The Ethiops say that their gods are flat-nosed and black, While the Thracians say that theirs have blue eyes and red hair.
Yet if cattle or horses or lions had hands and could draw, And could sculpt like men, then the horses would draw their gods Like horses, and cattle like cattle; and each they would shape Bodies of gods in the likeness, each kind, of their own. (Xenophanes)
Tulisan di atas merupakan kutipan dari ucapan Xenophanes, seorang filsuf yang hidup pada tahun 570 – 480 SM di suatu masa di Yunani yang disebut zaman Elea, satu setengah milenium sebelum kita semua lahir.
Di zaman Xenophanes hidup, masyarakat di tempatnya tinggal gemar sekali melakukan aktifitas dan ritual keagamaan. Tapi aktifitas keagamaan yang dipraktekkan orang pada zaman itu lebih dipengaruhi oleh rasa ketakutan yang besar terhadap Tuhan-Tuhan yang suka bersikap kejam, egois, keras kepala dan pemarah serta gampang sekali menjatuhkan hukuman, bukan karena dorongan rasa spiritual.
Pada masa itu orang-orang Yunani menyembah banyak Tuhan dalam bentuk berhala-berhala yang karakternya dibuat berdasarkan gambaran yang berasal dari imajinasi dua pujangga besar bangsa mereka, Homer dan Hesiod.
Di antara Tuhan-Tuhan hasil imajinasi Homer dan Hesiod itu ada yang bernama Zeus, Tuhan tertinggi yang diantaranya memiliki sifat playboy suka mengambil anak gadis dan istri orang seenaknya. Ada Hera ibu tiri yang pendendam, ada Artemis (Diana) saudara kembar Apollo yang cantik dan angkuh yang dengan semena-mena bisa mengutuk jadi batu pemuda yang kebetulan melihat dan mengagumi kecantikannya.
Selain kisah para penyembah berhala yang hidup dalam masyarakat Yunani ini, sejak kecil saya sering membaca berbagai kisah tentang para penyembah berhala dengan berbagai tempat sebagai latar belakang berdasarkan cerita dari bermacam kepercayaan dan agama.
Ada satu fakta menarik yang saya lihat setiap kali saya membaca kisah-kisah para penyembah berhala ini. Yaitu adanya kesamaan latar belakang situasi sosial dan moralitas dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat penyembah berhala seperti ini. Ketika saya amati dalam kisah-kisah yang saya baca, bahwa di mana pun tempatnya dan di zaman apapun terjadinya. Di sana selalu terdapat masyarakat yang jatuh ke dalam situasi sosial yang dipenuhi rasa frustasi karena ketidak adilan yang merata di mana-mana. Masyarakat penyembah berhala selalu digambarkan sebagai masyarakat yang terjebak dalam suasana dekadensi moral yang parah.
Dari kisah-kisah yang saya baca, selalu diceritakan bahwa di tempat-tempat yang didiami para penyembah berhala ini, konsep-konsep non-kemanusiaan mekar dan berkembang biak dengan suburnya. Segala kejelekan dan keburukan akan menjulang. Perbuatan menipu akan menghasilkan kekayaan, bersikap munafik dan bermuka dua akan menguntungkan. Dan bagi saya, yang paling menarik dari semuanya adalah; berhala-berhala yang disembah sebagai Tuhan itu bukan kebetulan selalu hadir sebagai sosok yang sangat pro penguasa dan memusuhi rakyat jelata. Dalam masyarakat seperti ini, setiap terjadi masalah atau kejadian yang tidak menyenangkan, dan harus ada pihak yang di salahkan. Maka yang salah selalu rakyat jelata, bukan penguasa.
Bagi yang beragama Islam silahkan baca kisah nabi-nabi mulai dari Ibrahim, Musa sampai Muhammad yang semuanya dikisahkan berjuang menentang perilaku penyembahan berhala. Di sana anda akan melihat semua nabi-nabi itu hadir dalam masyarakat yang mengalami situasi sosial dan suasana moral seperti yang saya gambarkan di atas.
Bagi penganut agama lain silahkan lihat latar belakang sosial kemunculan Siddharta Gautama yang di kemudian hari dikenal sebagai Buddha. Dalam kepercayaan Hindu dikenal sosok Khrisna yang dipercaya merupakan reinkarnasi dari Dewa wisnu yang selalu hadir di setiap masa ketika masyarakat terjatuh dalam suasana sosial seperti yang saya gambarkan di atas yang terjadi karena masyarakat dikuasai para penyembah berhala.
Kemudian saya juga mengamati dalam kisah-kisah itu. Ada satu keseragaman karakter dari semua penyembah berhala di segala agama, tempat dan zaman. Dalam kisah-kisah itu mereka selalu digambarkan sebagai orang-orang keras kepala yang malas berpikir dan tidak suka diingatkan. Mereka adalah orang-orang yang selalu menolak keras segala ide yang menawarkan kejernihan. Para penyembah berhala selalu digambarkan sebagai orang-orang yang mempercayai adanya kebenaran mutlak dalam setiap detail kecil ajaran nenek moyang mereka. Mereka selalu menolak keras usaha untuk menrekonstruksi ide-ide yang ada dalam kepercayaan nenek moyang mereka karena kurang lebih mereka percaya, bahwa nenek moyang merekalah generasi terbaik umat manusia yang pernah ada.
Dalam kisah para penyembah berhala, orang-orang yang menawarkan kejernihan semacam Xenophanes, Buddha, Khrisna dan para nabi-nabi dalam kisah-kisah Islam adalah jenis manusia yang paling mereka musuhi dan mereka tentang. Para penguasa menentang orang-orang yang menawarkan kejernihan karena keberadaan mereka jelas mengganggu hegemoni kekuasaan. Sementara masyarakat banyak memusuhi mereka, karena masyarakat dikuasai oleh rasa ketakutan terhadap kekuasaan tak terbatas yang (dalam imajinasi mereka) dimiliki oleh sang berhala. Dalam berbagai kisah nabi yang saya baca, bahkan kadang masyarakat yang dikuasai ketakutan terhadap imajinasi yang mereka ciptakan sendiri itu, tidak segan untuk membunuhi para nabi yang menawarkan kejernihan.
Kembali ke kutipan yang saya tulis sebagai pembuka tulisan ini. Kutipan tersebut di atas adalah ucapan yang dikeluarkan oleh Xenophanes sebagai bentuk kritik dan perlawanan sekaligus sebagai sebuah bentuk serangan terhadap situasi aktual yang terjadi di Yunani pada zaman antik itu yang keadaanya kurang lebih sama seperti yang saya gambarkan di atas. Ketika itu masyarakat di zaman Xenophanes hidup tersebut terjatuh dalam situasi sosial yang kacau dan penuh ketidak adilan dan mengalami dekadensi moral yang parah.
Waktu berlalu, peradaban meningkat pesat. Melalui teknologi, manusia sekarang sudah bisa mengatasi segala hal yang dulu menjadi kelemahannya. Untuk mengatasi kendala jarak dalam geografi, manusia menciptakan berbagai moda transportasi yang memungkinkan manusia untuk menjelajahi tempat manapun di muka bumi. Untuk komunikasi bahkan lebih canggih lagi, sekarang, bahkan pada saat saya menulis inipun saya dapat berkomunikasi dengan teman saya yang berjarak ribuan mil jauhnya. Yang berada entah di sudut dan pelosok mana planet ini.
Tapi perubahan yang saya gambarkan di atas hanyalah perubahan secara fisik semata. Secara spiritual, manusia masih makhluk yang itu-itu juga. Persis seperti manusia yang hidup di zaman Xenophanes, di zaman nabi-nabi dan zaman Buddha yang tidak pernah bisa melepaskan diri dari kecenderungan menyembah berhala.
Dalam masa modern ini manusia yang menyembah Tuhan yang secara fisik dibentuk seperti dirinya memang berkurang banyak jumlahnya. Tapi Manusia tetap tidak bisa melepaskan diri dari kecenderungan untuk menyembah Tuhan yang cenderung dibuat mirip dengan dirinya.
Seringkali Tuhan ciptaan Manusia itu dipanggil dengan nama yang sama, tapi perilaku, sifat dan temperamenNya selalu menyesuaikan diri dengan perilaku, sifat dan temperamen orang yang menuhankanNya.
Contohnya ada di sekitar kita sendiri. Kita lihat misalnya di lingkungan orang fanatik, radikal dan fundamentalis dari agama manapun. Di lingkungan seperti ini, Tuhan yang mereka sebut dengan berbagai nama selalu kita lihat hadir dengan karakter yang persis sama. Rasis, sombong, keras kepala, tidak konsisten dan bermuka dua yang selalu membenarkan apapun tindakan kaum fundamentalis yang meyakiniNya. Tidak peduli sebesar apapun kerusakan yang ditimbulkan oleh pemujaNya itu.
Sifat dan karakter Tuhan yang dipuja dan disembah oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan juga sama, selalu hanya mementingkan kepentingan pemujanya saja. Gampang sekali marah dan emosi terhadap setiap kesalahan kecil yang dilakukan rakyat jelata dan menutup mata terhadap apapun yang dilakukan oleh penguasa.
Ketika membaca kembali kisah-kisah para penyembah berhala itu, tiba-tiba sayapun merasakan adanya kesamaan situasi, suasana dan latar belakang sosial di negeri dan zaman itu dengan di negeri dan zaman saya hidup sekarang.
Lalu, apakah itu berarti kita sedang hidup dalam masyarakt penyembah berhala?...Jawabnya 'Tidak' jika definisi BERHALA yang kita gunakan adalah definisi berdasarkan penjelasan wikipedia ini http://id.wikipedia.org/wiki/Berhala
Tapi kalau kita definisi penyembah berhala kita pahami sesuai dengan esensinya yaitu sebagai perilaku manusia yang suka menciptakan dan menyembah Tuhan-Tuhan kejam yang pro penguasa dan memusuhi rakyat jelata. Kemudian pemahaman itu kita kaitkan dengan situasi sosial yang ada sekarang di sekitar kita. Maka kita segera melihat, bagaimana mesranya pemuka agama dengan penguasa yang bersama-sama memusuhi rakyat jelata dan bagaimana dekadensi moral yang diakibatkannya. Kalau itu kita jadikan acuan. Ya kita memang hidup di lingkungan penyembah berhala.
Contoh perilaku yang suka menciptakan dan menyembah Tuhan-Tuhan kejam yang pro penguasa dan memusuhi rakyat jelata semacam ini misalnya dengan jelas saya saksikan beberapa waktu yang lalu melalui sebuah tulisan di status facebook milik salah seorang yang terdaftar sebagai teman saya. Teman saya ini bernama Rusda Harti Binti Djauhar yang memiliki basis pendidikan tinggi dari fakuktas Teknik jurusan Teknik Sipil. Dia adalah puteri seorang pejabat tinggi di kabupaten Aceh Tengah tempat kelahiran saya. Tulisan dari perempuan berjilbab yang dibesarkan dalam keluarga yang menganut nilai-nilai keagamaan secara disiplin kaku dan ketat ini berbunyi "Mungkin Allah sengaja membakar bukit-bukit di sekitar bukit Di pinggir laut tawar karena Allah marah bukit-bukit itu selama ini digunakan untuk berkhalwat".
*Nama teman saya ini sengaja saya tulis dengan lengkap untuk memenuhi permintaan yang bersangkutan sendiri. Alasannya karena katanya dia ingin numpang terkenal kalau tulisan ini nantinya banyak dibaca orang.
Sebagai orang Islam yang sejak kecil diajarkan untuk memperlakukan Tuhan sebagai suatu entitas yang suci, yang mengucapkan nama Tuhan seperti yang dia sebutkan dengan vulgar ini pun hanya saya lakukan ketika saya melakukan aktivitas religius saja, hanya ketika secara spiritual saya merasa sedang melakukan kontak pribadi denganNya. Terus terang sebenarnya saya merasa sangat tidak nyaman dan terganggu menyaksikan nama Tuhan yang saya anggap suci itu dihamburkan dan diobral sedemikian vulgar dan murahnya.Tapi karena saya tidak memiliki kekuasaan yang bisa melarang mereka untuk melakukan itu dan menurut saya pun urusan dengan Tuhan adalah urusan pribadi bagi orang-orang yang mempercayainya, biarlah urusan obral-mengobral namaNya itu menjadi urusan yang bersangkutan dengan Tuhan yang kesucian namaNya telah mereka obral dengan harga murah itu.
Sebagai orang waras yang terbiasa menggunakan otak yang dianugerahkan Tuhan kepada saya sesuai fungsi dan kodratnya yaitu untuk BERPIKIR, maka saya pun langsung dapat melihat tidak logisnya pernyataan teman saya ini. Apa hubungannya berkhalwat dengan bukit yang terbakar?. "Bukankah di musim kemarau seperti sekarang ini, saat rumput-rumput mengering dan rawan terbakar?", pikir saya. Bagi saya, ucapan teman saya di status facebook miliknya sebagaimana saya ceritakan di atas jelas adalah sebuah ucapan yang tidak memiliki basis logika, spekulatif, tidak konsisten serta diskriminatif.
Kejadian kebakaran adalah hal yang lumrah terjadi di perbukitan yang mengelilingi Laut Tawar. Sejak tahun 1983 saya tinggal di kaki salah satu bukit itu. Sepanjang ingatan saya, tidak pernah dalam satu tahun pun terjadi bukit tersebut tidak terbakar di musim kemarau.
Jadi apa yang dapat saya baca dari tulisan di atas adalah yang bersangkutan sangat membenci aktifitas berkhalwat di atas segala perbuatan buruk lainnya. Dia percaya bahwa perbuatan itu sangat dibenci Tuhan, karena sejak kecil ke dalam kepalanya memang selalu dijejalkan cerita tentang Tuhan yang tidak suka melihat orang berkhalwat. Ke dalam kepalanya juga ditanamkan bahwa Tuhan yang sama suka bersikap kejam, egois, keras kepala dan pemarah serta gampang sekali menjatuhkan hukuman. Maka seperti para penyembah berhala manapun yang hidup di zaman apapun. Sebagaimana halnya orang Yunani pada masa Xenophanes hidup yang selalu ketakutan terhadap Tuhan-Tuhan hasil imajinasi Homer dan Hesiod, teman saya yang bernama Rusda ini pun demikian. Melihat bukit yang terbakar dia ketakutan sendiri. Dia percaya bahwa itu terjadi karena Tuhannya yang pemarah yang selalu hadir dalam imajinasinya karena sejak kecil selalu digambarkan demikian oleh keluarganya itu. Maka tidak heran kalau dia pun berpikir Tuhan yang dia percaya itu langsung gelap mata melihat adanya orang berkhalwat dan tanpa ampun dan tanpa perlu bertanya 'kenapa?' Tuhan itupun menjatuhkan hukuman.
Seperti kata Xenophanes, kalaulah Kuda, singa dan sapi punya tangan, bisa menggambar dan memahat maka merekapun akan membuat Tuhan yang identik dengan jenisnya.
Melalui pernyataan teman saya tersebut, saya pun segera melihat kalau Tuhan (yang namanya dia sebut persis seperti nama Tuhan yang saya sembah dalam setiap sujud saya) dalam imajinasi teman saya ini adalah Tuhan yang dibuat persis seperti 'jenis' teman saya ini. Tuhan teman saya ini memiliki karakter yang persis sama dengan Tuhan-Tuhan yang disembah para penyembah berhala yang hidup di segala tempat dan zaman.
Ada hal lain yang lebih menarik di balik kemarahan Tuhan yang dipercayai teman saya ini. Di tempat di mana Tuhan dalam imajinasi teman saya ini membakar bukit itu, ada penguasa yang menjual mesjid dan rumah anak yatim. Di sana ada danau air tawar terbesar di Aceh tapi rakyatnya kehausan karena kekurangan air bersih. Di sana air danau yang menjadi tumpuan hidup banyak orang terus berkurang debit airnya tanpa ada tindakan kongkret apapun dari penguasa.
Karena anak yatim yang mesjid dan rumahnya dijual penguasa, orang yang kehausan karena kekurangan air bersih dan orang yang megap-megap terancam kehilangan mata pencaharaian akibat berkurangnya debit air danau bukanlah orang yang 'Sejenis' dengan teman saya ini. Maka Tuhan yang disembah oleh teman saya ini pun sama sekali menutup mata terhadap itu semua. Tuhan yang disembah oleh teman saya ini benar-benar IMPOTEN ketika berhadapan dengan penguasa. Persis seperti Tuhan-Tuhan yang disembah oleh para penyembah berhala.
Ketika saya membaca tulisan teman saya tersebut, secara naluriah saya spontan saya mengingatkan. Tapi sebagaimana halnya para penyembah berhala di segala zaman. Teman saya inipun resistant. Dengan segala alasan yang dia punya, dari yang mencoba buang badan sampai sekonyol-konyolnya sebuah alasan dia keluarkan. Pokoknya baginya kebenaran sejati hanya ada dalam apa yang dikatakan nenek moyang yang turun-temurun diajarkan dalam keluarga, di luar itu sejernih apapun yang ditawarkan, itu adalah bisikan setan.
Sebagaimana halnya semua daerah di Aceh yang menerapkan syari'at islam. Di daerah ini pun tentu saja ada ulama, dengan wadah MPU sebagai pemberi masukan dan pandangan syari'ah tertinggi bagi para penguasa.
Tapi sebagaimana layaknya di setiap negeri yang dikuasai para penyembah berhala, dimana para pemuka agama berkolaborasi dengan apik bersama penguasa memusuhi rakyat jelata, maka ulama di negeri inipun sama. Ketika terjadi kasus penjualan mesjid dan rumah anak yatim itu misalnya. Alih-alih seperti Xenophanes, para nabi dan orang-orang besar yang hidup di zaman yang dipenuhi para penyembah berhala yang selalu berada di garis terdepan saat berhadapan dengan penguasa lalim yang suka bertindak semena-mena. Ulama yang paling berpengaruh di daerah ini yang menjabat sebagai ketua MPU, melalui sebuah wawancara yang diterbitkan koran terbesar di Aceh, malah dengan lincahnya mengemukakan dalil-dalil yang dikutip dari teks-teks kitab suci, untuk mempengaruhi masyarakat supaya membenarkan perilaku dan tindakan sang penguasa.
Di tingkat administratif yang lebih tinggi, di tingkat provinsi juga sama, malah lebih parah lagi. Daerah ini mengalami banyak sekali masalah yang menghantam rakyat jelata. Di sini ada penebangan hutan tak terkendali, ada korupsi luar biasa besar yang memangsa korban tsunami, ada banyak pelanggar HAM yang tidak pernah kunjung diadili. Padahal kalau Tuhan memang maha tahu dan maha kuasa, Tuhan tentu tahu itu semua dan tentu tahu siapa yang paling bertanggung jawab di sana.
Tapi seperti Tuhan-Tuhan yang disembah para penyembah berhala yang tidak penah menaruh minat kepada kesalahan yang disebabkan oleh pemegang kuasa, Tuhan di negeri ini pun sama saja. Dia lebih berminat mengurusi perempuan yang tidak berjilbab,mengurusi orang berkhalwat dan yang terbaru mengurusi masalah jinayat.
Di Tingkat Nasional, juga sama.
Di negara ini banyak sekali masalah yang dihadapi oleh rakyat jelata. Korupsi memangsa semua potensi negara ini untuk bisa mensejahterakan rakyatnya. Orang yang dipilih menjaddi wakil melakukan politik dagang sapi untuk kepentingan kelompoknya. Jika di Cina pelaku korupsi dianccam dengan hukuman mati, di sini sebaliknya orang yang melawan Korupsi lah yang diancam dengan hukuman mati. Rakyat di negara ini hanya menjadi pelengkap penderita.
Lalu bagaimana rekasi Tuhan yang disembah mayoritas penduduk negeri ini terhadap situasi aktual yang ada?
Melalui manusia-manusia yang secara resmi ditasbihkan menjadi wakilNya di bumi rupanya Tuhan sama sekali tidak tertariuk mengurusi itu semua. Tuhan justru lebih gusar melihat banyaknya pengemis di kota-kota. Tapi rasa gusar Tuhan inipun bukan ditujukan kepada penguasa yang membuat kebijakan yang tidak tepat yang membuat orang terpaksa mengemis. Sebaliknya yang menjadi sasaran kemarahan Tuhan adalah orang-orang yang terpaksa mengemis itu. Tanpa merasa perlu lagi untuk mempertanyakan 'kenapa orang menjadi pengemis?, tanpa ampun Tuhan ini langsung mengharamkan perilaku mengemis itu.
Saat fenomena Golput merebak juga begitu. Tuhan yang sama tanpa ampun langsung mengharamkan Golput. Tuhan ini juga sama sekali tidak merasa perlu untuk mempertanyakan 'kenapa orang menjadi Golput?'. Apakah itu karena kegatalan pribadi atau karena orang-orang sudah muak melihat perilaku para politisi yang dengan kekuasaan di tangan melakukan politik dagang sapi yang menggunakan kekuasaan politik untuk memperkaya diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sama sekali tidak pernah eksis di dalam benak Tuhan-tuhan semacam ini. Pokoknya kalau ada yang tidak menyenangkan hatinya, langsung yang disalahkan adalah rakyat jelata.
Pendeknya, situasi di negeri ini benar-benar IMMORAL, persis sebagaimana yang terjadi pada masyarakat penyembah berhala di zaman baheula
Dalam situasi IMMORAL seperti ini, ketika pemuka agama bersatu padu dengan penguasa yang tidak mau tahu apalagi mengakomodir kegelisahan yang berkembang dalam masyarakatnya, membuat masyarakat yang tinggal di tempat ini semakin terpuruk baik secara ekonomi maupun harga diri yang melahirkan banyak manusia-manusia frustasi.
Orang-orang yang berada dalam situasi frustasi semacam ini mudah sekali terpengaruh jika ada alternatif instan untuk mengeluarkannya dari situasi yang dia alami. Secara alamai, dalam masyarakat semacam ini muncul orang-orang yang menawarkan kenikmatan yang dapat diperoleh secara instant, di dalamnya termasuk kenikmatan spiritual. Sehingga dalam masyarakat seperti ini berhamburanlah berbagai tawaran spiritulitas instant. Entah itu bernama ESQ, atau ustadz-ustadz komersil yang memberikan pencerahan nurani yang setiap berbicara meminta tarif tinggi. Tapi semua itu adalah kenikmatan spiritual berbayar.
Lalu dalam masyarakat seperti ini bagaimana nasib orang-orang pinggiran di negeri ini yang megap-megap mencari sesuap nasi yang jelas-jelas tidak mampu membeli kenikmatan spiritual instant berbayar semacam itu?.
Tidak perlu khawatir, mereka juga punya saluran pelepasan sendiri. Kepada orang semacam ini akan ada orang yang datang untuk menawarkan kenikmatan instant. Tapi bedanya untuk masyarakat kelas ini, kenikmatan isntant itu hanya bisa didapatkan setelah mati. Dengan bertemu orang yang datang untuk menawarkan kenikmatan instant semacam ini, orang-orang yang hidup dalam suasana frustasi inipun terpuaskan dahaga spiritualnya. Maka biasanya setelah bertemu orang yang menawarkan kenikmatan instant semacam ini, orang-orang yang hidup dalam suasana frustasi inipun mulai berkhayal kenikmatan apa yang akan dia dapatkan sesudah mati. Setiap waktu kerjanya membayangkan surga dengan fasilitas bintang lima yang dilengkapi dengan bidadari-bidadari yang lebih cantik dari Agnes Monica atau Luna Maya. Dalam pikiran mereka, khayalan indah tersebut seolah tampak nyata dan begitu mudah dijangkau di depan mata. Lalu dengan optimisme yang besar seperti optimisme yang dimiliki para pemasang nomor togel, merekapun akan mengejarnya dengan suka cita.
Lalu apakah semua penghuni negeri ini adalah orang-orang pathetic semacam itu?. Tentu saja tidak. Sebagaimana yang terjadi di setiap zaman ketika masyarakat terjatuh ke dalam kesesatan selalu ada orang-orang yang datang menawarkan kejernihan.
Contoh paling dekat ada di Aceh, negeri asal saya sendiri.
Pasca tsunami, Aceh negeri saya yang dulu dibuat tertutup oleh penguasa tiba-tiba jadi bebas terbuka. Orang-orang Aceh yang dulu merasa pernah berkunjung ke Medan saja sudah demikian hebatnya. Kini tiba-tiba menjadi akrab dengan Iran, mesir, Perancis, Inggris, Belanda, Jerman sampai Amerika. Akibatnya di Aceh pun bermunculan orang waras dalam jumlah yang luar biasa banyaknya.
Tapi orang-orang yang terbiasa hidup dalam kegelapan yang merasa silau dengan datangnya cahaya juga tidak kurang jumlahnya. Mereka merasa nyaman dan memilih bertahan dalam kegelapan sebagaimana biasanya. Orang jenis kedua ini mempertahankan mati-matian kegelapan yang telah mereka peluk dalam waktu yang lama. Ketika ancaman dari orang-orang waras yang datang untuk memberi penerangan semakin nyata, merekapun semakin keras mempertahankan kegelapan yang menurut mereka akan membuat mereka nyaman selamanya.
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca Orang-orang waras seperti yang saya sebut di atas dapat menyaksikan dengan jelas kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas seperti yang dilakukan para penyembah berhala di zaman baheula. Orang-orang waras ini dengan kritis mempertanyakan dan melakukan perlawanan terhadap segala macam aktifitas "penyembahan berhala" di negeri saya dengan segala macam argumen yang penuh kejernihan.
Sebagaimana yang diceritakan dalam semua kisah tentang penyembah berhala yang menggambarkan karakter mereka sebagai orang yang mempercayai adanya kebenaran mutlak dalam setiap detail kecil ajaran nenek moyang mereka. Karena mereka percaya nenek moyang merekalah generasi terbaik yang pernah ada. Orang yang hidup di zaman facebook dan Twitter inipun ya sama saja. Kalau ada yang mengingatkan, kalau ada yang menawarkan kejernihan mereka akan dengan lantang berkata, kebenaran itu hanya ada di zaman nenek moyangnya. Semua kebenaran di dunia harus merujuk ke sana, karena para nenek moyang itulah generasi terbaik yang pernah ada.
Padahal Ali, sepupu sekaligus menantu Muhammad yang oleh orang Islam sebagai nabi terakhir pernah menyatakan kata-kata yang dikeluarkan oleh orang-orang semacam itu adalah "kata indah yang bertujuan sesat". Sejarah kemudian mencatat Ali Bin Abi Thalib, pemuda pertama yang memeluk Islam ini terbunuh oleh demonstran yang mengatasnamakan "penerapan ayat Tuhan" (baca : Jargon Indah untuk Agenda Busuk. Agus Maftuh Abegebriel; Jawa Pos 28/9/2009)
Begitulah, sebagaimana hal yang dialami orang-orang waras di masa-masa sebelumnya. Orang-orang waras di negeri saya, yang rasa intelektualitasnya terganggu oleh aktifitas "penyembahan berhala" juga sama. Mereka dikucilkan dan dimusuhi banyak orang karena kewarasannya.
Ketika dengan kewarasannya mereka bertanya, pertanyaan dan argumen yang mereka ajukan tentu saja sama sekali tidak bisa dibantah oleh para "penyembah berhala". Karena memang tidak seorangpun yang bisa membantah yang namanya kejernihan.
Karena sadar-sesadar-sadarnya memang tidak mungkin menang berdebat melawan kejernihan. Para "penyembah berhala" pun melawan dengan cara memberikan mereka berbagai cap buruk dan dijadikan sasaran berbagai tudingan yang seringkali sama sekali tidak berdasar.
Orang-orang yang menawarkan kejernihan ini mereka tuduh sebagai Syi'ah lah, Kapitalis lah, Pendukung Liberalisme lah, Antek Yahudi sampai musuh Allah. Mereka tidak peduli kalau yang mereka sebut sebagai 'musuh Allah' itu adalah orang-orang yang selalu bersujud dan menyembah Tuhan dengan nama yang sama.
Memang harus diakui pula, beberapa orang waras di negeri saya itu akan dan telah jatuh ke dalam jerat para 'penyembah berhala' dan menjadi gila. Mereka jadi gila karena tidak mampu menghindar dari godaan dan silaunya kekayaan serta kekuasaan yang ada di depan mata yang bisa mereka dapatkan dengan mudahnya. Beberapa dari mereka adalah orang-orang yang dulu di tahun 1998 dulu bersama saya berpanas ria di jalan berteriak dan kucar-kacir dikejar tentara, hanya untuk satu tujuan. Bagaimana kita bisa menurunkan Tiran.
Tidak seperti para "penyembah berhala" kualitas rendahan yang biasa berdiri di garis depan untuk umpan peluru yang harus menunggu mati dulu supaya bisa merasakan nikmatnya tidur dengan bidadari berdada montok di sebuah tempat dengan fasilitas bintang lima. Para orang gila yang pernah waras ini dapat menikmati segala fasilitas tersebut saat ini juga. Begitu mudahnya orang gila yang pernah waras ini mendapatkan harta, sehingga meminjam istilah seorang adik kelas saya semasa kuliah di Teknik yang di masa heboh demonstrasi dulu. Adik kelas yang ketika Habibie yang baru diangkat menjadi Presiden datang ke Banda Aceh pernah babak belur dipukuli tentara.
"Bahkan untuk sekedar membuang sperma saja pun mereka (para "penyembah berhala" kualitas tinggi) harus naik pesawat bolak-balik ke Jakarta".
Dalam perjalanan waktu akan semakin banyak orang waras yang akan jatuh menjadi Gila.
Tapi mengingat banyaknya jumlah orang waras yang ada di Aceh saat ini. Saya sangat yakin akan terus ada orang waras yang berjuang untuk membebaskan negerinya dari pengaruh para "penyembah berhala". Mungkin kali ini orang-orang waras itu akan kalah, bisa jadi juga sampai akhir hayatnya mereka tidak akan pernah menang. Tapi yang jelas selama di dunia ini masih ada orang waras, para "penyembah berhala" tidak akan pernah tenang, karena akan terus ada perlawanan. Meski terus ditekan dan dipojokkan, saya yakin orang-orang waras di negeri saya akan terus berjuang supaya rakyat di negeri saya bisa mendapatkan rasa merdeka yang hakiki sebagai manusia.
Karena salah satu unsur dari kemerdekaan hakiki itu adalah merdeka dari cengkeraman para "penyembah BERHALA".
Wassalam
Win Wan Nur
Referensi :
http://plato.stanford.edu/entries/xenophanes/
http://id.wikipedia.org/wiki/Berhalaa
http://yudhim.blogspot.com/2008/07/kisah-nabi-ibrahim-as.html
http://nurdi.multiply.com/journal/item/341/Kelahiran_Musa_Dan_Pengasuhnya
http://www.serambinews.com/news/tanah-panti-asuhan-budi-luhur-bukan-milik-yayasan
http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=725:aceh-akan-mengesahkan-hukum-rajam&catid=82:inkit&Itemid=199
http://www.halalmui.org/content/view/415/74/lang,id/
http://muslimmoderat.wordpress.com/2009/01/27/fatwa-mui-golput-haram-rokok-makruh-haram/
Selasa, 20 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
kebenaran dan kebatilan terus menerus mengejar kedudukan di setiap ruang dan waktu. adakalanya kebenaran itu di berada di puncaknya dan adakalanya pula sebaliknya. masing-masing tidak boleh mempunyai kedudukan yang sama! bukan untuk mengalah atau dikalahkan! kalah atau menang tergantung marketing (istilah keren selain dakwah). jika marketing kebenaran itu tepat arah & sasaran, mau diajak "minum" jernihnya "warisan", yang bila terus menerus diminum bukan makin kembung tetapi makin segar dan menyegarkan. anda tidak sendirian, sobat!
Posting Komentar