Tanggal 22 dan 23 maret kemarin, dalam artikel http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/22/03405994/china.juga.merangsek.ke..asia.tengah dan http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/23/03222371/Rintis.Kembali.Jalan.Sutra Kompas dua hari berturut-turut menurunkan berita tentang ekspansi Cina membangun pengaruh di Asia Tengah.
Sebelumnya pada awal tahun 2009, Hu Jintao, presiden RRC melakukan safari ke Afrika yang kemudian diikuti dengan aksi menebarkan investasi yang hampir merata di semua negara afrika, mulai yang terkecil sebesar 330 juta euro untuk investasi di bidang pertambangan uranium, minyak dan konstruksi di Niger, sampai yang terbesar untuk Sudan dan Ethiopia masing-masing sebesar 15 miliar Euro. Di Sudan Cina menggelontorkan uang sebanyak itu untuk berinvestasi di bidang perminyakan, pertanian dan konstruksi, sementara di Ethiopia Cina menginvestasikan uang sebanyak itu untuk membangun bendungan, perumahan, jalan dan telekomunikasi (lengkapnya lihat http://www.lefigaro.fr/assets/pdf/090210-AFRIQUE-CHINE-V2.pdf ). Apa yang dilakukan oleh Cina di Afrika ini benar-benar membuat gentar eropa, terutama perancis yang memiliki hubungan khusus dengan Afrika karena hampir setengah benua ini adalah bekas jajahan mereka dan sampai saat ini pun tetap menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa Nasional. Le Figaro, salah satu koran paling berpengaruh di negara ini sampai merasa perlu menurunkan berita khusus untuk mengulas apa yang dilakukan oleh Cina di Afrika ini dalam artikel ini le Figaro menyalahkan sikap perancis yang selama ini kurang begitu mempedulikan Afrika sehingga peluang pun disambar oleh Cina (baca : http://www.lefigaro.fr/economie/2009/02/10/04001-20090210ARTFIG00462-pekin-profite-des-faiblesses-francaises-en-afrique-.php)
Berita-berita yang diturunkan oleh Kompas dan Le Figaro ini menunjukkan tanda-tanda yang begitu jelas kalau di abad ke 21 ini Cina akan dengan serius menggerogoti dominasi eropa dan terutama Amerika dalam politik dan ekonomi internasional yang telah menjadi hegemoni sejak berakhirnya perang dunia kedua. Sekarang dunia melihat Cina begitu giat berusaha membangun pengaruh kuat dalam pergaulan internasional.
Dari segi ekonomi apa yang dilakukan Cina ini bisa dipahami sebagai usaha Cina untuk membuka pasar baru bagi produk-produk yang mereka hasilkan. Karena sebagaimana ekonomi Amerika belakangan ini semakin lama semakin tidak sehat karena begitu bergantung pada konsumsi, ekonomi Cina juga juga tidak sehat, tapi dengan alasan yang berbanding terbalik dengan Amerika. Ekonomi Cina tidak sehat karena justru sangat tergantung pada produksi tanpa didukung oleh kemampuan konsumsi yang memadai.
Ekonomi bisa dikatakan sehat wal afiat adalah ketika kemampuan produksi bisa diimbangi oleh kemampuan konsumsi. Situasi seperti inilah yang membuat Indonesia secara konyol selamat dari terjangan krisis global yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Saya katakan konyol karena situasi seperti ini terjadi bukan karena didesain sedemikian rupa oleh pemerintah Indonesia, tapi situasi seperti ini terjadi justru karena ketidak mampuan pemerintah Indonesia memacu ekspor. (Jadi teringat ketika dulu ketika krisis ini terjadi saya sempat berdebat dengan beberapa miliser perihal efek krisis ini terhadapa Indonesia, saat itu banyak miliser yang Amerika sentris yang melecehkan pendapat saya yang mengatakan kalau krisis ini tidak akan memiliki dampak yang cukup berarti untuk Indonesia)
Krisis yang sama telah membuat negara-negara yang menggantungkan ekonominya pada ekspor (di kawasan katakan saja SIngapura dan Thailand) benar-benar babak belur dan menderita.
Cina adalah negara yang ekonominya didorong oleh ekspor, bukan impor. Impor Cina memang cukup besar juga, tapi barang-barang yang diimpor oleh Cina seperti gas, minyak, karet, baja dan berbagai bahan mentah lainnya bukan untuk sekedar dikonsumsi sendiri, melainkan digunakan untuk membuat produk yang diolah dan kemudian dilempar kembali ke pasar luar negeri.
Pada sisi lain, pada kenyataannya, ekonomi dunia adalah "buyer market" - bukan "seller market". Di pasar Internasional, jauh lebih mudah menemukan penjual ketimbang pembeli.
Cina sendiri bukan hanya sekedar negara produsen, tapi negara produsen raksasa yang benar-benar menggantungkan ekonominya pada kekuatan produksi. Lalu dengan status se-raksasa itu kita pun tentu bertanya, siapakah yang menjadi pembeli terbesar yang memiliki kemampuan memadai untuk menampung produk Cina yang memiliki skala raksasa itu?... jawabannya adalah AMERIKA.
Walmart jaringan supermarket terbesar di Amerika adalah distributor terbesar di dunia untuk barang-barang produksi Cina, sebegitu besarnya sampai nilai produk Cina yang didistribusikan Walmart bahkan lebih besar daripada ekspor Cina ke Jerman.
Dari segi ini, kita bisa melihat bahwa antara Cina dan Amerika terjadi hubungan yang dalam pelajaran biologi disebut simbiosis mutualisme, orang Amerika senang ke Walmart karena harga produk di sana murah. Dan bagi Cina - Walmart adalah motor penggerak ekspor yang menopang ekonomi negara itu.
Tapi masalahnya hubungan seperti ini sifatnya sangatlah rentan alias rapuh, karena dalam situasi seperti ini, nasib Cina adalah nasib Amerika. Amerika berhenti membeli berarti produk Cina tidak akan laku, artinya menjadi sampah.
Rentannya hubungan seperti ini tampaknya sangat disadari oleh Cina, pada sisi lain, mereka juga sadar, adalah sama sekali tidak mungkin untuk memacu kemampuan konsumsi warganya secara instant agar mampu mengimbangi dahsyatnya kemampuan produksi negara itu.
Lalu apa solusi yang harus diambil dalam menghadapi situasi seperti ini, PERLUAS dan kalau perlu CIPTAKAN PASAR BARU! Dan inilah yang tampaknya belakangan ini sedang dilakukan dengan gencar dan agresif oleh Cina (salah satunya dengan bergabung di CAFTA). Untuk mencapai maksud ini Cina bahkan merambah wilayah Asia Tengah dan Afrika, yang selama ini banyak dilupakan oleh kekuatan tradisional ekonomi dunia, seperti
Melihat perkembangan aktivitas yang dilakukan oleh Cina ini, Amerika patut ketar-ketir. Karena dengan agresifnya Cina menyebarkan pengaruh ini, negara-negara yang selama ini bisa dengan mudah disetir oleh Amerika dengan memaksakan demokrasi ala mereka dengan berbagai ancaman, sekarang jadi punya alternatif lain. Sekarang, kalau Amerika menekan sebuah negara terlalu keras dengan alasan HAM dan demokrasi, negara yang bersangkutan akan dengan mudah berpaling ke Cina.
Ambil contoh Indonesia misalnya, sekarang Amerika pasti ketar-ketir jika terlalu keras menekan Indonesia. Mereka pasti berhitung, bagaimana kalau nanti Indonesia mengancam balik dan mengatakan bukan hanya ingin sekedar menandatangani perjanjian perdagangan dengan Cina, tapi juga berencana melakukan kerja sama militer. Jika ini dilakukan oleh Indonesia, Cina juga pasti akan sennang sekali, karena dengan posisi geografisnya yang sangat strategis, Indonesia akan bisa menghadang pengaruh Australia di Selatan. Apalagi kemudian faktanya Indonesia memiliki sumber daya energi yang sangat dibutuhkan Cina.
Keagresifan Cina ini bisa jadi semakin membuat gusar Amerika karena faktanya selama ini, sejarah menunjukkan, dari semua musuh Amerika, hanya Cinalah yang benar-benar bisa membuat Amerika limbung.
Dulu suatu ketika (seperti AC Milan) pernah ada Uni Sovyet yang pernah menjadi superpower menandingi Amerika, tapi sejarah juga menunjukkan kalau dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet hancur berantakan, kalah dalam permainan politik internasional dengan Amerika.
Dulu ada Sukarno yang begitu garang menyuarakan sikap anti Amerika, tapi kemudian dia pun selesai, digulingkan oleh Soeharto yang oleh banyak peneliti independen disinyalir dibekingi CIA, dan secara tragis Soeharto juga kemudian dia pun terjembab oleh orang yang dulu menaikkannya.
Lalu dalam kelompok anti Amerika ini, ada negara-negara Islam seperti Iran, tapi sayangnya negara ini hanya bisa melawan dengan sikap dan kata-kata tanpa pernah benar-benar bisa menyakiti Amerika. Dalam kelompok ini ada juga Iraq dengan Saddam Hussein-nya, tapi sejarah kembali menunjukkan kalau di amblas remuk hancur lebur dihina Amerika dan Irak yang dulu tampak begitu perkasa pun menjadi negara tak bertuan yang babak belur sampai hari ini.
Di belahan dunia lain ada Che Guevara dan Fidel Castro yang setengah mati melawan pengucilan Amerika, di Chili ada Alliande yang senasib dengan Soekarno terkapar di K.O oleh Pinochet yang seperti Soeharto sama-sama dibekingi CIA.
Lalu bagaimana dengan Cina?. Saat masih dipimpin oleh Mao Tse Tung, Cina pernah secara gemilang berhasil mengalahkan Amerika dalam perang Korea. Saat itu tentara Cina berhasil membunuh banyak tentara Amerika yang dipimpin oleh Jendral Mac Arthur yang legendaris, yang mencari gara-gara untuk berperang melawan Cina.
Tapi meskipun menang, Cina malah menjadi sangat menderita sebagai akibat dari pertempuran yang dimenangkannya itu. Akibat dari perang melawan Amerika itu, Cina jadi berhutang banyak pada Uni Soviet yang memberinya hutang senjata. Kemudian, Amerika yang sangat malu karena dikalahkan Cina pun semakin parah mengucilkan Cina. Lebih parah lagi kemudian hubungan antara Cina dan Soviet pun merenggang.
Masalah yang bertubi-tubi ini tentu membuat situasi yang dihadapi Cina menjadi sangat sulit. Tapi anehnya, meskipun begitu Cina di bawah pimpinan Mao tidak malah mengemis-ngemis minta dikasihani oleh Uni Soviet. Mereka juga sama sekali menolak untuk pun mundur dari tantangan Amerika. Dalam menghadapi situasi seperti itu, Cina malah menutup diri, bekerja keras dan kemudian Cina membayar lunas semua hutangnya kepada Uni Soviet.
Cina di bawah Mao saat itu mirip seperti tim Inter Milan yang merupakan tim favorit saya di Liga Italia. Dipuntir begini, diisolasi begitu, di kata-katain begini begitu, tetap saja tidak bergeming.
Setelah diperlakukan sedemikian rupa, tapi tidak juga hancur. Seperti Juventus dan AC Milan di Liga Italia yang mati kutu menghadapi Inter Milan dengan Jose Mourinho-nya (sayangnya dua hari yang lalu Inter dikalahkan Roma), Amerika sendiri pun akhirnya mati kutu menghadapi Cina dengan Mao-nya.
Dua kali berperang melawan Cina di bawah Mao, Amerika kalah total, baik di Korea maupun di Vietnam. Di Vietnam Cina membantu menyelundupkan senjata, tapi akhirnya Cina ikut masuk memerangi dan mengalahkan Vietnam setelah Vietnam mulai membunuhi orang-orang etnis Cina di Vietnam.
Keberhasilan Cina mengalahkan Vietnam ini seperti menampar Amerika dengan telak di wajah. Dengan keberhasilannya di Vietnam itu, Cina seolah-olah sedang mengajari Amerika berperang. Karena sebagaimana kita ketahui bersama, selain John Rambo yang perkasa dan tak terkalahkan, tentara yang tergabung dalam pasukan Amerika yang lain semua mati kutu di Vietnam (baca : http://www.onwar.com/aced/data/charlie/chinavietnam1979.htm)
Akhirnya, mau tidak mau, Amerika melalui Nixon terpaksa berkunjung ke Cina pada tahun 1972. Presiden Amerika, mengunjungi negara penganut ideologi komunias yang sagat dibencinya, membuat orang pun tidak bisa tidak, membaca kalau kunjungan Amerika ini tidak lain adalah "pengakuan Amerika atas kehebatan Cina di bawah Mao".
Dalam pertarungan melawan Amerika, Cina pasca Mao malah makin menggila. Cina pasca-Mao ini malah berhasil menisbikan kebijakan moneterisme di Amerika dengan cara meng-peg mata uangnya (ini membuat Amerika sangat gusar, bahkan beberapa hari yang lalu kita membaca berita Amerika mengancam akan melaporkan Cina ke WTO). Cina berhasil memaksa Inggris dan Portugis mengembalikan Hong Kong dan Makau kepada mereka, Cina berhasil menggerogoti pengaruh Amerika di Asia Tenggara. Cina juga berhasil menggoyang loyalitas sekutu Amerika, contohnya Australia yang takut ekspor bajanya terganggu secara nyata mengatakan kalau mereka tidak akan ikut-ikutan kalau Amerika berperang melawan Cina.
Sial untuk Amerika, ketika Cina demikian lucu-lucunya, yang dengan agresif melebarkan pengaruh dalam politik luar negeri, Amerika si super power malah dipimpin oleh Barrack Hussein Obama, presiden yang meskipun memiliki latar belakang sangat menginternasional tapi kenyataannya spesialisasinya adalah pada isu-isu domestik saja. Bukti paling nyata dari hal ini adalah bagaimana Obama menghabiskan satu tahun pertama masa pemerintahannya hanya untuk menggoalkan UU jaminan kesehatan yang adalah permasalahan domestik. Pilihan yang membuat mereka semakin tertinggal oleh Cina dalam berebut pengaruh di dunia.
Wassalam
Win Wan Nur
Fans Inter Milan yang Suka Mengamati Apa Saja.
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Selasa, 30 Maret 2010
Selasa, 09 Maret 2010
Masalah Kopi di Tanoh Gayo, Penghasil Kopi Arabika TERBESAR di Asia
Tadi saya membaca sebuah diskusi menarik di Forum Diskusi Prospek Kopi Arabica di Tanoh Gayo.
Melihat diskusi ini, saya salut melihat kawan-kawan yang berpikir begitu panjang soal masa depan kopi Gayo.
Ada macam-macam persoalan perkopian yang dibicarakan dalam forum ini dari yang konyol sampai yang serius.
Misalnya di forum ini ada yang meragukan keterkenalan Kopi Gayo dan membandingkannya dengan terkenalnya Kopi UK alias Kpoi Ulee kareng yang tidak menggunakan Kopi Gayo, alias Ulee Kareeng, padahal ini jelas seperti membandingkan keterkenalan M. Basir mantan kiper Persiraja (kiper Persiraja yang sekarang saya tidak tahu namanya) dengan Sebastien Frey Kiper Fiorentina. Yang satu adalah Kiper terbaik yang sangat terkenal di Aceh, sementara yang satu lagi adalah kiper kelas menengah yang meskipun nggak dipanggil ke Timnas Perancis, tapi bermain di klub menengah di salah satu liga terbaik dunia.
Kopi UK hanyalah kopi konsumsi lokal yang kualitas dan penangananannya sama sekali tidak memenuhi persyaratan ekspor. Kopi ini hanya dikenal oleh para peminum kopi lokal yang karena beberapa kali diulas di TV kemudian jadi terkenal juga secara nasional. Tapi, para konsumen kopi Internasional yang memilih Kopi yang diminum dengan panduan ahli pencicip rasa, yang berlangganan majalah kopi untuk memastikan kopi yang dia minum adalah kopi terbaik jelas sama sekali tidak mengenal kopi Ulee Kareeng dan kalau pun mengenalnya tidak akan pernah berpikir untuk mengklasifikasikan kopi Ulee Kareeng menjadi salah satu jenis kopi unggulan. Sementara Kopi gayo meskipun bukan yang terbaik, tapi termasuk salah satu jenis kopi yang sangat dikenal dan sering diulas oleh para pecinta kopi dunia.
Seperti M. Basir yang merupakan Kiper terbaik di Aceh, dia sangat terkenal di Aceh, tapi tentu saja tidak ada pelatih yang cukup gila untuk menjadikannya kiper di sebuah klub yang berada di zona degradasi di sebuah liga eropa tidak terkenal, semacam liga Latvia.
Kemudian ada peserta forum yang mengaitkan masa depan Kopi Gayo dengan adanya CAFTA dan menghubungkannya dengan produksi kopi Vietnam. Beberapa dari teman-teman ini rupanya khawatir dengan masa depan pasar Kopi Gayo dengan adanya CAFTA ini.
Menanggapi ini ada dua orang yang bernama hadian dan Pak Sahrial Wahab yang sama sekali tidak khawatir dengan prospek kopi Gayo dengan adanya pasar bebas Cina dan ASEAN ini.
Dalam diskusi ini saya berada dalam kubu yang sama dengan Hadiyan dan Pak Sahrial Wahab dan bersepakat dengan mereka bahwa CAFTA ini sebenarnya sangat tidak nyambung kalau dikaitkan dengan kopi Gayo, sebab keberadaan CAFTA memang sama sekali tidak membawa pengaruh signifikan terhadap pangsa pasar Kopi Gayo, karena negara-negara CAFTA bukanlah pasar yang secara tradisional merupakan pasar yang menjadi tujuan Kopi Gayo.
Kemudian ketakutan dengan adanya CAFTA dalam kaitannya dengan produksi kopi robusta Vietnam yang dikhawatirkan akan menurunkan daya saing kopi Gayo di pasar dalam negeri juga saya pikir sama sekali tidak ada dasarnya. Sebab Kopi Gayo adalah kopi arabica yang memang tidak dipasarkan di dalam negeri. Bahkan sepengetahuan saya, Kopi Gayo yang dijual di Starbuck-pun mereka beli dari Importir Kopi Gayo di Amerika sana, tidak langsung dari Takengen, jadi apa yang perlu ditakutkan dari Vietnam.
Kekhawatiran ini juga tidak ada dasarnya meskipun sekarang katanya Vietnam sudah mulai mengembangkan kopi Arabika.
Kita tidak perlu khawatir karena untuk mengembangkan Kopi Arabica tidaklah gampang, banyak syarat khusus yang dibutuhkan, terutama yang berkaitan dengan ketinggian dan jenis tanah Vulkanik. Ketinggian minimal untuk menanam kopi Arabica bermutu lumayan adalah 800 mdpl. Tapi untuk menghasilkan Kopi Arabica bermutu baik, dibutuhkan lokasi dengan ketinggian antara 1200-1700 Mdpl. Ketinggian lokasi tanam inilah yang mutu Kopi Singah Mulo an Ronga-ronga jauh di bawah mutu kopi Arabica produksi Lukup Sabun.
Syarat yang khas ini pula yang membuat di Asia, tidak banyak tempat yang bisa memenuhi persyaratan ini. Itulah sebabnya kenapa DATARAN TINGGI GAYO merupakan penghasil Kopi Arabica TERBESAR di ASIA.
Meskipun dikatakan Vietnam telah mampu meningkatkan produktivitasnya lebih dari 5 kali lipat seperti harapan menterinya, tapi masalah kopi ini bukanlah hanya sekedar urusan produktivitas, tapi yang terpenting di atas semuanya adalah KUALITAS RASA yang disukai pasar.
Untuk sebagai perbandingan bisa dilihat dalam komentar dalam diskusi yang berlangsung di www.coffeeforums.com
Untuk Kopi Vietnam baca di sini : http://www.coffeeforums.com/viewtopic.php?f=10&t=7203
Any ''experts'' out there who can give me information about the taste of Vietnamese coffee versus coffees from other countries.
I find Viet coffee never tastes the same when I bring it home, maybe it''s the water there/here ?
from what I know about Vietnamese coffee's, they are mostly robusta's :oops:
3rd biggest producer globally, but indeed mainly robusta (including now some "gourmet" robustas that are washed, polished etc...but still taste like robusta :evil: ). Some Arabica being produced n the highlands, the government is now trying to focus energies on developing the Arabica sectors. Strong internal consumption of mainly robusta- maybe harks back to the French colonial periods. Despite the French being known for their cuisine, their coffee have traditionally been low grade arabica, robusta or anything spiced up with roasted chicory. I think the French generally got the short end of the stick when the Colonial powers carved up the Coffee growing world- with the exception of perhaps Martinique
Untuk Kopi Gayo, baca di sini : http://www.coffeeforums.com/viewtopic.php?f=10&t=7014
Indonesia obviously grows a lot of coffee. However most of this is Robusta, only around 13% is Arabica. Of this 13% around 60% of all Arabica comes out of Aceh (the PKGO coop, PT Hollands Gayo Mountain, Gayoland etc) or North Sumatra (Mandehlings, Lintongs, Sidikalangs etc).
The Acehnese Arabica's are periennial favorites, and a lot make their way to the USA through companies such as Fairtrade advocate ForesTrade...
Personally I rate Acehnese Arabica in the top 5 of coffee I roast from Indonesian origins. However I also think there are some really great origins out there that do not get the benefit and support through NGO funding that Aceh gets. With little more funding shared out through the rest of Indonesia, it would benefit coffee in general here.
Komentator di kedua diskusi ini adalah orang yang sama.
Di pasar Dunia, Kopi Gayo dikenal sebagai jenis Kopi Premium dengan produksi terbatas sebagaimana halnya kopi Ijen, Kolombian Supremo, Jamaican Blue Mountain, Kona Hawai, Harar dan lain-lain. Kopi-kopi jenis ini bisa dikatakan tanpa pesaing karena masing-masing punya ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh kopi yang berasal dari daerah lain.
Kopi jenis ini berbeda dengan Kopi Brazil atau Kolombia biasa yang dianggap sebagai barang kodian. Meskipun memang harga Kopi Premium inipun fluktuatif mengikuti harga kopi produksi massal.
Jadi daripada pusing tidak berguna memikirkan Vietnam dan CAFTA, saya pikir justru jauh lebih penting kita pikirkan adalah bagaimana cara meningkatkan KUALITAS kopi yang diproduksi oleh petani Tanoh Gayo.
Karena sebagaimana disampaikan seorang peserta forum ini yang bernama Zulfikar Ahmad, menurut laporan International Coffee Organization (ICO) Jepang dan USA menunjukan angka penurunan komsumsi dari tahun ke tahun.
Perlu kita ketahui bersama bahwa penurunan ini bisa terjadi adalah akibat dari penurunan kualitas kopi yang diproduksi dunia, sehingga peminum fanatik kopi beralih ke minuman lain.
***
Sepuluh tahun silam, saya diundang oleh FAO untuk mengikuti Konferensi meja Bundar Kopi se- Asia pasifik di Chiang Mai, Thailand.
Dalam forum yang saya ikuti itu, panitia juga mengundang kalangan roaster yang menjadi sasaran akhir ekspor biji kopi sebelum mereka ubah menjadi kopi siap konsumsi.
Salah seorang yang hadir dari kalangan roaster itu bernama DR. Ernesto Illy (yang saat itu berumur 75 tahun, beliau meninggal pada 3 februari 2008 lalu) http://coffeegeek.com/opinions/coffeeatthemoment/02-04-2008 . DR. Illy yang sangat dihormati semua peserta konferensi ini adalah penemu mesin espresso pertama sekaligus pemilik Illy Cafe yang merupakan salah satu roaster Kopi terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Dr Illy, mewarisi perusahaan yang sebelumnya memproduksi Coklat ini dari bapaknya.
Dalam forum ini dan dilanjutkan dengan bincang-bincang sesudah acara, DR. Illy menceritakan kepada saya kalau menurunnya konsumsi kopi di beberapa negara pengkonsumsi kopi terbesar diakibatkan oleh meluasnya pembudidayaan kopi Catimor dalam industri pertanian kopi dunia. Menurut DR. Illy, saat kami berbicara waktu itu sudah lebih dari setengah produksi kopi dunia adalah jenis Catimor.
Dalam bahasa DR. Illy (bahasa Inggris berlogat Italia), jenis kopi Catimor ini dideskripsikan sebagai "High yield but bad in taste, makes farmers happy but not consumers"
Menurut DR. Illy, Catimor ini memang menarik jika dilihat dari jumlah produksi, tapi sangat tidak menarik dari segi kualitas. Meskipun kopi varietas ini telah secara resmi dikategorikan sebagai kopi arabica, tapi karena secara genetik Kopi ini memiliki gen kopi Robusta, maka dalam karakter rasa Kopi catimor ini masih tersisa karakter robusta yang kurang disukai oleh penikmat kopi Eropa dan Amerika yang merupakan pangsa pasar terbesar kopi Dunia (lebih dari 70%). Kata Dr. Illy, biji Kopi Catimor ini banyak mengandung minyak sebagaimana halnya biji Kopi Robusta.
Keluhan DR. Illy ini juga merupakan keluhan dari semua roaster yang hadir dalam konferensi itu, mereka semua mengeluhkan hal yang sama. Kalau ingin merebut kembali pangsa pasar peminum kopi, para Roaster itu menyarankan para petani untuk menanam kopi jenis Bourbon (Seperti jenis kopi yang ditanam di Gayo sekitar 40 tahunan yang lalu). Kopi jenis Bourbon inilah yang sebenarnya telah membuat nama Kopi Gayo melejit di kalangan penggemar kopi dunia.
Dalam konferensi itu, delegasi Vietnam menjadi bulan-bulanan seluruh peserta konferensi (termasuk saya) karena mereka seperti orang autis yang hanya berfokus pada peningkatan produksi semata (dalam makalah yang disampaikan wakil mereka dalam konferensi itu, Vietnam melulu menceritakan tentang usaha mereka memperluas dan meningkatkan produksi kopi). Padahal pada saat itu seluruh peserta konferensi datang ke konferensi tersebut dengan sebuah isu besar bernama OVER PRODUCTION alias kelebihan produksi yang tidak terserap pasar, yang pada tahun itu sudah mencapai 3,7%.
Pada tahun itu produksi kopi dunia ada 113.033.000 karung yang setara dengan 6.781.980 Ton. Sementara Produksi Kopi Indonesia pada tahun itu adalah 6.987.000 Karung yang setara dengan 419.220 Ton. Jadi kalau ada 3,7 % dari jumlah itu yang tidak terserap pasar artinya jumlah itu adalah 4.182.221 atau hampir 60% jumlah produksi Kopi Indonesia.
Atau kalau kita bandingkan dengan produksi kopi Gayo, Kalau di tanah Gayo kita asumsikan ada 90 ribu hektar lahan Kopi (pembulatan ke atas) dengan produksi antara 700-1000 Kg per tahun, kita hitung maksimal ada 1.500.000 Karung kopi per tahun, maka artinya setiap tahun ada kopi sebanyak tiga kali lipat produksi seluruh kopi Gayo yang tidak terserap pasar.
Jadi begitulah kira-kira peta perkopian di kawasan ini, sehingga kalaupun Vietnam kemudian mengembangkan Kopi Arabica (sebagaimana yang telah dilakukan Thailand), jelas mutunya tidak akan dapat menyaingi mutu Kopi Gayo dan pasarnya juga nantinya tidak akan mengganggu pasar Kopi Gayo. Karena dengan karakter tanah dan ketinggian tempat yang ada di Vietnam, paling banter mereka hanya akan bisa maksimal menghasilkan Kopi Arabica dengan mutu paling tinggi seperti Kopi Singahmulo.
Sementara di berbagai belahan dunia, orang mulai menyadari pentingnya kualitas ini.
Contohnya misalnya terjadi pada beberapa perkebunan Kopi di Jawa.
Sadar akan pentingnya kualitas dalam industri perkopian ini, beberapa perkebunan kopi besar di Jawa (yang memiliki luas lahan di atas 1000 hektar) belakangan juga mulai mengubah strategi dalam pemilihan jenis tanaman kopi. Contohnya perkebunan Kali Klatak yang karena menyadari harga Kopi Arabica yang dua kali lipat lebih mahal dibanding Kopi robusta, dulu menanam kopi Arabica di lahan mereka yang memiliki ketinggian di bawah 800 Mdpl, tapi karena mutu kopi yang dihasilkan tidak bagus dan memiliki banyak defects (biji kopi rusak), ujung-ujungnya ternyata lebih menguntungkan menanam Robusta, karena itulah tahun ini mereka membongkar semua kopi Arabica di kebun mereka dan menggantinya dengan Robusta.
Contoh lain adalah Burma yang sejak beberapa tahun sebelum konferensi itu telah mem-ban kopi jenis Catimor dan hanya menanam Bourbon, sehingga mereka berhasil mendapatkan harga yang baik untuk kopi mereka (bersyukurlah bahwa lahan yang cocok untuk ditanami Kopi di Burma itu sedikit sekali).
***
Sangat menarik ketika peserta forum yang bernama Hadiyan mengaitkan Kopi Gayo dengan Kopi Blue Mountain, menurut hadiyan Kopi gayo harus mempertahankan dan meningkatkan kwalitas dan menjaga brand image produk supaya bisa seperti Blue Mountain yang harganya jauh lebih mahal dibanding kopi Gayo (kopi gayo sekitar US$ 5/kg sedangankan Jamaica coffee blue mountain bisa mencapai US$ 160/kg)
Saya sangat sepakat dengan Hadiyan meskipun saya tidak sepakat perbandingan harga antara kopi gayo dan coffee blue mountain yang dia sebutkan, karena meskipun Blue Mountain jauh lebih mahal ketimbang kopi Gayo tapi perbedaannya tidak seekstrim yang digambarkan oleh Hadiyan, karena beda harga antara gayo Mountain Coffee dengan Jamaican Blue Mountain Coffee 'hanya' sekitar 3 kali lipat saja, contohnya bisa dilihat pada harga yang dipatok oleh perusahaan Joe's di http://www.joescoffeehouse.com/catalog.aspx?id=100 dimana Gayo Mountain dipatok seharga $16.95 dan Jamaica Blue Mountain dipatok seharga $51.95.
Apa yang membuat perbedaan harga yang mencolok antara Kopi Gayo dengan Kopi Blue Mountain itu adalah KESERAGAMAN dalam hal kualitas.
Kopi Gayo kualitasnya tidak seragam. Ketidak seragaman itu dimulai dari apa yang disebut dengan Kopi Gayo ini sendiri sebenarnya adalah berbagai ragam jenis dan kualitas Kopi dengan berbagai jenis karakter tanah dan ketinggian tumbuh yang terbilang ekstrim. Sekitar 700-an Mdpl di Singah Mulo, sampai 1500-an Meter di Lukup Sabun. Mulai dari yang tumbuh di lahan Vulkanis (Lukup Sabun, Bandar lampahan, Simpang balik sampai di bener Meriah) dan bukan vulkanis di Jagong Jeget, Batu Lintang dan sekitarnya. Lalu Kopi Gayo juga terdiri dari berbagai varietas Kopi yang berbeda-beda.
Kemudian juga ketidak seragaman dalam penanganan pasca panen sehingga kualitasnya tidak pernah bisa standar.
Atas dasar itulah, kalau kita memang ingin membangun Brand Kopi Gayo yang kuat, saya pikir yang pertama kali harus kita lakukan bukanlah memacu produktivitas, tapi meningkatkan kualitas yang bisa kita mulai dengan mengklasifikasikan kopi di tanoh Gayo berdasarkan daerah tumbuhnya, dan mulai mengembangkan varietas sesuai dengan selera konsumen, bukan bersikap autis dengan pikiran hanya untuk menggenjot produksi seperti Vietnam.
Wassalam
Win Wan Nur
Melihat diskusi ini, saya salut melihat kawan-kawan yang berpikir begitu panjang soal masa depan kopi Gayo.
Ada macam-macam persoalan perkopian yang dibicarakan dalam forum ini dari yang konyol sampai yang serius.
Misalnya di forum ini ada yang meragukan keterkenalan Kopi Gayo dan membandingkannya dengan terkenalnya Kopi UK alias Kpoi Ulee kareng yang tidak menggunakan Kopi Gayo, alias Ulee Kareeng, padahal ini jelas seperti membandingkan keterkenalan M. Basir mantan kiper Persiraja (kiper Persiraja yang sekarang saya tidak tahu namanya) dengan Sebastien Frey Kiper Fiorentina. Yang satu adalah Kiper terbaik yang sangat terkenal di Aceh, sementara yang satu lagi adalah kiper kelas menengah yang meskipun nggak dipanggil ke Timnas Perancis, tapi bermain di klub menengah di salah satu liga terbaik dunia.
Kopi UK hanyalah kopi konsumsi lokal yang kualitas dan penangananannya sama sekali tidak memenuhi persyaratan ekspor. Kopi ini hanya dikenal oleh para peminum kopi lokal yang karena beberapa kali diulas di TV kemudian jadi terkenal juga secara nasional. Tapi, para konsumen kopi Internasional yang memilih Kopi yang diminum dengan panduan ahli pencicip rasa, yang berlangganan majalah kopi untuk memastikan kopi yang dia minum adalah kopi terbaik jelas sama sekali tidak mengenal kopi Ulee Kareeng dan kalau pun mengenalnya tidak akan pernah berpikir untuk mengklasifikasikan kopi Ulee Kareeng menjadi salah satu jenis kopi unggulan. Sementara Kopi gayo meskipun bukan yang terbaik, tapi termasuk salah satu jenis kopi yang sangat dikenal dan sering diulas oleh para pecinta kopi dunia.
Seperti M. Basir yang merupakan Kiper terbaik di Aceh, dia sangat terkenal di Aceh, tapi tentu saja tidak ada pelatih yang cukup gila untuk menjadikannya kiper di sebuah klub yang berada di zona degradasi di sebuah liga eropa tidak terkenal, semacam liga Latvia.
Kemudian ada peserta forum yang mengaitkan masa depan Kopi Gayo dengan adanya CAFTA dan menghubungkannya dengan produksi kopi Vietnam. Beberapa dari teman-teman ini rupanya khawatir dengan masa depan pasar Kopi Gayo dengan adanya CAFTA ini.
Menanggapi ini ada dua orang yang bernama hadian dan Pak Sahrial Wahab yang sama sekali tidak khawatir dengan prospek kopi Gayo dengan adanya pasar bebas Cina dan ASEAN ini.
Dalam diskusi ini saya berada dalam kubu yang sama dengan Hadiyan dan Pak Sahrial Wahab dan bersepakat dengan mereka bahwa CAFTA ini sebenarnya sangat tidak nyambung kalau dikaitkan dengan kopi Gayo, sebab keberadaan CAFTA memang sama sekali tidak membawa pengaruh signifikan terhadap pangsa pasar Kopi Gayo, karena negara-negara CAFTA bukanlah pasar yang secara tradisional merupakan pasar yang menjadi tujuan Kopi Gayo.
Kemudian ketakutan dengan adanya CAFTA dalam kaitannya dengan produksi kopi robusta Vietnam yang dikhawatirkan akan menurunkan daya saing kopi Gayo di pasar dalam negeri juga saya pikir sama sekali tidak ada dasarnya. Sebab Kopi Gayo adalah kopi arabica yang memang tidak dipasarkan di dalam negeri. Bahkan sepengetahuan saya, Kopi Gayo yang dijual di Starbuck-pun mereka beli dari Importir Kopi Gayo di Amerika sana, tidak langsung dari Takengen, jadi apa yang perlu ditakutkan dari Vietnam.
Kekhawatiran ini juga tidak ada dasarnya meskipun sekarang katanya Vietnam sudah mulai mengembangkan kopi Arabika.
Kita tidak perlu khawatir karena untuk mengembangkan Kopi Arabica tidaklah gampang, banyak syarat khusus yang dibutuhkan, terutama yang berkaitan dengan ketinggian dan jenis tanah Vulkanik. Ketinggian minimal untuk menanam kopi Arabica bermutu lumayan adalah 800 mdpl. Tapi untuk menghasilkan Kopi Arabica bermutu baik, dibutuhkan lokasi dengan ketinggian antara 1200-1700 Mdpl. Ketinggian lokasi tanam inilah yang mutu Kopi Singah Mulo an Ronga-ronga jauh di bawah mutu kopi Arabica produksi Lukup Sabun.
Syarat yang khas ini pula yang membuat di Asia, tidak banyak tempat yang bisa memenuhi persyaratan ini. Itulah sebabnya kenapa DATARAN TINGGI GAYO merupakan penghasil Kopi Arabica TERBESAR di ASIA.
Meskipun dikatakan Vietnam telah mampu meningkatkan produktivitasnya lebih dari 5 kali lipat seperti harapan menterinya, tapi masalah kopi ini bukanlah hanya sekedar urusan produktivitas, tapi yang terpenting di atas semuanya adalah KUALITAS RASA yang disukai pasar.
Untuk sebagai perbandingan bisa dilihat dalam komentar dalam diskusi yang berlangsung di www.coffeeforums.com
Untuk Kopi Vietnam baca di sini : http://www.coffeeforums.com/viewtopic.php?f=10&t=7203
Any ''experts'' out there who can give me information about the taste of Vietnamese coffee versus coffees from other countries.
I find Viet coffee never tastes the same when I bring it home, maybe it''s the water there/here ?
from what I know about Vietnamese coffee's, they are mostly robusta's :oops:
3rd biggest producer globally, but indeed mainly robusta (including now some "gourmet" robustas that are washed, polished etc...but still taste like robusta :evil: ). Some Arabica being produced n the highlands, the government is now trying to focus energies on developing the Arabica sectors. Strong internal consumption of mainly robusta- maybe harks back to the French colonial periods. Despite the French being known for their cuisine, their coffee have traditionally been low grade arabica, robusta or anything spiced up with roasted chicory. I think the French generally got the short end of the stick when the Colonial powers carved up the Coffee growing world- with the exception of perhaps Martinique
Untuk Kopi Gayo, baca di sini : http://www.coffeeforums.com/viewtopic.php?f=10&t=7014
Indonesia obviously grows a lot of coffee. However most of this is Robusta, only around 13% is Arabica. Of this 13% around 60% of all Arabica comes out of Aceh (the PKGO coop, PT Hollands Gayo Mountain, Gayoland etc) or North Sumatra (Mandehlings, Lintongs, Sidikalangs etc).
The Acehnese Arabica's are periennial favorites, and a lot make their way to the USA through companies such as Fairtrade advocate ForesTrade...
Personally I rate Acehnese Arabica in the top 5 of coffee I roast from Indonesian origins. However I also think there are some really great origins out there that do not get the benefit and support through NGO funding that Aceh gets. With little more funding shared out through the rest of Indonesia, it would benefit coffee in general here.
Komentator di kedua diskusi ini adalah orang yang sama.
Di pasar Dunia, Kopi Gayo dikenal sebagai jenis Kopi Premium dengan produksi terbatas sebagaimana halnya kopi Ijen, Kolombian Supremo, Jamaican Blue Mountain, Kona Hawai, Harar dan lain-lain. Kopi-kopi jenis ini bisa dikatakan tanpa pesaing karena masing-masing punya ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh kopi yang berasal dari daerah lain.
Kopi jenis ini berbeda dengan Kopi Brazil atau Kolombia biasa yang dianggap sebagai barang kodian. Meskipun memang harga Kopi Premium inipun fluktuatif mengikuti harga kopi produksi massal.
Jadi daripada pusing tidak berguna memikirkan Vietnam dan CAFTA, saya pikir justru jauh lebih penting kita pikirkan adalah bagaimana cara meningkatkan KUALITAS kopi yang diproduksi oleh petani Tanoh Gayo.
Karena sebagaimana disampaikan seorang peserta forum ini yang bernama Zulfikar Ahmad, menurut laporan International Coffee Organization (ICO) Jepang dan USA menunjukan angka penurunan komsumsi dari tahun ke tahun.
Perlu kita ketahui bersama bahwa penurunan ini bisa terjadi adalah akibat dari penurunan kualitas kopi yang diproduksi dunia, sehingga peminum fanatik kopi beralih ke minuman lain.
***
Sepuluh tahun silam, saya diundang oleh FAO untuk mengikuti Konferensi meja Bundar Kopi se- Asia pasifik di Chiang Mai, Thailand.
Dalam forum yang saya ikuti itu, panitia juga mengundang kalangan roaster yang menjadi sasaran akhir ekspor biji kopi sebelum mereka ubah menjadi kopi siap konsumsi.
Salah seorang yang hadir dari kalangan roaster itu bernama DR. Ernesto Illy (yang saat itu berumur 75 tahun, beliau meninggal pada 3 februari 2008 lalu) http://coffeegeek.com/opinions/coffeeatthemoment/02-04-2008 . DR. Illy yang sangat dihormati semua peserta konferensi ini adalah penemu mesin espresso pertama sekaligus pemilik Illy Cafe yang merupakan salah satu roaster Kopi terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Dr Illy, mewarisi perusahaan yang sebelumnya memproduksi Coklat ini dari bapaknya.
Dalam forum ini dan dilanjutkan dengan bincang-bincang sesudah acara, DR. Illy menceritakan kepada saya kalau menurunnya konsumsi kopi di beberapa negara pengkonsumsi kopi terbesar diakibatkan oleh meluasnya pembudidayaan kopi Catimor dalam industri pertanian kopi dunia. Menurut DR. Illy, saat kami berbicara waktu itu sudah lebih dari setengah produksi kopi dunia adalah jenis Catimor.
Dalam bahasa DR. Illy (bahasa Inggris berlogat Italia), jenis kopi Catimor ini dideskripsikan sebagai "High yield but bad in taste, makes farmers happy but not consumers"
Menurut DR. Illy, Catimor ini memang menarik jika dilihat dari jumlah produksi, tapi sangat tidak menarik dari segi kualitas. Meskipun kopi varietas ini telah secara resmi dikategorikan sebagai kopi arabica, tapi karena secara genetik Kopi ini memiliki gen kopi Robusta, maka dalam karakter rasa Kopi catimor ini masih tersisa karakter robusta yang kurang disukai oleh penikmat kopi Eropa dan Amerika yang merupakan pangsa pasar terbesar kopi Dunia (lebih dari 70%). Kata Dr. Illy, biji Kopi Catimor ini banyak mengandung minyak sebagaimana halnya biji Kopi Robusta.
Keluhan DR. Illy ini juga merupakan keluhan dari semua roaster yang hadir dalam konferensi itu, mereka semua mengeluhkan hal yang sama. Kalau ingin merebut kembali pangsa pasar peminum kopi, para Roaster itu menyarankan para petani untuk menanam kopi jenis Bourbon (Seperti jenis kopi yang ditanam di Gayo sekitar 40 tahunan yang lalu). Kopi jenis Bourbon inilah yang sebenarnya telah membuat nama Kopi Gayo melejit di kalangan penggemar kopi dunia.
Dalam konferensi itu, delegasi Vietnam menjadi bulan-bulanan seluruh peserta konferensi (termasuk saya) karena mereka seperti orang autis yang hanya berfokus pada peningkatan produksi semata (dalam makalah yang disampaikan wakil mereka dalam konferensi itu, Vietnam melulu menceritakan tentang usaha mereka memperluas dan meningkatkan produksi kopi). Padahal pada saat itu seluruh peserta konferensi datang ke konferensi tersebut dengan sebuah isu besar bernama OVER PRODUCTION alias kelebihan produksi yang tidak terserap pasar, yang pada tahun itu sudah mencapai 3,7%.
Pada tahun itu produksi kopi dunia ada 113.033.000 karung yang setara dengan 6.781.980 Ton. Sementara Produksi Kopi Indonesia pada tahun itu adalah 6.987.000 Karung yang setara dengan 419.220 Ton. Jadi kalau ada 3,7 % dari jumlah itu yang tidak terserap pasar artinya jumlah itu adalah 4.182.221 atau hampir 60% jumlah produksi Kopi Indonesia.
Atau kalau kita bandingkan dengan produksi kopi Gayo, Kalau di tanah Gayo kita asumsikan ada 90 ribu hektar lahan Kopi (pembulatan ke atas) dengan produksi antara 700-1000 Kg per tahun, kita hitung maksimal ada 1.500.000 Karung kopi per tahun, maka artinya setiap tahun ada kopi sebanyak tiga kali lipat produksi seluruh kopi Gayo yang tidak terserap pasar.
Jadi begitulah kira-kira peta perkopian di kawasan ini, sehingga kalaupun Vietnam kemudian mengembangkan Kopi Arabica (sebagaimana yang telah dilakukan Thailand), jelas mutunya tidak akan dapat menyaingi mutu Kopi Gayo dan pasarnya juga nantinya tidak akan mengganggu pasar Kopi Gayo. Karena dengan karakter tanah dan ketinggian tempat yang ada di Vietnam, paling banter mereka hanya akan bisa maksimal menghasilkan Kopi Arabica dengan mutu paling tinggi seperti Kopi Singahmulo.
Sementara di berbagai belahan dunia, orang mulai menyadari pentingnya kualitas ini.
Contohnya misalnya terjadi pada beberapa perkebunan Kopi di Jawa.
Sadar akan pentingnya kualitas dalam industri perkopian ini, beberapa perkebunan kopi besar di Jawa (yang memiliki luas lahan di atas 1000 hektar) belakangan juga mulai mengubah strategi dalam pemilihan jenis tanaman kopi. Contohnya perkebunan Kali Klatak yang karena menyadari harga Kopi Arabica yang dua kali lipat lebih mahal dibanding Kopi robusta, dulu menanam kopi Arabica di lahan mereka yang memiliki ketinggian di bawah 800 Mdpl, tapi karena mutu kopi yang dihasilkan tidak bagus dan memiliki banyak defects (biji kopi rusak), ujung-ujungnya ternyata lebih menguntungkan menanam Robusta, karena itulah tahun ini mereka membongkar semua kopi Arabica di kebun mereka dan menggantinya dengan Robusta.
Contoh lain adalah Burma yang sejak beberapa tahun sebelum konferensi itu telah mem-ban kopi jenis Catimor dan hanya menanam Bourbon, sehingga mereka berhasil mendapatkan harga yang baik untuk kopi mereka (bersyukurlah bahwa lahan yang cocok untuk ditanami Kopi di Burma itu sedikit sekali).
***
Sangat menarik ketika peserta forum yang bernama Hadiyan mengaitkan Kopi Gayo dengan Kopi Blue Mountain, menurut hadiyan Kopi gayo harus mempertahankan dan meningkatkan kwalitas dan menjaga brand image produk supaya bisa seperti Blue Mountain yang harganya jauh lebih mahal dibanding kopi Gayo (kopi gayo sekitar US$ 5/kg sedangankan Jamaica coffee blue mountain bisa mencapai US$ 160/kg)
Saya sangat sepakat dengan Hadiyan meskipun saya tidak sepakat perbandingan harga antara kopi gayo dan coffee blue mountain yang dia sebutkan, karena meskipun Blue Mountain jauh lebih mahal ketimbang kopi Gayo tapi perbedaannya tidak seekstrim yang digambarkan oleh Hadiyan, karena beda harga antara gayo Mountain Coffee dengan Jamaican Blue Mountain Coffee 'hanya' sekitar 3 kali lipat saja, contohnya bisa dilihat pada harga yang dipatok oleh perusahaan Joe's di http://www.joescoffeehouse.com/catalog.aspx?id=100 dimana Gayo Mountain dipatok seharga $16.95 dan Jamaica Blue Mountain dipatok seharga $51.95.
Apa yang membuat perbedaan harga yang mencolok antara Kopi Gayo dengan Kopi Blue Mountain itu adalah KESERAGAMAN dalam hal kualitas.
Kopi Gayo kualitasnya tidak seragam. Ketidak seragaman itu dimulai dari apa yang disebut dengan Kopi Gayo ini sendiri sebenarnya adalah berbagai ragam jenis dan kualitas Kopi dengan berbagai jenis karakter tanah dan ketinggian tumbuh yang terbilang ekstrim. Sekitar 700-an Mdpl di Singah Mulo, sampai 1500-an Meter di Lukup Sabun. Mulai dari yang tumbuh di lahan Vulkanis (Lukup Sabun, Bandar lampahan, Simpang balik sampai di bener Meriah) dan bukan vulkanis di Jagong Jeget, Batu Lintang dan sekitarnya. Lalu Kopi Gayo juga terdiri dari berbagai varietas Kopi yang berbeda-beda.
Kemudian juga ketidak seragaman dalam penanganan pasca panen sehingga kualitasnya tidak pernah bisa standar.
Atas dasar itulah, kalau kita memang ingin membangun Brand Kopi Gayo yang kuat, saya pikir yang pertama kali harus kita lakukan bukanlah memacu produktivitas, tapi meningkatkan kualitas yang bisa kita mulai dengan mengklasifikasikan kopi di tanoh Gayo berdasarkan daerah tumbuhnya, dan mulai mengembangkan varietas sesuai dengan selera konsumen, bukan bersikap autis dengan pikiran hanya untuk menggenjot produksi seperti Vietnam.
Wassalam
Win Wan Nur
Sabtu, 06 Maret 2010
Mengintip Sejarah Gayo Melalui Silsilah Keluarga
Karena tidak ada catatan, aku tidak tahu persis sejak kapan keluargaku mulai menetap di Isaq.
Bagi kami orang Isaq dan juga orang Gayo yang tinggal di tempat lain, masa sebelum abad ke 20 adalah masa pra sejarah. Seperti apa keadaan Gayo sebelum abad ke-20, hanya bisa kami ketahui melalui dongeng, kisah dan legenda yang kami sebut kekeberen.
Jadi asal-usul bagaimana keluargaku sampai menetap di Isaq pun, aku hanya tahu dari 'kekeberen' yang kudengar dari kakekku.
Ada dua versi tentang asal-usul keluarga kami yang kudengar dari kakekku.
Pertama, kata kakekku kami adalah keturunan Datu Merah Mege, anak bungsu dari Muyang Mersa yang merupakan penguasa Linge (sebagaimana juga banyak diklaim oleh orang Isaq lainnya). Karena merasa iri, oleh abang-abangnya, Datu Merah Mege yang merupakan anak kesayangan Muyang Mersah ini pernah dijatuhkan oleh abang-abangnya ke dalam sebuah goa berbentuk sumur yang sampai hari ini dinamakan Loyang Datu (Gua Datu). Datu merah Mege bisa bertahan hidup karena bantuan seekor anjingnya yang setia.
Dalam kisah Datu merah Mege ini diceritakan kalau sejak Datu Merah Mege menghilang, anjingnya yang setia itu hanya mau diberi makan nasi kerak dan kemudian langsung menghilang setelah kerak nasi itu diberikan. Kerak nasi itu ternyata tidak dimakan sendiri oleh sang Anjing tetapi kerak nasi itu dia antarkan untuk makanan tuannya Datu Merah Mege yang dijatuhkan oleh kakak-kakaknya ke dalam gua.
Perilaku aneh anjing ini membuat Muyang Mersa yang bersedih hati karena kehilangan anak kesayangannya menjadi curiga. Suatu hari, setelah memberi makan kerak nasi, Muyang Mersa yang merasa penasaran dengan perilaku ini mengikuti anjing ini untuk mengetahui kemana kerak nasi itu dibawa sehingga Muyang Mersa pun sampai ke Gua tempat datu Merah Mege dijatuhkan dan menemukan anak kesayangannya tersebut masih hidup.
Tahu kejahatan mereka terbongkar, abang-abang dari Datu Merah Mege yang bermaksud mencelakakannya itu melarikan diri dari Isaq sebelum Muyang Mersa kembali ke rumah. Dalam kisah ini diceritakan kalau di kemudian hari, abang-abang dari Datu Merah Mege ini kemudian menjadi raja di tempat lain. Salah satu dari abang Merah Mege ini konon bernama Merah Silu yang kemudian lebih dikenal dengan nama Malikussaleh, yang merupakan penguasa pertama kerajaan Islam Pasai.
Kemudian, kakekku juga pernah bilang, kami adalah keturunan langsung dari Maulana Ishaq, seorang Mubaligh yang pertama kali membawa Syi'ar Islam ke Tanoh Gayo, yang dari namanyalah nama ISAQ diambil.
Bisa jadi kisah tentang asal-usul keluarga kami seperti yang diceritakan kakekku ini ada kaitannya dengan posisi keluarga kami yang merupakan keluarga Imem (pemimpin agama) dalam stuktur sosial masyarakat Isaq di masa lalu.
Sebagaimana kampung-kampung Gayo di masa lalu, di Isaq, sebuah kampung, selain merupakan sebuah wilayah alias teritori, kampung juga merupakan satu wilayah politik. Di masa lalu, orang yang tinggal di satu kampung yang sama selalu memiliki asal-usul alias nenek moyang yang sama (mirip seperti karakter desa di Bali). Karena berasal dari nenek moyang yang sama inilah, di masa lalu, orang Gayo dilarang keras untuk menikah dengan orang sekampungnya. Pernikahan seperti ini adalah aib besar yang membuat pelaku pernikahan seperti ini diusir dari kampung.
Di Isaq, ada 5 buah kampung, Kute Riem, Kute Robel, Kute Kramil, Kute Dah dan Kute Rayang. Tapi kalau di Isaq kita menyebut KAMPUNG maka yang dimaksud adalah Kute Rayang yang merupakan kampung asalku. Penduduk Isaq percaya kalau kute Rayang adalah kampung pertama yang ada di Isaq, kemudian ketika penduduknya bertambah banyak mereka menyebar dan mendirikan kampung-kampung lain.
Di Gayo, kadang-kadang orang yang tinggal di dua kampung atau lebih, berasal dari nenek moyang yang sama dan dikelompokkan menjadi satu. Kelompok yang tinggal di kampung yang berbeda tapi memiliki nenek moyang yang sama ini disebut dengan istilah belah. Istilah belah ini digunakan untuk menjelaskan pembagian dari suatu benda yang panjang, misalnya batang kayu yang dibagi dari pusatnya (Baca : Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989; Bowen 1991)
Yang terjadi di Isaq juga demikian, dari 5 kampung di Isaq terdapat 3 belah yaitu: Belah Imem, Belah Reje dan Belah Ciq. Seperti kukatakan sebelumnya, keluargaku termasuk dalam Belah Imem.
Di masa lalu, dalam pembagian kekuasaan di Isaq, kekuasaan politik dipegang oleh orang dari Belah Reje yang disebut Kepala Akal (salah seorang keturunan kepala akal terakhir pernah menjadi Bupati Aceh Tengah) dengan orang dari belah Ciq sebagai wakilnya. Tapi hukum dipegang dan ditegakkan oleh orang dari Belah Imem yang disebut Imem Ciq. Semua perkara hukum, semua pertentangan antar warga diselesaikan melalui keputusan yang dibuat oleh Imem Ciq.
Imem Ciq terakhir di Isaq adalah muyangku (kakek dari kakekku) yang bernama asli Muhammad Ali tapi di Isaq sendiri beliau lebih dikenal dengan nama Tengku Due Puluh Due.
* Ada dua versi yang kudengar tentang asal usul nama Due Puluh Due (22) yang disandang Muyang-ku ini. Yang pertama mengatakan nama Due Puluh Due itu menunjukkan kalau beliau adalah Imem Ciq keturunan yang ke-22. Versi kedua mengatakan kalau nama Due Puluh Due itu merefer kepada jumlah penjahat, pencuri, perampok, pengacau dan para pelanggar Hukum berat lainnya di dalam teritori Isaq baik yang berasal dari luar atau dari dalam Isaq sendiri yang dibunuh oleh muyangku. Entah mana yang benar dari kedua versi itu.
Muyangku ini cuma punya satu anak yang sekaligus satu-satunya pewaris di garis keluarga muyangku ini. Tapi anak satu-satunya muyangku yang tidak lain adalah Datu Awanku (bapak dari kakekku) ini pun sebenarnya bukanlah anak kandung Muyangku Tengku Due Puluh Due. Datuku ini sebenarnya adalah anak dari abang Muyangku yang kupanggil dengan sebutan Muyang Pedih (Muyang yang asli) yang merupakan Imem Ciq sebelumnya.
Beserta dengan Istrinya (Muyang ananku), Muyang Pedihku meninggal bersama dengan banyak penduduk Isaq lainnya, saat Isaq terserang penyakit kolera. Ketika beliau meninggal, posisinya sebagai Imem Ciq digantikan oleh Muyang Tengku Due Puluh Due. Kisah asal usul keluargaku hanya aku tahu sampai sebatas ini, bagaimana keadaan keluargakun di generasi sebelum kedua muyangku ini lahir, aku tidak pernah tahu.
Saat Muyang Pedih-ku meninggal, datuku masih bayi dan langsung dirawat dan sangat dimanjakan oleh Muyang-ku Tengku Due Puluh Due yang sebenarnya adalah Ama Ucak(Paman)-nya yang tidak pernah punya keturunan langsung.
Semua sistem sosial kemasyarakatan di Isaq sebagai mana kuceritakan di atas, berlangsung dengan tertib sampai masa sebelum kedatangan Belanda.
Ketika Belanda datang, salah seorang keturunan mantan penguasa di Isaq yang disebut kejurun, bekerja sama dengan Belanda. Dia menjual kampung kami kepada Belanda yang kemudian menempatkan dirinya sebagai penguasa seluruh Isaq, baik secara politik maupun Hukum dan menghancurkan semua sistem yang sudah ada sebelumnya.
Sebelum kedatangan Belanda, memang ada beberapa konflik perebutan pengaruh kekuasaan politik antar beberapa belah di kampung kami. Kakekku tidak menjelaskan dengan detail Kejurun ini dari belah mana (dan akupun tidak pernah tertarik untuk menanyakan karena waktu itu aku tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting), tapi sepertinya dia adalah keturunan mantan penguasa di Isaq yang kalah bersaing dengan kepala akal dalam perebutan pengaruh politik.
Kejurun inilah yang menyambut kedatangan Marsose ke Isaq dengan tari Seudati sebagaimana terdokumentasi dalam foto yang sempat di-post oleh I Love Gayo.
Sikap Kejurun yang Pro Belanda, yang menekan masyarakat Isaq dengan pajak-pajak berat ini membuat Kejurun berseteru berat dengan kakekku. Dalam perseteruan ini Kejurun melibatkan Belanda sehingga kakekku pun terpaksa melarikan diri ke Takengen dan tinggal menumpang di sebuah keluarga asal Minang, sehingga orang-orang di Takengen menyangka kakekku adalah orang Minang juga (kakekku bisa masuk ke keluarga Minang, karena guru yang mengajari kakekku baca tulis yang dikirim oleh Belanda ke Isaq adalah orang Minang).
Waktu itu, tidak satupun orang Gayo di Takengen yang tahu kalau kakekku adalah pelarian dari Isaq, sebuah kampung yang jauhnya beberapa hari perjalanan melewati Hutan. Situasi seperti ini membuat Belanda yang mencari-cari kakekku juga tidak tahu, kalau kakekku yang menjadi buronan di Isaq itu sebenarnya ada di Takengen, tinggal di tengah-tengah Masyarakat Minang. Kakekku juga sangat terbantu karena pada saat itu, belum ada kewajiban untuk memiliki KTP yang dilengkapi Pas Foto, jadi Belanda tidak yang tidak punya dokumentasi foto kakekku tidak bisa mencocok-cocokkan wajah kakekku dengan wajah yang ada dalam KTP.
Sikap sewenang-wenang Kejurun yang dibekingi oleh Belanda ini terjadi ketika Muyangku Tengku Due puluh Due sudah wafat.
Saat muyangku Tengku Due Puluh Due masih hidup, Belanda tidak pernah bisa masuk sampai ke Isaq dan keluarga kejurun juga tidak bisa berkutik. Pajak yang memberatkan rakyat Isaq seperti yang dikenakan oleh Kejurun dengan dukungan Belanda, tidak pernah ada semasa kekuasaan di Isaq dipegang oleh Kepala Akal dan Muyangku.
Karena Isaq belum bisa dimasuki Belanda inilah, ketika Belang Kejeren diserang Belanda (Kejadian ini banyak diingat orang karena adanya foto pasukan Marsose yang berpose di tengah tumpukan Mayat penduduk Gayo), banyak penduduk Belang Kejeren yang mengungsi ke Isaq. Saat berada di Isaq, rombongan pelarian dari Belang Kejeren ini diterima dengan baik oleh muyangku.
Pada waktu itu, di antara para pengungsi dari Belang Kejeren itu terdapat dua orang puteri Reje dari Rema yang kedua orang tuanya tewas dalam pertempuran melawan Belanda. Kedua puteri Reje Rema ini melarikan diri bersama para pengawal dan rakyatnya yang masih hidup.
Kebetulan waktu itu datu awanku masih lajang alias belum menikah. Melihat di antara para pengungsi itu ada dua puteri dari Blang Kejeren yang telah menjadi yatim piatu. Muyangku kemudian melamarkan salah satu dari dua puteri itu untuk menjadi istri datu awanku yang saat itu masih lajang. Dari kedua puteri itu, yang dilamarkan oleh muyangku untuk menjadi istri datu awanku ini adalah puteri yang lebih muda dan lamaran itupun diterima dengan baik oleh keluarga sang puteri.
Begitulah, kemudian mereka menikah, puteri yang lebih muda inipun kemudian menjadi Datu Ananku (yang cuma bisa aku ingat dalam sosoknya yang sudah sangat tua dan renta) dan tinggal di Isaq sampai akhir hayatnya.
Setelah kedua datuku menikah, sang kakak bersama para pengawalnya melanjutkan pelarian sampai ke Uning, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Takengen. Ketika situasi di Belang Kejeren sudah kembali kondusif, mereka kembali ke Rema dan sejak saat itu komunikasi antara datu ananku dan kakaknya serta semua anggota keluarganya di Rema terputus.
Saat sudah dewasa, kakekku pernah ingin ke berkunjung ke Belang Kejeren untuk menelusuri jejak keluarga kami di sana. Tapi niat kakekku ini selalu dihalangi oleh Datu Ananku "enti Win, i amat ni pakea kase ko iso, gere i osah pakea kase ko ulak kuini", yang artinya "jangan nak, nanti kamu ditahan oleh mereka di sana dan tidak diperbolehkan lagi kembali ke sini", begitu selalu kata Datu Ananku, setiap kali kakekku ingin pergi berkunjung ke Belang Kejeren. Datu ananku sangat takut kalau kakekku yang saat itu terhitung cukup berpendidikan itu sampai berkunjung ke sana. Datu ananku takut nanti kakekku akan dipaksa oleh keluarga datu ananku yang ada di sana untuk tinggal di Rema menggantikan posisi Muyangku yang meninggal saat bertempur dengan Belanda.
Ketika itu wajar Datu Ananku tidak memperbolehkan Kakekku menelusuri jejak keluarga kami di Blang kejeren. Itu karena pada waktu itu, perjalanan ke Belang kejeren tidaklah segampang sekarang. Saat itu untuk pergi ke Blang Kejeren, dibutuhkan perjalanan berhari-hari menembus hutan. Jadi tidak mungkin kalau begitu sampai di sana langsung pamit untuk pulang. Datu Ananku juga takut kakekku tidak pulang karena kedua datuku ini cuma punya dua anak dan kakekku adalah anak laki-laki satu-satunya, sehingga karena menghormati keinginan Datu Ananku, setahuku sampai akhir hayatnya (beliau meninggal dunia tahun 2002) kakekku tidak pernah menginjakkan kaki di Belang Kejeren.
Akibatnya sampai hari ini aku tidak pernah tahu jejak keluargaku di Belang Kejeren.
Tahun 1996, aku bersama teman-teman sekampusku dari Fakultas Teknik Unsyiah, pernah mengadakan acara PBMT (Pekan Bakti Mahasiswa Teknik) di Rema yang tidak lain adalah kampung asal Datu Anan-ku. Sambil mengikuti acara ini, aku menyempatkan diri untuk menelusuri silsilah keluargaku di Kampung itu, tapi dari beberapa orang Tua (seumuran ayahku) yang kuajak bicara, termasuk bapak Geuchik Rema sendiri, tidak seorangpun yang familiar dengan sejarah Datu Anan-ku ini.
Kembali ke kisah Datu merah Mege dan Maulana Ishaq.
Kemungkinan latar belakang keluarga kami yang merupakan keturunan Imem inilah yang membuat asal-usul keluargaku dikaitkan kepada sosok Maulana Ishaq yang kata kakekku adalah Mubaligh yang pertama kali membawa Syi'ar Islam ke tanoh Gayo.
Cuma masalahnya, ketika menceritakan asal-usul keluargaku ini. Ketika skala waktunya sudah di atas abad ke- 20, cara kakekku bercerita sudah sebagaimana layaknya orang yang menceritakan kekeberen. Cerita kakekku bukan lagi berdasarkan fakta yang beliau alami sendiri, tapi sudah bersandar pada kata orang melalui kata orang yang dikisahkan turun-temurun tanpa tercatat.
Dalam bercerita mengenai kisah yang terjadi sebelum abad ke- 20, kakekku tidak pernah bisa memberikan skala waktu yang tepat, contohnya adalah pada cerita tentang silsilah keluarga kami yang kata kakekku merupakan keturunan datu Merah Mege dan juga keturunan langsung Maulana Ishaq.
Dulu saat kakekku masih hidup, aku tidak pernah menanyakan bagaimana kejanggalan ini bisa terjadi. bagaimana mungkin kami yang katanya merupakan keturunan Datu Merah Mege tapi juga sekaligus adalah keturunan langsung Maulana Ishaq (Ini janggal karena di Gayo, silsilah keturunan diurutkan secara paterilineal)
Tapi sekarang aku jadi bingung sendiri, bagaimana ceritanya ini. Apakah Maulana Ishaq itu sebenarnya adalah Muyang Mersa, atau apakah Maulana Ishaq itu adalah bapak dari Muyang Mersa, aku tidak pernah tahu.
Tidak adanya skala waktu yang jelas ini membuatku bingung siapa yang lebih dulu ada, datu Merah Mege atau Maulana Ishaq. Karena kalau kita mengamati kisah Datu Merah Mege yang memelihara anjing dan bertahan hidup dengan makanan yang diantarkan oleh anjing, kemungkinan besar ini adalah kisah dari masa sebelum orang Gayo memeluk Islam.
Kalau benar Muyang Mersa adalah Maulana Ishaq dan Merah Silu yang lebih dikenal dengan nama Malikussaleh adalah Merah Silu anaknya Muyang Mersa, maka seharusnya dia sudah memeluk Islam waktu datang ke Pasai.
Masalah lain yang tidak kurang besar dari semua cerita kakekku ini adalah, kakekku dan orang Gayo lainnya sama sekali tidak bisa menunjukkan bukti tertulis atau benda-benda warisan tokoh-tokoh dalam cerita ini untuk dijadikan bukti tentang keberadaan sosok-sosok tersebut dalam sejarah.
Selain kakekku, orang lain juga banyak yang menceritakan kisah ini, tapi biasanya redaksi dan beberapa detail cerita ini berbeda-beda pada setiap pencerita, sehingga kita jadi tidak bisa sepenuhnya yakin dengan kebenaran cerita-cerita itu.
Kisah yang berbeda-beda ini membuat kita tidak bisa memastikan, Muyang Mersa, Datu Merah Mege, Maulana Ishak dan tokoh-tokoh lain hidup sebelum abad ke -20 yang kisah dan kekeberen tentang mereka disampaikan secara turun-temurun ini benar-benar tokoh yang nyata. Jangan-jangan sebenarnya kisah Datu Merah Mege yang mirip dengan kisah Nabi Yusuf ini adalah cerita rakyat dari tradisi pra islam yang telah disesuaikan dengan cerita-cerita dalam kisah para nabi. Untuk pertanyaan-pertanyaan semacam ini, sampai hari ini kita tidak pernah tahu jawaban yang sebenarnya seperti apa.
Mungkin kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah tokoh-tokoh dalam cerita ini benar-benar nyata atau cuma rekaan saja.
Hanya masalahnya lagi, karena minimnya data, kita pun sulit menentukan untuk memulai penelitian itu dari mana.
Wassalam
Win Wan Nur
Suku Gayo asal Isaq
Bagi kami orang Isaq dan juga orang Gayo yang tinggal di tempat lain, masa sebelum abad ke 20 adalah masa pra sejarah. Seperti apa keadaan Gayo sebelum abad ke-20, hanya bisa kami ketahui melalui dongeng, kisah dan legenda yang kami sebut kekeberen.
Jadi asal-usul bagaimana keluargaku sampai menetap di Isaq pun, aku hanya tahu dari 'kekeberen' yang kudengar dari kakekku.
Ada dua versi tentang asal-usul keluarga kami yang kudengar dari kakekku.
Pertama, kata kakekku kami adalah keturunan Datu Merah Mege, anak bungsu dari Muyang Mersa yang merupakan penguasa Linge (sebagaimana juga banyak diklaim oleh orang Isaq lainnya). Karena merasa iri, oleh abang-abangnya, Datu Merah Mege yang merupakan anak kesayangan Muyang Mersah ini pernah dijatuhkan oleh abang-abangnya ke dalam sebuah goa berbentuk sumur yang sampai hari ini dinamakan Loyang Datu (Gua Datu). Datu merah Mege bisa bertahan hidup karena bantuan seekor anjingnya yang setia.
Dalam kisah Datu merah Mege ini diceritakan kalau sejak Datu Merah Mege menghilang, anjingnya yang setia itu hanya mau diberi makan nasi kerak dan kemudian langsung menghilang setelah kerak nasi itu diberikan. Kerak nasi itu ternyata tidak dimakan sendiri oleh sang Anjing tetapi kerak nasi itu dia antarkan untuk makanan tuannya Datu Merah Mege yang dijatuhkan oleh kakak-kakaknya ke dalam gua.
Perilaku aneh anjing ini membuat Muyang Mersa yang bersedih hati karena kehilangan anak kesayangannya menjadi curiga. Suatu hari, setelah memberi makan kerak nasi, Muyang Mersa yang merasa penasaran dengan perilaku ini mengikuti anjing ini untuk mengetahui kemana kerak nasi itu dibawa sehingga Muyang Mersa pun sampai ke Gua tempat datu Merah Mege dijatuhkan dan menemukan anak kesayangannya tersebut masih hidup.
Tahu kejahatan mereka terbongkar, abang-abang dari Datu Merah Mege yang bermaksud mencelakakannya itu melarikan diri dari Isaq sebelum Muyang Mersa kembali ke rumah. Dalam kisah ini diceritakan kalau di kemudian hari, abang-abang dari Datu Merah Mege ini kemudian menjadi raja di tempat lain. Salah satu dari abang Merah Mege ini konon bernama Merah Silu yang kemudian lebih dikenal dengan nama Malikussaleh, yang merupakan penguasa pertama kerajaan Islam Pasai.
Kemudian, kakekku juga pernah bilang, kami adalah keturunan langsung dari Maulana Ishaq, seorang Mubaligh yang pertama kali membawa Syi'ar Islam ke Tanoh Gayo, yang dari namanyalah nama ISAQ diambil.
Bisa jadi kisah tentang asal-usul keluarga kami seperti yang diceritakan kakekku ini ada kaitannya dengan posisi keluarga kami yang merupakan keluarga Imem (pemimpin agama) dalam stuktur sosial masyarakat Isaq di masa lalu.
Sebagaimana kampung-kampung Gayo di masa lalu, di Isaq, sebuah kampung, selain merupakan sebuah wilayah alias teritori, kampung juga merupakan satu wilayah politik. Di masa lalu, orang yang tinggal di satu kampung yang sama selalu memiliki asal-usul alias nenek moyang yang sama (mirip seperti karakter desa di Bali). Karena berasal dari nenek moyang yang sama inilah, di masa lalu, orang Gayo dilarang keras untuk menikah dengan orang sekampungnya. Pernikahan seperti ini adalah aib besar yang membuat pelaku pernikahan seperti ini diusir dari kampung.
Di Isaq, ada 5 buah kampung, Kute Riem, Kute Robel, Kute Kramil, Kute Dah dan Kute Rayang. Tapi kalau di Isaq kita menyebut KAMPUNG maka yang dimaksud adalah Kute Rayang yang merupakan kampung asalku. Penduduk Isaq percaya kalau kute Rayang adalah kampung pertama yang ada di Isaq, kemudian ketika penduduknya bertambah banyak mereka menyebar dan mendirikan kampung-kampung lain.
Di Gayo, kadang-kadang orang yang tinggal di dua kampung atau lebih, berasal dari nenek moyang yang sama dan dikelompokkan menjadi satu. Kelompok yang tinggal di kampung yang berbeda tapi memiliki nenek moyang yang sama ini disebut dengan istilah belah. Istilah belah ini digunakan untuk menjelaskan pembagian dari suatu benda yang panjang, misalnya batang kayu yang dibagi dari pusatnya (Baca : Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989; Bowen 1991)
Yang terjadi di Isaq juga demikian, dari 5 kampung di Isaq terdapat 3 belah yaitu: Belah Imem, Belah Reje dan Belah Ciq. Seperti kukatakan sebelumnya, keluargaku termasuk dalam Belah Imem.
Di masa lalu, dalam pembagian kekuasaan di Isaq, kekuasaan politik dipegang oleh orang dari Belah Reje yang disebut Kepala Akal (salah seorang keturunan kepala akal terakhir pernah menjadi Bupati Aceh Tengah) dengan orang dari belah Ciq sebagai wakilnya. Tapi hukum dipegang dan ditegakkan oleh orang dari Belah Imem yang disebut Imem Ciq. Semua perkara hukum, semua pertentangan antar warga diselesaikan melalui keputusan yang dibuat oleh Imem Ciq.
Imem Ciq terakhir di Isaq adalah muyangku (kakek dari kakekku) yang bernama asli Muhammad Ali tapi di Isaq sendiri beliau lebih dikenal dengan nama Tengku Due Puluh Due.
* Ada dua versi yang kudengar tentang asal usul nama Due Puluh Due (22) yang disandang Muyang-ku ini. Yang pertama mengatakan nama Due Puluh Due itu menunjukkan kalau beliau adalah Imem Ciq keturunan yang ke-22. Versi kedua mengatakan kalau nama Due Puluh Due itu merefer kepada jumlah penjahat, pencuri, perampok, pengacau dan para pelanggar Hukum berat lainnya di dalam teritori Isaq baik yang berasal dari luar atau dari dalam Isaq sendiri yang dibunuh oleh muyangku. Entah mana yang benar dari kedua versi itu.
Muyangku ini cuma punya satu anak yang sekaligus satu-satunya pewaris di garis keluarga muyangku ini. Tapi anak satu-satunya muyangku yang tidak lain adalah Datu Awanku (bapak dari kakekku) ini pun sebenarnya bukanlah anak kandung Muyangku Tengku Due Puluh Due. Datuku ini sebenarnya adalah anak dari abang Muyangku yang kupanggil dengan sebutan Muyang Pedih (Muyang yang asli) yang merupakan Imem Ciq sebelumnya.
Beserta dengan Istrinya (Muyang ananku), Muyang Pedihku meninggal bersama dengan banyak penduduk Isaq lainnya, saat Isaq terserang penyakit kolera. Ketika beliau meninggal, posisinya sebagai Imem Ciq digantikan oleh Muyang Tengku Due Puluh Due. Kisah asal usul keluargaku hanya aku tahu sampai sebatas ini, bagaimana keadaan keluargakun di generasi sebelum kedua muyangku ini lahir, aku tidak pernah tahu.
Saat Muyang Pedih-ku meninggal, datuku masih bayi dan langsung dirawat dan sangat dimanjakan oleh Muyang-ku Tengku Due Puluh Due yang sebenarnya adalah Ama Ucak(Paman)-nya yang tidak pernah punya keturunan langsung.
Semua sistem sosial kemasyarakatan di Isaq sebagai mana kuceritakan di atas, berlangsung dengan tertib sampai masa sebelum kedatangan Belanda.
Ketika Belanda datang, salah seorang keturunan mantan penguasa di Isaq yang disebut kejurun, bekerja sama dengan Belanda. Dia menjual kampung kami kepada Belanda yang kemudian menempatkan dirinya sebagai penguasa seluruh Isaq, baik secara politik maupun Hukum dan menghancurkan semua sistem yang sudah ada sebelumnya.
Sebelum kedatangan Belanda, memang ada beberapa konflik perebutan pengaruh kekuasaan politik antar beberapa belah di kampung kami. Kakekku tidak menjelaskan dengan detail Kejurun ini dari belah mana (dan akupun tidak pernah tertarik untuk menanyakan karena waktu itu aku tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting), tapi sepertinya dia adalah keturunan mantan penguasa di Isaq yang kalah bersaing dengan kepala akal dalam perebutan pengaruh politik.
Kejurun inilah yang menyambut kedatangan Marsose ke Isaq dengan tari Seudati sebagaimana terdokumentasi dalam foto yang sempat di-post oleh I Love Gayo.
Sikap Kejurun yang Pro Belanda, yang menekan masyarakat Isaq dengan pajak-pajak berat ini membuat Kejurun berseteru berat dengan kakekku. Dalam perseteruan ini Kejurun melibatkan Belanda sehingga kakekku pun terpaksa melarikan diri ke Takengen dan tinggal menumpang di sebuah keluarga asal Minang, sehingga orang-orang di Takengen menyangka kakekku adalah orang Minang juga (kakekku bisa masuk ke keluarga Minang, karena guru yang mengajari kakekku baca tulis yang dikirim oleh Belanda ke Isaq adalah orang Minang).
Waktu itu, tidak satupun orang Gayo di Takengen yang tahu kalau kakekku adalah pelarian dari Isaq, sebuah kampung yang jauhnya beberapa hari perjalanan melewati Hutan. Situasi seperti ini membuat Belanda yang mencari-cari kakekku juga tidak tahu, kalau kakekku yang menjadi buronan di Isaq itu sebenarnya ada di Takengen, tinggal di tengah-tengah Masyarakat Minang. Kakekku juga sangat terbantu karena pada saat itu, belum ada kewajiban untuk memiliki KTP yang dilengkapi Pas Foto, jadi Belanda tidak yang tidak punya dokumentasi foto kakekku tidak bisa mencocok-cocokkan wajah kakekku dengan wajah yang ada dalam KTP.
Sikap sewenang-wenang Kejurun yang dibekingi oleh Belanda ini terjadi ketika Muyangku Tengku Due puluh Due sudah wafat.
Saat muyangku Tengku Due Puluh Due masih hidup, Belanda tidak pernah bisa masuk sampai ke Isaq dan keluarga kejurun juga tidak bisa berkutik. Pajak yang memberatkan rakyat Isaq seperti yang dikenakan oleh Kejurun dengan dukungan Belanda, tidak pernah ada semasa kekuasaan di Isaq dipegang oleh Kepala Akal dan Muyangku.
Karena Isaq belum bisa dimasuki Belanda inilah, ketika Belang Kejeren diserang Belanda (Kejadian ini banyak diingat orang karena adanya foto pasukan Marsose yang berpose di tengah tumpukan Mayat penduduk Gayo), banyak penduduk Belang Kejeren yang mengungsi ke Isaq. Saat berada di Isaq, rombongan pelarian dari Belang Kejeren ini diterima dengan baik oleh muyangku.
Pada waktu itu, di antara para pengungsi dari Belang Kejeren itu terdapat dua orang puteri Reje dari Rema yang kedua orang tuanya tewas dalam pertempuran melawan Belanda. Kedua puteri Reje Rema ini melarikan diri bersama para pengawal dan rakyatnya yang masih hidup.
Kebetulan waktu itu datu awanku masih lajang alias belum menikah. Melihat di antara para pengungsi itu ada dua puteri dari Blang Kejeren yang telah menjadi yatim piatu. Muyangku kemudian melamarkan salah satu dari dua puteri itu untuk menjadi istri datu awanku yang saat itu masih lajang. Dari kedua puteri itu, yang dilamarkan oleh muyangku untuk menjadi istri datu awanku ini adalah puteri yang lebih muda dan lamaran itupun diterima dengan baik oleh keluarga sang puteri.
Begitulah, kemudian mereka menikah, puteri yang lebih muda inipun kemudian menjadi Datu Ananku (yang cuma bisa aku ingat dalam sosoknya yang sudah sangat tua dan renta) dan tinggal di Isaq sampai akhir hayatnya.
Setelah kedua datuku menikah, sang kakak bersama para pengawalnya melanjutkan pelarian sampai ke Uning, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Takengen. Ketika situasi di Belang Kejeren sudah kembali kondusif, mereka kembali ke Rema dan sejak saat itu komunikasi antara datu ananku dan kakaknya serta semua anggota keluarganya di Rema terputus.
Saat sudah dewasa, kakekku pernah ingin ke berkunjung ke Belang Kejeren untuk menelusuri jejak keluarga kami di sana. Tapi niat kakekku ini selalu dihalangi oleh Datu Ananku "enti Win, i amat ni pakea kase ko iso, gere i osah pakea kase ko ulak kuini", yang artinya "jangan nak, nanti kamu ditahan oleh mereka di sana dan tidak diperbolehkan lagi kembali ke sini", begitu selalu kata Datu Ananku, setiap kali kakekku ingin pergi berkunjung ke Belang Kejeren. Datu ananku sangat takut kalau kakekku yang saat itu terhitung cukup berpendidikan itu sampai berkunjung ke sana. Datu ananku takut nanti kakekku akan dipaksa oleh keluarga datu ananku yang ada di sana untuk tinggal di Rema menggantikan posisi Muyangku yang meninggal saat bertempur dengan Belanda.
Ketika itu wajar Datu Ananku tidak memperbolehkan Kakekku menelusuri jejak keluarga kami di Blang kejeren. Itu karena pada waktu itu, perjalanan ke Belang kejeren tidaklah segampang sekarang. Saat itu untuk pergi ke Blang Kejeren, dibutuhkan perjalanan berhari-hari menembus hutan. Jadi tidak mungkin kalau begitu sampai di sana langsung pamit untuk pulang. Datu Ananku juga takut kakekku tidak pulang karena kedua datuku ini cuma punya dua anak dan kakekku adalah anak laki-laki satu-satunya, sehingga karena menghormati keinginan Datu Ananku, setahuku sampai akhir hayatnya (beliau meninggal dunia tahun 2002) kakekku tidak pernah menginjakkan kaki di Belang Kejeren.
Akibatnya sampai hari ini aku tidak pernah tahu jejak keluargaku di Belang Kejeren.
Tahun 1996, aku bersama teman-teman sekampusku dari Fakultas Teknik Unsyiah, pernah mengadakan acara PBMT (Pekan Bakti Mahasiswa Teknik) di Rema yang tidak lain adalah kampung asal Datu Anan-ku. Sambil mengikuti acara ini, aku menyempatkan diri untuk menelusuri silsilah keluargaku di Kampung itu, tapi dari beberapa orang Tua (seumuran ayahku) yang kuajak bicara, termasuk bapak Geuchik Rema sendiri, tidak seorangpun yang familiar dengan sejarah Datu Anan-ku ini.
Kembali ke kisah Datu merah Mege dan Maulana Ishaq.
Kemungkinan latar belakang keluarga kami yang merupakan keturunan Imem inilah yang membuat asal-usul keluargaku dikaitkan kepada sosok Maulana Ishaq yang kata kakekku adalah Mubaligh yang pertama kali membawa Syi'ar Islam ke tanoh Gayo.
Cuma masalahnya, ketika menceritakan asal-usul keluargaku ini. Ketika skala waktunya sudah di atas abad ke- 20, cara kakekku bercerita sudah sebagaimana layaknya orang yang menceritakan kekeberen. Cerita kakekku bukan lagi berdasarkan fakta yang beliau alami sendiri, tapi sudah bersandar pada kata orang melalui kata orang yang dikisahkan turun-temurun tanpa tercatat.
Dalam bercerita mengenai kisah yang terjadi sebelum abad ke- 20, kakekku tidak pernah bisa memberikan skala waktu yang tepat, contohnya adalah pada cerita tentang silsilah keluarga kami yang kata kakekku merupakan keturunan datu Merah Mege dan juga keturunan langsung Maulana Ishaq.
Dulu saat kakekku masih hidup, aku tidak pernah menanyakan bagaimana kejanggalan ini bisa terjadi. bagaimana mungkin kami yang katanya merupakan keturunan Datu Merah Mege tapi juga sekaligus adalah keturunan langsung Maulana Ishaq (Ini janggal karena di Gayo, silsilah keturunan diurutkan secara paterilineal)
Tapi sekarang aku jadi bingung sendiri, bagaimana ceritanya ini. Apakah Maulana Ishaq itu sebenarnya adalah Muyang Mersa, atau apakah Maulana Ishaq itu adalah bapak dari Muyang Mersa, aku tidak pernah tahu.
Tidak adanya skala waktu yang jelas ini membuatku bingung siapa yang lebih dulu ada, datu Merah Mege atau Maulana Ishaq. Karena kalau kita mengamati kisah Datu Merah Mege yang memelihara anjing dan bertahan hidup dengan makanan yang diantarkan oleh anjing, kemungkinan besar ini adalah kisah dari masa sebelum orang Gayo memeluk Islam.
Kalau benar Muyang Mersa adalah Maulana Ishaq dan Merah Silu yang lebih dikenal dengan nama Malikussaleh adalah Merah Silu anaknya Muyang Mersa, maka seharusnya dia sudah memeluk Islam waktu datang ke Pasai.
Masalah lain yang tidak kurang besar dari semua cerita kakekku ini adalah, kakekku dan orang Gayo lainnya sama sekali tidak bisa menunjukkan bukti tertulis atau benda-benda warisan tokoh-tokoh dalam cerita ini untuk dijadikan bukti tentang keberadaan sosok-sosok tersebut dalam sejarah.
Selain kakekku, orang lain juga banyak yang menceritakan kisah ini, tapi biasanya redaksi dan beberapa detail cerita ini berbeda-beda pada setiap pencerita, sehingga kita jadi tidak bisa sepenuhnya yakin dengan kebenaran cerita-cerita itu.
Kisah yang berbeda-beda ini membuat kita tidak bisa memastikan, Muyang Mersa, Datu Merah Mege, Maulana Ishak dan tokoh-tokoh lain hidup sebelum abad ke -20 yang kisah dan kekeberen tentang mereka disampaikan secara turun-temurun ini benar-benar tokoh yang nyata. Jangan-jangan sebenarnya kisah Datu Merah Mege yang mirip dengan kisah Nabi Yusuf ini adalah cerita rakyat dari tradisi pra islam yang telah disesuaikan dengan cerita-cerita dalam kisah para nabi. Untuk pertanyaan-pertanyaan semacam ini, sampai hari ini kita tidak pernah tahu jawaban yang sebenarnya seperti apa.
Mungkin kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah tokoh-tokoh dalam cerita ini benar-benar nyata atau cuma rekaan saja.
Hanya masalahnya lagi, karena minimnya data, kita pun sulit menentukan untuk memulai penelitian itu dari mana.
Wassalam
Win Wan Nur
Suku Gayo asal Isaq
Isaq, Kampungku yang Bersuhu Hangat
Isaq, adalah nama ibu kota kecamatan Linge yang masuk ke dalam wilayah administrasi kabupaten Aceh Tengah. Tapi meskipun statusnya adalah ibu kota kecamatan, jangan membayangkan Isaq itu sebagaimana layaknya ibukota kecamatan di pulau jawa yang ramai. Karena meskipun statusnya ibu kota kecamatan, tapi Isaq letaknya terpencil di tengah hutan pinus di pedalaman Tanoh Gayo yang ditinggali penduduk yang lebih sedikit dari sebuah RW di Jakarta.
Dari Isaq inilah keluargaku secara turun-temurun berasal.
Kampungku ini berjarak 30 kilometer dari Takengen, yang merupakan ibu kota kabupaten Aceh Tengah yang sekaligus merupakan kota terbesar dan paling ramai di Tanoh Gayo.
Isaq terletak di sebuah lembah di dataran rendah yang hangat. Suhu yang hangat ini membuat Isaq berbeda dengan Takengen yang dingin. Untuk lansekap dan kondisi alam, secara sekilas saja orang langsung bisa melihat perbedaan antara Isaq dan Takengen. Banyaknya pohon kelapa yang merupakan tanaman khas daerah pesisir yang tumbuh di Isaq, adalah perbedaan yang paling mencolok antara alam Isaq dan alam Takengen.
Suhu yang lebih hangat membuat mata pencaharian orang Isaq juga berbeda dengan penduduk Takengen. Jika di Takengen dan sekitarnya yang bersuhu dingin orang banyak mengusahakan kebun kopi sebagai seumber mata pencaharian, kami di Isaq tidak. Di Isaq kami lebih banyak mengusahakan sawah, membuat gula aren (Di Takengen gula ini dikenal dengan nama Gule Isaq) dan memelihara kerbau.
Untuk menuju ke kampungku ini, dari Kota Takengen, orang harus melintasi gunung berhutan primer bernama Bur Lintang.
Dulu, saat kakekku masih muda, untuk bisa mencapai kampungku ini, orang dari Takengen harus menempuh beberapa hari perjalanan berjalan kaki melewati hutan Bur Lintang dengan resiko diterkam harimau.
Aku bersama kakekku tinggal di Isaq antara tahun 1978-1979, saat itu aku masih kecil dan belum bersekolah. Pada waktu itu, di seluruh kecamatan kami itu, sekolah yang ada hanya sampai tingkat sekolah dasar dan itupun hanya ada satu dalam radius 50 kilometer. SMP baru dibangun setelah aku tidak lagi tinggal di sana.
Untuk melanjutkan sekolah ke SMP dan SMA, saat itu warga kampungku harus berangkat ke Takengen. Tidak banyak orang yang berpendidikan tinggi di kampungku ini. Orang berpendidikan paling tinggi di sana adalah Camat, tapi aku tidak pernah mengenal sosoknya, karena dia bertempat tinggal di tepi hutan yang terpisah sekitar satu kilometer di luar kampung kami dan dari yang sering kudengar sepertinya Pak Camat lebih sering ada di Takengen ketimbang di Isaq.
Rumah camat ini berada satu lokasi dengan kantor camat sendiri, kantor Koramil, Polsek dan juga tempat kediaman para personelnya.
Dibandingkan dengan Camat, aku lebih mengenal sosok Dan Ramil karena dia setiap pagi selalu minum kopi di warung samping rumahku.
Di samping sarana pendidikan yang minim, pada waktu aku tinggal di sana listrik juga belum ada. Tapi meskipun begitu, keadaan Isaq yang seperti ini sudah jauh lebih baik dibanding zaman ketika kakekku masih muda.
Saat aku tinggal di Isaq, sudah ada jalan yang menghubungkan Takengen dengan Kampungku ini, meskipun ketika itu jalanan tersebut masih berupa jalan tanah yang diberi pengerasan yang membuat jarak yang hanya 30 kilometer itu harus ditempuh dalam waktu berjam-jam. Sehingga jika pada masa itu kita berada di Takengen dan menyebut nama ISAQ, maka kesan yang ditangkap oleh orang Takengen, Isaq itu adalah sebuah negeri terpencil yang letaknya jauh sekali.
Waktu itu banyak orang Takengen yang percaya kalau orang-orang di kampungku ini rata-rata memiliki ilmu gaib.
Kepercayaan seperti ini membuat orang Takengen cenderung takut berkunjung bahkan ada yang tidak berani sekedar untuk melintasi Isaq. Mungkin karena berbagai cerita yang tidak jelas ini, ditambah hampir tidak adanya daya tarik ekonomi yang cukup kuat dari kampungku ini. Membuat sedikit sekali bahkan hampir tidak ada orang Takengen yang pernah berkunjung ke kampung kami. Orang Takengen yang datang ke Isaq biasanya hanya mereka yang berasal atau memiliki keluarga di kampung kami atau mereka yang bekerja sebagai guru atau pegawai di kantor kecamatan dan institusi pemerintahan yang lain.
Letak Isaq yang terpencil dan udik di mata orang Takengen, sering membuat orang Isaq dijadikan bahan olok-olok penduduk di ibu kota kabupaten ini. Oleh orang Takengen, nama Isaq dicocok-cocokkan dengan kata pekak (bodoh) dan ungak (tai hidung) dalam sebuah syair yang berima, kata-kata itu digunakan untuk mengolok-olok orang Isaq yang mereka bayangkan sebagai, orang udik yang kampungan dan tidak berpendidikan.
* Olok-olok dengan syair yang berima ini adalah khas Gayo, olok-olok seperti ini juga digunakan untuk mengolok-olok orang suku Aceh. Jika oleh orang Aceh, Gayo sering disebut 'urik', oleh orang Gayo, kepada orang suku Aceh yang datang merantau ke Gayo dilekatkan kata tengkang (mengangkang) dan gantang (kentang). Seperti saya yang tidak tahu kenapa kata pekak dan ungak dilekatkan untuk mengolok-olok orang Isaq, saya pun tidak tahu alasan apa yang membuat orang Gayo melekatkan kata 'tengkang' untuk mengolok-olok orang suku Aceh.
Sekarang Isaq sudah tidak lagi terpencil, jalanan yang menghubungkan antara Takengen dan Isaq kini sudah diaspal hotmix sampai ke Belang Kejeren. Tidak jauh dari Isaq, sekarang sudah ada pemukiman yang lebih ramai bernama Jagong- Jeget, bekas hutan lebat yang dijadikan lokasi transmigrasi, sehingga sekarang tempat itu bahkan jadi jauh lebih ramai ketimbang Isaq.
Sekarang setiap hari ada banyak angkutan umum yang melintasi Isaq, baik yang menuju ke Jagong Jeget atau ke Belang Kejeren. Sekarang, dari Takengen menuju ke Isaq bisa ditempuh dalam waktu satu jam saja.
Situasi ini sangat berbeda dibandingkan dengan saat aku masih tinggal di Isaq dulu.
Pada masa itu, bis yang melintasi rute Takengen-Isaq hanya ada dua. Satu milik perusahaan angkutan CV. Menara bernomor 11 dan yang satu lagi milik perusahaan PT. Aceh Tengah bernomor 10. Kedua bis ini berbentuk mini bus berbody karoseri dengan mesin Colt diesel seperti yang biasa dipakai sebagai truk pengangkut pasir. Karena hanya dua dan penduduk yang dilayani pun tidak banyak, hampir semua penduduk kampungku mengenal sopir Bis ini.
Sopir Bis Aceh Tengah 10 sering berganti-ganti, tapi sopir Bis Menara 11 selalu orang yang sama. Sopir Bis ini bernama Alin, seorang etnis Cina yang fasih berbahasa Gayo. Aku memanggilnya dengan nama Cik Alin (Cik adalah singkatan dari kata Pak Cik yang merupakan panggilan umum di Gayo untuk adik bapak). Begitu akrabnya Cik Alin yang sopir Bis Menara 11 ini dengan warga kampungku, sehingga dia sering diundang makan di rumah-rumah warga kampungku. Kakekku yang merupakan imam di mesjid kampung kami ini juga beberapa kali mengundang Cik Alin makan di rumah kami, sehingga akupun menjadi akrab dengannya.
Aku dan kakekku termasuk warga Isaq yang paling sering menggunakan jasa Cik Alin. Kakekku yang pensiunan pegawai negeri sekaligus anggota veteran, paling tidak sebulan sekali pergi ke Takengen untuk mengambil gaji. Dan setiap kali kakekku pergi ke Takengen, aku selalu diajak serta.
Sampai hari ini aku masih bisa membayangkan dengan jelas bagaimana suasana perjalanan antara Isaq- Takengen dan sebaliknya pada waktu itu, terutama saat kami kembali dari Takengen menuju ke Isaq.
Setiap kali menumpang bis ke Isaq, baik dengan Menara 11 atau Aceh tengah 10, aku dan kakekku selalu diberi kehormatan untuk duduk di depan, di samping sopir.
Untuk berangkat ke Isaq, kami naik di terminal bis Takengen. Dari sana nanti Bis akan berjalan ke arah Toa, dalam perjalanan ini bis selalu berhenti di simpang Wariji dan PNP (gudang dan perumahan karyawan perusahaan PNP yang terletak di seberang lapangan Musara Alun) untuk menaikkan penumpang. Lewat dari PNP salah seorang penumpang akan berteriak, "hiburan". Lalu Cik Alin mengambil kaset, memukul-mukulkannya di telapak tangan dan memasukkannya ke dalam tape recorder bis miliknya dan mengalunlah lagu-lagu populer masa itu yang biasanya adalah lagu dangdut.
Sampai ke Relop jalan masih bagus dan beraspal (meski bukan aspal hotmix), tapi ketika jalanan menanjak memasuki kawasan Bur Lintang, jalanan tidak lagi sebaik sebelumnya, sehingga bis harus berjalan pelan-pelan dan bergoyang ke kanan kekiri. Keadaan seperti ini ditambah dengan bercampurnya berbagai aroma dalam bis ini membuat banyak penumpang merasa mual. Aku termasuk yang paling sering muntah saat melakukan perjalanan ini.
Sepertinya perjalanan antara Takengen- Isaq dalam bis yang bau dan bergoyang-goyang mengocok perut sambil diiringi lagu dangdut yang sering kulakukan di masa kecil bersama kakekku ini begitu membekas bagiku, sehingga sampai hari ini aku langsung merasa mual setiap kali mendengar lagu dangdut. Setiap kali mendengar jenis lagu ini, aku otomatis merasa seperti sedang berada dalam bis yang menuju ke Isaq. (Bahkan saat menuliskan ini pun perutku terasa mual)
Pada waktu tinggal di Isaq dulu, hutan di di Bur Lintang masih sangat lebat.
Hutan di gunung ini adalah hutan primer yang hijau, basah dan dingin. Tidak peduli musim kemarau atau musim penghujan, di sepanjang jalan yang membelah hutan ini aku sering melihat air yang mengalir dari dalam hutan, tumpah ke dalam parit-parit pembatas jalan. Kadang bis berhenti ditempat air-air yang mengalir itu untuk mengisi air radiator. Saat seperti ini sering dimanfaatkan oleh penumpang untuk memetik empan, sejenis tanaman bumbu yang berasa kebas seperti peppermint yang banyak tumbuh liar di tepi jalan di hutan Bur Lintang.
Setelah mencapai titik puncak Bur Lintang, jalanan mulai menurun dan suhu pun semakin lama menjadi semakin hangat, vegetasi alam pun berubah.
Jika sebelumnya hutan yang dilalui adalah hutan primer yang lebat dan basah, setelah beberapa waktu melewati jalanan yang menurun ini bis akan melewati hutan pinus yang suasananya sangat berbeda dengan hutan primer di Bur Lintang. Hutan pinus ini di bawahnya terlihat lapang dan kering serta ditumbuhi rumput-rumputan, tidak seperti hutan primer yang terlihat rapat dan basah dipenuhi berbagai vegetasi khas hutan tropis. Di dalam hutan pinus ini, sesekali aku melihat kerbau berkeliaran bebas sambil merumput atau sedang santai berkubang. Karakter tanah di hutan pinus ini juga tidak sama dengan di Bur Lintang, di hutan pinus ini tanahnya berwarna merah, tidak hitam seperti seperti di Bur Lintang
Di beberapa tempat dalam hutan pinus ini, juga tumbuh tanaman liar yang kami sebut 'terpuk'. Tanaman ini memiliki batang dan daun yang mirip dengan lengkuas, tapi terpuk tumbuh dengan ukuran yang jauh lebih tinggi. Sepertinya kedua tanaman ini adalah famili yang sama dalam taksonomi.
Di Gayo, kami menggunakan bunga tanaman ini sebagai sayuran dengan rasa yang khas. Biasanya terpuk kami gulai bersama dengan ikan dan empan sebagai penyedap. Gulai ini kami masak sampai kuahnya kering, dalam bahasa Gayo masakan seperti ini kami namakan pengat.
Selain terpuk ada juga tanaman seperti ini bernama 'serule' yang sekilas bentuknya sama dengan 'Terpuk' tapi tidak memiliki bunga. Tapi meskipun tidak memiliki bunga seperti terpuk, serule memiliki buah yang didalamnya dipenuhi biji seperti buah jambu biji dengan rasa yang manis. Waktu kecil aku dan teman-temanku lebih menyukai Serule ketimbang terpuk. Tapi bagi orang dewasa, bagian tanaman ini yang berguna hanya bagian daunnya yang dimanfaatkan untuk bahan pembuat atap rumah.
Dalam Hutan pinus ini terdapat banyak pondok pengawas milik PNP. Sebuah perusahaan negara yang mengelola produksi getah pinus alias terpentin. Kadang-kadang kita juga bisa menemui pekerja yang sedang menyadap getah pinus itu. Mereka hampir semuanya adalah pekerja suku Jawa yang konon dulunya dibawa oleh Belanda dari negeri mereka yang jauh di seberang laut.
Di beberapa tempat aku melihat perkampungan yang didiami oleh pekerja-pekerja suku jawa ini. Salah satunya yang paling aku ingat ada di sebuah tempat yang bernama Air Asin, tempat ini aku ingat karena dari sini Isaq sudah tidak terlalu jauh. Tapi ketika beberapa tahun kemudian saat aku sudah duduk di bangku SD, kulihat desa ini sudah ditinggalkan penghuninya, rumah-rumah termasuk mesjid yang ada di desa ini tampak tidak terawat dan kemudian hancur dengan sendirinya.
Tidak lama setelah melewati Air Asin, aku akan segera melihat persawahan dan sungai yang membelah lembah Isaq beserta dengan pohon-pohon kelapa yang merupakan tanaman khas daerah Isaq yang tidak bisa kita temukan di Takengen yang bersuhu dingin.
Setelah itu bis akan melewati lokasi pusat pemerintahan dan tempat kediaman para personelnya dan tidak lama kemudian Bis pun tiba di lembah Isaq yang hangat. Tempat aku menghabiskan masa kecilku sebelum aku mulai bersekolah.
Wassalam
Win Wan Nur
Suku Gayo asal Isaq
Dari Isaq inilah keluargaku secara turun-temurun berasal.
Kampungku ini berjarak 30 kilometer dari Takengen, yang merupakan ibu kota kabupaten Aceh Tengah yang sekaligus merupakan kota terbesar dan paling ramai di Tanoh Gayo.
Isaq terletak di sebuah lembah di dataran rendah yang hangat. Suhu yang hangat ini membuat Isaq berbeda dengan Takengen yang dingin. Untuk lansekap dan kondisi alam, secara sekilas saja orang langsung bisa melihat perbedaan antara Isaq dan Takengen. Banyaknya pohon kelapa yang merupakan tanaman khas daerah pesisir yang tumbuh di Isaq, adalah perbedaan yang paling mencolok antara alam Isaq dan alam Takengen.
Suhu yang lebih hangat membuat mata pencaharian orang Isaq juga berbeda dengan penduduk Takengen. Jika di Takengen dan sekitarnya yang bersuhu dingin orang banyak mengusahakan kebun kopi sebagai seumber mata pencaharian, kami di Isaq tidak. Di Isaq kami lebih banyak mengusahakan sawah, membuat gula aren (Di Takengen gula ini dikenal dengan nama Gule Isaq) dan memelihara kerbau.
Untuk menuju ke kampungku ini, dari Kota Takengen, orang harus melintasi gunung berhutan primer bernama Bur Lintang.
Dulu, saat kakekku masih muda, untuk bisa mencapai kampungku ini, orang dari Takengen harus menempuh beberapa hari perjalanan berjalan kaki melewati hutan Bur Lintang dengan resiko diterkam harimau.
Aku bersama kakekku tinggal di Isaq antara tahun 1978-1979, saat itu aku masih kecil dan belum bersekolah. Pada waktu itu, di seluruh kecamatan kami itu, sekolah yang ada hanya sampai tingkat sekolah dasar dan itupun hanya ada satu dalam radius 50 kilometer. SMP baru dibangun setelah aku tidak lagi tinggal di sana.
Untuk melanjutkan sekolah ke SMP dan SMA, saat itu warga kampungku harus berangkat ke Takengen. Tidak banyak orang yang berpendidikan tinggi di kampungku ini. Orang berpendidikan paling tinggi di sana adalah Camat, tapi aku tidak pernah mengenal sosoknya, karena dia bertempat tinggal di tepi hutan yang terpisah sekitar satu kilometer di luar kampung kami dan dari yang sering kudengar sepertinya Pak Camat lebih sering ada di Takengen ketimbang di Isaq.
Rumah camat ini berada satu lokasi dengan kantor camat sendiri, kantor Koramil, Polsek dan juga tempat kediaman para personelnya.
Dibandingkan dengan Camat, aku lebih mengenal sosok Dan Ramil karena dia setiap pagi selalu minum kopi di warung samping rumahku.
Di samping sarana pendidikan yang minim, pada waktu aku tinggal di sana listrik juga belum ada. Tapi meskipun begitu, keadaan Isaq yang seperti ini sudah jauh lebih baik dibanding zaman ketika kakekku masih muda.
Saat aku tinggal di Isaq, sudah ada jalan yang menghubungkan Takengen dengan Kampungku ini, meskipun ketika itu jalanan tersebut masih berupa jalan tanah yang diberi pengerasan yang membuat jarak yang hanya 30 kilometer itu harus ditempuh dalam waktu berjam-jam. Sehingga jika pada masa itu kita berada di Takengen dan menyebut nama ISAQ, maka kesan yang ditangkap oleh orang Takengen, Isaq itu adalah sebuah negeri terpencil yang letaknya jauh sekali.
Waktu itu banyak orang Takengen yang percaya kalau orang-orang di kampungku ini rata-rata memiliki ilmu gaib.
Kepercayaan seperti ini membuat orang Takengen cenderung takut berkunjung bahkan ada yang tidak berani sekedar untuk melintasi Isaq. Mungkin karena berbagai cerita yang tidak jelas ini, ditambah hampir tidak adanya daya tarik ekonomi yang cukup kuat dari kampungku ini. Membuat sedikit sekali bahkan hampir tidak ada orang Takengen yang pernah berkunjung ke kampung kami. Orang Takengen yang datang ke Isaq biasanya hanya mereka yang berasal atau memiliki keluarga di kampung kami atau mereka yang bekerja sebagai guru atau pegawai di kantor kecamatan dan institusi pemerintahan yang lain.
Letak Isaq yang terpencil dan udik di mata orang Takengen, sering membuat orang Isaq dijadikan bahan olok-olok penduduk di ibu kota kabupaten ini. Oleh orang Takengen, nama Isaq dicocok-cocokkan dengan kata pekak (bodoh) dan ungak (tai hidung) dalam sebuah syair yang berima, kata-kata itu digunakan untuk mengolok-olok orang Isaq yang mereka bayangkan sebagai, orang udik yang kampungan dan tidak berpendidikan.
* Olok-olok dengan syair yang berima ini adalah khas Gayo, olok-olok seperti ini juga digunakan untuk mengolok-olok orang suku Aceh. Jika oleh orang Aceh, Gayo sering disebut 'urik', oleh orang Gayo, kepada orang suku Aceh yang datang merantau ke Gayo dilekatkan kata tengkang (mengangkang) dan gantang (kentang). Seperti saya yang tidak tahu kenapa kata pekak dan ungak dilekatkan untuk mengolok-olok orang Isaq, saya pun tidak tahu alasan apa yang membuat orang Gayo melekatkan kata 'tengkang' untuk mengolok-olok orang suku Aceh.
Sekarang Isaq sudah tidak lagi terpencil, jalanan yang menghubungkan antara Takengen dan Isaq kini sudah diaspal hotmix sampai ke Belang Kejeren. Tidak jauh dari Isaq, sekarang sudah ada pemukiman yang lebih ramai bernama Jagong- Jeget, bekas hutan lebat yang dijadikan lokasi transmigrasi, sehingga sekarang tempat itu bahkan jadi jauh lebih ramai ketimbang Isaq.
Sekarang setiap hari ada banyak angkutan umum yang melintasi Isaq, baik yang menuju ke Jagong Jeget atau ke Belang Kejeren. Sekarang, dari Takengen menuju ke Isaq bisa ditempuh dalam waktu satu jam saja.
Situasi ini sangat berbeda dibandingkan dengan saat aku masih tinggal di Isaq dulu.
Pada masa itu, bis yang melintasi rute Takengen-Isaq hanya ada dua. Satu milik perusahaan angkutan CV. Menara bernomor 11 dan yang satu lagi milik perusahaan PT. Aceh Tengah bernomor 10. Kedua bis ini berbentuk mini bus berbody karoseri dengan mesin Colt diesel seperti yang biasa dipakai sebagai truk pengangkut pasir. Karena hanya dua dan penduduk yang dilayani pun tidak banyak, hampir semua penduduk kampungku mengenal sopir Bis ini.
Sopir Bis Aceh Tengah 10 sering berganti-ganti, tapi sopir Bis Menara 11 selalu orang yang sama. Sopir Bis ini bernama Alin, seorang etnis Cina yang fasih berbahasa Gayo. Aku memanggilnya dengan nama Cik Alin (Cik adalah singkatan dari kata Pak Cik yang merupakan panggilan umum di Gayo untuk adik bapak). Begitu akrabnya Cik Alin yang sopir Bis Menara 11 ini dengan warga kampungku, sehingga dia sering diundang makan di rumah-rumah warga kampungku. Kakekku yang merupakan imam di mesjid kampung kami ini juga beberapa kali mengundang Cik Alin makan di rumah kami, sehingga akupun menjadi akrab dengannya.
Aku dan kakekku termasuk warga Isaq yang paling sering menggunakan jasa Cik Alin. Kakekku yang pensiunan pegawai negeri sekaligus anggota veteran, paling tidak sebulan sekali pergi ke Takengen untuk mengambil gaji. Dan setiap kali kakekku pergi ke Takengen, aku selalu diajak serta.
Sampai hari ini aku masih bisa membayangkan dengan jelas bagaimana suasana perjalanan antara Isaq- Takengen dan sebaliknya pada waktu itu, terutama saat kami kembali dari Takengen menuju ke Isaq.
Setiap kali menumpang bis ke Isaq, baik dengan Menara 11 atau Aceh tengah 10, aku dan kakekku selalu diberi kehormatan untuk duduk di depan, di samping sopir.
Untuk berangkat ke Isaq, kami naik di terminal bis Takengen. Dari sana nanti Bis akan berjalan ke arah Toa, dalam perjalanan ini bis selalu berhenti di simpang Wariji dan PNP (gudang dan perumahan karyawan perusahaan PNP yang terletak di seberang lapangan Musara Alun) untuk menaikkan penumpang. Lewat dari PNP salah seorang penumpang akan berteriak, "hiburan". Lalu Cik Alin mengambil kaset, memukul-mukulkannya di telapak tangan dan memasukkannya ke dalam tape recorder bis miliknya dan mengalunlah lagu-lagu populer masa itu yang biasanya adalah lagu dangdut.
Sampai ke Relop jalan masih bagus dan beraspal (meski bukan aspal hotmix), tapi ketika jalanan menanjak memasuki kawasan Bur Lintang, jalanan tidak lagi sebaik sebelumnya, sehingga bis harus berjalan pelan-pelan dan bergoyang ke kanan kekiri. Keadaan seperti ini ditambah dengan bercampurnya berbagai aroma dalam bis ini membuat banyak penumpang merasa mual. Aku termasuk yang paling sering muntah saat melakukan perjalanan ini.
Sepertinya perjalanan antara Takengen- Isaq dalam bis yang bau dan bergoyang-goyang mengocok perut sambil diiringi lagu dangdut yang sering kulakukan di masa kecil bersama kakekku ini begitu membekas bagiku, sehingga sampai hari ini aku langsung merasa mual setiap kali mendengar lagu dangdut. Setiap kali mendengar jenis lagu ini, aku otomatis merasa seperti sedang berada dalam bis yang menuju ke Isaq. (Bahkan saat menuliskan ini pun perutku terasa mual)
Pada waktu tinggal di Isaq dulu, hutan di di Bur Lintang masih sangat lebat.
Hutan di gunung ini adalah hutan primer yang hijau, basah dan dingin. Tidak peduli musim kemarau atau musim penghujan, di sepanjang jalan yang membelah hutan ini aku sering melihat air yang mengalir dari dalam hutan, tumpah ke dalam parit-parit pembatas jalan. Kadang bis berhenti ditempat air-air yang mengalir itu untuk mengisi air radiator. Saat seperti ini sering dimanfaatkan oleh penumpang untuk memetik empan, sejenis tanaman bumbu yang berasa kebas seperti peppermint yang banyak tumbuh liar di tepi jalan di hutan Bur Lintang.
Setelah mencapai titik puncak Bur Lintang, jalanan mulai menurun dan suhu pun semakin lama menjadi semakin hangat, vegetasi alam pun berubah.
Jika sebelumnya hutan yang dilalui adalah hutan primer yang lebat dan basah, setelah beberapa waktu melewati jalanan yang menurun ini bis akan melewati hutan pinus yang suasananya sangat berbeda dengan hutan primer di Bur Lintang. Hutan pinus ini di bawahnya terlihat lapang dan kering serta ditumbuhi rumput-rumputan, tidak seperti hutan primer yang terlihat rapat dan basah dipenuhi berbagai vegetasi khas hutan tropis. Di dalam hutan pinus ini, sesekali aku melihat kerbau berkeliaran bebas sambil merumput atau sedang santai berkubang. Karakter tanah di hutan pinus ini juga tidak sama dengan di Bur Lintang, di hutan pinus ini tanahnya berwarna merah, tidak hitam seperti seperti di Bur Lintang
Di beberapa tempat dalam hutan pinus ini, juga tumbuh tanaman liar yang kami sebut 'terpuk'. Tanaman ini memiliki batang dan daun yang mirip dengan lengkuas, tapi terpuk tumbuh dengan ukuran yang jauh lebih tinggi. Sepertinya kedua tanaman ini adalah famili yang sama dalam taksonomi.
Di Gayo, kami menggunakan bunga tanaman ini sebagai sayuran dengan rasa yang khas. Biasanya terpuk kami gulai bersama dengan ikan dan empan sebagai penyedap. Gulai ini kami masak sampai kuahnya kering, dalam bahasa Gayo masakan seperti ini kami namakan pengat.
Selain terpuk ada juga tanaman seperti ini bernama 'serule' yang sekilas bentuknya sama dengan 'Terpuk' tapi tidak memiliki bunga. Tapi meskipun tidak memiliki bunga seperti terpuk, serule memiliki buah yang didalamnya dipenuhi biji seperti buah jambu biji dengan rasa yang manis. Waktu kecil aku dan teman-temanku lebih menyukai Serule ketimbang terpuk. Tapi bagi orang dewasa, bagian tanaman ini yang berguna hanya bagian daunnya yang dimanfaatkan untuk bahan pembuat atap rumah.
Dalam Hutan pinus ini terdapat banyak pondok pengawas milik PNP. Sebuah perusahaan negara yang mengelola produksi getah pinus alias terpentin. Kadang-kadang kita juga bisa menemui pekerja yang sedang menyadap getah pinus itu. Mereka hampir semuanya adalah pekerja suku Jawa yang konon dulunya dibawa oleh Belanda dari negeri mereka yang jauh di seberang laut.
Di beberapa tempat aku melihat perkampungan yang didiami oleh pekerja-pekerja suku jawa ini. Salah satunya yang paling aku ingat ada di sebuah tempat yang bernama Air Asin, tempat ini aku ingat karena dari sini Isaq sudah tidak terlalu jauh. Tapi ketika beberapa tahun kemudian saat aku sudah duduk di bangku SD, kulihat desa ini sudah ditinggalkan penghuninya, rumah-rumah termasuk mesjid yang ada di desa ini tampak tidak terawat dan kemudian hancur dengan sendirinya.
Tidak lama setelah melewati Air Asin, aku akan segera melihat persawahan dan sungai yang membelah lembah Isaq beserta dengan pohon-pohon kelapa yang merupakan tanaman khas daerah Isaq yang tidak bisa kita temukan di Takengen yang bersuhu dingin.
Setelah itu bis akan melewati lokasi pusat pemerintahan dan tempat kediaman para personelnya dan tidak lama kemudian Bis pun tiba di lembah Isaq yang hangat. Tempat aku menghabiskan masa kecilku sebelum aku mulai bersekolah.
Wassalam
Win Wan Nur
Suku Gayo asal Isaq
Langganan:
Postingan (Atom)