Tulisan ini berisi "pertukaran pendapat" antara saya dengan seorang warga Malaysia yang merasa tersinggung dengan tulisan saya http://winwannur.blog.com/2009/09/06/hubungan-indonesia-malaysia-tanggapan-kritis-untuk-franz-magnis-suseno/ yang saya post di sebuah milis Aceh.
Warga Malaysia yang menanggapi tulisan saya tersebut bernama Dr. Kamarulzaman Askandar, seorang pengajar di USM. Saya mengenalnya ketika kami berdua mengikuti sebuah konferensi di Banda Aceh hampir setahun yang lalu.
Dr.Kamarulzaman Askandar ini adalah pembimbing dari teman-teman saya yang saat ini mengelola Aceh Institute. Ketika teman-teman saya ini mengambil gelar pasca sarjana di Universitas tempat Dr.Kamarulzaman Askandar mengajar.
Warga Malaysia ini juga merupakan salah seorang pendiri Aceh Institute yang sekarang dikelola oleh teman-teman saya tersebut. Dalam balasan terhadap tulisan saya http://winwannur.blog.com/2009/09/14/hubungan-indonesia-malaysia-tanggapan-langsung-dari-malaysia/ Dr.Kamarulzaman Askandar dengan terus terang menyatakan kesal dan merasa tersinggung karena saya menuliskan opini yang menyudutkan Malaysia di Milis dari sebuah institusi yang dia bidani kelahirannya.
Karena itulah saya mem-post tulisan ini di berbagai milis, untuk dijadikan bahan diskusi.
Melalui tulisan ini pula saya ucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya pada para pengelola Aceh Institute atas kedewasaan Aceh Institute dalam berdemokrasi.
Saya sangat menghargai Institusi ini karena meskipun tulisan ini dikesalkan oleh salah seorang pendiri lembaga ini yang sangat dihormati oleh beberapa pengelola lembaga ini karena yang bersangkutan merupakan dosen pengasuh dari beberapa penggelola lembaga ini saat mengambil gelar pasca sarjana.
Bagi saya hal ini membuktikan bahwa Aceh Institute benar-benar didirikan dengan sebuah motivasi murni untuk mencerahkan Rakyat Aceh di Bumi Iskandar Muda yang saya cintai.
Inilah isi dialog saya dengan Dr. Kamarulzaman Askandar, selamat membaca.
Walaikum Salam Saudara Kamarulzaman
Setelah hampir setahun tidak pernah berkomunikasi dengan anda, senang sekali rasanya melihat anda mau meluangkan waktu membaca bahkan dengan ikhlas mau menanggapi tulisan saya.
Dikarenakan kesibukan saya mencari nafkah untuk keluarga saya, saya mohon maaf kalau baru sekarang saya bisa membalas tulisan anda. Selama ini saya memang jarang sekali sempat membuka tiap milis yang saya ikuti satu persatu. Saya biasanya hanya menulis dan mem-postnya tulisan yang saya ketik di waktu luang ke berbagai milis tanpa sempat lagi membaca tanggapan yang masuk.
Saya juga senang sekali membaca 'nada' dalam tanggapan anda, karena dengan melihat nada dalam tulisan anda itu saya tahu bahwa apa yang saya maksud saat mem-post tulisan ini di milis AI tercapai adanya. Saya memang sengaja mem-post tulisan ini di AI karena saya tahu apa yang tertulis di milis ini juga akan dibaca di Malaysia negara anda.
Maaf kalau tangapan saya kali ini akan panjang sekali, itu karena akan banyak hal yang akan saya jelaskan dan saya pikir perlu anda dan bangsa anda ketahui.
Sebenarnya agak sulit bagi saya untuk memilih, memulai darimana untuk membalas tanggapan anda ini.
Tapi baiklah saya mulai saja dari soal budaya dan tari-tarian. Saya sangat maklum dengan ucapan anda yang menganggap soal tarian dan budaya adalah soal remeh adanya. Saya maklum karena anda berasal dari Malaysia. Di Malaysia negara anda, soal ini memang tidak memilliki arti apa-apa, tidak ada urusan dengan identitas dan keunikan lokal yang perlu dipertahankan dalam budaya. Jadi siapapun bisa mengklaim tarian ini dan budaya ini sebagai miliknya. Beda dengan di sini, bahkan orang Gayo pun tidak senang budayanya di klaim sebagai milik orang Aceh. Padahal kami sama-sama Aceh.
Soal itu tarian ditarikan oleh orang lain itu berbeda adanya, orang Gayo juga bangga tariannya ditarikan oleh orang Aceh atau orang Jawa selama yang menarikan itu mengakui bahwa tari yang mereka tarikan itu adalah tari Gayo. Seperti yang anda katakan "Malaysia akan salah kalau mengaku bahawa budaya yang pelbagai ini adalah ciptaan bumi Malaysia kerana mereka sebenarnya dibawa ke tanah ini oleh penduduk yang aslinya dari Jawa, Aceh, Cina, India atau dari mana saja". Tepat sekali inilah masalahnya.
Saudara Kamarulzaman, perlu anda tahu, orang di sini yang di negara anda dipanggil "indon" tidaklah sepicik yang anda sangka. "indon-indon" di sini bukanlah sekumpulan manusia xenophobic yang anti asing yang melarang dengan ketat budayanya di apresiasi oleh orang luar.
Soal pendet Bali misalnya, dari tulisan anda ini saya menangkap kesan seolah-olah anda beranggapan bahwa orang Bali itu demikian piciknya yang langsung emosi melihat tarian karya budaya mereka ditarikan orang asing. Padahal kenyataannya tidak begitu adanya saudara Kamarulzaman. Orang Bali itu adalah salah satu suku yang paling toleran di dunia. Dua kali orang Islam dari Jawa mem-Bom tanah mereka karena alasan agama, tapi sampai hari ini tidak pernah terpikir oleh mereka untuk mengusir orang Islam dan orang Jawa dari tanah Bali.
Di Bali itu setiap tahunnya ada ribuan orang asing yang datang untuk mempelajari budaya mereka. Tari pendet yang bermasalah itu telah ditarikan oleh orang dari berbagai bangsa mulai dari Asia, Eropa, Amerika sampai Afrika. Bahkan di Jepang dan di Australia kadang itu tarian ditarikan untuk menarik minat wisatawan. Persis seperti yang anda katakan alih-alih marah, orang Bali justru bangga budayanya diapresiasi oleh orang asing. Orang Bali marah ketika tariannya ditarikan oleh orang asing, jika dan hanya jika tariannya itu ditarikan oleh orang MALAYSIA.
Beberapa waktu yang lalu Jawa Timur mendapat kunjungan rombongan ketoprak dari Suriname. Para pemainnya adalah keturunan Jawa yang dulu dibawa oleh Belanda ke negara itu. Orang Jawa Timur memenuhi gedung pertunjukan tempat Ketoprak Suriname itu dipentaskan. Saat datang ke gedung pertunjukan, wajah orang-orang Jawa itu dipenuhi antusiasme dan rasa penasaran bagaimana kiranya kesenian mereka dimainkan oleh orang Jawa yang berasal jauh dari seberang lautan. Ketika pulang dari menonton pertunjukan itu wajah-wajah mereka dipenuhi rasa bangga saat menyadari kalau budaya mereka masih tetap dilestarikan di Suriname, sebuah negeri yang terletak jauh di seberang lautan sana. Apalagi selepas menonton Ketoprak itu mereka mengetahui kalau ada banyak bahasa Jawa yang tidak dipakai lagi dalam perckapan sehari-hari mereka masih dilestarikan di Suriname sana.
Pada waktu hampir bersamaan, Reog Ponorogo, kesenian mereka yang lain ditarikan di Malaysia. Uniknya, reaksi orang Jawa Timur terhadap kejadian itu berbanding 180 derajat dengan reaksi terhadap Ketoprak yang dimainkan orang Suriname. Alih-alih merasa bangga, orang Jawa Timur marah besar saat Reog Ponorogo, tarian mereka ditarikan oleh orang Malaysia. Mereka tidak peduli dengan argumen Malaysia bahwa yang menarikan itu adalah keturunan Jawa yang telah turun-temurun menetap di negara anda.
Jadi saudara Kamarulzaman, dari dua ilustrasi di atas anda bisa melihat kalau yang memicu kemarahan orang sini, bukanlah karena "indon-indon" mengidap gejala Xenophobia yang marah karena budaya atau tarian mereka ditarikan oleh orang asing. Tapi mereka marah semata karena orang asing yang menarikannya adalah orang MALAYSIA.
Nah saudara Kamarulzaman, kenapa Malaysia demikian "istimewa" di mata orang Bali dan Orang Jawa?.
Itu karena Malaysia dalam kacamata orang Bali dan orang Jawa adalah Malaysia yang berbeda dengan Malaysia yang anda dan para mantan mahasiswa anda kenal. Malaysia dimata orang Jawa dan Orang Bali kebanyakan adalah sebuah bangsa yang arogan, yang dengan sombongnya memanggil "indon" kepada orang-orang Indonesia yang mencari nafkah di tempat anda.
Karena itulah saudara Kamarulzaman, orang Indonesia itu tidak senang jika tarian mereka ditarikan oleh orang Malaysia. Jika yang menarikan tarian itu adalah orang asing selain Malaysia, orang Indonesia merasa budayanya sedang diapresiasi. Tapi sama sekali tidak merasa seperti itu jika yang menarikannya adalah orang Malaysia. Dalam pikiran orang Indonesia, bagaimana mungkin sebuah bangsa yang dengan penuh sikap menghina memanggil mereka "indon", yang menganggap mereka adalah orang-orang miskin pengganggu yang berkelas jongos dan babu, bisa mengapresiasi kesenian mereka?. Satu-satunya yang terpikir di benak orang Indonesia saat orang Malaysia menarikan tarian mereka adalah MALAYSIA, negaranya para MALING itu akan MENCURI tarian mereka untuk kepentingan komersial semata.
Maaf kalau apa yang saya katakan ini terdengar tidak nyaman di telinga anda, tapi faktanya saudara Kamarulzaman, begitulah cara pandang mayoritas orang sini terhadap negara dan bangsa anda.
Fakta itu tidak berubah meskipun kolega akademisi dan mahasiswa anda yang berasal dari negeri ini mengatakan orang yang berpandangan seperti itu hanyalah segelintir orang di negeri ini yang tidak berpendidikan dan yang tidak mengerti Malaysia yang sebenarnya.
Soal Milis AI yang membuat anda kesal karena anda katakan telah dipakai untuk membantai Malaysia. Kalau saya yang menjadi anda, saya justru akan bersikap sebaliknya. Saya justru akan bangga melihat milis yang ikut saya dirikan tetap mampu bersikap objektif dengan jujur menunjukkan fakta yang sebenarnya tentang pandangan orang sini terhadap negara anda. Saya justru akan merasa bangga karena milis yang ikut saya dirikan mampu menyumbangkan sesuatu untuk menyelesaikan masalah antara negara saya dengan negara seberang. Saya akan bangga karena milis yang saya dirikan tidak hanya berisi puja-puji bernada penjilatan terhadap negara saya.
Karena apa saudara Kamarulzaman?. Sebagai seorang Doktor yang punya spesialisasi menganalisa konflik. Mustahil rasanya kalau anda tidak tahu bahwa setiap konflik hanya bisa diselesaikan secara baik-baik dan bermartabat kalau kedua pihak yang bertikai mau mengakui kelemahan masing-masing dan mampu menilai diri berdasarkan kacamata lawan konfliknya. Konflik tidak bisa diselesaikan hanya dengan saling puja-puji antar diplomat atau akademisi kampus sambil mengesampingkan sentimen nyata yang berkembang di kalangan orang kebanyakan di lapangan.
Tapi sayapun maklum kalau anda tetap kesal mendapati milis yang anda bentuk ini ternyata tidak dipakai untuk memuja-muji dan menjilat bangsa anda. Saya maklum karena anda berasal dari Malaysia, sebuah negara yang tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat yang tajam karena negara anda memang masih gagap berdemokrasi. Saya maklum karena anda berasal dari negara yang orang berbeda pendapat dengan pemerintah saja bisa langsung ditangkap lalu dengan ajaibnya bisa dituduh melakukan sodomi.
Kemudian saudara Kamarulzaman, yang membuat orang sini membenci negara anda adalah karena masih kental dan masifnya sikap pandang remeh dalam alam bawah sadar setiap unsur anak bangsa anda terhadap kami. Karena namanya di alam bawah sadar, siapapun anak bangsa anda dan sebaik apapun pandangannya terhadap bangsa kami, tetap saja orang tersebut di lubuk hatinya yang terdalam memandang rendah kami.
Sebagai gambaran betapa akut dan berurat berakarnya arogansi dan pandangan anggap remeh bangsa anda terhadap para 'indon" ini. Anda bisa melihatnya pada sikap anda sendiri. Jangankan orang biasa, bahkan seorang Doktor sekaliber anda yang sudah malang melintang bolak-balik ke Indonesia pun masih berpikiran sama seperti melayu-melayu kemaruk tipikal di negara anda sana. Anda yang pernah bersama-sama dengan saya mengikuti sebuah konferensi internasional bahkan kita duduk berdampingan pula, masih bisa berpikir kalau saat saya menuliskan perasaan saya terhadap Malaysia ini karena saya adalah "Indon" bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang negara anda.
Saudara Kamarulzaman, saya bukanlah seorang pengidap autis yang tidak pernah bergaul. Saya kenal baik para mantan mahasiswa anda dan saya tahu persis 'kebaikan' Malaysia seperti yang anda sebutkan dalam tulisan anda, meski tidak sampai detail ke angka-angkanya. Tapi pengetahuan saya itu sama sekali tidak bisa menghilangkan RASA SAKIT yang saya rasakan saat saya dihina oleh aparat resmi negara anda.
Perlu Saudara Kamarulzaman tahu, Malaysia seperti yang anda sebutkan itu hanyalah Malaysia yang hanya bisa dipahami dan dikenal oleh para akademisi kampus yang memiliki hubungan emosional dengan Malaysia. Contohnya adalah anda dan para kolega saya yang pernah menjadi mahasiswa anda. Apa yang anda sebutkan dalam tanggapan anda terhadap tulisan saya itu adalah Malaysia yang ada di awang-awang, bukan Malaysia yang nyata yang ada dalam pikiran orang kebanyakan di negara ini.
Sama seperti sikap orang Indonesia yang anda kenal dari teman-teman saya pun, itu bukanlah sikap nyata dari kebanyakan orang sini terhadap Malaysia.
Saudara Kamarulzaman, dalam pandangan orang kebanyakan di negeri ini, dunia anda dan teman-teman saya yang merupakan mantan mahasiswa anda itu adalah dunia fantasi, bukan dunia nyata. Itu dunianya kaum eksklusif yang berbicara berbasis logika dan angka-angka. Dalam pandangan orang kebanyakan, dunia akademis dan dunia kampus itu adalah dunia yang penuh petita-petiti yang hanya mengenal objektifitas dan rasionalitas. Banyak akademisi yang saya kenal yang sama sekali sudah kehilangan subjektifitas yang merupakan syarat menjadi manusia. Para akademis dan orang kampus banyak yang sudah kehilangan sensitifitas dan tidak mampu lagi merasakan RASA SAKIT. Mereka jadi tidak bisa lagi memahami kenapa orang-orang di akar rumput merasa sakit saat dihina. Ketika mayoritas anak bangsa di sini merasa terhina oleh sikap bangsa anda, banyak akademisi kampus (terutama yang lulusan Malaysia) yang saya kenal yang bersikap seperti Marie Antoinette yang mengatakan "pourquoi Ils ne mangent pas de gâteaux" saat pelayannya mengatakan rakyatnya tak mampu membeli roti.
Lucunya kadang karena saking logisnya para akademisi kampus ini, sikap logisnya itu malah terlihat konyol jadinya. Contohnya seperti yang ditunjukkan oleh teman saya yang bernama Taufan Damanik. Taufan Damanik ini, saat kepalanya diinjak pun yang pertama terpikir di kepalanya adalah kemana mencari cermin untuk berkaca, bukan bagaimana cara menyingkirkan kaki kurang ajar itu dari kepalanya.
Khusus untuk para lulusan Malaysia, tidak sedikit di antara mereka yang saya temui yang sepulang dari negara anda yang bukan hanya menjadi kagum tapi menjadi silau dengan negara anda. Sepulang ke sini, tidak sedikit dari mereka yang jadi bersikap layaknya melayu-melayu kemaruk di negara anda, ikut-ikutan memandang rendah para "indon" yang tidak lain adalah saudara sebangsanya.
Sementara dunia nyata, dunia akar rumput tidak begitu adanya saudara Kamarulzaman. Malaysia dalam kacamata mayoritas orang di negeri ini adalah Malaysia yang sangat berbeda dari yang anda gambarkan dan dimengerti oleh para mahasiswa anda.
Sebagai seorang akademisi bergelar Doktor tentu Saudara Kamarulzaman tidak cukup naif untuk berpikir dan berharap bahwa informasi tentang Malaysia seperti yang anda katakan itu bisa dengan mudah secara masif dipahami oleh orang Indonesia kebanyakan yang bukan akademisi kampus, yang tinggal di kawasan pertanian di Bromo sana, yang tinggal di pelosok pulau Lombok dan Sumba atau yang tinggal di Bali atau Jakarta.
Malaysia dalam kacamata kebanyakan orang sini adalah Malaysia yang diceritakan oleh kerabatnya yang kebetulan berkunjung atau bekerja di negara anda. Malaysia yang mereka kenal adalah petugas imigrasi negara anda yang demikian rendah memandang orang yang berasal dari negeri ini, yang tanpa sikap sopan santun sedikitpun menghardik orang Indonesia yang mengunjungi negara anda supaya menunjukkan sejumlah uang sebagai bukti bahwa kami mampu membayar kebutuhan hidup di negara anda.
Malaysia dalam kacamata mereka adalah askar yang sengaja dibentuk oleh pemerintah anda untuk mengejar 'indon-indon' haram. Askar yang tanpa belas kasihan memukuli pelatih Karate yang merupakan duta bangsa mereka yang sengaja diundang oleh bangsa anda kesana, hanya karena askar bentukan pemerintah anda itu menyangka pelatih karate itu datang ke negara anda untuk mencari kerja.
Malaysia yang mereka kenal adalah sekumpulan Melayu arogan yang berkunjung ke sini sebagai turis yang kalau sikapnya membuat orang Indonesia tersinggung, selalu berpikir bahwa itu tidak lain adalah karena "indon-indon" tersebut merasa cemburu melihat kemajuan ekonomi negara anda atau karena "indon-indon" bodoh itu tidak mengerti apa-apa tentang negara anda.
Kemudian perlu pula saudara Kamarulzaman ketahui, saya sendiri bukanlah seorang akademisi kampus apalagi seorang diplomat yang penuh perhitungan dan petita-petiti atas setiap kata dan kalimat yang diucapkannya karena setiap ucapan yang keluar dari mulutnya akan mempengaruhi hubungan dua negara.
Dunia akademis dan dunia kampus adalah dunia yang telah lama saya tinggalkan dan sama sekali tidak pernah terpikir untuk kembali saya geluti. Sejak beberapa tahun yang lalu saya telah dengan sadar memilih menjadi orang kebanyakan yang tidak perlu berpura-pura bermanis muka, menundukkan wajah sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh takzim di hadapan bangsa asing hanya untuk sekedar mendapatkan beasiswa.
Saya adalah orang kebanyakan yang memandang dunia dengan cara orang kebanyakan, berbicara dengan cara berbicara orang kebanyakan, merasakan rasa sakit seperti rasa sakit yang dirasakan orang kebanyakan, menyuarakan perasaan saya seperti cara orang biasa menyuarakan persasaan, menyalurkan emosi dan kemarahan juga dengan cara orang kebanyakan menyalurkan emosi dan kemarahan.
Jadi yang saudara Kamarulzaman baca dalam tulisan saya itu adalah emosi dan kemarahan orang kebanyakan di negeri ini. Bukan emosi dan kemarahan para akademisi kampus, atau diplomat apalagi kemarahan mantan mahasiswa anda yang setengah mati memuja Malaysia sampai-sampai tidak bisa lagi merasakan rasa sakit yang dirasakan saudara sebangsanya.
Kemudian, izinkanlah saya tertawa menanggapi soal kesediaan anda ke Banda Aceh selepas bulan Ramadhan ini untuk saya pukuli seperti "anjing kampong". Saya tertawa karena tiga alasan. Pertama, ini bukanlah urusan pribadi antara Win Wan Nur dengan Dr. Kamarulzaman Askandar, sehingga kalauppun anda babak belur saya pukuli, itu sama sekali tidak akan merubah cara pandang bangsa anda terhadap orang-orang di negara ini. Kedua, saya merasa sangat lucu mendapati kenyataan bahwa sebagai seorang DOKTOR yang menjadi pengajar di sebuah Universitas terkemuka masih menanggapi ucapan saya ini secara harfiah adanya. Tapi yang paling lucu dari semuanya adalah ketika saya membayangkan diri saya memegang linggis berbahan besi ulir sebesar jempol kaki sambil memukuli seorang DOKTOR ternama dari sebuah Universitas terkemuka di Malaysia.
Saya memang mampu bertindak kejam terhadap anjing kampung. Tapi meskipun saya menyebut bangsa anda sebagai "Melayu Pengecut Bermental Anjing Kampung", saya tidaklah sebiadab askar bentukan pemerintah anda yang tanpa ampun memukuli manusia "indon" yang berstatus pelatih Karate yang sengaja diundang oleh negara anda. Seperti yang saya jelaskan, saya menyebut bangsa anda dengan istilah sekasar itu tidak lain adalah semata supaya anda dan Melayu-melayu yang sebangsa dengan anda tahu seperti apa kiranya RASA SAKIT yang dirasakan oleh "indon-indon" saat bangsanya dihina. Dari nada tanggapan anda terhadap tulisan saya, saya tahu kalau RASA SAKIT itu sudah anda rasakan.
Tapi bagaimanapun, meski saya menolak memenuhi niat tulus anda. Saya tetap mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kesediaan dan keikhlasan anda untuk saya pukuli seperti "anjing kampong" sehabis ramadhan.
Dr. Kamarulzaman Askandar, perlu anda tahu kalau sebenarnya saya sengaja membuat anda sakit hati karena dengan adanya anda mengalami RASA SAKIT itu saya ingin menunjukkan kepada anda dan orang Malaysia lainnya, bahwa persis seperti itulah RASA SAKIT yang dirasakan oleh "indon-indon", saat bangsa mereka dihina oleh aparat dan orang kebanyakan di negara anda.
Dengan mem-post tulisan ini di milis AI saya berharap anda mengerti kalau RASA SAKIT yang anda rasakan akibat hinaan saya tidak serta merta hilang RASA SAKIT nya meskipun anda mendapati kenyataan bahwa saya hanyalah satu dari segelintir orang di milis ini yang menista bangsa anda. Saya mem-post tulisan itu karena saya ingin anda dan orang Malaysia lain yang membacanya bisa merasakan sendiri kalau RASA SAKIT akibat penghinaan saya itu tidak hilang, meskipun anda dan orang-orang Malaysia lain yang membacanya mengenal begitu banyak orang di negeri ini yang memandang bangsa anda denikian bersahabatnya, bahkan kadang berlebihan sampai memuja Malaysia. RASA SAKIT akibat penghinaan saya itu tidak hilang, meskipun secara statistik dan analisa logis anda mendapati bahwa orang seperti saya itu jumlahnya tidak seberapa.
Dengan mengalami sendiri RASA SAKIT itu, saya harap anda bisa mengerti bahwa tepat seperti itulah yang saya rasakan ketika saya dihina oleh aparat resmi negara anda hanya karena paspor saya menunjukkan bahwa saya berasal dari negaranya para "indon" yang dipandang oleh bangsa anda dengan pandangan sebelah mata. Dengan mengalami sendiri RASA SAKIT itu, saya berharap anda mengerti RASA SAKIT yang saya rasakan itu tidak hilang meskipun saya tahu persis bahwa di Malaysia juga ada orang seperti anda yang membimbing teman-teman saya dalam pendidikan mereka tanpa mengira kulit atau kerakyatan. Dengan merasakan RASA SAKIT itu saya berharap anda bisa bercerita kepada kolega anda bahwa ternyata bangsa anda itu bukanlah bangsa para dewa, karena ternyata andapun merasakan RASA SAKIT yang sama seperti yang dirasakan oleh para"indon" itu ketika bangsa anda dihina.
Saya mem-post tulisan tersebut saudara Kamarulzaman, karena saya ingin mengajak anda dan teman-teman saya yang selama ini sibuk di dunia akademis di kampus untuk kembali belajar memandang dunia dengan cara pandang orang kebanyakan. Bukan hanya memandang dunia berdasarkan argumen logis, rasionalitas dan angka-angka. Karena semua itu bukanlah sesuatu yang nyata. Yang nyata itu adalah RASA SAKIT seperti yang anda rasakan yang muncul saat bangsa anda saya hina.
Alasan lain yang membuat saya menuliskan tulisan sekasar ini tentang bangsa anda, adalah karena saya ingin bangsa anda yang arogan itu faham tentang ETIKA PALING DASAR dalam hubungan antar manusia. Etika dasar yang bersifat Universal, yaitu etika yang selalu dimulai dari "pengakuan reflektif" yang sifatnya timbal balik, alias resiprokal. Maksudnya "kalau aku begitu, aku juga harus mau dibegitukan ".
Etika dasar seperti ini sangat perlu kita pahami dan kita terima bersama, karena kalau kita menolak etika dasar berdasarkan premis di atas maka kita akan jatuh ke dalam situasi IMMORAL. Saya katakan IMMORAL karena siapapun pasti tidak bisa menerima premis seperti ini, "benar = anda menginjak kepala saya; tapi, salah = saya balik menginjak kepala anda".
Contoh dari situasi IMMORAL ini dapat saya gambarkan seperti ini:
Anda mengenal dengan baik begitu banyak orang negeri ini yang sangat menghormati Malaysia negara anda, anda kenal baik mahasiswa anda yang begitu memuja Malaysia, sehingga anda merasa seperti itulah pandangan mayoritas orang sini terhadap bangsa anda. Lalu, ada satu orang bernama Win Wan Nur, bukan segelintir tapi CUMA SATU ORANG SAJA. Yang melalui sebuah tulisan di milis yang anda dirikan, terang-terangan menghina bangsa anda. Menanggapi hinaan terhadap bangsa anda yang bukan dilakukan oleh APARAT RESMI tapi HANYA oleh satu orang yang sama sekali tidak memiliki posisi penting apapun di negara ini. Anda sakit hati, emosi dan marah sejadi-jadinya sampai bersedia dipukuli seperti anjing kampung segala.
Orang yang menghina bangsa anda tersebut melakukan itu karena pernah merasa dihina oleh aparat resmi negara anda dan juga merasa terhina karena sikap kebanyakan bangsa anda yang melecehkan orang yang berasal dari negara yang sama dengannya. Tapi ajaibnya dalam tulisan yang sama anda meminta orang yang menghina bangsa anda tersebut untuk tidak emosi dan marah-marah terhadap apa yang dilakukan aparat resmi dan kebanyakan bangsa anda. Anda memintanya menahan diri dan memaklumi apa yang dilakukan oleh bangsa anda dan menuntutnya untuk melihat Malaysia melalui kacamata anda. Menurut anda orang itu tidak selayaknya marah, sakit hati dan merasa terhina. Karena menurut anda yang melakukan penghinaan itu hanyalah segelintir anak bangsa anda.
Anda bisa melihat sendiri bahwa kejadian di atas adalah situasi yang PERSIS SAMA yang dihadapi oleh dua orang berbeda bangsa. Tapi dalam pandangan anda, untuk kasus (kes dalam bahasa anda) yang PERSIS SAMA ini, Melayu Malaysia (anda) boleh marah dan sakit hati sementara "Indon" harus menahan diri.
Perilaku seperti yang anda tunjukkan ini (hanya saya yang boleh begini) tidak lain adalah perilaku manusia yang merasa bangsanya lebih tinggi dari bangsa lain. Ini adalah ciri dari manusia yang merasa diri Über Alles. Perilaku seperti yang anda tunjukkan dalam tulisan inilah yang menjadi dasar bagi saya untuk mencap bangsa anda sebagai "Malaysia Über Alles".
Sebagai warga dari negara yang saya tuduh tersebut, anda tentu tidak bisa menerima tuduhan saya itu. Jadi Dr. Kamarulzaman Askandar, tolong beri saya sebuah jawaban yang logis dan masuk akal. Sebagai Manusia, kualitas lebih apa yang dimiliki oleh bangsa anda dibanding kami dan hak istimewa apa yang telah diberikan Tuhan kepada bangsa anda sehingga anda merasa hanya bangsa anda yang boleh marah dan sakit hati ketika dihina?.
Saudara Kamarulzaman Askandar, dengan tulisan yang sangat kasar terhadap bangsa anda ini. Sebenarnya saya ingin agar perilaku bangsa anda yang merasa "bangsanya lebih tinggi dari bangsa lain" seperti yang anda tunjukkan dalam tulisan ini bisa dikurangi. Supaya ETIKA yang sangat mendasar seperti yang saya sebutkan di atas bisa kita bicarakan. Karena kalau ETIKA PALING DASAR ini saja sudah tidak bisa dibicarakan, maka kita sama sekali tidak perlu lagi membicarakan moralitas. Tidak perlu lagi berbicara masalah benar-salah secara etika, apalagi hubungan persaudaraan antar bangsa seperti yang anda terangkan di awal tulisan anda.
Dalam situasi IMMORAL seperti perilaku yang anda tunjukkan dalam tulisan anda ini, yang diperlukan tinggal kuat-kuatan otot saja sehingga kemudian yang terjadi adalah HUKUM RIMBA.
Harapan saya, dengan memahami etika dasar ini anda akan mengerti, bahwa ketika anda membiarkan segelintir anak bangsa anda menghina bangsa lain. Itu artinya anda telah mengundang bangsa lain untuk menghina bangsa anda pula. Ketika segelintir anak bangsa anda menyebut bangsa lain dengan panggilan 'indon" yang merendahkan, maka tidak lain apa yang sedang dilakukan oleh segelintir anak bangsa anda tersebut adalah mengundang bangsa lain untuk menyebut bangsa anda sebagai "Melayu Gila","Melayu Kemaruk" "Melayu Pengecut Bermental Anjing Kampung" dan berbagai sebutan buruk lainnya.
Selanjutnya, melalui tulisan saya yang sangat kasar ini, saya hanya ingin mengajak anda dan orang-orang Malaysia lain yang membacanya untuk sedikit menunjukkan empati saat RASA SAKIT seperti yang anda rasakan itu hadir dalam diri kami. Saat RASA SAKIT seperti yang anda rasakan itu datang, bukan berbagai alasan akademis, analisa logis dan pemaparan berbagai budi baik bangsa anda yang kami butuhkan. Yang kami butuhkan dari bangsa anda hanya secuil maaf yang diucapkan dengan penuh rasa empati.
Dengan merasakan sendiri RASA SAKIT itu, saya harap anda dan bangsa anda bisa melakukan introspeksi. Bukan seperti yang selama ini terjadi, setiap kami merasakan RASA SAKIT seperti yang anda rasakan itu, kamilah yang selau dituntut (entah itu oleh segelintir anak bangsa kami atau dari bangsa anda sendiri) untuk mengerti dan melakukan introspeksi, seolah bangsa anda itu adalah bangsa para dewa yang tidak pernah bersalah dan selalu suci.
Akhirnya saya berharap supaya Tuhan memberi anda kesehatan supaya suatu saat kita bisa mendapat kesempatan untuk bertemu kembali, supaya kita bisa berdiskusi sambil bertatap muka. Bukan hanya melalui perbincangan di milis semacam AI ini.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Senin, 14 September 2009
Indonesia-Malaysia; Tanggapan Langsung Dari Malaysia
Tulisan Ini dikutip dari Aceh Institute
RE: [Aceh-Institute] Hubungan Indonesia-Malaysia; Tanggapan Kritis Untuk Franz Magnis Suseno
Assalamualaikum. Saya jarang sekali menulis dalam mailing list ini. Hanya sekadar membaca untuk mengikuti perkembangan perkara-perkara yang berlaku di Aceh. Tulisan-tulisannya selalu memberikan informasi yang menarik, relevan, dan kadang-kadang melucukan. Namun saya terpanggil untuk menulis pendapat saya berkenaan apa yang dituliskan oleh saudara WinWanNur tempoh hari berkenaan hubungan Malaysia-Indonesia dan saranan beliau kepada warga Indonesia tentang bagaimana harus diperlakukan orang-orang Malaysia. Pada saya pendapat beliau adalah terlalu mengikut emosi, salah, malah membahayakan. Oleh sebab inilah saya terpanggil untuk memberikan sedikit penjelasan.
Malaysia dan Indonesia memang mempunyai sejarah yang bersama yang unik. Sebagai negara serumpun yang mempunyai pertalian yang rapat kita bagaikan adik-beradik dari satu keluarga yang tidak akan terlepas dari masalah kekeluargaan. Lihat saja keluarga kita sendiri. Mana ada keluarga yang terlepas dari persoalan masalah keluarga. Walau bagaimanapun, sebagai ahli keluarga kita akan selalu cuba mencari solusi yang paling sesuai. Kita akan cuba elak dari menggunakan kekerasan kerana orang yang bakal disakiti itu adalah keluarga kita sendiri. Dan kalau dia sakit kita juga akan merasai kesakitannya. Masalah akan tetap ada. Seperti kata seniman agong Melayu asal Aceh, P. Ramlee – sedangkan lidah lagi tergigit…
Berbalik kita kepada persoalan Malaysia-Indonesia. Saya tidak akan memberikan banyak alasan kenapa orang-orang Malaysia dilihat bertindak kejam. Kalau kita salah, ya, kita akan mengaku salah. Tapi sebaliknya kalau kita berasa tidak bersalah, maka alasan dan jawapan yang sesuai harus diberikan.
Kebelakangan ini banyak dibangkitkan tentang kejahatan orang-orang Malaysia di media Indonesia dan di dunia internet. Apa memang orang-orang Malaysia itu sangat jahat dan layak dilabel dan diperlakukan sedemikian oleh pembenci-pembenci Malaysia? Apa tidak ada kebaikan lansung di pihak Malaysia dan di kalangan orang-orang Malaysia? Malangnya apa kebaikan yang dilakukan oleh manusia sering tidak dipandang. Yang hanya dipandang adalah keburukan dan kejahatan, walaupun dilakukan oleh segelintir ahli masyarakatnya.
Berita-berita ini sebenarnya tidak dilaporkan dalam media Malaysia secara mendalam. Orang-orang Malaysia memang menganggap remeh perdebatan yang ditimbulkan tentang kejahatan orang Malaysia dan hubungan Malaysia-Indonesia. Oleh itu jarang ada jawapan kepada persoalan yang ditimbulkan oleh pembenci Malaysia dari Indonesia. Izinkan saya di sini memberikan sedikit pandangan tentang beberapa isu yang dibangkitkan oleh saudara Win.
Persoalan tarian dan budaya adalah satu persoalan yang remeh. Malaysia adalah sebuah negara yang mempunyai ramai penduduk yang datang dari pelbagai negara dan daerah yang lain. Ada kampong Melayu, Cina, India, Kadazan, dan lain-lain lagi. Ada juga kampong Aceh, Jawa, Mandailing, Banjar, Bugis yang rata-rata penduduknya berasal dari negara asal mereka tetapi kini mengaku diri mereka sebagai rakyat Malaysia. Bila mereka datang, mereka membawa bersama mereka budaya, adat resam, bahasa, makanan dan lain-lain dari tempat asal mereka. Malaysia akan salah kalau mengaku bahawa budaya yang pelbagai ini adalah ciptaan bumi Malaysia kerana mereka sebenarnya dibawa ke tanah ini oleh penduduk yang aslinya dari Jawa, Aceh, Cina, India atau dari mana saja. Kami sama-sama menikmatinya. Salahkah ini? Pencinta budaya dari Indonesia seharusnya bangga kerana budaya mereka telah diterima dan dinikmati bersama oleh penduduk negara lain. Saya pasti bila ada acara budaya di Amerika atau di Eropah yang mempamerkan budaya Aceh atau budaya Jawa di sana, pasti orang Aceh atau orang Jawa akan merasa bangga. Kenapa tidak bangga bila ianya dimainkan dan dinikmati oleh orang Malaysia?
Persoalan tenaga kerja adalah satu persoalan yang lebih rumit. Malaysia adalah sebuah negara yang mempunyai cita-cita tinggi tetapi mempunyai bilangan penduduk yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan Indonesia atau negara jiran yang lain. Populasi Malaysia adalah hanya sebesar kurang lebih 27 juta penduduk. Ini tidak mencukupi untuk membangunkan negara ini. Pekerja-pekerja harus dibawa masuk untuk sama-sama membangunkan Malaysia. Ini kita terima dan ini kita hargai. Kami rakyat Malaysia sebenarnya menerima pekerja-pekerja dari luar dengan tangan terbuka. Tetapi perlu ada aturan kerja yang sesuai termasuk proses kemasukan pekerja di Malaysia. Jika tidak keadaan akan menjadi hura hara dan kemasukan yang tidak terkawal akan mengancam keselamatan dan perkembangan Malaysia sebagai sebuah negara. Dalam keadaan yang mempunyai aturan yang ketat ini sekalipun, kita mempunyai lebih kurang 2 juta pendatang di Malaysia, yang legal dan illegal. Persoalan tidak akan timbul jika tiada masalah lansung yang ditimbulkan oleh tetamu-tetamu kita ini, tapi sudah menjadi lumrah manusia masalah akan sentiasa timbul walau kita cuba mengelaknya. Apabila ini berlaku, akan ada suara-suara yang meminta tindakan diambil dan control yang lebih ketat diadakan dan sebagainya. Sebagai manusia, kita sering meminta tetamu kita ini diperlakukan sebaiknya sesuai dengan nilai kemanusiaan. Malangnya ada individu-individu yang bertindak keras dan ini tidak boleh ditoleransi. Untuk kelakuan mereka, saya bagi pihak orang-orang Malaysia yang prihatin, mohon ribuan ampun dan maaf dan akan berkerja keras supaya ini tidak berulang. Untuk kes-kes penganiayan terhadap pembantu rumah, ini juga tidak dapat dimaafkan, walau sekecil manapun bilangannya, dan tindakan keras harus diambil terhadap pelakunya. Setahu saya, kes-kes ini telah diadili di mahkamah dan pelakunya telah dijatuhkan hukuman penjara. Berkenaan isu pembantu rumah, saya sebenarnya serba salah. Saya mengerti yang mereka yang datang berkerja ke Malaysia datang kerana kesempitan di kampong mereka sendiri. Wang yang sedikit yang mereka dapat akan dihantar untuk membantu keluarga. Malangnya mereka tidak boleh memilih majikan dan memang ada majikan yang kurang ajar di mana-mana saja. Saya sedih melihat keadaan mereka terutama yang berkerja dengan majikan bukan Islam. Status kita sebagai umat Islam sebenarnya diperkecilkan dalam situasi ini, tidak kira jika majikannya baik atau tidak. Saya mencadangkan pembantu rumah yang Islam dari Indonesia tidak ditempatkan di rumah majikan bukan Islam, untuk menjaga mereka dan untuk menjaga Islam itu sendiri.
Masih dengan soal tetamu dari luar, untuk pengetahuan saudara Win dan teman-teman lain, Malaysia merupakan negara destinasi utama bagi tetamu-tetamu Muslim dari rantau ini, yang datang mencari pekerjaan atau untuk melarikan diri dari konflik dan peperangan. Dari Indonesia tidak terkira banyaknya. Banyak yang telah menjadi permanent resident, malah warga negara Malaysia. Dari Filipina, juga ratusan ribu orang-orang BangsaMoro yang menetap di sini, terutama di Sabah. Mereka datang dengan banyaknya semenjak zaman Marcos dalam awal tahun 70an untuk lari dari peperangan di sana dan ramai yang mendapat status permanent resident dan warga negara. Yang belum mendapat kedua status ini, sekitar 70,000 mendapat status penduduk sementara yang boleh tinggal atas dasar kemanusiaan kerana perang di Mindanao. Orang-orang Rohingya dari Burma ada antara 20,000 hingga 30,000 dengan lebih kurang 14,000 mendapat status refugee dan berdaftar dengan UNHCR. Puluhan ribu saudara kita dari Aceh juga mendapat layanan istimewa dan diberikan status penduduk sementara selepas bencana tsunami dulu. Ramai saudara kita orang Melayu Islam Patani yang lari dari situasi konflik di Selatan Thailand juga menetap di negara ini. Alasan saya menyebutkan semua ini yang mungkin dilihat sebagai data sensitif adalah untuk menunjukkan bahawa kita sebenarnya amat prihatin dengan masalah yang dihadapi oleh saudara-saudara kita dari rantau ini, terutama yang beragama Islam. Cumanya kita tidak boleh membuka pintu seluas-luasnya tanpa control kerana ini akan menimbulkan masalah konflik etnik dan agama yang telah memang kita ada. Dan kita juga tidak boleh membuat ini semua dengan terlalu terang, juga kerana masalah sosio-politik. Tetapi percayalah bahawa terdapat ramai orang Malaysia termasuk pegawai pemerintah yang prihatin akan hal ini dan selalu cuba membantu sedaya upaya mereka.
Ada beberapa hal lagi yang mungkin saudara Win tidak tahu. Kita tidak pernah membezakan antara rakyat Malaysia dan Indonesia, terutama di kampus-kampus. Di USM Penang ini kita memang telah dari dulu mempunyai ramai mahasiswa Indonesia, terutama dari Aceh. Kita tidak pernah menganaktirikan mereka, malah kita kadang-kadang melebihkan mereka yang datang dari Aceh kerana kita tahu akan masalah yang mereka hadapi di tempat sendiri. Tanya saja dengan teman-teman yang pernah datang ke USM Penang. Oleh itu saya berasa amat sedih jika mailing list Aceh Institute ini digunakan sebagai platform untuk membantai Malaysia dan orang-orang Malaysia termasuk saya sendiri. Terutama sekali bila Aceh Institute ini didirikan di USM sewaktu zaman konflik dan saya sendiri adalah salah seorang pendirinya, sebelum AI dihantar pulang kembali ke Aceh selepas damai. Saya sendiri mempunyai beberapa mahasiswa dari Indonesia/Aceh dan saya telah membantu mereka mendapatkan biasiswa dan lain-lain bantuan, disamping membimbing mereka dalam pendidikan mereka. Ini semua dilakukan tanpa mengira kulit atau kerakyatan, dan jika ini semua tidak dipedulikan, apa yang saya boleh buat.
Akhir sekali, saya sedar bahawa saat ini ramai yang ingin bertindak secara keras terhadap Malaysia dan orang Malaysia, termasuk saudara Win sendiri yang ingin memperlakukan kita seperti “anjing kampong”. Ini saya kesalkan, walaupun saya faham ianya mungkin datang dari perasaan ingin melepaskan emosi atau geram. Jika saudara Win ingin melepaskan emosi ini secara keras, saya sanggup ke Banda Aceh selepas bulan Ramadhan ini dan menyerahkan diri saya untuk dipukuli semaunya seperti “anjing kampong” oleh saudara Win, tanpa memberikan apa-apa balasan. Cuma nyatakan tempat dan waktunya dan saya akan sampai, InsyaAllah. Semoga dengan melepaskan emosi ini secara fizikal segala stress yang dirasai oleh saudara Win akan hilang buat selamanya dan anda akan lebih damai. Wassalam.
Kamarulzaman Askandar
Coordinator, Research and Education for Peace, Universiti Sains Malaysia (REPUSM)
Regional Coordinator, Southeast Asian Conflict Studies Network (SEACSN)
School of Social Sciences, Universiti Sains Malaysia, Minden, Pulau Pinang, 11800, Malaysia
Tel: 6-04-653 2123 / 6-04-653 2658
Fax: 6-04-657 7070
Email: zam@... , www.seacsn.net
RE: [Aceh-Institute] Hubungan Indonesia-Malaysia; Tanggapan Kritis Untuk Franz Magnis Suseno
Assalamualaikum. Saya jarang sekali menulis dalam mailing list ini. Hanya sekadar membaca untuk mengikuti perkembangan perkara-perkara yang berlaku di Aceh. Tulisan-tulisannya selalu memberikan informasi yang menarik, relevan, dan kadang-kadang melucukan. Namun saya terpanggil untuk menulis pendapat saya berkenaan apa yang dituliskan oleh saudara WinWanNur tempoh hari berkenaan hubungan Malaysia-Indonesia dan saranan beliau kepada warga Indonesia tentang bagaimana harus diperlakukan orang-orang Malaysia. Pada saya pendapat beliau adalah terlalu mengikut emosi, salah, malah membahayakan. Oleh sebab inilah saya terpanggil untuk memberikan sedikit penjelasan.
Malaysia dan Indonesia memang mempunyai sejarah yang bersama yang unik. Sebagai negara serumpun yang mempunyai pertalian yang rapat kita bagaikan adik-beradik dari satu keluarga yang tidak akan terlepas dari masalah kekeluargaan. Lihat saja keluarga kita sendiri. Mana ada keluarga yang terlepas dari persoalan masalah keluarga. Walau bagaimanapun, sebagai ahli keluarga kita akan selalu cuba mencari solusi yang paling sesuai. Kita akan cuba elak dari menggunakan kekerasan kerana orang yang bakal disakiti itu adalah keluarga kita sendiri. Dan kalau dia sakit kita juga akan merasai kesakitannya. Masalah akan tetap ada. Seperti kata seniman agong Melayu asal Aceh, P. Ramlee – sedangkan lidah lagi tergigit…
Berbalik kita kepada persoalan Malaysia-Indonesia. Saya tidak akan memberikan banyak alasan kenapa orang-orang Malaysia dilihat bertindak kejam. Kalau kita salah, ya, kita akan mengaku salah. Tapi sebaliknya kalau kita berasa tidak bersalah, maka alasan dan jawapan yang sesuai harus diberikan.
Kebelakangan ini banyak dibangkitkan tentang kejahatan orang-orang Malaysia di media Indonesia dan di dunia internet. Apa memang orang-orang Malaysia itu sangat jahat dan layak dilabel dan diperlakukan sedemikian oleh pembenci-pembenci Malaysia? Apa tidak ada kebaikan lansung di pihak Malaysia dan di kalangan orang-orang Malaysia? Malangnya apa kebaikan yang dilakukan oleh manusia sering tidak dipandang. Yang hanya dipandang adalah keburukan dan kejahatan, walaupun dilakukan oleh segelintir ahli masyarakatnya.
Berita-berita ini sebenarnya tidak dilaporkan dalam media Malaysia secara mendalam. Orang-orang Malaysia memang menganggap remeh perdebatan yang ditimbulkan tentang kejahatan orang Malaysia dan hubungan Malaysia-Indonesia. Oleh itu jarang ada jawapan kepada persoalan yang ditimbulkan oleh pembenci Malaysia dari Indonesia. Izinkan saya di sini memberikan sedikit pandangan tentang beberapa isu yang dibangkitkan oleh saudara Win.
Persoalan tarian dan budaya adalah satu persoalan yang remeh. Malaysia adalah sebuah negara yang mempunyai ramai penduduk yang datang dari pelbagai negara dan daerah yang lain. Ada kampong Melayu, Cina, India, Kadazan, dan lain-lain lagi. Ada juga kampong Aceh, Jawa, Mandailing, Banjar, Bugis yang rata-rata penduduknya berasal dari negara asal mereka tetapi kini mengaku diri mereka sebagai rakyat Malaysia. Bila mereka datang, mereka membawa bersama mereka budaya, adat resam, bahasa, makanan dan lain-lain dari tempat asal mereka. Malaysia akan salah kalau mengaku bahawa budaya yang pelbagai ini adalah ciptaan bumi Malaysia kerana mereka sebenarnya dibawa ke tanah ini oleh penduduk yang aslinya dari Jawa, Aceh, Cina, India atau dari mana saja. Kami sama-sama menikmatinya. Salahkah ini? Pencinta budaya dari Indonesia seharusnya bangga kerana budaya mereka telah diterima dan dinikmati bersama oleh penduduk negara lain. Saya pasti bila ada acara budaya di Amerika atau di Eropah yang mempamerkan budaya Aceh atau budaya Jawa di sana, pasti orang Aceh atau orang Jawa akan merasa bangga. Kenapa tidak bangga bila ianya dimainkan dan dinikmati oleh orang Malaysia?
Persoalan tenaga kerja adalah satu persoalan yang lebih rumit. Malaysia adalah sebuah negara yang mempunyai cita-cita tinggi tetapi mempunyai bilangan penduduk yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan Indonesia atau negara jiran yang lain. Populasi Malaysia adalah hanya sebesar kurang lebih 27 juta penduduk. Ini tidak mencukupi untuk membangunkan negara ini. Pekerja-pekerja harus dibawa masuk untuk sama-sama membangunkan Malaysia. Ini kita terima dan ini kita hargai. Kami rakyat Malaysia sebenarnya menerima pekerja-pekerja dari luar dengan tangan terbuka. Tetapi perlu ada aturan kerja yang sesuai termasuk proses kemasukan pekerja di Malaysia. Jika tidak keadaan akan menjadi hura hara dan kemasukan yang tidak terkawal akan mengancam keselamatan dan perkembangan Malaysia sebagai sebuah negara. Dalam keadaan yang mempunyai aturan yang ketat ini sekalipun, kita mempunyai lebih kurang 2 juta pendatang di Malaysia, yang legal dan illegal. Persoalan tidak akan timbul jika tiada masalah lansung yang ditimbulkan oleh tetamu-tetamu kita ini, tapi sudah menjadi lumrah manusia masalah akan sentiasa timbul walau kita cuba mengelaknya. Apabila ini berlaku, akan ada suara-suara yang meminta tindakan diambil dan control yang lebih ketat diadakan dan sebagainya. Sebagai manusia, kita sering meminta tetamu kita ini diperlakukan sebaiknya sesuai dengan nilai kemanusiaan. Malangnya ada individu-individu yang bertindak keras dan ini tidak boleh ditoleransi. Untuk kelakuan mereka, saya bagi pihak orang-orang Malaysia yang prihatin, mohon ribuan ampun dan maaf dan akan berkerja keras supaya ini tidak berulang. Untuk kes-kes penganiayan terhadap pembantu rumah, ini juga tidak dapat dimaafkan, walau sekecil manapun bilangannya, dan tindakan keras harus diambil terhadap pelakunya. Setahu saya, kes-kes ini telah diadili di mahkamah dan pelakunya telah dijatuhkan hukuman penjara. Berkenaan isu pembantu rumah, saya sebenarnya serba salah. Saya mengerti yang mereka yang datang berkerja ke Malaysia datang kerana kesempitan di kampong mereka sendiri. Wang yang sedikit yang mereka dapat akan dihantar untuk membantu keluarga. Malangnya mereka tidak boleh memilih majikan dan memang ada majikan yang kurang ajar di mana-mana saja. Saya sedih melihat keadaan mereka terutama yang berkerja dengan majikan bukan Islam. Status kita sebagai umat Islam sebenarnya diperkecilkan dalam situasi ini, tidak kira jika majikannya baik atau tidak. Saya mencadangkan pembantu rumah yang Islam dari Indonesia tidak ditempatkan di rumah majikan bukan Islam, untuk menjaga mereka dan untuk menjaga Islam itu sendiri.
Masih dengan soal tetamu dari luar, untuk pengetahuan saudara Win dan teman-teman lain, Malaysia merupakan negara destinasi utama bagi tetamu-tetamu Muslim dari rantau ini, yang datang mencari pekerjaan atau untuk melarikan diri dari konflik dan peperangan. Dari Indonesia tidak terkira banyaknya. Banyak yang telah menjadi permanent resident, malah warga negara Malaysia. Dari Filipina, juga ratusan ribu orang-orang BangsaMoro yang menetap di sini, terutama di Sabah. Mereka datang dengan banyaknya semenjak zaman Marcos dalam awal tahun 70an untuk lari dari peperangan di sana dan ramai yang mendapat status permanent resident dan warga negara. Yang belum mendapat kedua status ini, sekitar 70,000 mendapat status penduduk sementara yang boleh tinggal atas dasar kemanusiaan kerana perang di Mindanao. Orang-orang Rohingya dari Burma ada antara 20,000 hingga 30,000 dengan lebih kurang 14,000 mendapat status refugee dan berdaftar dengan UNHCR. Puluhan ribu saudara kita dari Aceh juga mendapat layanan istimewa dan diberikan status penduduk sementara selepas bencana tsunami dulu. Ramai saudara kita orang Melayu Islam Patani yang lari dari situasi konflik di Selatan Thailand juga menetap di negara ini. Alasan saya menyebutkan semua ini yang mungkin dilihat sebagai data sensitif adalah untuk menunjukkan bahawa kita sebenarnya amat prihatin dengan masalah yang dihadapi oleh saudara-saudara kita dari rantau ini, terutama yang beragama Islam. Cumanya kita tidak boleh membuka pintu seluas-luasnya tanpa control kerana ini akan menimbulkan masalah konflik etnik dan agama yang telah memang kita ada. Dan kita juga tidak boleh membuat ini semua dengan terlalu terang, juga kerana masalah sosio-politik. Tetapi percayalah bahawa terdapat ramai orang Malaysia termasuk pegawai pemerintah yang prihatin akan hal ini dan selalu cuba membantu sedaya upaya mereka.
Ada beberapa hal lagi yang mungkin saudara Win tidak tahu. Kita tidak pernah membezakan antara rakyat Malaysia dan Indonesia, terutama di kampus-kampus. Di USM Penang ini kita memang telah dari dulu mempunyai ramai mahasiswa Indonesia, terutama dari Aceh. Kita tidak pernah menganaktirikan mereka, malah kita kadang-kadang melebihkan mereka yang datang dari Aceh kerana kita tahu akan masalah yang mereka hadapi di tempat sendiri. Tanya saja dengan teman-teman yang pernah datang ke USM Penang. Oleh itu saya berasa amat sedih jika mailing list Aceh Institute ini digunakan sebagai platform untuk membantai Malaysia dan orang-orang Malaysia termasuk saya sendiri. Terutama sekali bila Aceh Institute ini didirikan di USM sewaktu zaman konflik dan saya sendiri adalah salah seorang pendirinya, sebelum AI dihantar pulang kembali ke Aceh selepas damai. Saya sendiri mempunyai beberapa mahasiswa dari Indonesia/Aceh dan saya telah membantu mereka mendapatkan biasiswa dan lain-lain bantuan, disamping membimbing mereka dalam pendidikan mereka. Ini semua dilakukan tanpa mengira kulit atau kerakyatan, dan jika ini semua tidak dipedulikan, apa yang saya boleh buat.
Akhir sekali, saya sedar bahawa saat ini ramai yang ingin bertindak secara keras terhadap Malaysia dan orang Malaysia, termasuk saudara Win sendiri yang ingin memperlakukan kita seperti “anjing kampong”. Ini saya kesalkan, walaupun saya faham ianya mungkin datang dari perasaan ingin melepaskan emosi atau geram. Jika saudara Win ingin melepaskan emosi ini secara keras, saya sanggup ke Banda Aceh selepas bulan Ramadhan ini dan menyerahkan diri saya untuk dipukuli semaunya seperti “anjing kampong” oleh saudara Win, tanpa memberikan apa-apa balasan. Cuma nyatakan tempat dan waktunya dan saya akan sampai, InsyaAllah. Semoga dengan melepaskan emosi ini secara fizikal segala stress yang dirasai oleh saudara Win akan hilang buat selamanya dan anda akan lebih damai. Wassalam.
Kamarulzaman Askandar
Coordinator, Research and Education for Peace, Universiti Sains Malaysia (REPUSM)
Regional Coordinator, Southeast Asian Conflict Studies Network (SEACSN)
School of Social Sciences, Universiti Sains Malaysia, Minden, Pulau Pinang, 11800, Malaysia
Tel: 6-04-653 2123 / 6-04-653 2658
Fax: 6-04-657 7070
Email: zam@... , www.seacsn.net
Rabu, 09 September 2009
Malaysia Über Alles
Dalam beberapa tahun belakangan, orang Indonesia tampak mudah sekali tersinggung oleh sikap Malaysia. Orang Indonesia sering merasa dilecehkan dan diprovokasi.
Hari-hari belakangan ini hubungan Indonesia Malaysia 'menghangat'.
Seperti biasa ketika ini terjadi, di Indonesia ada banyak nada keras yang ditujukan kepada Malaysia. Dan juga seperti biasa ada banyak pro dan kontra mengenai nada-nada keras ini. Banyak orang di negara ini yang bersikap reaksioner, entah itu sekedar memaki tanpa mengerti persoalannnya atau sebaliknya ada yang merasa orang Indonesia tidak layak bersikap seperti itu terhadap Malaysia.
Dalam sebuah tulisan di sebuah media online malah ada orang Indonesia yang mengatakan malu terhadap sikap orang Indonesia yang mengeluarkan kata-kata keras terhadap Malaysia. Orang yang malu dengan sikap anti Malaysia ini dengan gamblang dan memaparkan beberapa perbuatan Malaysia yang membuat sakit hati orang Indonesia dan membuat pembelaan untuk itu dengan alasan dangkal dan argumen standar khas para diplomat yang sama sekali tidak menyentuh inti persoalan.
Setelah beberapa waktu biasanya emosi orang Indonesia mereda dan memuncak kembali ketika Malaysia lagi-lagi memprovokasi. Untuk meredakan masalah ini biasanya pemerintah kedua negara mencari solusi dengan cara diplomasi, tapi pada waktu tertentu masalah ini muncul lagi. Begitu terus menerus mereda dan berulang kembali.
Banyak yang bertanya kenapa masalah ini terus dan terus berulang seperti tidak ada kata berhenti. Itu karena setiap masalah seperti ini terjadi orang langsung terpikir untuk mencari solusi. Hampir tidak ada yang menanyakan apa sih inti persoalan dari hubungan Indonesia-Malaysia ini.
Ketika masalah ini terjadi, masalah yang terlihat di permukaan entah itu klaim atas budaya atau klaim atas teritori Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia. Rata-rata orang di sini berpikir itu adalah masalah yang sebenarnya dan solusi pun dicari berdasarkan masalah yang kelihatan itu. Padahal yang terlihat itu hanyalah gejala dari penyakit sesungguhnya yang tidak pernah benar-benar serius dipahami oleh kebanyakan orang-orang di Indonesia, entah itu diplomat, pemerintah atau orang biasa.
Karena alasan itulah dalam tulisan kali ini saya ingin mengajak orang-orang yang membaca tulisan saya, terutama yang telah membaca dan berkomentar atas tulisan saya sebelumnya http://winwannur.blog.com/2009/09/06/hubungan-indonesia-malaysia-tanggapan-kritis-untuk-franz-magnis-suseno/ yang dengan kritis menanggapi tulisan Franz Magnis Suseno untuk memahami masalah yang sebenarnya dari hubungan Indonesia-Malaysia ini.
Untuk memahami masalah yang sebenarnya dari masalah hubungan Indonesia- Malaysia, kita harus melihat dengan jernih persoalan yang ada, kemudian dipetakan masalahnya baru kemudian dicari solusinya.
Jika kita mau melihat masalah hubungan Indonesia- Malaysia ini dengan jernih dan langsung pada inti persoalan yang sebenarnya. Maka dengan jelas kita akan melihat bahwa masalah utama dalam hubungan Indonesia- Malaysia ini tidak lain terletak pada sejarah pembentukan Malaysia sendiri sebagai bangsa, yang memang sudah "sakit" sejak dari awal berdirinya.
Sepanjang sejarahnya Malaysia adalah kumpulan dari kerajaan-kerajaan kecil yang tidak terlalu besar pengaruhnya di Nusantara. Di Malaysia, baik di Semenanjung maupun di Kalimantan, tidak pernah ada kerajaan besar sekaliber Sriwijaya, Majapahit atau bahkan Aceh Darussalam.
Sepanjang sejarah pra-kolonial, kerajaan-kerajaan di Malaysia selalu berada di bawah bayang-bayang kerajaan besar di kepulauan Nusantara. Bahkan ketika semenanjung Malaka dikuasai Portugis, Aceh yang saat itu dipimpin oleh Iskandar Muda-lah yang membebaskan mereka.
Ketika Nusantara akhirnya dikuasai sepenuhnya oleh negara-negara kolonial dari eropa, semenanjung Malaysia dikuasai Inggris sedangkan kerajaan-kerajaan lain di kepulauan ini dikuasai Belanda.
Pasca perang dunia kedua, tren merdeka melanda seluruh dunia. Kerajaan-kerajaan di nusantara inipun memerdekakan diri, mereka membentuk negara tidak berdasarkan kedekatan kultural antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya, tapi berdasarkan batas-batas teritori yang dibuat oleh para penjajahnya.
Dengan model pendekatan seperti ini jadilah Sumatra, Kalimantan dan semenanjung Malaka yang sebenarnya sangat dekat secara kultural terpisah menjadi beberapa negara.
Sumatra dan sebagian Kalimantan yang lebih dahulu merdeka digabungkan dengan Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku sampai Papua. Meski sebenarnya secara kultural mereka tidak memiliki ikatan kuat. Tapi karena wilayah ini sama-sama bekas jajahan Belanda, mereka disatukan menjadi sebuah negara. Negara baru ini diberi nama Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, Semenanjung Malaka, Sabah dan Sarawak di Kalimantan bersama Singapura (yang belakangan memerdekakan diri) membentuk federasi Malaysia. Belakangan di Kalimantan muncul lagi sebuah negara baru bernama Brunei Darussalam.
Berbeda dengan Indonesia yang mendapatkan kemerdekaan dengan cara paksa, Malaysia merdeka dengan cara baik-baik dan ketika belakangan Singapura memisahkan diri, itu juga dilakukan dengan cara baik-baik.
Perbedaan cara mendapatkan kemerdekaan ini ternyata kemudian memberi pengaruh sangat besar terhadap sejarah dan karakter bangsa-bangsa baru merdeka ini di kemudian hari. Indonesia yang merdeka dengan cara paksa, di awal kemerdekaannya disibukkan dengan berbagai perang dan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaannya. Mereka juga masih disibukkan dengan perdebatan tentang konsep negara. Karena memang secara kultural sangat beragam, Indonesia juga disibukkan dengan berbagai masalah perbedaan latar belakang kultural ini. Beberapa daerah yang merasa di anak tirikan oleh pemerintah Indonesia yang berpusat di Jawa merasa tidak senang dan melakukan perlawanan, masalah seperti ini bahkan sampai hari inipun belum sepenuhnya bisa diselesaikan oleh Indonesia.
Sebaliknya Malaysia dan juga Singapura (yang memisahkan diri dari Malaysia) bisa lebih berkonsentrasi pada pembangunan negara mereka, terutama di bidang ekonomi. Meski pada awal-awal kemerdekaannya Malaysia banyak dibantu oleh tenaga entah itu Insinyur atau guru dari Indonesia, tapi karena negara mereka yang mendapatkan kemerdekaan dengan cara baik-baik ini sudah terkonsep cukup bagus sejak awal berdirinya, ditambah mereka tidak memiliki masalah sebanyak yang dihadapi oleh Indonesia. Negara ini belakangan melaju lebih cepat dan tidak lama kemudian semakin makmur dan jauh meninggalkan Indonesia secara ekonomi.
Ketika sudah merasa cukup kaya, mereka pun ingin merasa lebih dari itu. Mereka ingin dipandang sebagai bangsa yang besar. Untuk tujuan itu mereka mencanangkan program yang dinamakan "Malaysia Boleh".
Hampir bersamaan dengan itu pada dekade 80-an beberapa tenaga kerja kelas buruh dan pembantu asal Indonesia mulai mencari peruntungan di Malaysia. Beberapa buruh migran yang bekerja di Malaysia itu kembali ke Indonesia membawa cerita sukses. Cerita-cerita sukses seperti ini menarik minat banyak orang Indonesia yang berada di level skill yang sama untuk bekerja di Malaysia sampai-sampai jumlah mereka di Malaysia semakin banyak dan tidak terkendali.
Oleh orang Malaysia kebanyakan, mereka itulah yang dianggap sebagai representasi Indonesia. Dalam bayangan banyak orang Malaysia, melayu-melayu yang tinggal di kepulauan nusantara hampir seluruhnya berpenampilan dan bersikap seperti para 'duta besar' Indonesia di negeri mereka itu. Dari fenomena buruh migran inilah kemudian muncul sebutan 'indon' yang berkonotasi melecehkan itu.
Keberadaan para "Indon" di Malaysia itu membuat rakyat negeri itu semakin yakin bahwa merekalah Melayu yang paling superior di dunia.
Dengan uang yang mereka punya, Malaysia pun berpikir mereka bisa membeli semuanya. Oleh melayu-melayu di tanah semenanjung itu, "Malaysia Boleh", kemudian mereka artikan sebagai boleh berbuat semaunya, boleh mencaplok seenaknya hak milik para "Indon", melayu miskin tetangga mereka yang mereka pandang sebelah mata.
Tapi karena dasarnya tidak pernah punya sejarah besar, Malaysia pun tidak memiliki kapasitas memadai untuk menjadi bangsa besar, merekapun tidak tahu bagaimana bersikap sebagai orang besar. Akibatnya bangsa kecil berjiwa kerdil inipun terlihat seperti "Kurcaci yang tiba-tiba menjadi anak Raksasa".
Melayu-melayu di tanah semenanjung ini pun secara mental tidak siap menjadi kaya. Mereka seperti orang miskin yang seluruh nenek moyangnya juga miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya. Akibatnya muncullah apa yang disebut fenomena Orang Kaya Baru (OKB) yang memiliki banyak uang tapi tidak bisa menghilangkan sikap aslinya yang kampungan.
Sebagai mana halnya setiap orang kecil yang tidak siap menjadi besar yang selalu merasa satu-satunya cara menjadi besar adalah dengan cara 'mengecilkan' orang lain, itulah yang terjadi pada Malaysia. Sebagai negara Melayu mereka merasa merekalah Melayu terbesar. Melayu lain seperti Indonesia dan Brunei hanyalah alas kaki mereka.
Ketika mereka bersikap arogan dan terang-terangan melecehkan melayu yang memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dari mereka. Malaysia melihat sama sekali tidak ada perlawanan berarti dari para "Indon" tetangga miskinnya, ditambah keberhasilan mereka memenangkan hak atas Sipadan dan Ligitan. Hal ini membuat mereka menjadi semakin berani dari hari ke hari dan pada puncaknya hari-hari belakangan ini merekapun terlihat merasa diri sebagai Über Alles.
Über Alles adalah istilah yang populer ketika Hitler dengan partai Nazi-nya berkuasa di Jerman. Jerman sendiri adalah sebuah negara di eropa yang merupakan bangsa pinggiran dan tidak banyak memiliki peran dalam sejarah klasik peradaban eropa.
Ciri orang yang merasa diri sebagai Über Alles adalah mereka merasa tidak nyaman dengan fakta sejarah yang menunjukkan kecilnya mereka di masa lalu. Untuk mengatasi rasa tidak nyaman ini, mereka menulis ulang sejarah dengan data-data palsu, memutar balik fta yang sebenarnya. Dalam sejarah versi baru ini mereka membuat fakta baru yang didesain sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa di masa lalu mereka adalah bangsa yang besar, bahkan yang terbesar.
Jerman yang yang awalnya hanya bangsa pinggiran, pasca 'Aufklaerung' tiba-tiba berubah menjadi salah satu bangsa yang memiliki paradaban paling maju di dunia. Perubahan ini membuat mereka lupa diri dan merekapun kemudian mengaku bahwa mereka adalah ras tertinggi dari seluruh ras manusia.
Sama seperti kasus Malaysia, kemajuan ekonomi yang mereka capai sekarang membuat fakta sejarah yang menunjukkan bahwa mereka hanyalah kumpulan kerajaan kecil yang tidak terlalu penting dalam sejaraha Nusantara itupun membuat mereka merasa tidak nayaman. Fakta inipun mereka ubah dengan mengatakan bahwa merekalah sebenarnya pusat kerajaan Melayu di Nusantara. Kerajaan-kerajaan lain semua tunduk pada mereka, bahasa yang digunakan di Nusantara inipun menurut mereka aslinya adalah bahasa yang awalnya dipergunakakan di semenanjung Malaka.
Karena mereka merasa adalah Melayu tertinggi di Nusantara, merekapun merasa seluruh wilayah Nusantara ini sebenarnya adalah bekas daerah 'jajahan' mereka, karena itu seluruh kebudayaan yang ada di nusantara ini tidak bisa tidak sebenarnya mendapatkan akarnya dari Malaysia. Karena itu merekapun merasa berhak untuk mengakui kebudayaan-kebudayaan itu sebagai milik mereka. Inilah yang terjadi pada hari-hari belakangan ini.
Ciri lain dari manusia "Über Alles" adalah tidak tahu terima kasih. Segala jasa dan bantuan yang mereka terima di masa lalu dari orang yang sekarang mereka anggap lebih rendah, mereka anggap tidak pernah ada. Bagi manusia bermental kerdil, mengakui jasa orang yang dia anggap inferior dianggap mengurangi keabsahan status mereka sebagai "Über Alles".
Karena absennya rasa terima kasih inilah, ketika Aceh sedang berkonflik berat dengan Indonesia. Malaysia dengan kejam menyiksa para pencari suaka asal aceh yang dulu sempat melarikan diri ke negara itu. Kenyataan sejarah bahwa dulu mereka dibebaskan oleh Aceh dari cengkeraman Portugis sama sekali tidak masuk dalam perhitungan mereka.
Bandingkan sikap Malaysia ini dengan sikap Turki, negara besar yang punya sejarah besar di masa lalu. Ketika Aceh dihantam tsunami, Turki terbilang sebagai salah satu negara yang paling aktif membantu. Dengan terus terang mereka katakan, motivasi mereka membantu Aceh adalah karena ikatan sejarah antara Aceh dan Turki di masa lalu.
Saat saya pertama kali kembali ke Aceh pasca tsunami bulu kuduk saya bergidik membaca tulisan di sebuah billboard di Simpang Surabaya, Banda Aceh yang dipajang oleh pemerintah Turki. Tulisan itu kurang lebih berbunyi "Dulu Turki dan Aceh adalah saudara, sekarang Aceh dan Turki juga bersaudara, Besok Aceh dan Turki tetap bersaudara.
Begitu juga dengan Indonesia, fakta bahwa di awal kemerdekaannya Malaysia banyak dibantu oleh Guru dan Insinyur asal Indonesia adalah fakta yang mati-matian ingin dilupakan dan ditolak oleh orang Malaysia saat ini. Baca http://winwannur.blogspot.com/2009/09/isu-indonesia-malaysia-dalam-kacamata.html yang merupakan tanggapan pers Malaysia atas ketersinggungan orang Indonesia atas sikap arogan mereka.
Ciri lain orang yang merasa diri sebagai "Über Alles" adalah anti introspeksi. Setiap kritikan, kecaman dan rasa sakit hati orang Indonesia terhadap arogansi dan kesombongan mereka, oleh orang Malaysia dipahami tidak lain hanyalah manifestasi dari rasa iri dan kecemburuan bangsa Indonesia atas keberhasilan ekonomi yang mereka capai. Begitulah yang terjadi di Malaysia setiap kali orang Indonesia tersinggung terhadap ulah mereka. Seperti ketersinggungan orang Indonesia baru-baru ini misalnya, mereka pun menganggap itu hanya ulah beberapa gelintir pendemo bayaran yang dibayar beberapa ribu rupiah saja. Mengenai ini juga bisa dibaca pada artikel di media Malaysia http://winwannur.blogspot.com/2009/09/isu-indonesia-malaysia-dalam-kacamata.html yang sama seperti di atas.
Sebenarnya semua arogansi yang ditunjukkan Malaysia ini tidak lain adalah usaha mereka untuk menutupi kecilnya mereka dan kerdilnya jiwa mereka. Kerdilnya jiwa Melayu semenanjung ini tidak hanya mereka tunjukkan dalam hubungan luar negeri. Di dalam negeri pun bangsa "sakit" ini tanpa malu-malu menunjukkan jiwa pengecut mereka.
Karena merasa tidak mampu bersaing dengan etnis Cina yang sama-sama warga negara Malaysia. Dalam konstitusi mereka, Melayu semenanjung yang mayoritas tanpa malu-malu menerapkan kebijakan rasis yang diberi nama NEP yang memberi hak istimewa kepada Melayu untuk berusaha.
Memang harus diakui kebijakan itu berhasil membawa melayu-melayu semenanjung itu ke taraf ekonomi yang lebih baik (meski kita juga belum tahu sampai kapan kebijakan rasis seperti ini efektif diterapkan karena belakangan di Malaysia orang-orang terkaya tetap saja dari etnis Cina) tapi tetap saja kebijakan seperti ini hanya mungkin dikeluarkan oleh manusia berjiwa pengecut.
Fenomena pengecut yang bersikap sok jago inilah yang dalam masyarakat Anglo-Saxon disebut sebagai fenomena "little man acts as if has a big dick".
Begitulah kira-kira inti permasalahan hubungan Indonesia-Malaysia.
Jadi kalau pemerintah Indonesia mau menyelesaikan masalah dengan Malaysia menggunakan cara diplomasi ya silahkan saja. Tapi kiranya dalam berdiplomasi pemerintah Indonesia juga harus menyadari kalau yang dihadapi dalam berdiplomasi ini adalah sebuah bangsa yang "sakit" yang kalau diperlakukan seperti memperlakukan orang normal hanya akan membuat orang yang menghadapi ikut-ikutan menjadi "sakit".
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Hari-hari belakangan ini hubungan Indonesia Malaysia 'menghangat'.
Seperti biasa ketika ini terjadi, di Indonesia ada banyak nada keras yang ditujukan kepada Malaysia. Dan juga seperti biasa ada banyak pro dan kontra mengenai nada-nada keras ini. Banyak orang di negara ini yang bersikap reaksioner, entah itu sekedar memaki tanpa mengerti persoalannnya atau sebaliknya ada yang merasa orang Indonesia tidak layak bersikap seperti itu terhadap Malaysia.
Dalam sebuah tulisan di sebuah media online malah ada orang Indonesia yang mengatakan malu terhadap sikap orang Indonesia yang mengeluarkan kata-kata keras terhadap Malaysia. Orang yang malu dengan sikap anti Malaysia ini dengan gamblang dan memaparkan beberapa perbuatan Malaysia yang membuat sakit hati orang Indonesia dan membuat pembelaan untuk itu dengan alasan dangkal dan argumen standar khas para diplomat yang sama sekali tidak menyentuh inti persoalan.
Setelah beberapa waktu biasanya emosi orang Indonesia mereda dan memuncak kembali ketika Malaysia lagi-lagi memprovokasi. Untuk meredakan masalah ini biasanya pemerintah kedua negara mencari solusi dengan cara diplomasi, tapi pada waktu tertentu masalah ini muncul lagi. Begitu terus menerus mereda dan berulang kembali.
Banyak yang bertanya kenapa masalah ini terus dan terus berulang seperti tidak ada kata berhenti. Itu karena setiap masalah seperti ini terjadi orang langsung terpikir untuk mencari solusi. Hampir tidak ada yang menanyakan apa sih inti persoalan dari hubungan Indonesia-Malaysia ini.
Ketika masalah ini terjadi, masalah yang terlihat di permukaan entah itu klaim atas budaya atau klaim atas teritori Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia. Rata-rata orang di sini berpikir itu adalah masalah yang sebenarnya dan solusi pun dicari berdasarkan masalah yang kelihatan itu. Padahal yang terlihat itu hanyalah gejala dari penyakit sesungguhnya yang tidak pernah benar-benar serius dipahami oleh kebanyakan orang-orang di Indonesia, entah itu diplomat, pemerintah atau orang biasa.
Karena alasan itulah dalam tulisan kali ini saya ingin mengajak orang-orang yang membaca tulisan saya, terutama yang telah membaca dan berkomentar atas tulisan saya sebelumnya http://winwannur.blog.com/2009/09/06/hubungan-indonesia-malaysia-tanggapan-kritis-untuk-franz-magnis-suseno/ yang dengan kritis menanggapi tulisan Franz Magnis Suseno untuk memahami masalah yang sebenarnya dari hubungan Indonesia-Malaysia ini.
Untuk memahami masalah yang sebenarnya dari masalah hubungan Indonesia- Malaysia, kita harus melihat dengan jernih persoalan yang ada, kemudian dipetakan masalahnya baru kemudian dicari solusinya.
Jika kita mau melihat masalah hubungan Indonesia- Malaysia ini dengan jernih dan langsung pada inti persoalan yang sebenarnya. Maka dengan jelas kita akan melihat bahwa masalah utama dalam hubungan Indonesia- Malaysia ini tidak lain terletak pada sejarah pembentukan Malaysia sendiri sebagai bangsa, yang memang sudah "sakit" sejak dari awal berdirinya.
Sepanjang sejarahnya Malaysia adalah kumpulan dari kerajaan-kerajaan kecil yang tidak terlalu besar pengaruhnya di Nusantara. Di Malaysia, baik di Semenanjung maupun di Kalimantan, tidak pernah ada kerajaan besar sekaliber Sriwijaya, Majapahit atau bahkan Aceh Darussalam.
Sepanjang sejarah pra-kolonial, kerajaan-kerajaan di Malaysia selalu berada di bawah bayang-bayang kerajaan besar di kepulauan Nusantara. Bahkan ketika semenanjung Malaka dikuasai Portugis, Aceh yang saat itu dipimpin oleh Iskandar Muda-lah yang membebaskan mereka.
Ketika Nusantara akhirnya dikuasai sepenuhnya oleh negara-negara kolonial dari eropa, semenanjung Malaysia dikuasai Inggris sedangkan kerajaan-kerajaan lain di kepulauan ini dikuasai Belanda.
Pasca perang dunia kedua, tren merdeka melanda seluruh dunia. Kerajaan-kerajaan di nusantara inipun memerdekakan diri, mereka membentuk negara tidak berdasarkan kedekatan kultural antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya, tapi berdasarkan batas-batas teritori yang dibuat oleh para penjajahnya.
Dengan model pendekatan seperti ini jadilah Sumatra, Kalimantan dan semenanjung Malaka yang sebenarnya sangat dekat secara kultural terpisah menjadi beberapa negara.
Sumatra dan sebagian Kalimantan yang lebih dahulu merdeka digabungkan dengan Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku sampai Papua. Meski sebenarnya secara kultural mereka tidak memiliki ikatan kuat. Tapi karena wilayah ini sama-sama bekas jajahan Belanda, mereka disatukan menjadi sebuah negara. Negara baru ini diberi nama Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, Semenanjung Malaka, Sabah dan Sarawak di Kalimantan bersama Singapura (yang belakangan memerdekakan diri) membentuk federasi Malaysia. Belakangan di Kalimantan muncul lagi sebuah negara baru bernama Brunei Darussalam.
Berbeda dengan Indonesia yang mendapatkan kemerdekaan dengan cara paksa, Malaysia merdeka dengan cara baik-baik dan ketika belakangan Singapura memisahkan diri, itu juga dilakukan dengan cara baik-baik.
Perbedaan cara mendapatkan kemerdekaan ini ternyata kemudian memberi pengaruh sangat besar terhadap sejarah dan karakter bangsa-bangsa baru merdeka ini di kemudian hari. Indonesia yang merdeka dengan cara paksa, di awal kemerdekaannya disibukkan dengan berbagai perang dan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaannya. Mereka juga masih disibukkan dengan perdebatan tentang konsep negara. Karena memang secara kultural sangat beragam, Indonesia juga disibukkan dengan berbagai masalah perbedaan latar belakang kultural ini. Beberapa daerah yang merasa di anak tirikan oleh pemerintah Indonesia yang berpusat di Jawa merasa tidak senang dan melakukan perlawanan, masalah seperti ini bahkan sampai hari inipun belum sepenuhnya bisa diselesaikan oleh Indonesia.
Sebaliknya Malaysia dan juga Singapura (yang memisahkan diri dari Malaysia) bisa lebih berkonsentrasi pada pembangunan negara mereka, terutama di bidang ekonomi. Meski pada awal-awal kemerdekaannya Malaysia banyak dibantu oleh tenaga entah itu Insinyur atau guru dari Indonesia, tapi karena negara mereka yang mendapatkan kemerdekaan dengan cara baik-baik ini sudah terkonsep cukup bagus sejak awal berdirinya, ditambah mereka tidak memiliki masalah sebanyak yang dihadapi oleh Indonesia. Negara ini belakangan melaju lebih cepat dan tidak lama kemudian semakin makmur dan jauh meninggalkan Indonesia secara ekonomi.
Ketika sudah merasa cukup kaya, mereka pun ingin merasa lebih dari itu. Mereka ingin dipandang sebagai bangsa yang besar. Untuk tujuan itu mereka mencanangkan program yang dinamakan "Malaysia Boleh".
Hampir bersamaan dengan itu pada dekade 80-an beberapa tenaga kerja kelas buruh dan pembantu asal Indonesia mulai mencari peruntungan di Malaysia. Beberapa buruh migran yang bekerja di Malaysia itu kembali ke Indonesia membawa cerita sukses. Cerita-cerita sukses seperti ini menarik minat banyak orang Indonesia yang berada di level skill yang sama untuk bekerja di Malaysia sampai-sampai jumlah mereka di Malaysia semakin banyak dan tidak terkendali.
Oleh orang Malaysia kebanyakan, mereka itulah yang dianggap sebagai representasi Indonesia. Dalam bayangan banyak orang Malaysia, melayu-melayu yang tinggal di kepulauan nusantara hampir seluruhnya berpenampilan dan bersikap seperti para 'duta besar' Indonesia di negeri mereka itu. Dari fenomena buruh migran inilah kemudian muncul sebutan 'indon' yang berkonotasi melecehkan itu.
Keberadaan para "Indon" di Malaysia itu membuat rakyat negeri itu semakin yakin bahwa merekalah Melayu yang paling superior di dunia.
Dengan uang yang mereka punya, Malaysia pun berpikir mereka bisa membeli semuanya. Oleh melayu-melayu di tanah semenanjung itu, "Malaysia Boleh", kemudian mereka artikan sebagai boleh berbuat semaunya, boleh mencaplok seenaknya hak milik para "Indon", melayu miskin tetangga mereka yang mereka pandang sebelah mata.
Tapi karena dasarnya tidak pernah punya sejarah besar, Malaysia pun tidak memiliki kapasitas memadai untuk menjadi bangsa besar, merekapun tidak tahu bagaimana bersikap sebagai orang besar. Akibatnya bangsa kecil berjiwa kerdil inipun terlihat seperti "Kurcaci yang tiba-tiba menjadi anak Raksasa".
Melayu-melayu di tanah semenanjung ini pun secara mental tidak siap menjadi kaya. Mereka seperti orang miskin yang seluruh nenek moyangnya juga miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya. Akibatnya muncullah apa yang disebut fenomena Orang Kaya Baru (OKB) yang memiliki banyak uang tapi tidak bisa menghilangkan sikap aslinya yang kampungan.
Sebagai mana halnya setiap orang kecil yang tidak siap menjadi besar yang selalu merasa satu-satunya cara menjadi besar adalah dengan cara 'mengecilkan' orang lain, itulah yang terjadi pada Malaysia. Sebagai negara Melayu mereka merasa merekalah Melayu terbesar. Melayu lain seperti Indonesia dan Brunei hanyalah alas kaki mereka.
Ketika mereka bersikap arogan dan terang-terangan melecehkan melayu yang memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dari mereka. Malaysia melihat sama sekali tidak ada perlawanan berarti dari para "Indon" tetangga miskinnya, ditambah keberhasilan mereka memenangkan hak atas Sipadan dan Ligitan. Hal ini membuat mereka menjadi semakin berani dari hari ke hari dan pada puncaknya hari-hari belakangan ini merekapun terlihat merasa diri sebagai Über Alles.
Über Alles adalah istilah yang populer ketika Hitler dengan partai Nazi-nya berkuasa di Jerman. Jerman sendiri adalah sebuah negara di eropa yang merupakan bangsa pinggiran dan tidak banyak memiliki peran dalam sejarah klasik peradaban eropa.
Ciri orang yang merasa diri sebagai Über Alles adalah mereka merasa tidak nyaman dengan fakta sejarah yang menunjukkan kecilnya mereka di masa lalu. Untuk mengatasi rasa tidak nyaman ini, mereka menulis ulang sejarah dengan data-data palsu, memutar balik fta yang sebenarnya. Dalam sejarah versi baru ini mereka membuat fakta baru yang didesain sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa di masa lalu mereka adalah bangsa yang besar, bahkan yang terbesar.
Jerman yang yang awalnya hanya bangsa pinggiran, pasca 'Aufklaerung' tiba-tiba berubah menjadi salah satu bangsa yang memiliki paradaban paling maju di dunia. Perubahan ini membuat mereka lupa diri dan merekapun kemudian mengaku bahwa mereka adalah ras tertinggi dari seluruh ras manusia.
Sama seperti kasus Malaysia, kemajuan ekonomi yang mereka capai sekarang membuat fakta sejarah yang menunjukkan bahwa mereka hanyalah kumpulan kerajaan kecil yang tidak terlalu penting dalam sejaraha Nusantara itupun membuat mereka merasa tidak nayaman. Fakta inipun mereka ubah dengan mengatakan bahwa merekalah sebenarnya pusat kerajaan Melayu di Nusantara. Kerajaan-kerajaan lain semua tunduk pada mereka, bahasa yang digunakan di Nusantara inipun menurut mereka aslinya adalah bahasa yang awalnya dipergunakakan di semenanjung Malaka.
Karena mereka merasa adalah Melayu tertinggi di Nusantara, merekapun merasa seluruh wilayah Nusantara ini sebenarnya adalah bekas daerah 'jajahan' mereka, karena itu seluruh kebudayaan yang ada di nusantara ini tidak bisa tidak sebenarnya mendapatkan akarnya dari Malaysia. Karena itu merekapun merasa berhak untuk mengakui kebudayaan-kebudayaan itu sebagai milik mereka. Inilah yang terjadi pada hari-hari belakangan ini.
Ciri lain dari manusia "Über Alles" adalah tidak tahu terima kasih. Segala jasa dan bantuan yang mereka terima di masa lalu dari orang yang sekarang mereka anggap lebih rendah, mereka anggap tidak pernah ada. Bagi manusia bermental kerdil, mengakui jasa orang yang dia anggap inferior dianggap mengurangi keabsahan status mereka sebagai "Über Alles".
Karena absennya rasa terima kasih inilah, ketika Aceh sedang berkonflik berat dengan Indonesia. Malaysia dengan kejam menyiksa para pencari suaka asal aceh yang dulu sempat melarikan diri ke negara itu. Kenyataan sejarah bahwa dulu mereka dibebaskan oleh Aceh dari cengkeraman Portugis sama sekali tidak masuk dalam perhitungan mereka.
Bandingkan sikap Malaysia ini dengan sikap Turki, negara besar yang punya sejarah besar di masa lalu. Ketika Aceh dihantam tsunami, Turki terbilang sebagai salah satu negara yang paling aktif membantu. Dengan terus terang mereka katakan, motivasi mereka membantu Aceh adalah karena ikatan sejarah antara Aceh dan Turki di masa lalu.
Saat saya pertama kali kembali ke Aceh pasca tsunami bulu kuduk saya bergidik membaca tulisan di sebuah billboard di Simpang Surabaya, Banda Aceh yang dipajang oleh pemerintah Turki. Tulisan itu kurang lebih berbunyi "Dulu Turki dan Aceh adalah saudara, sekarang Aceh dan Turki juga bersaudara, Besok Aceh dan Turki tetap bersaudara.
Begitu juga dengan Indonesia, fakta bahwa di awal kemerdekaannya Malaysia banyak dibantu oleh Guru dan Insinyur asal Indonesia adalah fakta yang mati-matian ingin dilupakan dan ditolak oleh orang Malaysia saat ini. Baca http://winwannur.blogspot.com/2009/09/isu-indonesia-malaysia-dalam-kacamata.html yang merupakan tanggapan pers Malaysia atas ketersinggungan orang Indonesia atas sikap arogan mereka.
Ciri lain orang yang merasa diri sebagai "Über Alles" adalah anti introspeksi. Setiap kritikan, kecaman dan rasa sakit hati orang Indonesia terhadap arogansi dan kesombongan mereka, oleh orang Malaysia dipahami tidak lain hanyalah manifestasi dari rasa iri dan kecemburuan bangsa Indonesia atas keberhasilan ekonomi yang mereka capai. Begitulah yang terjadi di Malaysia setiap kali orang Indonesia tersinggung terhadap ulah mereka. Seperti ketersinggungan orang Indonesia baru-baru ini misalnya, mereka pun menganggap itu hanya ulah beberapa gelintir pendemo bayaran yang dibayar beberapa ribu rupiah saja. Mengenai ini juga bisa dibaca pada artikel di media Malaysia http://winwannur.blogspot.com/2009/09/isu-indonesia-malaysia-dalam-kacamata.html yang sama seperti di atas.
Sebenarnya semua arogansi yang ditunjukkan Malaysia ini tidak lain adalah usaha mereka untuk menutupi kecilnya mereka dan kerdilnya jiwa mereka. Kerdilnya jiwa Melayu semenanjung ini tidak hanya mereka tunjukkan dalam hubungan luar negeri. Di dalam negeri pun bangsa "sakit" ini tanpa malu-malu menunjukkan jiwa pengecut mereka.
Karena merasa tidak mampu bersaing dengan etnis Cina yang sama-sama warga negara Malaysia. Dalam konstitusi mereka, Melayu semenanjung yang mayoritas tanpa malu-malu menerapkan kebijakan rasis yang diberi nama NEP yang memberi hak istimewa kepada Melayu untuk berusaha.
Memang harus diakui kebijakan itu berhasil membawa melayu-melayu semenanjung itu ke taraf ekonomi yang lebih baik (meski kita juga belum tahu sampai kapan kebijakan rasis seperti ini efektif diterapkan karena belakangan di Malaysia orang-orang terkaya tetap saja dari etnis Cina) tapi tetap saja kebijakan seperti ini hanya mungkin dikeluarkan oleh manusia berjiwa pengecut.
Fenomena pengecut yang bersikap sok jago inilah yang dalam masyarakat Anglo-Saxon disebut sebagai fenomena "little man acts as if has a big dick".
Begitulah kira-kira inti permasalahan hubungan Indonesia-Malaysia.
Jadi kalau pemerintah Indonesia mau menyelesaikan masalah dengan Malaysia menggunakan cara diplomasi ya silahkan saja. Tapi kiranya dalam berdiplomasi pemerintah Indonesia juga harus menyadari kalau yang dihadapi dalam berdiplomasi ini adalah sebuah bangsa yang "sakit" yang kalau diperlakukan seperti memperlakukan orang normal hanya akan membuat orang yang menghadapi ikut-ikutan menjadi "sakit".
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Isu Indonesia-Malaysia dalam kacamata pers Malasyia
harian utusan terbitan malaysia tgl 6 September 2009
ARKIB : 06/09/2009
Usah layan pendemo upahan Indonesia
Oleh Zulkiflee Bakar
SEBENARNYA, penulis sedikit pun tidak berasa hairan dengan gelagat sekumpulan penunjuk perasaan membakar Jalur Gemilang pada 30 Ogos lalu di Indonesia. Malah penulis juga tidak berasa risau dengan tunjuk perasaan yang diadakan di hadapan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, baru-baru ini.
Sebagai salah seorang yang pernah tinggal di Jakarta selama tiga tahun, penulis menganggap apa yang berlaku adalah biasa kerana itulah sikap sekelompok manusia yang tidak matang dalam berhadapan sesuatu isu.
Sebenarnya isu Tarian Pendet, hanyalah salah satu isu yang cuba diambil kesempatan oleh pihak-pihak tertentu di Indonesia bagi memburukkan Malaysia. Sebelum ini sudah ada banyak isu kecil yang sengaja diperbesarkan termasuklah oleh media Indonesia yang sejak dulu tidak pernah mahu menunjukkan kematangan dalam menyentuh isu melibatkan dua buah negara.
Jalur Gemilang bukan kali pertama dibakar, malah pada tahun 2000 peristiwa yang sama berlaku di Pontianak, Kalimantan ketika rakyat Malaysia sedang menyambut kemerdekaan. Ketika itu mereka memprotes mengenai kononnya berlaku penganiayaan ke atas pembantu rumah Indonesia.
Malah dalam isu Ambalat, pergi sahaja ke Jakarta, anda akan lihat tidak kurang lima buah buku dihasilkan dengan tujuan untuk membakar semangat rakyat Indonesia supaya menentang Malaysia. Salah sebuah buku berkenaan menggunakan tajuk Ganyang Malaysia - istilah yang digunakan ketika konfrantasi antara Malaysia-Indonesia pada tahun 1963. Kita di Malaysia tidak perlu berasa gundah gulana dengan apa yang sedang dilakukan oleh segelintir rakyat Indonesia. Mungkin kita boleh sedikit tersinggung kerana Jalur Gemilang dibakar tetapi kita jangan memiliki fikiran singkat seperti mereka.
Kelompok yang melakukan perbuatan berkenaan di Indonesia adalah penunjuk- penunjuk perasaan upahan, mereka ini dibayar antara Rupiah 5,000 hingga Rupiah 10,000 (RM1.60 hingga RM3.30).
Dengan upah sebanyak itu dan diberi sebungkus nasi dan segelas air, mereka akan terpekik terlolong di jalanan bagi mengecam Malaysia. Malah kerana upah itu juga mereka melakukan tindakan tidak masuk akal termasuk kononnya ‘menyita’ Kedutaan Malaysia.
Kenyataan
Begitu juga dengan puak-puak di Indonesia yang membuat kenyataan membidas Malaysia. Mereka juga tidak tahu apa-apa. Apa yang mereka katakan sekadar untuk meraih populariti dan publisiti. Oleh itu kita tidak perlu membuang masa bercakap dengan mereka soal diplomasi atau hubungan dua hala.
Kedua-dua kelompok berkenaan tidak mempunyai fikiran setinggi itu. Apa yang mereka tahu sebut sahaja soal Malaysia, maka segalanya mereka akan protes. Perasaan cemburu terhadap Malaysia masih wujud di kalangan sesetengah rakyat Indonesia.
Fikiran sempit dan tanggapan bahawa Indonesia adalah ‘abang’ kepada Malaysia masih ada. Sebenarnya, kalau hendak dibanding dengan sesetengah negara, dalam isu pembantu rumah contohnya, ada negara yang memberi layanan lebih buruk kepada kelompok berkenaan. Tetapi kenapakah penunjuk-penunjuk perasaan upahan tersebut tidak berdemonstrasi di kedutaan-kedutaan negara yang terlibat.
Kenapa apabila ada isu berkaitan dengan Malaysia, tanpa usul periksa, mereka terus bertindak hendak melakukan protes? Apakah tindakan yang dilakukan itu boleh menyelesaikan masalah?
Tindakan yang sekadar mengikut perasaan ini bukanlah kali pertama berlaku malah sudah acap kali tetapi ia akhirnya reda apabila tiada lagi orang yang mahu mengupah atau tiada lagi insan yang sanggup melakukan provokasi.
Sebenarnya, kelompok-kelompok tertentu begitu mudah terpengaruh dengan khabar angin termasuklah mahasiswa yang kononnya cuba menjadi golongan yang ingin menegakkan keadilan.
Terbaru, jangan terkejut kalau beberapa hari lagi, kita akan mendengar mereka melakukan tunjuk perasaan kerana mendakwa mangsa dalam klip video yang memaparkan sekumpulan pengawal keselamatan membelasah seorang lelaki adalah rakyat Indonesia. Demikianlah kecetekan fikiran mereka dalam berhadapan dengan sesuatu isu.
Tetapi kita tidak perlu layan semua itu. Apa yang lebih penting ialah hubungan dua hala antara kedua-dua negara terus berada dalam keadaan baik.
Dalam isu terbaru contohnya, isu Tarian Pendet. Pihak yang terlibat sudah membuat penjelasan kepada kerajaan Indonesia bahawa kerajaan Malaysia tidak terlibat. Oleh itu ia sudah jelas membuktikan bahawa Malaysia tidak bersalah.
Penjelasan
Kita yakin bahawa penjelasan pihak yang terlibat akan diterima oleh Indonesia, biarpun sebelum ini salah seorang menteri Kabinet Indonesia turut sedikit emosional.
Hubungan kerajaan antara kedua-dua negara adalah baik. Oleh itu sikap percaya mempercayai ini harus dikekalkan. Tidak harus ada mana-mana pihak dalam kerajaan sama ada di Malaysia atau Indonesia terpengaruh dengan sentimen sempit sesetengah pihak di negara masing-masing.
Malaysia selama ini sudah lama bersabar dengan pelbagai tuduhan yang dilemparkan. Kita yakin kesabaran ini akan berterusan kerana memahami dalam apa juga situasi adalah sesuatu yang jahil jika rakyat kedua-dua negara bertelingkah. Sebarang masalah yang wujud biarlah diselesaikan secara diplomatik di meja rundingan. Berlembut tidak semestinya beralah. Tetapi ia melambangkan bagaimana sebagai masyarakat bertamadun kita lebih rela menyelesaikan masalah secara perundingan bukannya konfrantasi.
Dalam soal ini, media-media di Indonesia juga harus memainkan peranannya. Mereka tidak sepatutnya bertindak sebagai ‘batu api’ dengan menyiarkan kenyataan-kenyataan yang boleh membakar semangat rakyat negara itu.
ARKIB : 06/09/2009
Usah layan pendemo upahan Indonesia
Oleh Zulkiflee Bakar
SEBENARNYA, penulis sedikit pun tidak berasa hairan dengan gelagat sekumpulan penunjuk perasaan membakar Jalur Gemilang pada 30 Ogos lalu di Indonesia. Malah penulis juga tidak berasa risau dengan tunjuk perasaan yang diadakan di hadapan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, baru-baru ini.
Sebagai salah seorang yang pernah tinggal di Jakarta selama tiga tahun, penulis menganggap apa yang berlaku adalah biasa kerana itulah sikap sekelompok manusia yang tidak matang dalam berhadapan sesuatu isu.
Sebenarnya isu Tarian Pendet, hanyalah salah satu isu yang cuba diambil kesempatan oleh pihak-pihak tertentu di Indonesia bagi memburukkan Malaysia. Sebelum ini sudah ada banyak isu kecil yang sengaja diperbesarkan termasuklah oleh media Indonesia yang sejak dulu tidak pernah mahu menunjukkan kematangan dalam menyentuh isu melibatkan dua buah negara.
Jalur Gemilang bukan kali pertama dibakar, malah pada tahun 2000 peristiwa yang sama berlaku di Pontianak, Kalimantan ketika rakyat Malaysia sedang menyambut kemerdekaan. Ketika itu mereka memprotes mengenai kononnya berlaku penganiayaan ke atas pembantu rumah Indonesia.
Malah dalam isu Ambalat, pergi sahaja ke Jakarta, anda akan lihat tidak kurang lima buah buku dihasilkan dengan tujuan untuk membakar semangat rakyat Indonesia supaya menentang Malaysia. Salah sebuah buku berkenaan menggunakan tajuk Ganyang Malaysia - istilah yang digunakan ketika konfrantasi antara Malaysia-Indonesia pada tahun 1963. Kita di Malaysia tidak perlu berasa gundah gulana dengan apa yang sedang dilakukan oleh segelintir rakyat Indonesia. Mungkin kita boleh sedikit tersinggung kerana Jalur Gemilang dibakar tetapi kita jangan memiliki fikiran singkat seperti mereka.
Kelompok yang melakukan perbuatan berkenaan di Indonesia adalah penunjuk- penunjuk perasaan upahan, mereka ini dibayar antara Rupiah 5,000 hingga Rupiah 10,000 (RM1.60 hingga RM3.30).
Dengan upah sebanyak itu dan diberi sebungkus nasi dan segelas air, mereka akan terpekik terlolong di jalanan bagi mengecam Malaysia. Malah kerana upah itu juga mereka melakukan tindakan tidak masuk akal termasuk kononnya ‘menyita’ Kedutaan Malaysia.
Kenyataan
Begitu juga dengan puak-puak di Indonesia yang membuat kenyataan membidas Malaysia. Mereka juga tidak tahu apa-apa. Apa yang mereka katakan sekadar untuk meraih populariti dan publisiti. Oleh itu kita tidak perlu membuang masa bercakap dengan mereka soal diplomasi atau hubungan dua hala.
Kedua-dua kelompok berkenaan tidak mempunyai fikiran setinggi itu. Apa yang mereka tahu sebut sahaja soal Malaysia, maka segalanya mereka akan protes. Perasaan cemburu terhadap Malaysia masih wujud di kalangan sesetengah rakyat Indonesia.
Fikiran sempit dan tanggapan bahawa Indonesia adalah ‘abang’ kepada Malaysia masih ada. Sebenarnya, kalau hendak dibanding dengan sesetengah negara, dalam isu pembantu rumah contohnya, ada negara yang memberi layanan lebih buruk kepada kelompok berkenaan. Tetapi kenapakah penunjuk-penunjuk perasaan upahan tersebut tidak berdemonstrasi di kedutaan-kedutaan negara yang terlibat.
Kenapa apabila ada isu berkaitan dengan Malaysia, tanpa usul periksa, mereka terus bertindak hendak melakukan protes? Apakah tindakan yang dilakukan itu boleh menyelesaikan masalah?
Tindakan yang sekadar mengikut perasaan ini bukanlah kali pertama berlaku malah sudah acap kali tetapi ia akhirnya reda apabila tiada lagi orang yang mahu mengupah atau tiada lagi insan yang sanggup melakukan provokasi.
Sebenarnya, kelompok-kelompok tertentu begitu mudah terpengaruh dengan khabar angin termasuklah mahasiswa yang kononnya cuba menjadi golongan yang ingin menegakkan keadilan.
Terbaru, jangan terkejut kalau beberapa hari lagi, kita akan mendengar mereka melakukan tunjuk perasaan kerana mendakwa mangsa dalam klip video yang memaparkan sekumpulan pengawal keselamatan membelasah seorang lelaki adalah rakyat Indonesia. Demikianlah kecetekan fikiran mereka dalam berhadapan dengan sesuatu isu.
Tetapi kita tidak perlu layan semua itu. Apa yang lebih penting ialah hubungan dua hala antara kedua-dua negara terus berada dalam keadaan baik.
Dalam isu terbaru contohnya, isu Tarian Pendet. Pihak yang terlibat sudah membuat penjelasan kepada kerajaan Indonesia bahawa kerajaan Malaysia tidak terlibat. Oleh itu ia sudah jelas membuktikan bahawa Malaysia tidak bersalah.
Penjelasan
Kita yakin bahawa penjelasan pihak yang terlibat akan diterima oleh Indonesia, biarpun sebelum ini salah seorang menteri Kabinet Indonesia turut sedikit emosional.
Hubungan kerajaan antara kedua-dua negara adalah baik. Oleh itu sikap percaya mempercayai ini harus dikekalkan. Tidak harus ada mana-mana pihak dalam kerajaan sama ada di Malaysia atau Indonesia terpengaruh dengan sentimen sempit sesetengah pihak di negara masing-masing.
Malaysia selama ini sudah lama bersabar dengan pelbagai tuduhan yang dilemparkan. Kita yakin kesabaran ini akan berterusan kerana memahami dalam apa juga situasi adalah sesuatu yang jahil jika rakyat kedua-dua negara bertelingkah. Sebarang masalah yang wujud biarlah diselesaikan secara diplomatik di meja rundingan. Berlembut tidak semestinya beralah. Tetapi ia melambangkan bagaimana sebagai masyarakat bertamadun kita lebih rela menyelesaikan masalah secara perundingan bukannya konfrantasi.
Dalam soal ini, media-media di Indonesia juga harus memainkan peranannya. Mereka tidak sepatutnya bertindak sebagai ‘batu api’ dengan menyiarkan kenyataan-kenyataan yang boleh membakar semangat rakyat negara itu.
Minggu, 06 September 2009
Hubungan Indonesia-Malaysia; Tanggapan Kritis Untuk Franz Magnis Suseno
Di Kompas kemarin, di halaman opini. Saya membaca sebuah tulisan Franz Magnis Suseno, dosen filsafat di STT Driyakara yang membahas tentang ketersinggungan orang Indonesia terhadap Malaysia dan bagaimana seharusnya orang Indonesia menyikapinya.
Opini yang ditulis Romo Magnis di Kompas edisi 4 September 2009 ini berlawanan dengan arus utama opini masyarakat Indonesia saat ini, yang rata-rata tersinggung dan terusik rasa nasionalismenya dengan apa yang dilakukan Malaysia yang selama ini terus menerus seolah sengaja cari perkara dengan negara ini.
Jika kebanyakan orang Indonesia termasuk anggota DPR RI ingin pemerintah bersikap keras terhadap Malaysia, Romo Magnis sebaliknya. Tawaran Romo Magnis sebagai solusi untuk masalah ini adalah solusi khas dari penganut kristen tipikal. "Kalau ada orang menampar pipi kanan, solusinya sodorkan pipi kiri".
Untuk bangsa sebesar Indonesia dengan penduduk nomer 4 terbanyak di dunia. Menurut Romo Magnis, marah-marah hanya karena dihina seperti itu sangatlah tidaklah layak untuk dilakukan. Sebaliknya Romo Magnis menganjurkan, selesaikanlah masalah itu dengan sabar dan kepala dingin.
Franz Magnis memberi contoh saat Soeharto menjadi presiden. Dia katakan, saat itu Indonesia tidak pernah berkata dengan kata keras dan justru dengan sikap seperti itu Malaysia hormat. Entah amnesia atau memang sengaja, tampaknya Franz Magnis sengaja mengaburkan fakta tentang sosok Soeharto mantan Presiden yang paling kejam sepanjang sejarah Indonesia itu.
Soeharto memang tidak pernah dan tidak perlu berkata keras. Dia hanya perlu menebar senyum, karena semua orang tahu di balik senyumnya yang khas itu ada kekuatan militer besar yang sangat loyal dan patuh tanpa syarat kepadanya. Dia dengan mudah bisa menggerakkan kekuatan itu, semudah anak kecil menggerakkan mainan mobil-mobilan dengan remote control di tangan. Bandingkan dengan SBY yang jangankan militer, bahkan dalam politik saja pun di negara ini banyak musuhnya. SBY baru mau mellibatkan TNI dalam menangani teror saja kecaman sudah muncul dari mana-mana. Jadi kalau SBY mau bergaya meniru-niru gaya Soeharto, ya diludahi orang.
Well, terlepas dari soal Soeharto, anjuran Romo Magnis memang bisa kita terapkan terhadap beberapa kasus dan terbukti manjur.
Misalnya jika anda yang pendatang kebetulan berkunjung ke Bali, bukan sebagai turis. Anda bisa jadi mengalalami pengalaman tidak menyenangkan ditangkap dan diperlakukan tidak enak oleh 'Pecalang' (Hansip Adat). Jika mengalami hal seperti ini di Bali, saran saya akan sama seperti cara yang disarankan Romo Magnis, lebih baik selesaikan masalah itu secara diplaomatis. Hubungi ketua pecalangnya atau langsung usahakan berbicara dengan 'klian' adat setempat.
Meskipun anda mungkin Preman terkenal dan ditakuti di kampung asal anda, tapi dalam menghadapi situasi ini. Mengajak konfrontasi 'pecalang Bali, sangat tidak saya anjurkan. Kecuali anda punya ilmu tahan pukul dan ilmu kebal atau siap mental di'massa' orang 'sebanjar'.
Tapi anjuran seperti tersebut di atas bukanlah obat ajaib yang manjur untuk segala kasus, situasi dan kondisi. Untuk kasus yang berbeda, kadang-kadang cara seperti yang dianjurkan Romo Magnis ini sama sekali tidak efektif, malah menjadi kontra produktif.
Saya secara pribadi pernah mengalami musibah yang tidak perlu karena berbaik-baik seperti saran favorit Romo Magnis ini.
Saat itu saya baru pindah ke kompleks perumahan yang saya tinggali sekarang. Untuk menuju ke rumah saya, saya harus melewati sebuah rumah yang memiliki seekor anjing buras alias anjing kampung yang selalu mengonggong keras kepada siapapun yang melintas di depan rumah majikannya itu. Kalau orang yang digonggong ketakutan kadang anjing kampung berkulit belang ini tidak segan-segan mengejar sampai orang yang dikejar berteriak-teriak ketakutan. Warga di kompleks tempat saya tinggal sebenarnya cukup resah dengan keberadaan anjing itu di kompleks kami.
Istri dan anak saya sering sangat ketakutan ketika harus melewati rumah itu menuju rumah kami. Ketika keluhan itu saya sampaikan kepada pemilik anjing dengan enteng dia bilang "Anjing saya itu memang senang bercanda".
Karena 'diplomasi' dengan pemilik anjing itu tidak berhasil. Karena istri saya sangat ketakutan setiap kali melewati rumah itu, sayapun secara resmi melaporkan masalah ini kepada ketua RT yang merupakan penguasa tertinggi di kompleks kami. Tapi ketua RT kami yang secara penampilan luar sangat perlente dan berwibawa ini sama sekali tidak dapat memberi solusi yang memuaskan.
Suatu kali istri saya pulang bersepeda dan melewati rumah itu, dan seperti biasa anjing itupun menggonggong dengan keras dan seperti biasa pula istri sayapun menjerit panik tidak kalah kerasnya. Sialnya kali ini anjing ini tidak hanya menggonggong tapi juga mengejar istri saya, istri saya yang panik dan ketakutan memacu sepedanya dengan kencang dan saat berbelok menuju persimpangan rumah saya, istri saya tidak dapat mengendalikan sepedanya dan jatuh terjerembab. Melihat istri saya terjatuh, anjing itu menggonggong kencang dan kemudian melenggang pulang dengan santainya. Istri saya pulang ke rumah sambil menuntun sepeda.
Ketika istri saya masuk ke rumah, dia menangis sambil mengatakan dia habis di kejar anjing. Saya yang sedang santai nonton TV kaget melihat keadaanya yang babak belur dengan darah mengalir dari sikut dan lututnya yang kotor terkena debu, bahkan levi's kesayangan istri saya yang ia pakai hari itu juga ikut robek.
Melihat itu tanpa pikir panjang lagi saya mengambil linggis dan mendatangi rumah tempat anjing itu tinggal. Saat saya tiba, anjing itu sedang duduk santai di dalam teras rumah pemiliknya yang berpagar tinggi. Melihat saya, anjing itu seperti biasa mengonggong. Saya tidak mempedulikan gonggongannya langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan menutup rapat gerbangnya. Kemudian mulai memukuli anjing itu dengan linggis yang saya bawa.
Saat saya saya pukuli, secara naluriah anjing itu berusaha lari keluar, tapi usahanya sia-sia, karena pagarnya telah saya tutup rapat. Pemiliknya yang keluar dari dalam rumah mendengar keributan di terasnya menjerit-jerit melihat anjing kesayangannya saya pukuli dengan linggis berbahan besi ulir sebesar jempol kaki. Tapi dia hanya bisa menjerit dan tidak dapat berbuat lebih dari itu.
Saat saya memukuli anjing itu awalnya suaranya 'kaing-kaing' nya demikian kencang, tapi lama kelamaan anjing itu hanya mampu mengeluarkan suara rintihan lemah ' ing' 'ing'. Saya berhenti ketika tangan saya terasa sangat lelah dan tidak sanggup lagi mengangkat linggis untuk memukul. Hebatnya anjing itu tidak mati.
Setelah kejadian hari itu, setiap saya lewat di depan rumah majikannya anjing itu tetap menggonggong, tapi kalau saya menghentakkan kaki sedikit dia langsung lari terkaing-kaing. Kadang-kadang di depan pemiliknya anjing itu tetap 'ngelunjak' menggonggongi saya seolah dia sudah jadi serigala lagi. Setiap kali kejadian seperti itu terjadi, saya kembali ke rumah itu dengan membawa linggis dan anjing itu kembali saya pukuli sampai akhirnya kalau melihat saya dalam jarak 200 meter saja, tanpa saya apa-apakan pun anjing itu langsung terkaing-kaing sendiri dan panik mencari tempat sembunyi.
Coba ini saya lakukan dari awal tanpa perlu coba-coba berbaik-baik mencoba jalan 'diplomasi', istri saya tidak perlu lecet berdarah-darah dan mendapati celana kesayangannya rusak.
Nah untuk kasus Malaysia, cara mana yang paling efektif untuk kita lakukan.
Jangan buru-buru kita simpulkan, mari kita putuskan sesuai dengan kondisi piskologis mereka. Untuk mengetahui kondisi psikologis bangsa yang oleh anggota DPR RI Yusron Ihza Mahendra sebagi bangsa umang-umang karena tidak memiliki badan ini, kita bisa mengujinya berdasarkan data dan pengalaman yang ada.
Berdasarkan hasil yang kita uji itu, kita akan mengetahui apakah cara terbaik menghadapi mereka adalah sarannya Romo Magnis yang efektif menghadapi 'Pecalang' Bali atau justru malah lebih pas mengguanakan cara saya seperti yang saya praktekkan ketika menghadapi anjing kampung yang arogan yang ada di komleks perumahan tempat saya tinggal.
Mari kita lihat.
Dulu Indonesia pernah protes baik-baik soal perlakuan mereka yang tidak manusiawi terhadap TKI, apa kata mereka , mereka punya hukum sendiri yang mengatur itu dan sebagai negara berdaulat mereka tidak ingin proses hukum negara mereka diintervensi. Saat jalur diplomasi digunakan untuk memprotes panggilan 'Indon' yang sangat melecehkan yang mereka pakai untuk meyebut warga negeri ini, apa yang mereka katakan "Oh...itu cume panggilan singkat supaye mudah diucapkan saje".
Kemudian berbagai kasus berlanjut, wasit karate yang merupakan utusan resmi negara ini yang datang berkunjung atas undangan mereka dipukulli oleh para militer negara itu yang memang khusus dibuat untuk mengejar-ngejar TKI. Indonesia yang kata Romo Magnis negara besar yang tidak perlu menunjukkan kebesarannya dengan cara marah-marah ini mendekati mereka manis-manis, seolah-olah mereka itu memang manusia normal. Yang terjadi malah mereka makin bertingkah pating petita-petiti.
Lihat lagi kemudian mereka mengklaim lagu orang ambon sebagai milik mereka, karena merasa tidak terlalu diseriusi kelancangan mereka berlanjut dengan meng-klaim reog Ponorogo. Mereka dengan jumawa menghambat penyebaran lagu-lagu karya musisi Indonesia di negara yang dipenuhi artis-artis tidak kreatif itu, menulis berbagai artikel di koran mereka supaya warganya membenci musik Indonesia. Begitu juga soal Blok Ambalat, waktu Indonesia masih petita-petiti sok-sokan main "diplomasi" sama melayu-melayu OKB itu; maka koran-koran merekapun pun isinya dipenuhi sikap-sikap pating petita-petiti seperti mereka itu sudah jadi negara super power di kawasan ini.
Tapi lihat waktu Pemerintah Indonesia tegas melarang pengiriman TKI, negara apartheid inipun kelabakan menyelesaikan beberapa proyek di negara mereka dan melayu-melayu tidak tahu diri itupun mulai menjilat-jilat pejabat Indonesia yang berkunjung ke sana, bahkan ada pejabat yang datang disambut dengan karpet merah segala. Semua mereka lakukan supaya Indonesia mau membuka kembali kran pengiriman TKI.
Lalu lihat pula ketika SBY mulai terus terang menunjukkan ketersinggungan orang Indonesia atas apa yang mereka lakukan. Perdana menterinya langsung datang merangkul SBY di Jakarta.
Jadi kesimpulannya, mentalitas orang Malaysia itu seperti mentalitas anjing kampung. Psikologinya orang Malaysia ya seperti psikologi anjing kampung di kompleks perumahan tempat saya tinggal, yang saya pukuli babak belur dengan linggis besi ulir sebesar jempol kaki.
Orang Malaysia itu memang perlu dihina, dikasari dan dinista. Nggak perlu dirangkul-rangkul dan pura-pura bersikap seolah-olah mereka bukan bangsa impoten saja.
Terakhir untuk Franz Magnis Suseno, kalau anda mau memberi pipi kiri untuk ditampari melayu-melayu gila itu, silahkan berikan pipi anda sendiri. Nggak perlu ngajak-ngajak kami, apalagi sampai mengatasnamakan Indonesia segala.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Opini yang ditulis Romo Magnis di Kompas edisi 4 September 2009 ini berlawanan dengan arus utama opini masyarakat Indonesia saat ini, yang rata-rata tersinggung dan terusik rasa nasionalismenya dengan apa yang dilakukan Malaysia yang selama ini terus menerus seolah sengaja cari perkara dengan negara ini.
Jika kebanyakan orang Indonesia termasuk anggota DPR RI ingin pemerintah bersikap keras terhadap Malaysia, Romo Magnis sebaliknya. Tawaran Romo Magnis sebagai solusi untuk masalah ini adalah solusi khas dari penganut kristen tipikal. "Kalau ada orang menampar pipi kanan, solusinya sodorkan pipi kiri".
Untuk bangsa sebesar Indonesia dengan penduduk nomer 4 terbanyak di dunia. Menurut Romo Magnis, marah-marah hanya karena dihina seperti itu sangatlah tidaklah layak untuk dilakukan. Sebaliknya Romo Magnis menganjurkan, selesaikanlah masalah itu dengan sabar dan kepala dingin.
Franz Magnis memberi contoh saat Soeharto menjadi presiden. Dia katakan, saat itu Indonesia tidak pernah berkata dengan kata keras dan justru dengan sikap seperti itu Malaysia hormat. Entah amnesia atau memang sengaja, tampaknya Franz Magnis sengaja mengaburkan fakta tentang sosok Soeharto mantan Presiden yang paling kejam sepanjang sejarah Indonesia itu.
Soeharto memang tidak pernah dan tidak perlu berkata keras. Dia hanya perlu menebar senyum, karena semua orang tahu di balik senyumnya yang khas itu ada kekuatan militer besar yang sangat loyal dan patuh tanpa syarat kepadanya. Dia dengan mudah bisa menggerakkan kekuatan itu, semudah anak kecil menggerakkan mainan mobil-mobilan dengan remote control di tangan. Bandingkan dengan SBY yang jangankan militer, bahkan dalam politik saja pun di negara ini banyak musuhnya. SBY baru mau mellibatkan TNI dalam menangani teror saja kecaman sudah muncul dari mana-mana. Jadi kalau SBY mau bergaya meniru-niru gaya Soeharto, ya diludahi orang.
Well, terlepas dari soal Soeharto, anjuran Romo Magnis memang bisa kita terapkan terhadap beberapa kasus dan terbukti manjur.
Misalnya jika anda yang pendatang kebetulan berkunjung ke Bali, bukan sebagai turis. Anda bisa jadi mengalalami pengalaman tidak menyenangkan ditangkap dan diperlakukan tidak enak oleh 'Pecalang' (Hansip Adat). Jika mengalami hal seperti ini di Bali, saran saya akan sama seperti cara yang disarankan Romo Magnis, lebih baik selesaikan masalah itu secara diplaomatis. Hubungi ketua pecalangnya atau langsung usahakan berbicara dengan 'klian' adat setempat.
Meskipun anda mungkin Preman terkenal dan ditakuti di kampung asal anda, tapi dalam menghadapi situasi ini. Mengajak konfrontasi 'pecalang Bali, sangat tidak saya anjurkan. Kecuali anda punya ilmu tahan pukul dan ilmu kebal atau siap mental di'massa' orang 'sebanjar'.
Tapi anjuran seperti tersebut di atas bukanlah obat ajaib yang manjur untuk segala kasus, situasi dan kondisi. Untuk kasus yang berbeda, kadang-kadang cara seperti yang dianjurkan Romo Magnis ini sama sekali tidak efektif, malah menjadi kontra produktif.
Saya secara pribadi pernah mengalami musibah yang tidak perlu karena berbaik-baik seperti saran favorit Romo Magnis ini.
Saat itu saya baru pindah ke kompleks perumahan yang saya tinggali sekarang. Untuk menuju ke rumah saya, saya harus melewati sebuah rumah yang memiliki seekor anjing buras alias anjing kampung yang selalu mengonggong keras kepada siapapun yang melintas di depan rumah majikannya itu. Kalau orang yang digonggong ketakutan kadang anjing kampung berkulit belang ini tidak segan-segan mengejar sampai orang yang dikejar berteriak-teriak ketakutan. Warga di kompleks tempat saya tinggal sebenarnya cukup resah dengan keberadaan anjing itu di kompleks kami.
Istri dan anak saya sering sangat ketakutan ketika harus melewati rumah itu menuju rumah kami. Ketika keluhan itu saya sampaikan kepada pemilik anjing dengan enteng dia bilang "Anjing saya itu memang senang bercanda".
Karena 'diplomasi' dengan pemilik anjing itu tidak berhasil. Karena istri saya sangat ketakutan setiap kali melewati rumah itu, sayapun secara resmi melaporkan masalah ini kepada ketua RT yang merupakan penguasa tertinggi di kompleks kami. Tapi ketua RT kami yang secara penampilan luar sangat perlente dan berwibawa ini sama sekali tidak dapat memberi solusi yang memuaskan.
Suatu kali istri saya pulang bersepeda dan melewati rumah itu, dan seperti biasa anjing itupun menggonggong dengan keras dan seperti biasa pula istri sayapun menjerit panik tidak kalah kerasnya. Sialnya kali ini anjing ini tidak hanya menggonggong tapi juga mengejar istri saya, istri saya yang panik dan ketakutan memacu sepedanya dengan kencang dan saat berbelok menuju persimpangan rumah saya, istri saya tidak dapat mengendalikan sepedanya dan jatuh terjerembab. Melihat istri saya terjatuh, anjing itu menggonggong kencang dan kemudian melenggang pulang dengan santainya. Istri saya pulang ke rumah sambil menuntun sepeda.
Ketika istri saya masuk ke rumah, dia menangis sambil mengatakan dia habis di kejar anjing. Saya yang sedang santai nonton TV kaget melihat keadaanya yang babak belur dengan darah mengalir dari sikut dan lututnya yang kotor terkena debu, bahkan levi's kesayangan istri saya yang ia pakai hari itu juga ikut robek.
Melihat itu tanpa pikir panjang lagi saya mengambil linggis dan mendatangi rumah tempat anjing itu tinggal. Saat saya tiba, anjing itu sedang duduk santai di dalam teras rumah pemiliknya yang berpagar tinggi. Melihat saya, anjing itu seperti biasa mengonggong. Saya tidak mempedulikan gonggongannya langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan menutup rapat gerbangnya. Kemudian mulai memukuli anjing itu dengan linggis yang saya bawa.
Saat saya saya pukuli, secara naluriah anjing itu berusaha lari keluar, tapi usahanya sia-sia, karena pagarnya telah saya tutup rapat. Pemiliknya yang keluar dari dalam rumah mendengar keributan di terasnya menjerit-jerit melihat anjing kesayangannya saya pukuli dengan linggis berbahan besi ulir sebesar jempol kaki. Tapi dia hanya bisa menjerit dan tidak dapat berbuat lebih dari itu.
Saat saya memukuli anjing itu awalnya suaranya 'kaing-kaing' nya demikian kencang, tapi lama kelamaan anjing itu hanya mampu mengeluarkan suara rintihan lemah ' ing' 'ing'. Saya berhenti ketika tangan saya terasa sangat lelah dan tidak sanggup lagi mengangkat linggis untuk memukul. Hebatnya anjing itu tidak mati.
Setelah kejadian hari itu, setiap saya lewat di depan rumah majikannya anjing itu tetap menggonggong, tapi kalau saya menghentakkan kaki sedikit dia langsung lari terkaing-kaing. Kadang-kadang di depan pemiliknya anjing itu tetap 'ngelunjak' menggonggongi saya seolah dia sudah jadi serigala lagi. Setiap kali kejadian seperti itu terjadi, saya kembali ke rumah itu dengan membawa linggis dan anjing itu kembali saya pukuli sampai akhirnya kalau melihat saya dalam jarak 200 meter saja, tanpa saya apa-apakan pun anjing itu langsung terkaing-kaing sendiri dan panik mencari tempat sembunyi.
Coba ini saya lakukan dari awal tanpa perlu coba-coba berbaik-baik mencoba jalan 'diplomasi', istri saya tidak perlu lecet berdarah-darah dan mendapati celana kesayangannya rusak.
Nah untuk kasus Malaysia, cara mana yang paling efektif untuk kita lakukan.
Jangan buru-buru kita simpulkan, mari kita putuskan sesuai dengan kondisi piskologis mereka. Untuk mengetahui kondisi psikologis bangsa yang oleh anggota DPR RI Yusron Ihza Mahendra sebagi bangsa umang-umang karena tidak memiliki badan ini, kita bisa mengujinya berdasarkan data dan pengalaman yang ada.
Berdasarkan hasil yang kita uji itu, kita akan mengetahui apakah cara terbaik menghadapi mereka adalah sarannya Romo Magnis yang efektif menghadapi 'Pecalang' Bali atau justru malah lebih pas mengguanakan cara saya seperti yang saya praktekkan ketika menghadapi anjing kampung yang arogan yang ada di komleks perumahan tempat saya tinggal.
Mari kita lihat.
Dulu Indonesia pernah protes baik-baik soal perlakuan mereka yang tidak manusiawi terhadap TKI, apa kata mereka , mereka punya hukum sendiri yang mengatur itu dan sebagai negara berdaulat mereka tidak ingin proses hukum negara mereka diintervensi. Saat jalur diplomasi digunakan untuk memprotes panggilan 'Indon' yang sangat melecehkan yang mereka pakai untuk meyebut warga negeri ini, apa yang mereka katakan "Oh...itu cume panggilan singkat supaye mudah diucapkan saje".
Kemudian berbagai kasus berlanjut, wasit karate yang merupakan utusan resmi negara ini yang datang berkunjung atas undangan mereka dipukulli oleh para militer negara itu yang memang khusus dibuat untuk mengejar-ngejar TKI. Indonesia yang kata Romo Magnis negara besar yang tidak perlu menunjukkan kebesarannya dengan cara marah-marah ini mendekati mereka manis-manis, seolah-olah mereka itu memang manusia normal. Yang terjadi malah mereka makin bertingkah pating petita-petiti.
Lihat lagi kemudian mereka mengklaim lagu orang ambon sebagai milik mereka, karena merasa tidak terlalu diseriusi kelancangan mereka berlanjut dengan meng-klaim reog Ponorogo. Mereka dengan jumawa menghambat penyebaran lagu-lagu karya musisi Indonesia di negara yang dipenuhi artis-artis tidak kreatif itu, menulis berbagai artikel di koran mereka supaya warganya membenci musik Indonesia. Begitu juga soal Blok Ambalat, waktu Indonesia masih petita-petiti sok-sokan main "diplomasi" sama melayu-melayu OKB itu; maka koran-koran merekapun pun isinya dipenuhi sikap-sikap pating petita-petiti seperti mereka itu sudah jadi negara super power di kawasan ini.
Tapi lihat waktu Pemerintah Indonesia tegas melarang pengiriman TKI, negara apartheid inipun kelabakan menyelesaikan beberapa proyek di negara mereka dan melayu-melayu tidak tahu diri itupun mulai menjilat-jilat pejabat Indonesia yang berkunjung ke sana, bahkan ada pejabat yang datang disambut dengan karpet merah segala. Semua mereka lakukan supaya Indonesia mau membuka kembali kran pengiriman TKI.
Lalu lihat pula ketika SBY mulai terus terang menunjukkan ketersinggungan orang Indonesia atas apa yang mereka lakukan. Perdana menterinya langsung datang merangkul SBY di Jakarta.
Jadi kesimpulannya, mentalitas orang Malaysia itu seperti mentalitas anjing kampung. Psikologinya orang Malaysia ya seperti psikologi anjing kampung di kompleks perumahan tempat saya tinggal, yang saya pukuli babak belur dengan linggis besi ulir sebesar jempol kaki.
Orang Malaysia itu memang perlu dihina, dikasari dan dinista. Nggak perlu dirangkul-rangkul dan pura-pura bersikap seolah-olah mereka bukan bangsa impoten saja.
Terakhir untuk Franz Magnis Suseno, kalau anda mau memberi pipi kiri untuk ditampari melayu-melayu gila itu, silahkan berikan pipi anda sendiri. Nggak perlu ngajak-ngajak kami, apalagi sampai mengatasnamakan Indonesia segala.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)