Pada tahun 1994, kami dari UKM-PA Leuser Unsyiah melakukan pendakian Gunung Leuser melalui jalur selatan dengan memilih desa peulumat di Aceh Selatan sebagai titik awal pendakian.
Keberangkatan kami untuk Ekspedisi kali ini sempat tertunda beberapa lama akibat kesulitan mendapatkan izin dari Polres Aceh Selatan yang wilayah hukumnya membawahi desa Peulumat, desa terakhir yang merupakan titik awal keberangkatan kami. Izin itu susah dikeluarkan akibat dari arogansi anak-anak Wanadri (kelompok pecinta alam yang dekat dengan kekuasaan) yang bersama anggota Brimob melakukan pendakian tiga bulan sebelum kami. Polisi tidak mengeluarkan izin bagi kami dengan alasan mereka menunggu ANEP (Analisa dan Evaluasi Pendakian) dari Wanadri. Untuk menilai layak tidaknya jalur selatan Leuser yang terletak di Bumi Aceh didaki oleh kelompok pecinta alam selain Wanadri yang berpusat di Jawa Barat itu.
Karena kekurangan anggota, pada pendakian kali ini kami sedikit melanggar aturan baku di organisasi kami yang hanya membolehkan anggota penuh untuk mengikuti ekspedisi besar. Pada pendakian ini selain anggota penuh, ekspedisi ini juga diikuti 4 anggota muda yang baru lulus pendidikan dasar yang belum sampai setahun menjadi anggota. Satu diantara anggota muda itu adalah aku sendiri.
Hari itu tanggal 12 agustus 1994, sudah dua belas hari kami berjalan menembus rapatnya hutan di jalur selatan Leuser tanpa kami tahu pasti kapan kami akan mencapai puncak yang kami tuju. Angka di altimeter menunjukkan kalau kami berada di ketinggian 2800 Meter di atas permukaan laut.
Tiga hari belakangan, perjalanan yang kamilakukan terasa sangat membosankan, karena selama tiga hari itu kami terus menyusuri punggungan gunung yang datar dan monoton tanpa mendaki bukit atau menuruni lembah. Hutan lebat berpohon besar sudah lama tidak lagi kami temui, hutan yang kami lewati saat itu adalah hutan tanaman perdu berdaun tebal selebar jari telunjuk, dengan ukuran batang maksimal sebesar betis kaki orang dewasa. Batang-batang pohon itu seringkali ditumbuhi lumut yang menutupi seluruh batang pohon. Ketika jalanan menanjak beberapa hari yangh lalu beberapa kali kami terkecoh oleh lumut ini. Saat jalan licin dan terjal mendaki, supaya tidak terpeleset, kami seringkali meraih pohon terdekat yang ada di samping kami sebagai pegangan. Tapi karena tertutup lumut, kami tidak tahu pohon apa yang kami raih. Kadang yang kami raih adalah pohon mati yang sudah membusuk, sehingga ketika kami jadikan pegangan langsung patah dan kamipun jatuh terjungkal. Yang paling sial kadang yang tumbuhi lumut itu ternyata rotan yang berduri, akibatnya ketika terpegang tangan kamipun langsung tertusuk. Sampai saat itu telapak tangan kami semua telah tercabik-cabik dan dipenuhi duri.
Lumut-lumut itu kadang juga kami manfaatkan untuk diperas airnya, karena di daerah punggungan seperti itu tidak ada sumber air. Selain lumut kami yang didera kehausan juga terkadang meminum air dari tumbuhan kantong semar, tanaman karnivora sejenis anggrek yang memiliki kantong berkatup, berisi air yang dipenuhi bangkai serangga. Air dari dalam kantong tanaman ini kami saring menggunakan kain yang biasa kami pakai menutupi kepala.
Medan seperti ini sudah kami jalani sejak dari lokasi peng-evakuasi-an jenazah almarhum Hendra Budhi, anggota tim pendaki dari Universitas Borobudur yang meninggal dunia dalam usahanya mencapai puncak Leuser pada musim pendakian tahun 1993. Saat itu Hendra meninggal pada hari ke 85 usaha pendakian mereka. Gemuruh suara dari beberapa air terjun besar yang keluar dari dinding selatan Leuser terasa begitu dekat di telinga, tapi kami semua tidak tahu, akan butuh waktu berapa hari bagi kami untuk bisa sampai ke sana.
Kami semua sudah dilanda rasa bosan yang luar biasa. Nourman, teman satu Diksar denganku sudah mulai sering diam dan berdiri kaku sendirian. Sementara Selo yang juga anggota yang satu Diksar denganku terserang disentri dan berat badannya turun.
Hari itu, tubuhku dan delapan anggota tim EJSL 94 lainnya dan juga pawang Hamid Rambo yang menemani kami berada dalam keadaan babak belur dalam arti yang sebenarnya. Sehari sebelumnya, beberapa waktu sebelum kami mencapai tempat Hendra Budhi menghembuskan nafas terakhir, kami melewati lahan terbuka yang dipenuhi kayu kering yang ditebang oleh tim evakuasi yang menjemput jenazah Hendra Budhi beserta seluruh anggota tim pendaki Universitas Borobudur yang tersisa. Di tempat itu Enjur, navigator tim kami yang berjalan paling depan tidak sengaja menginjak sarang tawon tanah yang kemudian mengamuk menyengat kami semua. Aku disengat di pergelangan bagian luar tangan kiri. Saat di sengat rasa sakitnya menghunjam sampai ke ubun-ubun, belum pernah seumur hidup aku merasakan rasa sakit disengat serangga sehebat itu. Tajuddin disengat di bagian luar telapak tangan antara jari tengah dan jari manis. Irfan yang saat itu menjadi ketua tim disengat di dagu sebelah kanan. Sementara Pawang Hamid Rambo disengat tepat di hidung. Enjur sendiri si biang kerok selamat tanpa kekurangan suatu apapun.
Begitu hebatnya sengatan tawon tanah itu sehingga sampai sekarang bekas sengatannya tetap meninggalkan bekas luka parut bulat sebesar biji kedelai di pergelangan kiriku. Waktu itu aku masih lebih beruntung dibanding teman-temanku yang lain, karena di sengat di tangan kiri aku tidak terlalu perlu mencucinya, sebab tanpa kami tahu ternyata bekas sengatan itu tidak boleh terkena air. Akibat mencuci tangannya dengan air, tangan Tajuddin bengkak besar. Irfan yang wajahnya terkena air saat mencuci muka, membuat wajahnya yang sudah ditumbuhi jenggot lebat menjadi tidak simetris alias besar sebelah dan matanya tampak selalu merah. Sementara pawang Hamid Rambo wajahnya terlihat lucu dengan hidung yang membesar seperti pinokio.
Sekitar pukul 4 sore lewat, kami keluar dari rimbunnya hutan perdu tersebut. Kami memasuki sebuah tempat terbuka yang menimbulkan kesan mistis. Tempat itu ditumbuhi rumput pendek yang seolah dirawat dengan baik seperti di lapangan golf. Di beberapa bagian ditumbuhi bunga-bunga kecil berwarna merah muda dan putih. Suasana mistis ini semakin terasa karena dinginnya udara ditambah lagi saat kami tiba di tempat itu, seluruh tempat itu perlahan-lahan di selaputi kabut yang mulai turun.
Bersama Tajuddin, aku adalah anggota tim pertama yang mencapai tempat itu.
Melihat suasana seperti itu, kepalaku terasa mengembang dan bulu-bulu ditubuhku merinding, karena aku langsung teringat berbagai cerita dan dongeng tentang Leuser dan hutan-hutan di Aceh yang ditinggali berbagai makhluk yang tak dikenal. Dulu waktu kecil ayahku sering bercerita pengalamannya bertemu dengan orang bunian, manusia gaib yang tinggal di hutan-hutan yang kadang-kadang juga menampakkan diri. Ayahku pernah bercerita kalau orang bunian ini seperti juga manusia biasa, berladang dan menanam berbagai tanaman rempah di hutan. Menurut ayahku, terkadang ketika melewati hutan kita bisa melihat ladang mereka, tapi ketika kembali di hari lain di tempat itu tidak ada apa-apa hanya belantara biasa. Aku juga teringat cerita tentang 'Mantee', manusia kate yang konon tinggal di hutan-hutan Aceh yang memiliki telapak kaki dengan tumit terbalik dibanding manusia biasa sehingga ketika orang melihat jejak telapak kaki mereka, yang terlihat seolah-olah mereka berjalan mudur. Beberapa pemburu di kampung saya konon pernah melihat makhluk bernama 'Mantee' ini, bahkan konon pernah ada yang sampai menikah dengan salah satu makhluk itu. Berdasarkan cerita seperti itulah pada tahun 1985 Presiden Soeharto melalui departemen sosial Aceh Tengah pernah menginstruksikan untuk mencari kebenaran keberadaan 'Mantee' ini. Tapi tidak pernah berhasil ditemukan sampai hari ini.
Dalam suasana dan pikiran seperti ini. Tiba-tiba Gusrak...! Aku dan Tajuddin dikejutkan dengan suara bergemuruh dari pohon-pohon di depan kami yang tumbuh di tebing terjal yang diselimuti kabut. Kami melihat satu rombongan kera besar tak berekor berwarna abu-abu sedang berlarian melintasi pohon-pohon itu. Beberapa diantara kera-kera tersebut memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari kami berdua. Aku dan Tajuddin yang kelelahan dan tubuh babak belur langsung balik badan dan entah mendapat tenaga dari mana, dengan ransel seberat 30 kilogram di punggung kami bisa berlari kencang ke arah anggota Tim yang lain. Tapi dalam kepanikan seperti itu aku masih sempat berteriak kepada Bobby yang bertugas sebagai seksi dokumentasi untuk memfoto makhluk tersebut.
Tapi karena kamera disimpan di ransel, Bobby harus menurunkannya lagi dan mencari kamera semua makhluk itu pun keburu menghilang. Karena sepertinya kera-kera besar itu pun sama takutnya dengan kami semua. Maklumlah selama ini makhluk bernama manusia yang pernah datang ke tempat itu baru kami dan Tim gabungan Wanadri-Brimob yang mendaki jalur selatan Leuser 3 bulan sebelum kami. Tapi sepertinya ketika mereka sampai di tempat itu, makhluk-makhluk tersebut tidak ada di sana.
Setelah keadaan tenang, karena hari sudah sore dan sudah waktunya untuk membuka tenda dan kebetulan di tempat ini ada tempat yang ideal untuk mendirikan tenda, kami pun memutuskan untuk beristirahat di tempat itu untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Camp ini kemudian kami namai camp nyaman.
Dua hari setelah itu kami mencapai puncak Leuser sekaligus menjadikan Asih Budiati,teman satu Diksar denganku yang merupakan satu-satunya perempuan di tim kami sebagai perempuan pertama yang mencapai puncak Leuser melalui jalur selatan.
Ketika kami sudah turun dan kembali ke peradaban sepertinya seluruh anggota tim sudah melupakan kejadian bertemu rombongan kera besar tersebut, tapi aku tidak pernah bisa menghilangkan kejadian itu di kepalaku sampai hari ini.
Kera-kera besar itu menarik perhatianku karena kutahu kera jenis itu belum pernah diketahui keberadaannya dalam dunia biologi. Selama ini di Sumatera dikenal hanya ada dua jenis kera besar Orang Utan (Pongo pygmeus abellii) dan Siamang (Hylobates syndactilus) yang ciri fisiknya dan kebiasaannya sangat berbeda dengan Kera besar yang kami lihat saat pendakian jalur selatan Leuser tahun 1994 silam (Orang Utan berbulu merah dan hidup soliter, Siamang berbulu Hitam berukuran lebih kecil dari manusia memiliki sedikit ekor pendek dan biasanya hidup di pohon tinggi) . Sementara di dunia sendiri selain Orang Utan dan Siamang hanya dikenal empat spesies kera besar lain yaitu Simpanse (Pan troglodytes) dan 'sepupu'nya Bonobo (Pan paniscus) serta dua spesies Gorilla, Gorilla Barat (Gorilla gorilla) dan Gorilla Timur (Gorilla beringei) yang masing-masing memiliki beberapa sub-spesies sebagaimana Orang Utan Sumatera dan Orang Utan Kalimantan. Keempat spesies primata besar ini hidup di Afrika.
Aku sering membayangkan kalau saja waktu itu kami ssempat mendapatkan foto makhluk tersebut, itu tentu akan menjadi penemuan ilmiah yang luar biasa dan EJSL' 94 pun akan diingat bukan cuma sebagai misi pendakian biasa. Tapi tentu saja itu semua cuma khayalan semata.
Sampai beberapa tahun kemudian aku masih sering menceritakan tentang Kera besar yang kami temui itu ke banyak orang, termasuk kepada teman-teman di FFI (Fauna and Flora International), sebuah NGO Internasional yang bergerak di bidang lingkungan tempat aku pernah bergabung beberapa waktu sebagai volunteer, tapi tidak pernah ada yang menanggapi dengan serius. Ketika aku mencoba menuliskan artikel tentang ini dan mengirimkannya kepada koran lokal Serambi Indonesia, juga sama sekali tidak ditanggapi oleh redaktur harian itu.
Tahun 2002 ketika aku bergelut di bisnis kopi di Medan, dalam perjalanan pulang dari Sidikalang, di sekitar Bandar Baru dekat Berastagi. Aku melihat seorang perempuan kulit putih setengah baya sedang menunggu angkutan. Aku meminta temanku yang menyetir untuk menghentikan mobil dan mengajaknya naik. Perempuan ini bernama Regina Frey yang berasal dari Swiss, bekerja di sebuah LSM untuk penyelamatan Orang Utan. Mengetahui latar belakangnya, akupun dengan antusias menceritakan pengalamanku bertemu kera besar tahun 1994 itu. Tapi Regina ini sepertinya adalah tipikal kulit putih arogan yang merasa ras-nya sebagai ras paling unggul yang menganggap semua manusia berkulit coklat adalah manusia-manusia bodoh yang tidak tahu apa-apa mengenai dunia ilmiah. Ketika mendengar ceritaku dengan nada meremehkan dia balik bertanya "apa yang kamu lihat itu Gorilla?", "Atau Simpanse?", katanya. nadanya berbicara seolah-olah menuduh saya manusia pencari sensasi yang tidak dilengkapi pengetahuan biologi dasar, sehingga tidak tahu kalau Gorilla dan Simpanse adalah dua kera besar penghuni Afrika bukan Sumatera.
Begitulah, banyak misteri yang tersembunyi di Leuser mulai dari banyaknya jenis tumbuhan dan hewan yang belum dikenal sampai cerita setengah dongeng tentang 'Padang Seri Buleun', tempat terbuka yang merupakan tempat berkumpulnya hewan-hewan liar yang mati secara alami yang konon terdapat di Leuser. Yang konon katanya di tempat ini medan magnetnya begitu besar sehingga burung yang terbang melintas di atas padang ini pun akan jatuh karena tertarik oleh medan magnet yang besar itu.
Sebagaimana beragam tumbuhan dan hewan yang ada di Leuser yang sampai sekarang belum terungkap keberadaannya. Begitu juga dengan kawanan kera besar yang kami lihat pada tahun 1994 itu, sampai hari ini keberadaannya masih misteri.
Cuma aku yakin suatu saat nanti akan ada orang yang mengungkapkan keberadaan kera besar tersebut. Dan kalau itu terjadi, saya berharap kalau orang itu adalah orang yang berasal dari Nusantara ini, akan lebih baik lagi kalau orang itu adalah orang Aceh, apalagi kalau mereka adalah adik-adik saya sendiri dari UKM-PA Leuser Unsyiah.
Wassalam
Win Wan Nur
LL.165.US
Anggota UKM-PA Leuser Unsyiah
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Note : EJSL'94 adalah ekspedisi kedua yang dilakukan oleh UKM-PA Leuser Unsyiah dalam usaha untuk mencapai puncak Leuser melalui jalur selatan
Anggota Tim Pendaki EJSL'94
1. Badrul Irfan (Mahasiswa FH, sekarang Staf BPKEL) dari DIKSAR VII---Sebagai Ketua Tim Pendakian.
2. Enjur Parhandi (Mahasiswa FE, Sekarang Pegawai Swasta di Lhokseumawe) dari DIKSAR IX ---Sebagai Navigator.
3. Win Wan Nur (Mahasiswa FT, Yang menulis artikel ini) anggota muda dari DIKSAR X --- Sebagai Co-Navigator sekaligus seksi perlengkapan.
4. Sofyan alias Ogek (Mahasiswa FT, Sekarang Dosen di Jurusan Teknik Arsitektur Unsyiah) dari DIKSAR VII ---Sebagai Seksi Konsumsi.
5. Asih Budiati (Mahasiswa FKIP, Sekarang guru SMA di Aceh Barat) anggota muda dari DIKSAR X---Sebagai Seksi kesehatan.
6. Asep Bobby Janual Kapindi (Mahasiswa FP,Sekarang Staf Departemen Kehutanan Jawa Barat) dari DIKSAR IX --- Sebagai Seksi Dokumentasi.
7. Nourman Hidayat (Mahasiswa FH, Sekarang ketua Fraksi PKS DPRK Aceh Besar) anggota muda dari DIKSAR X--- Sebagai seksi pencatatan.
8. Tri Susela (Mahasiswa FH, Sekarang Staf Pengadilan Agama Aceh Utara) anggota muda dari DIKSAR X ---Sebagai Seksi perlengkapan.
9. M. Tajuddin (Mahasiswa FT,Sekarang Staf Bappeda Aceh) dari DIKSAR IX --- Saya lupa fungsinya dalam pendakian sebagai apa.
10 Hamid Rambo (kabarnya sekarang sudah almarhum) Sebagai Pawang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Top Story bang....seandainya cerita ini menjadi bahan penelitan yang lebih lanjut..
dede
Pengennya sih gitu De
Saya percaya itu benar bung Win. Kenapa ? Karena saya sendiri mengalami hal yg nyaris sama dgn anda dan di tempat yg mungkin sama. Nama saya bisa anda baca sebagai nama FB saya. Saya tergabung di Ekspedisi Jalur Rintisan Selatan - Barat Day
a Leuser pada Agus-Sep 1995 Tim Mapagratwa Politeknik Medan beranggotakan 6 pendaki dan 2 org support komunikasi di BC. Berselang 3 hari sebelum kami ada Tim Ekspedisi Leuser dari Impeesa Perbanas Jakarta beranggota 17 org dan 7 porter berangkat dari desa yg sama namun mereka memilih punggungan yg beda dgn kami, sebab kami melipiri Krueng Meukek dan Bukit Meuh. 10 hari kemudian mereka kembali turun dan membatalkan pendakian entah karena apa. Kami berangkat dari Jambo Papeun (Meukek) Aceh Selatan selama 27 hari hingga mencapai puncak Leuser dan Loser (S-227) dan turun kembali dalam 11 hari. Berita pendakiannya ada di Harian Serambi, Harian Mimbar Umum dan Harian Waspada terbitan Medan pada akhir Sept 1995.
Hal bertemu kera besar itu saya alami sendiri sekitar Camp 19-20, sekitar 3 hari sebelum mencapai puncak Leuser ... saat itu saya dan seorang rekan sedang leading untuk membuka tebasan dan memasang stringline. Awalnya saya sendirian 20 m di depan rekan saya. Saya mendengar ranting2 didepan saya dipepohonan patah akibat ada yg menerobos maju dgn cepat. Awalnya saya mengira itu orang utan yg memang banyak ditemukan dan sama sekali tidak takut pada manusia, namun dari bunyinya saya yakin bobotnya lebih berat dari org utan. tak lama terdengar dia mengarah turun ke lintasan saya dan berada sekitar 20m an didepan saya (punggungan bukit yg sama) dan semakin dekat. Naluri dan sedikit rasa takut membuat saya tiarap dan berlindung di sebuah batang pohon besar yg tumbang, sembari saya mengeluarkan golok tebas saya untuk berjaga2 .. samar saya bisa melihat kalau mahluk itu besarnya kira2 sama atau sedikit lbh besar dr manusia dewasa dan berbulu agak kelabu gelap. Langkahnya terasa berat saat melompat dan menerobos hutan rotan di depan saya. Teman saya yg menyusul saya suruh tunduk dengan isyarat. Dia jg mengakui mendengar langkah dan ranting patah yg saya maksud namun tidak melihat langsung fisiknya. Sambil berbaring kami masih mendengar mahluk itu bergerak menjauh ke arah kanan di depan kami ... Yg bisa saya pastikan adalah dia tidak sendirian, paling tidak ada dua atau tiga. Tak lama 4 rekan lainnya bergabung di lokasi kami dan kami melanjutkan pendakian kami. Malamnya di Camp saya sempat membicarakan itu dgn rekan saya yg tadi, namun dia tetap mengaku hanya mendengar tapi tidak melihat langsung.
Setelah itu kejadian itu saya simpan sebagai misteri dalam hati saya hingga saya membaca tulisan saudara Win Wan Nur setelah hampir 19 tahun kemudian. Bukan mustahil kera besar hitam itu memang ada. Namun untuk membuktikannya paling tidak harus ada yg kembali kesana ... Salam Rimba !
Posting Komentar