Kamis, 08 Oktober 2009

Hari Yang Sempurna

Beberapa waktu belakangan ini, hari-hari tampak selalu murung bagiku.

Berita di televisi dan koran bahkan status di facebook didominasi oleh kabar duka tentang bencana gempa di Sumatera Barat dan Jambi, sesekali diselingi berita persiapan Munas Golkar yang sama sekali tidak ada pentingnya bagiku dan perseteruan antara 'Cicak' versus 'Buaya'.

Suasana menjadi semakin murung ketika aku mendapati kenyataan bahwa tanggal 7 oktober (kemarin) aku harus berangkat ke Surabaya untuk urusan pekerjaan. Padahal pada hari yang sama, Ubud Writers and Readers resmi dibuka. Cantiknya lagi, acaraku di Surabaya berakhir pada tanggal 11 oktober, tepat bersamaan dengan hari ditutupnya penyelenggaraan Ubud Writers and Readers.

Pada tahun-tahun sebelumnya, bagi aku dan keluargaku. Acara Ubud Writers and Readers bisa dikatakan adalah event wajib untuk dikunjungi. Tahun ini sebenarnya aku sudah berjanji untuk bertemu dengan beberapa teman lama di sana. Salah satunya adalah teman lama bernama Safruddin (Dino) Umahuk, si birahi laut yang pertama kukenal 14 tahun yang lalu saat dia berkunjung ke Aceh untuk mengikuti sebuah kegiatan yang terkait dengan konservasi.

Dada ini terasa lebih sesak lagi ketika aku mendapati kenyataan bahwa Ubud Writers and Readers tahun ini akan dihadiri oleh dua orang penulis favoritku, Seno Gumira Ajidarma dan Nh. Dini.

Tapi minggu tanggal 4 oktober kemarin adalah hari yang berbeda.

Hari itu adalah hari yang sempurna. Setelah hari sabtu akhirnya aku bisa menemani anakku mengikuti kursus musik di Yamaha Musik Indonesia, hari minggunya dilanjutkan dengan konser di tempat yang sama yang merupakan konser pertama anakku sejak mengikuti kursus di tempat ini.

Bahagia sekali rasanya menyaksikan Mattane Lao anakku dengan penuh percaya diri menyanyi di atas panggung dengan disaksikan orang ramai yang kemudian melanjutkan aksinya dengan memainkan lagu 'Roti Panas' di atas tuts-tuts electone yang dia pelajari dua bulan belakangan ini.

Pulang dari konser, seperti biasa setiap kali aku kembali dari luar kota. Mattane Lao menuntutku untuk membelikannya buku dan kamipun mampir ke Gramedia.

Kebiasaan dan kegemaran anakku ini terhadap buku sebenarnya menjadi dilema buatku dan istriku.

Di satu sisi kami senang anak kami lebih menyukai buku dibandingkan berbagai jenis mainan. Tapi di sisi lain setiap kali masuk ke berbagai toko buku, kami selalu kesulitan menemukan buku yang bagus untuk anak-anak. DI Gramedia misalnya, buku-buku anak-anak di dominasi oleh buku-buku tentang Barbie dan 'princess-princessan' yang tidak memberi nilai tambahan apapun untuk anak kecuali menjadi terobsesi untuk berpenampilan seperti tokoh-tokoh puteri imajiner itu. Untuk anak laki-laki lebih parah lagi, buku-buku yang dipajang di rak-rak di berbagai toko buku didominsi oleh buku tentang Naruto, tokoh kartun asal Jepang yang banyak mengajarkan kekerasan. Buku-buku produk lokal rata-rata mengajarkan berbagai 'kebaikan' pada anak dengan cara mendikte dan menggurui. Sama sekali tidak menarik. Memang ada beberapa buku yang cukup bagus, tapi semuanya telah kami beli.

AKibatnya, belakangan ini setiap ke Gramedia anakku selalu membeli komik "Beni & Mice" yang menjadi salah satu komik favoritnya sejak dia mendapat hadiah komik "Beni & Mice" yang berjudul "Lost in Bali" dari seorang temanku. Masalahnya, komik ini sebenarnya bukan untuk konsumsi anak-anak. Beberapa dialog dalam komik ini terkadang sangat 'dewasa' sehingga aku dan istriku yang membacakan komik ini untuk anak kami seringkali terpaksa memodifikasi dialog-dialog 'dewasa' dalam komik ini supaya layak untuk dikonsumsi anak-anak. Sementara untuk buku anak-anak, kami lebih banyak mengandalkan kiriman buku dari teman-temanku yang tinggal di luar negeri baik itu di Perancis, Swiss, Australia atau Amerika.

Selain kesulitan menemukan buku anak-anak yang bagus, satu lagi kesulitan terbesar kami sebagai orang tua adalah bagaimana menemukan cara yang tepat untuk mengajarkan agama yang kami anut kepada anak kami.

Di negeri yang sistem pendidikannnya menganut sistem hapalan yang menguji kepekaan sosial dan etika menggunakan metoda pemilihan berganda, agamapun diajarkan dengan cara yang sama. Sejauh yang pernah kami lihat di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan resmi yang pernah kami kunjungi, kami melihat anak-anak diajarkan berbagai etika dan praktek keagamaan serta ide tentang Tuhan secara kaku dan mengutamakan penampilan luar serta menonjolkan keunggulan keyakinan sendiri sembari merendahkan keyakinan orang lain tanpa sama sekali menyentuh esensi dari beragama itu sendiri yaitu spiritualitas.

Indahnya hari minggu ini. Saat kami berada di bagian buku anak-anak di Gramedia, mata anakku langsung tertuju kepada sebuah buku bergambar yang sangat khas anak-anak. Buku itu berjudul "Pipi si Ulat Sutra Belajar Allah Ar-Rabb", buku ini adalah salah satu buku serial Asmaul Husna terbitan Qibla. Di rak yang sama ada banyak buku dari seri yang sama dengan judul yang berbeda-beda. Gambar di buku ini memang menarik tapi melihat judulnya aku agak merasa kurang sreg, karena dari pengalaman-pengalaman sebelumnya aku mendapati bahwa informasi di buku-buku semacam ini lebih banyak bersifat menggurui yang mengajarkan doktrin ketuhanan yang kaku yang cara penceritaannya dibuat dengan cara mencontek cara penceritaan buku-buku sejenis dalam versi keimanan Kristen. Dalam buku-buku semacam itu aku sering mendapati penulisnya mengajarkan anak-anak untuk membenci sesuatu yang sebenarnya alami, misalnya singa dan harimau serta binatang buas lain yang digambarkan sebagai makhluk jahat karena suka mengganggu makhluk lain. Padahal kenyataannya alam memang me,mbutuhkan hewan buas untuk menjaga keseimbangan dalam ekosistem serta menjadi salah satu mekanisme dalam seleksi alam.

Aku berusaha mengalihkan perhatian anakku terhadap buku lain dengan cara membacakan buku-buku yang bercerita tentang alam dan lingkungan sekitar. Anakku sangat senang mendengarkannya tapi tidak berhasil kubujuk untuk membeli buku yang kubacakan itu, sebaliknya dia tetap ngotot ingin membeli buku terbitan Qibla di atas. Masalahnya buku seharga Rp.25.000- tersebut tertutup rapat dalam bungkus plastik, sehingga aku tidak bisa membaca dan menilai kualitas isinya.

Akhirnya akupun terpaksa menyerah. Melihat aku menyerah, anakku dengan gembira langsung berlari dan antri di kasir untuk membayar bukunya. Ketika sudah dibayar, anakku langsung berlari sambil membawa buku yang baru di belinya ke arah istriku yang menunggu kami di KFC yang letaknya bersebelahan dengan Gramedia untuk minta dibacakan isinya. Istriku yang sedang hamil muda memang tidak ikut memilih buku bersama kami karena tidak kuat berdiri lama-lama.

Ketika bungkus plastik buku tersebut dibuka dan istriku membacakan isinya, kami mendapati sebuah kejutan menyenangkan. Ternyata isi buku terbitan Qibla ini sama sekali berbeda dengan yang kami duga. Materi buku ini tidak sama dengan buku-buku tentang agama yang diperuntukkan untuk anak-anak seperti yang pernah kami kenal sebelumnya. Informasi dalam buku ini sama sekali tidak menggurui, sebaliknya isi buku ini mengajarkan anak-anak tentang proses alamiah yang terjadi di alam dan mengaitkannya dengan nama-nama Tuhan dalam Asmaul Husna tanpa sedikitpun merendahkan kepercayaan lain.

Puas dengan buku itu aku mengajak anakku untuk kembali ke Gramedia untuk membeli buku seri tersebut dengan judul yang berbeda anakku tentu saja sangat gembira dan kamipun membeli dua judul buku lagi. "Simon si Ikan Salmon belajar Allah As-Salam" dan "Okto si Gurita belajar Allah Al-Quddus".

Aku sangat puas dengan buku ini karena ceritanya benar-benar tidak menghakimi secara hitam putih.

Dalam cerita "Okto si Gurita belajar Allah Al-Quddus" misalnya, diceritakan Okto sangat kesal pada temannya si ikan pari yang suka mengganggunya. Karena tidak tahan terus diganggu Okto lalu menghukum temannya ini dengan cara membuat ikan pari tersebut terjebak dalam gua dan membuatnya tidak bisa keluar. Si Okto sangat senang telah berhasil menghukum temannya, tapi tanpa dia sadari kalau akibat dari perlakuannya terhadap Ikan Pari tersebut, si Ikan pari tidak bisa lagi menjalankan tugasnya di alam (dalam buku ini dikatakan tugas yang diberikan Allah) yaitu sebagai pembersih lautan. Akibatnya lautan menjadi kotor ganggang dan hewan parasit tumbuh dan berkembang biak dengan bebasnya sehingga keseimbangan ekosistem laut jadi terganggu dan kenyamanan penghuni lautpun hilang. Melihat kenyataan ini si Okto pun menyadari kekeliruannya dan membebaskan Ikan pari dari dalam gua dan merekapun berangkulan saling meminta maaf.

Memang sebagaimana halnya buku-buku berbasis agama, buku inipun tidak sempurna. Dalam beberapa hal informasi dalam buku ini mirip dengan informasi dalam buku-buku karangan Harun Yahya yang jika kita tidak pintar-pintar mensiasatinya, informasi dalam buku ini bisa menjebak anak menjadi penganut kreasionisme buta. Mungkin karena buku ini memang dibuat untuk konsumsi anak-anak, maka penceritaan dalam buku ini pun terkesan terlalu menyederhanakan masalah. Seperti misalnya yang tergambar dalam cerita "Simon si Ikan Salmon belajar Allah As-Salam". Dalam buku ini digambarkan bagaimana Tuhan yang maha melindungi, melindungi semua makluknya yang lemah (dalam hal ini bayi-bayi ikan salmon) sehingga bisa sampai ke laut dengan selamat. Di dalam buku ini sama sekali tidak diceritakan bahwa dari sekian juta bayi salmon yang menetas hanya beberapa ratus ribu saja yang bisa selamat sampai ke laut dan kemudian dari jumlah itupun hanya beberapa yang selamat sampai dewasa yang kemudian bisa kembali ke sungai tempatnya menetas untuk bertelur. Kalau fakta asli seperti ini diceritakan apa adanya, tentu anak-anak akan merasa sedih dan terpukul melihat banyaknya bayi ikan Salmon yang mati sepanjang perjalanan akibat tindak kekerasan.

Tapi dibalik segala kekurangannya, paling tidak aku cukup puas dengan buku ini yang memberi anak informasi tentang Tuhan dengan cara yang berbeda dari yang biasa aku temukan. Tuhan dalam buku ini tidak digambarkan sebagai sosok yang pemarah yang kaku dan gampang sekali menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang tidak disenanginya. Soal kekurangan dalam cara penceritaannya yang bisa menjebak anak menjadi seorang penganut kreasionisme buta, aku pikir di sinilah fungsi sebagai orang tua untuk mengarahkan anak dalam memahaminya.

Membaca buku ini, aku cukup takjub mendapati kenyataan bahwa di negara yang sistem pendidikannya berbasis hapalan ini ada orang yang bisa menghasilkan buku anak-anak sebagus ini. Tapi setelah kubaca nama pengarangnya, baru aku tahu kalau ternyata buku ini adalah buku terjemahan dari karya seorang pengarang asal Turki yang bernama Nur Kutlu.

Di saat sedang asik membacakan buku-buku itu kepada anakku, HP-ku berdering tanda SMS masuk. SMS tersebut dikirimkan oleh seorang teman yang bekerja di pusat kebudayaan Perancis yang berisi undangan untuk menghadiri diskusi Sastra malam itu juga bersama Nh.Dini dan Xavier Bazot, seorang penulis asal Perancis.

Pucuk dicinta ulam tiba, malam itu juga kami berangkat ke tempat acara itu diselenggarakan setelah sebelumnya membeli buku "Pada Sebuah Kapal", salah satu buku Nh. Dini yang paling terkenal untuk minta dia tanda tangani di acara itu nanti.

Acara yang kami hadiri itu benar-benar sangat menarik tepat seperti yang aku bayangkan. Nh.Dini adalah sosok yang sangat inspiratif yang menulis benar-benar berdasarkan pada kenyataan yang ada, beliau adalah satu dari sedikit orang di negara ini yang memiliki kemampuan 'merasa' yang luar biasa. Salah satu ucapan inspiratif yang diucapkan Nh. Dini dalam diskusi malam itu adalah ucapan yang kupajang di statusku ini.

Xavier Bazot sendiri benar-benar seorang penulis yang tidak biasa. Dia ini adalah seorang penulis yang mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas dalam setiap karya yang ditulisnya. Karya yang dia publikasikan benar-benar karya yang menurutnya sudah sempurna. Dia bahkan rela tidak menghasilkan apa-apa selama 20 tahun ketika dia merasa apa yang dia tuliskan itu tidak sempurna. Sehingga tidak heran ketika dia membacakan salah satu karyanya, karyanya itu benar-benar berjiwa penuh dengan emosi dan tampak demikian nyata sehingga aku yang mendengarkan penuturannya merasa seperti sedang ditarik kedalam kisah yang sedang dibacakannya.

Meskipun aku tidak bisa menghadiri Ubud Writers and Readers, tapi keinginanku untuk bertemu sosok Nh.Dini benar-benar terpenuhi dan masih ditambah bonus bertemu Xavier Bazot.

Begitulah yang kualami sepanjang hari minggu kemarin, benar-benar hari yang sempurna.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: