Minggu, 07 Juni 2009

Besarnya Alam, Sempurnanya Sang Pencipta dan Terbatasnya Manusia

Hal yang paling saya suka dalam pekerjaan saya di bidang pariwisata ini adalah seringnya saya bertemu dengan orang baru yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman menarik yang memberi saya kesempatan untuk berdiskusi tentang tema-tema menarik.

Selama ini, kebanyakan klien saya adalah para pensiunan yang tidak lagi bekerja yang sedang menikmati masa tua. Mereka ini seringkali di masa tuanya mendalami hal-hal yang merupakan ketertarikannya di masa muda tapi tidak sempat dijalani karena banyaknya waktu yang tersita oleh pekerjaan mereka.

Jika beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan Jean Panis, seorang petani yang gila terbang, sekarang saya bertemu dengan Jean Pierre Bourdery, seorang pensiunan dokter spesialis anestesi asal Bourdeaux yang di masa pensiunnya menaruh minat besar dalam bidang serangga. Sebagai ahli anestesi Jean-Pierre sangat tertarik pada sistem syaraf serangga karena berkaitan dengan pekerjaannya sebagai ahli anestesi dia banyak berurusan dengan sistem syaraf.

Menurut Jean Pierre, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana tapi secara ajaib sistem syaraf serangga yang dia temui ternyata banyak kemiripan fungsi dengan sistem syaraf manusia.

Jean Pierre sangat senang ketika saya tertarik pada ceritanya karena menurutnya tidak banyak orang yang tertarik mendengarkan cerita tentang hobinya tersebut. Setiap ada waktu luang di sela-sela kegiatan wisata, Jean Pierre memanfaatkannya untuk bercerita dengan saya, bahkan ketika di dalam bis yang membawa kami dari Jogja menuju Ambarawa, ketika guide kami yang bernama Ibu Agatha dengan serius bercerita tentang hal-hal menarik yang ditemui di sepanjang perjalanan, Jean Pierre memilih berdiskusi dengan saya.

Dari cerita soal serangga pembicaraan kami berkembang ke hal yang lebih luas, mengenai lingkungan, manusia sampai ke hakikat semesta dan kisah terbentuknya alam. Tentang teori-teori baru yang berkembang belakangan untuk mengukur luasnya semesta, mengenai lubang hitam dan juga ide-ide dari penulis terkenal Stephen Hawking juga Fred Hoyle, ilmuan astronomi terkenal yang meneliti tentang proses pembentukan planet-planet.

Meskipun kami berdua tidak memahami teorinya secara detail, kami membicarakan tentang batas alam semesta dalam kerangka teori Relativitas Umum (General Relativity Theory) yang diperkenalkan oleh Einstein, yang memperkirakan secara ekperimental bahwa ruang semesta itu melengkung dalam dimensi ke-4 dan tertutup. Tapi selain perkiraan alam semesta yang berada dalam dimensi ke-4 itu, Jean-Pierre mengatakan kalau sekarang juga sudah ada usaha dari beberapa ilmuwan yang juga menggunakan General Relativity Theory yang menghitung luas semesta dengan perhitungan x,y,z ala dimensi tiga.

Kepada Jean Pierre saya mengatakan pikiran saya tentang anehnya semesta ini yang sebegitu luas tapi hanya memberi tempat pada satu noktah kecil di tepian galaksi bima sakti untuk menjadi tempat kehidupan berkembang. Tapi menurut Jean Pierre, bisa jadi faktanya memang seperti itu, tapi lebih besar lagi kemungkinan bahwa itu karena ketidak tahuan kita. Kita tidak tahu karena kita hanya bisa berpikir sebatas realitas yang bisa kita cerna menurut perangkat panca indera dan mental yang kita punya. Gambaran yang kita punya dalam kesadaran kita akan dunia realitas secara umum adalah semata-mata rekonstruksi dari semua yang kita tangkap dengan panca-indera dengan logika kita sebagai alat rekonstruksi, sehingga kita bisa memahami saling keberhubungannya (hukum-hukum alam) dan juga sebab-sebabnya (hukum kausalitas), dan menjadi puncak dari semuanya, mengontrolnya.

Di luar itu, semua serba spekulasi. Soal kehidupan misalnya, kita hanya mengenal kehidupan berbasis karbon, karena memang kehidupan jenis itu yang berkembang di planet yang kita diami ini. Sementara di tempat lain bisa jadi berkembang jenis kehidupan yang berbasis unsur lain, katakan berbasis belerang (sulfur) misalnya. Kita tidak tahu.

Mengenai alam dan kehidupan segala isi dan permasalahannya ini, belakangan saya melihat banyak orang dan malah seperti menjadi trend untuk memhaminya bukan berdasarkan pengamatan dengan panca indera tapi berdasarkan pada teks-teks kitab suci. Trend ini terutama berkembang di kalangan penganut dua agama samawi (abrahamic) yaitu Islam dan Kristen.

Saya sendiri adalah orang Islam yang terlahir sebagai orang Gayo yang merupakan bagian dari Aceh.

Sebagaimana orang Aceh lainnya, cara kami di Gayo memandang keislaman berbeda dengan cara pandang banyak suku-suku lain di Nusantara dalam memandang keislaman mereka. Kalau beberapa suku di Nusantara yang beragama Islam bisa menolerir ada penganut agama yang berbeda dalam satu keluarga atau bisa menerima pernikahan beda agama. Tidak demikian halnya dengan kami di Aceh, bagi kami orang Aceh, Islam bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Di Aceh kami merasa menjadi Islam itu bukanlah sebuah pilihan, tapi merupakan takdir yang dibawa lahir. Kami orang Aceh sama sekali tidak bisa membayangkan mengganti agama yang kami anut sebagai mana kami tidak mungkin bisa membayangkan mengganti orang tua yang melahirkan kami.

Karena begitu melekatnya Islam dengan identitas kami inilah, kami orang Aceh bisa menolerir berbagai bentuk hujatan dan hinaan terhadap diri kami dengan tingkat kesabaran dan daya tahan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi. Tapi kami orang Aceh sama sekali tidak bisa menerima perkataan bahwa KAMI BUKAN ISLAM. Kami sama sekali tidak bisa menerima omongan itu, tidak peduli siapapun yang mengatakannya, termasuk orang-orang berjenggot yang karena memahami Islam ala wahabi dan bersikap ala kaum wahabi merasa diri lebih Islam dari kami.

Orang-orang Non-Aceh atau orang yang secara genetik Aceh tapi tidak lahir di Aceh dan tidak tumbuh dalam nilai-nilai keacehan, terutama orang-orang yang menganut pandangan bahwa sesuatu agama itu murni sebagai pilihan pribadi, banyak yang tidak memahami karakter kami ini. Mereka tidak bisa mengerti jika melihat kami bereaksi sangat keras terhadap orang yang berani mengusik identitas keislaman kami.

Karena itulah dulu banyak orang non-Aceh dan orang Aceh yang tidak pernah hidup dengan nilai-nilai Aceh tidak bisa memahami kemarahan saya saat ada seorang simpatisan PKS menuduh saya sebagai musuh Islam dan agen Yahudi. Sebaliknya orang Aceh yang dibesarkan di Aceh dan dengan nilai-nilai keacehan sangat memahami alasan kemarahan saya.

Tapi meskipun Islam melekat pada identitas kami dan kami semua tidak bisa menerima cap BUKAN ISLAM dilekatkan pada diri kami, cara kami di Aceh dalam memandang dan memahami Islam sebagai sebuah agama sangat bervariasi.

Di Aceh kita bisa menemui berbagai macam karakter penganut Islam, mulai dari yang memahami dan mempraktekkan Islam secara ketat ala kaum wahabi yang sama sekali tidak menolerir segala bentuk praktek keagamaan yang bercampur dengan praktek-praktek kegamaan pra-islam seperti kenduri, peusijuek dan lain sebagainya, yang agak moderat yang ketat dalam berbagai hal tapi masih menerima praktek kenduri dan peusijuek sampai kepada yang masih mempraktekkan perdukunan dan upacara-upacara berbau animisme ala masyarakat pra-islam yang memberi sesajen pada benda-benda tertentu seperti pohon besar, kuburan dan batu yang dianggap keramat.

Saya sendiri mengenal Islam pertama kali melalui almarhum kakek saya yang bernama Tgk. Ashaluddin. Seorang ulama yang cukup dikenal di tempat kelahiran saya.
Almarhum kakek saya fasih berbahasa arab dan sangat gemar membaca Al Qur'an dan selalu terkagum-kagum dengan bahasa dan informasi yang ada dalam kitab suci yang sangat beliau hormati itu. Tapi satu hal yang selalu saya ingat dari kakek saya adalah beliau sama sekali tidak pernah berani memahami Al Qur'an secara literer apalagi menggunakan ayat-ayat suci dari Al Qur'an yang sangat beliau kagumi itu sebagai bahan argumen dalam berdebat. Kakek saya juga suka menggubah Sya'ir Gayo : Sa'er) dan sama seperti dalam berdebat, dalam menggubah syairpun kakek saya tidak pernah berani menggunakan ayat-ayat suci Al Qur'an karena beliau tahu beliau atau manusia manapun tidak akan pernah bisa menafsirkan Al Qur'an sesuai dengan maksud 'penulisnya'.

Kepada orang yang menanyakan soal sikapnya itu, kakek saya selalu mengatakan "Al Qur'an itu berisi ucapan sempurna dari yang maha sempurna yang hanya bisa dimengerti dengan tepat maknanya juga oleh yang maha sempurna, karena saya bukan yang maha sempurna ayat-ayat itu hanya bisa saya pahami sebatas kemampuan saya yang tidak sempurna".

Dulu saat kakek saya masih hidup, saya tidak pernah benar-benar memahami kata-kata kakek saya ini, tapi belakangan ketika informasi yang saya dapatkan semakin banyak saya mulai memahami alasan kakek saya.

Sekarang saya bisa memberikan contoh sederhana dari pemahaman kakek saya tentang relevannya kesenjangan pengetahuan dalam membuat kemungkinan salah tafsir.
Contoh sederhana itu adalah resep dokter.

Kalau seorang dokter menuliskan resepnya dengan benar (tidak diakal-akali dengan tulisan yang dijelek-jelekkan), semua orang yang bisa baca tulis bisa membaca resep tersebut. Tapi tidak semua orang paham apa makna dari kata-kata yang tertulis di resep tersebut, karena itulah perlu profesi apoteker, yang berguna untuk menterjemahkan resep tersebut, yang bisa memahami dengan persis apa yang dimaksud oleh dokter (yang bahkan dapat memahami dengan maksud resep tersebut dengan tepat ketika dokter menulisnya dengan tulisan cakar ayam) dan bisa memberikan obat yang kegunaannya tepat sesuai resep.

Contoh lain, seorang ahli kimia dapat dengan mudah berkomunikasi dengan sesama ahli kimia menggunakan berbagai istilah aneh yang sama-sama mereka pahami. Tapi kalau orang awam yang tidak mengerti istilah-istilah itu ikut-ikutan merasa mengerti hal itu bisa menjadi masalah dan malah bisa menimbulkan kekacauan, kalau si awam yang sok tau yang karena menurut persepsi awamnya merasa ada yang tidak beres langsung bertindak menyerang sumber ketidakberesan itu.

Contoh kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak mengerti tapi sok tau ini adalah heboh kasus Hydrolicic Acid atau Dihidrogen Monoksida yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan teh botol SOSRO. Mereka bereaksi begitu keras sampai menghujat pemerintah segala karena dianggap lalai mengawasi penggunaan Dihidrogen Monoksida sebagai bahan baku makanan. Padahal yang namanya Dihidrogen Monoksida itu sebenarnya tidak lain adalah Air Murni yang kita minum sehari-hari.

Dua contoh di atas adalah contoh antara manusia dengan manusia yang sama-sama makhluk, yang sama-sama tidak sempurna tapi bisa memiliki tingkat kesenjangan pengetahuan yang sangat berbeda dan bisa membuat kesalah pahaman akibat kesenjangan pengetahuan itu.

Kalau antar manusia saja bisa sangat berbeda memahami sebuah kata atau kalimat, apalagi dengan YANG MAHA SEMPURNA, bukankah kesombongan yang luar biasa besarnya namanya kalau ada MANUSIA yang untuk memahami pemikiran manusia lain yang pengetahuannya melebihi dirinya saja masih tergagap-gagap tapi dengan berani menggunakan perkataan YANG MAHA SEMPURNA sebagai bahan argumen untuk mendebat manusia lain?

Bukankah itu mempertuhankan diri namanya?

Al Qur'an saya percaya sebagai firman dari YANG MAHA SEMPURNA tapi karena tertulis dengan tulisan yang bisa dipahami manusia, kita bisa membacanya, kita bisa membacanya dengan bacaan yang benar karena ada ahli tajwid yang bisa membenarkan kesalahan ucapan kita, sebagaimana seorang ahli membaca tulisan bisa membaca resep dokter dengan benar.

Tapi untuk mengerti persis seperti apa maksud ayat-ayat yang SEMPURNA itu seperti maksud yang menurunkan firman itu JELAS dibutuhkan syarat bahwa yang membaca juga memiliki pengetahuan yang PERSIS sama soal materi yang dibicarakan dengan yang menurunkan firman. Seperti untuk yang bisa bisa mengerti PERSIS maksud resep dokter, yang dibutuhkan adalah seorang apoteker, bukan seorang yang ahli membaca tulisan tangan.

Dalam Al Qur'an, YANG MAHA SEMPURNA banyak menjelaskan soal diriNya, alam semesta dan juga manusia. Karena DIA adalah YANG MAHA SEMPURNA. Dalam bayangan saya, ketika YANG MAHA SEMPURNA berfirman menurunkan ayat-ayat itu DIA tentu tahu persis setiap detail firmannya. Tentang Alam misalnya, saya membayangkan ketika YANG MAHA SEMPURNA berfirman, DIA tahu persis jumlah bintang, jumlah galaksi luasnya semesta dan batas-batasannya sampai ke atom-atom terkecil penyusunnya dan jenis-jenis kehidupan yang berkembang di sana, kapan awal dan akhirnya bahkan sampai ke banyak hal lain yang tidak sanggup saya pikirkan karena perangkat untuk memikirkan itu tidak tersedia dalam diri saya.

Tapi apakah di planet ini ada manusia yang bisa mengerti persis maksud dari YANG MAHA SEMPURNA ketika berkata seperti itu?

Dari pembicaraan dengan Dr. Bourdery, saya bisa memahami betapa luasnya alam ini dan betapa sedikit yang kita ketahui dan betapa terbatasnya pengetahuan kita sebagai manusia dibandingkan dengan 'sesuatu' yang kita percaya telah menciptakannya sehingga sayapun sependapat dengan kakek saya bahwa TIDAK ADA SATUPUN MANUSIA YANG BISA MEMAHAMI AL QUR'AN PERSIS SAMA SEPERTI MAKSUD PENULISNYA yang dipercaya adalah 'sesuatu' yang sama dengan yang menciptakan alam semesta ini.

Karena itulah saya merasa tidaklah relevan seorang manusia mengutip ayat dari kitab suci untuk berdebat. Hakekat Tuhan sendiri bagi saya adalah sesuatu yang bersifat pribadi yang hanya bisa dihayati dari pengalaman rohani masing-masing individu manusia. Saya berpandangan begitu karena bagi saya YANG MAHA SEMPURNA itu tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan juga TRANSENDEN yang artinya diatas atau diluar kemampuan logika manusia.

Tapi sedikit sekali orang yang sependapat dengan saya dan banyak sekali orang-orang yang belajar dalil-dalil agama, yang mempelajari Al Qur'an lengkap sampai ke arti per khalimah, sejarah turunnya ayatnya, sejarah penafsirannya dan lain sebagainya lalu merasa sangat mengerti dengan maksud ayat-ayat itu lalu menjadikannya sebagai bahan argumen untuk memaksa manusia lain untuk mengikutinya, manusia lain yang menentang pendapat orang-orang yang belajar dan ahli dalam dalil-dalil agama ini dibuat seolah-olah menentang pendapat YANG MAHA SEMPURNA.

Seperti kekacauan yang timbul akibat orang sok tau yang tidak mengerti Dihidrogen Monoksida yang mempost cerita itu kemana-mana. Orang-orang sok tau yang merasa memahami perkataan YANG MAHA SEMPURNA persis sama seperti maksudNya juga menimbulkan kekacauan di mana-mana. Tapi skala kekacauan dan kerusakan yang ditimbulkannyapun bukan hanya sebatas kekacauan yang terjadi akibat kasus Teh Botol Sosro yang mengandung Dihidrogen Monoksida yang mengakibatkan penurunan volume penjualan Teh dalam kemasan botol tersebut.

Skala kerusakan yang ditimbulkan oleh kengototan orang-orang sok tau ini jauh lebih besar, orang-orang seperti ini telah membuat Islam turun ke titik terendah sepanjang sejarah peradabannya, bahkan menyebabkan banyak manusia kehilangan nyawa akibat kekejaman yang mengatasnamakan AGAMA.

Salah satu orang yang merasa mampu memahami perkataan YANG MAHA SEMPURNA persis sama seperti MaksudNya ini adalah IKHWANA MEHATDI KOBAT, orang Gayo yang tinggal di Medan yang dengan gagah berani mengutip ayat-ayat Al Qur'an dalam argumennya.

Meskipun dalam balasan ke blog saya Sang Ketua Dewan Pengurus Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia ini mengatakan dia beristighfar berulang-ulang ketika membaca balasan saya. Tapi dengan keberaniannya menggunakan ayat-ayat Al Qur'an yang merupakan firman dari YANG MAHA SEMPURNA sebagai dasar argumen tentang Manusia dan Bumi dan segala isinya, ketika menuliskan itu dan merasa apa yang dia tuliskan itulah kebenaran yang tak terbantahkan, maka secara tidak langsung, jelas saat itu IKHWANA MEHATDI KOBAT orang Gayo yang tinggal di Medan ini sedang merasa dirinya adalah sesuatu yang MAHA SEMPURNA juga.

Inilah yang saya sebut sebagai SYIRIK YANG NYATA.

Wassalam

Win Wan Nur

Jumat, 05 Juni 2009

Prita Mulyasari Vs tai Kucing Neolib dan Ekonomi Kerakyatan

Belakangan ini saya tidak terlalu mengikuti perkembangan berita terbaru, baik itu melalui koran atau televisi bahkan internet. Hal itu terjadi disamping karena belakangan ini berita di berbagai media dipenuhi cerita membosankan tentang kampanye para calon presiden yang sibuk berkutat di omong kosong neolib versus ekonomi kerakyatan, hal tersebut juga diakibatkan oleh padatnya jadwal pekerjaan saya. Sehingga ada banyak perkembangan terbaru yang terjadi di negeri ini tidak saya ketahui.

Tadi malam saya tidak bisa tidur karena kebanyakan minum kopi, jam 1.30 wib saya menghidupkan televisi. Kebetulan saat saya nyalakan, saluran televisi yang menyala adalah TV one yang sedang menyiarkan perdebatan antar tim sukses calon presiden tentang neolib versus ekonomi kerakyatan yang membosankan itu.
Dalam acara ini dipandu oleh Alfito Deanova ini, saya lihat gaya para anggota tim sukses itu menyampaikan gagasan mereka, tampak sekali mereka berusaha keras supaya terlihat seolah-olah mereka paham sekali yang namanya neolib dan ekonomi kerakyatan itu dan paham betul segala konsekwensinya bagi masyarakat jika kebijakan itu diterapkan. Seolah-olah mereka seperti sedang berdebat dalam pemilu amerika yang kita saksikan beberapa waktu yang lalu, yang mempertarungkan dua gagasan ekstrim antara konservatif melawan liberal, dimana kedua kubu benar-benar memiliki platform gagasan yang jelas dan lengkap dengan segala strategi untuk menerapkan gagasan dalam kampanye tersebut di dunia nyata seandainya salah satu dari kandidat tersebut terpilih.

Tapi yang saya lihat dalam tayangan TV One ini sangat berbeda. Di sini, ketika mereka berbicara tentang neolib versus ekonomi kerakyatan, kentara sekali terlihat kalau semua anggota tim sukses ini lebih banyak beretorika untuk menearik simpati calon pemilih tanpa mereka sendiri benar-benar menguasai materi yang sedang mereka omongkan. Sehingga yang terlihat kentara, perdebatan ini tidak lain hanyalah bagian dari strategi untuk saling memojokkan antar kandidat yang ujung-ujungnya kita tau persis tidak lain hanyalah untuk mengantarkan jago mereka ke empuknya kursi presiden untuk kemudian memberi peluang bagi para tim sukses itu untuk ikut menikmati empuknya kursi kekuasaan juga. Setelah jadi presiden nanti kebijakan akan seperti apa yang akan diterapkan, ya nanti dibicarakan lagi tergantung bagaimana hasil 'dagang sapi'.

Sementara bagi kita masyarakat luas, sebenarnya siapapun yang menjadi presiden dari ketiga calon itu dampaknya terhadap kehidupan kita sehari-hari tidak akan terlalu banyak berbeda.

Malas melihat segala omong kosong itu saya memindahkan channel televisi dan menyasar ke TV-7. Di sana ditayangkan sebuah berita yang jauh lebih menggetarkan dan membawa pengaruh besar bagi masa depan kehidupan dan kemerdekaan bernegara ketimbang segala macam tai kucing ekonomi neolib versus ekonomi kerakyatan yang diomongkan dengan mulut berbuih-buih oleh para tim sukses calon presiden itu.

Di TV 7 disiarkan sebuah berita tentang seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyawati yang dipenjara karena menuliskan pengalaman buruknya ketika dirawat di Omny Internasional, sebuah rumah sakit Internasional di Tangerang. Di layar kaca saya lihat seorang blogger yang namanya ditulis Andi Piliang tapi melihat wajahnya saya yakin itu adalah Iwan Piliang, salah satu dedengkot Superkoran. Piliang menyatakan kegusaran dan keprihatinannya atas kasus yang menimpa Prita ini.

Sebenarnya terus terang saya agak grogi menuliskan nama rumah sakit ini karena saya khawatir jangan-jangan penulisan nama rumah sakit ini dalam tulisan saya nanti diterjemahkan oleh kuasa hukum mereka yang handal sebagai bentuk pencemaran nama baik juga. Sehingga akibatnya sayapun akan masuk penjara seperti Prita dan anak saya jadi tidak dapat meneruskan sekolahnya akibat bapaknya tidak dapat mencari nafkah karena mendekam di penjara.

Tapi setelah saya pikir lagi, nama rumah sakit ini memang harus dituliskan karena apa yang telah dilakukan oleh rumah sakit ini adalah sebuah bentuk PENJAJAHAN. Kalau hal seperti yang dilakukan oleh Rumah sakit Omny Internasional ini dibiarkan, maka kemerdekaan yang didengung-dengungkan sejak tahun 1945, kebebasan yang diteriakkan dengan pekik penuh kemenangan sejak reformasi 1998 adalah kemerdekaan dan kebebasan semu belaka.

Kalau kita perhatikan fenomena pengekangan kebebasan berpendapat dan sikap represi terhadap orang yang menyuarakan ketidak adilan ini semakin menjadi-jadi sejak Mahkamah Konstitusi menyetujui pembatasan kebebasan berekspresi di media, terutama media internet. Alasan MK waktu itu adalah kebebasan berekspresi ini harus dibatasi karena kalau tidak, dikhawatirkan akan berkembang menjadi fitnah yang tidak terkendali.

Logika MK ketika memutuskan perkara ini adalah logika yang sama seperti yang dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menghambat tokoh-tokoh pergerakan masa lalu dalam menyampaikan ide-ide perjuangan mereka.

Apa yang dilakukan oleh aparat Hukum Indonesia terhadap Prita yang dipenjara karena menyuarakan ketidakadilan yang dia alami di rumah sakit Omny Internasional, persis sama seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Soekarno, Hatta, Syahrir dan teman-teman seperjuangan mereka yang dipenjara akibat tulisan-tulisan mereka di media tentang ketidakadilan pemerintah Belanda memperlakukan kaum Bumi Putera.

Ketika membuat keputusan itu MK sama sekali menafikan kecenderungan umum yang ditampilkan aparat hukum di Indonesia yang sangat fasih menerjemahkan pasal-pasal pencemaran nama baik yang berpihak pada kaum berduit dan berkuasa ketimbang pasal-pasal yang memberi peluang kepada masyarakt kecil untuk memperoleh keadilan.

Saat keputusan ini dikeluarkan, beragam bentuk protes bermunculan salah satunya datang dari Iwan Piliang seorang blogger kawakan dengan mewakili kaum blogger secara terang-terangan menyatakan kegusarannya atas keputusan MK ini. Dengan keputusan MK ini Iwan khawatir kebebasan berekspresi yang belum lama kita nikamti akan kembali mati. Tapi MK seolah tuli dan sama sekali tidak bergeming dengan keputusannya.

Tidak perlu waktu terlalu lama untuk menunggu efek dari keputusan MK ini, hari ini apa yang dikhawatirkan Iwan Piliang telah terjadi. Hari ini Prita dipenjara, besok bisa jadi Iwan, lalu lusa saya sendiri.

Saya sendiripun sudah merrasakan langsung efek dari keputusan MK ini.

Akibat dari tulisan-tulisan saya di berbagai media internet yang mempermasalahkan kebijakan Pemda Aceh Tengah menjual lahan Panti Asuhan Budi Luhur beserta Mesjid yang ada di dalamnya, dalam waktu tidak lama lagi saya sendiri sangat mungkin akan dipenjara mengikuti jejak Prita.

Indikasinya bisa saya lihat dari ucapan Ir. Yurmiza Putra alias Winja yang pernah menjadi pasangan saya bermain domino. Beberapa waktu yang lalu Winja yang merupakan salah seorang anggota pansus DPRK Aceh Tengah yang dibuat untuk menggoalkan rencana penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dengan nada mengancam mengatakan .

Ucapan ini dikeluarkan oleh Winja tidak lama setelah MK mengeluarkan keputusan untuk membatasi kebebebasan berekspresi.

Winja mengatakan ini karena kemungkinan besar dia gusar dengan maraknya tuntutan pengusutan terhadap janggalnya keputusan yang dikeluarkan oleh Pansus yang dianggotainya ini yang menyetujui penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur bersama mesjid yang ada di dalamnya tepat pada hari yang sama dengan hari terbentuknya Pansus tersebut. Sepertinya dia juga berani berbicara dengan nada mengancam seperti itu karena merasa di atas angin karena keputusan mereka, Mungkin pikirnya saya dan orang-orang yang peduli pada nasib anak yatim di Panti Asuhan Budi Luhur takut dipenjara karena menyuarakan kata hati nuraninya.

Padahal saya jelas tidak peduli dengan omongan Winja yang tampaknya mulai gugup saat perannya dalam kasus penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dan mesjidnya ini terungkap ke permukaan.

Tapi bukan karena alasan itu saya menyuarakan penolakan terhadap keputusan MK ini, saya menolak karena ini karena keputusan semacam ini adalah sebuah bentuk penjajahan, keputusan semacam ini adalah satu bentuk kelakuan tiran yang menindas peradaban.

Saya menolak ini dengan harapan penolakan saya ini akan memicu lebih banyak penolakan lagi dari berbagai kalangan.

Pada kasus Prita kita melihat KOMNAS HAM sudah menyatakan dukungan pada Prita yang menjadi korban, demikian juga beberapa LSM. Tapi itu semua tidak cukup, kita butuh kekuatan yang lebih besar untuk melawan tiran dan penindasan.

Pemerintah, para politisi dan anggota parlemen terpilih, para calon presiden dan anggota tim suksesnya sama sekali tidak bisa diharapkan untuk memperjuangkan hal semacam ini, urusan tai burung yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan mereka.

Di negara ini, untuk membuat sebuah perubahan selalu dibutuhkan kekuatan besar yang berasal dari bawah. Seperti yang sudah-sudah, berdasarkan pengalaman, segala bentuk ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di negara ini selalu hanya bisa diubah dengan upaya-upaya unjuk kekuatan di luar sistem. Di negara ini yang berhasil menumbangkan tiran selalu adalah kekuatan di luar sistem, bukan hukum, pemerintahan atau parlemen.

Dengan terus menyuarakan penolakan ini dan terus menuliskan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di media internet adalah sebuah usaha kecil saya untuk ikut masuk kedalam kekuatan besar untuk melawan penindasan itu. Soal orang lain mau ikut melawan atau cuma jadi penonton saja itu adalah hak mereka, saya tidak bisa memaksa.

Yang terpenting bagi saya adalah; saya sudah melakukan apa yang harus saya lakukan sebagai MANUSIA MERDEKA.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com