Sepanjang yang pernah saya amati berdasarkan pengalaman saya mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, Umat Hindu Bali adalah umat yang paling tekun menjalankan segala ritual keagamaan mereka.
Dalam kepercayaan keagamaan mereka ini, umat Hindu Bali menyembah banyak Dewa. Mereka memberi penghormatan besar pada arwah leluhur, hewan, pohon, batu dan objek-objek lain di alam pun mereka hormati. Bahkan oleh umat Hindu Bali, roh jahat pun mereka hargai dengan memberi sesajen.
Dalam ritual keagamaan yang mereka lakukan, di Bali banyak sekali patung-patung yang diberi pakaian dan sesaji. Melihat hal itu, orang yang dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang berbeda, terutama orang yang menganut agama mayoritas penduduk negeri ini, tanpa merasa perlu tahu latar belakang dan alasan mereka melakukan itu langsung menyimpulkan bahwa orang Bali adalah PENYEMBAH BERHALA.
Benarkah demikian?...dalam tulisan yang saya muat di blog saya beberapa waktu yang lalu http://winwannur.blog.com/2009/10/20/xenophanes-aceh-dan-penyembah-berhala/ saya mengatakan;
Ada satu fakta menarik yang saya lihat setiap kali saya membaca kisah-kisah para penyembah berhala ini. Yaitu adanya kesamaan latar belakang situasi sosial dan moralitas dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat penyembah berhala seperti ini. Ketika saya amati dalam kisah-kisah yang saya baca, bahwa di mana pun tempatnya dan di zaman apapun terjadinya. Di sana selalu terdapat masyarakat yang jatuh ke dalam situasi sosial yang dipenuhi rasa frustasi karena ketidak adilan yang merata di mana-mana. Masyarakat penyembah berhala selalu digambarkan sebagai masyarakat yang terjebak dalam suasana dekadensi moral yang parah.
Dari kisah-kisah yang saya baca, selalu diceritakan bahwa di tempat-tempat yang didiami para penyembah berhala ini, konsep-konsep non-kemanusiaan mekar dan berkembang biak dengan suburnya. Segala kejelekan dan keburukan akan menjulang. Perbuatan menipu akan menghasilkan kekayaan, bersikap munafik dan bermuka dua akan menguntungkan. Dan bagi saya, yang paling menarik dari semuanya adalah; berhala-berhala yang disembah sebagai Tuhan itu bukan kebetulan selalu hadir sebagai sosok yang sangat pro penguasa dan memusuhi rakyat jelata. Dalam masyarakat seperti ini, setiap terjadi masalah atau kejadian yang tidak menyenangkan, dan harus ada pihak yang di salahkan. Maka yang salah selalu rakyat jelata, bukan penguasa.
Apakah keadaan di Bali juga seperti yang saya gambarkan itu?..mari kita lihat dan amati.
Sekitar bulan april tahun ini, Bali dihangatkan dengan pro kontra RENCANA revisi Perda RTRW Bali yang dilakukan oleh pemerintah yang ditengarai cenderung pro investor.
Rencana pemerintah yang dimotori oleh gubernur I Made Mangku Pastika, yang merupakan gubernur pertama yang di pilih langsung oleh rakyat sekaligus gubernur pertama pula yang berkasta sudra (kasta terndah dalam catur warna) ini langsung mendapat tentangan dari berbagai pihak.
Sebelumnya Bali juga mempunyai sejumlah catatan adanya konflik kepentingan antara pemerintah yang pro investor yang hanya memikirkan keuntungan dengan masyarakat yang selain menghendaki kesejahteraan tapi juga menginginkan kelestarian tempat-tempat suci agama, pelestarian lingkungan hidup, pelestarian keyakinan agamanya.
Kasus semacam ini ini, salah satunya adalah pembangunan megaproyek Bali Nirwana Resort di dekat Pura Tanah Lot yang ditolak umat Hindu. Waktu itu Soeharto, si bapak pembangunan kita ini sedang lucu-lucunya, si Bapak sama sekali tidak memberi ampun pada siapapun yang menurutnya 'anti pembangunan'. Sehingga dalam konflik dengan penguasa/investor ini umat Hindu kalah telak dan Bali Nirwana Resort, resort mewah yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga BAKRIE inipun sampai hari ini itu dengan angkuh tegak berdiri di sebelah timur Pura Suci Tanah Lot.
Penolakan umat Hindu kembali terjadi ketika Pulau Serangan direklamasi, proyek milik Tommy Soeharto ini dipersoalkan karena kedekatan loksi proyek ini dengan Pura Sakenan.
Kemudian konflik seperti ini juga terjadi saat adanya rencana reklamasi Pantai Padanggalak Dan, yang paling mutakhir adalah penolakan umat Hindu terhadap megaproyek Geothermal Bedugul, karena eksplorasi tersebut dilakukan dalam kawasan suci di lereng Gunung Batukaru. Kedua proyek ini gagal, karena pada saat rencana proyek ini diajukan Soeharto si bapak Pembangunan sudah tidak 'lucu' lagi.
Bertolak belakang dengan posisi para pemimpin agama dalam masyarakat penyembah berhala, dalam konflik antara pemerintah/investor melawan masyarakat Bali itu,posisi para Sulinggih (Pimpinan tertinggi keagamaan dalam agama Hindu Bali) dari kasta apapun selalu berada di fihak masyarakat. Dalam konflik semacam itu Sulinggih Bali selalu berada dalam posisi mengingatkan penguasa agar tidak mengabaikan aspirasi walaka (masyarakat umum) dan umat Hindu.
Dalam pro kontra RENCANA revisi Perda RTRW Bali ini misalnya seorang sulinggih berkasta Brahmana bernama Ida Ida Pedanda Made Gunung tanpa ragu mengingatkan Made Mangku Pastika.
'Jangan sampai revisi RTRW sampai melupakan bhisama yang telah mampu mempertahankan Bali hingga mempunyai taksu yang dikenal ke seluruh dunia,' tegas tokoh spiritual Bali, Ida Pedanda Made Gunung, Sabtu (18/4) kemarin, menyikapi fenomena rencana revisi Perda RTRW yang dilakukan oleh pemerintah Bali.(Berita Kota
19 April 2009).
Lalu bagaimana yang terjadi dengan umat penganut agama mayoritas di negeri ini?.
Dulu ketika Indonesia masih belum ada. Sebagai mana halnya di masa-masa awal kelahiran Islam, di tempat yang sekarang dinamakan Indonesia ini, ulama memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan sosial kemasyaratan. Pada masa itu ulama hidup bersama masyarakat, terintegarasi secara utuh dengan masyarakat.
Pada masa-masa itu, seperti para Sulinggih di Bali, ulama selalu menjadi sosok yang paling mengerti apa yang menjadi kegelisahan dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Ucapan dan tindakan mereka pun saat itu lebih banyak mencerminkan apa yang dimaui masyarakat ketimbang apa yang dimaui penguasa.
Pada masa yang lebih maju, pada awal-awal pergerakan SDI yang kemudian berubah menjadi SI adalah pelopor pergerakan nasional yang bahkan lebih dulu hadir sebelum Boedi Utomo. Keberadaan organisasi ini dipelopori oleh orang-orang yang bisa dikategorikan sebagai ulama. Demikian juga Muhammadiyah, organisasi Islam yang didirikan oleh para ulama yand dimaksudkan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.Tapi pada perkembangannya organisasi ini juga berdiri untuk menjawab kebutuhan masyarakat pada masa itu terhadap dunia pendidikan.
Ketika Indonesia merdeka, Ulama kemudian banyak mengambil peran di dunia politik praktis. Energi mereka lebih banyak dihabiskan untuk mengawal perjuangan politik kelompok dan politik aliran, kepedulian mereka terhadap masalah kesejahteraan umat yang lebih universal jadi jauh berkurang.
Keadaan seperti itu mengundang keprihatinan banyak orang termasuk para Ulama dan merekapun membuat berbagai pertemuan untuk membicarakan masalah ini dan menemukan cara untuk keluar dari situasi memprihatinkan ini. Lalu pada tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta, dalam sebuah pertemuan yang selanjutnya disebut sebagai Musyawarah Nasional Ulama I yang dihadiri oleh lebih dari 50 orang ulama atau tokoh Muslim se-Indonesia,lahirlah kesepakatan yang dituangkan dalam "Piagam Berdirinya MUI".
MUI didirikan atas dasar kesadaran kolektif diantara para ulama, yang merasakan pentingnya untuk segera mengembalikan khittah dan peran ulama sebagai pewaris dari tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya), sebagaimana yang pernah dilakukan para ulama pada zaman penajajahan dan masa perjuangan kemerdekaan.
Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik seorang ulama besar asal minang yang dikenal dengan nama Hamka yang merupakan akronim dari nama panjangnya, sebagai ketua umum MUI.
Hamka yang sangat mahir berbahasa Arab ini adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Melalui kemampuannyayang tinggi dalam berbahasa Arab, Hamka mempelajari berbagai karya dari berbagai ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab pula, mempelajari karya berbagai sarjana kafir asal Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Sehingga tidak mengherankan kalau berbagai pemikirannya sangat membumi dan Hamka pun dengan mudah memahami kegelisahan umat yang diayominya. Hal inilah yang membuat Hamka dihormati tidak hanya di Indonesia, namanya juga harum di Malaysia dan Singapura.
Bukti jelas keberpihakan Hamka pada kepentingan rakyat yang diayominya terlihat ketika pada tahun 1981, beliau memilih meletakkan jabatan sebagai ketua MUI karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kemudian bagaimana dengan keadaan sekarang?.
Sejak reformasi 1998, negeri ini banyak sekali mendapatkan masalah dan rakyat hidup dengan tekanan. Pemerintah dan parlemen sibuk mengurusi dirinya sendiri. Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan, tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang diperlakukan semena-mena. Di dalam negeri banyak penganggur dan orang yang kehilangan kesempatan kerja. Korupsi dilakukan semakin tanpa malu-malu dan terang-terangan, ada banyak kasus pengrusakan lingkungan , PLN yang memonopoli penyediaan listrik gagal memenuhi tanggung jawabnya dan yang paling hangat sekarang terkuak lebarnya praktek Mafia peradilan.
Situasi di negara ini persis seperti situasi yang terjadi dalam masyarakat penyembah berhala dan terjadi di zaman baheula.
Menghadapi kenyataan seperti ini rakyat jelas gelisah, protes terjadi dimana-mana. Bebrbagai elemen masyarakat seolah bersatu padu menuntut pemerintah agar menjalankan pemerintahan dengan benar, malah di hari-hari belakangan ini ramai orang turun ke jalan.
Lalu dalam situasi seperti ini dimana posisi ulama yang diwadahi oleh MUI, bersama rakyat kah?...atau penguasa?. Bersama rakyat jelas tidak, bersama penguasa kadang iya tapi kadang-kadang mereka sibuk mengurusi 'planet' mereka sendiri.
Ketika berbagai masalah mendera dan menyengsarakan masyarakat negeri ini apa yang diurusi MUI?. Berbeda dengan para sulinggih Bali yang saat masayarakatnya berada dalam kegelisahan mendalam, mereka langsung berdiri di barisan depan untuk mengingatkan penguasa.
MUI malah sebaliknya, ketika masyarakat dilanda kegelisahan mendalam yang mereka urusi malah mengharamkan facebook.
Saat pemerintah merasa terganggu dengan berbagai kritikan kritis MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan liberalisme. Saat pemerintah terganggu dengan banyaknya pengemis di kota-kota, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan mengemis.
Dan yang paling mutakhir, saat bangsa ini sedang berada dalam keprihatinan mendalam dan kemarahan hebat terhadap praktek MAFIA PERADILAN yang dilakukan tanpa malu-malu dan telanjang. MUI malah sibuk memprotes film 2012, film sci-fi khas bikinan Hollywood yang suka memamerkan logika jungkir balik .
Melihat kenyataan seperti ini kita sayapun jadi bertanya-tanya siapakah sebenarnya yang menyembah berhala?
Wassalam
Win Wan Nur
Referensi :
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1236&Itemid=26
www.wartabali.com/index/article/2067.htm?print=1
http://winwannur.blog.com/2009/10/20/xenophanes-aceh-dan-penyembah-berhala/
http://www.muidiy.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=23&Itemid=11
id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar