Minggu, 19 Juli 2009

Indahnya Masa Kanak-kanak Tanpa Semai Kebencian

Beberapa waktu yang lalu menjelang akhir masa sekolah tahun ajaran ini. Sekolah Montessori, tempat Matahari Kecil anak saya bersekolah, mengadakan International Day, sebuah acara yang merupakan tradisi tahunan di sekolah ini.

Dalam acara International Day, di sekolah yang siswanya berasal dari berbagai pelosok planet biru yang kita diami ini, para siswa sekolah tersebut tampil dalam kostum khas daerah/negara asalnya dan memperkenalkan daerah/negara asalnya dengan bahasa nasional masing-masing.

Matahari Kecil anak saya tentu saja tampil dengan kostum Kerawang Gayo, pakaian berbahan kain berwarna hitam yang dihiasi bordiran bermotif kerawang yang merupakan pakaian khas daerah kami, pakaian khas yang belakangan telah banyak dikaburkan identitasnya menjadi Kerawang Aceh oleh suku mayoritas di daerah kami. Teman anak saya yang berasal Denmark, tampil dengan Kostum viking lengkap dengan topi bertanduk dan pedang khas mereka, seorang siswa asal Selandia Baru tampil dengan tato khas suku Maori dan siswa-siswa lain juga tampil dengan ciri khasnya masing-masing.

Kami para orang tua diminta membawa makanan yang merupakan ciri khas daerah/negara masing-masing. Matahari kecil anak saya yang orang Gayo membawa masakan ikan mujair pengat, sementara Karuna temannya yang orang jepang membawa onigiri dan berbagai masakan jepang lainnya anak-anak lainpun membawa makanan khas daerah/negaranya masing-masing.

International Day di Montessori ini adalah salah satu dari sekian banyak konsep di Montessori yang sangat saya suka. Melalui acara ini anak-anak diajak untuk tidak melupakan akarnya sambil di saat yang sama diajarkan untuk menghargai keberagaman dengan cara menghormati budaya orang lain yang berbeda dari kebudayaan yang mereka punya.

Acara International Day ini diawali dengan kemunculan masing-masing delegasi siswa di atas pentas. Anak-anak ini memperkenalkan negara asal mereka masing-masing dengan bahasa nasional masing-masing pula. Diawali dengan delegasi Amerika dan diakhiri dengan Kazakhtan.

Setiap kali anak-anak ini memperkenalkan diri dan negaranya dengan penuh rasa bangga, anak-anak lain dan para orang tua menyambutnya dengan tepuk tangan yang membahana.

Selesai acara perkenalan, acara dilanjutkan dengan penampilan anak-anak Montessori dari masing-masing tingkatan mulai dari anak-anak Pre-School yang masih terlihat lucu dan menggemaskan dilanjutkan dengan penampilan anak-anak Lower Elementery yang baru mulai belajar memainkan alat musik dan diakhiri dengan penampilan anak-anak Higher-Elementery yang sudah mulai sempurna baik dalam memainkan alat musik, menyanyi maupun menari.

Qien Mattane Lao, matahari kecil saya, bersama anak-anak Pre-School lain yang satu tingkatan dengannya memulai konser ini dengan menyanyikan lagu ‘Ouvrez La Cage aux Oiseau’, lagu berbahasa Perancis karangan Pierre Perret yang melalui liriknya mengajak pendengarnya untuk melepaskan burung-burung kecil yang malang yang terpenjara di dalam sangkar oleh penggemar burung yang egois ingin menikmati sendiri merdunya kicauan dan indahnya warna-warni bulu burung peliharaannya.

Begini kira-kira arti lirik lagu ini jika diartikan ke dalam bahasa melayu.

Buka buka sangkar burungnya
Perhatikanlah (ketika) burung-burung itu mulai terbang betapa indahnya
Anak-anak yang kalian lihat
(Mereka sebenarnya seperti) Burung-burung Kecil yang terpenjara
(Karena itu) Bukalah pintu sangkarnya dan biarkanlah mereka bebas merdeka

Lirik lagu ini adalah sebuah metafora sekaligus kritik dan sentilan bagi kebanyakan orang tua yang gemar’memenjara’ anak-anak mereka dalam ’sangkar’ keinginan dan ambisi sang orang tua.

Di permukaan planet ini, orang tua sejenis ini dari dulu sampai sekarang jumlahnya banyak sekali. Jumlah orang tua ’spesies’ ini bertambah dengan jumlah yang semakin menjadi-jadi di masa modern dengan tekanan dan persaingan hidup yang semakin ketat seperti sekarang ini.

Dulu orang-orang tua semacam ini sering ‘memenjara’ anak-anak mereka dengan cara menakut-nakuti anak-anak dengan cerita-cerita semacam ‘Malin Kundang’ dan ‘Sampuraga’. Di zaman sekarang orang tua semacam ini ‘memenjara’ anak-anak mereka dengan cara memaksa anak-anak untuk mengikuti berbagai kegiatan yang menurut para orang tua ini akan menjadi bekal kehidupan anak-anak tersebut di masa depan, diantaranya dengan memaksakan anak untuk mengikuti berbagai les dan kursus yang kadang tidak disukai oleh anak-anak itu.

Begitu banyaknya orang tua jenis ini di negara ini sekarang, sampai-sampai Departemen pendidikan Indonesia melalui menteri pendidikannya yang cerdas dan bergelar Professor itupun memformalkan ‘penyiksaan’ terhadap anak-anak ini dalam sebuah kurikulum nasional yang ‘kejam’ dan tidak ‘berperikemanusiaan’. Begitu tinggi dan ‘istimewanya’ standar kurikulum bikinan menteri pendidikan yang profesor ini sampai-sampai sekarang beberapa sekolah dasar mensyaratkan kemampuan membaca dan berhitung bagi calon siswanya yang akan masuk ke kelas 1 di sekolah tersebut, sehingga sekarang banyak orang tua yang ‘peduli’ pada masa depan anak-anak mereka yang memaksa anak-anak yang belum genap berumur 6 tahun untuk belajar membaca dan berhitung, padahal seringkali secara kognitif anak-anak itu belum siap untuk mendapatkan materi seperti itu.

Kalau orang tua-orang tua itu mengatakan apa yang mereka lakukan itu adalah demi masa depan anak-anak mereka, saya akan bertanya, siapa sih yang tahu masa depan itu sebenarnya seperti apa?. Kita tidak pernah bisa memperkirakan dengan tepat. Contohnya di waktu saya kecil, ketika berbicara tentang profesi orang tua hanya bisa membayangkan, Insinyur, Dokter, Pilot dan pekerjaan-pekerjaan prestisius lain sesuai dengan situasi zaman itu.

Orang tua saya dan juga saya sendiri misalnya tidak pernah berpikir kalau di masa saya dewasa akan ada profesi yang sangat menjanjikan yang bernama entah itu ahli multimedia, MC, Event Organizer, Motivator bahkan profesi penyelenggara perjalanan wisata, seperti yang saya jalani saat ini.

Anak-anak justru akan mudah menemukan jalannya di masa depan jika di masa kanak-kanaknya dibiarkan bebas melepaskan kreatifitas dan kegembiraan. Contoh dari anak-anak yang dibesarkan dengan cara seperti ini yang sukses di masa dewasa adalah pemilik mesin pencari ‘Google’.

Selesai menyanyikan ‘Ouvrez La Cage aux Oiseau’, Mattane Lao anak saya dan anak-anak Pre-School lainnya menyanyikan sebuah lagu berbahasa Italia dan dilanjutkan dengan lagu ‘Menanam Jagung’ yang sekaligus merupakan penampilan terakhir mereka di panggung.

Selesai menyanyikan lagu ‘Menanam Jagung’ anak-anak Pre-School turun dari pentas dan menjadi penonton, tempat mereka di panggung digantikan oleh anak-anak Lower-Elementery. Anak-anak di tingkatan ini sudah mampu memperlihatkan keterampilan mereka memainkan alat musik, meskipun belum terlalu istimewa. Pada penampilan mereka kali inipun, konsepnya tetap mengusung ide “berbeda tapi saling menghargai”. Pada sesi ini di sela-sela permainan biola yang mereka mainkan bersama-sama, dua orang murid Lower-Elementery asal Cina menyanyikan lagu ‘Twinkle Twinkle Little Star’, lagu terkenal gubahan Mozart seorang komposer besar asal Austria. Kedua murid perempuan dari tingkat Lower-Elementary ini menyanyikan lagu tersebut dalam bahasa Cina.

Puncak acara pertunjukan kesenian ini dipungkasi dengan penampilan anak-anak Upper-Elementery yang merupakan prototype ‘produk’ sistem pendidikan Montessori. Melalui anak-anak Upper Elementary ini kita sudah bisa memperkirakan seperti apa nantinya anak-anak ini di masa dewasanya.

Pada sesi terakhir ini terlihat penampilan anak-anak Upper-Elementary yang rata-rata berusia 10 tahun ini begitu mengagumkan untuk usianya. Mereka memainkan biola dengan baik, anak-anak yang berasal dari berbagai negara dengan warna kulit, mata dan rambut yang berwarna-warni ini menyanyikan lagu Morning is Broken-nya Cat Steven dengan bahasa Inggris yang fasih kemudian dilanjutkan dengan lagu ‘Waktu Ku Kecil’ dalam bahasa melayu dengan aksen Indonesia yang sempurna, yang sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan aksen terkenal milik pahlawan saya CINTA LAURA yang sekarang menjadi ikon EF, sebuah lembaga pendidikan Bahasa Inggris asal Swedia.

Penampilan anak-anak Upper-Elementery yang sekaligus merupakan penampilan terakhir dalam acara kesenian ini diakhiri dengan pertunjukan tari ‘Janger’, sebuah tari tradisional dari Bali yang mengisahkan tentang persahabatan antar muda-mudi. Tarian inipun ditarikan dengan sempurna oleh anak-anak Upper-Elementery yang masih mengenakan pakaian nasionalnya masing-masing.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan makan-makan, anak-anak dan orang tua saling bertukar makanan yang merupakan ciri khas dari daerah/negara masing-masing sambil tetap menghormati pantangan-pantangan yang diyakini dalam masing-masing kepercayaan.

Saat acara makan-makan, anak-anak yang berasal beragam latar belakang tapi sama-sama penghuni planet biru berair yang kita namakan Bumi inipun berbaur dan bercanda dengan gembira. Jelas sekali terlihat kalau anak-anak ini sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan manusia berdasarkan tinggi rendahnya derajat yang dinilai dari latar belakang budaya, agama dan kepercayaan apalagi warna kulit.

Ouvrez ouvrez la cage aux oiseaux
Regardez-les s’envoler c’est beau
Les enfants si vous voyez
Des p’tits oiseaux prisonniers
Ouvrez-leur la porte vers la liberté

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: