Minggu, 26 Juli 2009

Roman Picisan Bag I

Setamat SMA tahun 1992, aku mengikuti bimbingan belajar di Bimafika sebagai persiapan untuk mengikuti UMPTN.

Dalam menyelenggarakan bimbingan belajar bagi para tamatan SMA ini, Bimafika menyewa ruang belajar milik MIN Banda Aceh yang terletak di kawasan Jambo Tape. Aku sendiri saat itu kost di Kampung Laksana, di sebuah rumah di Jalan Besi.

Untuk mengikuti kursus di Bimafika, setiap hari aku selalu berjalan kaki pulang pergi dari dan ke Kampung Laksana melewati jalan-jalan kecil dan jalan tikus di Kampung Keramat yang menghubungkannya dengan Jambo Tape.

Selain aku, bimbingan belajar yang diasuh oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai fakultas elit di Unsyiah ini juga diikuti oleh ratusan siswa tamatan SMA yang berasal dari berbagai penjuru Aceh. Mereka semua datang ke Bimafika dengan tujuan dan maksud yang sama, merebut satu kursi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Salah satu dari sekian ratus siswa tamatan SMA yang mengikuti Bimbingan belajar di Bimafika ini bernama Lusi, seorang gadis muda asal Lhokseumawe, berkulit putih, berambut lurus dan panjang yang mengikuti bimbingan di ruangan kelas yang sama denganku.

Selama mengikuti bimbingan, Lusi meyewa sebuah kamar kost di Kampung Keramat yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat bimbingan. Seperti aku, Lusi yang rada tomboy inipun setiap hari berjalan kaki dari tempat kost-nya untuk menuju dan kembali dari Bimafika.

Karena untuk menuju Bimafika kami harus melewati jalan yang sama, hampir setiap hari aku bertemu Lusi dalam perjalanan ke tempat bimbingan. Kami selalu bertemu di persimpangan Jalan Kenari, aku datang dari arah timur dan Lusi datang dari arah utara. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ke Bimafika bersama-sama, menyusup melalui celah sempit di belakang mesjid milik YPAI, sebuah sekolah islam swasta yang terletak tepat di samping Bimafika. Melalui celah sempit di belakang tempat wudhuk mesjid ini kami masuk ke dalam lapangan sekolah YPAI yang memiliki ruangan belajar bertingkat dua yang terbuat dari bahan beton yang terlihat sudah sangat tua, dengan cat putih yang ditumbuhi jamur menghitam dimana-mana dan terkelupas di sana sini serta tiang-tiang beton bundar yang penuh coretan dan bopeng-bopeng karena kurang perawatan.

Dari lapangan yang tampak kurang terurus dengan rumput yang tumbuh tinggi itu kami masuk ke area Bimafika dengan cara sedikit menunduk melewati pagar kawat duri yang ditopang tiang besi profil yang berwarna coklat karena karat yang tampak seperti gapura kecil karena bagian atas dan bawah kawatnya sengaja dilonggarkan supaya mudah dilewati orang-orang yang menuju dan keluar dari Bimafika.

Ketika pulang dari Bimafika juga demikian, kami melewati jalan yang sama dan berpisah di persimpangan Jalan Kenari, Lusi berbelok ke Utara aku berjalan lurus menuju ke Timur. Dalam perjalanan pulang dan pergi itu kami selalu mengobrol. Yang kami obrolkan tidak jauh-jauh dari UMPTN yang bakal kami hadapi dan juga kekaguman kami terhadap tentor-tentor yang mengajar kami.

Saat itu MLM belum mewabah, Amway, Tianshi, K-Link atau CNI juga belum populer. Orang-orang pun belum mengenal Andrie Wongso, Tung Desem Waringin atau Robert T. Kiyosaki. Tapi saat itu tentor-tentor kami di Bimafika yang kuliah di Unsyiah, sudah memiliki kualitas yang sama dengan para motivator perusahaan MLM yang sekarang banyak kita temui dimana-mana yang suka mengutip kata-kata dari nama-nama yang saya sebutkan di atas.

Selain sebagai pengajar, di mataku para tentor itu adalah sumber inspirasi yang aku pandang dengan kekaguman tinggi. Kurang lebih seperti cara para downliner MLM melihat up-linenya. Di mataku para tentor itu nyaris seperti manusia setengah dewa.

Dari cara mereka bercerita, para tentor Bimafika membuat aku yakin bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan masa depan yang cerah adalah dengan diterima di perguruan tinggi negeri. Begitu dahsyatnya para tentor itu dalam memotivasiku, sehingga akupun rela belajar setengah mati agar bisa lulus di UMPTN nanti.

Pada waktu itu aku masih remaja tanggung yang cenderung rendah diri terhadap lawan jenis. Aku sulit sekali memulai percakapan dengan lawan jenis. Aku selalu tergagap jika berada dalam situasi semacam itu. Setiap kali aku akan memulai percakapan dengan seorang perempuan menarik, yang muncul di kepalaku selalu berbagai bentuk pandangan negatif terhadap diriku sendiri. Aku memandang rendah setiap sisi kualitas diri yang aku punyai, entah itu fisik, situasi finasial sampai latar belakang kesukuan.

Segi fisik misalnya, waktu itu sepertinya aku baru merasa percaya diri kalau aku memiliki wajah dan penampilan seganteng dan sekeren Thomas Jorghi yang oleh remaja angkatan sekarang lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan goyangan norak dan lirik lagu yang kampungan, tapi waktu itu merupakan model papan atas yang wajahnya kerap menghiasi sampul majalah remaja. Thomas Jorghi saat itu adalah ‘kata ganti’ untuk menyebut cowok ganteng, dia menjadi idola hampir semua remaja perempuan dan bikin iri semua remaja dan ABG laki-laki seangkatanku.

Aku juga sering minder terhadap teman-teman yang punya ‘kereta’ (sebutan untuk motor di Aceh) dan aku sering berpikir tanpa punya kereta tidak mungkin ada perempuan yang memandangku.

Statusku sebagai orang Gayo juga cukup membuat tertekan, sebagai suku minoritas dan sub-ordinat, seperti halnya orang Indonesia di Malaysia, suku Madura di Surabaya, suku Jawa di Jakarta atau suku Aceh di Medan. Di Banda Aceh, suku Gayo sering dijadikan bahan olok-olok dalam obrolan sehari-hari. Dengan latar belakang kesukuanku seringkali aku merasa bahwa tidak mungkin ada perempuan Aceh yang mau kudekati secara serius.

Begitulah, setiap kali aku bertemu perempuan yang menarik semua tekanan di atas membuat aku sulit sekali untuk memulai percakapan.

Ketika aku pertama kali mengenal Lusi juga demikian, aku sama sekali tidak berani mengajaknya bicara. Ketika kami pertama bertemu, dialah yang memulai percakapan. Tapi ketika aku sudah mulai berbicara dengannya, karakter pribadinya yang hangat dan ekstrovert, sikapnya yang ramah alami tanpa ada kesan dibuat-buat terhadap siapapun langsung membuat aku merasa nyaman berdekatan dengannya.

Lusi tidak secantik Wirna, teman sekelasku di 3 fisik 2 SMA Negeri 2 Banda Aceh yang di dalam kelas duduk tepat di depan bangkuku yang mungkin adalah perempuan paling cantik yang pernah kukenal sampai umurku yang ke- 18 saat itu, yang secara diam-diam disukai oleh semua murid laki-laki di kelasku termasuk aku sendiri. Tapi sampai hari ini tidak ada satupun dari semua laki-laki teman sekelasku itu yang punya nyali untuk menyatakan apa yang kami rasakan saat itu kepada Wirna (kecuali aku, setelah akhirnya kami bertemu di facebook beberapa hari yang lalu).

Tapi meskipun dia tidak secantik Wirna, segala kehangatan sikap yang kurasakan dari Lusi membuatnya tampak demikian menarik sebagai seorang perempuan. Seperti magnet yang menarik dengan kuat setiap besi yang didekatnya, Lusi pun demikian, karakternya yang hangat dan gembira membuat laki-laki normal mengenalnya merasa sulit untuk tidak mendekat.

Karena itulah setelah beberapa hari terus berdekatan dengannya, tanpa bisa aku hindari perasaan lain yang lebih intim dari sekedar pertemanan secara alami muncul dalam diriku. Tapi tentu saja perkembangan perasaan yang kualami itu tidak pernah berani kuungkapkan kepada Lusi. Perasaan itu tidak pernah berani aku ungkapkan karena perasaan rendah diri yang selalu menyergapku.

Aku tahu persis, sikap ramah, hangat dan bersahabat yang ditunjukkan Lusi kepadaku bukanlah sikap yang semata ditujukan untukku, tapi memang seperti itulah sikap standar Lusi terhadap siapapun yang dia kenal baik. Sikap yang tanpa pernah dia sadari telah menyentuh hidup banyak orang.
Beberapa kali aku ingin menanyakan nomer telpon Lusi di Lhokseumawe supaya kalau nanti setelah bimbingan kami tidak memiliki kesempatan untuk bertemu kembali, aku bisa tetap berhubungan dengan dia. Tapi lidahku terasa kelu setiap kali aku akan mengucapkan kata-kata itu, entah kenapa setiap kali aku akan minta nomer teleponnya, yang muncul di kepalaku selalu berbagai pandangan negatif terhadap diriku bercampur prasangka terhadap Lusi.

“Jangan-jangan nanti Lusi nyangkain aku mau PDKT kalo nanyain telpon, jangan-jangan nanti gara-gara itu dia nggak mau lagi ngobrol sama aku”, begitu suara yang muncul di kepalaku yang disusul dengan berbagai tekanan yang membuatku minder seperti yang aku gambarkan di atas “Mana pantas aku minta nomer telponnya, yang suka sama dia pasti banyak, apalagi aku orang Gayo mana mungkin dia mau memberikan nomer teleponnya”. Di samping itu, pakaian bermerek terkenal yang dikenakan Lusi, celana levi’s asli yang harganya setara tiga bulan uang kiriman bulananku juga cukup mengintimidasiku supaya tidak mendekat terlalu jauh, karena aku merasa di antara kami ada perbedaan yang cukup mencolok dalam hal status sosial.

Begitulah sampai waktu bimbingan di Bimafika berakhir, aku tidak pernah berani minta nomer telepon Lusi. Sampai akhirnya aku tinggal punya satu kesempatan lagi “Malam Perpisahan Bimafika”, yang diselenggarakan di Taman Budaya, dua hari menjelang UMPTN. Sebelum acara itu berlangsung, aku bertekad, apapun yang terjadi aku harus mendapatkan nomer teleponnya malam itu, aku bertekad mempersetankan segala macam gangguan yang hadir di kepalaku abibat dari adanya sikap minderku.

Malam itu di Taman Budaya diselenggarakan beragam acara kesenian yang diisi oleh anak-anak Bimafika sendiri beserta para tentor. Disamping itu juga diadakan berbagai acara pemilihan siswa ter dan juga putra dan putri persahabatan. Aku datang agak terlambat karena kesulitan mendapatkan angkutan sebab labi-labi (sebutan di Banda Aceh untuk angkutan minibus dalam kota) jurusan Ketapang, Ajun bahkan Lhok’nga yang ada di terminal labi-labi Diponegoro semuanya penuh dipadati anak-anak Bimafika yang akan menghadiri malam perpisahan di Taman Budaya yang terletak di Jalan Teuku Umar yang dilewati oleh labi-labi jurusan itu.

Ketika aku sampai di Taman Budaya, ruangan Taman Budaya sudah penuh terisi, meski acara belum dimulai. Yang pertama kali kucari tentu saja Lusi. Tapi aku tidak menemukannya sampai acarapun dimulai, dibuka dengan penampilan tentor matematika yang aku lupa namanya menyanyikan lagu barat yang aku lupa judulnya. Sementara mataku terus kuarahkan ke berbagai sisi untuk mencari keberadaan sosok Lusi yang belum juga aku temukan.

Kemudian satu persatu acara pemilihan siswa ‘ter’ mulai dari yang terbaik sampai yang terlucu yang nominasinya dibacakan oleh sepasang siswa Bimafika yang dipilih oleh para tentor.

Ketika tiba pengumuman salah satu siswa ‘ter’(aku lupa ‘ter’ apa) aku melihat Lusi, dia tampak berbeda dengan Lusi yang selama ini kukenal, dia mengenakan gaun warna merah yang membuatnya tampak anggun dan feminin. Berbeda sekali dengan Lusi yang kukenal sehari-hari mengenakan T-shirt yang dipadu dengan celana jeans serta tas punggung dengan jam besar di belakangnya. Penampilan Lusi yang paling kuingat adalah ketika dia memakai kaos kuning dan celana jeans Levi’s berwarna biru muda nyaris putih.

Lusi kulihat maju ke panggung dengan percaya diri berpasangan dengan salah satu siswa pria yang tidak kukenal membacakan nominasi untuk siswa ‘ter’. Melihat penampilan Lusi malam itu nyaliku untuk minta nomer teleponnya jadi menciut. Tapi aku tetap berniat untuk melakukannya, karena aku berpikir bisa jadi setelah malam ini aku tidak akan bertemu Lusi lagi.

Sepanjang malam itu aku menunggu kesempatan untuk bisa mendekati dia, mencari momen yang tepat. Tapi yang kulihat sejak turun dari panggung dan kemudian naik kembali ketika dia dinobatkan sebagai Putri perrsahabatan angkatan 1992 (sebuah gelar yang wajar mengingat karakter Lusi yang hangat terhadap siapapun). Lusi terus dikelilingi abang-abang tentor yang tampaknya juga menyukainya membuatku benar-benar kehilangan seluruh rasa percaya diriku untuk mendekat.

Sampai acara berakhir aku sama sekali tidak mendapatkan celah atau kesempatan untuk bertemu Lusi secara pribadi sampai kulihat dia keluar dari ruangan beramai-ramai dengan beberapa teman perempuannya dan beberapa tentor, mungkin mereka diantar pulang naik ‘kereta’ oleh abang-abang tentor yang merubunginya. Yang jelas setelah itu aku tidak melihatnya lagi.

Aku pulang naik labi-labi terakhir jurusan kota yang menunggu di seberang Taman Budaya di dekat Kherkoff (perkuburan belanda) yang kernetnya berteriak-teriak sambil melambaikan tangan kepada setiap orang yang keluar dari gedung Taman Budaya. Labi-labi itu membawaku ke terminal di jalan Diponegoro untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Kampung Laksana dengan labi-labi jurusan Darussalam.

Sepanjang jalan dalam labi-labi dan ketika berjalan kaki dari simpang Jalan Dharma sampai ke Jalan Besi, aku berharap bisa bertemu Lusi kembali entah besok pagi, atau dua hari kemudian saat UMPTN atau di terminal Bis Seutui saat kami pulang ke kampung masing-masing, atau ketika makan malam di terminal bis di Bireun. Tapi harapanku itu tidak terwujud.

Saat pengumuman UMPTN, selain namaku, nama Lusi adalah nama pertama yang ingin aku lihat ada di daftar nama Mahasiswa yang lulus di Unsyiah. Aku diterima di jurusan Teknik Sipil Unsyiah, tapi nama Lusi tidak aku temukan. Ketika tidak menemukan namanya dalam daftar nama mahasiswa yang lulus di Unsyiah, aku berharap namanya ada di daftar nama mahasiswa yang di terima di PTN lain, karena dengan begitu aku tetap akan bisa melacaknya. Tapi semua harapanku itu sia-sia, nama Lusi tidak berhasil aku temukan. Sehingga yang terjadi tepat seperti yang kuduga malam itu. Malam perpisahan Bimafika di Taman Budaya adalah kali terakhir aku melihat Lusi dan selanjutnya dia menghilang dan tidak akan pernah kutemui lagi.

Saat sudah kuliah, beberapa kali aku mencoba mencari informasi tentang keberadaannya melalui teman-temanku yang juga berasal dari Lhokseumawe, salah satunya temanku di Leuser yang juga teman satu timku waktu mendaki jalur selatan Leuser pada ahun 1994. Tapi aku juga tidak berhasil mendapatkan informasi apapun dari temanku ini, yang terjadi malah aku dijadikannya bahan ledekan karena menurutnya tidak pantas aku suka pada Lusi, padahal waktu itu kepada temanku ini aku cuma menanyakan kalau-kalau dia mengetahui informasi tentang Lusi. Aku sama sekali tidak pernah mengatakan pada temanku itu kalau aku suka pada Lusi.

Aku juga sempat mencari informasi ke tempat lain tapi hasilnya juga nihil. Mendapati kenyataan seperti itu akupun sadar dan mau tidak mau, ikhlas atau tidak ikhlas aku harus menerima kenyataan kalau kenangan singkat bersama Lusi, meskipun berkesan tapi tidak lebih hanya menjadi cerita sekilas lewat dalam sejarah hidupku.

http://www.youtube.com/watch?v=VOe5jFUQHXI

Bersambung ke bagian 2…

Minggu, 19 Juli 2009

Indahnya Masa Kanak-kanak Tanpa Semai Kebencian

Beberapa waktu yang lalu menjelang akhir masa sekolah tahun ajaran ini. Sekolah Montessori, tempat Matahari Kecil anak saya bersekolah, mengadakan International Day, sebuah acara yang merupakan tradisi tahunan di sekolah ini.

Dalam acara International Day, di sekolah yang siswanya berasal dari berbagai pelosok planet biru yang kita diami ini, para siswa sekolah tersebut tampil dalam kostum khas daerah/negara asalnya dan memperkenalkan daerah/negara asalnya dengan bahasa nasional masing-masing.

Matahari Kecil anak saya tentu saja tampil dengan kostum Kerawang Gayo, pakaian berbahan kain berwarna hitam yang dihiasi bordiran bermotif kerawang yang merupakan pakaian khas daerah kami, pakaian khas yang belakangan telah banyak dikaburkan identitasnya menjadi Kerawang Aceh oleh suku mayoritas di daerah kami. Teman anak saya yang berasal Denmark, tampil dengan Kostum viking lengkap dengan topi bertanduk dan pedang khas mereka, seorang siswa asal Selandia Baru tampil dengan tato khas suku Maori dan siswa-siswa lain juga tampil dengan ciri khasnya masing-masing.

Kami para orang tua diminta membawa makanan yang merupakan ciri khas daerah/negara masing-masing. Matahari kecil anak saya yang orang Gayo membawa masakan ikan mujair pengat, sementara Karuna temannya yang orang jepang membawa onigiri dan berbagai masakan jepang lainnya anak-anak lainpun membawa makanan khas daerah/negaranya masing-masing.

International Day di Montessori ini adalah salah satu dari sekian banyak konsep di Montessori yang sangat saya suka. Melalui acara ini anak-anak diajak untuk tidak melupakan akarnya sambil di saat yang sama diajarkan untuk menghargai keberagaman dengan cara menghormati budaya orang lain yang berbeda dari kebudayaan yang mereka punya.

Acara International Day ini diawali dengan kemunculan masing-masing delegasi siswa di atas pentas. Anak-anak ini memperkenalkan negara asal mereka masing-masing dengan bahasa nasional masing-masing pula. Diawali dengan delegasi Amerika dan diakhiri dengan Kazakhtan.

Setiap kali anak-anak ini memperkenalkan diri dan negaranya dengan penuh rasa bangga, anak-anak lain dan para orang tua menyambutnya dengan tepuk tangan yang membahana.

Selesai acara perkenalan, acara dilanjutkan dengan penampilan anak-anak Montessori dari masing-masing tingkatan mulai dari anak-anak Pre-School yang masih terlihat lucu dan menggemaskan dilanjutkan dengan penampilan anak-anak Lower Elementery yang baru mulai belajar memainkan alat musik dan diakhiri dengan penampilan anak-anak Higher-Elementery yang sudah mulai sempurna baik dalam memainkan alat musik, menyanyi maupun menari.

Qien Mattane Lao, matahari kecil saya, bersama anak-anak Pre-School lain yang satu tingkatan dengannya memulai konser ini dengan menyanyikan lagu ‘Ouvrez La Cage aux Oiseau’, lagu berbahasa Perancis karangan Pierre Perret yang melalui liriknya mengajak pendengarnya untuk melepaskan burung-burung kecil yang malang yang terpenjara di dalam sangkar oleh penggemar burung yang egois ingin menikmati sendiri merdunya kicauan dan indahnya warna-warni bulu burung peliharaannya.

Begini kira-kira arti lirik lagu ini jika diartikan ke dalam bahasa melayu.

Buka buka sangkar burungnya
Perhatikanlah (ketika) burung-burung itu mulai terbang betapa indahnya
Anak-anak yang kalian lihat
(Mereka sebenarnya seperti) Burung-burung Kecil yang terpenjara
(Karena itu) Bukalah pintu sangkarnya dan biarkanlah mereka bebas merdeka

Lirik lagu ini adalah sebuah metafora sekaligus kritik dan sentilan bagi kebanyakan orang tua yang gemar’memenjara’ anak-anak mereka dalam ’sangkar’ keinginan dan ambisi sang orang tua.

Di permukaan planet ini, orang tua sejenis ini dari dulu sampai sekarang jumlahnya banyak sekali. Jumlah orang tua ’spesies’ ini bertambah dengan jumlah yang semakin menjadi-jadi di masa modern dengan tekanan dan persaingan hidup yang semakin ketat seperti sekarang ini.

Dulu orang-orang tua semacam ini sering ‘memenjara’ anak-anak mereka dengan cara menakut-nakuti anak-anak dengan cerita-cerita semacam ‘Malin Kundang’ dan ‘Sampuraga’. Di zaman sekarang orang tua semacam ini ‘memenjara’ anak-anak mereka dengan cara memaksa anak-anak untuk mengikuti berbagai kegiatan yang menurut para orang tua ini akan menjadi bekal kehidupan anak-anak tersebut di masa depan, diantaranya dengan memaksakan anak untuk mengikuti berbagai les dan kursus yang kadang tidak disukai oleh anak-anak itu.

Begitu banyaknya orang tua jenis ini di negara ini sekarang, sampai-sampai Departemen pendidikan Indonesia melalui menteri pendidikannya yang cerdas dan bergelar Professor itupun memformalkan ‘penyiksaan’ terhadap anak-anak ini dalam sebuah kurikulum nasional yang ‘kejam’ dan tidak ‘berperikemanusiaan’. Begitu tinggi dan ‘istimewanya’ standar kurikulum bikinan menteri pendidikan yang profesor ini sampai-sampai sekarang beberapa sekolah dasar mensyaratkan kemampuan membaca dan berhitung bagi calon siswanya yang akan masuk ke kelas 1 di sekolah tersebut, sehingga sekarang banyak orang tua yang ‘peduli’ pada masa depan anak-anak mereka yang memaksa anak-anak yang belum genap berumur 6 tahun untuk belajar membaca dan berhitung, padahal seringkali secara kognitif anak-anak itu belum siap untuk mendapatkan materi seperti itu.

Kalau orang tua-orang tua itu mengatakan apa yang mereka lakukan itu adalah demi masa depan anak-anak mereka, saya akan bertanya, siapa sih yang tahu masa depan itu sebenarnya seperti apa?. Kita tidak pernah bisa memperkirakan dengan tepat. Contohnya di waktu saya kecil, ketika berbicara tentang profesi orang tua hanya bisa membayangkan, Insinyur, Dokter, Pilot dan pekerjaan-pekerjaan prestisius lain sesuai dengan situasi zaman itu.

Orang tua saya dan juga saya sendiri misalnya tidak pernah berpikir kalau di masa saya dewasa akan ada profesi yang sangat menjanjikan yang bernama entah itu ahli multimedia, MC, Event Organizer, Motivator bahkan profesi penyelenggara perjalanan wisata, seperti yang saya jalani saat ini.

Anak-anak justru akan mudah menemukan jalannya di masa depan jika di masa kanak-kanaknya dibiarkan bebas melepaskan kreatifitas dan kegembiraan. Contoh dari anak-anak yang dibesarkan dengan cara seperti ini yang sukses di masa dewasa adalah pemilik mesin pencari ‘Google’.

Selesai menyanyikan ‘Ouvrez La Cage aux Oiseau’, Mattane Lao anak saya dan anak-anak Pre-School lainnya menyanyikan sebuah lagu berbahasa Italia dan dilanjutkan dengan lagu ‘Menanam Jagung’ yang sekaligus merupakan penampilan terakhir mereka di panggung.

Selesai menyanyikan lagu ‘Menanam Jagung’ anak-anak Pre-School turun dari pentas dan menjadi penonton, tempat mereka di panggung digantikan oleh anak-anak Lower-Elementery. Anak-anak di tingkatan ini sudah mampu memperlihatkan keterampilan mereka memainkan alat musik, meskipun belum terlalu istimewa. Pada penampilan mereka kali inipun, konsepnya tetap mengusung ide “berbeda tapi saling menghargai”. Pada sesi ini di sela-sela permainan biola yang mereka mainkan bersama-sama, dua orang murid Lower-Elementery asal Cina menyanyikan lagu ‘Twinkle Twinkle Little Star’, lagu terkenal gubahan Mozart seorang komposer besar asal Austria. Kedua murid perempuan dari tingkat Lower-Elementary ini menyanyikan lagu tersebut dalam bahasa Cina.

Puncak acara pertunjukan kesenian ini dipungkasi dengan penampilan anak-anak Upper-Elementery yang merupakan prototype ‘produk’ sistem pendidikan Montessori. Melalui anak-anak Upper Elementary ini kita sudah bisa memperkirakan seperti apa nantinya anak-anak ini di masa dewasanya.

Pada sesi terakhir ini terlihat penampilan anak-anak Upper-Elementary yang rata-rata berusia 10 tahun ini begitu mengagumkan untuk usianya. Mereka memainkan biola dengan baik, anak-anak yang berasal dari berbagai negara dengan warna kulit, mata dan rambut yang berwarna-warni ini menyanyikan lagu Morning is Broken-nya Cat Steven dengan bahasa Inggris yang fasih kemudian dilanjutkan dengan lagu ‘Waktu Ku Kecil’ dalam bahasa melayu dengan aksen Indonesia yang sempurna, yang sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan aksen terkenal milik pahlawan saya CINTA LAURA yang sekarang menjadi ikon EF, sebuah lembaga pendidikan Bahasa Inggris asal Swedia.

Penampilan anak-anak Upper-Elementery yang sekaligus merupakan penampilan terakhir dalam acara kesenian ini diakhiri dengan pertunjukan tari ‘Janger’, sebuah tari tradisional dari Bali yang mengisahkan tentang persahabatan antar muda-mudi. Tarian inipun ditarikan dengan sempurna oleh anak-anak Upper-Elementery yang masih mengenakan pakaian nasionalnya masing-masing.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan makan-makan, anak-anak dan orang tua saling bertukar makanan yang merupakan ciri khas dari daerah/negara masing-masing sambil tetap menghormati pantangan-pantangan yang diyakini dalam masing-masing kepercayaan.

Saat acara makan-makan, anak-anak yang berasal beragam latar belakang tapi sama-sama penghuni planet biru berair yang kita namakan Bumi inipun berbaur dan bercanda dengan gembira. Jelas sekali terlihat kalau anak-anak ini sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan manusia berdasarkan tinggi rendahnya derajat yang dinilai dari latar belakang budaya, agama dan kepercayaan apalagi warna kulit.

Ouvrez ouvrez la cage aux oiseaux
Regardez-les s’envoler c’est beau
Les enfants si vous voyez
Des p’tits oiseaux prisonniers
Ouvrez-leur la porte vers la liberté

Wassalam

Win Wan Nur

Rabu, 01 Juli 2009

Final Copa dan Carut Marut Sepakbola Indonesia

Jarang-jarang saya menyaksikan pertandingan sepakbola Indonesia di televisi. Tapi beberapa waktu yang lalu saya melakukannya, saya menonton final Copa Indonesia yang mempertemukan Sriwijaya FC melawan Persipura yang merupakan juara Liga Super Indonesia. Tidak disangka pertandingan dua tim sepakbola ini berlangsung seru dengan Sriwijaya FC lebih banyak menekan dengan sesekali dibalas oleh Persipura dengan sengatan serangan balasan yang cukup mematikan.

Sayangnya dalam pertandingan yang dilangsungkan di stadion Jakabaring Palembang ini wasit kurang bisa bersikap netral, meskipun tidak kentara, tapi beberapa kali terlihat keputusan wasit merugikan kubu Persipura. Misalnya seperti ketika Ernest jeremiah dijatuhkan di kotak penalti. Wasit tidak memberikan hukuman pada Sriwijaya. Kemudian ketika di penghujung babak pertama Persipura mendapat tendangan pojok, tanpa menunggu tuntasnya prosesi tendangan pojok, wasit langsung meniup peluit ketika bola yang ditendang pemain Persipura mengenai kepala seorang pemain Persipura yang lain.

Babak kedua pertandingan berlangsung seru, Boaz Salossa pemain sensasional milik Persipura yang wajahnya sekilas mirip pemain Barcelona Thierry Henry, beberapa kali menunjukkan kualitasnya sebagai striker yang mungkin adalah yang terbaik di negeri ini. Pada babak ini serangan masih berimbang tapi beberapa kali para pemain persipura membahayakan gawang Sriwijaya FC, tapi tidak sampai menghasilkan gol entah itu karena dimentahkan oleh barisan belakang Sriwijaya FC atau ditangkap oleh Kiper Ferry Rotinsulu.

Dalam sebuah serangan dari sisi kanan pertahanan Persipura, Nasuha pemain Sriwijaya melepaskan umpan lambung ke kotak penalti, di sana sudah menunggu dua orang pemain Sriwijaya yang ditempel ketat oleh bek-bek Persipura. Dalam pengawalan ketat itu, Obiora salah seorang pemain asing milik Sriwijaya masih bisa melompat tinggi mengalahkan bek Persipura yang menempelnya, menanduk bola umpan lambung itu dan menempatkannya di sisi bagian kiri gawang Persipura tanpa bisa dihadang oleh Jendry Pitoy, mantan penjaga gawang utama Timnas Indonesia yang berasal dari Sulawesi Utara. 1-0 untuk Sriwijaya.

Ketinggalan satu gol, Persipura seolah tersentak, serangan demi serangan dibangun oleh persipura secara bergelombang. Dalam sebuah serangan Ian Kabes masuk ke kotak Penalti Sriwijaya dan dihadang oleh beberapa bek Sriwijaya FC. Lalu entah karena pertimbangan apa saat ian Kabes menguasai bola, Ferry Rotinsulu kiper Sriwijaya FC yang seperti Jendry Pitoy juga berasal dari Sulawesi Utara maju berusaha merebut bola sambil menebas kaki Ian Kabes, tapi bola tidak berhasil dia kuasai malah mendekati kaki Ernest Jeremiah yang langsung melepaskan tendangan keras ke arah gawang Sriwijaya yang kosong karen ditinggal Ferry. Tendangan Ernest Jeremiah ditahan dengan tangan oleh seorang bek Sriwijaya. Jelas dua momen yang berdekatan ini seharusnya berbuah hukuman penalti buat Sriwijaya.

Tapi entah karena tidur atau alasan apa, Purwanto salah satu wasit terbaik di Indonesia yang memimpin pertandingan ini beserta hakim garis yang membantunya hanya memberikan tendangan pojok untuk Persipura. Pemain-pemain Persipura jelas meradang dan segera merubungi wasit. Tapi Purwanto tegas pada keputusannya. Ofisial Persipura di pinggir lapangan terlihat mencak-mencak dengan keputusan wasit. Alih-alih memberi penalti, Purwanto malah mengkartu ,erah Ernest jeremiah, pemain Persipura yang memprotes keras keputusannya. Lalu, entah siapa yang memulai tiba-tiba terlihat satu persatu pemain persipura meninggalkan lapangan dan masuk ke ruang ganti. Pertandingan seru dengan atmosfer luar biasa yang tersaji selama 64 menit tadipun berubah menjadi 'garing'.

Tidak seperti pertandingan di luar negeri yang jika terjadi hal seperti itu, penyelenggara pertandingan langsung bertindak tegas memberikan kekalahan W.O bagi tim yang meninggalkan lapangan. Pada pertandingan ini tidak demikian, terjadi tarik ulur yang panjang.

Tapi persipura tidak juga kunjung keluar. Hal ini bisa dimaklumi sebab dengan situasi ini setelah mogok selama satu Jam lebih, jelas tidak mungkin Persipura mau kembali ke lapangan, secara moral mereka sudah jatuh, motivasi dan semangat tempur pemainpun pasti sudah menguap. Kalaupun mereka kembali turun ke lapangan mereka akan bermain tanpa jiwa dan malah akan lebih memalukan dan menjatuhkan harga diri mereka.

Di layar televisi Muhammad Al hadad, pelatih Deltras yang menjadi komentator menyalahkan pelatih Persipura Jacksen F. Tiago atas kejadian ini, entah pendapat Al Hadad itu objektif atau karena dia punya sentimen pribadi terhadap jacksen yang dulu menggantikannya sebagai pelatih di persebaya yang justru setelah ditangani Jacksen berhasil menjadi Juara Liga Indonesia. Komentator lain menyamakan apa yang terjadi dengan di luar negeri yang jika wasit berbuat kesalahan pemain yang bertanding bersikap dewasa dengan tetap melanjutkan pertandingan. Mereka juga menyesalkan PSSI yang pejabat terasnya hadir di sana tidak bisa bertindak tegas dengan langsung memberikan kemenangan W.O bagi Sriwijaya.

Menurut saya, masalah yang terlihat di lapangan saat final Copa Indonesia itu tidaklah sesederhana yang terlihat. Ketika Persipura memutuskan meninggalkan lapangan saat terjadi insiden tersebut, itupun bukanlah keputusan yang dibuat akibat dari peristiwa sesaat yang terjadi sebelumnya. Apa yang dilakukan Persipura adalah puncak kekesalan dari carut-marutnya organisasi sepakbola Indonesia.

Sebelum pertandingan final Copa Indonesia ini dilaksanakan di Stadion Jakabaring Palembang, sudah banyak pihak yang mengkritik keputusan PSSI yang memilih kandang Sriwijaya FC tersebut sebagai venue partai final. Keputusan PSSI untuk memilih tempat ini dikhawatirkan akan membuat wasit yang memimpin pertandingan berpihak kepada tuan rumah.

Jika pertandingan Copa Indonesia ini terjadi di liga mapan eropa, semacam Inggris atau Italia, kekhawatiran seperti ini tidak perlu terjadi karena meskipun wasit sering berbuat kesalahan para pemain dan juga petinggi klub tahu wasit tidak ada niat memihak. Memang bahkan di eropapun keberpihakan wasit pada salah satu tim sering terjadi, salah satunya yang terjadi pada Juventus di Liga Italia. Hal yang membuat saya benci Juventus sampai hari ini. Tapi yang terjadi disana otoritas Liga Italia kemudian bertindak tegas terhadap Juventus ketika kasus ini terbongkar.

Ini yang tidak terjadi di Indonesia, di sini masalah keberpihakan wasit sudah jadi lagu lama dan tidak pernah mendapat perhatian dari PSSI. Keberpihakan wasit pada tuan rumah adalah cerita usang.

Saya teringat pada sekitar tahun 1993, ketika saya bermain sebagai penjaga gawang tim Cremona 92, sebutan untuk tim Sipil 92 angkatan saya di fakultas teknik Unsyiah. Waktu itu tim kami akan mengikuti kejuaraan Piston Cup. Kejuaraan sepakbola antar jurusan antar angkatan di fakultas teknik Unsyiah tempat saya kuliah.

Karena panitia hanya mampu menyewa wasit dan tidak mampu menyewa hakim garis profesional untuk kejuaraan itu maka yang bertugas untuk menjadi hakim garis dalam kejuaraan itu adalah kami sendiri para pemain yang bertanding dalam kejuaraan. Untuk itu panitia mendatangkan seorang wasit dari PSSI Aceh untuk memberi pelatihan pada kami.

Dalam pelatihan itu, si wasit dari PSSI Aceh ini membeberkan apa yang terjadi dalam perwasitan Indonesia yang memang selalu memihak pada tuan rumah. Masih menurut bapak ini, tiap tim yang berlaga di divisi utama (saat itu belum ada liga super) memiliki wasit sendiri yang akan membela tim tersebut jika pertandingan dilaksanakan dikandang tim yang berlaga. Untuk Persiraja tim asal Banda Aceh yang berlaga di divisi utama, bapak itu menyebutkan nama seorang wasit asal Bengkulu (gara-gara UU ITE saya jadi kurang nyaman menyebut nama) sebagai wasit yang menjadi 'milik' Persiraja . Menurut Bapak ini Persiraja memiliki alokasi dana khusus untuk membiayai sang wasit asal Bengkulu ini.

Apa yang terjadi dengan persiraja dan wasit asal Bengkulu tersebut saya yakin pasti juga dialami semua tim yang berlaga di Liga Indonesia. Karena itulah dalam setiap pertandingan di divisi utama liga Indonesia, hampir tidak terjadi sebuah tim tuan rumah menderita kekalahan.

Persipura yang berlaga di final Copa beberapa waktu yang lalupun tentu sangat paham akan hal ini. Apalagi faktanya Purwanto, wasit yang memimpin final sebelumnya juga pernah memimpin partai Copa di stadion yang sama antara Sriwijaya melawan PSMS yang juga berakhir dengan kekalahan W.O untuk PSMS karena meninggalkan lapangan sebab tidak puas dengan keputusan Purwanto yang menguntungkan Sriwijaya. Fakta-fakta tersebut tentu membuat Persipura mengawali pertandingan dengan perasaan akan dikerjai.

Sebelum pertandingan, saya yakin Persipura tentu sudah lebih dulu memprotes pemilihan tempat pertandingan, tapi kemudian pengurus PSSI meyakinkan Persipura kalau pertandingan akan berjalan netral dan akan dipimpin oleh wasit yang tidak memihak. Tapi saat pertandingan berlangsung, Persipura lalu merasakan adanya keputusan-keputusan yang merugikan pihak mereka, ditambah dengan tekanan kemasukan satu gol dan berpuncak pada insiden di menit ke 64 tersebut. Jadilah final Copa Indonesia yang disponsori Dji Sam Soe yang digelar secara spektakuler dengan menghadirkan kedahsyatan God Bless sebelum pemberian piala terasa hambar.

Setelah pertandingan tertunda sekitar satu jam di layar televisi, tampak Ketua PSSI Nurdin Halid yang notabene adalah mantan narapidana kasus korupsi didampingi Darsussalam Tabussala terlihat berwajah kusut dan gelisah. Dia mencoba membujuk Persipura untuk kembali bermain agar penonton tidak kecewa dan final ideal Copa Indonesia yang berlangsung seru tadi tidak berakhir anti klimaks dan mencoreng muka PSSI sebagai otoritas tertinggi sepakbola Indonesia. Tapi karena memang sejak awal tidak pernah konsisten dan plintat-plintut dalam menegakkan peraturan, yang terlihat jelas di televisi justru adalah PSSI yang sama sekali tidak memiliki wibawa.

Yang lucu, kemudian ketika Persipura tidak kunjung keluar Nurdin Halid mulai berbicara tentang Sanksi, bukannya lebih dulu bercermin memperhatikan baik-baik coreng moreng di muka PSSI.

Kita tentu tidak lupa bagaimana saat Persipura menjuarai Ligina saat Nurdin Halid mendekam di dalam penjara. Tim dari ujung timur Indonesia ini gagal mengikuti Liga Champion Asia karena PSSI alpa mendaftarkan mereka. Kalau hal sememalukan ini terjadi di liga sekelas Liga Italia atau Inggris sudah pasti ketua asosiasi Sepakbolanya sudah dipaksa mengundurkan diri oleh anggotanya. Tapi di Indonesia yang pengurus daerah PSSI yang memiliki suara untuk memilih ketua umum dari dulu tetap diisi orang-orang lama, hal seperti itu jelas mustahil terjadi. Oleh PSSI masalah ini sudah dianggap selesai dengan mengkambinghitamkan Dali Tahir yang menjabat urusan luar negeri.

Seandainya kali ini Persipura kembali gagal mengikuti Liga Champion Asia gara-gara diberi sanksi oleh PSSI, saya akan sangat maklum jika Persipura memilih tidak ikut kompetisi ligina atau seperti almarhum Bandung Raya malah memilih membubarkan diri.

Begitulah carut marutnya organisasi sepak bola negeri ini.

Kalau timnas Indonesia dari zaman dulu yang merupakan kekuatan yang cukup diperhitungkan di Asia, lalu turun menjadi raja Asia Tenggara, tapi sekarang malah untuk bersaing di tingkat regional inipun megap-megap bersaing dengan Thailand, Singapura dan Vietnam, negara yang baru saja lepas dari konflik berkepanjangan. Itu bukanlah karena di negeri yang berpenduduk hampir 240 juta ini tidak ada pemain berbakat. Melihat permainan Ambrizal, Tony Sucipto, Imanuel Wanggai, Boaz Salossa, Ian Kabes atau Christian Worabai di final Copa kemarin. Jelas yang salah bukanlah pemain, tapi PSSI-lah yang menjadi induk olah raga paling populer di negeri ini yang harus direformasi.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Ulang Tahun; Kelahiran dan Pernikahan

Kemarin aku genap berumur 35 tahun jika dihitung berdasarkan kalender Gregorian dan sudah hampir 61 tahun kalau dihitung berdasarkan Kalender Bali.

Seperti biasa saat umur yang dihitung dengan Kalender Gregorian ini berulang aku mendapat banyak ucapan selamat dari orang-orang yang mengenalku, tapi berkat facebook, ulang tahunku yang ke 35 berdasarkan kalender Gregorian kemarin terasa lebih istimewa, karena ulang tahunku yang ke 35 berdasarkan kalender Gregorian kemarin berhasil mencetak rekor baru jumlah ucapan selamat ulang tahun yang ditujukan kepadaku yang berasal dari kerabat, teman-teman dan sahabat seluruh pelosok permukaan planet ini.

Dalam banyak kebudayaan, Ulang Tahun kelahiran adalah sebuah hal penting. Dalam kebudayaan Cina misalnya, ulang tahun selalu dirayakan besar-besaran dengan pesta. Di Bali Ulang Tahun juga sangat penting, ulang Tahun kelahiran yang terjadi tiap 210 hari menurut kalender Bali ini oleh orang Bali dirayakan dengan upacara yang bersifat spiritual.

Tapi bagi orang Gayo seperti aku, sebenarnya hari lahir bukanlah sesuatu yang dirasa penting untuk dirayakan, bahkan terasa janggal untuk sekedar diucapkan sekalipun.

Dalam keluargaku, sebagaimana halnya keluarga Gayo tradisional lainnya, sama sekali tidak ada tradisi merayakan Ulang Tahun kelahiran.Jangankan merayakan, sekedar mengucapkan Selamat Ulang Tahun di saat berulangnya hari jadipun sama sekali tidak pernah terlintas di kepala kami. Dari kecil sampai hari ini aku sama sekali tidak pernah menerima yang namanya ucapan, "selamat ulang tahun" dari keluarga terdekatku (Ayah, Ibu dan kedua adikku). Bagi keluarga kami tradisi berulang tahun benar-benar tradisi asing, tradisi yang kalau kami lakukan rasanya sangat janggal, dengan mengucapkan selamat ulang tahun kami merasa seolah-olah jadi berlagak 'sok modern' dalam pengertian kebarat-baratan.

Situasi seperti ini menyebabkan aku sewaktu masih kecil tidak pernah ingat kapan ulang tahunku, begitu juga hari ulang tahun anggota keluargaku yang lain. Dari 5 orang anggota inti keluargaku, aku cuma ingat hari lahir adik laki-lakiku. Hari lahirnya kuingat karena kami lahir di bulan yang sama tapi adikku lahir tanggal 16. Sementara hari lahir adik perempuanku tidak pernah kuingat, yang kutahu dia lahir bulan agustus sama seperti ayahku, tapi jangan tanyakan tanggalnya. Kalau hari lahir ibuku aku sama sekali tidak tahu, bahkan bulan dan tahunnyapun aku tidak dapat memastikan. Apatah lagi kalau ditanyakan hari ulang tahun kakek dan nenekku, jangankan bahkan mereka sendiripun tidak bisa memastikan umur mereka secara tepat.

Aku mulai merasa Ulang Tahun kelahiran itu adalah sesuatu yang istimewa waktu aku kelas 5 SD diundang ke Ulang Tahun teman sekelasku yang baru pindah dari Jakarta, namanya Ricky yang bapaknya waktu itu menjabat kapolres Aceh Tengah. Itu pertama kali aku menyaksikan sendiri pesta Ulang tahun dengan kue tart dan balon yang sebelumnya cuma pernah yang kulihat di TV atau di film, entah itu film Indonesia atau film barat.

Tapi meskipun aku sudah tahu kalau Ulang tahun itu adalah hari istimewa tapi tetap saja setiap ulang tahunku berlalu begitu saja dan baru kuingat beberapa hari sesudahnya.

Seingatku, hari ulang tahun kelahiran baru terasa penting bagiku sejak aku kuliah. Saat itu hari ulang tahun adalah saat-saat paling menyebalkan buatku, dan selalu bukan aku tapi kawan-kawankulah yang paling ingat hari Ulang tahunku. Mereka ingat karena entah siapa yang memulai, di Banda Aceh ada tradisi bagi siapa saja yang Ulang Tahun untuk mentraktir makan kawan-kawan. Tradisi ajaib yang sempat membuat heran seorang temanku asal Australia, temanku itu heran karena menurut dia di Australia tempat asalnya, justru orang yang berulang tahunlah yang selalu ditraktir ramai-ramai oleh teman-teman yang lain, dibuat senang dan gembira dengan cara memberikan apapun yang dia inginkan.

Setelah tidak kuliah lagi, cara pandangku terhadap Ulang tahun kelahiran kembali ke sikap awal. Aku tidak pernah lagi menganggap ulang tahun itu sebagai hari yang istimewa. Aku biasanya baru ingat Ulang Tahun kelahiranku setelah seorang teman akrab yang belakangan menjadi seperti adikku sendiri mengucapkan selamat Ulang Tahun yang sejak aku mengenalnya pertama kali tidak pernah absen mengucapkan "Selamat Ulang Tahun" dan memberikan sekedar kado untukku meskipun seperti biasa sampai hari ini aku tidak pernah mengingat hari Ulang Tahunnya.

Ketika aku menikah pandanganku terhadap ulang tahun kelahiran juga sama, aku tidak pernah menganggap Ulang Tahun kelahiran sebagai sesuatu yang istimewa.

Aku berpikir seperti itu karena menurutku kelahiran itu adalah takdir yang tanpa bisa aku usahakan dan aku tolak terjadinya, dan nyaris tanpa ada usahapun umurku terus bertambah dengan sendirinya.

Tapi sejak menikah pula aku mulai merasakan pentingnya ulang tahun, bukan ulang tahun kelahiran melainkan ulang tahun pernikahan.

Berbeda dengan kelahiran yang adalah takdir yang tidak bisa ditolak atau dinegosiasi ulang, pernikahan adalah sebuah peristiwa besar yang merupakan hasil dari sebuah keputusan yang diambil oleh dua orang manusia merdeka dengan pikiran jernih dan penuh kesadaran dan kerelaan untuk mengorbankan beberapa keinginan dan cita-cita demi tercapainya cita-cita yang lebih besar yang menjamin kelangsungan ide dan pikiran besar yang ada di diri masing-masing sampai akhir zaman.

Pernikahan adalah sebuah pilihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, pilihan untuk menyatukan dua visi dan dua misi dan cinta dari dua manusia berlainan jenis untuk menghadirkan makhluk manusia baru yang merupakan perpaduan dari kompleksnya aspek intelektual, emosional, spiritual dan fisik yang dimiliki oleh dua manusia berlainan jenis. Dan berbeda dengan kelahiran, pernikahan bisa dinegosiasikan ulang dan bisa diakhiri dengan penuh kesadaran pula.

Karena itulah aku merasa kemampuan mempertahankan setiap detik pertambahan usia pernikahan, setiap menyaksikan senyum anakku yang setiap hari bertambah besar, bertambah pintar dan bertambah dewasa, aku merasa itu adalah sebuah keberhasilan, itulah adalah sebuah prestasi dalam mempertahankan keputusan yang telah diambil secara sadar, sebuah bukti kemampuan diri untuk berkorban, mengabaikan beberapa keinginan yang terkadang terlihat begitu menyenangkan.

Menurutku dan juga istriku, bukan kelahiran, tapi pernikahanlah yang merupakan peristiwa terbesar dalam hidup kami, dan karena keputusan besar itu pula Matahari kecil kami bisa terlahir ke Bumi sehingga peristiwa tahunan berulangnya hari pernikahan kami yang sekarang sudah memasuki tahun ke-6 inilah yang selalu kami rayakan dalam keluarga kami.

Hanya saja karena kami merasa ulang tahun pernikahan ini adalah sifatnya sangat pribadi yang maknanya hanya bisa dirasakan dengan sempurna oleh kami berdua, aku dan istriku selalu hanya merayakan ulang tahun pernikahan kami bertiga saja. Aku, istriku dan matahari kecil yang merupakan buah dari pernikahan kami.

Tapi ketika pada hari ulang tahun kelahiranku ini aku melihat begitu banyak perhatian tulus dari teman-teman yang merasa ulang tahun kelahiran itu adalah sesuatu yang penting. Sementara bagiku pertambahan usia pernikahanlah yang paling penting untuk dirayakan, dan karena akupun tidak peduli kalau pertambahan itu harus dihitung dengan cara apa, karena seperti kukatakan sebelumnya setiap detik pertambahan usia pernikahan adalah prestasi. Jadinya di saat begitu banyak perhatian yang diotujukan kepadaku seperti hari ini, tiba-tiba aku merasa ingin mengganti foto di profilku dengan foto pernikahanku.

Sayangnya foto-foto pernikahanku yang disimpan dalam file di beberapa keping CD tidak bisa lagi dibuka karena keping CD-nya rusak akibat lembab sehingga aku tidak bisa mendapatkan foto resepsi pernikahan kami. Yang kudapat hanya foto pre wedding yang dulu dipakai untuk dekorasi dalam acara resepsi pernikahan kami. Foto itu kudapat dengan cara mengubek-ubek situs internet milik studio 55. Sebuah studio foto yang beralamat di jalan Raden Saleh, Salemba. Studio foto yang dulu disewa oleh mertuaku untuk memotret dan memfilmkan acara pernikahan kami. Foto itulah yang sekarang terpampang di profilku hari ini.


Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com