Jumat, 03 April 2009

Kontroversi "Penjualan" aset Panti asuhan Budi Luhur Takengon

Posting Berita : ANTARA PEDULI DAN UPETI, KONTROVERSI "PENJUALAN" ASET
PANTI ASUHAN BUDI LUHUR TAKENGON..

Oleh : Muchtaruddin Gayo, MBA ( Ketua Ikatan Alumni Panti Asuhan Budi Luhur)


Saya tiba di Takengon 10 Maret 2009, hati saya sangat senang mendengar informasi ada pekan perayaan Pacuan Kuda di Bener Meriah , saya ingin melihatnya. Keesokan harinya saya disambut oleh suatu berita yang membuat perasaan saya tidak pernah tenang, lantas saya menemui teman-teman alumni Panti Asuhan Budi Luhur (PABL) dan beberapa mantan pimpinan di panti dulu untuk mencari tahu tentang berita yang mengusik perasaan saya tadi. Pada 17 Maret 2009 dengan ditemani oleh abang Djasli (alumni PABL 1976) dan dinda Sirwan (Alumni PABL 1987) kami berangkat menemui Kadis Sosnakertrans Kab. Aceh Tengah, bapak Drs. Tgk. Albar, tepat jam 12.30 Wib kami diterima oleh bapak Kadis Sosnakertrans dengan waktu yang sangat terbatas. Pertemuan saya mulai dengan memperkenalkan diri,
" Bapak berijin sudah berkenan menerima saya dan kawan-kawan alumni PABL, saya Muchtarudin tinggal di Jakarta, abang Djasli tinggal di Belang Bebangka dan Sirwan tinggal di Bale Bener Meriah.Bapak saya mendengar dari media online, koran dan informasi dari masyarakat bahwa Pemda Aceh Tengah CQ Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Aceh Tengah, "Menjual" aset PABL berupa 5000m tanah dengan harga Rp.8M, kepada Bank BPD Aceh sebagai penyertaan modal Pemda AT kepada Bank BPD Aceh cab. Tekengon, apa benar demikian pak?"

Bapak Drs, Tgk. Albar menjelaskan bahwa dirinya juga anak yatim, sebagai Kadis Sosnakertrans dia sangat menaruh perhatian guna menyediakan sarana dan prasarana yang layak guna meningkatkan kesejahteraan bagi anak binaan PABL. Untuk itu Pemda AT telah berusaha keras untuk membangun asrama baru yang refresentative di Kab. Aceh Tengah, dengan dana Otsus-migas 2007/2008 sebesar Rp.1.8m.
Tgk. Albar melanjutkan bahwa beliau telah mengajukan surat permohonan No.406/.../2009 tanggal 17 Februari 2009, kepada Ketua EDFF Prov.NAD untuk meminta tambahan dana pembanguanan PABL seniali Rp. 10m. Dirinya merasa yakin kalo dana tersebut akan cair pada tahun ini juga.

Pikiran sehat saya tidak dapat menerima statement seorang Kepala Dinas, bahwa tidak ada hubungan sama sekali pembangunan asrama baru dengan 'penjualan" aset PABL. Membanguan fasilitas baru untuk anak yatim adalah kewajiban utama Pemda/Negara sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 34 isi pasal ini antara lain " Fakir miskin dan anak terlantar/yatim dipelihara oleh negara". Lantas saya sibuk mencarai pasal yang menyatakan " setelah membangun asrama baru boleh menjual aset panti asuhan" ternyata tidak ada.
Kemudian saya tanya lagi " Pak bagaimana mengenai Masjid yang terdapat dalam areal yang akan "dijual" ? Kadis menjawab" areal PABL akan diperluas ke samping kanan dan kiri bangunan baru termasuk pembangunan Masjid jika dana bantuan Rp. 10m tadi cair.
Bapak Drs, Tgk. Albar memberi sinyal bahwa kami harus meninggalkan ruangan dengan alasan beliau dipanggil oleh Bupati Negeri Diatas Awan.

Untuk diketahui bahwa pembanguan Masjid tersebut berasal dari dana infaq, sadaqah, zakat dan waqaf para alumni PABL dan kaum muslimin di sekitar lingkungan PABL, Bapak Syamsuddin Ashaluddin, mantan pimpinan UPT. PABL mencatat sumbangan dari Dinas Sosial sebesar Rp, 6.000.000,- dan sumbangan dari Yayasan Dharmais sebesar Rp. 2.700.000,- sisanya dari swadaya masyarakat. Nah bagaimana ini menurut pandangan hukum Syari'at tentang pemeliharaan ZIS dan waqaf tentu para Tengku yang lebih mengetahuinya.

Kunjungan kami lanjutkan ke UPT. PABL Paya Ilang Takengon, setelah melaksanakan shalat Zuhur di Masjid yang sebertar lagi akan dibongkar, kami diterima oleh Ka. UPT. PABL yaitu bapak Ali Husin, S.Ag, saya tidak asing lagi dengan beliau karena sejak dia mahasiswa di Medan saya sudah kenal dan berkebetulan dia tinggal di rumah abangnya di Medan yang bersebelahan dengan rumah saya di Jalan Amal - Pinang Baris Medan.
Kami diajak melihat banguan yang baru di bahagian belakangan tanah PABL yang berbatasan dengan tanah MAN Takengon, Asrama yang baru cukup bagus ada ruang tidur putra putri, ruang makan putra putri, ada ruang belajar dan rumah Ka. UPT. Rumah Ibadah tidak ada, tempat olah raga tidak ada, halaman sempit untuk kegiatan 120 anak sehari-hari sangatlah tidak ideal. Bapak Ali Husin, S.Ag menuturkan bahwa " pembangunan asrama baru harus selesai selama 3-4 bulan itu target dari Provinsi NAD dan asrama tersebut telah diresmikan oleh Bupati AT pada 3 Maret 2009, tapi anehnya sampai 17 Maret 2009 belum dihuni oleh anak asuh. Dalam bincang-bincang tentang siapa penggagas 'penjualan" tanah PABL di bahagian depan dirinya meyatakan tidak tahu persis dan dirinya tidak pernah diajak bicara dan atau bermusyawarah oleh atasannya dalam hal ini Kadis, kita berharap ini sebuah pernyataan jujur dari seorang sarjana Agama. Kami sempatkan juga melihat-lihat keadaan asrama putri yang penuh sesak dengan himpitan almari dan tilam tempat tidur di rumah paling belakang, sedang di rumah tengah ada beberapa anak laki-laki. banguan ini dulu dipergunakan separuhnya untuk ruang shalat, saya pernah tiga tahun tinggal di ruangan ini dipojok timur depan, saya berkenalan dengan penghuninya dan saya berikan tanda mata dari saya, saya do'akan siapa yang tidur disini bakal jadi orang terkenal.Amin kata anak-anak lainnya.

Pada saat yang sama saya mendengar sebuah informasi yang penting dari sumber alumni PABL, bahwa Kantor Badan Pertanahan Nasional Takengon telah menerbitkan Sertifikat baru atas nama Bank BPD Aceh Cab. Takengon pada tanah Ex Panti Asuhan Budi Luhur, menurut sumber tersebut proses balik nama Sertifikat tersebut menjadi prioritas bagi Kantor BPN karena mendapat "intervensi" dari Pimpinan Negeri Diatas Awan. Mendengar berita tersebut kami para alumni PABL menjadi lemas seketika, karena nasi sudah jadi bubur akhirnya kami memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang pencarian fakta kepada pejabat dan instansi lainnya.
Pada 18 Maret 2009 kami Para Alumni PABL mengadakan pertemuan dan menghasilkan keputusan sebagai berikut :

1. Proses pelepasan aset PABL berupa tanah seluas 5000m di jalur jalan protokol Jl. Lebe Kader Takengon yang nota bene milik Harta Agama/ Negara sangat tertutup dan tidak transparan. Masyarakat ingin mengetahui dari mana ide awalnya?, siapa panitianya?, bagaimana mekanismenya?, berapa harganya?
2. Masyarakat ingin mengetahui : Pelepasan suatu aset negara menjadi aset Bank BPD apa dasar hukunya?, Apakah Bank BPD murni 100% milik negara? Andaikata benar administrasinya seperti apa? Atas persetujuan siapa?
TESTIMONI :
A. Tukar menukar sesama aset negara berupa tanah milik dinas Sosial DKI yang terletak di Jl. Dewi Sartika Jakarta Timur, yang lokasi ini akan digunakan olah dionas Kesehatan DKI untuk membangun rumah sakit mengalami negosiasi yang panjang dan alot sehingga harus diputuskan oleh Gubernur DKI .
B. Menyangkut Harta Benda Agama/Waqaf : Tanah waqaf di depan kantor Bupati Bener Meriah yang telah mendapat rekomendasi Bupati dan Kakanwil Depag Prov. NAD nasipnya masih terkatung-katung selama 3 tahun di Depag RI dan Badan Waqaf Indonesia(BWI) di Jakarta. Karena merubah fungsi Harta Agama/Waqaf harus sesuai dengan UU No.41 Tahun 2002 Tentanbg Harta Benda Waqaf dan PP No.42 Tahun 2003.

3. Jika benar nilai harga tanah seluas 5000m sebesar RP. 8.000.000.000,-, ini juga harus transparan melalui suatu proses negosiasi yang benar. Sebab harga pasaran tanah dilokasi jalan protokol tersebut adalah Rp. 2.000.000,-/ meter berarti total harganya menjadi Rp. 10.000.000.000,- ini patut diduga terjadi KKN karena ada angka bias Rp.2.000.000.000,- suatu jumlah yang sangat besar bagi sebuah daerah tingkat Kabupaten.

4. Masyarakat bertanya andaikata benar Pemda AT perlu mnyertakan modal pada Bank BPD Aceh kenapa harus tanah PABL yang harus dikorbankan. Apakah tidak ada lagi aset lain milik Pemda AT untuk digunakan sebagai upaya peningkatan PAD?
Masyarakat AT dan BM menilai apapun alasan Pemda AT melepas aset PABL hal itu sudah mencederai dan melukai hati umat Islam AT dan BM dan masyarakat dapat menukur sejauh mana kadar moralitas para Pemimpin Negeri Diatas Awan ini.
Bagi Masyarakat luas PABL adalah bukti nyata tonggak perjuangan rakyat Aceh Tengah merebut kemerdekaan. Setelah 3 tahun merdeka para tokoh masyarakat dan pimpinan umat bahu membahu membangun Asrama Sosial pada 1 Maret 1948 untuk menampung dan menyantuni anak yatim/piatu dan korban pergerakan melawan penjajah. Apa kata arwah para Pejuang kita setelah 61 tahun Indonesia merdeka tanah sosial tersebut "dijual"
tentu sangat tidak bijaksana.

5 Karena banyak hal penting yang masih belum jelas maka kami Ikatan Alumni PABL menulis Surat "Keberatan" kepada Bapak Buati Aceh Tengah dengan nomor surat : 01/Iluni-PABL /2009, tanggal 19 Maret 2009 dengan tembusan kepada beberapa Instansi terkait TK II, TK I dan Pusat, antara lain kepada Presiden RI, Ketua KPK, Medagri, Menag, Mensos dan Ketua BWI. Ada Laporan dari Alumni PABL bahwa surat Alumni kepada Ketua MPU dikembalikan kepada alamat si pengirim karena salah alamat, terjadi salah ketik nama Majelis Pertimbangan Ulama sehartusnya Majelis Permusyawaratan Ulama, kami dapat memahami hal tersebut, yang penting bagai kami ada gerakan Moral yang menetang Penjualan Aset Panti Asuhan Budi Luihur, sehingga kami membuat judul tulisan ini Antar PEDULI dan UPETI, Tujuan kami menurunkan tulisan ini hanya ingin membukan pintu hati kita, membuka mata kita dan membuka telinga kita untuk tetap berada pada jalur yang baik dan benar, bagi yang terseret-seret namanya pada tulisan ini saya mohon maaf, ini merupakan tanggungjawab moril bagi kami para Alumni PABL untuk tetap menjaga keutuhan PABL sampai akhir zaman, Zajakumullah Khairan Katsiran. Wassalamualikum warahmatullahi wabarakatuh.

* Penulis Alumni PABL Tahun 1982, Wiraswasta (konsultan Bisnis) tinggal di Cikeas - Bogor, Penulis saat ini sedang menulis naskah " Suscess Story anak PABL, Dari Paya Ilang ke Manca Negara" akan dirilis dalam Blog Resmi Ikatan Alumni PABL Takengon.

3 komentar:

Yusradi Usman al-Gayoni mengatakan...

“Penjualan Aset Panti Asuhan Budi Luhur” Mengabaikan “Suara?”


Buat bang Wan Win Nur dan ama Muchtaruddin Gayo, MBA, ingin saya sampaikan bahwa ‘semua pihak’ yang ada di tanoh Gayo terutama di kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah prihatin dan sedih prihal ‘penjualan’ tanah Panti Asuhan Budi Luhur. Kalau dikatakan ‘masyarakat kita’ kurang peduli, pernyataan tersebut kurang bijak rasanya. Karena kepedulian tersebut muncul setelah ‘kita’ melihat, mendengar, dan merasakan langsung persoasalan yang dihadapi. Dalam hal ini, ‘masyarakat’ yang ada di Takengon belum mengetahui dan merasakan masalah ini. Terlebih lyang saya dengar di seputar panti tidak tahu mengenai ‘penjualan’ tanah panti tersebut. Jadi, informasi ‘penjualan’ panti ini terkesan sangat tertutup, tidak disosialisasikan lebih awal, diminta masukan dan feed back dari masyarakat terutama penghuni, pengelola dan alumni panti. Wajar saja bila kita terlbih alumni panti menaruh curiga kepada ‘pihak-pihak’ yang ‘menjual tanah’ tersebut.

Saya juga dulu, tahun 1996-1999 sering bermain-main ke Panti Asuhan Budi Luhur meski bukan sebagai anak panti. Karena saya punya beberapa teman yang dari panti di SLTP Negeri 2 Bebesen (sekarang SMP Negeri 10 Takengon), antara lain: Anwar Sadar, Mahdi Fitra, Syah Purnama dan Syarifuddin, dan barangkali masih ada yang lain. Kebetulan saya dekat dengan mereka. Saya tidak tahu persis, dimana mereka sekarang? Saya berharap, mereka juga ‘berpendidikan tinggi’ sehingga bisa berbuat lebih terutama ‘saat-saat seperti ini’ ‘mereka, siapa pun cukup dibutuhkan’. Selanjutnya, mereka sering membantu orang tua saya terutama pada hari Minggu di kebun yang ada di Daling, kec. Bebesen ‘mulelang, nebes dan nangkuh kupi’. Kini, kenangan tersebut sudah tertimbun dengan tanah. Kebun itu kini sudah tertutup longsor, 9 Desember 2007, saat saya kembali dari Malang, Jawa Timur. Terakhir saya ketemu dengan Syarifuddin di Pertamina, dia kerja disana, tahun 2008 yang lalu. Ketika ditanya, dimana Anwar Sadar, Mahdi Fitra dan Syahpurnama, Saref (panggilan Syarifuddin) juga putus komunikasi dengan mereka.

Dari kebun Daling, biasaya kami mandi bersama di Tamak Pejebe, irigasi yang ada dekat Koramil kec. Bebesen (sekarang kampus Empus Talu). Kami pun lomba renang, tak ubahnya seperti atlet renang yang lain. Di tamak Pejebe ini pula riwayat saya hampir tamat. Saya hampir tenggelam karena kecapean terlebih kerja ‘mulelang’ dari pagi sampe sore di kebun. Begitu kami melompat ke tamak, saya pun berada paling depan. Namun, saat kembali, mereka lebih dulu menyentuh bangunan irigasi, saya tertinggal jauh (kalah), yang kelihatan hanya tangan saya yang mengharap pertolongan. Awalnya, mereka ketawa melihat tangan saya tertinggal di atas dengan sesekali kepala umcul ke atas. Mereka ‘Anwar Sadar, Mahdi Fitra dan Syapurnama’ mengira kalau saya main-main. Terakhir, mereka pun menceburkan diri lagi, menolong dan ‘memapah’ saya keluar dari ‘kolam renang’ tersebut (terima kasih sahabat dan saudaraku). Di atas jalan menuju kampung Empus Talu (sekarang), tepatnya di bagian irigasi tadi, kami tertawa lepas, “hahaha,” memecah kesepian mengenang peristiwa yang baru saja terjadi, sebelum suara azan magrib berkumandang. Saya berharap, suatu saat nanti ‘kami’ bisa reuni lagi, paling tidak ‘berenang bersama lagi’. Begitu juga halnya, dengan alumni SLTP Negeri 2 Bebesen. Minimal, saya bisa berkomunikasi dan berbicara langsung via HP dengan keempat sahabat saya tersebut.

Di mata saya, ‘mereka’ anak panti punya kepekaan sosial dan empati yang cukup tinggi, punya skill, suka menolong, setia dan berkarakter kuat. Hal tersebut, bisa dilihat pada teman-teman saya ketika itu. Diantara mereka berempat. Saya sangat dekat dengan Mahdi Fitra. Terlebih, garis keturunan dari pihak ‘pedeh’ kita sama, sama-sama berasal dari Isaq (salah satu kerajaan Islam di tanoh Gayo). Tentu, bentukan dan akumulasi karakater tersebut tidak terlepas dari pola asah dan asuh yang berlaku di panti tersebut. Wujud karakter tersebut, bisa saya lihat di sekolah (STLP Negeri 2 Bebesen), Panti Asuhan Budi Luhur, dan di rumah saya ‘saat kami berkumpul dan belajar bersama.’

Pada tanggal 27 Maret 2009 – 4 April 2009, orang tua saya datang ke Medan. Saya sempat menanyakan mengenai isu yang sedang berkembang di Takengon terutama masalah panti tadi. Orang tua saya tadi tidak tahu prihal ‘penjualan’ tersebut. Yang diketahui hanya pembangunan dan peresmian gedung baru. Kemasan dan peresmian bangunan megah tersebut ternyata menutupi danmengalahkan isu ‘penjualan tanah panti tadi.’ Tidak menutup kemungkinan, masyarakat yang ada di Takengon juga hanya mengetahui sebatas pembangunan dan peresmian panti seperti halnya orang tua saya tadi. Disinilah kita menaruh kecurigaan. Memunculkan banyak pertanyaan dan asumsi. Pertama, kenapa masyarakat kita sampai tidak mengetahui masalah ‘penjualan tersebut’? Hal ini tidak terlepas dari kurangnya penyebaran informasi. Jangankan masyarakat Takengon secara keseluruhan, rayat, masyarakat seputar panti saja mungkin tidak tahu. Ini hal yang aneh, ‘semacam ada kesengajaan dan pembiaran.’ Salah satu pihak yang berperan dalam penyebaran informasi ini adalah pers yang ada di ‘negeri yang penuh misteri’ ini. Dari sekian banyak media di Takengon yang saya ikuti, hanya dua media yang berani memuat pemberitaan masalah ini; www.gayolinge.com dan the globe journal.

Di sisi lain, media ini hanya dibaca oleh peselancar di internet. Dengan kata lain, pembacanya cukup terbatas ‘orang-orang yang aktif berinternet’. Lebih-lebih di Takengon, ketersediaan, minat dan frekuensi berinternet masih kecil ‘hanya seputar kota Takengon’. Pun kalau ada pemberitaan melalui Humas Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Majalah Teganing ditambah situs (milik Pemkab), tentu pemberitaannya hanya menyinggung soal keberhasilan pemerintah kabupaten. Konon lagi, yang saya dengar, pers di negeri Adi Genali ini kerap menerima ‘amplop’ dari pemerintah, pejabat dan politisi lokal. Apakah hal itu benar? Perlu penelitian dan pembuktian lebih lanjut. Tapi, dari dari pemberitaan yang ada, kalau yang muncul hanya sisi positifnya saja, rasanya pemberitaan tersebut kurang berimbang dan objektif?

‘Masyarakat kita’ juga cenderung pasif dalam mengkristisi proses pembangunan yang berjalan ‘kehilangan daya kritis’. Dalam perencanaan awal, proses, monitoring dan evaluasi mereka sering tidak dilibatkan. Kadangkala, walau sudah mengkebiri hak dan mengorbankan mereka, itu tidak menjadi soal buat mereka, yang penting ‘keriliken gere mupengkil’, bisa makan dan hidup buat besok. Begitulah pola pikir, sikap dan tindak sehari-hari ‘masyarakat kita’. Hal tersebut tidak terlepas dari lingkungan yang terbentuk, ada sub-sistem sosial yang tidak berjalan, kurangnya minat baca, pencarian dan penyebaran informasi yang terjadi. Sudah barang tentu, pola pikir seperti ini harus diubah, dengan pola pikir yang kritis,cerdas, bijak dan mengedepankan nurani.

Pihak yang lain yang cukup berperan dalam hal penyebaran informasi dan pencerdasan masyarakat adalah pendidikan tinggi dengan mahasiswanya. Di Takengon saat ini, paling tidak ada tiga pendidikan tinggi yaitu Universitas Gajah Putih, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih, dan Sekolah Tinggi Muhammadiyah (Ilmu Hukum ditambah Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Dalam peran dan kapasitasnya, pendidikan tinggi tadi mengkaji dan memberikan pertimbangan kritis terkait ‘penjulan aset panti tersebut’. Mahasiswa sendiri sebagai bagian dari kampus yang harusnya beperan sebagai agent of change dan social control, dalam kasus ini, kurang berjalan. Saya tidak tahu persis, apakah mereka tidak tahu persoalan ini. Tapi mustahil, mahasiswa bisa luput dari isu ini. Namun, yang saya lihat, mahasiswa Takengon (yang kuliah di Takengon dan yang kuliah di luar) juga kadang terkotak-kotak dengan beragama kepentingan. Cenderung diam ‘daya kritis dan idealisme mereka tergadaikan’ dengan sebab dan ‘faktor pendukung tertentu’. Masih banyak lagi sub-sistem sosial lain yang tidak berjalan seperti tengku (MUI), lembaga kepemudaan, LSM, lembaga adat, dan lain-lain. Minimal, mereka mempertanyakan dan menuntut penjelasan proses ‘penjualan’ tersebut.

Kedua, pun harus ada transaksi penjualan untuk penyertaan modal di BPD Aceh. Yang menjadi pertanyaan, kenapa harus ‘Panti Asuhan Budi Luhur’ yang dijual? Mungkin, salah satu alasannya adalah ke-strategis-an tempat ini. Menurut hemat saya, masih banyak tempat yang lebih strategis dibanding panti ini. Misalnya saja, Dinas Koperasi, Perdagangan, Perindustrian dan Sumber Daya Mineral atau tempat lain yang merupakan aset pemkab. Selain dekat, bila ini yang ‘dijual,’ bisa jadi lebih mahal, tidak terlalu bermasalah dan tidak memunculkan tanggapan dan asumsi yang berlebihan. Bila alternatif di atas yang dilepas ‘kantor pemerintahan’ harganya pun bisa lebih tinggi. Akibatnya, dana penyertaan pemkab pun semakin besar.

Pun, kalau bangunan panti ini mengganggu pembangunan jangka panjang Takengon masa depan, terkait tata ruang kota terutama jalan utama misalnya, yang pada akhirnya harus ‘dilepaskan’ ke pihak lain, di sinilah proses sosialisasi tadi diperlukan dengan pelibatan semua pihak terutama pihak panti. Kalau semuanya dilalui dengan proses sosialisasi dan musyawarah yang adil, bijak dan partisipatif, tentu tidak akan menyisakan masalah. Namun, yang kedua ini, tidak terlalu menjadi persoalan. Bagaimana pun, pertimbangan ‘sejarah dan jati diri’ juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah kabupaten. Saya lihat, pertimbangan ini masih jauh dari harapan. Banyak sekali bangunan-bangunan lama yang kini sudah digantikan dengan bangunan baru. Padahal, itu masa lalu kita, yang dengan masa lalu, kita ada sekarang, begitu juga dengan panti ini. Sudah barang tentu, menjadi kewajiban kita terutama pemerintah kabupaten untuk mempertahanan dan mengurus apa pun yang menyangkut panti ini.

Pertanyaan lain, kenapa pemkab harus menyertakan modal-nya di BPD Aceh Cabang Takengon? Bagaimana mekanisme dan keterbukaan pengelolaan penyertaan keuangan ini kepada publik? Apakah tidak ada jalan lain yang bisa diupayakan dalam peningkatan modal dan PAD? Sebaliknya, kalau sekiranya pemkab tidak turut serta dalam penyertaan modal di bank ini, apakah akan berpengaruh signifikan terhadap stabilitas keamanan, sosial dan ekonomi Takengon baik secara mikro maupun secara makro? Yang pada akhirnya, kenapa sampai harus ‘melepas’ panti ini? Yang pasti, penyertaan modal ini merupakan sebuah kebijakan yang baik dan positif bagi perkembangan perekonomian Takengon. Namun, program dan kebijakan yang baik tidak selamanya menghasilkan hal dan berdampak baik bila prosesnya ‘kurang baik’. Dalam arti, tingkat analisis, sosialisasi, pelibatan masyarakat (yang berhubungan dengan panti), monitoring dan evaluasi cukup kurang.

Merunut kembali persoalan ini, ada tiga pihak utama yang bertanggung jawab prihal penjualan ini. Pertama, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tengah yang kini dipimpin oleh Drs. Tengku Albar. Dinas ini berhubungan langsung dan bertanggung jawan penuh terhadap kelangsungan panti ini. Seperti pertanyaan sebelumnya, kenapa dinas menjatuhkan pilihannya pada Panti Asuhan Budi Luhur pun kalau harus panti yang ‘dijual’? Padahal, masih banyak ‘panti’ di Aceh Tengah, yang mungkin tempatnya lebih strategis lagi dari Panti Asuhan Budi Luhur dan lebih dekat ke BPD Aceh Cabang Takengon (kantor yang sekarang). Terlepas, adanya bangunan baru dan apa yang tengah diupayakan oleh dinas dan pemkab, ini persoalan lain yang harus dipisahkan dengan soal ‘penjualan’ tanah panti tadi. Dalam hal ini, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tengah harus professional dalam mengklasifikasi ‘membeda & memilah’ dan menganalisis kedua persoalan di atas. Yang lebih aneh lagi, Kepala Unit Pelayanan Teknis Panti Asuhan Budi Luhur yaitu Ali Husin, S.Ag tidak tahu persis dan tidak pernah diajak bicara atau bermusyawarah oleh atasanya, dalam hal ini Drs. Tengku Albar (baca ANTARA PEDULI DAN UPETI, KONTROVERSI “PENJUALAN ASET PANTI ASUHAN BUDI LUHUR” www.gayolinge.com). Apakah pengakuan dari kepala UPT PABL tersebut benar atau sebaliknya? Kita tidak tahu pasti. Tapi, kedengaran sangat janggal. Logikanya, selaku penghuni rumah, mustahil sekali kita tidak tahu, orang luar yang datang dan apa yang direncanakan dan yang akan dibangun di rumah kita?

Kedua, sudah barang tentu, pemerintah kabupaten Aceh Tengah, yang dalam hal ini diwakili oleh Ir. H. Nasaruddin, M.M. Bupati Aceh Tengah, selaku reje, merupakan pemutus akhir dalam hal ‘penjualan aset panti’ ini. Selaku bagian dari masyarakat, kita mendudukung apa pun yang direncanakan dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten sepanjang untuk kemaslahatan rayat dan tanoh tembuni ‘dirasakan kebermanfaatannya’. Pertanyaan, kenapa harus aset panti ini yang ‘dijual’? kembali muncul terlebih lagi ada bangunan masjid waqaf di dalamnya. Yang penting lagi, panti ini mencatatkan sejarah dalam Museum Rekor Tanoh Gayo yang telah banyak berbuat untuk anak yatim piatu di tanoh Gayo (tidak sebatas Takengon, tapi juga dari Gayo Lues, Bener Meriah dan daerah lain). Selain itu, tanah yang ada sejak tahun 1948 tersebut merupakan harta agama atau baitul mal. Dengan begitu, perlu dipertahankan aset sejarah dan bentuk aslinya. Lebih dari itu, panti ini akan sangat sempit nantinya, bila ‘dilepas seluas +/- 5000 meter, yang mana lahan panti ini tinggal 4000 meter (70% untuk bangunan/2800 meter dan sisanya, 1200 M untuk perkarangan).

Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten. Setelah diperoleh kesepakatan dalam hal ‘penjualan’ aset panti ini di tingkat eksekutif, akhirnya akan disetujui dan ditetapkan oleh legislatif (DPRK). Seperti halnya eksekutif, kenapa legislatif sampai menyetujui dan mengesahkan ‘penjualan aset’ ini? Apakah mereka juga tidak mengkaji secara dini dan menyeluruh masalah ini, cross check ke pihak panti ‘penghuni, pengelola dan alumni panti’ ini? Atau ada bargaining tersendiri dibalik ‘penjualan’ tadi? Kita, tidak tahu pasti dibalik proses pengesahan ini. Dari kasus ini, menjadi pertimbangan penuh bagi kita ‘pemilih atau rayat yang mendiami daerah ini,’ ke depannya, untuk memiliki ‘yang dipilih’ yang sungguh-sungguh memiliki kepekaan dan kesensitifan sosial yang tinggi, yang ‘benar-benar melihat,’ ‘mendengar,’ ‘merasa dan bernurani’ terlebih tanggal 9 April 2009 ini, kita akan memilih wakil kita di DPR dan DPD. Dengan demikian, yang terpilih akan berjuang untuk kita ‘rayat dan tanoh tembuni.’ Bukan sebaliknya, berjuang untuk diri, rasa,kedekatan dan lingkup ‘kekitaan dan dengan sekat yang terbatas.’

Melalui tulisan, diharapkan kepada ketiga pelaku utama di atas untuk dapat mengkaji kembali ‘prihal pelepasan aset tersebut’ dengan mencari lokasi yang lebih strategis lagi. Dengan demikian, ‘aliran sejarah dan amal’ pengamal pada panti ini tetap berjalan sebagaimana mestinya dan sampai waktu yang ditentukan. Pun ‘aliran sejarah’ panti ini hilang dengan ‘penjualan aset panti ini,’ tapi tidak ada yang mampu menghilangkan sejarah dari pelaku dan yang pernah tinggal di panti tersebut.


Yusradi Usman Al-Gayoni (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan). Blog: www.yusradiusmanalgayoni.blogspots.com

ipak mengatakan...

KETERANGAN PENJUALAN TANAH BUDI LUHUR DARI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KAB. ACEH TENGAH.

Panti Asuhan Budi Luhur Takengon Aceh Tengah, bukan berstatus yayasan, namun Panti Asuhan Budi Luhur merupakan Panti Asuhan milik PEMKAB Aceh Tengah. dan penjualan tanah Panti Asuhan Budi Luhur merupakan penyertaan modal pada BANK BPD Aceh dan akan digunakan untuk kepentingan masyarakat dan Daerah.

Senug Studio mengatakan...

klou urusan a duit semua orang peduli anak yatim tapi orang yg tanpa pamrih itu jarang jika penulis benar2 peduli terhadap budi luhur semua a pasti tidak terjadi lempar batu sembunyi tangan pepatah waktu SD dulu