Tulisan saya kali ini menyambung tulisan saya yang lalu, tentang etnis Cina yang menurut saya bisa menjadi etnis terunggul di negara ini, yang salah satunya adalah akibat dari reaksi mereka saat menjawab berbagai tekanan yang mereka terima di negara ini.
Mengenai hal itu seorang miliser bertanya kepada saya, apakah itu artinya setiap kali manusia ditekan dia akan bereaksi seperti itu kalau ditekan. Lalu ada pula yang bertanya bagaimana dengan Huaqiao di negara lain apakah mereka juga punya mentalitas yang sama seperti Huaqiao di sini?.
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan jawaban pendek 'Ya' dan 'Tidak', karena pertanyaan sang miliser ini berkaitan erat dengan Manusia. Sementara manusia modern adalah makhluk artifisial yang rumit.
Dalam menghadapi masalah yang dihadapi dalam hidup, manusia modern nyaris tidak lagi menyisakan insting bawaan lahir yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Dalam bertahan hidup, Manusia modern lebih banyak mengandalkan kesadarannya yang didapat dari pengetahuan yang dia serap dalam proses tumbuhnya. Lingkungan tumbuh dan latar belakang budaya yang membentuknya sangat mempengaruhi reaksi seperti apa yang diperlihatkan oleh manusia ketika dia menghadapi masalah.
Tiap budaya yang membentuk manusia umumnya mempunyai kekhasan masing-masing, kita biasanya dapat melihat benang merah dalam perilaku orang-orang yang tumbuh dalam latar belakang budaya yang sama. Kemiripan itu bisa terlihat ketika mereka bereaksi terhadap sebuah fenomena.
Para Huaqiao terbentuk menjadi seperti yang kita kenal sekarang adalah karena mereka memiliki latar belakang kultural yang khas, yang bisa kita temukan kemiripannya dengan perilaku etnis Cina manapun di dunia. Latar belakang budaya yang khas inilah yang membuat orang Cina menjawab tekanan sosial yang mereka hadapi dengan cara seperti yang saya gambarkan dalam tulisan sebelumnya.
Tapi jika tekanan yang sama diberikan kepada orang dari etnis lain, reaksinya belum tentu sama. Sebut saja misalnya orang Palestina yang ditekan Israel, seperti kita tahu bersama, tekanan itu dijawab oleh orang Palestina dengan Jihad berbentuk intifadah dan Bom bunuh diri. Yang berekasi seperti ini bukan hanya orang Palestina yang beragama Islam, tapi juga orang Palestina yang beragama kristen.
Para laki-laki di Minang juga mendapat tekanan secara kultural di daerah asalnya. Di Minang, secara kultural laki-laki ditempatkan dalam posisi yang kurang penting dibandingkan perempuan, laki-laki tidak mendapatkan warisan (meskipun sekarang banyak ahli budaya minang membagi harta warisan menjadi 'Limbago' dan 'Pusako', dan mengatakan 'Limbago' boleh dibagi sedangkan 'Pusako' sepenuhnya hak perempuan), tapi pada kenyataannya, yang saya lihat di banyak keluarga minang yang saya kenal, yang mendapat warisan memang hanya perempuan. Menjawab tekanan kultural seperti itu, laki-laki minang bereaksi menjawab tekanan itu dengan cara merantau, karena itulah kita bisa menemukan orang Minang di segala pelosok negara ini.
Orang Jawa yang budayanya dibentuk oleh raja-raja dan kaum feodal yang otoriter yang menuntut kepatuhan tanpa syarat kepada para bawahan dan rakyatnya, membuat orang Jawa secara umum juga memiliki karakter yang khas. karakter khas ini juga bisa dilihat dari cara mereka menjawab tekanan sosial yang mereka hadapi, yaitu dengan sikap patuh dan manut terhadap majikan dan tidak banyak protes.
Sementara orang Aceh sebaliknya, latar belakang budaya orang Aceh yang begitu rumit dan beragam dengan etnisitas yang berasal dari berbagai etnis dengan kultur mainstream dunia, telah menciptakan orang Aceh memiliki mental egaliter. Orang Aceh tidak suka menundukkan kepala dan mengaku kalah. Latar belakang budaya seperti inilah yang membuat membuat orang Aceh tidak pernah merasa posisinya lebih rendah dibandingkan Jakarta. Sehingga ketika mereka ditekan, orang Aceh menghadapi tekanan Jakarta itu dengan cara memberontak, orang Aceh tidak peduli dengan kenyataan bahwa faktanya mereka kalah dari segala segi, karena bagi orang Aceh harga diri ada di atas segalanya, bahkan di atas harga selembar nyawa sekalipun.
Orang Jawa yang tidak terbiasa menjawab tekanan dengan cara yang "tidak logis" seperti ini banyak yang tidak habis pikir dan tidak bisa memahami reaksi "tidak masuk akal" yang ditunjukkan oleh orang Aceh ini. Sehingga muncullah ungkapan PERANG BODOH.
Untuk menjawab pertanyaan miliser yang sama yang menanyakan, apakah fenomena yang ditunjukkan oleh Huaqiao tersebut hanya spesifik di negara ini saja, bagaimana dengan di negara lain yang menerapkan perlakuan berbeda terhadap mereka?. Untuk menjawabnya, kita harus terlebih dahulu mengenali apa itu kultur Cina.
Sebagai sebuah kultur, Cina itu sudah setua Mesir Kuno. Tapi, kalau Mesir Kuno sekarang sudah tinggal legenda dan bahan penelitian sejarah kuno, tidak demikian halnya dengan kultur Cina. Kultur ini tetap hidup lengkap dengan orang-orangnya dan terus berevolusi dan menyesuaikan diri dengan zaman dan selalu punya jawaban atas tantangan yang muncul di setiap zaman yang dilaluinya.
Dalam kultur Cina, mereka memiliki segala instrumen yang diperlukan dalam sebuah peradaban, filsafat, politik, musik, kedokteran sampai sastra. Kelengkapan instrumen sebuah peradaban dalam kultur mereka ini umumnya sangat disadari oleh orang Cina manapun, baik itu Cina yang warga negara Cina maupun Cina yang tinggal di negara lain.
Dengan kelengkapan instrumen peradaban seperti itu, Cina tidak merasa minder terhadap peradaban lain. Karena itulah ketika peradaban Barat dan pemikiran Barat sedemikian mengguasai dunia dalam beberapa abad terakhir, Cina tidak merasa minder atau merasa perlu menirunya mentah-mentah.
Selain itu, kultur Cina sangat menghargai yang namanya pendidikan, sejak sekitar 1400-an tahun yang lalu, pada zaman dinasti Tang (saat itu bangsa-bangsa di negara Indonesia ini boleh dikatakan masih dalam masa pra sejarah), Cina sudah punya sistem ujian negara yang menjadi syarat untuk masuk ke dalam sistem pemerintahan. Dengan sejarah kultural terhadap pendidikan yang seperti itu dan terus dipelihara turun-temurun, otomatis orang Cina bahkan yang termiskin sekalipun secara kultural sudah tersosialisasikan dengan pentingnya nilai pendidikan.
Dalam hal penghargaan terhadap pendidikan ini, kultur Cina banyak kemiripan dengan kultur Gayo dan Batak modern. Orang Gayo dan Batak zaman sekarang, semiskin apapun, rata-rata bercita-cita untuk bisa memproduksi minimal satu sarjana yang berasal dari keluarganya.
Kalau saat ini kita berkunjung ke rumah-rumah setiap keluarga Gayo, entah itu di kota Takengen atau di tengah perkebunan-perkebunan Kopi di Ramung Kengkang, Belang Gele atau Lukup Sabun sana, hampir pasti, kita akan menemui selembar foto ukuran 10 Inchi yang di bingkai dan dipajang di ruang tamu, tepat berhadapan dengan pintu masuk. Dalam foto itu tergambar salah seorang anggota keluarga tersebut mengenakan toga wisuda.
Kultur ini berbanding terbalik dengan kultur Jawa misalnya. Kultur Jawa secara umum saya amati, kurang atau bahkan di banyak desa yang saya kunjungi, saya lihat sama sekali tidak memberi harga dan nilai atas pentingnya pendidikan.
Bukan seperti di Gayo atau Batak yang orang tuanya rela sampai harus jungkir balik untuk mendapatkan uang buat menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua di desa-desa Jawa yang malah menyemangati anaknya untuk drop-out dari sekolah, sehingga pemerintahlah yang pusing untuk memikirkan, bagaimana caranya 'memaksa' agar anak-anak kecil di pedesaan itu bisa 'dipaksa' sekolah semua. Orang-orang di desa-desa Jawa, sejak zamannya Borobudur dibuat dulu mikirnya cuma 'kulo niki tiyang alit mas, aja macem-macem' (saya ini orang kecil mas, jangan punya mau yang enggak-enggak).
Saya menulis ini sama sekali tidak bermaksud melecehkan orang Jawa, tapi saya hanya menunjukkan bahwa seperti itulah realitasnya! Orang Jawa sendiri jelas tidak salah atau pun benar ketika mereka memiliki karakter seperti itu, karena SECARA KULTURAL orang Jawa memang sudah begitu.
Pengetahuan akan banyaknya kultur yang berbeda seperti inilah yang seharusnya menjadi dasar dari kebijakan apapun yang dibuat oleh pemerintah, segala bentuk penyeragaman dengan hanya berpatokan pada pemikiran sendiri tidak akan berhasil di negara yang berisi lebih dari 300 suku ini.
Jadi...Kalau ada orang yang bilang semua orang harus jadi wiraswastawan, mari kita galakkan kultur entrepreneurship, semua orang dipaksa berwiraswasta..., sudah tentu orang-orang Jawa yang tinggal di desa dengan kultur seperti yang saya katakan di atas akan langsung kalah bersaing dengan orang Cina atau pun orang Minang atau orang Aceh yang dari dulu memang sudah punya kultur dagang serta jiwa merantau yang baik.
Nah...kembali ke orang Cina. Etnis Cina itu, dimanapun mereka tinggal umumnya mereka tetap memelihara kultur kecinaan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena tetap memelihara kultur kecinaan inilah, di manapun mereka tumbuh, entah itu di Indonesia, Singapura, Malaysia, Eropa, Australia atau Amerika, umumnya mereka tetap memliki kesamaan karakter.
Karena itulah di mana-mana secara karakter Cina ya tetap ada miripnya (apalagi secara fisik). Di Malaysia misalnya, di sana mereka ditekan dengan NEP, supaya Pribumi bisa menyaingi mereka. Tapi kenyataannya apa, karena memang pribumi yang mendapatkan kemudahan izin usaha melalui kebijakan NEP memang dasarnya tidak memiliki daya juang dan semangat tempur setinggi orang Cina, mereka banyak yang menjual izinnya kepada pengusaha Cina. Sehingga akhirnya yang terjadi di Malaysia, tetap saja pengusaha Cina lebih unggul dibanding pengusaha Melayu.
Itu negara melayu, bagaimana dengan negara maju semacam Amerika, Eropa dan Kanada?...sama saja!. di Amerika-pun orang Cina rata-rata sukses, kota-kota besar di Kanada semacam Toronto, Vancouver dan Montreal juga sekarang sudah mulai didominasi Cina. Di perancis juga demikian, etnis cina perlahan tapi pasti mulai menguasai perekonomian di negara itu, bahkan di Perancis, Cina sudah mulai menggusur Yahudi. Dulu di Perancis bisnis tekstil dikuasai oleh etnis Yahudi, tapi sekarang Cinalah pusat produksi tekstil dunia, lalu siapa yang punya akses paling mudah ke sana?...tentu saja etnis Cina, sehingga poerlahan tapi pasti Yahudi pun mulai tergusur dari bisnis ini.
Di Kota Paris, makin lama makin banyak Cina kaya, di mana-mana mulai bermunculan rumah-rumah mewah milik orang Cina, sehingga sekarang pandangan orang bule di sana terhadap etnis Cina lama-kelamaan mulai mirip seperti pandangan orang Melayu terhadap mereka, yaitu Cina = Kaya. Banyak rumah-rumah besar dan bagus di Kota Paris yang sebelumnya dimiliki oleh bule-bule kaya, sekarang dibeli oleh orang Cina.
Kota Paris dibagi dalam 20 bagian semacam blok yang disebut arrondissement yang masing-masing diberi nomer. Dari 20 arrondissement yang ada itu, satu arrondissement, yaitu arrondissement 13 sudah sepenuhnya dikuasai Cina, dan sekarang mereka mulai merambah ke arrondissement-arrondissement sekitarnya.
Begitulah orang Cina yang saya amati, mereka mampu bertahan menghadapi tantangan setiap zaman karena mereka berpegang teguh pada akar mereka, pada kultur mereka yang kuat tapi fleksibel yang terus meyesuaikan diri dengan setiap zaman yang dilaluinya.
Ketika miliser yang sama menanyakan kalau Etnis Cina memang terbukti paling unggul dibanding etnis-etnis lain di negara ini, kenapa saya tidak mengajarkan anak saya seperti cara orang Cina mengajarkan anaknya?.
Alasan-alasan di ataslah yang membuat saya tidak melakukannya. Saya bukan Cina, anak saya bukan Cina, keluarga saya juga tidak ada satupun yang Cina. Kami tidak tumbuh dalam kultur dengan lingkungan yang membuat kami bisa memiliki kesadaran dan mentalitas seperti orang Cina. Jadi, kalaupun saya ngotot meniru Cina, saya dan anak saya hanya akan jadi Cina jadi-jadian, sama seperti Bule jadi-jadian yang banyak bertebaran di Jakarta atau Arab jadi-jadian yang belakangan ini bermunculan dimana-mana, atau yang paling ironis, Jawa jadi-jadian yang sekarang banyak bermunculan di Tanoh Gayo sana.
Dari pengamatan saya terhadap kultur Cina itu, saya menarik pelajaran. Kalau tidak ingin tergilas oleh zaman, maka berpegang kuatlah pada akar kita. Kalaupun ada kekurangan dalam kultur yang membesarkan kita, saya pribadi selalu memilih untuk membenahi semuanya dari perombakan atas nilai-nilai yang ada di dalamnya, bukan membuang habis semua nilai yang ada beserta dengan fondasi-fondasinya.
Dengan sedikit modifikasi, sebuah kultur yang dianggap paling inferior sekalipun bisa menghasilkan sebuah produk superior. Contoh seperti ini yang sudah saya lihat sendiri adalah Pak Yanto, pemilik Ijen Resort, orang yang lahir besar di keluarga Jawa, di lingkungan orang-orang yang berpikiran 'kulo niki tiyang alit mas, aja macem-macem'. Ketika beliau sedikit memodifikasi pemikirannya, Pak Yanto bisa menjadi pengusaha sukses dengan skala seperti itu. Padahal dalam segala hal, sikap, kebiasaan dan perilaku sehari-hari, Pak Yanto masih tetap orang Jawa.
Kalau kultur Jawa saja bisa menghasilkan orang seperti Pak Yanto, apalagi kultur Aceh yang memang sudah dibekali modal kepercayaan diri dan menganggap semua manusia setara dari sananya.
Kultur Gayo juga sebenarnya demikian, dari dulu bahkan orang Gayo tidak pernah benar-benar tunduk 100% pada rajanya. Orang Gayo itu sangat republikan dan tidak feodal. Ditambah dengan kultur Gayo yang seperti kultur Batak yang sangat menghargai pendidikan, sebenarnya sangat besar peluang orang-orang dari suku ini untuk tampil ke permukaan. Yang perlu dibenahi dalam kultur Gayo, menurut saya hanya mental 'unung-unung' (mental copy paste) dan rendah dirinya. Kalau itu bisa sedikit dimodifikasi, orang Gayo sama sekali tidak akan punya masalah untuk hidup berdampingan dan bersaing terbuka dengan orang Aceh atau suku apa saja. Jadi Gayo sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan ALA, yang mebutuhkan ALA sebenarnya hanyalah para politisi cengeng dan orang-orang Gayo yang tidak mengenal akarnya.
Akhir tahun lalu, anak saya Qien Mattane Lao liburan sekolah dan dia dihadapkan pada dua pilihan tempat berlibur. Ke Disneyland di Amerika sana dengan Om dan tantenya tanpa kami perlu mengeluarkan speserpun biaya, atau ke Takengen dengan Bundanya dan kami harus merogoh kocek cukup dalam untuk bisa ke sana.
Dengan berbagai pertimbangan, saya dan istri saya mengarahkan Matahari Kecil anak saya untuk berlibur ke Takengen, meskipun kami harus mengeluarkan uang dengan jumlah lumayan untuk itu.
Awalnya Matahari Kecil protes, dia lebih memilih ke Disneyland, karena teman-teman sekelasnya juga rata-rata berlibur ke sana.
Tapi ketika saya menunjukkan foto-foto masa kecil saya, saat saya naik kerbau dengan adik-adik saya, berenang di sungai, memanjat pohon jambu dan jeruk lalu membandingkannya dengan foto-foto dan film yang dibuat ketika istri saya berkunjung ke Disneyland saat dia masih SMA. Matahari Kecil lebih memilih berlibur ke Takengen yang kemudian terbukti memang sangat disukainya.
Ketika dia sudah masuk sekolah, Matahari Kecil menunjukkan foto-fotonya saat berlibur di Takengen kepada teman-teman sekelasnya yang berlibur di Disneyland. Saat dia menunjukkan foto-fotonya yang sedang naik kerbau, berenang di danau, dan naik gunung bersama saya dan istri saya, teman-teman sekelasnya jadi tidak ingin ke Disneyland lagi, mereka semua jadi ingin ikut Matahari Kecil berlibur ke Takengen pada musim liburan tahun berikutnya.
Untuk kami sendiri, alasan yang membuat kami mengarahkan Matahari Kecil berlibur ke Takengen adalah supaya dia kenal akarnya, supaya dia familiar dan tidak asing dengan kultur yang melahirkannya.
Kami melakukan itu karena kami sadar, meskipun Matahari Kecil tidak lahir di Gayo, meskipun di sekolah dan lingkungannya dia bergaul dengan orang yang berasal dari berbagai bangsa dan negara. Tapi ada sebuah kenyataan yang tidak bisa diubah, Matahari Kecil adalah orang Gayo. Dan ini sangat penting untuk dia sadari.
Pengalamanlah yang membuat kami berdua, saya dan istri saya menyadari akan pentingnya mengenal akar ini.
Satu waktu, kami tinggal jauh dari orang tua, kerabat, teman dan sanak saudara. Di tempat kami tinggal ada komunitas kecil Gayo dan Aceh, karena saya tumbuh dengan nilai dan kultur Gayo dan besar di Aceh, saya dengan mudah berbaur dengan mereka dan langsung merasa sebagai bagian dari komunitas itu.
Sementara itu, di kota ini juga sangat banyak orang Minang lengkap dengan segala macam oraganisasi dan perkumpulannya. Mereka sering mengadakan acara pertemuan atau acara kesenian. Tapi istri saya yang lahir dan besar di Jakarta sebagai orang Minang dan tumbuh di dalam keluarga keluarga Minang, sejak kecil tidak pernah benar-benar diperkenalkan pada adat dan budayanya. Akibatnya, istri saya tidak akrab dengan akar yang membentuknya, sehingga ketika sudah besar, istri saya sama sekali asing dengan budaya Minang dan orang-orangnya. Ketika kami tinggal di kota itu, tidak seperti saya yang merasa seperti sedang berada di kampung halaman saja, istri saya pernah merasakan dirinya begitu kesepian, dia merasa seperti alien, seperti orang asing yang tidak punya siapa-siapa.
Karena itulah saat liburan sekolah beberapa waktu yang lalu, di antara kami berdua, istri sayalah yang paling bersemangat untuk mengarahkan Matahari Kecil berlibur ke Takengen. Istri saya tidak ingin Matahari kecil seperti dia, dia tidak ingin saat sudah dewasa, Matahari Kecil mengalami perasaan kesepian dan terasing seperti yang dia rasakan.
Dengan berlibur di Takengen saat dia masih kecil seperti ini, saat otaknya masih merekam setiap kejadian dengan demikian baiknya, kenangan indah akan tanah leluhurnya, keluarga dan kerabatnya serta budayanya akan melekat abadi dalam memori Matahari Kecil saat dia dewasa.
Sementara Disneyland, akan tetap begitu-begitu saja.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Rabu, 01 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
canggih.. salut.. mantap !
sungguh menggugah tulisan ini.. tapi terus terang jadi tertohok sangat dalam.. ibarat dalam bertinju kena double upper cut untuk kemudian limbung, KO!
menyesal.. menyesal kenapa mesti putus dengan pacar yang berdarah campuran A dan C.. sementara diriku "hanyalah" J..
seharusnya terus dipertahankan.. perbaikan kultur, pola pikir dan keturunan..
seandainya waktu bisa diputar kembali (walaupun itu gak mungkin).
berharap kesempatan datang untuk kedua kali.. semoga...
thx untuk tulisannya :)
takengon dimana bang....? sayad ari kampong hakim
hasil observasi saya pun serupa dengan tulisan ini. masyarakat indonesia sangat beragam. dan seharusnya keberagaman ini dijadikan anugerah, bukan alat utk saling menjatuhkan apalagi meng-homogen-kan...
saya sendiri campuran minang-cina, menikahi seorang jawa. saya merasakan langsung beratnya friksi adaptasi diantara kami, dan itu saya syukuri karena membuat saya dan pasangan memaknai keragaman ciptaan Allah, pandangan yang belum dimiliki mayoritas orang Indonesia...
mantap tulisannya.. memang sudah seharusnya saling meghormati, walaupun berbeda-beda.
Disneyland Trips
Posting Komentar