Sebelum pemilu legislatif diselenggarakan 9 april lalu, ada banyak 'note' di facebook dan diskusi di milis-milis yang membahasnya. Seperti biasa, saya tidak begitu peduli dengan hajatan besar berbiaya mahal ini karena menurut saya memang hajatan ini lebih banyak berguna untuk orang-orang yang menyodorkan diri untuk dipilih daripada orang yang memilihnya. Tapi seorang kenalan yang saya kenal hanya melalui Facebook dan milis serta tulisan-tulisannya di Kompas bernama T.Kemal Fasya menyarankan pada saya untuk menikmati saja proses dan lika-liku beserta intriknya, sebagaimana halnya menikmati reality show kontes pencarian bakat semacam Indonesian Idol.
Setelah saya praktekkan, ternyata usul Kemal ini memang menarik, malah ternyata menyaksikan kontes Pemilu jauh lebih seru daripada menyaksikan kontes Indonesian Idol.
Seru sekali menyaksikan prosentase suara yang susul menyusul di quick count. Puas sekali menyaksikan Golkar dan PDIP, dua partai songong yang begitu percaya diri dengan hasil yang mereka dapatkan di Pemilu 2004 lalu terperosok ke dalam lubang yang mereka gali sendiri.
Sebelum Pemilu, dengan menggunakan asumsi hasil yang mereka dapatkan di Pemilu 2004, Golkar dan PDIP bersatu padu di parlemen untuk untuk membuat undang-undang Pilpres yang menguntungkan mereka dengan mematok batas minimal 20% suara untuk syarat mengajukan calon presiden. Syarat yang jika menggunakan asusmsi hasil pemilu 2004 hanya akan bisa dipenuhi dua partai ini, jelas terbaca sebagai upaya untuk menjegal SBY yang merupakan calon terkuat presiden mendatang, yang di Pemilu 2004 suara Partainya yang baru didirikan tahun 2001 hanya di kisaran 7 persenen saja.
Tapi sial seribu sial, hasil 2009 malah membuat undang-undang yang disponsori dua mantan partai terbesar ini balik menghantam telak wajah mereka sendiri. Sekarang Megawati si ketua PDIP mulai kepanasan mencari-cari partner koalisi. Malah melihat komentar-komentar yang dikeluarkan para petinggi partai ini, tampak jelas mereka sudah mulai menyiapkan 'seekor kambing' dan 'sekaleng cat hitam'yang nantinya akan dijadikan pemikul tanggung jawab atas kesalahan mereka. PDIP yang arahnya semakin jelas akan berkoalisi dengan Hanura dan Gerindra untuk menghantam SBY dan Demokratnya, tampak sedang berancang-ancang cari perkara dengan mempermasalahkan amburadulnya kerja KPU.
Ini tentu akan menjadi tontonan lucu lain pasca Pemilu. Saya katakan lucu, karena buruknya kerja KPU dan amburadulnya pendataan DPT yang mereka lakukan adalah akibat andil besar PDIP juga.
Memang kalau kita lihat sekilas, kualitas orang-orang di KPU kali ini tampak masih di bawah kulaitas para anggota KPU sebelumnya yang setelah sukses menyelenggarakan Pemilu dengan lancar kemudian ditangkapi satu persatu dengan tuduhan korupsi. Mirip seperti yang terjadi pada anggota Tim Korea Utara yang menembus perempat final piala Dunia yang kemudian ditangkapi pemerintahnya dan dijebloskan ke dalam Penjara atas tuduhan mencoreng martabat negara, karena berpesta sampai mabuk dalam merayakan kesuksesan mereka.
Tapi meskipun kualitas orang-orang KPU memang begitu adanya, bukankah sebenarnya amburadulnya kerjaan mereka adalah akibat dari undang-undang Pemilu yang merombak total aturan pendataan Pemilih yang dipraktekkan di Pemilu-pemilu sebelumnya, yang ikut dirancang dan dibuat oleh PDIP sendiri. Kemudian bukankah alotnya pembahasan masalah ini di Parlemen yang mengakibatkan telatnya pencairan dana untuk memulai pendataan Pemilu juga atas andil PDIP juga?. Bukankah masalah-masalah yang disebabkan oleh andil besar PDIP ini pula yang membuat anggota KPU yang katanya tidak terlalu berkualitas ini jungkir balik menghadapi berbagai masalah sambil dikejar tenggat waktu sehingga berakibat amburadulnya pelaksanaan Pemilu kali ini.
Apa yang dilakukan oleh PDIP dan yang akan kita saksikan dalam hari-hari ke depan ini bukanlah hal yang aneh. Saya katakan bukan hal aneh karena PDIP ini adalah partai yang dasarnnya memang lucu dan ahli mengundang tawa.
Partai ini melalui ketuanya yang memiliki bakat menjadi pemain sinetron sekelas Chelsea Olivia atau Cinta Laura itu tampaknya mengidap penyakit pelupa yang parah. Dia tidak pernah konsisten dengan apa yang diucapkannya.
Misalnya dulu di Aceh sebelum Pemilu 1999, sambil menyebut diri sebagai Cut Nyak dan meneteskan air mata dia katakan, seandainya dia terpilih jadi Presiden, tidak akan ada setetespun darah tertumpah di bumi Aceh. Tapi ketika dia menjadi Presiden, dia malah menetapkan darurat militer. Saat tidak berkuasa lagi dia menentang perdamaian RI-GAM.
Lalu lihat pula iklan Pemilu partai ini soal BLT, awalnya partai ini sangat menentang kebijakan tersebut, menyebutnya sebagai kebijakan bodoh dan menghina rakyat kecil. Tapi begitu melihat BLT berhasil dijadikan kartu truf oleh lawannya untuk meraih simpati pemilih dari kalangan bawah, Partai berlambang banteng gemuk inipun dengan muka tebal tanpa rasa malu sedikitpun mengatakan kalau BLT berhasil adalah karena pengawasan mereka.
Mantan partai besar lain, Golkar dan ketuanya Jusuf Kalla pun tampaknya mulai tahu diri kalau posisi sebagai wakil presiden adalah posisi maksimal yang bisa dia dapatkan dan harus dia syukuri. Meskipun ada wacana di Golkar sendiri untuk menjalin koalisi dengan PDIP untuk menjadi oposisi, tampaknya wacana ini tidak akan populer, ide untuk merapat ke Demokrat tampaknya akan lebih menarik bagi para Kader Partai yang dari awal kelahirannya memang dirancang tidak untuk menjadi partai oposisi ini.
Juga sangat menyenangkan menyaksikan PKS, si partai autis yang narsis dan berpotensi fasis juga gagal menjual kecapnya. Hasil quick count dan juga penghitungan manual KPU sampai sejauh ini menunjukkan kalau di Pemilu 2009, Partai ini gagal total dalam usaha menarik simpati orang-orang di luar para Ikhwan dan Akhwat yang merupakan Kader fanatik mereka sendiri. Menurut Quick Count yang dirilis berbagai lembaga survey dan penghitungan manual KPU sampai sejauh ini, suara yang didapatkan PKS pada Pemilu kali ini sama sekali tidak bertambah dibanding Pemilu 2004. Meskipun Tifatul sang ketua yang dipuja seperti nabi oleh para kadernya ini dengan rasa percaya diri yang dipaksakan mengatakan PKS mengalami peningkatan persentasi. Tapi faktanya sebenarnya orang yang memilih PKS berkurag dibandingkan Pemilu tahun 2004. Mengingat jumlah pemilih tahun ini menurun sekitar 20% dibanding Pemilu tahun 2004, maka kalau dihitung jumlah pemilih sebenarnya jelas kalau suara Partai sok bersih dan sok suci ini turun dibanding Pemilu lalu.
Artinya apa, yang memilih partai ini di pemilu 2009 sebenarnya ya orang-orang yang sama dengan yang memilihnya tahun 2004, orang-orang yang memuja partai ini seperti berhala yang meniru dan menggugu omong kosong apapun yang keluar dari mulut para pimpinan partai yang merasa diri paling Islam ini.
Di luar itu, jutaan atau setidaknya ratusan ribu pemilih lainnya meninggalkan PKS dengan berbagai alasan. Indikasi paling jelas dari fenomena ini terlihat di Jakarta. Jika pada Pemilu tahun 2004, di Jakarta partai ini berjaya dengan lebih dari 22% suara, sekarang terlihat jelas kalau orang-orang Islam di ibukota negara ini sudah muak dengan gaya sok suci Tifatul, Nurwahid dan orang-orang PKS lainnya. Dari hasil quick count dan penghitungan manual KPU sampai sejauh ini, di Jakarta justru Demokrat yang sudah mencapai 35% suara.
Pemilu kali ini juga menunjukkan kalau perilaku dan pola pilihan dari para pemilih sudah berubah, perkembangan teknologi komunikasi dan keterbukaan media telah mengubah pola perilaku para pemilih. Jaringan partai yang kuat sampai ke akar rumput seperti yang dimiliki Golkar pada masa orde baru terbukti tidak lagi efisien untuk digunakan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan ide-ide dan pembentukan citra partai. SEperti fenomena kemenangan Obama di Amerika yang memanfaatkan pola-pola komunikasi baru, Demokrat di sini juga demikian.
Sesuai dengan tingkat kemajuan pola komunikasi baru di sini, untuk meraih simpati pemeilih Demokrat menggunakan sarana komunikasi massa semacam koran, spanduk, poster, radio dan terutama televisi yang bisa ditemukan hampir di setiap rumah penduduk negeri ini bahkan yang palig miskin sekalipun, terbukti jauh lebih efektif digunakan untuk menyampaikan ide dan membentuk citra Partai. Banyak partai-partai lama atau yang baru dengan kader-kader yang ketinggalan zaman yang tidak bisa membaca perubahan ini. Akibatnya mereka dan partai merekapun tenggelam. Dari sekian banyak Partai yang berkoalisi dalam pemerintahan saat ini, yang paling bisa mengambil manfaat dari segala kebijakan populis pemerintah hanya partai Demokrat.
Bahkan beberapa kebijakan yang sebenarnya adalah ide partner koalisinya malah memberi manfaat kepada partai demokrat, kebijakan ini misalnya perdamaian di Aceh, yang sebenarnya lebih banyak terjadi atas andil Jusuf kalla yang ketua Golkar, tapi oleh orang Aceh itu ditangkap sebagai ide SBY dengan demokratnya, sehingga dalam pemilu kali ini, berdasarkan perhitungan sementara demokrat menguasai hampir 50% suara untuk kursi DPR RI. Golkar sendiri hancur lebur.
Seperti biasa kemenangan partai demokrat yang merupakan partai dari orang nomor satu di negeri ini mengundang banyak nada sumbang yang menuduh demokrat berbuat curang. Secara langsung atau tidak ada yang mengatakan mereka merekayasa Pemilu lah, membuat sistem DPT yang kacau balau lah, dan lain sebagainya. Di Aceh kampung saya, saat ini banyak beredar tudingan bahwa Demokrat bekerja sama dengan Partai Aceh (PA) untuk memenangi Pemilu dengan segala cara. Faktanya, di Aceh, secara kasat mata saat ini kita memang bisa melihat kalau suara yang didapat Demokrat untuk DPR RI hampir sama signifikannya dengan suara yang diperoleh PA untuk ingkatan kabupaten dan provinsi. Fakta ini masih lagi ditambah kenyataan bahwa di hampir di semua TPS ditemukan banyak sekali kertas suara rusak milik partai-partai Non PA dan Non Demokrat, sampai-sampai di Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Singkil, yang merupakan kabupaten-kabupaten pro ALA pun, Demokrat dan juga PA sukses dan berjaya.
Kenyataan ini tentu saja membuat para caleg dan pengurus partai non Demokrat dan PA naik darah dan emosi memuncak sampai ke kepala.
Tapi bagi saya yang melihat segala keriuhan ini tidak lebih dari sekedar tontonan, saya menganggap fenomena ini tidak lebih seperti fenomena Liga Italia di paruh akhir 90-an, ketika Juventus begitu dominan. Saat itu klub berseragam zebra yang sangat saya benci sampai sekarang ini, didukung oleh dana melimpah, diperkuat pemain-pemain terbaik di dunia dan dilatih oleh pelatih mumpuni. Sudah begitu, mereka dikelola oleh orang-orang yang sangat paham trik dan strategi pemenangan di luar lapangan. Beberapa kali terlihat sangat jelas, bukan kemampuan di lapangan, tapi justru trik-trik di luar lapangan inilah yang membawa JUventus ke tangga juara. Begitu hebatnya trik luar lapangan Juventus saat itu, sampai-sampai klub favorit saya, Inter Milan yang saat itu baru memboyong Ronaldo, penyerang paling ditakuti di dunia yang di musim pertamanya mencetak 25 Gol pun, oleh Juventus dibuat tak berdaya.
Bukan itu saja, kehebatan Juventus di luar lapangan ini sampai membuat Massimo Moratti pemilik inter frustasi, karena ratusan juta dollar uang investasinya untuk membongkar pasang tim, baik itu pemain maupun pelatih demi mememangkan scudetto ternyata sia-sia. Saking frustasinya Moratti malah sempat mengundurkan diri dari jabatan presiden Inter segala.
Memang sepuluh tahun kemudian Juventus kena batunya, terjerat kasus Calciopoli dan dua gelar terakhirnya diserahkan ke Inter, tapi pada waktu itu yang jelas Juventus adalah juara dan Inter pecundang, itulah yang diakui dunia.
Nah beda Liga Italia dan pemilu kali ini bagi saya adalah; di Liga Italia saya punya Inter Milan sebagai Jagoan dan saya merasa memiliki ikatan emosional dengan klub itu, saya sakit hati pada Juventus saat merampok scudetto yang menjadi hak Inter. Sedangkan di Pemilu kali ini saya sama sekali tidak memiliki ikatan emosi apapun dengan partai apapun. Jadi biarlah segala urusan di dunia pemilu itu jadi urusan mereka, saya cukup menikmati sebagai penonton saja.
Sementara itu kalau kita berbicara manfaat Pemilu bagi masyarakat kebanyakan, menurut saya, yang paling bermanfaat dari Pemilu kali ini bagi masyarakat adalah kemampuan hajatan besar ini dalam menggairahkan ekonomi masyarakat melalui pendistribusian kekayaan secara sukarela oleh para kontestan yang kebetulan diberi rezeki berlebih dibandingkan kita-kita oleh yang maha kuasa.
Jika biasanya orang-orang kelebihan duit yang foto-fotonya banyak kita saksikan bertebaran pada masa kampanye Pemilu begitu pelit membagi kekayaannya bahkan tidak jarang menghalalkan segala cara untuk bisa menumpuknya, tapi menjelang Pemilu saudara-saudara kita yang emiliki rezeki berlebih ini jadi luar biasa dermawan dan welas asihnya. Mereka mendistribusikan rezekinya ke masyarakat baik itu secara langsung melalui pemberian bantuan sembako, sumbangan ke mesjid dan lapangan olah raga di desa-desa, penyelenggaraan lomba-lomba dan lain sebagainya ataupun pendistribusian yang tidak langsung menyasar masyarakat bawah tapi melalui perusahaan percetakan, periklanan, konsultan komunikasi, tukang spanduk dan poster, pembuat frame, tukang sablon, tukang kaos sampai para buruh kecil dan tukang becak dan dibayari untuk ikut kampanye.
Apa yang dilakukan para kontestan ini saya pikir memiliki arti yang cukup besar bagi bangsa ini karena sebagaimana halnya bangsa-bangsa lainnya juga tidak bisa lari dari imbas krisis keuangan global, meski tidak sebesar imbas yang dialami para tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Imbas ini sedikit banyak teringankan oleh gairah ekonomi yang diciptakan para kontestan pemilu ini.
Dan menariknya, kemampuan menggairahkan perekonomian yang dilakukan para kontestan Pemilu ini tidak langsung berakhir dengan berkahirnya Pemilu. Kegairahan ekonomi berkat pemilu ini tetap akan berlangsung sampai beberapa waktu ke depan. Jika sebelum Pemilu yang mangambil manfaat dari potensi ekonomi yang dimiliki para kontesan ini adalah orang-orang atau perusahaan yang bergerak di bidang-bidang yang saya sebutkan di atas, maka pasca pemilu yang mengambil manfaat atas potensi ekonomi para mantan caleg ini adalah klinik-klinik kesehatan jiwa ataupun ahli terapi freelance baik yang konvensional maupun alternatif.
Tadi pagi jam 6.45 WIB, saya menyaksikan tayangan fokus pagi Indosiar. Dalam tayangan itu ditampilkan rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang telah menyiapkan ruangan-ruangan rumah sakit untuk perawatan kejiwaaan sebagai antisipasi atas kemungkinan akan membludaknya pasien yang merupakan Caleg-caleg gagal.
Rumah Sakit Sanglah di Bali misalnya, sudah menyiapkan 100 kamar mulai dari yang berkelas internasional sampai kelas ekonomi yang menurut seorang dokter yang bertanggung jawab atas pelayanan rumah sakit itu disiapkan untuk menampung caleg-caleg yang sudah keluar uanga ratusan juta hingga milyaran yang berpotensi stress karena gagal menjadi anggota dewan. Kelas-kelas kamar di rumah sakit itu sengaja dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyesuaikan tarifnya dengan variasi kemampuan dana para mantan caleg yang habis-habisan sebelum pemilu. Kali ini tinggi rendahnya kelas kamar yang bisa mereka huni di rumah sakit ini sangat tergantung sisa dana yang mereka punya pasca Pemilu yang gagal mereka menangi.
Kemudian di Purbalingga, ada klinik alternatif HS Mustajab. Pemilik klinik ini yang bernama Supono begitu yakin dengan besar dan menggiurkannya potensi bisnisnya pasca pemilu yang sekarang sudah berakhir. Karena sedemikiann yakinnya akan kebanjiran Pasien, Supono berani membangun kamar-kamar baru di kliniknya sebagai persiapan 'panen raya' pasca Pemilu. Dan satu hal yang sangat menarik yang ditawarkan oleh klinik milik Supeno ini adalah sosok room boy yang membersihkan kamar-kamarnya. Si Room Boy di klinik ini adalah orang yang namanya sangat dikenal di seantero Nusantara, namanya Sumanto, yang di Indonesia dikenal luas sebagai pemakan manusia.
Potensi ekonomi yang dihadirkan para mantan caleg pasca Pemilu ini bukanlah sekedar olok-olok semacam April Mop yang megada-ada, tapi potensi ekonomi ini memang nyata adanya. Ujang Rustomi seorang pemilik klinik terapi jiwa alternatif di cirebon sudah mulai menangguk manfaat ekonomi dari para mantan Caleg pasca Pemilu. Kemarin dia mendapat seorang pasien berinisial AR, mantan Caleg sebuah partai yang stress karena suara yang dia dapat dalam pemilu tidak cukup signifikan untuk mendapatkan sebuah kursi Dewan, sementara dia sudah keluar uang ratusan juta.
Rumah sakit Sanglah di Bali juga sudah sangat tepat menyiapkan antisipasinya, karena di Bali memang ada potensi besar manfaat ekonomi dari para caleg gagal ini, kemarin sudah ada seorang perempuan, mantan caleg dari Hanura yang meninggal dunia akibat serangan jantung saat mendengar perolehan suaranya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Jadi, kalau dulu saya sempat kesal ketika di masa kampanye Pemilu menyaksikan polusi pemandangan yang diciptakan oleh gambar-gambar tidak indah para Caleg yang menyebar sampai jauh ke pelosok desa bahkan hutan. Sekarang, meski ketika pertunjukan pasca Pemilu ini sampai merengut korban jiwa, jujur terkadang saya merasa miris juga. Tapi melihat menariknya hiburan yang tercipta pasca pemilu ditambah dengan besarnya kegairahan ekonomi yang diakibatkan oleh kegiatan ini,baik pra maupun pasca. Tiba-tiba saya jadi berharap supaya Pemilu diadakan lebih sering lagi.
Wassalam
Win Wan Nur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar