Rabu, 01 Juli 2009

Final Copa dan Carut Marut Sepakbola Indonesia

Jarang-jarang saya menyaksikan pertandingan sepakbola Indonesia di televisi. Tapi beberapa waktu yang lalu saya melakukannya, saya menonton final Copa Indonesia yang mempertemukan Sriwijaya FC melawan Persipura yang merupakan juara Liga Super Indonesia. Tidak disangka pertandingan dua tim sepakbola ini berlangsung seru dengan Sriwijaya FC lebih banyak menekan dengan sesekali dibalas oleh Persipura dengan sengatan serangan balasan yang cukup mematikan.

Sayangnya dalam pertandingan yang dilangsungkan di stadion Jakabaring Palembang ini wasit kurang bisa bersikap netral, meskipun tidak kentara, tapi beberapa kali terlihat keputusan wasit merugikan kubu Persipura. Misalnya seperti ketika Ernest jeremiah dijatuhkan di kotak penalti. Wasit tidak memberikan hukuman pada Sriwijaya. Kemudian ketika di penghujung babak pertama Persipura mendapat tendangan pojok, tanpa menunggu tuntasnya prosesi tendangan pojok, wasit langsung meniup peluit ketika bola yang ditendang pemain Persipura mengenai kepala seorang pemain Persipura yang lain.

Babak kedua pertandingan berlangsung seru, Boaz Salossa pemain sensasional milik Persipura yang wajahnya sekilas mirip pemain Barcelona Thierry Henry, beberapa kali menunjukkan kualitasnya sebagai striker yang mungkin adalah yang terbaik di negeri ini. Pada babak ini serangan masih berimbang tapi beberapa kali para pemain persipura membahayakan gawang Sriwijaya FC, tapi tidak sampai menghasilkan gol entah itu karena dimentahkan oleh barisan belakang Sriwijaya FC atau ditangkap oleh Kiper Ferry Rotinsulu.

Dalam sebuah serangan dari sisi kanan pertahanan Persipura, Nasuha pemain Sriwijaya melepaskan umpan lambung ke kotak penalti, di sana sudah menunggu dua orang pemain Sriwijaya yang ditempel ketat oleh bek-bek Persipura. Dalam pengawalan ketat itu, Obiora salah seorang pemain asing milik Sriwijaya masih bisa melompat tinggi mengalahkan bek Persipura yang menempelnya, menanduk bola umpan lambung itu dan menempatkannya di sisi bagian kiri gawang Persipura tanpa bisa dihadang oleh Jendry Pitoy, mantan penjaga gawang utama Timnas Indonesia yang berasal dari Sulawesi Utara. 1-0 untuk Sriwijaya.

Ketinggalan satu gol, Persipura seolah tersentak, serangan demi serangan dibangun oleh persipura secara bergelombang. Dalam sebuah serangan Ian Kabes masuk ke kotak Penalti Sriwijaya dan dihadang oleh beberapa bek Sriwijaya FC. Lalu entah karena pertimbangan apa saat ian Kabes menguasai bola, Ferry Rotinsulu kiper Sriwijaya FC yang seperti Jendry Pitoy juga berasal dari Sulawesi Utara maju berusaha merebut bola sambil menebas kaki Ian Kabes, tapi bola tidak berhasil dia kuasai malah mendekati kaki Ernest Jeremiah yang langsung melepaskan tendangan keras ke arah gawang Sriwijaya yang kosong karen ditinggal Ferry. Tendangan Ernest Jeremiah ditahan dengan tangan oleh seorang bek Sriwijaya. Jelas dua momen yang berdekatan ini seharusnya berbuah hukuman penalti buat Sriwijaya.

Tapi entah karena tidur atau alasan apa, Purwanto salah satu wasit terbaik di Indonesia yang memimpin pertandingan ini beserta hakim garis yang membantunya hanya memberikan tendangan pojok untuk Persipura. Pemain-pemain Persipura jelas meradang dan segera merubungi wasit. Tapi Purwanto tegas pada keputusannya. Ofisial Persipura di pinggir lapangan terlihat mencak-mencak dengan keputusan wasit. Alih-alih memberi penalti, Purwanto malah mengkartu ,erah Ernest jeremiah, pemain Persipura yang memprotes keras keputusannya. Lalu, entah siapa yang memulai tiba-tiba terlihat satu persatu pemain persipura meninggalkan lapangan dan masuk ke ruang ganti. Pertandingan seru dengan atmosfer luar biasa yang tersaji selama 64 menit tadipun berubah menjadi 'garing'.

Tidak seperti pertandingan di luar negeri yang jika terjadi hal seperti itu, penyelenggara pertandingan langsung bertindak tegas memberikan kekalahan W.O bagi tim yang meninggalkan lapangan. Pada pertandingan ini tidak demikian, terjadi tarik ulur yang panjang.

Tapi persipura tidak juga kunjung keluar. Hal ini bisa dimaklumi sebab dengan situasi ini setelah mogok selama satu Jam lebih, jelas tidak mungkin Persipura mau kembali ke lapangan, secara moral mereka sudah jatuh, motivasi dan semangat tempur pemainpun pasti sudah menguap. Kalaupun mereka kembali turun ke lapangan mereka akan bermain tanpa jiwa dan malah akan lebih memalukan dan menjatuhkan harga diri mereka.

Di layar televisi Muhammad Al hadad, pelatih Deltras yang menjadi komentator menyalahkan pelatih Persipura Jacksen F. Tiago atas kejadian ini, entah pendapat Al Hadad itu objektif atau karena dia punya sentimen pribadi terhadap jacksen yang dulu menggantikannya sebagai pelatih di persebaya yang justru setelah ditangani Jacksen berhasil menjadi Juara Liga Indonesia. Komentator lain menyamakan apa yang terjadi dengan di luar negeri yang jika wasit berbuat kesalahan pemain yang bertanding bersikap dewasa dengan tetap melanjutkan pertandingan. Mereka juga menyesalkan PSSI yang pejabat terasnya hadir di sana tidak bisa bertindak tegas dengan langsung memberikan kemenangan W.O bagi Sriwijaya.

Menurut saya, masalah yang terlihat di lapangan saat final Copa Indonesia itu tidaklah sesederhana yang terlihat. Ketika Persipura memutuskan meninggalkan lapangan saat terjadi insiden tersebut, itupun bukanlah keputusan yang dibuat akibat dari peristiwa sesaat yang terjadi sebelumnya. Apa yang dilakukan Persipura adalah puncak kekesalan dari carut-marutnya organisasi sepakbola Indonesia.

Sebelum pertandingan final Copa Indonesia ini dilaksanakan di Stadion Jakabaring Palembang, sudah banyak pihak yang mengkritik keputusan PSSI yang memilih kandang Sriwijaya FC tersebut sebagai venue partai final. Keputusan PSSI untuk memilih tempat ini dikhawatirkan akan membuat wasit yang memimpin pertandingan berpihak kepada tuan rumah.

Jika pertandingan Copa Indonesia ini terjadi di liga mapan eropa, semacam Inggris atau Italia, kekhawatiran seperti ini tidak perlu terjadi karena meskipun wasit sering berbuat kesalahan para pemain dan juga petinggi klub tahu wasit tidak ada niat memihak. Memang bahkan di eropapun keberpihakan wasit pada salah satu tim sering terjadi, salah satunya yang terjadi pada Juventus di Liga Italia. Hal yang membuat saya benci Juventus sampai hari ini. Tapi yang terjadi disana otoritas Liga Italia kemudian bertindak tegas terhadap Juventus ketika kasus ini terbongkar.

Ini yang tidak terjadi di Indonesia, di sini masalah keberpihakan wasit sudah jadi lagu lama dan tidak pernah mendapat perhatian dari PSSI. Keberpihakan wasit pada tuan rumah adalah cerita usang.

Saya teringat pada sekitar tahun 1993, ketika saya bermain sebagai penjaga gawang tim Cremona 92, sebutan untuk tim Sipil 92 angkatan saya di fakultas teknik Unsyiah. Waktu itu tim kami akan mengikuti kejuaraan Piston Cup. Kejuaraan sepakbola antar jurusan antar angkatan di fakultas teknik Unsyiah tempat saya kuliah.

Karena panitia hanya mampu menyewa wasit dan tidak mampu menyewa hakim garis profesional untuk kejuaraan itu maka yang bertugas untuk menjadi hakim garis dalam kejuaraan itu adalah kami sendiri para pemain yang bertanding dalam kejuaraan. Untuk itu panitia mendatangkan seorang wasit dari PSSI Aceh untuk memberi pelatihan pada kami.

Dalam pelatihan itu, si wasit dari PSSI Aceh ini membeberkan apa yang terjadi dalam perwasitan Indonesia yang memang selalu memihak pada tuan rumah. Masih menurut bapak ini, tiap tim yang berlaga di divisi utama (saat itu belum ada liga super) memiliki wasit sendiri yang akan membela tim tersebut jika pertandingan dilaksanakan dikandang tim yang berlaga. Untuk Persiraja tim asal Banda Aceh yang berlaga di divisi utama, bapak itu menyebutkan nama seorang wasit asal Bengkulu (gara-gara UU ITE saya jadi kurang nyaman menyebut nama) sebagai wasit yang menjadi 'milik' Persiraja . Menurut Bapak ini Persiraja memiliki alokasi dana khusus untuk membiayai sang wasit asal Bengkulu ini.

Apa yang terjadi dengan persiraja dan wasit asal Bengkulu tersebut saya yakin pasti juga dialami semua tim yang berlaga di Liga Indonesia. Karena itulah dalam setiap pertandingan di divisi utama liga Indonesia, hampir tidak terjadi sebuah tim tuan rumah menderita kekalahan.

Persipura yang berlaga di final Copa beberapa waktu yang lalupun tentu sangat paham akan hal ini. Apalagi faktanya Purwanto, wasit yang memimpin final sebelumnya juga pernah memimpin partai Copa di stadion yang sama antara Sriwijaya melawan PSMS yang juga berakhir dengan kekalahan W.O untuk PSMS karena meninggalkan lapangan sebab tidak puas dengan keputusan Purwanto yang menguntungkan Sriwijaya. Fakta-fakta tersebut tentu membuat Persipura mengawali pertandingan dengan perasaan akan dikerjai.

Sebelum pertandingan, saya yakin Persipura tentu sudah lebih dulu memprotes pemilihan tempat pertandingan, tapi kemudian pengurus PSSI meyakinkan Persipura kalau pertandingan akan berjalan netral dan akan dipimpin oleh wasit yang tidak memihak. Tapi saat pertandingan berlangsung, Persipura lalu merasakan adanya keputusan-keputusan yang merugikan pihak mereka, ditambah dengan tekanan kemasukan satu gol dan berpuncak pada insiden di menit ke 64 tersebut. Jadilah final Copa Indonesia yang disponsori Dji Sam Soe yang digelar secara spektakuler dengan menghadirkan kedahsyatan God Bless sebelum pemberian piala terasa hambar.

Setelah pertandingan tertunda sekitar satu jam di layar televisi, tampak Ketua PSSI Nurdin Halid yang notabene adalah mantan narapidana kasus korupsi didampingi Darsussalam Tabussala terlihat berwajah kusut dan gelisah. Dia mencoba membujuk Persipura untuk kembali bermain agar penonton tidak kecewa dan final ideal Copa Indonesia yang berlangsung seru tadi tidak berakhir anti klimaks dan mencoreng muka PSSI sebagai otoritas tertinggi sepakbola Indonesia. Tapi karena memang sejak awal tidak pernah konsisten dan plintat-plintut dalam menegakkan peraturan, yang terlihat jelas di televisi justru adalah PSSI yang sama sekali tidak memiliki wibawa.

Yang lucu, kemudian ketika Persipura tidak kunjung keluar Nurdin Halid mulai berbicara tentang Sanksi, bukannya lebih dulu bercermin memperhatikan baik-baik coreng moreng di muka PSSI.

Kita tentu tidak lupa bagaimana saat Persipura menjuarai Ligina saat Nurdin Halid mendekam di dalam penjara. Tim dari ujung timur Indonesia ini gagal mengikuti Liga Champion Asia karena PSSI alpa mendaftarkan mereka. Kalau hal sememalukan ini terjadi di liga sekelas Liga Italia atau Inggris sudah pasti ketua asosiasi Sepakbolanya sudah dipaksa mengundurkan diri oleh anggotanya. Tapi di Indonesia yang pengurus daerah PSSI yang memiliki suara untuk memilih ketua umum dari dulu tetap diisi orang-orang lama, hal seperti itu jelas mustahil terjadi. Oleh PSSI masalah ini sudah dianggap selesai dengan mengkambinghitamkan Dali Tahir yang menjabat urusan luar negeri.

Seandainya kali ini Persipura kembali gagal mengikuti Liga Champion Asia gara-gara diberi sanksi oleh PSSI, saya akan sangat maklum jika Persipura memilih tidak ikut kompetisi ligina atau seperti almarhum Bandung Raya malah memilih membubarkan diri.

Begitulah carut marutnya organisasi sepak bola negeri ini.

Kalau timnas Indonesia dari zaman dulu yang merupakan kekuatan yang cukup diperhitungkan di Asia, lalu turun menjadi raja Asia Tenggara, tapi sekarang malah untuk bersaing di tingkat regional inipun megap-megap bersaing dengan Thailand, Singapura dan Vietnam, negara yang baru saja lepas dari konflik berkepanjangan. Itu bukanlah karena di negeri yang berpenduduk hampir 240 juta ini tidak ada pemain berbakat. Melihat permainan Ambrizal, Tony Sucipto, Imanuel Wanggai, Boaz Salossa, Ian Kabes atau Christian Worabai di final Copa kemarin. Jelas yang salah bukanlah pemain, tapi PSSI-lah yang menjadi induk olah raga paling populer di negeri ini yang harus direformasi.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Tidak ada komentar: