan negara-negara berbahasa Perancis sejak Nicholas Hulot, seorang pemandu acara petualangan terkenal membuat reportase tentang Kawah Ijen pada pertengahan tahun 90-an dulu. Jet Tour, sebuah biro perjalanan asal Perancis yang sekarang berada di bawah manajemen Thomas Cook adalah salah satu agen perjalanan yang menawarkan paket kunjungan wisata ke Kawah Ijen ini.

Kamis tanggal 21 Mei 2009 pukul 15.30 Wita, saya yang menjadi tour leader untuk Jet Tour. Bersama 20 orang klien saya menyeberang dengan menggunakan kapal Ferry dari pelabuhan Gilimanuk di Bali ke Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi.

Dalam perjalanan, seorang tamu saya yang bernama Christine Dard yang berusia 57 tahun jatuh sakit, dia merasa mulas dan sangat lemas. Saya dan suaminya mencoba memijat dan memberinya obat, tapi tindakan yang kami lakukan tersebut tidak serta merta membuat kondisi ibu Christine Dard membaik. Yang dia inginkan adalah kami segera bisa sampai di seberang dan dia bisa segera beristirahat di hotel.

Ketika kapal akhirnya bersandar di pelabuhan ketapang pada pukul 15.30 WIB, wajah Christine Dard sudah sangat pucat, dia bisa berdiri dengan susah payah tapi masih bisa berjalan melewati lorong jembatan penumpang dengan dipapah oleh saya dan suaminya. Ketika kami hampir sampai ke darat, ratusan remaja tanggung yang sepertinya adalah rombongan anak sekolah yang akan berlibur ke Bali menyeruak masuk melalui lorong tersebut dan membuat kami terpepet ke tepi jembatan. Melihat itu Christine Dard yang sedang kami papah tiba-tiba terduduk lemas. Kami mencoba membujuknya untuk berdiri dan saya membuka jalan meminta tolong rombongan remaja tanggung tersebut menepi dan akhirnya dengan susah payah kamipun berhasil sampai ke darat.

Sampai di darat, mobil yang dikirim oleh Ijen Resort, hotel tempat kami menginap menunggu di pinggir jalan di luar area pelabuhan yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempat kami berada. Untuk sampai ke sana kami harus menyeberangi lapangan parkir yang dipenuhi bus dan truk yang antri untuk menyeberang ke Bali. Mobil yang menjemput kami ada di sana karena sejak beberapa waktu yang lalu, manajemen Pelabuhan ketapang yang berada di bawah naungan Departemen Perhubungan memberlakukan kebijakan untuk melarang kendaraan yang tidak bermaksud menyeberang ke Bali untuk memasuki area pelabuhan Ketapang. Peraturan ini dilaksanakan dengan SANGAT TEGAS oleh aparat Departemen perhubungan yang bertugas di Pelabuhan Ketapang.

Ketegasan aturan di Pelabuhan Ketapang ini seringkali sangat menyulitkan para penumpang, terutama ketika turun hujan deras. Kalau sedang sial tiba di Ketapang saat turun hujan, para penumpang kapal, termasuk turis asing yang sedang berwisata, harus rela berbasah ria menyeberangi lapangan parkir untuk bisa keluar dari pelabuhan. Itu terjadi karena di Pelabuhan Ketapang tidak ada koridor beratap yang menghubungkan Kapal dengan bagian luar pelabuhan seperti yang ada di Gilimanuk.

Ketika kami sampai di darat, Christine Dard yang sudah sangat lemas tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan dengan cara dipapah menuju ke mobil yang menunggu kami di luar pagar pelabuhan.

Melihat keadaan seperti itu saya berpikir untuk minta tolong salah satu mobil yang ikut menyeberang untuk memberi tumpangan kepada klien saya yang sakit ini untuk menyeberangi jarak yang hanya sekitar 100 meter itu. Tapi karena saat keluar dari kapal tadi kami membutuhkan waktu yang cukup lama, semua mobil yang ada di kapal yang sama dengan kami sudah terlebih dahulu keluar. Sayapun kebingungan, 19 orang tamu saya yang lain yang sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia lebih kebingungan lagi. Sementara itu Christine Dard semakin lemas dan wajahnya tampak sangat pucat.

Gagal mendapatkan tumpangan di dalam pelabuhan, saya berlari keluar pelabuhan Ketapang meminta sopir mobil yang dikirim oleh Ijen Resort untuk masuk ke dalam lokasi Pelabuhan menjemput tamu saya yang sakit. Saya pikir meskipun ada larangan tegas untuk masuk ke area pelabuhan tentu ada pengecualian untuk kondisi darurat seperti ini. Sopir mobil yang dikirim Ijen Resort dengan wajah cemas segera masuk ke Pelabuhan dan langsung disuruh berhenti oleh seorang petugas polisi paruh baya. Petugas polisi ini menanyakan maksud kami masuk, lalu saya jelaskan kalau kami ingin masuk ke Pelabuhan karena ada seorang tamu saya yang sakit dan tidak bisa berjalan ke luar area pelabuhan. Mendengar penjelasan saya dengan wajah simpatik Petugas kepolisian inipun mempersilahkan kami masuk. Saya langsung merasa lega, dan sopirpun segera bergegas menekan gas.

Tapi ketika kami akan melewati gerbang pemeriksaan, kami ditahan lagi oleh seorang petugas pelabuhan berseragam departemen perhubungan yang berbadan besar yang postur tubuhnya mengingatkan saya pada almarhum komedian Big Dicky. Petugas pelabuhan berbadan besar ini membentak kami dengan kasar dan menyuruh kami mundur. Mendengar bentakan itu, seperti kepada petugas polisi tadi sayapun mencoba menjelaskan situasi yang saya hadapi.

Tidak seperti polisi tadi yang maklum dengan situasi yang saya hadapi, petugas pelabuhan berbadan besar ini tidak mengenal kata kompromi dalam menegakkan peraturan. Kami tetap di suruh mundur, jadi sopir Ijen resort pun tidak punya pilihan selain mundur. Saya kemudian menanyakan, bagaimana solusi yang bisa ditawarkan oleh pelabuhan ketapang supaya saya membawa keluar tamu asing saya yang sedang sakit dari pelabuhan tersebut. "Itu urusan sampeyan", kata petugas tersebut ketus dan melengos pergi tanpa menunjukkan sedikitpun rasa empati.

Ketika cara halus gagal dan emosi sayapun naik mendengar jawaban dan caranya mengucapkan kalimat tadi, saya mencoba sedikit mengancam. "boleh tahu nama bapak", tanya saya, seolah-olah akan menuliskan namanya di Media.
"Oh..nama?..Joko, tulis JOKO" katanya menantang, "lapor kemana saja kamu mau lapor" lanjutnya lagi dengan nada tinggi yang lebih menantang yang membuat saya semakin kebingungan dan bertambah emosi.

Dalam kebingungan seperti itu, saya melihat seorang petugas Satpam pelabuhan sedang duduk santai di atas motor. Saya berinisiatif meminta tolong dengan meminjam motornya untuk membawa tamu saya keluar dari lokasi pelabuhan. Mendengar permintaan saya, si Petugas satpam yang berusia sekitar 25 tahunan ini dengan halus menolak memberikan motornya. Dia beralasan bahwa motornya itu adalah kendaraan operasional pelabuhan.

Kemudian saya melihat sebuah mobil datang dari arah utara menuju ke arah saya, saya mencoba menghentikan untuk meminta tolong membawa tamu saya keluar. Tapi kali inipun saya gagal, sopirnya yang berusia paruh baya ditemani seorang gadis muda di sampingnya ini juga menolak mengantarkan tamu saya yang sakit untuk keluar dari dalam pelabuhan ke tempat mobil-mobil Ijen Resort menunggu. Sopir mobil ini beralasan bahwa mobil yang dia kemudikan itu adalah mobil yang akan digunakan untuk menjemput pramugari kapal.

Gagal mendapatkan pertolongan di Pelabuhan ini membuat saya benar-benar cemas, marah dan frustasi. Hampir satu jam sudah saya berada dalam situasi seperti itu. Sopir-sopir dari Ijen Resort yang menunggu di luar pagar pelabuhan pun tampak sama cemasnya dengan saya.

Sementara itu wajah Christine Dard semakin pucat, tamu-tamu yang lain juga hanya bisa menunjukkan wajah cemas sambil merutuk tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa geram dan memaki-maki menerima perlakuan aparat Indonesia terhadap wisatawan seperti mereka, karena perlakuan yang mereka terima ternyata tidak seperti yang dipromosikan oleh pemerintah Indonesia. Apa yang mereka alami ini jelas promosi yang sangat tidak bagus buat dunia Pariwisata Indonesia. Anggota rombongan saya ini tanpa bisa saya cegah, berencana melaporkan apa yang mereka alami kepada agen mereka, dan meminta agar Thomas Cook, biro perjalanan yang cukup besar di Eropa tersebut agar tidak lagi menawarkan program wisata ke BANYUWANGI.

Tapi bagi saya sendiri, yang saya khawatirkan lebih dari itu. Yang sangat saya khawatirkan adalah kalau kondisi tamu saya ini yang semakin memburuk dan situasi terburuknya yang paling saya khawatirkan adalah kalau dia sampai meninggal dunia. Kalau itu sempat terjadi, kejadian ini tidak hanya akan berdampak pada pariwisata, tapi bukan tidak mungkin akan bisa mengganggu hubungan diplomatik Indonesia dan Perancis. Pemerintah Republik Perancis tentu tidak akan senang warganya yang sedang berwisata diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi seperti itu oleh APARAT RESMI Negara Republik Indonesia.

Pemerintah Perancis tentu tidak sama dengan pemerintah Indonesia yang santai-santai saja mengetahui warganya diperlakukan dengan buruk di negara asing bahkan jika pelakunya adalah aparat di negara negara asing tersebut sekalipun. Perlakuan buruk ini misalnya seperti TKI di luar negeri yang dipukuli dan diperkosa. Atau bahkan ketika seorang wasit Karate warga Indonesia yang sengaja diundang oleh Malaysia, negara tetangga kita, tapi sesampainya di sana malah dipukuli sampai babak belur oleh aparat Malaysia karena dituduh sedang mencari kerja pun, Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan.

Untuk Joko si petugas pelabuhan yang 'ramah' itu. Dari sikap yang dia perlihatkan, saya yakin JOKO si petugas pelabuhan ini sama sekali tidak bisa membayangkan kalau di luar sana ada pemerintah negara asing yang begitu peduli dengan keselamatan warganya. Saya pikir JOKO, aparat pemerintah Indonesia yang hidup dengan alam pikiran Indonesianya ini pasti tidak bisa membayangkan ada seorang presiden di sebuah negara yang mau repot-repot mengirimkan sebuah kapal perang dan langsung memberi komando operasi hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang warganya.

Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan aparat di pelabuhan. Para pedagang yang ada di lokasi pelabuhan dengan simpatik berusaha ikut membantu tamu saya tersebut semampu mereka. Para pedagang di pelabuhan itu ada yang menawarkan kursi, ada yang menawarkan minum dan ada yang menawarkan pijat. Sementara para petugas pelabuhan berseragam yang ada di sana cuma lalu lalang memperhatikan dari jauh, tanpa ada satupun yang mendekat dan menanyakan kenapa.

Saya benar-benar kebingungan untuk menemukan cara membawa keluar tamu saya tersebut. Sejam lebih saya berputar-putar di sana, sampai seorang Ibu berjilbab yang berjualan agak jauh dari tempat kami berada mendatangi kami. Ibu ini mengatakan dia punya kursi roda dan menawarkannya kepada saya untuk membawa tamu saya tersebut keluar. Saya sangat gembira mendengar tawaran ibu ini, lalu ibu itu meminta anaknya untuk mengambilkan kursi roda tersebut. Tidak lama kemudian anak ibu ini berumur sekitar awal 20-an yang penampilannya mengingatkan saya pada Ikhwan PKS karena dia memelihara beberapa lembar jenggot di dagu dan mengenakan kain sarung sampai di atas mata kaki datang tergopoh-gopoh mendorong kursi roda seperti yang dikatakan ibu itu.

Begitulah, akhirnya dengan menaikkannya ke atas kursi roda tersebut, sayapun akhirnya bisa membawa Christine Dard, tamu saya yang sakit keluar dari pelabuhan Ketapang untuk langsung dibawa ke Hotel. Sebagai ucapan terima kasih, saya memberikan uang Rp. 50.000- kepada anak ibu tadi, tapi dia dengan serta merta menolak pemberian saya sehingga akhirnya saya hanya bisa mengucapkan terima kasih tanpa sempat menanyakan namanya.

Di dalam mobil yang membawa kami ke Hotel, tamu-tamu saya yang terkesan dengan kebaikan ibu dan anaknya tadi serta para pedagang di Pelabuhan Ketapang yang serta merta membantu tanpa pamrih, tidak habis pikir dengan kontrasnya sikap mereka dibandingkan sikap aparat Pelabuhan Ketapang. Ketika mereka bertanya kenapa. Saya hanya bisa bilang itulah Indonesia, "Jadi kalau kalian nanti benar mau melaporkan apa yang kalian alami hari ini ke Thomas Cook, tolong kalian jelaskan pula beda antara keramah tamahan penduduk Indonesia dan 'keramahan' aparatnya", kata saya.

Mengalami hal seperti ini, saya teringat apa yang saya saksikan di televisi pada malam sebelumnya, ketika Metro TV mengundang tiga ketua tim sukses pemenangan calon presiden RI untuk Pemilu mendatang. Dalam acara itu, Andi Malaranggeng yang menjadi ketua tim sukses SBY, dengan kumisnya yang terangkat-angkat dengan semangat menggebu terus memuji-muji keberhasilan pemerintahan saat ini, mulai dari ekonomi yang membaik, turunnya tingkat pengangguran termasuk ketegasan aparat dalam penegakan hukum dan aturan.

Mengingat apa yang dikatakan Andi, saya berpandangan bahwa sikap tegas tanpa kompromi yang ditunjukkan oleh Joko, si petugas pelabuhan Ketapang yang memiliki postur seperti almarhum Big Dicky ini adalah salah satu keberhasilan pemerintahan SBY dalam mendidik aparatnya untuk bersikap tegas dalam menegakkan peraturan. Karenanya kepada siapa saja yang membaca tulisan ini dan kebetulan kenal dengan Andi Malaranggeng supaya menyarankan agar 'keramah tamahan' seperti yang ditunjukkan oleh Joko si petugas pelabuhan ketapang ini oleh Andi dapat dipertimbangkan untuk dijadikan bahan kampanye pemenangan SBY.

Wassalam

Win Wan Nur

Rabu, 20 Mei 2009

Politik dan Sepakbola, Mirip Tapi Ada Bedanya

Ketika berbagai tulisan yang saya post di berbagai media online tentang kasus penjualan lahan dan mesjid serta penyelewengan yang terjadi di Panti Asuhan Budi Luhur beredar luas, seorang teman lama yang kebetulan membacanya merasa terkesan. Setelah membaca tulisan-tulisan tersebut, teman ini berpendapat alangkah baiknya jika ide-ide yang saya tulis itu secara politis diperjuangkan di legislatif.

Berkaitan dengan itu, teman ini kemudian bertanya dan menyayangkan kenapa saya tidak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di pemilu yang berlangsung beberapa waktu yang lalu.

Yang menarik, teman saya ini bertanya seperti itu rupanya karena dia memandang Politik itu sama seperti pertandingan sepakbola yang biasa dia saksikan di layar kaca.

"Seperti main bola, kalau mau mengatur jalannya permainan, kita kan harus turun ke lapangan bukan cuma jadi komentator dari luar", begitu kata teman ini.

Dalam beberapa hal Politik memang ada kemiripan dengan pertandingan sepakbola. Tapi ketika berkata seperti itu, teman saya ini sepertinya menyamakan politik dengan sepakbola secara langsung dan menyeluruh. Saya melihat ada asumsi dan logika yang kurang tepat dengan asumsi yang dibuat oleh teman saya ini karena dalam banyak hal Politik memang sangat berbeda dengan sepakbola.

Alasannya sebagai berikut :

Sepakbola adalah sebuah permainan yang terukur yang diatur dengan aturan-aturan yang sangat jelas. Misalnya yang bertanding di lapangan adalah sebelas orangmelawan sebelas orang, ukuran lapangan, ukuran gawang, warna dan bentuk pakaian yang digunakan sampai lamanya pertandingan, semua diatur dengan jelas. Untuk menentukan menang kalah pun ukurannya jelas, yaitu jumlah gol yang bersarang di gawang lawan. Disaksikan oleh para penonton pasif yang hanya bisa menyemangati dan berkomentar tapi tidak berhak ikut ambil bagian di lapangan.

Sementara itu politik, apalagi politik di negara demokrasi adalah sebuah permainan kolektif yang melibatkan seluruh rakyat yang menghuni negara tersebut. Dalam politik, siapa lawan dan siapa kawan sangat cair, posisi sebagai lawan atau kawan bisa berubah dalam hitungan detik. Ukuran menang dan kalah juga tidak bisa diukur dengan angka-angka yang pasti. Aturan main dan pemilihan wasitpun diatur oleh para pemain sendiri. Dalam politik partai yang kalah dalam pemilu legislatif bisa menang dalam pemilihan presiden. Dalam politik juga tidak ada penonton pasif, seluruh rakyat yang hidup dalam sebuah negara demokrasi adalah pemain aktif yang ikut menentukan arah permainan.

Berbeda dengan komentator sepakbola yang komentarnya hanya berguna untuk membantu para penonton pasif untuk memahami jalannya pertandingan tanpa bisa mempengaruhi jalannya pertandingan di lapangan, komentar dari seorang komentator politik di sebuah negara demokrasi bisa sangat mempengaruhi pandangan rakyat di negara tersebut yang ujung-ujungnya akan secara signifikan mengubah kebijakan yang diambil oleh pemerintah, parlemen atau partai politik.

Indonesia, dengan segala kekurangannya harus diakui adalah negara yang demokrasinya paling baik di kawasan. Untuk saat ini, siapapun harus mengakui kalau iklim demokrasi di Indonesia ini jauh lebih baik dibandingkan iklim demokrasi di Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand bahkan Filipina. Apalagi kalau dibandingkan dengan Vietnam, Laos, Kamboja apalagi Myanmar.

Dalam iklim seperti ini, pilihan sarana untuk menyalurkan aspirasi politik kita sebagai warga menjadi sangat terbuka, tidak harus melalui partai politik. Aspirasi politik bisa disalurkan melalui LSM, organisasi massa dan yang paling efektif media. Meskipun penyampaian aspirasi melalui media ini sekarang mulai dibayangi ancaman penjara dengan alasan pencemaran nama baik, tapi setidaknya ancaman itu masih dilalui proses pengadilan, tidak langsung masuk tanpa banyak pertanyaan seperti di masa lalu.

Tapi meskipun berbeda bukan berarti politik (terutama di Indonesia) tidak bisa diasumsikan dengan sepakbola karena dalam iklim demokrasi yang lumayan sehat seperti di Indonesia ini, partai Politik dan pemerintah sebenarnya tidak lain hanyalah eksekutor.

Jadi kalau proses politik di negara ini diibaratkan seperti sebuah pertandingan sepakbola, maka anggota partai politik yang ada di parlemen dan juga pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan sebenarnya tidak lain hanyalah para striker yang bertugas mencetak gol. Sementara rakyat yang ada di luar adalah pelatih sekaligus playmaker yang bertugas mengarahkan alur permainan sekaligus penyuplai bola-bola matang bahkan menentukan siapa saja striker yang berhak bermain di lapangan.

Berhasil tidaknya para eksekutor itu mencetak "gol" ke "gawang lawan" sangat tergantung alur permainan yang diarahkan oleh "pelatih", pemilihan "striker" yang turun ke lapangan dan sebaik apa suplai bola dari "lapangan tengah".

Di sebuah negara demokrasi, peran politis rakyat sebenarnya jauh lebih penting daripada peran partai politik bahkan pemerintah sendiri. Kalau rakyat bisa mengarahkan permainan dengan baik dan banyak mengkritik kelalaian para "striker" dan juga banyak memberikan suplai "bola matang", maka akan banyak "gol" yang bersarang ke gawang lawan.

Tapi tidak akan ada "gol" yang tercipta ke "gawang lawan" kalau rakyat sebagai "pelatih" tidak peduli dengan alur permainan dan rakyat sebagai "playmaker" gagal menyuplai bola matang.

Dalam sepakbola Liga Italia atau Liga Champion, komentar dari Bung Kus atau Almarhum Roni Pattinasarani tidak pernah ada sejarahnya bisa mempengaruhi keputusan Carlo Ancelotti atau Alex Ferguson. Tapi dalam politik, sebuah komentar dari seorang Eep Syaifulloh Fatah atau Ahmad Qodhari, analisa ekonomi dari Faisal Basri atau analisa komunikasi dari Effendi Ghazali bisa mengubah keputusan seorang SBY.

Bukti terakhir betapa signifikannya pengaruh "umpan matang" dari "lapangan tengah" ini bisa kita lihat pada saat hiruk pikuk penentuan cawapres beberapa waktu yang lalu.

Saat itu dari banyaknya nama tokoh yang beredar untuk menjadi cawapres Demokrat, untuk mendampingi SBY. Nama Hidayat Nurwahid, ketua MPR yang mantan ketua umum PKS sempat mengemuka.

Tapi ketika nama tersebut muncul ke permukaan, terdengar penolakan keras dari berbagai penjuru. Penolakan itu muncul dengan berbagai varian komentar, mulai dari yang logis dan cerdas yang disampaikan dengan bahasa yang halus sampai ke berbagai jenis makian kasar kelas preman pasar. Tapi kalau kita amati baik-baik semua jenis dan varian penolakan itu, intinya orang-orang yang menolak ini khawatir jika Nurwahid naik, pluralisme di negara ini akan terancam.

Penolakan ini jelas membuat gusar PKS dan kemudian merekapun mencoba mencoba menetralisir penbolakan itu dengan berbagai argumen. Tapi seperti biasa, karena argumen-argumen yang dikeluarkan PKS selalu mirip argumen orang autis yang tidak sadar dengan situasi lingkungannya. Akibatnya penolakan terhadap Nurwahid itu bukannya mereda, tapi malah semakin menjadi-jadi.

Melihat ramainya penolakan tersebut SBY pun tidak mau mengambil resiko kehilangan suara dan segera mencoret nama Nurwahid dari daftar nama cawapresnya.

Keputusan yang diambil SBY ini sempat membuat PKS yang sempat merasa paling berkuasa diantara mitra koalisi demokrat merajuk. PKS yang sebelumnya merasa paling dekat dengan Demokrat sempat menyentil Golkar dan membuat tersinggung pendukungnya, PKS minta PDIP kulonuwun dulu sebelum berkoalisi dengan Demokrat, malah mengancam akan berkoalisi dengan partai lain. Meskipun akhirnya terbukti ancaman itu cuma sejenis rengekan anak kecil yang tidak dibelikan mainan. Partai yang mengaku paling bersih dan paling Islam ini ternyata tidak kuasa kehilangan empuknya kursi kekuasaan jika tidak bergabung dengan demokrat, lalu PKS yang sebelumnya secara terang-terangan merajuk ini pun dengan muka tebal dan tanpa malu-malu mendukung SBY-Budiono.

Kembali ke sepakbola, jika Negara Indonesia ini diibaratkan sebagai sebuah tim sepakbola. Maka dalam tim Indonesia ini dapat kita saksikan terdapat banyak sekali "striker" handal yang sangat piawai mencetak gol. Hanya saja, sayangnya para pemain yang berposisi sebagai"striker" di tim Indonesia ini (hampir) seluruhnya lebih mementingkan pencapaian pribadi sebagai "pencetak gol terbanyak", dibandingkan pencapaian tim secara kolektif yaitu kemenangan.

Bagi para "stiker" di tim Indonesia, yang paling penting adalah mencetak gol. Asal ambisi mencetak gol itu bisa tercapai, mereka tidak peduli berapa banyak gol yang diciptakan lawan ke gawang sendiri. Bahkan ketika "pelatih" dan "playmaker" lalai, demi pencapaian pribadi, para "striker" keblinger itu tidak segan-segan mencetak gol ke gawang timnya sendiri.

Jadi pada masa sekarang, sebenarnya yang sangat dibutuhkan di negara ini adalah "pelatih" dan "playmaker" berkualitas, bukan "striker" yang jumlahnya melimpah ruah.

Karena itulah dalam permainan yang oleh teman lama saya diibaratkan seperti sepakbola ini, untuk saat ini, ketimbang menjadi "striker" terus terang saya lebih suka bermain di "lapangan tengah".

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Selasa, 12 Mei 2009

Sempurnanya Islam dan Sempurnanya Alam

Selaku orang Aceh sebagaimana juga orang-orang Aceh lainnya saya percaya kalau Islam itu adalah sebuah ajaran yang sempurna dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Sejak kecil saya diajarkan begitu karenanya sampai sekarangpun saya percaya itu.

SEMPURNA adalah sebuah kata yang maknanya sangat subjektif, pengertian kata ini sangat bergantung sebanyak apa informasi yang ada dalam kepala orang yang memaknai kata SEMPURNA itu.

Waktu kecil kesempurnaan Islam itu saya pahami secara hitam putih, artinya saya mempercayai kalau apapun yang dicomot dari Islam pasti baik jadinya. Ayam yang dipotong dengan cara Islam lebih sehat daripada dengan disetrum, babi yang diharamkan Islam ternyata dagingnya mengandung cacing pita adalah dua diantara banyak bukti yang membuat saya percaya bahwa Islam, agama yang saya anut ini adalah agama yang sempurna. Kemudian fakta lain yang saya dapatkan bahwa Islam memiliki aturan untuk setiap aktivitas sehari-hari mulai dari adab makan, adab bicara, bersikap pada orang tua, mandi bahkan sampai buang air adalah bukti lain yang membuat saya yakin bahwa Islam adalah sebuah agama yang sempurna.

Dalam waktu lama saya pernah berpikir kalau aturan apapun yang dicomot dari Islam dan diterapkan kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari hasilnya pasti akan baik.

Tengku-tengku yang mengajar saya mengaji juga guru agama di sekolah saya seringkali mengkritik orang yang tidak senang dengan hukum Islam yang memberikan hukuman keras bagi pelanggarnya. Seperti hukuman potong tangan buat pencuri atau dirajam sampai mati buat penzina.

Menurut para Tengku tersebut kerasnya hukuman dalam syariat Islam itu adalah untuk membuat jera, sehingga dengan beratnya hukuman itu orang tidak akan berani berbuat kejahatan. Manusia dalam gambaran tengku dan guru agama saya itu seolah seperti sebuah benda mati saja, yang jika diberi reaksi A pasti akan bereaksi B tanpa ada variabel apapun yang bisa membuat penyimpangan reaksi yang dibuatnya.

Pada waktu itu, saya pikir di negara-negara yang menerapkan Syari'at islam sama sekali tidak ada yang namanya orang jahat. Dalam bayangan saya saat itu, Arab Saudi dan negara-negara lain yang menerapkan Syariat islam itu adalah sebuah tempat yang demikian sempurna laksana surga dimana tidak ada kejahatan sama sekali.

Tapi belakangan ketika saya mulai mengenal filsafat, antropologi dan juga psikologi. Melalui pengetahuan yang saya dapatkan dari bidang-bidang itu saya tahu kalau mode perilaku manusia tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para Tengku dan guru agama di sekolah yang mengajari saya.

Dari informasi baru ini saya tahu kalau manusia adalah makhluk yang sangat rumit dan kompleks. Seperti apa perilaku manusia sangat bergantung pada latar belakang dan lingkungan yang membentuknya. Reaksi yang ditampilkan seorang manusia terhadap suatu aksi atau peristiwa tidak selalu sama dan linier.

Belakangan sayapun mulai banyak membaca dan mendengar berita tentang banyaknya kasus perkosaan terhadap pembantu Indonesia yang dilakukan oleh para majikan Aran di Arab Saudi yang menerapkan hukum Syari'at Islam. Sayapun mulai banyak mendapatkan fakta yang sesungguhnya terjadi di negara-negara semacam Sudan, Afghanistan yang menerapkan syari'at islam secara kaku sesuai dengan tafsir resmi pemerintah yang berkuasa.

Banyaknya informasi baru yang masuk ke kepala saya itu membuat pemahaman saya mengenai kesempurnaan Islampun mulai berevolusi.

Saya tetap percaya Islam itu adalah ajaran yang sempurna, tapi sekarang saya memahami kesempurnaan Islam bukan seperti sempurnanya Islam menurut tafsir seorang tokoh atau aliran tertentu.

Saat ini sempurnanya Islam di mata saya, sama seperti sempurnanya alam, yang kesempurnaannya hanya bisa dipahami dengan menyatukan berbagai disiplin ilmu. Tidak seorangpun bisa mengklaim bahwa dialah yang paling mengerti tentang Alam.

Saya yang pernah kuliah di Teknik Sipil sering membayangkan membangun peradaban itu seperti membangun gedung tinggi semacam menara BNI. Semua material bangunan gedung itu didapat dari alam. Tapi untuk menyatukan material-material itu untuk menjadi sebuah gedung seperti menara BNI, material-material dari alam tersebut harus terlebih dahulu diolah dan diperlakukan dengan teknologi.

Untuk membangun sebuah gedung tinggi semacam menara BNI, tidak cukup hanya satu macam pengetahuan tentang satu teknologi saja. Di samping arsitek yang merancang gedung tersebut, ada banyak ahli lain yang terlibat dalam perencanaan sebuah gedung yang tinggi baik langsung terlibat dalam proyek tersebut atau tidak. yang langsung terlibat dalam proyek tersebut selain arsitek dibutuhkan banyak tenaga ahli teknik sipil dari berbagai bidang, mulai dari bidang pengelolaan, struktur sampai geoteknik.

Selain yang terlibat langsung dalam proyek, ada banyak ahli lain yang terlibat dalam menyiapkan bahan bangunan untuk membangun gedung tersebut. katakanlah misalnya Besi yang diperlukan untuk menjadi tulangan beton yang menjadi struktur utama gedung tersebut. Material yang digunakan untuk tulangan ini adalah bijih besi yang ada di alam.

Tapi sebelum menjadi besi beton yang bisa digunakan untuk mendirikan gedung menara BNI, biji besi yang bertebaran di alam itu terlebih dahulu diolah sedemikian rupa. Untuk pengolahan itu diperlukan ahli kimia, ahli metalurgi, ahli mesin dan ahli teknik sipil untuk menguji kekuatannya, ahli manajemen untuk mengatur efektifitas pembuatannya, ahli akkuntansi untuk menghitung untung rugi produksinya dan masih banyak ahli-ahli lain yang tidak saya ketahui.

Itu baru besi, sementara yang menjadi bahan bangunan seperti BNI itu bukan hanya besi ada banyak bahan dari alam lainnya yang masing-masing memerlukan pengetahuan dan keterampilan dari seorang ahli untuk mengolahnya.

Untuk meletakkan bangunan tersebutpun diperlukan pengetahuan dari ahli mekanika tanah dan geologi. Selain itu masih dibutuhkan data meteorologi untuk mengetahui jenis cuaca dan kekuatan angin yang biasa berhembus di tempat itu.

Jadi ketika kita melaksanakan sebuah proyek skala raksasa semacam membangun gedung tinggi pengetahuan umum yang sangat sederhana bahwa struktur gedung tinggi dibuat dari bahan beton dan besi sama sekali tidak ada artinya karena dalam membangun gedung dengan skala itu banyak dibutuhkan pengetahuan tentang detail-detail kecil setiap kemungkinan dengan skala yang sangat presisi.

Itu adalah gambaran bagaimana memabangun sebuah benda mati bernama gedung yang faktor-faktor dan variabel yang mempengaruhi reaksinya terhadap setiap teknologi yang kita terapkan relatif konstan dan bisa diperkirakan.

Bagaimana dengan membangun peradaban?...kira-kira sama saja, untuk membangun katakanlah sebuah masyarakat yang teratur dibutuhkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu sosial dan juga eksak. Untuk menerapkan sebuah produk hukum di masyarakat dibutuhkan kajian dari sisi antropologi, sosiologi, psikologi sejarah dan juga ekonomi. Untuk menerapkan sebuah produk hukum di masyarakat, sama sekali tidak cukup dengan mengandalkan pengetahuan bahwa ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA.

Untuk membangun sebuah peradaban tingkat kerumitannya jauh lebih tinggi daripada membangun sebuah gedung semacam menara BNI, karena dalam membangun peradaban yang dijadikan objek adalah manusia, makhluk kompleks yang demikian dinamis dan berjiwa dan bisa berfikir yang kadang tidak ada yang bisa membayangkan keliaran imajinasinya.

Karena saya sadar begitu rumitnya urusan manusia ini, saya begitu miris ketika menyaksikan sekumpulan ahli agama yang sama sekali tidak saya ragukan kompetensinya dalam pengetahuan tentang dalil-dalil agama memutuskan untuk menerapkan sebuah hukum di masyarakat Aceh yang berdasarkan atas kajian mereka terhadap dalil-dalil agama yang mereka kuasai.

Mereka memutuskan untuk menerapkan hukum itu tanpa merasa perlu melibatkan ahli-ahli bidang ilmu lainnya untuk mengkaji secara mendalam apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang Aceh dan produk hukum seperti apa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat Aceh yang lama berada dalam situasi tertekan dan kecewa. Yang lama berada dalam situasi dibohongi dan diperlakukan tidak adil secara terang-terangan.

Mereka merasa dengan tingginya tingkat pengetahuan mereka tentang dalil-dalil agama, semua permasalahan manusia dari A sampai Z bisa dijelaskan dan diatasi, karenanya merekapun memaksakan hukum tersebut untuk ditaati.

Maka ketika mereka memutuskan bahwa Mengharuskan pemakaian Jilbab, Melarang Khalwat, Melarang minum Minuman Keras, memberi sanksi pada orang yang tidak shalat jum'at dan memberi sanksi pada penjudi teri adalah hal paling penting untuk dijadikan hukum positif secara Syari'ah. Dan mereka begitu percaya dengan itu masyarakat Aceh akan sejahtera. Saya yang orang Islam dengan kategori awam ini, yang sama sekali tidak sebanding dengan mereka dalam pengetahuan soal ilmu-ilmu agama, melihat mereka ini tampak seperti Hesiod yang hidup hampir 3000 tahun yang lalu, yang berpikir bahwa elemen paling penting untuk sebuah benda bisa terbang adalah MATERI sayap burung yaitu BULU.

Saya berbohong dan merasa berdosa jika saya katakan saya berpikir sebaliknya.

Wassalam

Win Wan Nur

Senin, 11 Mei 2009

Sehari Menjadi Nakhoda

Ini adalah kali keenam aku ke Nusa Lembongan dan kali ke lima dengan Aristocat, Catamaran mewah berbendera Australia.

Dari semua perjalananku ke Nusa Lembongan, kali ini terasa istimewa karena aku sendiri yang mengemudikan kapalnya.

Setelah mengemudikan kapal sendiri, aku baru mengerti kenapa kapal-kapal Ferry yang menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk tidak pernah berani menyeberang lurus, tapi memilih untuk berbelok menyusuri pantai. Penyebabnya adalah arus air laut yang begitu kuat. ketika mengemudikan aristocat aku merasakan sendiri bagaimana saat melaju kapal terus ditarik oleh arus dan kita yang mengemudikannya harus terus memutar setir kapal ke arah yang benar.

Meskipun Aristocat terlihat sederhana dan juga menggunakan layar sebagai tenaga pendorong, tapi sistem navigasinya sudah modern dan dilengkapi GPS. Untuk mengemudikan Aristocatpun aku tinggal menjaga sudut tujuan kapal tetap pada sudut yang sudah dikunci oleh komputer.

Tapi karena belum terbiasa, kadang setir kuputar terlalu kuat ke kanan, kadang aku lalai membiarkan kapal terlalu jauh bergeser dari sudut tujuan sehingga mau tidak mau setir kuputar lagi dengan kuat ke arah sebaliknya. Akibatnya laju kapal jadi tidak lurus, ditambah goyangan kapal yang cukup kuat caraku mengemudikan kapal sukses membuat beberapa penumpang yang rata-rata adalah orang-orang kaya asal eropa memuntahkan isi perutnya.

Pulau Nusa Lembongan adalah salah satu pulau di gugusan Pulau Nusa Penida. Selain Nusa Lembongan di Gugusan Pulau ini terdapat Pulau Nusa Ceningan yang ukurannya lebih kecil dan Nusa Penida sendiri yang ukurannya jauh lebih besar dari Nusa Lembongan.

Pulau Nusa Lembongan yang masuk dalam administrasi kabupaten Klungkung dan kecamatan Nusa Penida ini adalah sebuah pulau yang kering yang didominasi batu marmer, tanahnya hanya memiliki sedikit lapisan humus. Akibatnya bertahun-tahun bahkan mungkin berabad-abad warga pulau ini hidup dalam tingkat standar hidup yang sangat rendah.

Di pulau ini tidak ada sawah, di tanah Pulau Nusa Lembongan yang tandus warga setempat menanam singkong dan jagung. Air tawar didapatkan dengan menggali sumur yang sangat dalam. Tingkat kehidupan warga pulau ini membaik sejak seorang wiraswastawan asal Jawa memperkenalkan tanaman rumput laut. Di sebuah teluk pulau ini yang berair dangkal wiraswastawan asal jawa ini memperkenalkan budi daya rumput laut yang kemudian menjadi sumber penghasilan utama penduduk pulau ini. Saat ini harga sekilo rumput laut kering adalah 3000 rupiah. Dengan produksi per minggu per kepala keluarga mencapai 400-500 Kg. Hasil budidaya rumput laut ini meningkatkan income penduduk pulau ini secara signifikan. Sehingga sekarang kita bisa menemui banyak rumah yang relatif mewah di pulau ini yang dibangun dengan material yang dibawa dengan kapal dari Pulau Bali.

Sejak beberapa tahun yang lalu beberapa Investor membangun resort-resort wisata di pulau ini, untuk dijual kepada turis-turis berkantong tebal sebagai tujuan dari perjalanan berlayar menggunakan kapal mewah semacam Aristocat ini. Setidaknya ada 4 resort besar di pulau ini diantaranya Bali Hai yang memiliki Aristocat yang memiliki kapasitas 50 penumpang dan Kapal Bali Hai dengan kapasitas 300 penumpang, kemudian ada Waka, Quicksilver dan Sail Sensation. SEmua perusahaan itu rata-rata menawarkan harga US$ 95 untuk satu hari perjalanan.

Bali Hai dan Quicksilver memiliki sebuah ponton tempat para pelancong yang memilih perusahaan mereka bersnorkeling, scuba diving. Bali hai juga menawarkan pengalaman melihat ikan dalam laut dengan sebuah kapal yang mereka sebut Semi Submarine yang menawarkan pengalaman menyaksikan ikan dan terumbu karang dalam ruangan berdinding kaca (rasanya mirip seperti di Seaworld) dan ber AC dengan diiringi musik-musik klasic gubahan Sebastian Bach.

Selain itu resort ini menawarkan permainan banana boat dan bermain voli di kolam renang resort yang karena kesulitan mendapatkan air tawar terpaksa diisi dengan air asin. Kemudian turis-turis yang mengunjungi pulau ini juga diajak untuk menyaksikan budi daya rumput laut dan mengunjungi sebuah rumah bawah tanah. Rumah ini dibangun oleh seorang pemangku (pendeta Hindu) dengan cara memahat batu marmer di bawah tanah miliknnya sehingga membentuk ruangan-ruangan yang mirip seperti Gua Tujoh di Laweung tapi dengan skala yang jauh lebih kecil. Rumah bawah tanah ini beliau selesaikan dalam waktu 15 tahun, sejak tahun 1961-1976. kemudian beliau mendiami tempat tersebut sampai akhir hayatnya di tahun 1984.

Makan siang di resort ini disediakan ala prasmanan, dengan menu Nasi dan cumi-cumi, ikan, udang, kerang yang kesemuanya dipanggang dengan bumbu sambal matah ala Bali dan berbagai macam saos lainnya mulai dari saos kecap cabe rawit sampai saos tomat. Selain itu juga disediakan masakan eropa semacam salad dengan buah dan minyak zaitun dan juga roti.

Begitulah perjalananku ke Nusa Lembongan kali ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Kamis, 07 Mei 2009

Aceh, Islam dan Hukum Syari'at yang Menuai Persoalan

Masyarakat kami di Aceh adalah sebuah masyarakat Islam, bagi kami orang Aceh, Islam bukan sekedar agama. Tapi Islam bagi kami adalah identitas yang melekat pada diri kami sebagai manusia.

Bagi kami, Aceh berarti Islam, orang hanya bisa disebut Aceh kalau dia beragama ISLAM. Bagi kami, orang yang bergama bukan Islam bukanlah orang Aceh, meskipun secara gennetik bisa jadi orang tersebut bersuku Aceh, Gayo atau suku-suku asli Aceh lainnya. Orang yang secara genetik adalah Aceh, tapi kalau entah karena alasan apa memilih keluar dari Islam, bagi kami dia bukan lagi orang Aceh dan kamipun tidak bisa menerima kalau orang tersebut masih mengaku-ngaku diri sebagai orang Aceh.

Begitulah kira-kira gambaran betapa melekatnya Islam dengan identitas kami sebagai ORANG ACEH.

Tapi, meskipun Islam bagi kami adalah identitas yang melekat, kenyataan itu tidak berarti semua orang Aceh serta merta mempraktekkan ajaran Islam dengan baik. Di Aceh, juga terdapat orang-orang yang berperilaku tidak sesuai dengan image Keacehan kami yang Islam.

Di Aceh,sebagaimana halnya semua tempat di muka bumi, ada orang yang suka berjudi, ada orang yang suka meninggalkan shalat, ada orang yang suka meminum minuman keras bahkan berzina.

Tapi meskipun begitu, kami orang Aceh, baik yang menjalankan ajaran Islam dengan baik atau cuma sekedar Islam di KTP saja, semua meyakini bahwa Islam ada di setiap aliran darah kami dan di setiap tarikan nafas yang kami hirup dan kami hembuskan. Sehingga meskipun ada orang Aceh yang tidak menjalani hidup berdasarkan aturan Islam yang kami yakini benar, tapi hampir bisa dipastikan tidak satupun orang Aceh yang sudi disebut BUKAN ORANG ISLAM.

Cara pandang orang Aceh yang seperti inilah yang membuat segala misi penginjilan tidak pernah sukses terlaksana di Aceh. Bahkan ketika mereka datang dengan berkedok memberi bantuan kemanusiaanpun. Di Aceh, misi para penginjil ini tetap gagal total. Sampai-sampai Bethany yang merupakan bagian dari aliran Kharismatik, sebuah organisasi penginjil yang paling agresif di Indonesia inipun frustasi karena tidak pernah berhasil memasukkan ide-ide keagamaan mereka kepada orang Aceh. Dalam sebuah tulisan di website mereka yang berbahasa Inggris, organisasi ini mendeskripsikan orang Aceh sebagai " Sekumpulan manusia keras kepala yang lebih suka hidup dalam naungan kuasa gelap daripada menerima kabar gembira".

Aceh adalah sebuah wilayah di Nusantara yang tidak pernah sepi dari konflik dan perang. Sejak lama Aceh menjadi wilayah yang menjadi arena perebutan pengaruh dan kekuasaan.

Dalam setiap perang dan konflik itu, orang Aceh berpegang pada Islam sebagai tumpuan untuk bertahan. Islam juga digunakan untuk mengobarkan semangat perlawanan.

Ketika orang Aceh berperang melawan Belanda yang non-Islam, kakek dan nenek kami mengobarkan semangat jihad dan perang suci, pada zaman itu muncul sebuah syair pengobar semangat perang bernama 'Hikayat Prang Sabi'.

Saat Aceh berkonflik dengan Jakarta dan berhadapan dengan lawan yang sama-sama penganut Islam, untuk mengobarkan semangat perlawanan, di Aceh muncul istilah PAI, yang konon merupakan akronim dari 'Pengkhianat Agama Islam'.

Tidak mengherankan kalau kemudian lawan-lawan Aceh dalam berperang dan berkonflik menjadikan sisi Islam keacehan kami ini untuk sasaran tembak buat melemahkan perlawanan.

Sejarah mencatat itulah yang dilakukan oleh Belanda yang frustasi menghadapi perlawanan orang Aceh yang tiada henti dan semangat tempur yang tidak pernah padam. Untuk memadamkan perlawanan orang Aceh, Belanda mempekerjakan seorang antropolog cerdas bernama Christian Snouck Hurgronje untuk mempelajari Islam dan kemudian pengetahuannya itu dijadikan oleh Hurgronje sebagai pintu masuk ke dalam masyarakat Aceh. Dalam pekerjaannya Hurgronje mengamati dan menganalisa setiap detail kehidupan sosial dan budaya masyarakat Aceh yang terdiri dari berbagai suku ini. Bagaimana struktur masyarakatnya, sistem hirarkis, hubungan antar gender dan lain sebagainya. Dengan pekerjaannya itu Hurgronje jadi memahami segala kelebihan dan kekurangan orang Aceh dari dalam. Informasi-informasi berharga yang di dapatkan oleh Hurgronje dari masyarakat Aceh ini kemudian dia berikan kepada pemerintah Belanda yang mempekerjakannya, informasi-informasi dari Hurgronje ini oleh pemerintah Belanda diperlakukan layaknya sebuah rekomendasi dalam penyusunan strategi untuk menghancurkan perlawanan orang Aceh.

Hasil kerja Hurgronje yang mengagumkan itu masih dapat kita baca sampai hari ini.

Ketika Aceh mengalami konflik berkepanjangan dengan Jakarta, ujung-ujungnya Jakartapun berkesimpulan demikian, untuk memadamkan konflik dengan Aceh. Harus dilakukan pendekatan melalui Islam.

Konflik Aceh dan Jakarta dalam waktu lama berlangsung dalam suasana remang-remang, tidak muncul ke permukaan. Kami yang tinggal di kota-kota di Aceh yang bukan merupakan episentrum konflik, dalam kurun sebelum reformasi nyaris sama sekali tidak merasakan adanya konflik tersebut.

Berita tentang kontak senjata, pertempuran antara pihak-pihak yang berkonflik saat itu hanya kami dengar melalui kabar burung. Tidak pernah sama sekali tertulis atau ditayangkan di media resmi.

Tapi ketika reformasi bergulir, semua berita ini muncul ke permukaan. Baru pada waktu itu kami tahu kalau selama ini Aceh tempat kami tinggal ternyata menyandang status sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Media yang mulai lebih berani sejak kejatuhan Soehartopun mulai mengungkapkan berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh, KOMNAS HAM dibentuk dan berbagai LSM yang bergerak di bidang HAM pun bermunculan. Kami tiba-tiba dibanjiri berbagai informasi yang menyesakkan.

Situasi seperti itu membuat berbagai elemen Masyarakat sipil di Aceh terutama Mahasiswa berteriak menyuarakan protes terhadap kebijakan Jakarta. Saya yang pada masa itu berstatus sebagai mahasiswa, sebagaimana juga mahasiswa-mahasiswa Aceh lainnya juga banyak terlibat dalam kegiatan melakukan protes-protes terhadap kebijakan Jakarta. Pada masa inilah tuntutan REFERENDUM mengemuka. Berbagai elemen mahasiswa dan pemuda yang ada saat itu sepakat membentuk SIRA sebagai sentral informasi untuk menyuarakan keinginan referendum.

Pada masa itu pula dalam berbagai protes kepada jakarta muncul berbagai ide alternatif untuk meredam konflik diantaranya adalah mengaktifkan kembali Kodam Iskandar Muda. Menurut isu-isu yang beredar, dikatakan Konflik di Aceh menjadi berkepanjangan salah satunya karena masyakat Aceh kecewa dengan dihapuskannya Kodam Iskandar Muda dan dilebur dengan KOdam Bukit barisan. Sampai hari ini saya masih tidak mengetahui dengan jelas kelompok mana yang pertama kali memunculkan ide ini, yang jelas saat itu ide-ide ini kemudian mengemuka di media. Mengkristal dan kemudian disambut dengan sukacita oleh Jakarta.

Usulan lain yang juga sangat kuat muncul di pinggiran adalah pemberian status khusus kepada Aceh untuk menerapkan Syariat ISLAM, ide ini banyak bergulir di parlemen Aceh yang berisi para anggota partai politik yang entah bagaimana caranya bisa duduk di parlemen sementara saat itu Pemilu di Aceh bisa dikatakan gagal total.

Sebagaimana Belanda yang sangat sadar lekatnya orang Aceh dengan Islam, para anggota legislatif yang juga orang Aceh tapi Pro Jakarta ini sadar betul kalau semua orang Aceh (termasuk saya) percaya bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin. Di Aceh kami percaya bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang lengkap yang di dalam ajarannya komplit berisi semua aspek yang dibutuhan untuk mengatur perilaku keseharian manusia, baik itu hubungan dengan sang Khalik, dengan sesama manusia maupun alam sekitar.

Ide yang digulirkan anggota parlemen Aceh ini (entah itu murni dari mereka atau sebetulnya adalah atas usulan Jakarta) kemudian disambut hangat oleh Jakarta yang saat itu berada di bawah kendali Presiden Habibie dengan dukungan penuh dari Jenderal Wiranto yang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh Islam.

Di kalangan aktivis, baik mahasiswa maupun gerakan sipil lainnya ide yang digulirkan parlemen ini tidak mendapat apresiasi positif. Alasannya meskipun Islam dipercaya sedemikian sempurna, tapi untuk bisa mengaplikasikan nilai-nilai Islam ke dalam sebuah hukum positif tidaklah sederhana. Untuk mengaplikasikan Islam menjadi sebuah sistem hukum yang baku, ada banyak faktor entah itu kondisi alam, sosial, budaya maupun politik yang harus diperhitungkan.

Tapi di masyarakat Aceh yang tinggal di desa-desa yang merupakan mayoritas penduduk Aceh, ide ini langsung mendapat sambutan hangat karena dipercaya akan bisa menyelesaikan semua masalah yang dihadapi Aceh.

Yang terjadi kemudian mudah diduga, bukan aktivis, tapi parlemenlah yang menang, Jakarta yang juga sangat memahami lekatnya orang Aceh dengan Islam serta merta mendukung ide ini dan jadilah Syariat Islam dibakukan menjadi sebuah aturan resmi yang harus dipatuhi semua warga.

Selanjutnya sekelompok ahli agamapun dikumpulkan untuk membuat berbagai aturan syariat itu yang dianggap mendesak buat dipraktekkan di Aceh.

Berdasarkan kesimpulan para ahli itu yang entah atas dasar apa menyimpulkan bahwa persoalan utama yang harus dibuatkan pasal syaraiah saat ini adalah yang berkaitan dengan judi, minuman keras, jilbab, hubungan antara pasangan bukan muhrim dan keharusan melakukan shalat jum'at bagi laki-laki, qanun-qanun Syari'ah yang semuanya mengatur soal moral itupun dibuat dan disetujui oleh Parlemen.

Untuk mendukung penerapan qanun itu tidak lupa dibentuk Wilayatul Hisbah alias polisi moral.

Tapi ketika pasal-pasal yang telah disetujui itu dipraktekkan, praktek penerapan syariat Islam yang terjadi kemudian di lapangan tidaklah seindah yang dibayangkan,. Masyarakatpun menyaksikan ada banyak kekonyolan yang terjadi ketika ukuran moral dijadikan hukum positif.
'
Kekonyolan ini terjadi misalnya dalam qanun Syari'at Islam yang melarang aktivitas 'khalwat'. Yang dimaksud dengan 'khalwat' ini adalah dua lawan jenis berduaan di tempat sepi.
Berdasarkan qanun ini, polisi Syari'atpun dengan gencar melakukan berbagai razia untuk penegakan moral yang sesuai dengan yang diamanatkan oleh qanun ini dan hasilnya memang di tempat sepi tidak banyak lagi orang berduaan. Tapi sebaliknya, di Aceh, sekarang ini banyak anak muda yang menunjukkan kemesraan di depan umum.

Masyarakat yang gerah melihat tindak-tanduk para anggota polisi Syari'at yang terkadang arogan saat melakukan razia, banyak yang mengecam aparat Polisi Syariah yang sibuk mencari orang-orang yang berduaan di tempat sepi tapi membiarkan begitu saja muda-mudi berduaan di depan mata mereka.

Mengenai hal ini seorang anggota Polisi Syari'ah yang saya ajak bicara mengeluhkan situasi yang dihadapinya. Menurutnya susah sekali menjadi polisi syari'ah di tengah masyarakat yang tidak mengerti hukum. Menurutnya masyarakat banyak yang tidak mengetahui kalau qanun Syari'ah hanya memberi wewenang kepada mereka untuk menangkap dua orang bukan muhrim yang berduaan di tempat sepi. Bukan yang bermesaraan di depan umum. Menurut si polisi Syariah ini, selama si perempuan mengenakan jilbab, bermesraan di tempat umum tidak bisa dijerat dengan pasal syari'ah.

Masalah lain lagi yang dikeluhkan polisi syari'ah yang saya ajak bicara ini adalah jika pelaku khalwat tersebut dua-dua atau salah satunya masih di bawah umur, pasal syari'at juga tidak bisa menjerat pelakunya. Demikian pula jika pasangan yang melakukan khalwat itu salah satu atau keduanya tidak beragama Islam.

Begitulah ketika Syari'at Islam yang mengatur moral dijadikan sebuah hukum positif. Situasi ini persis seperti yang dulu dibayangkan oleh para aktivis elemen sipil yang tidak meyambut ide ini dengan antusias, tapi tidak bisa leluasa melakukan penolakan karena jika melakukan penolakan secara terbuka pasti akan langsung dicap oleh masyarakat sebagai ANTI ISLAM.

Inilah situasi yang terjadi di Aceh saat ini. Islam yang yang di Aceh kami percaya sebagai ajaran yang sempurna, tapi diterapkan untuk mengatur moral secara serampangan tanpa didahului berbagai kajian mendalam tentang berbagai permasalahan sosial, budaya, politik dan lain sebagainya akhirnya bukannya menyelesaikan masalah moral, tapi malah menuai berbagai persoalan.

Wasalam

Win Wan Nur

Selasa, 05 Mei 2009

Kisah Icarus dan Cara Pandang Manusia Modern Terhadap Sebuah Fenomena

Beberapa waktu yang lalu aku bersama grup turis yang aku tangani menginap di Margo Utomo sebuah perkebunan dan peternakan sapi perah di Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Pemilik tempat ini membangun kamar-kamar penginapan dan restoran yang kemudian dia tawarkan ke agen-agen perjalanan untuk dijadikan tempat penginapan bagi turis-turis asing yang melakukan perjalanan dari bagian barat pulau Jawa menuju Bali.

Karena tempat ini adalah perhentian terakhir kami di pulau jawa untuk selanjutnya menyeberang ke Bali. Mengingat di Bali juga kami akan menginap di Pemuteran yang jaraknya hanya setengah jam perjalanan dari Gilimanuk, aku sengaja memberikan kelonggaran waktu kepada para klienku untuk menikmati suasana perkebunan ini sekalian menikmati sarapan pagi dengan santai.

Saat sarapan pagi aku duduk dengan seorang klienku asal Bordeaux bernama Jean Panis. Monsieur Panis ini adalah seorang petani yang gila terbang. Sebagai gambaran betapa tergila-gilanya dia pada benda yang bisa terbang, waktu kami berrada di Bali, ketika para klienku yang lain sibuk membeli batik, patung dan perak sebagai kenang-kenangan, Jean panis membeli layangan.

Di masa mudanya, Jean Panis hobi main pesawat aero model, saat itu dia membuat sendiri pesawat terbang-pesawat terbang mainannya. Ketika dia sudah beranjak tua dan tanah pertanian miliknya dia serahkan pengelolaannya pada anaknya. Monsieur Panis semakin serius menekuni hobinya, kali ini bukan hanya peswat mainan, tapi dia membangun sendiri sebuah pesawat ringan betulan untuk dia terbangkan. Dengan biaya 52.000 Euro dia berhasil membuat sebuah pesawat yang sering dia terbangkan keliling Perancis.

Di samping hobinya menerbangkan pesawat buatannya sendiri, saat ini Jean Panis sangat gemar melakukan olah raga "para gliding". terbang dengan parasut yang didesain sedemikian rupa sehingga dengan alat itu manusia akhirnya bisa terbang bebas di udara seperti elang.

Dari cerita Jean, aku tahu betapa sekarang teknologi paragliding sudah demikian majunya, parasut yang dipakai dibuat dari material yang sangat kuat dan benar-benar ringan. Parasut yang digunakan untuk paragliding tersebut dilengkapi panel-panel udara yang digunakan sebagai pengendali oleh penerbang.
Selain instrumen yang dipakai untuk terbang, panerbang paragliding juga dibekali dengan pengetahuan tentang cuaca sehingga mereka mengetahui kapan waktu yang tepat untuk terbang dan kapan waktu yang berbahaya. Penerbang paragliding harus tahu membedakan mana angin yang disebabkan oleh iklim dan mana angin yang disebabkan oleh perbedaan tinggi rendah suhu udara.

Penerbang paragliding mengerti bahwa angin yang disebabkan oleh perbedaan tinggi rendah suhu udara itu adalah angin yang sangat bagus untuk membuat paraglider melayang. Angin yang sama dipakai oleh elang ketika burung ini melayang tanpa mengepakkan sayap di udara.

Begitulah, teknologi dan dan pengetahuan yang memadai di zaman sekarang telah membuat manusia bisa bertualang dan melayang bebas seperti elang di angkasa.

Tapi jauh sebelum teknologi dan pengetahuan manusia cukup memadai untuk memungkinkan hal ini terjadi seperti sekarang, sebenarnya keinginan manusia untuk terbang sudah dipendam sejak ribuan tahun yang lalu.

Cerita Jean mengingatkan saya pada salah satu kisah dalam mitologi Yunani 'Icarus dan Daedalus 'yang merupakan bukti bahwa obsesi manusia untuk bisa terbang di angkasa sudah ada sejak waktu yang sangat lama. Dalam kisah ini diceritakan Icarus dan Daedalus terbang melarikan diri dari kreta dengan sayap ciptaan Daedalus.

Kisah Icarus dan Daedalus ini menginspirasi paraglider masa sekarang, di perancis komunitas Paraglider membuat sebuah festival paragliding tahunan bernama 'Coupe D'Icare', artinya Piala Icarus.

Kisah manusia terbang dalam mitologi Yunani ini bercerita tentang Daedalus, seorang insinyur hebat di Athena yang bekerja untuk raja Minos 2 di Kreta, di Knossos istananya yang luar biasa.

Saat bekerja untuk raja Minos 2, Daedalus diceritakan membantu perselingkuhan Pasiphae (istri Minos 2) dengan Sapi jantan gagah hadiah dari Poseidon (raja laut) yang seharusnya dijadikan untuk kurban tapi diganti dengan sapi lain oleh Minos 2. Dalam kisah perselingkuhann ini, Daedalus menciptakan sebuah patung kayu yang bolong bagian tengahnya, yang digunakan oleh Pasiphae untuk jalan keluar ke padang rumput tempat sapi jantan hadiah Poseidon merumput. Kisah perselingkuhan Pasiphae dengan sapi Jantan hadiah Poseidon ini menyebabkan Pasiphae hamil dan kemudian melhirkan Minotour, monster setengah manusia dan setengah sapi.

Ketika Minotour lahir, Daedalus membuat labirin untuk mengurung monster ini . Bertahun-tahun minos meminta warga Kreta untuk menyediakan seorang gadis untuk memberi makan Minotour. Hal ini berakhir ketika seorang pahlawan bernama Theseus datang ke Kreta dan membunuh Minotour. Ariadne, anak Minos 2 dan Pasiphae jatuh cinta pada Theseus dan meminta Daedalus membantu mengeluarkan Theseus dari labirin. Daedalus setuju dan memberikan peta jalan keluar pada Theseus untuk keluar dari labirin dan kemudian melarikan diri dari Kreta bersama Ariadne. Minos yang kehilangan anaknya tanpa mengetahui Minotour telah dibunuh marah besar dan ketika mengetahui daedalus terlibat dalam hal ini, Minos 2 pun memrintahkan untuk mengurung Daedalus dan anaknya Icarus dalam labirin.

Karena Labirin adalah buatan Daedalus sendiri, dia dengan mudah bisa menemukan jalan keluar dan berencana melarikan diri dari kereta. Tapi karena darat dan laut telah diawasi dengan ketat oleh pasukan Minos 2, sehingga satu-satunya jalan melarikan diri adalah lewat udara. Di sinilah kisah tentang manusia terbang yang sangat terkenal itu bermula.

Mengenai hal ini, dikisahkan Daedalus yang insinyur ini membuat sayap untuk Icarus anaknya dan dirinya sendiri. Caranya dia mengumpulkan bulu sayap burung kemudian merekatkannya dengan menggunakan lilin. Setelah sayap ini jadi dan mereka bisa terbang, daedalus mengingatkan anaknya agar tidak terbang terlalu tinggi karena akan membuatnya terlalu dekat dengan matahari sehingga panasnya akan melelehkan lilin yang merekatkan sayapnya. Sebaliknya Daedalus juga mengingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan laut supaya uap air laut tidak membasahi sayapnya dan membuatnya menjadi berat untuk dikepakkan.

Mereka berdua berhasil terbang dari Kreta, tapi Icarus yang kesenangan dengan pengalaman terbang pertama yang dia dapatkan menjadi terlalu gembira dan kurang hati-hati. Icarus terbang terlalu tinggi dekat ke Matahari sehingga lilin yang melekatkan sayap-sayap milik Icarus meleleh dan diapun terjerembab jatuh dan tenggelam di laut. laut tempatnya jatuh itu sampai sekarang dinamakan Laut Icarus (Icarian Sea). Dalam kisah itu diceritakan hercules yang yang kebetulan lewat menemukan mayat Icarus dan menguburkannya. Daedalus yang terpukul melihat kematian anaknya, tetap melanjutkan terbang ke Sisilia dan tinggal di daerah Cocalus dan menetap di sebuah tempat bernama Camicus.

Dengan pengetahuan yang kita punya sekarang, banyak kemustahilan kita temukan dalam kisah dalam mitologi yunani ini. Misalnya kita sekarang dengan logika paling sederhanapun paham kalau Lilin tidak mungkin bisa merekatkan sayap burung hingga cukup kuat menahan tubuh manusia, atau kisah melelehnya Lilin karena Icarus terbang terlalu dekat dengan matahari. Cerita ini dimungkinkan oleh terbatasnya pengetahuan manusia zaman itu tentang jarak yang hanya sebatas pandangan mata, jarak antara Bumi dan matahari yang jauhnya 150 juta kilometer itu sama sekali tidak bisa dibayangkan oleh manusia zaman itu. Sehingga Icarus yang terbang katakanlah 2 kilometer alias 0,000002 juta kilometer lebih tinggi ke jarak 150.000.000- kilometer itu dianggap sudah terlalu dekat dengan matahari. Ukuran matahari yang 1.4 juta km dan ukuran Bumi yang 12,700 km (=0.0127 juta km) tidak pernah bisa dibayangkan oleh mereka, ukuran yan g membuat skala matahari dan Bumi jika dikecilkan akan tampak seperti sebuah Bola Voli dan sebuah ketumbar dengan jarak 20 meter memisahkan keduanya.

Cerita melelehnya lilin karena terlalu dekat ke matahari ini semakin tidak masuk akal lagi kalau kita membandingkan dengan pengetahuan zaman sekarang dimana kita ketahui semakin tinggi tempat di permukaan bumi ini, justru suhunya semakin turun.

Kisah Icarus dan Daedalus ini dipercaya ditulis oleh Hesiodos atau dikenal juga sebagai Hesiod yang kira-kira sezaman dengan Homer, sastrawan lain yang menciptakan cerita Illiad dan yang keduanya dipercaya hidup sekitar abad ke-8 Sebelum masehi.

Meskipun banyak kekonyolan dalam cerita ini jika dipandang dari sudut pandang zaman sekarang, tapi melalui cerita yang ditulis hampir 3000 tahun yang lalu ini, kita bisa mengamati kalau manusia zaman itu sudah mengamati fenomena terbangnya seekor burung dengan penuh rasa penasaran dan mereka telah bisa menyimpulkan bahwa elemen terpenting yang membuat burung bisa terbang adalah SAYAP.

Cuma dengan segala keterbatasan pengetahuan manusia pada zaman itu, mereka menyangka bahwa elemen terpenting yang membuat sayap bisa dijadikan alat untuk terbang adalah MATERIALNYA yaitu BULU.

Berbeda dengan manusia sekarang yang telah menguasai ilmu pasti, baik itu fisika, kimia maupun biologi sehingga keempat ilmu murni itu dibantu dengan logika tertinggi Matematika. Dengan pengetahuan itu manusia bisa memahami ide dibalik sayap sehingga mampu membuat burung terbang, dengan pengetahuan itu muncullah teknologi yang salah satunya adalah teknologi paragliding yang membuat manusia bisa terbang. Manusia sekarang tahu kalau fungsi sayap terutama adalah untuk menahan beban dan menangkap udara untuk menahan grafitasi. Manusia zaman sekarng tahu, materi pembuat sayap itu tidak harus bulu, yang paling penting dari materi pembuat sayap adalah materi itu ringan dan kuat. Dengan pengetahuan ini terciptalah PARAGLIDING.

Tapi hal ajaib tentang manusia modern terutama yang tinggal di negara ini adalah; dengan limpahan pengetahuan yang dikuasai oleh manusia zaman sekarang. Ketika teknologi yang sudah sedemikian maju yang memungkinkan manusia untuk memahami ide dibalik sebuah fenomena, banyak sekali manusia-manusia di negara ini yang masih berpikir dengan cara pandang orang-orang yang hidup pada masa 3000 tahun yang lalu.

Di negara ini banyak orang yang mengamati sebuah fenomena berdasarkan penampilan fisik yang terlihat kasat mata, bukan ide yang ada dibaliknya.

Sialnya banyak sekali diantara orang-orang seperti ini yang merupakan pengambil keputusan dalam bernegara.

Banyak pengambil keputusan di negara ini yang masih berpikir dengan pola pikir seperti yang dimiliki Hesiod yang hidup di abad ke-8 sebelum masehi, yang menyangka burung bisa terbang karena BULU-nya bukan kekuatan bulu yang memberi keseimbangan dan kekuatan menahan berat burung di udara.

Akibatnya, di negara ini termasuk di Aceh tempat kelahiran saya, banyak sekali aturan perundang-undangan yang mendasarkan asumsinya pada fenomena fisik yang tampak kasat mata, bukan pada ide yang ada di baliknya.

Di Aceh tempat kelahiran saya, banyak peraturan yang dibuat asumsi seperti yang dibuat Hesiod. Burung terbang karena bulunya.

Akibatnya di Aceh banyak sekali bermunculan aturan konyol yang tidak masuk akal, yang dipercaya oleh pembuatnya yang terobsesi membuat 'manusia terbang', padahal pengetahuan si pembuat aturan ini tentang 'terbang' baru sebatas yang membuat seekor burung bisa terbang adalah BULU yang melekat di tubuhnya. Dengan berbekal pengetahuan yang mereka miliki ini, mereka percaya dengan melekatkan 'BULU-BULU' pada tubuh manusia, seperti burung, manusiapun akan bisa terbang seperti elang di angkasa.

Lalu merekapun dengan kekuasaan yang mereka punya memaksa orang-orang yang hidup di Aceh untuk melekatkan 'BULU' di tubuh-tubuh mereka.

Wassalam

Win wan Nur

Minggu, 03 Mei 2009

Ketika Anak Yatim Jadi Objek Kreatifitas Pejabat Dinas Sosial

Menurut informasi yang beredar luas di masyarakat, jumlah anak asuh yang tinggal di Panti Asuhan Budi Luhur adalah 120 orang.

Informasi sperti ini dapat kita temukan dalam siaran pers resmi PEMDA Aceh Tengah dan berita yang dirilis oleh harian Serambi Indonesia, surat kabar dengan oplag terbesar di Aceh.

Beberapa hari yang lalu saya merasa penasaran, sudah sejauh apa perkembangan kasus penjualan (Pengalihan jika dibaca secara EUFIMISME) lahan dan Mesjid Panti Asuhan Budi Luhur oleh PEMDA Aceh Tengah.

Untuk maksud itu saya mengetikkan kata 'Panti Budi Luhur' di google, lalu di layar komputer saya bermunculan berbagai URL yang berisi informasi tentang Panti Asuhan Budi Luhur. Beberapa di antara informasi tersebut adalah tulisan saya sendiri, baik yang ada di blog saya atau yang telah dicopy dan dimuat oleh orang lain di blog pribadi mereka.

Melalui pencarian tersebut saya menemukan sebuah informasi yang membuat darah saya mendidih dan naik ke kepala, informasi yang membuat emosi saya naik tinggi itu disampaikan oleh sebuah lembaga bernama Masyarakat Tranparansi Aceh yang disingkat MaTA, di http://www.mataaceh.org/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=85 .

Dalam tulisan yang mereka muat dalam website mereka, MaTA memaparkan hasil investigasi mereka di Panti Asuhan Budi Luhur. Hasil investigasi mereka lakukan menunjukkan informasi yang berbeda dengan siaran Pers PEMDA Aceh Tengah dan juga informasi yang dimuat di harian Serambi Indonesia.

MaTA, tidak seperti Serambi Indonesia yang banyak mengandalkan pendapatannya dari iklan-iklan PEMDA sehingga isi berita dalam lembaran-lembaran koran ini seringkali membuat kita yang membacanya bernostalgia ke tahun 80-an. Membaca Koran ini seringkali membuat kita seolah sedang menyaksikan tayangan Berita Nusantara dan Berita Nasional di layar TVRI yang merupakan stasiun televisi satu-satunya saat itu. Baik Serambi Indonesia maupun dua program berita di TVRI tersebut, beritanya didominasi oleh informasi sepihak dari pemerintah yang ditelan bulat-bulat oleh wartawan peliputnya dan ditayangkan sama sekali tanpa mempedulikan mekanisme check and balance.

Sebaliknya MatA, lembaga yang sama sekali tidak pernah saya kenal dan saya ketahui keberadaannya ini sepertinya tidak memiliki hubungan 'simbiosis mutualisme' apapun dengan PEMDA Aceh Tengah sehingga mereka berani memaparkan informasi yang sebenarnya, apa adanya sesuai dengan apa yang mereka dapatkan di lapangan.

Melalui investigasi yang mereka lakukan, MaTA menemukan fakta bahwa ternyata jumlah anak yatim yang tinggal di Panti Asuhan Budi Luhur tidaklah sebanyak yang secara resmi diakui oleh PEMDA Aceh Tengah. Dari informasi yang mereka dapatkan dari penghuni Panti Asuhan tersebut, MaTA menemukan bahwa ternyata jumlah anak yatim yang menghuni Panti Asuhan Budi Luhur cuma 76 orang. Ada selisih 44 orang dibanding dengan jumlah yang dirilis PEMDA.

Melalui perbedaan mencolok atas jumlah resmi yang dirilis PEMDA dan jumlah faktual anak yatim penghuni Panti Asuhan Budi Luhur tersebut kita bisa melihat secara jelas bahwa ada HAK 44 orang anak yatim yang dirampas oleh pengelola Panti Asuhan Budi Luhur.

Kepada The Globe Journal, media yang sejak awal konsisten mengangkat kasus Budi Luhur ke permukaan, Hamdani seorang anak yaim yang pernah menghuni Panti Asuhan Budi Luhur mengatakan bahwa setiap orang anak di Panti Asuhan Budi Luhur diberi jatah biaya hidup Rp 12.500 per hari, artinya kalau ada 120 anak maka ada alokasi dana sebesar Rp. 1.500.000- setiap harinya untuk Panti Asuhan Budi Luhur.

Tapi karena di Budi Luhur hanya ada 76 orang anak, maka setiap harinya ada dana sebesar Rp.550.000- yang tidak sampai kepada yang berhak. Ada dana Rp.550.000- yang digelapkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mengelola Panti Asuhan Tersebut. Dana yang mereka gelapkan tersebut adalah HAK 44 orang anak yatim yang menurut undang-undang dikatakan dipelihara oleh negara.

Bukan hanya merampas uang yang menjadi HAK 44 orang anak Yatim, terhadap 76 anak yatim yang menghuni Panti Asuhan tersebutpun pengelola Panti Asuhan ini tidak benar-benar memberikan hak mereka secara penuh. Menurut seorang anak Panti Asuhan yang diwawancarai oleh MaTA, pengurus Panti Asuhan ini juga sering menahan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, odol, sabun cuci dan lain-lain yang menjadi HAK para penghuni Panti. Kepada 76 anak Yatim yang menghuni Panti Asuhan tersebut, barang-brang kebutuhan sehari-hari itu sangat jarang diberikan oleh pengurus Panti, kalaupun diberikan harus diminta dengan cara merayu.

Biaya sekolah juga demikian, uang untuk biaya sekolah anak-anak Panti Asuhan yang menjadi hak merekapun masih dikorupsi oleh pengurus Panti. Salah satu yang menjadi sasaran pengurus Panti adalah biaya LKS yang menjadi hak sekolah yang wajib dibayarkan oleh setiap anak Panti.

Menurut anak yang diwawancarai MaTA, dari seharusnya 11 LKS, dengan biaya per LKS nya 7.000 rupiah yang harus dia bayarkan ke sekolah, dari pengurus Panti dia hanya menerima uang untuk biaya 2 LKS. Sehingga untuk menutupi kekurangan biaya tersebut, supaya dia tetap bisa melanjutkan sekolahnya, anak Panti Asuhan Budi Luhur yang hidupnya SECARA RESMI ditanggung oleh negara ini terpaksa bekerja serabutan membersihkan kebun kopi milik orang lain atau bekerja sebagai KULI BANGUNAN.

Dari pengakuan anak asuh ini, selanjutnya kita bisa menyimpulkan kalalu pengelola Panti Asuhan ini adalah orang yang sangat cerdas yang memiliki Multiple Inteligent dan KREATIFITAS yang luar biasa tinggi. Dia begitu pintar menemukan celah untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Setelah mendapat penghasilan tambahan di luar gaji, selain menahan-nahan pemberian barang kebutiuhan sehari-hari dan biaya LKS untuk anak-anak Panti, pengurus Panti asuhan ini juga MENYUNAT dana alokasi untuk selimut, tilam dan pakaian sekolah yang menjadi hak para anak yatim itu.

Bahkan kita salah kalau menyangka kreatifitas pengelola Panti Asuhan ini berhenti sampai di sini. Setelah mendapatkan manfaat ekonomi yang cukup signifikan dari berbagai penyunatan dan penggelapan. Pengelola Panti Asuhan ini masih mendapatkan manfaat ekonomi tambahan dengan melakukan eksploitasi FISIK terhadap anak-anak penghuni Panti Asuhan Budi Luhur.

Seperti Belanda yang sering memerintahkan Kerja Rodi dan Jepang yang memerintahkan Romusha, menurut pengakuan anak yang diwawancari MaTA tersebut, pengurus Panti Asuhan inipun ternyata sering memerintahkan anak-anak Panti Asuhan Budi Luhur untuk bekerja memetik kopi, menyiangi rumput dan lain-lain di kebun milik pribadinya tanpa dibayar sama sekali. Karena anak-anak panti yang sudah agak besar enggan bekerja Rodi seperti itu, sekarang oleh pengurus Panti anak-anak Panti yang masih kecillah yang diperintahkan untuk melakukan pekerjaan seperti itu.

Bagi anak Panti yang berani menentang TITAH pengurus Panti, hukuman berat sudah menunggu. Si pengurus ini tidak segan-segan untuk mengeluarkan anak tersebut dari Panti.

Dalam masa 2 Tahun kekuasaannya di Panti Asuhan Budi Luhur, pengurus Panti Asuhan ini sukses mengeluarkan 15 orang anak yang berani menentang kekuasaannya. Salah satu anak yang dikeluarkan karena menentang kebijakan pengurus Panti tersebut bernama Suhardi yang kini bekerja disebuah pabrik batako di Kemili Kecamatan Bebesen dan tetap bersekolah di SMA 1001 Takengon.

Suhardi dikeluarkan dari panti karena berani menuliskan ketidakpuasannya terhadap kebijakan pengelola Panti di beberapa lembar kertas karton dan menempelnya didinding-dinding bangunan panti. Mengetahui hal itu, pengurus Panti marah besar dan kemudian menyuruh Suhardi mengangkut semua pakaiannya dan angkat kaki hari itu juga dari Panti Asuhan Budi Luhur.

Kasus-kasus yang terjadi di Panti Asuhan Budi Luhur ini seharusnya menjadi perhatian KOMNAS Anak melalui ketuanya Kak Seto, karena apa yang dilakukan oleh pengurus Panti Asuhan ini adalah sebuah bentuk eksploitasi terhadap anak-anak yang mengarah kepada perbudakan.

Ketika kita melihat pengurus Panti ini demikian berani memperlakukan anak yatim yang berada dibawah pengasuhannya dengan semena-mena, logika saya mengatakan sangatlah tidak mungkin kalau dia melakukan hal-hal tersebut sendirian.

Misalnya pengurangan jumlah anak yang tinggal di Panti secara signifikan, mustahil kalau ada yang mengatakan ini adalah kebijakan pengurus Panti Asuhan ini sendiri.

Panti Asuhan Budi Luhur adalah sebuah unit pelaksana teknis yang berada di bawah Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tengah, jadi kebijakan menggelapkan jumlah anak asuh di Panti Asuhan Budi Luhur tentu kita pahami sebagai kebijakan dari Dinas Sosial Aceh Tengah, tempat Panti Asuhan ini bernaung.

Selisih dana yang operasional Panti yang tidak diberikan kepada 44 Orang anak Yatim yang nilai nominalnya berjumlah RP.550.000 perhari itu kecil sekali kemungkiannnya dinikmati oleh pengurus panti asuhan ini. Yang sangat mungkin menikmati uang hasil penggelapan atas HAK ANAK YATIM ini adalah Kepala Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tengah bernama Albar atau yang sering ditulis secara lengkap dengan berbagai gelar tambahan baik akademis maupun agamis sebagai Drs.Tgk. H Albar.

Pengurus panti ini kemungkinan besar hanya mendapat manfaat ekonomi dari kreatifitasnya mengumpulkan 'uang receh' seperti penggelapan dana LKS, Selimut, pakaian sekolah dan biaya pengadaan kebutuhan sehari-hari anak-anak panti seperti odol dan sabun mandi.

Indikasi dari besarnya peran ALBAR atas carut marut yang terjadi Panti Asuhan Budi Luhur ini semakin jelas ketika kasus penjualan (Pengalihan jika dibaca secara EUFIMISME) lahan dan Mesjid Panti Asuhan Budi Luhur oleh PEMDA Aceh Tengah ini mencuat ke permukaan.

Sejak kasus ini mencuat, Dinas Sosial Aceh Tengah tampak seperti cacing kepanasan. Mungkin karena panik, takut borok yang mereka simpan terkuak, menurut pengakuan anak Panti Asuhan Budi Luhur, pada malam Jum’at 26 Maret 2009 Panti Asuhan Budi Luhur didatangi Pejabat Dinas Sosial Aceh Tengah yang tidak lain adalah Albar sendiri untuk diberi pengarahan supaya anak-anak Panti mengatakan yang baik-baik saja bila didatangi wartawan.

Apa yang dilakukan Albar ini sangat bisa saya maklumi, sebab kalau ingin jabatannya langgeng dan lestari, ALBAR tentu sangat berkepentingan untuk menutupi borok-borok yang telah dia buat di Panti Asuhan Budi Luhur. Borok-borok ini sangat penting untuk dia tutupi karena menurut berbagai sumber saya yang ada di kalangan PEMDA Aceh Tengah, selain Bupati Nasaruddin, menurut sumber ini, ternyata yang menjadi dalang dan aktor utama di balik kasus penjualan (Pengalihan jika dibaca secara EUFIMISME) lahan dan Mesjid Panti Asuhan Budi Luhur oleh PEMDA Aceh Tengah ini tidak lain adalah ALBAR, kepala Dinas Sosial Aceh Tengah yang juga mengaku anak yatim ini.

Jauhar wakil Bupati dan Ketua MPU Tgk. Ali Djadun yang beberapa hari yang lalu oleh PEMDA dijadikan 'umpan peluru' untuk membuat pernyataan tentang keabsahan penjualan lahan tersebut di Serambi Indonesia, ternyata adalah dua orang yang sangat menentang penjualan lahan tersebut, ketika penjulana lahan beserta Mesjid itu masih berupa wacana. Bahkan menurut sumber saya tersebut, dalam proses penggodokan ide penjualan lahan Panti Asuhan dan Mesjid ini, ketika Nasaruddin berkeras menjual lahan Panti Asuhan Budi Luhur beserta mesjid yang ada di dalamnya kepada BPD Aceh, Tgk. Ali Djadun dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPU sampai melakukan walk out segala.

Tapi, ketika sekarang kasus ini mencuat ke permukaan, anak beranak, Jauhar yang wakil Bupati dan Tgk. Ali Djadun yang ketua MPU inilah yang dikorbankan oleh Nasaruddin untuk menjadi sasaran tembak. Sementara ALBAR si aktor utama yang merupakan salah satu anggota Team Sukses Nasaruddin saat pemilihan Bupati dulu, seperti HARMOKO di zaman reformasi, sejauh ini masih bisa duduk tenang menikmati hasil KREATIFITASNYA.

Saat mahasiswa Gajah Putih melakukan demonstrasi menentang Penjualan lahan dan Mesjid Panti Asuhan Budi Luhur ini, ALBAR sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya.

Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur