Sabtu, 25 April 2009

Panti Asuhan Budi Luhur, Gayo dan Demokrasi

Ketika pertama kali menulis tentang apa yang terjadi terhadap Panti Asuhan Budi Luhur di Takengen, saya pernah menyatakan kekecewaan saya pada sikap orang Gayo yang tinggal di Takengen. Saya kecewa melihat ketidak pedulian mereka pada apa yang terjadi di sekitar mereka, saya tidak habis pikir bagaimana mungkin Orang Gayo bisa begitu tidak peduli ketika lahan Panti Asuhan yang diperuntukkan untuk anak yatim dengan semena-mena dijual oleh seorang Bupati yang baru beberapa tahun menjabat, yang bahkan belum lahir saat Panti Asuhan tersebut didirikan. Yang lebih membuat saya tidak habis pikir lagi, Orang Gayo juga sama sekali tidak peduli dalam lahan tersebut ada sebuah Mesjid, sebuah RUMAH TUHAN yang biasanya begitu dihargai dan malah dianggap SAKRAL oleh orang Gayo.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat sebuah komentar di Blog saya, komentar ini berasal dari seseorang yang bernama Yusradi Usman Al Gayoni yang katanya tinggal di Bebesen yang juga merupakan teman baik dari beberapa anak Panti Asuhan Budi Luhur, yang ketika dia sebutkan nama-namanya, saya kenal sebagai adik-adik saya di Panti Asuhan Budi Luhur yang tingkatannya berada dua tahun di bawah saya.

Dua hari berselang dari munculnya komentar tersebut, saya mendapati komentar lain yang gagal masuk ke Blog saya karena persyaratan menulis komentar di sana terlalu ribet. Sehingga komentar ini dia kirimkan melalui E-mail saya. Kali ini yang berkomentar adalah Idrus, seorang pegiat LSM yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi yang mereka beri nama Jang-Ko.

Kedua orang yang mengomentari tulisan saya ini menceritakan kepada saya bahwa anggapan awal saya tentang tidak pedulinya Orang Gayo terhadap apa yang terjadi di sekitarnya adalah salah sama sekali. Keadaan yang sebenarnya ternyata sama sekali berbeda dengan apa yang saya duga. kenyataan yang sebenarnya adalah, Orang Gayo dan suku-suku lain yang tinggal di Kabupaten Aceh Tengah dikelabui oleh bupati Nasaruddin dan Wakilnya Jauhar. Oleh kedua pejabat tertinggi di kabupaten ini, kejahatan mereka (yang sah menurut undang-undang tapi TIDAK SAH MENURUT STANDAR MORAL YANG BERLAKU DI GAYO) ditutupi dengan kamuflase berupa pembangunan gedung megah yang dibangun dengan menghamburkan dana OTSUS.

Kamuflase yang dibuat oleh kedua petinggi lokal ini ternyata demikian sempurnanya sampai-sampai para tetangga di sekitar lingkungan panti pun tidak menyadari kalau sebenarnya pembangunan gedung tersebut adalah 'bungkus' yang dipakai oleh kedua petinggi tersebut untuk menutupi 'Bangkai' yang mereka timbun.

Saya bersyukur sekali pada akhir tahun lalu memiliki kesempatan kembali ke tempat kelahiran saya dan mengetahui adanya bangkai yang ditutupi oleh dua petinggi ini. Itulah awal mula kemunculan tulisan saya yang menyoroti penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur bersama mesjid yang ada di dalamnya.

Tulisan ini kemudian dibaca Murizal teman saya yang bekerja di The Globe Journal, yang lalu meminta wartawannya di Takengen yang bernama Khalisuddin yang juga adalah teman baik saya untuk melakukan investigasi dan mempublikasikannya melalui media mereka.

Oleh adik-adik saya sesama mantan penghuni Panti Asuhan Budi Luhur, tulisan yang saya publikasikan di blog dan berbagai milis tersebut di print dan di foto copy lalu disebebar luaskan kemana-mana dan ternyata sekarang sudah beredar luas di Tanoh Gayo dan akhirnya 'Bangkai' yang selama ini ditutup rapat oleh Nasaruddin, Jauhar dan keroco-keroconya terbuka penutupnya dan bau busuk yang ditimbulkan oleh BANGKAI inipun menyebar kemana-mana ke seantero Tanoh Gayo.

Nasaruddin si Bupati penjual lahan pati Asuhan beserta Mesjidnya ini tampaknya ingin melawan opini yang terbentuk di masyarakat. Seorang kerabat saya mengatakan, Nasaruddin akan memanfaatkan TEGANING, bulettin bulanan milik PEMDA Aceh Tengah yang dikelola oleh teman saya FIKAR ABATI.

Tampaknya, dengan kekuasan yang dia miliki, Nasaruddin akan memaksa teman saya yang bekerja sebagai pegawai negeri ini untuk menerbitkan sebuah artikel tentang kasus penjualan lahan Panti Asuhan ini.

Saya belum mendapatkan kebenaran berita ini dari Fikar sendiri, tapi masih menurut kerabat saya yang juga bekerja sebagai pegawai negeri yang menceritakan pada saya tentang artikel TEGANING ini, dalam artikel bulettin TEGANING yang akan terbit bulan Mei tersebut, akan ada pernyataan dukungan penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dan Mesjid dari alumni panti asuhan Budi Luhur sendiri.

Entah siapa alumni yang akan dijadikan umpan peluru oleh Nasaruddin ini, yang jelas sekarang semua alumni Budi Luhur hanya mempunyai satu wadah resmi yang diketuai Cik Muchtaruddin Gayo.

Cukup lucu melihat usaha Nasaruddin untuk memecah belah kami para Alumni Panti Asuhan Budi Luhur. Tapi itu belum seberapa lucu, yang menurut saya yang paling lucu dari cerita kerabat saya ini adalah betapa ketinggalan zamannya si Nasaruddin ini dibandingkan rakyatnya sendiri.
Entah Oon, entah bego atau sedang frustasi, Nasaruddin yang produk orde baru ini masih berpikir dalam kerangka pikir orde baru dulu, masih berpikir rakyat itu se-oon dan sebego dia. Dia pikir orang Gayo bisa semudah itu dimanipulasi dengan jurus lama HARMOKO si Hari-hari omong kosong yang sudah lama basi.

Begitulah, ketika berita kebusukan Nasaruddin ini menyebar, orang Gayo dan etnis-etnis lain yang ada di Aceh Tengah-pun beraksi.

Dua hari yang lalu, Khalisuddin, wartawan The Globe Journal yang pertama kali saya kenal saat kami berdua bertugas jaga malam di Kemili, ketika kami berdua masih SMA, mengirimkan sebuah pesan singkat di facebook saya. "Di Takengen ada demo yang menyoroti penjualan lahan Budi luhur" katanya.

Tadi malam, seorang kerabat saya di Takengen juga menelpon saya menceritakan jalannya demo tersebut, dalam demonstrasi tersebut ada sebuah spanduk yang berisi tulisan "PENJUAL MESJID LEBIH BIADAB DARI YAHUDI"

Ketika bungkus penutup bangkai itu akhirnya terbuka, RAKYAT GAYO-pun menunjukkan karakter asli Orang Gayo yang sebenarnya yaitu tidak pernah takut pada pimpinan. Mau kata Bupati, oleh Orang Gayo kalau memang salah itu orang akan tetap dikata-katai.

Rakyat Gayo, sejak dulu, sejak Belanda belum datang adalah sebuah masyarakat yang egaliter. Orang Gayo sejak dulu tidak pernah menempatkan raja di posisi sangat tinggi yang setiap titahnya bagaikan firman yang tidak bisa dibantah. Setiap Orang Gayo, sejak dulu adalah seorang PANG, mereka tidak pernah takut berseberangan pendapat dengan rajanya. Orang Gayo sejak dulu tidak pernah ragu menentang raja yang berbuat tidak benar.

Orang yang lama terlena dengan adi luhungnya budaya Jawa sering menyebut karakter istimewa Orang Gayo ini sebagai kelemahan. "Dengan karakter seperti itu Orang Gayo tidak bisa dipimpin" kata mereka. Mereka berargumen karakter yang dimiliki orang Gayo inilah yang mebuat Gayo tidak bisa maju.

Padahal menurut saya, yang salah bukanlah karakter orang Gayo, tapi orang yang berniat MEMIMPIN ORANG GAYO. Orang Gayo adalah kumpulan PANG, mereka tidak butuh dipimpin, mereka hanya butuh KOORDINASI. Fakta yang sebenarnya, karakter orang Gayo yang tidak mau tunduk total pada penguasa ini adalah bibit-bibit demokrasi modern.

Demokrasi modern adalah sebuah bentuk pengelolaan negara yang mengasumsikan bahwa setiap kekuasaan cenderung untuk diselewengkan. Karenanya di negara demokrasi, setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa dicurigai, diawasi dan dikritisi bukan ditaati dan dipercayai secara TOTAL.

Dalam memilih pemimpin, di Indonesia ini banyak orang yang mempercayai sebuah kepercayaan Jawa. Menurut kepercayaan Jawa, seorang calon pemimpin harus dilihat BOBOT, BIBIT dan BEBETNYA.

Padahal dalam demokrasi,itu semua tidak perlu sama sekali, yang diperlukan oleh demokrasi adalah rakyat yang mampu mengawasi. Semua itu tidak perlu, karena kalau sudah menyangkut urusan kekuasaan dan UANG. Kesalehan pribadi, asal usul keturunan sampai kemampuan menghafal hadits dan kepintaran mengaji sama sekali tidak berlaku lagi.

Contoh paling jelas soal ini lagi-lagi berkaitan dengan penjualan lahan panti dan mesjid yang ada di dalamnya, yang terjadi Gayo ini.

Tidak berlakunya BOBOT, BIBIT dan BEBET ini tampak jelas ketika kita melihat latar belakang salah seorang pelaku kejahatan moral yang sah menurut undang-undang ini. Wakil bupati yang bernama Jauhar, yang sedikit banyak ikut terlibat dalam penjualan lahan Panti Asuhan beserta Mesjid yang ada didalamnya ini.

Jauhar yang wakil bupati ini adalah seorang tokoh yang dikenal alim, taat bergama dan sangat fasih memberikan nasehat-nasehat agama, baik itu dengan mengutip hadits maupun firman Allah yang dikutip dari ayat-ayat kitab suci Al Qur'an.

Jauhar yang terkenal alim dan taat beragama ini adalah putra kandung dari seorang Ulama yang sangat dihormati di Tanoh Gayo yang berasal dari Simpang Teritit Bener Meriah, dalam struktur pemerintahan kabupaten Aceh Tengah, Bapak kandung Jauhar yang bernama Tgk. Ali Djadun menjabat sebagai ketua MPU dan juga merupakan Ketua yayasan salah satu Panti Asuhan non Pemerintah yang ada di Takengen.

Tapi ketika kasus penjualan lahan Panti Asuhan dan mesjid ini terjadi, Jauhar yang BOBOT, BIBIT dan BEBET-nya cukup mumpuni inipun cuma bisa jadi BEBEK yang cuma bisa mengikuti langgam gerak dan tarian Bupati.

Begitulah kenyataannya, faktanya Orang Gayo tidak butuh Jauhar atau siapaun yang mengaku alim dan pintar mengaji. Orang Gayo hanya butuh menjadi dirinya sendiri.

Seperti sekarang, ketika Orang Gayo sudah bergerak, kembali ke karakternya yang asli, semua terlihat jadi lebih cerah.

Sementara itu,surat yang kami buat tentang kasus penjualan lahan panti asuhan ini, atas nama para alumni, yang kami kirimkan ke berbagai instansi mulai mendapat tanggapan yang berarti.

Hari ini seorang petugas BPK ada di Takengen, apapun maksud keberadaannya di Tanoh Tembuni, saya yakin keberadaannya akan membuat panas dingin Nasaruddin sang Bupati.

Saat saya di Takengen desember yang lalu, seorang adik saya diopname di rumah sakit Datu Beru. Kami ingin menempatkan adik saya ini di kamar VIP rumah sakit tersebut. Tapi RSU Datu Beru tidak dapat mengabulkan maksud kami, menurut perawat yang ada di sana semua kamar VIP sudah penuh, padahal saya melihat ada beberapa kamar VIP yang tidak berisi.

Ketika itu saya tanyakan, si perawat cantik ini dengan polos menjawab; kamar-kamar VIP yang kosong tersebut sudah dibooking oleh para pejabat Kabupaten Aceh Tengah sebagai antisipasi, untuk berpura-pura sakit kalau KPK tiba-tiba datang mengunjungi.

Waktu itu saya pikir alangkah mubazirnya kamar-kamar itu dibiarkan kosong untuk waktu yang tak pasti, padahal banyak pasien yang benar-benar sakit yang sangat membutuhkan kamar-kamar tersebut.

Tapi Insya Allah, tidak lama lagi kamar-kamar mubazir tersebut akan segera terisi.

Wassalam

Win Wan Nur

Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur

Tidak ada komentar: