Jumat, 05 Juni 2009

Prita Mulyasari Vs tai Kucing Neolib dan Ekonomi Kerakyatan

Belakangan ini saya tidak terlalu mengikuti perkembangan berita terbaru, baik itu melalui koran atau televisi bahkan internet. Hal itu terjadi disamping karena belakangan ini berita di berbagai media dipenuhi cerita membosankan tentang kampanye para calon presiden yang sibuk berkutat di omong kosong neolib versus ekonomi kerakyatan, hal tersebut juga diakibatkan oleh padatnya jadwal pekerjaan saya. Sehingga ada banyak perkembangan terbaru yang terjadi di negeri ini tidak saya ketahui.

Tadi malam saya tidak bisa tidur karena kebanyakan minum kopi, jam 1.30 wib saya menghidupkan televisi. Kebetulan saat saya nyalakan, saluran televisi yang menyala adalah TV one yang sedang menyiarkan perdebatan antar tim sukses calon presiden tentang neolib versus ekonomi kerakyatan yang membosankan itu.
Dalam acara ini dipandu oleh Alfito Deanova ini, saya lihat gaya para anggota tim sukses itu menyampaikan gagasan mereka, tampak sekali mereka berusaha keras supaya terlihat seolah-olah mereka paham sekali yang namanya neolib dan ekonomi kerakyatan itu dan paham betul segala konsekwensinya bagi masyarakat jika kebijakan itu diterapkan. Seolah-olah mereka seperti sedang berdebat dalam pemilu amerika yang kita saksikan beberapa waktu yang lalu, yang mempertarungkan dua gagasan ekstrim antara konservatif melawan liberal, dimana kedua kubu benar-benar memiliki platform gagasan yang jelas dan lengkap dengan segala strategi untuk menerapkan gagasan dalam kampanye tersebut di dunia nyata seandainya salah satu dari kandidat tersebut terpilih.

Tapi yang saya lihat dalam tayangan TV One ini sangat berbeda. Di sini, ketika mereka berbicara tentang neolib versus ekonomi kerakyatan, kentara sekali terlihat kalau semua anggota tim sukses ini lebih banyak beretorika untuk menearik simpati calon pemilih tanpa mereka sendiri benar-benar menguasai materi yang sedang mereka omongkan. Sehingga yang terlihat kentara, perdebatan ini tidak lain hanyalah bagian dari strategi untuk saling memojokkan antar kandidat yang ujung-ujungnya kita tau persis tidak lain hanyalah untuk mengantarkan jago mereka ke empuknya kursi presiden untuk kemudian memberi peluang bagi para tim sukses itu untuk ikut menikmati empuknya kursi kekuasaan juga. Setelah jadi presiden nanti kebijakan akan seperti apa yang akan diterapkan, ya nanti dibicarakan lagi tergantung bagaimana hasil 'dagang sapi'.

Sementara bagi kita masyarakat luas, sebenarnya siapapun yang menjadi presiden dari ketiga calon itu dampaknya terhadap kehidupan kita sehari-hari tidak akan terlalu banyak berbeda.

Malas melihat segala omong kosong itu saya memindahkan channel televisi dan menyasar ke TV-7. Di sana ditayangkan sebuah berita yang jauh lebih menggetarkan dan membawa pengaruh besar bagi masa depan kehidupan dan kemerdekaan bernegara ketimbang segala macam tai kucing ekonomi neolib versus ekonomi kerakyatan yang diomongkan dengan mulut berbuih-buih oleh para tim sukses calon presiden itu.

Di TV 7 disiarkan sebuah berita tentang seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyawati yang dipenjara karena menuliskan pengalaman buruknya ketika dirawat di Omny Internasional, sebuah rumah sakit Internasional di Tangerang. Di layar kaca saya lihat seorang blogger yang namanya ditulis Andi Piliang tapi melihat wajahnya saya yakin itu adalah Iwan Piliang, salah satu dedengkot Superkoran. Piliang menyatakan kegusaran dan keprihatinannya atas kasus yang menimpa Prita ini.

Sebenarnya terus terang saya agak grogi menuliskan nama rumah sakit ini karena saya khawatir jangan-jangan penulisan nama rumah sakit ini dalam tulisan saya nanti diterjemahkan oleh kuasa hukum mereka yang handal sebagai bentuk pencemaran nama baik juga. Sehingga akibatnya sayapun akan masuk penjara seperti Prita dan anak saya jadi tidak dapat meneruskan sekolahnya akibat bapaknya tidak dapat mencari nafkah karena mendekam di penjara.

Tapi setelah saya pikir lagi, nama rumah sakit ini memang harus dituliskan karena apa yang telah dilakukan oleh rumah sakit ini adalah sebuah bentuk PENJAJAHAN. Kalau hal seperti yang dilakukan oleh Rumah sakit Omny Internasional ini dibiarkan, maka kemerdekaan yang didengung-dengungkan sejak tahun 1945, kebebasan yang diteriakkan dengan pekik penuh kemenangan sejak reformasi 1998 adalah kemerdekaan dan kebebasan semu belaka.

Kalau kita perhatikan fenomena pengekangan kebebasan berpendapat dan sikap represi terhadap orang yang menyuarakan ketidak adilan ini semakin menjadi-jadi sejak Mahkamah Konstitusi menyetujui pembatasan kebebasan berekspresi di media, terutama media internet. Alasan MK waktu itu adalah kebebasan berekspresi ini harus dibatasi karena kalau tidak, dikhawatirkan akan berkembang menjadi fitnah yang tidak terkendali.

Logika MK ketika memutuskan perkara ini adalah logika yang sama seperti yang dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menghambat tokoh-tokoh pergerakan masa lalu dalam menyampaikan ide-ide perjuangan mereka.

Apa yang dilakukan oleh aparat Hukum Indonesia terhadap Prita yang dipenjara karena menyuarakan ketidakadilan yang dia alami di rumah sakit Omny Internasional, persis sama seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Soekarno, Hatta, Syahrir dan teman-teman seperjuangan mereka yang dipenjara akibat tulisan-tulisan mereka di media tentang ketidakadilan pemerintah Belanda memperlakukan kaum Bumi Putera.

Ketika membuat keputusan itu MK sama sekali menafikan kecenderungan umum yang ditampilkan aparat hukum di Indonesia yang sangat fasih menerjemahkan pasal-pasal pencemaran nama baik yang berpihak pada kaum berduit dan berkuasa ketimbang pasal-pasal yang memberi peluang kepada masyarakt kecil untuk memperoleh keadilan.

Saat keputusan ini dikeluarkan, beragam bentuk protes bermunculan salah satunya datang dari Iwan Piliang seorang blogger kawakan dengan mewakili kaum blogger secara terang-terangan menyatakan kegusarannya atas keputusan MK ini. Dengan keputusan MK ini Iwan khawatir kebebasan berekspresi yang belum lama kita nikamti akan kembali mati. Tapi MK seolah tuli dan sama sekali tidak bergeming dengan keputusannya.

Tidak perlu waktu terlalu lama untuk menunggu efek dari keputusan MK ini, hari ini apa yang dikhawatirkan Iwan Piliang telah terjadi. Hari ini Prita dipenjara, besok bisa jadi Iwan, lalu lusa saya sendiri.

Saya sendiripun sudah merrasakan langsung efek dari keputusan MK ini.

Akibat dari tulisan-tulisan saya di berbagai media internet yang mempermasalahkan kebijakan Pemda Aceh Tengah menjual lahan Panti Asuhan Budi Luhur beserta Mesjid yang ada di dalamnya, dalam waktu tidak lama lagi saya sendiri sangat mungkin akan dipenjara mengikuti jejak Prita.

Indikasinya bisa saya lihat dari ucapan Ir. Yurmiza Putra alias Winja yang pernah menjadi pasangan saya bermain domino. Beberapa waktu yang lalu Winja yang merupakan salah seorang anggota pansus DPRK Aceh Tengah yang dibuat untuk menggoalkan rencana penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dengan nada mengancam mengatakan .

Ucapan ini dikeluarkan oleh Winja tidak lama setelah MK mengeluarkan keputusan untuk membatasi kebebebasan berekspresi.

Winja mengatakan ini karena kemungkinan besar dia gusar dengan maraknya tuntutan pengusutan terhadap janggalnya keputusan yang dikeluarkan oleh Pansus yang dianggotainya ini yang menyetujui penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur bersama mesjid yang ada di dalamnya tepat pada hari yang sama dengan hari terbentuknya Pansus tersebut. Sepertinya dia juga berani berbicara dengan nada mengancam seperti itu karena merasa di atas angin karena keputusan mereka, Mungkin pikirnya saya dan orang-orang yang peduli pada nasib anak yatim di Panti Asuhan Budi Luhur takut dipenjara karena menyuarakan kata hati nuraninya.

Padahal saya jelas tidak peduli dengan omongan Winja yang tampaknya mulai gugup saat perannya dalam kasus penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dan mesjidnya ini terungkap ke permukaan.

Tapi bukan karena alasan itu saya menyuarakan penolakan terhadap keputusan MK ini, saya menolak karena ini karena keputusan semacam ini adalah sebuah bentuk penjajahan, keputusan semacam ini adalah satu bentuk kelakuan tiran yang menindas peradaban.

Saya menolak ini dengan harapan penolakan saya ini akan memicu lebih banyak penolakan lagi dari berbagai kalangan.

Pada kasus Prita kita melihat KOMNAS HAM sudah menyatakan dukungan pada Prita yang menjadi korban, demikian juga beberapa LSM. Tapi itu semua tidak cukup, kita butuh kekuatan yang lebih besar untuk melawan tiran dan penindasan.

Pemerintah, para politisi dan anggota parlemen terpilih, para calon presiden dan anggota tim suksesnya sama sekali tidak bisa diharapkan untuk memperjuangkan hal semacam ini, urusan tai burung yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan mereka.

Di negara ini, untuk membuat sebuah perubahan selalu dibutuhkan kekuatan besar yang berasal dari bawah. Seperti yang sudah-sudah, berdasarkan pengalaman, segala bentuk ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di negara ini selalu hanya bisa diubah dengan upaya-upaya unjuk kekuatan di luar sistem. Di negara ini yang berhasil menumbangkan tiran selalu adalah kekuatan di luar sistem, bukan hukum, pemerintahan atau parlemen.

Dengan terus menyuarakan penolakan ini dan terus menuliskan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di media internet adalah sebuah usaha kecil saya untuk ikut masuk kedalam kekuatan besar untuk melawan penindasan itu. Soal orang lain mau ikut melawan atau cuma jadi penonton saja itu adalah hak mereka, saya tidak bisa memaksa.

Yang terpenting bagi saya adalah; saya sudah melakukan apa yang harus saya lakukan sebagai MANUSIA MERDEKA.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Tidak ada komentar: