Selasa, 13 Oktober 2009

Kemenangan Qory Sandioriva Dan Kontes Adu Keindahan Daging Dalam Pandangan Orang Gayo

Tiga hari tidak membuka internet tiba-tiba halaman facebook saya dipenuhi kontroversi soal terpilihnya wakil Aceh, Qory Sandioriva, menjadi Puteri Indonesia 2009.

Bagi saya pribadi, ajang pemilihan Puteri Indonesia, Miss Universe dan sejenisnya tidak lain hanyalah kontes adu keindahan daging (fisik) yang dibungkus dengan kemasan yang membuatnya seolah-olah juga merupakan kontes kemampuan intelektual. Bagi saya ini tidak lebih dari sekedar urusan selangkangan yang dibungkus dengan segala gemerlap dunia pertunjukan. Ajang semacam ini sama sekali tidak pernah menarik perhatian saya.

Pandangan pribadi saya terhadap kontes adu keindahan daging yang dilabel dengan nama pemilihan Puteri Indonesia ini sama sekali tidak berubah, meskipun kali ini yang dinobatkan menjadi pemilik daging terindah mengaku sebagai wakil Aceh, daerah asal saya. Bahkan lebih khusus lagi, konon lagi katanya si pemilik daging indah yang bernama Qory ini adalah orang Gayo, sama seperti saya.

Selama ini saya tidak pernah kenal nama Qory dan juga nama kedua orang tuanya, saya baru tahu ada seorang manusia bernama Qory Sandioriva ketika berita kemenangannya membuat heboh dimana-mana. Meskipun jika kemudian orangtuanya bertemu dengan saya dan menanyakan silsilahnya pasti langsung ketemu entah siapanya punya hubungan entah apa dengan salah satu kerabat saya. Itu terjadi karena orang Gayo jumlahnya memang sedikit sekali di planet ini, hanya sekitar 300 ribu orang saja. Jadi antara satu orang Gayo dengan orang Gayo lainnya biasanya selalu ada hubungan kekerabatan.

Intinya penobatan Qory Sandioriva, menjadi Puteri Indonesia 2009 kemarin sama sekali tidak membawa pengaruh apapun bagi saya baik pribadi saya sebagai seorang individu maupun pribadi saya sebagai bagian dari orang Aceh dan lebih khusus lagi Gayo. Kemenangan Qory Sandioriva dalam kontes adu keindahan daging kemarin sama sekali tidak membuat saya sebagai orang Gayo merasa bangga atau terhina, biasa saja!

Yang menjadi masalah adalah, hanya sedikit sekali orang Aceh dan orang Gayo yang memiliki sikap seperti saya yang menganggap remeh masalah selangkangan.
Bagi kebanyakan orang Aceh dan juga orang Gayo, masalah selangkangan ada di urutan tertinggi dalam daftar moralitas yang harus diatur dengan ketat dan sungguh-sungguh. Sampai saat ini tidak sedikit orang Aceh yang percaya kalau Tsunami yang meluluh lantakkan Aceh yang terjadi tahun 2004, bisa terjadi akibat orang Aceh tidak bisa menjaga selangkangan.

Bahkan hanya beberapa hari yang lalu seorang perempuan asal Gayo, putri seorang pejabat tinggi di pemda Aceh Tengah yang mengenyam gelar sarjana teknik sipil dan selalu berjilbab menulis di statusnya di 'facebook'. "Mungkin Allah sengaja membakar gunung-gunung di sekitar danau Laut Tawar karena Allah marah bukit-bukit itu dijadikan tempat berkhalwat".

Sebagaimana para penyembah berhala di segala zaman yang selalu menggambarkan Tuhan seperti sosok dirinya. Orang Gayo yang menulis status di facebook inipun menggambarkan Tuhan yang dia sebut dengan nama yang sama seperti nama Tuhan dalam setiap ibadah yang saya lakukan ini pun persis seperti sosok dirinya yang merasa begitu pentingnya urusan selangkangan. Tuhan dia gambarkan sebagai sosok yang cepat sekali marah dan emosi melihat ada orang yang tidak mampu menjaga selangkangan, tapi punya segudang alasan dan pemakluman untuk berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan oleh penguasa. Bahkan bisa memaklumi pejabat yang menjual dan ulama yang menyetujui penjualan Mesjid dan Panti Asuhan. Sosok Tuhan di statusnya ini tampak persis seperti fotocopy diri perempuan ini sendiri.

Apa yang saya ceritakan di atas adalah gambaran tentang begitu pentingnya urusan selangkangan ini di dalam masyarakat Aceh dan Gayo. Sehingga ketika Qanun Syari'at Islam dibuat dan diterapkan di negeri ini pun, masalah yang paling banyak diatur dalam Qanun (undang-undang) ini adalah urusan selangkangan.

Menilik pada kenyataan itulah maka sayapun sama sekali tidak merasa heran ketika kemenangan Qory Sandioriva dalam kontes adu keindahan daging yang baru lalu manarik atensi dan menimbulkan pro kontra di semua kalangan.

Di kalangan ulama dan para pendukung Syari'at Islam dan para moralis jelas, Qory yang tidak berjilbab yang memenangi kontes adu keindahan daging se Indonesia dalam kapasitasnya sebagai wakil negeri mereka ini adalah sebuah tamparan. Sebaliknya bagi yang menentang penerapan syari'at ini menjadi bahan baru untuk melakukan perlawanan.

Tidak ketinggalan para oportunis yang ingin mendirikan provinsi baru di Aceh yang sempat beberapa lama mati suri karena isu usang yang mereka usung tidak lagi mendapat tanggapan memadai dengan dengan sigap memanfaatkan momen terpilihnya Qory Sandioriva dalam kontes adu keindahan daging ini untuk membangkitkan sentimen keGayo-an yang berbeda dengan Aceh.

Pejabat pemerintah dengan segala keterbatasan wawasan, keterbatasan kecerdasan dipadu dengan keluguan dan kenaifannya mencoba menyangkal 'Keacehan' Qory melalui status kependudukannya yang tidak ber KTP Aceh. Ini sangat lucu karena jika standar yang coba dibuat oleh si pejabat ini tentang 'keacehan' seseorang yang dinilai dari status kependudukan di KTP ini benar-benar diterima sebagai standar resmi untuk menilai kadar keacehan seseorang. Maka saya yang lahir dan besar di Aceh dari ibu dan bapak asli Gayo akan menjadi bukan orang Aceh. Tgk. Hasan Tiro, Mentro Malik dan Surya Paloh yang tidak memiliki KTP Aceh juga tiba-tiba menjadi BUKAN ORANG ACEH. Sebaliknya justru si Pinem, Hutabarat, Surono, Paiman dan A Hong yang ber KTP Aceh adalah orang Aceh yang asli.

Soal karena tidak ber-KTP Aceh tapi malah mewakili Aceh di sebuah ajang. Dulu waktu saya masih duduk di bangku SD juga ada seorang atlit lempar lembing bernama depan Tati kalau tidak salah yang berKTP Jawa Barat tapi dalam PON selalu memilih mewakili Aceh dan menyumbangkan emas untuk provinsi ini, saat itu tidak ada polemik seperti ini. Tidak ada satupun orang Aceh yang meragukan dan mempermasalahkan keacehannya meskipun dalam kapasitasnya sebagi atlet lempar lembing dia tidak berjilbab dan malah berpakaian minim.

Jadi sebenarnya urusan KTP seperti yang disinyalir oleh pejabat lugu yang kurang cerdas ini bukanlah masalahnya.

Pasca kemenangan Qory Sandioriva,seorang teman saya yang bekerja sebagai wartawan mengamati fenomena obrolan yang terjadi di warung-warung kopi yang merupakan pusat peradaban di Aceh.

"Para penonton di warung tersebut dengan tekun mengikuti wawancara di layar kaca tersebut. “Qory bukan orang Aceh” kata seorang tamu di warkop tersebut dalam bahasa Aceh. Tapi kemudian seorang tamu lainnya nyeletuk, “bagaimana dengan kondisi Aceh sekarang dan penampilan artis-artis asal Aceh lainnya, apa sudah sesuai Syar’at Islam,” belasan tamu di warkop tersebut terdiam.", begitu tulis teman saya ini dalam laporannya.

Soal polemik Qori ini, saya juga membaca berbagai blog milik sebuah media terbitan Medan lengkap dengan berbagi komentar pembacanya.

Blog itu memuat sebuah kalimat yang menggambarkan tentang Qory seperti di bawah ini.

Sebagai seorang wanita keturunan Aceh Gayo, Qory mengaku mengidolakan Tjut Nya’ Dhien, tokoh pahlawan wanita Aceh yang mampu bersikap Islami dalam keseharian walaupun tidak menggunakan jilbab. “Dialah panutan saya selama ini. Selain dengan sikapnya yang heroik, Tjut Nya’ Dhien merupakan tokoh pahlawan wanita Islami, walaupun dalam kesehariannya, dia tidak menggunakan jilbab,” ujar Qory.

Ucapan Qory ini langsung memantik reaksi kemarahan banyak orang. Ada yang menyebut "tentang gambar cut nyak dien yg tak berjelbab tu adalah gambar ilustrasi penjajah". Yang lain malah langsung menegasikan 'kegayoa-an' Qory "Dia bkan awak Gayo' tpi dia jema sunda. Jelas. . Jdi gw juga gk sependapt dgn ucpan pling atas." begitu menurut komentator kedua. Yang lain mengatakan "siapa bilang pahlawan aceh cut nyak dhien tidak pakai jilbab..!!jangan liat yang di film2 donk..membenarkan kesalahan kamu dengan memfitnah orang..."

Entah dari ikhwan PKS mana si komentator ini dapat data itu, dan entah sejak kapan dia pernah tinggal di Aceh sehingga bisa membuat statement semacam itu. Karena saya yang sejak lahir tinggal di Aceh yang sempat tinggal dengan Datu Anan (ibu dari kakek saya) yang lahir di tahun 1800-an (pada zaman Cut Nyak Dhien masih hidup) sama sekali tidak pernah melihat Datu saya tersebut dan perempuan-perempuan Gayo seangkatannya mengenakan jilbab. Malah ibu-ibu dan gadis-gadis Gayo yang menggeraikan rambut di depoan pintu menggosip sambil mencari kutu adalah pemandangan umum yang saya saksikan setiap hari di seantero kampung saya. Kemudian pakaian adat yang dikenakan perempuan Aceh dan Gayo-pun sama sekali tidak dilengkjapi Jilbab (bayangkan bagaimana sulitnya memasang 'kepies' di atas Jilbab).

Cara pandang Islam yang ketat dan kaku sebenarnya baru dikenal di Gayo pada masa-masa pengujung kekuasaan Belanda melalui para Teungku yang kembali dari belajar agama di tanah Minang, dan paham seperti itu sama sekali tidak familiar bagi perempuan Aceh generasi Cut Nyak Dhien dan generasi Datu Anan saya.

Tapi meskipun tidak berjilbab, bukan berarti orang Aceh dan Gayo juga menolerir pemakaian bikini. Budaya Aceh dan juga Gayo punya batasan sendiri soal kepantasan dan kepatutan berpakaian perempuan, yaitu tidak berpakaian ketat apalagi sampai menampakkan dada dan paha. Batasan ini bertahan sampai generasi saya. Saat saya masih kuliah, meskipun tidak berjilbab, teman-teman saya tidak satupun yang pernah saya lihat mengenakan rok pendek. Jangankan rok mini, bahkan sekedar yang mengenakan rok yang menutupi lutut seperti rok anak SMA pun tidak ada. Jika saya perhatikan sikap teman-teman saya it, saya lihat mereka tidak merasa nyaman dan merasa menjadi objek seksual jika mengenakan pakaian ketat apalagi rok mini yang menampakkan paha. Semasa kuliah, yang sering saya lihat berpakaian ketat nan menantang cuma cewek-cewek anak ekonomi yang tampaknya berusaha keras agar berpenampilan seperti anak Jakarta. Tapi seberani-beraninya anak ekonomi tidak ada yang sampai berani memaki rok mini.

Laki-laki Aceh sendiri meski tentu saja tergiur dan suka melihat cewek seksi memakai rok mini, tapi pada dasarnya laki-laki Aceh juga tidak merasa nyaman melihat perempuan Aceh mengenakan rok mini. Di masa saya kuliah dulu, bisa saya pastikan tidak seorangpun teman saya yang merasa nyaman menggandeng pacar seksi yang menggunakan rok mini di depan teman-temannya apalagi orangtua.

Beberapa waktu yang lalu saat saya berada dalam ferry dari Jawa menuju Bali saya melihat sebuah foto yang dimuat di koran Jawa Pos.

Foto ini adalah foto sensasional karya seorang fotografer jempolan sekaligus degil, dalam foto ini terlihat seorang model cantik yang difoto telanjang di atas kereta api di tengah padatnya penumpang. Dalam foto itu terlihat betapalaki-laki dari berbagai kalangan dan usia melotot dan membelalak tergiur meyaksikan pemandangan segar di depan mata. Foto itu diambil ketika si model yang mengenakan jas panjang tiba-tiba melepas jasnya dan tidak mengenakan apa-apa di baliknya. Proses ini berlangsung hanya 35 detik saja tapi cukup menggambarkan bagaimana reaksi para pria yang berada dalam kereta api untuk berangkat kerja ketika disuguhi pemandangan indah tubuh wanita.

Ketika diwawancarai soal ini dan si pewawancara menanyakan, apakah si fotografer tidak berniat membuat foto yang sama dengan model pria ditengah para penumpang wanita. "Tidak" jawab si fotografer. "pria berbeda dengan wanita, kalau pria tersenyum dan tertawa melihat perempuan telanjang, sebaliknya wanita akan menjerit karena merasa diintimidasi jika melihat laki-laki menunjukkan kemaluannya, bisa -bisa saya malah dituntut dan masuk penjara", begitu komentar si fotografer.

Beberapa kaum feminis kesiangan pernah mengaitkan masalah pamer fisik ini ketidak adilan jender. "Puteri Indonesia berpakaian minim dipermasalahkan, kenapa Ade Rai pamer otot tidak pernah dipermasalahkan?" kata si feminis kesiangan ini. Padahal seperti yang dikatakan si fotografer di atas, bukan soal ketidak adilan, tapi dalam urusan rangsangan seksual saat melihat tubuh lawan jenis, laki-laki memang berbeda dengan perempuan.

Dikaitkan dengan polemik kemenangan Qory di ajang kontes adu keindahan daging kemarin, yang saya lihat dari fenomena pro dan kontranya kemenangan Qory ini bukanlah karena Qory terpilih sebagai puteri Indonesia dan tidak mengenakan jilbab pada saat penobatannya. Tapi lebih kepada keikut sertaan Qory nantinya di ajang Miss Universe yang mengharuskan pesertanya mengenakan bikini. Ketidaknyamanan orang Aceh dan sebagian orang Gayo atas kemenangannya dalam kontes adu keindahan daging ini adalah ketidak nyamanan ketika orang Aceh membayangkan ada seorang perempuan yang mengaku sebagai wakil ACEH mengenakan bikini memamerkan paha dan dadanya dan menjadi objek seksual di depan jutaan pasang mata.

Lebih jelasnya, menurut saya masalah Qory Sandioriva menjadi polemik bukanlah soal status keacehannya atau apa. Tapi karena Qory yang mengaku mewakili Aceh menang dalam sebuah lomba yang identik dengan urusan SELANGKANGAN. Urusan yang merupakan urutan tertinggi dalam daftar moralitas masyarakat Aceh dan Gayo.

Aceh sanggup mempertahankan keharmonisannya dengan Gayo ketika hubungan Aceh-Gayo diterpa isu ketidakadilan pembangunan, isu pilih kasih soal jabatan, isu pembajakan budaya (mirip seperti hubungan Indonesia-Malaysia). Tapi jujur saja, saya ragu keharmonisan hubungan Aceh-Gayo ini bisa bertahan ketika berurusan dengan isu SELANGKANGAN.

Untuk Qory sendiri dan juga keluarganya saya berharap mereka tidak cukup bodoh untuk tidak mempertimbangkan resiko yang telah mereka tempuh dengan memberanikan diri mengikuti kontes adu keindahan daging mewakili Aceh. Dengan keberanian Qory mengikuti ajang ini dengan mewakili Aceh dan direstui pula oleh keluarganya, saya berasumsi bahwa Qory dan keluarganya sudah mempertimbangkan semua hal termasuk mempetimbangkan kenyataan tentang betapa sebagian sangat besar masyarakat yang telah dengan berani dia wakili itu masih sangat konservatif terhadap nilai-nilai tradisional. Yang bisa sangat marah dan emosi dan mungkin akan melempari rumah dan mengintimidasi keluarga Qory.

Dalam kasus ini kita tidak bisa menyebut apa yang dilakukan Qory adalah hak pribadi untuk menjalankan agamanya, mengekspresikan dirinya sesuai dengan nilai dan pemahaman agama yang dia akui.

Wassalam

Win Wan Nur
Orang Gayo

Tidak ada komentar: