Satu fenomena mencolok di Pemilu kali ini adalah tingginya angka Golput. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya ketika para Golput rata-rata menentukan pilihan politiknya ini atas dasar kesadaran sendiri, kali ini tingginya angka Golput, disamping karena pilihan sendiri, juga sangat banyak dikarenakan oleh amburadulnya penyusunan DPT oleh KPU.
Seorang teman saya yang merupakan Sekjen dari sebuah Partai Lokal yang lumayan besar di Aceh adalah salah satu korban dari amburadulnya penyusunan DPT ini, dia yang juga caleg dari partainya, mendapati namanya tidak tercatat dalam DPT sehingga dia tidak berhak menyalurkan hak politiknya.
Ketika teman saya ini mempermasalahkan hal itu kepada anggota KPU yang berada di lokasi pemilihan, dengan arogan si anggota KPU mengatakan itu terjadi karena kesalahan teman saya itu yang tidak ikut pemilihan pada Pilkada yang lalu dan kemudian tidak mendaftarkan diri kembali.
Teman saya ini tentu saja tidak terima dengan alasan si anggota KPU karena namanya memang terdaftar dan ikut serta dalam Pilkada yang lalu, bahkan dia sendiri adalah salah satu kandidat wakil Bupati waktu itu dan memenangi suara nomer dua paling banyak.
Selain teman saya tersebut, seperti yang gencar diberitakan berbagai media belakangan ini, banyak warga Indonesia lain yang berjumlah konon sampai puluhan juta yang kehilangan hak pilihnya akibat kesalahan KPU.
Saya sendiri juga adalah korban dari amburadulnya penyusunan DPT ini, nama saya tidak tercatat dalam DPT sehingga otomatis saya kehilangan hak pilih. Bedanya dengan teman saya tadi, pilihan politik saya dalam Pemilu kali ini adalah TIDAK MEMILIH. Jadi saya sama sekali tidak peduli dengan tidak adanya nama saya dalam DPT karena meskipun nama saya terdaftar dalam DPT saya juga tidak akan memilih.
Di hari pencoblosan, saat lembaga-lembaga survei melakukan penghitungan cepat dan disiarkan berbagai stasiun televisi. Salah satu stasiun televisi yang saya tonton adalah TV One yang di studionya hadir banyak pengamat, anggota partai politik dan anggota KPU.
Di televisi saya saksikan, kepada seorang anggota KPU yang diundang oleh TV one menjadi tamu di acara hitung cepat itu, Effendi Ghazali, pakar komunikasi dari UI yang diundang oleh TV One untuk menjadi komentator mempertanyakan soal amburadulnya DPT ini dan juga banyaknya orang yang kehilangan hak pilih karena waktu Pemilu harus berada di rumah sakit misalnya. Kepada anggota KPU itu Effendi Ghazali bertanya kenapa kepada mereka yang kehilangan hak pilih itu KPU tidak menyediakan fasilitas TPS keliling.
Semua pertanyaan dan kritikan terhadap kinerja KPU tersebut dengan enteng dijawab oleh si petugas KPU dengan mengatakan hal-hal yang dikatakan Effendi, tidak ada dalam undang-undang, jika KPU melakukan hal-hal yang dikatakan oleh Effendi Ghazali, maka KPU akan melanggar undang-undang.
Faktanya, penyusunan DPT oleh KPU tahun ini yang terasa aneh, sok tegas dan kaku itu memang berpatokan pada undang-undang hasil dari kerja legislasi anggota DPR hasil pilihan rakyat Indonesia pada pemilu 2004 yang lalu.
Dari jawaban si anggota KPU ini, kita mendapatkan sebuah gambaran yang jelas tentang betapa saktinya benda yang bernama UNDANG-UNDANG itu. Sedemikian saktinya si UNDANG-UNDANG sehingga asal jangan melanggar undang-undang bahkan hak konstitusional seorang warga negara yang memberi mandat kepada si pembuat Undang-Undangpun boleh diabaikan.
Di masa kolonial, banyak sekali undang-undang yang dibuat oleh negara untuk menekan pribumi yang dimaksudkan untuk menghambat perlawanan kaum pribumi terhadap pemerintah kolonial dan segala kepentingannya. Di Afrika Selatan di masa pemerintahan apartheid, banyak sekali undang-undang yang dibuat untuk menegaskan dominasi kulit putih terhadap kulit hitam. Bahkan di amerika yang katanya merupakan negara dedengkotnya demokrasi, beberapa tahun yang lalu banyak undang-undang yang bertujuan meminggirkan peran dan hak warga kulit hitam. Bahkan zaman sekarangpun di Amerika masih banyak undang-undang yang memihak kelompok bermodal kuat.
Di Aceh Tengah, tempat kelahiran saya juga dengan bersandar pada Undang-undang, Bupati dengan persetujuan DPRK seenak perutnya menjual lahan panti asuhan secara diam-diam untuk penyertaan modal di BPD Aceh. Bupati dan DPRD tampaknya berani melakukan hal yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Aceh tengah secara umum itu karena memang undang-undang yang sakti itu tidak ada mengatur keharusan seorang Bupati untuk memberitahu kepada publik bahwa dia akan menjual lahan Panti Asuhan.
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Amerika Barack Obama tampil di sebuah acara bincang-bincang di televisi yang diasuh oleh Jay Leno. Saat itu Amerika sedang dihebohkan oleh kelakuan petinggi-petinggi AIG, sebuah perusahaan asuransi besar yang diambang kebangkrutan akibat krisis global lalu dibantu oleh pemerintah Amerika dengan memberi bantuan yang diambil dari dana talangan yang bernilai ratusan milyar dollar.
Kehebohan muncul karena oleh petinggi-petinggi AIG, ratusan juta dollar dana bantuan pemerintah Amerika dibagikan kepada para karyawan dan dewan direksi perusahaan tersebut sebagai bonus.
Kejadian ini langsung memantik protes dari jutaan rakyat Amerika yang rasa keadilannya terusik. Rasa keadilan mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas kebangkrutan perusahaan tersebut malah diberi bonus yang per orangnya ada yang mencapai 65 juta dollar. Dan yang lebih membuat jengkel lagi, uang untuk bonus sebagai rasa terima kasih karena telah berhasil membangkrutkan perusahaan itu diambil dari dana bantuan pemerintah yang didapatkan dari uang pajak yang dibayar oleh seluruh rakyat Amerika yang sekarang sebagain besar sedang menghadapi situasi sangat sulit.
Ketika dalam acara yang diasuh Jay Leno tersebut membuka sesi diskusi dengan penonton melalui saluran telepon. Seorang penelepon bertanya kepada Obama, "apakah dengan adanya kasus pemberian bonus di AIG ini, apakah itu artinya dalam waktu dekat penghuni penjara federal akan kembali bertambah?". Dengan nada miris Obama menjawab "Sepertinya tidak, karena apa yang dilakukan oleh para petinggi AIG ini adalah sepenuhnya LEGAL menurut undang-undang. Dan dari kasus ini kita bisa melihat betapa banyaknya masalah dalam undang-undang kita".
Begitulah pentingnya Undang-undang dalam kehidupan bernenegara, meskipun seringkali konyol dan mengoyak rasa keadilan tapi tetap harus dipatuhi karena hanya dengan berpegang pada undang-undanglah sebuah negara dijalankan. Karena undang-undang sedemikian pentingnya maka logikanya, sebuah undang-undang di sebuah negara itu dibuat untuk mengakomodir sebanyak mungkin kepentingan rakyat yang merupakan pemberi mandat kepada pembuat undang-undang.
Tapi prakteknya di lapangan tidaklah demikian, seperti contoh-contoh yang saya gambarkan di atas, oleh orang yang diserahi mandat, Undang-Undang dibuat seringkali lebih untuk mengakomodir kepentingan kelompoknya daripada untuk kepentingan pemberi mandatnya.
Kalau di Amerika, negara yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan rata-rata dan kesadaran berdemokrasi jauh lebih tinggi dari Indonesia ini saja undang-undang yang dibuat untuk kepentingan segelintir kelompok atau orang masih ada, apalagi di negara ini yang masih belajar berdemokrasi dengan mayoritas penduduk yang masih rendah tingkat pendidikannya dan para pemegang kekuasaan yang banyak diisi manusia-manusia bermental feodal.
Salah satu undang-undang seperti ini tentu saja undang-undang pemilu yang mengatur tata cara pemilihan dan penentuan calon pemilih yang dibuat demi memudahkan kerja penyelenggara Pemilu, bukan untuk menjaring sebanyak mungkin warga untuk menyalurkan hak pilihnya.
Selain itu kita juga masih mempunyai bermacam undang-undang bermasalah seperti undang-undang pornografi, undang-undang sisdiknas dan lain-lain.
Banyaknya undang-undang bermasalah di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan terhadap para pembuat undang-undang itu yang dianggap sebagai orang-orang terhormat. Sehingga mereka merasa apapun yang mereka lakukan adalah sepenuhnya perbuatan-perbuatan terhormat.
Di DPR, orang-orang yang sebenarnya kehormatannya sangat bisa diperdebatkan, merasa bahwa mereka adalah sekumpulan orang-orang terhormat yang kehormatannya jauh melebihi kehormatan rakyat pemberi mandatnya. Karena itu mereka merasa bisa berbuat sesukanya, membuat undang-undang dengan standar kepentingan mereka, karena mereka pikir, BAIK menurut orang terhormat seperti mereka tentu harus BAIK pula dalam pandangan orang-orang yang mereka anggap kurang terhormat seperti kita.
Begitulah anggota dewan yang merasa diri terhormat inipun merasa berhak membuat undang-undang yang seenak perut dan karena mereka adalah anggota dewan terhormat. Bahkan karena merasa diri terhormat merekapun merasa boleh berkata kasar kepada orang-orang yang mereka anggap kurang terhormat seperti yang dilakukan salah seorang anggota dewan yang merasa diri terhormat ini kepada direktur Pertamina.
Dengan cara pandang seperti ini, DPR dibuat menjadi sebuah institusi yang sakral, dan anggotanyapun merasa diri mereka adalah orang-orang yang sakral. Begitu sakralnya DPR di mata mereka, sehingga mereka merasa tidak ada yang boleh mengusik kepentingan mereka.
Salah seorang caleg yang juga teman sekolah saya dulu pernah mengatakan kepada saya tentang perasaan geramnya terhadap KPK yang tanpa pandang bulu menangkapi anggota Dewan terhormat ini. Teman saya ini dengan jujur mengatakan seandainya dia terpilih menjadi anggota DPR RI dan partainya menjadi partai dominan, maka mereka akan meminta keberadaan KPK ditinjau ulang.
Cerita teman saya tersebut membuat saya semakin yakin kalau cara pandang masyarakat dan terutama diri mereka sendiri terhadap status anggota DPR yang terhormat ini meski bukan semua, tapi hal ini merupakan salah satu masalah yang membuat buruknya kualitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR.
Karenanya menurut saya, salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR, agar undang-undang yang seharusnya membuat nyaman kehidupan bernegara ini tidak berubah menjadi TIRANI sebagai mana yang terjadi di Pemilu kali ini, adalah dengan cara mendesakralisasi institusi DPR sekaligus orang-orangnya dan partai-partai yang menaunginya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Gus Dur terhadap institusi kepresidenan.
Desakralisasi terhadap institusi dan anggota DPR dan partai-partai politik, selama ini sudah dilakukan dengan sangat baik oleh media massa. Pemberitaan yang massif tentang perilaku koruptif para anggota DPR ditambah dengan berbagai kelakuan tidak terhormat lainnya yang mereka lakukan seperti berselingkuh misalnya, telah sukses membentuk opini di masyarakat bahwa anggota dan institusi DPR itu bukanlah sebuah lembaga dan orang yang terhormat-terhormat amat.
Ketika kampanye pemilu dimulai, kita juga disuguhi dengan berbagai berita dan informasi yang berisi kesinisan terhadap perilaku dan metode kampanye para caleg sehingga mengesankan kalau para calon legislatif itu tidak lebih hanyalah para pemburu kekuasaan yang lebih banyak berjuang untuk kepentingan mereka sendiri dibanding kepentingan rakyat yang dimohon-mohon untuk memberi suara kepada mereka.
Setelah pemilu selesaipun, oleh media kita masih disuguhi berbagai berita tentang kelakuan tidak terhormat dari mantan caleg yang sepertinya gagal memperoleh kursi, entah itu yang stress, mengalami gangguan jiwa sampai bunuh diri. Media juga memberitakan banyaknya mantan caleg yang manarik kembali bantuan yang telah dia berikan kepada masyarakat sebelum Pemilu karena perolehan suaranya tidak memuaskan. Berita-berita seperti ini semakin menguatkan kesan di masyarakat bahwa para caleg yang bertarung di pemilu kali ini tidak lain hanyalah sekelompok orang yang memburu kekuasaan, sama sekali bukan sekelompok orang yang berlomba-lomba untuk membela kepentingan masyarakat sebagaimana selama ini mereka kampanyekan.
Saya pikir opini yang terbentuk seperti ini di masyarakatlah yang menjadi kunci dari amannya pemilu kali ini. Indikasi dari amannya pemilu kali ini bisa kita lihat dari respon positif bursa saham dan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika yang menguat beberapa poin.
Begitu tidak pedulinya rakyat yang dengan terlanggarnya hak konstitusinya pada penyelenggaraan Pemilu kali ini sampai-sampai para intelektual independenpun jadi merasa jengah untuk mempermasalahkan ketidak beresan pemilu kali ini. Mengutip apa yang dikatakan Effendi Ghazali, ketika mempermasalahkan soal DPT dan kisruh Pemilu kali ini, kesannya para intelektual independen jadi tampak seperti sekumpulan intelektual genit (kurang lebih seperti itu, saya lupa redaksi tepatnya).
Ini bisa terjadi karena masyarakat umum tampaknya sadar sesadar-sadarnya kalau tidak ada gunanya mengamuk dan berdarah-darah hanya untuk membela kepentingan para pemburu kekuasaan. Karena itulah ketika Pemilu kali ini jelas-jelas kualitasnya buruk sekali dan nyata-nyata mengebiri hak konstitusi rakyat, yang sibuk dan merasa paling berkepentingan dengan hal itu seperti kita saksikan bersama hari-hari belakangan ini bukanlah rakyat yang hak konstitusinya dicabut (padahal jumlahnya konon sampai puluhan juta orang). Yang sibuk justru partai-partai yang perolehan suaranya kecil, bukan rakyat tapi partai-partai yang memperoleh suara kecil inilah yang beranggapan ada kecurangan yang sistematis pada Pemilu kali ini. Sebagaimana bisa kita baca di semua koran yang terbit hari ini, partai-partai yang perolehan suaranya kecil itu berkumpul di rumah Megawati untuk menggugat legitimasi pemilu yang baru lalu.
Melihat fenomena ini kita biusa menyimpulkan kalau sebenarnya gerakan desakralisasi terhadap institusi dan anggota DPR yang dilakukan media massa belakangan ini sudah sangat berhasil di tingkat akar rumput.
Tapi, sebagaimana halnya persoalan dengan kultur feodal dimanapun, yang resisten dan selalu mempertahankan sikap feodal adalah para bangsawan dan orang-orang yang diuntungkan dengan adanya kultur feodalisme ini. Dalam kasus inipun anggota Partai Politik dan anggota DPR yang masih belum bisa melepaskan diri dari cara pandang feodal. Jika masyarakat sudah menganggap mereka sekedar pemburu kekuasaan, tidak demikian dengan anggota Partai Politik dan anggota DPR. Mereka masih beranggapan kalau rakyat masih menganggap mereka sebagai sekumpulan manusia terhormat, mereka masih merasa apapun yang mereka katakan akan tetap diamini oleh rakyat.
Inilah masalah yang kita hadapi sekarang, pesan yang sudah sedemikian kuat dan jelas dari masyarakat akar rumput ini sama sekali tidak berhasil ditangkap dengan sempurna oleh para anggota Partai Politik dan orang-orang yang duduk di DPR.
Karena itulah meskipun pemilu kali ini sudah berakhir, supaya pesan dari masyarakat bahwa sekarang kita-kita ini sebetulnya menganggap para anggota partai dan anggota DPR itu adalah orang biasa yang sama seperti kita. HARUS bisa kita sampaikan ke mereka supaya mereka bisa memahami pesan itu sebaik kita memahaminya.
Jadi kita tidak boleh mengendorkan upaya kita untuk mendesakralisasi DPR dan partai politik.
Supaya anggota-anggota DPR ke depan nanti tahu kalau kita tidak akan mengamini semua omongan mereka, sebaliknya kita akan terus mencurigai dan mengkritisi setiap kebijakan dan produk undang-undang yang mereka keluarkan. Supaya tidak ada lagi omongan orang autis semacam kamilah yang paling bersih, kamilah yang paling bebas korupsi dan kamilah yang paling mengerti apa mau rakyat negara iniyang keluar dari anggota DPR atau partai politik.
Karena kita para Golongan Putih sejati yang telah memilih aspirasi politik kita untuk tidak memilih sebagai bentuk protes dan ketidak puasan kita terhadap kebijakan Parpol maupun kualitas Caleg yang ditawarkan. Ditambah dengan fakta bahwa kitalah Golongan Putih yang tanpa kampanye, tanpa perlu keluar modal tercatat sebagai pemenang yang sebenarnya pemilu kali ini, dengan perolehan suara hampir dua kali lipat Partai Demokrat, calon pemilik kursi terbanyak di DPR.
Maka seharusnya adalah tugas dan kewajiban politik kita para Golongan Putih untuk terus memotori gerakan desakralisasi DPR dan Parpol ini, agar kualitas demokrasi kita semakin membaik dari hari ke hari, sehingga suatu saat nanti kitapun tidak perlu menjadi Golongan Putih lagi.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar