Tadi saya membaca sebuah diskusi menarik di Forum Diskusi Prospek Kopi Arabica di Tanoh Gayo.
Melihat diskusi ini, saya salut melihat kawan-kawan yang berpikir begitu panjang soal masa depan kopi Gayo.
Ada macam-macam persoalan perkopian yang dibicarakan dalam forum ini dari yang konyol sampai yang serius.
Misalnya di forum ini ada yang meragukan keterkenalan Kopi Gayo dan membandingkannya dengan terkenalnya Kopi UK alias Kpoi Ulee kareng yang tidak menggunakan Kopi Gayo, alias Ulee Kareeng, padahal ini jelas seperti membandingkan keterkenalan M. Basir mantan kiper Persiraja (kiper Persiraja yang sekarang saya tidak tahu namanya) dengan Sebastien Frey Kiper Fiorentina. Yang satu adalah Kiper terbaik yang sangat terkenal di Aceh, sementara yang satu lagi adalah kiper kelas menengah yang meskipun nggak dipanggil ke Timnas Perancis, tapi bermain di klub menengah di salah satu liga terbaik dunia.
Kopi UK hanyalah kopi konsumsi lokal yang kualitas dan penangananannya sama sekali tidak memenuhi persyaratan ekspor. Kopi ini hanya dikenal oleh para peminum kopi lokal yang karena beberapa kali diulas di TV kemudian jadi terkenal juga secara nasional. Tapi, para konsumen kopi Internasional yang memilih Kopi yang diminum dengan panduan ahli pencicip rasa, yang berlangganan majalah kopi untuk memastikan kopi yang dia minum adalah kopi terbaik jelas sama sekali tidak mengenal kopi Ulee Kareeng dan kalau pun mengenalnya tidak akan pernah berpikir untuk mengklasifikasikan kopi Ulee Kareeng menjadi salah satu jenis kopi unggulan. Sementara Kopi gayo meskipun bukan yang terbaik, tapi termasuk salah satu jenis kopi yang sangat dikenal dan sering diulas oleh para pecinta kopi dunia.
Seperti M. Basir yang merupakan Kiper terbaik di Aceh, dia sangat terkenal di Aceh, tapi tentu saja tidak ada pelatih yang cukup gila untuk menjadikannya kiper di sebuah klub yang berada di zona degradasi di sebuah liga eropa tidak terkenal, semacam liga Latvia.
Kemudian ada peserta forum yang mengaitkan masa depan Kopi Gayo dengan adanya CAFTA dan menghubungkannya dengan produksi kopi Vietnam. Beberapa dari teman-teman ini rupanya khawatir dengan masa depan pasar Kopi Gayo dengan adanya CAFTA ini.
Menanggapi ini ada dua orang yang bernama hadian dan Pak Sahrial Wahab yang sama sekali tidak khawatir dengan prospek kopi Gayo dengan adanya pasar bebas Cina dan ASEAN ini.
Dalam diskusi ini saya berada dalam kubu yang sama dengan Hadiyan dan Pak Sahrial Wahab dan bersepakat dengan mereka bahwa CAFTA ini sebenarnya sangat tidak nyambung kalau dikaitkan dengan kopi Gayo, sebab keberadaan CAFTA memang sama sekali tidak membawa pengaruh signifikan terhadap pangsa pasar Kopi Gayo, karena negara-negara CAFTA bukanlah pasar yang secara tradisional merupakan pasar yang menjadi tujuan Kopi Gayo.
Kemudian ketakutan dengan adanya CAFTA dalam kaitannya dengan produksi kopi robusta Vietnam yang dikhawatirkan akan menurunkan daya saing kopi Gayo di pasar dalam negeri juga saya pikir sama sekali tidak ada dasarnya. Sebab Kopi Gayo adalah kopi arabica yang memang tidak dipasarkan di dalam negeri. Bahkan sepengetahuan saya, Kopi Gayo yang dijual di Starbuck-pun mereka beli dari Importir Kopi Gayo di Amerika sana, tidak langsung dari Takengen, jadi apa yang perlu ditakutkan dari Vietnam.
Kekhawatiran ini juga tidak ada dasarnya meskipun sekarang katanya Vietnam sudah mulai mengembangkan kopi Arabika.
Kita tidak perlu khawatir karena untuk mengembangkan Kopi Arabica tidaklah gampang, banyak syarat khusus yang dibutuhkan, terutama yang berkaitan dengan ketinggian dan jenis tanah Vulkanik. Ketinggian minimal untuk menanam kopi Arabica bermutu lumayan adalah 800 mdpl. Tapi untuk menghasilkan Kopi Arabica bermutu baik, dibutuhkan lokasi dengan ketinggian antara 1200-1700 Mdpl. Ketinggian lokasi tanam inilah yang mutu Kopi Singah Mulo an Ronga-ronga jauh di bawah mutu kopi Arabica produksi Lukup Sabun.
Syarat yang khas ini pula yang membuat di Asia, tidak banyak tempat yang bisa memenuhi persyaratan ini. Itulah sebabnya kenapa DATARAN TINGGI GAYO merupakan penghasil Kopi Arabica TERBESAR di ASIA.
Meskipun dikatakan Vietnam telah mampu meningkatkan produktivitasnya lebih dari 5 kali lipat seperti harapan menterinya, tapi masalah kopi ini bukanlah hanya sekedar urusan produktivitas, tapi yang terpenting di atas semuanya adalah KUALITAS RASA yang disukai pasar.
Untuk sebagai perbandingan bisa dilihat dalam komentar dalam diskusi yang berlangsung di www.coffeeforums.com
Untuk Kopi Vietnam baca di sini : http://www.coffeeforums.com/viewtopic.php?f=10&t=7203
Any ''experts'' out there who can give me information about the taste of Vietnamese coffee versus coffees from other countries.
I find Viet coffee never tastes the same when I bring it home, maybe it''s the water there/here ?
from what I know about Vietnamese coffee's, they are mostly robusta's :oops:
3rd biggest producer globally, but indeed mainly robusta (including now some "gourmet" robustas that are washed, polished etc...but still taste like robusta :evil: ). Some Arabica being produced n the highlands, the government is now trying to focus energies on developing the Arabica sectors. Strong internal consumption of mainly robusta- maybe harks back to the French colonial periods. Despite the French being known for their cuisine, their coffee have traditionally been low grade arabica, robusta or anything spiced up with roasted chicory. I think the French generally got the short end of the stick when the Colonial powers carved up the Coffee growing world- with the exception of perhaps Martinique
Untuk Kopi Gayo, baca di sini : http://www.coffeeforums.com/viewtopic.php?f=10&t=7014
Indonesia obviously grows a lot of coffee. However most of this is Robusta, only around 13% is Arabica. Of this 13% around 60% of all Arabica comes out of Aceh (the PKGO coop, PT Hollands Gayo Mountain, Gayoland etc) or North Sumatra (Mandehlings, Lintongs, Sidikalangs etc).
The Acehnese Arabica's are periennial favorites, and a lot make their way to the USA through companies such as Fairtrade advocate ForesTrade...
Personally I rate Acehnese Arabica in the top 5 of coffee I roast from Indonesian origins. However I also think there are some really great origins out there that do not get the benefit and support through NGO funding that Aceh gets. With little more funding shared out through the rest of Indonesia, it would benefit coffee in general here.
Komentator di kedua diskusi ini adalah orang yang sama.
Di pasar Dunia, Kopi Gayo dikenal sebagai jenis Kopi Premium dengan produksi terbatas sebagaimana halnya kopi Ijen, Kolombian Supremo, Jamaican Blue Mountain, Kona Hawai, Harar dan lain-lain. Kopi-kopi jenis ini bisa dikatakan tanpa pesaing karena masing-masing punya ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh kopi yang berasal dari daerah lain.
Kopi jenis ini berbeda dengan Kopi Brazil atau Kolombia biasa yang dianggap sebagai barang kodian. Meskipun memang harga Kopi Premium inipun fluktuatif mengikuti harga kopi produksi massal.
Jadi daripada pusing tidak berguna memikirkan Vietnam dan CAFTA, saya pikir justru jauh lebih penting kita pikirkan adalah bagaimana cara meningkatkan KUALITAS kopi yang diproduksi oleh petani Tanoh Gayo.
Karena sebagaimana disampaikan seorang peserta forum ini yang bernama Zulfikar Ahmad, menurut laporan International Coffee Organization (ICO) Jepang dan USA menunjukan angka penurunan komsumsi dari tahun ke tahun.
Perlu kita ketahui bersama bahwa penurunan ini bisa terjadi adalah akibat dari penurunan kualitas kopi yang diproduksi dunia, sehingga peminum fanatik kopi beralih ke minuman lain.
***
Sepuluh tahun silam, saya diundang oleh FAO untuk mengikuti Konferensi meja Bundar Kopi se- Asia pasifik di Chiang Mai, Thailand.
Dalam forum yang saya ikuti itu, panitia juga mengundang kalangan roaster yang menjadi sasaran akhir ekspor biji kopi sebelum mereka ubah menjadi kopi siap konsumsi.
Salah seorang yang hadir dari kalangan roaster itu bernama DR. Ernesto Illy (yang saat itu berumur 75 tahun, beliau meninggal pada 3 februari 2008 lalu) http://coffeegeek.com/opinions/coffeeatthemoment/02-04-2008 . DR. Illy yang sangat dihormati semua peserta konferensi ini adalah penemu mesin espresso pertama sekaligus pemilik Illy Cafe yang merupakan salah satu roaster Kopi terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Dr Illy, mewarisi perusahaan yang sebelumnya memproduksi Coklat ini dari bapaknya.
Dalam forum ini dan dilanjutkan dengan bincang-bincang sesudah acara, DR. Illy menceritakan kepada saya kalau menurunnya konsumsi kopi di beberapa negara pengkonsumsi kopi terbesar diakibatkan oleh meluasnya pembudidayaan kopi Catimor dalam industri pertanian kopi dunia. Menurut DR. Illy, saat kami berbicara waktu itu sudah lebih dari setengah produksi kopi dunia adalah jenis Catimor.
Dalam bahasa DR. Illy (bahasa Inggris berlogat Italia), jenis kopi Catimor ini dideskripsikan sebagai "High yield but bad in taste, makes farmers happy but not consumers"
Menurut DR. Illy, Catimor ini memang menarik jika dilihat dari jumlah produksi, tapi sangat tidak menarik dari segi kualitas. Meskipun kopi varietas ini telah secara resmi dikategorikan sebagai kopi arabica, tapi karena secara genetik Kopi ini memiliki gen kopi Robusta, maka dalam karakter rasa Kopi catimor ini masih tersisa karakter robusta yang kurang disukai oleh penikmat kopi Eropa dan Amerika yang merupakan pangsa pasar terbesar kopi Dunia (lebih dari 70%). Kata Dr. Illy, biji Kopi Catimor ini banyak mengandung minyak sebagaimana halnya biji Kopi Robusta.
Keluhan DR. Illy ini juga merupakan keluhan dari semua roaster yang hadir dalam konferensi itu, mereka semua mengeluhkan hal yang sama. Kalau ingin merebut kembali pangsa pasar peminum kopi, para Roaster itu menyarankan para petani untuk menanam kopi jenis Bourbon (Seperti jenis kopi yang ditanam di Gayo sekitar 40 tahunan yang lalu). Kopi jenis Bourbon inilah yang sebenarnya telah membuat nama Kopi Gayo melejit di kalangan penggemar kopi dunia.
Dalam konferensi itu, delegasi Vietnam menjadi bulan-bulanan seluruh peserta konferensi (termasuk saya) karena mereka seperti orang autis yang hanya berfokus pada peningkatan produksi semata (dalam makalah yang disampaikan wakil mereka dalam konferensi itu, Vietnam melulu menceritakan tentang usaha mereka memperluas dan meningkatkan produksi kopi). Padahal pada saat itu seluruh peserta konferensi datang ke konferensi tersebut dengan sebuah isu besar bernama OVER PRODUCTION alias kelebihan produksi yang tidak terserap pasar, yang pada tahun itu sudah mencapai 3,7%.
Pada tahun itu produksi kopi dunia ada 113.033.000 karung yang setara dengan 6.781.980 Ton. Sementara Produksi Kopi Indonesia pada tahun itu adalah 6.987.000 Karung yang setara dengan 419.220 Ton. Jadi kalau ada 3,7 % dari jumlah itu yang tidak terserap pasar artinya jumlah itu adalah 4.182.221 atau hampir 60% jumlah produksi Kopi Indonesia.
Atau kalau kita bandingkan dengan produksi kopi Gayo, Kalau di tanah Gayo kita asumsikan ada 90 ribu hektar lahan Kopi (pembulatan ke atas) dengan produksi antara 700-1000 Kg per tahun, kita hitung maksimal ada 1.500.000 Karung kopi per tahun, maka artinya setiap tahun ada kopi sebanyak tiga kali lipat produksi seluruh kopi Gayo yang tidak terserap pasar.
Jadi begitulah kira-kira peta perkopian di kawasan ini, sehingga kalaupun Vietnam kemudian mengembangkan Kopi Arabica (sebagaimana yang telah dilakukan Thailand), jelas mutunya tidak akan dapat menyaingi mutu Kopi Gayo dan pasarnya juga nantinya tidak akan mengganggu pasar Kopi Gayo. Karena dengan karakter tanah dan ketinggian tempat yang ada di Vietnam, paling banter mereka hanya akan bisa maksimal menghasilkan Kopi Arabica dengan mutu paling tinggi seperti Kopi Singahmulo.
Sementara di berbagai belahan dunia, orang mulai menyadari pentingnya kualitas ini.
Contohnya misalnya terjadi pada beberapa perkebunan Kopi di Jawa.
Sadar akan pentingnya kualitas dalam industri perkopian ini, beberapa perkebunan kopi besar di Jawa (yang memiliki luas lahan di atas 1000 hektar) belakangan juga mulai mengubah strategi dalam pemilihan jenis tanaman kopi. Contohnya perkebunan Kali Klatak yang karena menyadari harga Kopi Arabica yang dua kali lipat lebih mahal dibanding Kopi robusta, dulu menanam kopi Arabica di lahan mereka yang memiliki ketinggian di bawah 800 Mdpl, tapi karena mutu kopi yang dihasilkan tidak bagus dan memiliki banyak defects (biji kopi rusak), ujung-ujungnya ternyata lebih menguntungkan menanam Robusta, karena itulah tahun ini mereka membongkar semua kopi Arabica di kebun mereka dan menggantinya dengan Robusta.
Contoh lain adalah Burma yang sejak beberapa tahun sebelum konferensi itu telah mem-ban kopi jenis Catimor dan hanya menanam Bourbon, sehingga mereka berhasil mendapatkan harga yang baik untuk kopi mereka (bersyukurlah bahwa lahan yang cocok untuk ditanami Kopi di Burma itu sedikit sekali).
***
Sangat menarik ketika peserta forum yang bernama Hadiyan mengaitkan Kopi Gayo dengan Kopi Blue Mountain, menurut hadiyan Kopi gayo harus mempertahankan dan meningkatkan kwalitas dan menjaga brand image produk supaya bisa seperti Blue Mountain yang harganya jauh lebih mahal dibanding kopi Gayo (kopi gayo sekitar US$ 5/kg sedangankan Jamaica coffee blue mountain bisa mencapai US$ 160/kg)
Saya sangat sepakat dengan Hadiyan meskipun saya tidak sepakat perbandingan harga antara kopi gayo dan coffee blue mountain yang dia sebutkan, karena meskipun Blue Mountain jauh lebih mahal ketimbang kopi Gayo tapi perbedaannya tidak seekstrim yang digambarkan oleh Hadiyan, karena beda harga antara gayo Mountain Coffee dengan Jamaican Blue Mountain Coffee 'hanya' sekitar 3 kali lipat saja, contohnya bisa dilihat pada harga yang dipatok oleh perusahaan Joe's di http://www.joescoffeehouse.com/catalog.aspx?id=100 dimana Gayo Mountain dipatok seharga $16.95 dan Jamaica Blue Mountain dipatok seharga $51.95.
Apa yang membuat perbedaan harga yang mencolok antara Kopi Gayo dengan Kopi Blue Mountain itu adalah KESERAGAMAN dalam hal kualitas.
Kopi Gayo kualitasnya tidak seragam. Ketidak seragaman itu dimulai dari apa yang disebut dengan Kopi Gayo ini sendiri sebenarnya adalah berbagai ragam jenis dan kualitas Kopi dengan berbagai jenis karakter tanah dan ketinggian tumbuh yang terbilang ekstrim. Sekitar 700-an Mdpl di Singah Mulo, sampai 1500-an Meter di Lukup Sabun. Mulai dari yang tumbuh di lahan Vulkanis (Lukup Sabun, Bandar lampahan, Simpang balik sampai di bener Meriah) dan bukan vulkanis di Jagong Jeget, Batu Lintang dan sekitarnya. Lalu Kopi Gayo juga terdiri dari berbagai varietas Kopi yang berbeda-beda.
Kemudian juga ketidak seragaman dalam penanganan pasca panen sehingga kualitasnya tidak pernah bisa standar.
Atas dasar itulah, kalau kita memang ingin membangun Brand Kopi Gayo yang kuat, saya pikir yang pertama kali harus kita lakukan bukanlah memacu produktivitas, tapi meningkatkan kualitas yang bisa kita mulai dengan mengklasifikasikan kopi di tanoh Gayo berdasarkan daerah tumbuhnya, dan mulai mengembangkan varietas sesuai dengan selera konsumen, bukan bersikap autis dengan pikiran hanya untuk menggenjot produksi seperti Vietnam.
Wassalam
Win Wan Nur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Harga yang saya maksud bukan $160 tetapi hanya $60 saja.... so.. lebih kurang hampir sama dengan harga yang Win wan Nur gambarkan.
wassalam
Hadiyan
Posting Komentar