Sabtu, 06 Maret 2010

Isaq, Kampungku yang Bersuhu Hangat

Isaq, adalah nama ibu kota kecamatan Linge yang masuk ke dalam wilayah administrasi kabupaten Aceh Tengah. Tapi meskipun statusnya adalah ibu kota kecamatan, jangan membayangkan Isaq itu sebagaimana layaknya ibukota kecamatan di pulau jawa yang ramai. Karena meskipun statusnya ibu kota kecamatan, tapi Isaq letaknya terpencil di tengah hutan pinus di pedalaman Tanoh Gayo yang ditinggali penduduk yang lebih sedikit dari sebuah RW di Jakarta.

Dari Isaq inilah keluargaku secara turun-temurun berasal.

Kampungku ini berjarak 30 kilometer dari Takengen, yang merupakan ibu kota kabupaten Aceh Tengah yang sekaligus merupakan kota terbesar dan paling ramai di Tanoh Gayo.

Isaq terletak di sebuah lembah di dataran rendah yang hangat. Suhu yang hangat ini membuat Isaq berbeda dengan Takengen yang dingin. Untuk lansekap dan kondisi alam, secara sekilas saja orang langsung bisa melihat perbedaan antara Isaq dan Takengen. Banyaknya pohon kelapa yang merupakan tanaman khas daerah pesisir yang tumbuh di Isaq, adalah perbedaan yang paling mencolok antara alam Isaq dan alam Takengen.

Suhu yang lebih hangat membuat mata pencaharian orang Isaq juga berbeda dengan penduduk Takengen. Jika di Takengen dan sekitarnya yang bersuhu dingin orang banyak mengusahakan kebun kopi sebagai seumber mata pencaharian, kami di Isaq tidak. Di Isaq kami lebih banyak mengusahakan sawah, membuat gula aren (Di Takengen gula ini dikenal dengan nama Gule Isaq) dan memelihara kerbau.

Untuk menuju ke kampungku ini, dari Kota Takengen, orang harus melintasi gunung berhutan primer bernama Bur Lintang.

Dulu, saat kakekku masih muda, untuk bisa mencapai kampungku ini, orang dari Takengen harus menempuh beberapa hari perjalanan berjalan kaki melewati hutan Bur Lintang dengan resiko diterkam harimau.

Aku bersama kakekku tinggal di Isaq antara tahun 1978-1979, saat itu aku masih kecil dan belum bersekolah. Pada waktu itu, di seluruh kecamatan kami itu, sekolah yang ada hanya sampai tingkat sekolah dasar dan itupun hanya ada satu dalam radius 50 kilometer. SMP baru dibangun setelah aku tidak lagi tinggal di sana.

Untuk melanjutkan sekolah ke SMP dan SMA, saat itu warga kampungku harus berangkat ke Takengen. Tidak banyak orang yang berpendidikan tinggi di kampungku ini. Orang berpendidikan paling tinggi di sana adalah Camat, tapi aku tidak pernah mengenal sosoknya, karena dia bertempat tinggal di tepi hutan yang terpisah sekitar satu kilometer di luar kampung kami dan dari yang sering kudengar sepertinya Pak Camat lebih sering ada di Takengen ketimbang di Isaq.

Rumah camat ini berada satu lokasi dengan kantor camat sendiri, kantor Koramil, Polsek dan juga tempat kediaman para personelnya.

Dibandingkan dengan Camat, aku lebih mengenal sosok Dan Ramil karena dia setiap pagi selalu minum kopi di warung samping rumahku.

Di samping sarana pendidikan yang minim, pada waktu aku tinggal di sana listrik juga belum ada. Tapi meskipun begitu, keadaan Isaq yang seperti ini sudah jauh lebih baik dibanding zaman ketika kakekku masih muda.

Saat aku tinggal di Isaq, sudah ada jalan yang menghubungkan Takengen dengan Kampungku ini, meskipun ketika itu jalanan tersebut masih berupa jalan tanah yang diberi pengerasan yang membuat jarak yang hanya 30 kilometer itu harus ditempuh dalam waktu berjam-jam. Sehingga jika pada masa itu kita berada di Takengen dan menyebut nama ISAQ, maka kesan yang ditangkap oleh orang Takengen, Isaq itu adalah sebuah negeri terpencil yang letaknya jauh sekali.

Waktu itu banyak orang Takengen yang percaya kalau orang-orang di kampungku ini rata-rata memiliki ilmu gaib.

Kepercayaan seperti ini membuat orang Takengen cenderung takut berkunjung bahkan ada yang tidak berani sekedar untuk melintasi Isaq. Mungkin karena berbagai cerita yang tidak jelas ini, ditambah hampir tidak adanya daya tarik ekonomi yang cukup kuat dari kampungku ini. Membuat sedikit sekali bahkan hampir tidak ada orang Takengen yang pernah berkunjung ke kampung kami. Orang Takengen yang datang ke Isaq biasanya hanya mereka yang berasal atau memiliki keluarga di kampung kami atau mereka yang bekerja sebagai guru atau pegawai di kantor kecamatan dan institusi pemerintahan yang lain.

Letak Isaq yang terpencil dan udik di mata orang Takengen, sering membuat orang Isaq dijadikan bahan olok-olok penduduk di ibu kota kabupaten ini. Oleh orang Takengen, nama Isaq dicocok-cocokkan dengan kata pekak (bodoh) dan ungak (tai hidung) dalam sebuah syair yang berima, kata-kata itu digunakan untuk mengolok-olok orang Isaq yang mereka bayangkan sebagai, orang udik yang kampungan dan tidak berpendidikan.

* Olok-olok dengan syair yang berima ini adalah khas Gayo, olok-olok seperti ini juga digunakan untuk mengolok-olok orang suku Aceh. Jika oleh orang Aceh, Gayo sering disebut 'urik', oleh orang Gayo, kepada orang suku Aceh yang datang merantau ke Gayo dilekatkan kata tengkang (mengangkang) dan gantang (kentang). Seperti saya yang tidak tahu kenapa kata pekak dan ungak dilekatkan untuk mengolok-olok orang Isaq, saya pun tidak tahu alasan apa yang membuat orang Gayo melekatkan kata 'tengkang' untuk mengolok-olok orang suku Aceh.

Sekarang Isaq sudah tidak lagi terpencil, jalanan yang menghubungkan antara Takengen dan Isaq kini sudah diaspal hotmix sampai ke Belang Kejeren. Tidak jauh dari Isaq, sekarang sudah ada pemukiman yang lebih ramai bernama Jagong- Jeget, bekas hutan lebat yang dijadikan lokasi transmigrasi, sehingga sekarang tempat itu bahkan jadi jauh lebih ramai ketimbang Isaq.

Sekarang setiap hari ada banyak angkutan umum yang melintasi Isaq, baik yang menuju ke Jagong Jeget atau ke Belang Kejeren. Sekarang, dari Takengen menuju ke Isaq bisa ditempuh dalam waktu satu jam saja.

Situasi ini sangat berbeda dibandingkan dengan saat aku masih tinggal di Isaq dulu.

Pada masa itu, bis yang melintasi rute Takengen-Isaq hanya ada dua. Satu milik perusahaan angkutan CV. Menara bernomor 11 dan yang satu lagi milik perusahaan PT. Aceh Tengah bernomor 10. Kedua bis ini berbentuk mini bus berbody karoseri dengan mesin Colt diesel seperti yang biasa dipakai sebagai truk pengangkut pasir. Karena hanya dua dan penduduk yang dilayani pun tidak banyak, hampir semua penduduk kampungku mengenal sopir Bis ini.

Sopir Bis Aceh Tengah 10 sering berganti-ganti, tapi sopir Bis Menara 11 selalu orang yang sama. Sopir Bis ini bernama Alin, seorang etnis Cina yang fasih berbahasa Gayo. Aku memanggilnya dengan nama Cik Alin (Cik adalah singkatan dari kata Pak Cik yang merupakan panggilan umum di Gayo untuk adik bapak). Begitu akrabnya Cik Alin yang sopir Bis Menara 11 ini dengan warga kampungku, sehingga dia sering diundang makan di rumah-rumah warga kampungku. Kakekku yang merupakan imam di mesjid kampung kami ini juga beberapa kali mengundang Cik Alin makan di rumah kami, sehingga akupun menjadi akrab dengannya.

Aku dan kakekku termasuk warga Isaq yang paling sering menggunakan jasa Cik Alin. Kakekku yang pensiunan pegawai negeri sekaligus anggota veteran, paling tidak sebulan sekali pergi ke Takengen untuk mengambil gaji. Dan setiap kali kakekku pergi ke Takengen, aku selalu diajak serta.

Sampai hari ini aku masih bisa membayangkan dengan jelas bagaimana suasana perjalanan antara Isaq- Takengen dan sebaliknya pada waktu itu, terutama saat kami kembali dari Takengen menuju ke Isaq.

Setiap kali menumpang bis ke Isaq, baik dengan Menara 11 atau Aceh tengah 10, aku dan kakekku selalu diberi kehormatan untuk duduk di depan, di samping sopir.

Untuk berangkat ke Isaq, kami naik di terminal bis Takengen. Dari sana nanti Bis akan berjalan ke arah Toa, dalam perjalanan ini bis selalu berhenti di simpang Wariji dan PNP (gudang dan perumahan karyawan perusahaan PNP yang terletak di seberang lapangan Musara Alun) untuk menaikkan penumpang. Lewat dari PNP salah seorang penumpang akan berteriak, "hiburan". Lalu Cik Alin mengambil kaset, memukul-mukulkannya di telapak tangan dan memasukkannya ke dalam tape recorder bis miliknya dan mengalunlah lagu-lagu populer masa itu yang biasanya adalah lagu dangdut.

Sampai ke Relop jalan masih bagus dan beraspal (meski bukan aspal hotmix), tapi ketika jalanan menanjak memasuki kawasan Bur Lintang, jalanan tidak lagi sebaik sebelumnya, sehingga bis harus berjalan pelan-pelan dan bergoyang ke kanan kekiri. Keadaan seperti ini ditambah dengan bercampurnya berbagai aroma dalam bis ini membuat banyak penumpang merasa mual. Aku termasuk yang paling sering muntah saat melakukan perjalanan ini.

Sepertinya perjalanan antara Takengen- Isaq dalam bis yang bau dan bergoyang-goyang mengocok perut sambil diiringi lagu dangdut yang sering kulakukan di masa kecil bersama kakekku ini begitu membekas bagiku, sehingga sampai hari ini aku langsung merasa mual setiap kali mendengar lagu dangdut. Setiap kali mendengar jenis lagu ini, aku otomatis merasa seperti sedang berada dalam bis yang menuju ke Isaq. (Bahkan saat menuliskan ini pun perutku terasa mual)

Pada waktu tinggal di Isaq dulu, hutan di di Bur Lintang masih sangat lebat.

Hutan di gunung ini adalah hutan primer yang hijau, basah dan dingin. Tidak peduli musim kemarau atau musim penghujan, di sepanjang jalan yang membelah hutan ini aku sering melihat air yang mengalir dari dalam hutan, tumpah ke dalam parit-parit pembatas jalan. Kadang bis berhenti ditempat air-air yang mengalir itu untuk mengisi air radiator. Saat seperti ini sering dimanfaatkan oleh penumpang untuk memetik empan, sejenis tanaman bumbu yang berasa kebas seperti peppermint yang banyak tumbuh liar di tepi jalan di hutan Bur Lintang.

Setelah mencapai titik puncak Bur Lintang, jalanan mulai menurun dan suhu pun semakin lama menjadi semakin hangat, vegetasi alam pun berubah.

Jika sebelumnya hutan yang dilalui adalah hutan primer yang lebat dan basah, setelah beberapa waktu melewati jalanan yang menurun ini bis akan melewati hutan pinus yang suasananya sangat berbeda dengan hutan primer di Bur Lintang. Hutan pinus ini di bawahnya terlihat lapang dan kering serta ditumbuhi rumput-rumputan, tidak seperti hutan primer yang terlihat rapat dan basah dipenuhi berbagai vegetasi khas hutan tropis. Di dalam hutan pinus ini, sesekali aku melihat kerbau berkeliaran bebas sambil merumput atau sedang santai berkubang. Karakter tanah di hutan pinus ini juga tidak sama dengan di Bur Lintang, di hutan pinus ini tanahnya berwarna merah, tidak hitam seperti seperti di Bur Lintang

Di beberapa tempat dalam hutan pinus ini, juga tumbuh tanaman liar yang kami sebut 'terpuk'. Tanaman ini memiliki batang dan daun yang mirip dengan lengkuas, tapi terpuk tumbuh dengan ukuran yang jauh lebih tinggi. Sepertinya kedua tanaman ini adalah famili yang sama dalam taksonomi.

Di Gayo, kami menggunakan bunga tanaman ini sebagai sayuran dengan rasa yang khas. Biasanya terpuk kami gulai bersama dengan ikan dan empan sebagai penyedap. Gulai ini kami masak sampai kuahnya kering, dalam bahasa Gayo masakan seperti ini kami namakan pengat.

Selain terpuk ada juga tanaman seperti ini bernama 'serule' yang sekilas bentuknya sama dengan 'Terpuk' tapi tidak memiliki bunga. Tapi meskipun tidak memiliki bunga seperti terpuk, serule memiliki buah yang didalamnya dipenuhi biji seperti buah jambu biji dengan rasa yang manis. Waktu kecil aku dan teman-temanku lebih menyukai Serule ketimbang terpuk. Tapi bagi orang dewasa, bagian tanaman ini yang berguna hanya bagian daunnya yang dimanfaatkan untuk bahan pembuat atap rumah.

Dalam Hutan pinus ini terdapat banyak pondok pengawas milik PNP. Sebuah perusahaan negara yang mengelola produksi getah pinus alias terpentin. Kadang-kadang kita juga bisa menemui pekerja yang sedang menyadap getah pinus itu. Mereka hampir semuanya adalah pekerja suku Jawa yang konon dulunya dibawa oleh Belanda dari negeri mereka yang jauh di seberang laut.

Di beberapa tempat aku melihat perkampungan yang didiami oleh pekerja-pekerja suku jawa ini. Salah satunya yang paling aku ingat ada di sebuah tempat yang bernama Air Asin, tempat ini aku ingat karena dari sini Isaq sudah tidak terlalu jauh. Tapi ketika beberapa tahun kemudian saat aku sudah duduk di bangku SD, kulihat desa ini sudah ditinggalkan penghuninya, rumah-rumah termasuk mesjid yang ada di desa ini tampak tidak terawat dan kemudian hancur dengan sendirinya.

Tidak lama setelah melewati Air Asin, aku akan segera melihat persawahan dan sungai yang membelah lembah Isaq beserta dengan pohon-pohon kelapa yang merupakan tanaman khas daerah Isaq yang tidak bisa kita temukan di Takengen yang bersuhu dingin.

Setelah itu bis akan melewati lokasi pusat pemerintahan dan tempat kediaman para personelnya dan tidak lama kemudian Bis pun tiba di lembah Isaq yang hangat. Tempat aku menghabiskan masa kecilku sebelum aku mulai bersekolah.

Wassalam

Win Wan Nur
Suku Gayo asal Isaq

Tidak ada komentar: