Lama tidak mengikuti perkembangan milis saya menemukan satu pembahasan menarik tentang sejarah asal-usul Gayo yang dikaitkan dengan kekeberan yang diceritakan oleh Almarhum Tgk Ilyas Leubee.
Bagi saya sendiri dan mungkin juga banyak orang Gayo, tokoh Tgk Ilyas Leubee ini adalah satu sosok istimewa yang sudah menjadi legenda dalam arti sebenarnya, cerita tentang beliau sendiripun di banyak tempat sudah bercampur antara kenyataan dan fiksi, banyak cerita yang beredar di kalangan masyarakat Gayo tentang keistimewaan dan tingginya ilmu beliau baik dalam pengertian ilmu agama maupun ilmu olah kanuragan. Meskipun saya sendiri hadir di rumah beliau di bandar lampahan ketika beliau meninggal dunia, karena diajak oleh ibu saya, kebetulan waktu itu ibu saya bertugas sebagai guru di SD Inpres Karang Jadi, tidak jauh dari Bandar Lampahan, saya sendiripun bersekolah di sekolah yang sama dan saat itu masih duduk di kelas satu.
Tapi karena waktu itu saya masih kecil dan belum mengerti apa-apa, saya sama sekali tidak menyadari siapa dan sebesar apa tokoh yang meninggal ini. Kemudian ketika saya agak besar saya banyak mendengar obrolan-obrolan diantara orang-orang tua tentang beliau, dari situ saya tahu betapa besar tokoh ini terutama di kalangan orang Gayo yang tinggal dalam domain Ciq atau kalau dalam pembagian praktek keagamaan di Tanoh Gayo disebut 'kaum tue'. salah satu yang tidak percaya bahwa Tgk Ilyas Leubee benar-benar telah meninggal adalah almarhum kakek saya dari pihak ibu di Temung Penanti, bahkan sampai akhir hayatnya beliau yakin Tgk Ilyas Leubee masih hidup, beliau percaya Tgk Ilyas Leubee yang punya kesaktian luar biasa tidak akan mungkin meninggal semudah itu, dan kakek saya itu tidak sendirian teman-teman seangkatan beliaupun banyak yang berprinsip sama, lalu tidak sedikit pula teman-teman bermain yang seumuran saya di Temung Penanti yang mendengarkan obrolan kakek-kakek kami di 'Joyah' juga mempercayai kalau beliau masih hidup. Bahkan saat itu saya sendiripun juga terpengaruh oleh keyakinan kakek saya.
Saya sendiri sudah mendengar kekeberen yang diceritakan oleh Tgk.Ilyas Leubee ini sekitar lima tahun yang lalu di rumah seorang teman, cerita yang mirip tentang asal-usul atau sejarah Gayo seperti itu dengan versi atau beberapa detail yang berbeda juga sering saya dengar dari orang-orang tua Gayo, termasuk kakek saya dari pihak ayah di Isaq, umumnya cerita yang saya dengan memang selalu melibatkan cerita tentang RUM alias Romawi Timur alias Turki.
Saya setuju dengan pendapat beberapa teman di sini kalau cerita semacam itu harus kita lestarikan sebagai salah satu dokumen budaya kita. Tapi saya pikir adalah terlalu naif kalau kita menjadikan kekeberen seperti itu sebagai acuan sejarah dalam pengertian ILMIAH. Karena menurut saya syarat utama bahwa sejarah dapat disebut sejarah dalam pengertian ILMIAH adalah sejarah yang kebenarannya bisa diverifikasi dan difalsifikasi, dapat diuji oleh pihak netral.
Berdasarkan pengertian ILMIAH seperti itu, kekeberen Almarhum Tgk.Ilyas Leubee sulit sekali memeneuhi kriteria 'bisa diverifikasi dan difalsifikasi', karena cerita tersebut sudah campur aduk antara legenda,dongeng dan fakta, kecuali kita mau membuat pengertian ILMIAH dengan tafsiran lain. Campur aduknya antara legenda,dongeng dan fakta dalam kekeberen seperti itu tidaklah mengherankan karena pada masa lalu kita memang tidak memiliki tradisi tulisan, cerita yang berkembang dalam masyarakat kita berkembang melalui tradisi lisan, disampaikan melalui metode mulut ke mulut. Karakter dari cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut adalah cerita yang disampaikan tidak pernah persis sama dari satu mulut ke mulut lain karena cerita tersebut terus berkembang menurut imajinasi si penyampai. Contohnya bisa dilihat dari berkembangnya cerita tentang kesaktian Almarhum Tgk Ilyas Leubee sendiri di kampung-kampung seperti yang saya ceritakan sebelumnya dan cerita seperti ini bukan hanya berkembang di daerah pinggiran kota Takengon, bahkan jauh di tanah Fak-fak sana yang masyarakatnya pernah diislamkan oleh almarhum Tgk Ilyas Leubee, keperyaaan bahawa beliau masih hidup atau beliau telah menjadi aulia juga berkembang subur, saya tahu mengenai hal ini karena salah seorang Pakcik (suami bibi saya), berasal dari sana.
Bayangkan itu baru cerita tentang Tgk Ilyas Leubee yang meninggal dunia kurang dari 30 tahun yang lalu, bahkan ceritanya masih bisa diverifikasi melalui anak-anak beliau, bahkan saudara kandung beliaupun masih banyak yang hidup (salah satunya nenek Rusda). Tapi 'memverifikasi dan memfalsifikasi' bukanlah ciri masyarakat dengan tradisi lisan, bagi masyarakat dengan tradisi lisan omongan orang tua adalah fakta.
Meskipun demikian sekali lagi, bagaimanapun juga cerita kekeberen seperti yang disampaikan oleh almarhum Tgk.Ilyas Leubee memang wajib kita lestarikan sebagai salah satu dokumen budaya kita dan silahkan saja kalau diantara kita secara pribadi mau mempercayai cerita melalui jalur kekeberen itu.
Tapi kalau ada yang berminat untuk mengenal lebih jauh tentang sejarah asal-usul kita melalui jalur etnografi dan study linguistik, mungkin saya bisa sedikit berbagi, tidak harus dipercayai tapi sekali lagi hanya sekedar berbagi.
Dari beberapa literatur yang saya baca dan obrolan dan diskusi dengan beberapa teman yang kebetulan mendalami studi di bidang ini, saya mendapatkan informasi kalau kita suku Gayo ini adalah salah satu rumpun suku Austronesia, termasuk didalamnya Jawa dan Bali dan orang Philiphina. Dan secara etnografi memang harus kita akui kalau Gayo berbeda dengan suku Aceh. salah satu dari kutipan literatur yang menjelaskan bahwa Gayo merupakan rumpun suku Austronesia adalahs eperti yang saya kutip dari tulisan Bowen berikut ini : "study of the Gayo Language suggest that the Gayo may have lived on the north coast of Aceh and not in their present homeland. Gayo is an AUSTRONESIAN language related to Malay and to the Batak Languages. It also contains a number of words from the Mon-Khmer language family of mainland Southeast Asia, words not found in Acehnese."
Ketika mengatakan Gayo sebagai bagian Aceh, banyak orang yang rancu menempatkan Aceh sebagai suku dan Aceh sebagai sebuah bangsa, ini penting untuk diluruskan karena Gayo jelas adalah bagian dari Aceh sebagai sebuah bangsa bukan bagian dari Aceh sebagai sebuah suku, Aceh sebagai sebuah bangsa adalah Aceh yang berbahasa melayu, bukan Aceh yang berbahasa Aceh.
Jadi berdasarkan dua uraian di atas, kutipan dari buku Bowen dan fakta yang membedakan Aceh sebagai sebuah suku dan Aceh sebagai sebuah bangsa, sama sekali tidak ada keharusan bagi orang Gayo untuk bisa berbahasa Aceh, seperti anjuran seorang teman di milis Aceh Institute. Karena dalam posisi Aceh sebagai sebuah Bangsa posisi suku Gayo dan suku Aceh adalah SEJAJAR, sama-sama anak bangsa, usaha-usaha untuk menempatkan salah satu dari dua etnis ini dalam posisi yang lebih dominan SAYA JAMIN hanya akan menimbulkan ketegangan dan perpecahan bahkan bukan tidak mungkin pertumpahan darah di antara dua suku satu bangsa ini.
Kalaupun ada orang Gayo yang berminat belajar dan bisa berbahasa Aceh seperti saya misalnya, itu adalah karena pilihan pribadi saya bukan keharusan, sama seperti orang Aceh yang berminat belajar dan lalu fasih bahasa Gayo seperti yang teman saya Fikar, itu adalah pilihan pribadi beliau bukan keharusan. Yang menjadi keharusan bagi suku Aceh dan suku Gayo adalah berbahasa Melayu, karena ini pula kita bisa saling mengerti dalam berdiskusi ini ketika masing-masing kita menggunakan bahasa Melayu. Meskipun ada yang mengatakan Aceh dibajak oleh Melayu faktanya adalah Aceh di bawah Iskandar Muda adalah Aceh yang berbahasa MELAYU.
Secara khusus dibandingkan suku-suku rumpun Austronesia lain, Gayo memang banyak sekali memiliki kemiripan fisik, bahasa dan budaya dengan suku Karo batak dan Toraja, coba bandingkan ukiran kerawang di rumah adat Gayo dengan rumah adat Karo, Batak maupun Toraja.
Kalau bahasa Batak dan Karo jelas bayak kata-kata yang mirip dengan kata-kata bahasa Gayo, Toraja juga demikian misalnya Buntul juga disebut buntul di Toraja, Uren di Gayo disebut Uran di Toraja.
Ketika melakukan kajian linguistik dan etnografi, para ahli antropologi menduga bahwa kita orang Gayo dan suku-suku austronesia lainnya adalah merupakan pecahan dari suku Mon-Khmer yang mendiami wilayah sekitar Burma, Thailand Utara, Kamboja dan Vietnam. Sebagian dari suku-suku ini menyeberang melalui Thailand selatan ke Sumatra, mungkin orang Gayo pertama masuk dari Kuala Langsa, lalu naik ke hulu dan menemukan dataran Linge karena itulah Linge disebut asal orang Gayo. Orang Toraja sendiri nenek moyangnya mendarat di sana mungkin melalui vietnam atau Kamboja dan berlayar ke timur.
Mon-Khmer sendiri adalah penggabungan dari dua etnis yaitu etnis Mon dan etnis Khmer, etnis Mon sendiri adalah percampuran antara suku asli yang mendiami Thailand Utara dengan sekelompok imigran dari India, yang berasal dari daerah yang bernama KALINGA, di negara India modern yang kita kenal sekarang ini KALINGA terletak di sekitar perbatasan negara bagian Orissa dan Andhra Pradesh , mungkin dari kata KALINGA inilah kata LINGE berasal, dan sebutan orang Gayo berasal dari LINGE mungkin ada hubungannya dengan orang Mon yang nenek moyangnya berasal dari KALINGA.
Meskipun tampaknya Gayo, Batak, karo dan Toraja berasal dari nenek moyang yang sama, tidak tertutup kemungkinan pula kesemua etnis ini memang sudah terpisah menjadi etnis yang berbeda sejak sebelum meningalkan daratan besar Asia, kemungkinan ini bisa kita lihat dengan bervariasinya etnis yang berasal dari pecahan suku Mon-Khmer di daratan besar asia saat ini. Misalnya di Thailand ada banyak suku-suku pecahan Mon-Khmer salah satunya ya orang Thai sendiri tapi masih banyak suku-suku pegunungan yang banyak memiliki kemiripan tradisi dan bahasa dengan kita, diantaranya suku Akha, Hmong, Lisu, Karen, Lahu, Mien dan lain-lain.
Demikianlah untuk bahan pertimbangan
Wassalam
Win Wan Nur
Minggu, 21 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar