Kamis, 25 Februari 2010

Takut Menghadapi Konflik, Bertemu Dengan Bencana

Ketika seorang anak mengalami penyakit kudis di kepala, bagaimana cara orang tua menghadapinya?.

Pertama, untuk menghindari konflik dengan si anak karena si anak tidak tahan rasa sakit dan menangis meraung-raung kalau kudisnya disentuh, si orang tua memilih mengobati kudis di kepala dengan membiarkan rambut di kepala si anak menghalangi pengobatan, dengan resiko kudis itu tidak akan sembuh sempurna.

Atau cara kedua memilih sedikit berkonflik dengan si anak dengan cara mencukur habis rambut si anak di bagian kepala yang berkudis yang akan membuat penyakit kudis itu bisa diobati sampai sembuh sempurna dengan resiko berkonflik dengan si anak yang meraung-raung kesakitan saat rambut di bagian kepalanya yang berkudis dicukur.

Banyak orang tua yang karena besarnya rasa sayang, tidak tega melihat raungan anaknya yang kesakitan, menghindari konflik kecil dan memilih memelihara penyakit seperti itu. Mereka memilih memberikan pengobatan yang hanya mengurangi sedikit rasa sakit tapi tidak bisa mengobati kudis ini sampai tuntas. Pilihan seperti ini sekilas terlihat paling bijaksana karena membuat si anak senang, tapi resikonya, kudis yang tidak diobati dengan sempurna itu perlahan-lahan akan meluas dan akhirnya akan meneginfeksi seluruh kulit kepala yang akan membuat si anak akan sangat menderita. Pada akhirnya, kalau mereka tidak mau anaknya menderita seumur hidup, mereka pun terpaksa harus mau berkonflik besar dengan si anak karena harus mencukur seluruh bagian kepala yang semuanya telah ditumbuhi kudis.

Perilaku menghindari konflik kecil seperti yang ditunjukkan oleh orang tua dalam menghadapi masalah seperti yang saya gambarkan dalam ilustrasi di atas adalah perilaku umum yang dapat kita temui dalam setiap masyarakat di belahan dunia manapun, dalam menghadapi masalah apapun.

Di Indonesia, dulu (bahkan sampai sekarang) kita mengenal hantu bernama SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), yang tabu untuk diomongkan.

Men-tabu-kan pembicaraan atau diskusi yang menyangkut SARA ini, sekilas terlihat di permukaan mampu meredam konflik antar masyarakat yang sedemikian majmuk.

Pada kenyataannya, pelarangan ini sama saja dengan memelihara kudis di kepala. Di permukaan, pelarangan ini memang berhasil menghindarkan masyarakat dari 'konflik-konflik kecil'. Padahal 'konflik-konflik kecil' ini sebenarnya berguna untuk mengobati kudis sebelum penyakit itu meluas menginfeksi seluruh bagian kepala. Tapi karena dilarang untuk didiskusikan, maka masalah SARA yang tabu didiskusikan ini seolah terselesaikan padahal inti permasalahannya sama sekali tidak hilang.

Seperti kudis di kepala yang tidak tuntas tersembuhkan, masalah SARA yang tabu dibicarakan itupun terendapkan, terakumulasi sedikit demi sedikit, tanpa disadari semakin lama semakin membesar dan pada saatnya ketika tekanan sudah sedemikian besar, masalah itu pun meledak menjadi konflik besar secara fisik yang berdarah-darah seperti yang kita saksikan terjadi di Ambon dan di Poso.

Dalam skala yang lebih kecil, di Aceh, men-Tabu-kan pembicaraan soal SARA telah membuat akumulasi kekecewaan suku-suku minoritas terhadap suku Aceh yang mayoritas, membesar. Kekecewaan yang membesar inilah yang telah memunculkan ide pembentukan provinsi baru ALA dan ABAS yang terpisah dari provinsi Aceh.

Apa yang terjadi terhadap pemerintahan Orde Baru yang anti kritik juga sama.

Pemerintahan pada masa itu sangat alergi terhadap segala konflik kecil-kecil. Pada masa itu semua kritik yang ditujukan kepada pemerintah ditanggapi secara berlebihan, sehingga ketika semuanya terakumulasi, meledaklah sebuah konflik besar yang menjatuhkan pemerintahan Soeharto.

Pola yang sama juga dapat kita saksikan pada kejatuhan ekonomi Amerika beberapa waktu yang lalu.

Dulu Amerika adalah negara yang sangat produktif sehingga mereka bisa menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Ini bisa terjadi karena dibandingkan eropa dan jepang mereka sedikit sekali mengalami kerusakan pasca Perang Dunia II. Situasi ini membuat mereka bisa leluasa mengembangkan industrinya, sehingga lebih dari separuh barang produksi yang ada di pasar dunia pada masa itu disumbangkan oleh Amerika.

Industri mobil Amerika, Ford, Chrysler dan GM waktu itu nyaris tanpa pesaing, begitu juga dengan industri baja, mesin manufaktur, aluminium, pesawat dan sebagainya. Situasi ini membuat lebih dari separuh transaksi mata uang Global ada dalam mata uang DOLLAR AMERIKA.

Situasi perekonomian yang nyaman ini membuat masyarakat Amerika menjadi masyarakat yang konsumtif, perlahan-lahan mereka menjadi sangat konsumtif dan semakin konsumtif.

Sementara itu negara-negara lain pun mulai menata ekonominya, tanpa disadari oleh orang Amerika sendiri, sedikit demi sedikit kekuatan ekonomi Amerika sudah tidak lagi sedominan pasca perang dunia II dulu. Tanpa disadari oleh banyak orang Amerika, peta ekonomi dunia berubah. Eropa, Jepang, Korea, India, bahkan Cina dan lain-lain telah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru. Industri Amerika tidak lagi sedigjaya dulu, untuk mobil misalnya, sekarang dunia malah lebih akrab dengan merk Toyoya, Nissan, Honda dan berbagai merk Jepang lainnya bahkan KIA dan Hyundai yang nota bene merk Korea, ketimbang Chevrolet, Ford dan merk-merk Amerika lainnya yang dulu pernah sangat dominan dalam pasar otomotif dunia.

Situasi ini membuat AMERIKA sekarang bukan lagi negara PRODUSEN seperti setalah PD II dulu, tapi sebaliknya sekarang mereka adalah negara KONSUMEN, defisit perdagangan mereka 800 MILYAR DOLLAR PER TAHUN, pertumbuhan rata-rata impor rata-rata tiga kali lipat pertumbuhan rata-rata ekspor.

Ketika dulu presiden Bush naik menggantikan Clinton, Ekonomi AS dibangunnya atas paradigma besar pasak daripada tiang. Perdagangan luar negeri mereka mengalami defisit, tapi APBN mereka terus meningkat bahkan mereka mampu membiayai perang di Iraq yang berlangsung bertahun-tahun. Perang yang sebulannya menghabiskan biaya 10 Milyar Dollar.

Sementara itu masyarakat Amerika sendiri sudah terlanjur nyaman dengan perilaku konsumtifnya. Pada akhirnya dari yang dulunya merupakan masyarakat paling produktif, masyarakat Amerika telah berubah menjadi masyarakat yang paling konsumtif di dunia. Bahkan ekonomi Amerika sangat bertumpu pada konsumsi, tanpa adanya konsumsi yang tinggi, ekonomi Amerika langsung mati.

Tapi karena minimnya produksi, orang Amerika yang konsumtif jadi tidak bisa lagi menabung. Tingkat tabungan masyarakat Amerika sangat rendah. Banyak rumah tangga Amerika memiliki utang rumah tangga yang lebih besar dari penghasilan yang mereka dapatkan per bulan.

Lalu selama ini bagaimana Amerika mampu membiayai ekonominya yang boros itu? jawabnya ya sama seperti yang dilakukan oleh warga negaranya, yaitu BERUTANG. Mereka menerbitkan beragam surat utang, entah itu pemerintah atau juga swasta. Surat-surat utang ini kemudian dibeli oleh investor dari berbagai belahan dunia, jaminannya apa?...Reputasi Amerika sendiri yang berdasarkan pada kepercayaan bahwa Amerika memiliki fundamen ekonomi yang kuat. Solusi mengatasi masalah ekonomi seperti disebut dengan ekonomi gelembung alias 'Bubble Economy'.

Pemerintah Amerika tidak mau sedikit berkonflik dengan masyarakatnya (atau lebih tepat disebut ketakutan tidak akan dipilih lagi) dengan cara mendidik mereka untuk kembali produktif dan mengurangi perilaku konsumtif.

Sikap pemerintah Amerika ini persis sama seperti sikap orang tua yang tidak tahan mendengar raungan anaknya ketika rambut dibagian kulit kepalanya yang berkudis dicukur untuk bisa diobati secara tuntas.

Seperti ditulis Budiarto Shambazy di kolom politika Kompas 7-oktober 2008 silam, pada tanggal 22 Maret 2007, melihat ketidakberesan sektor keuangan di Amerika, Obama dalam kapasitasnya sebagai senator pernah menyurati Gubernur The Fed, Ben Bernanke dan Menkeu Henry Paulson, dalam suratnya Obama meminta mereka berdua untuk mengadakan KTT kepemilikan rumah dengan Bank, Investor, Lembaga pemberi kredit dan lembaga perlindungan konsumen. Tapi dua pejabat penting itu tidak mengindahkan surat Obama.

Hasil perilaku seperti ini apa?...BENCANA keruntuhan ekonomi Amerika yang memicu krisis global sebagaimana kita saksikan beberapa waktu yang lalu.

Seperti dalam politik dan ekonomi, dalam kehidupan beragama pun efek yang ditimbulkan oleh perilaku menghindar dari 'konflik' kecil seperti ini juga sama.

Dalam kehidupan beragama, kadang-kadang kita dihadapkan pada sekelompok orang yang memaksakan kehendak dan memaksakan penafsirannya sendiri terhadap teks-teks agama dan menuduh orang yang berbeda pandangan dengan cap buruk yang macam-macam.

Di Aceh contohnya, orang-orang semacam ini sudah mulai berani menunjukkan diri terang-terangan. Di negeri saya ini, mereka misalnya memonopoli ruang opini di media massa dan dengan angkuhnya mengancam setiap orang yang berani menuliskan opini berbeda.

Akibat adanya ancaman semacam ini, ketika terjadi pemerkosaan yang dilakukan oleh WH beberapa waktu yang lalu, banyak intelektual Aceh yang tidak berani beropini di media lokal untuk menghantam inti permasalahan yang membuat tragedi ini terjadi.

Pasca terjadinya Tragedi Langsa tersebut, saya membaca sebuah tulisan di sebuah media cetak nasional yang sangat objektif memandang masalah itu. Penulisnya adalah seorang perempuan berjilbab yang jelas beragama Islam.

Membaca tulisannya, saya bertanya kepada penulis artikel ini, "kenapa tidak mengirimkan tulisan yang sama ke media lokal?",

"nggak bisa bang, kalau yang seperti ini kita tulis di media lokal, besoknya akan datang berhamburan berbagai opini yang menyebut kita kafir, murtad, anti islam sampai menghalalkan darah kita" jawabnya dengan nada miris. Begitulah situasi di Aceh sekarang.

Di aceh, sebenarnya perilaku sekelompok orang ini jelas sudah sangat mengganggu. Tapi para intelektual Aceh seolah kehilangan akal dalam menghadapi perilaku mereka yang mau menang sendiri itu.

Padahal situasi seperti ini sebetulnya tidak terlalu sulit untuk dihadapi.

Untuk menghadapi perilaku sekelompok orang yang suka memaksakan kehendak dan pemikiran ini, caranya cukup dengan membuka 'konflik' kecil dengan menantang mereka beradu gagasan terhadap masalah yang tidak mereka sepakati. Biarkan mereka menyumpah-nyumpah dan memaki-maki dan biarkan masyarakat luas yang menilai argumen-argumen dalam debat ini.

Tapi sayangnya banyak kalangan dalam masyarakat Aceh, dengan alasan menjaga ukhuwah islamiyah dan tidak ingin ada pertentangan di antara saudara seiman, tidak menginginkan adanya adu opini semacam ini, mereka lebih memilih bersikap sabar, mendiamkan, mentolerir dan membiarkan perilaku fasis yang dipraktekkan sekelompok orang ini.

Dengan bersikap fasif untuk menghindar dari konflik seperti itu, kalangan ini merasa telah bersikap netral dan merasa telah berbuat adil sesama saudara seiman.

Mereka seolah menutup mata dan seperti tidak menyadari kalau perilaku orang-orang yang suka memaksakan kehendak dan pemikiran yang mereka biarkan ini, padahal sebenarnya perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang yang suka memaksakan kehendak dan pemikiran ini sudah pada taraf yang sangat berbahaya karena sudah sampai pada tahap ancam-mengancam (secara fisik), mengkafirkan dan memurtadkan umat Islam lain.

Dengan memilih sikap 'netral' seperti ini, tanpa mereka sadari, kalangan yang tidak mau repot dan suka memilih 'jalan aman' ini sebenarnya sedang bersikap persis seperti orang tua yang tidak tahan mendengar raungan anaknya sebagaimana saya ceritakan dalam ilustrasi di atas. Dengan memilih sikap 'netral' seperti ini, mereka sebenarnya sedang bersikap seperti Soeharto dan pemerintah Amerika yang mendewakan stabilitas dan sangat anti terhadap setiap 'konflik' kecil yang sebenarnya perlu ada untuk menghindari terjadinya konflik besar yang berpotensi menyebabkan kerusakan besar pula.

Kalau melihat doktrin agamanya, sebenarnya terjadinya pembiaran Sikap yang ditunjukkan sebagian kalangan dalam masyarakat Islam ini terasa janggal dan sangatlah aneh. Hal ini terasa aneh karena dalam agama Islam, umatnya tidak pernah diajarkan untuk "Memberikan Pipi Kiri saat Pipi Kanan ditampar"

Sebelum bibit-bibit konflik ini terakumulasi menjadi BENCANA konflik besar secara fisik yang berdarah-darah, pembiaran semacam ini harus cepat diakhiri.

Dalam situasi sekarang, sangatlah bijaksana kalau kita membiarkan bahkan kalau perlu memulai 'konflik-konflik' kecil dengan orang-orang yang suka memaksakan kehendak dan pemikiran ini dalam bentuk DISKURSUS alias DEBAT INTELEKTUAL. Kalau orang-orang yang suka memaksakan kehendak dan pemikiran ini terus menghindar (dari DISKURSUS alias DEBAT INTELEKTUAL), kita pun tidak perlu ragu untuk mengikuti 'aturan permainan' yang mereka buat, kalau cara seperti itu memang diperlukan.

Ini perlu kita lakukan supaya kudis yang masih sedikit ini tidak menjalar menginfeksi seluruh kulit kepala. Kita harus tega mencukur rambut dibagian kepala yang berkudis itu, biarkan si anak meraung-raung sebentar, tapi setelah itu kudis di kepalanya bisa diobati sampai sembuh total.

Wassalam

Win Wan Nur
Orang Aceh suku GAYO beragama ISLAM

Tidak ada komentar: