Melihat perkembangan kasus Cicak Vs Buaya belakangan ini, muncul beberapa komentar yang secara malu-malu menentang arus besar opini yang beredar di negeri ini. Komentar-komentar seperti itu biasanya muncul dari aparat negara atau orang-orang yang dirugikan dengan keberadaan KPK.
Contohnya seperti sikap yang diperlihatkan oleh Menkumham di depan sidang MK. Saat itu dia mempertanyakan tentang relevansi pemutaran rekaman dugaan rekayasa kasus Bibit-Chandra. Menkumham yang mewakili pemerintah jelas tidak senang kalau aib itu dibuka, tapi karena tidak berani melawan arus. Menkumham memulai ungkapan keberatannya dengan memuji-muji langkah MK.
Selanjutnya kejadian seperti ini bisa kita lihat saat Kapolri dengar pendapat di depan Komisi III. Yang kita saksikan adalah pertunjukan cium pipi ditambah adegan ala sinetron dari Susno Duadji yang direspon dengan tepuk tangan membahana. Lalu dengar pendapat yang luar biasa ini diakhiri dengan adegan foto bersama sambil tertawa-tawa. Melihat kejadian seperti itu tentu banyak pihak jadi emosi, apa maunya DPR ini?.
Untuk memahami fenomena ini kita tidak memerlukan pejelasan dari seorang ahli, baik itu sosiologi, antropologi dan psikologi. Dengan logika paling awam pun kita bisa memahami kalau yang menjadi dasar dari terjadinya fenomena ini adalah DUIT alias FULUS.
Sebagaimana kita ketahui bersama, demokrasi di negara ini adalah demokrasi berbiaya tinggi. Biaya untuk bisa duduk di kursi dewan yang terhormat itu tidak murah, apalagi gratis. Ada banyak pengorbanan yang dilakukan oleh anggota dewan sebelum mereka bisa dipastikan duduk di sana. Ada pengorbanan waktu, tenaga, perasaan sampai air mata. Dan yang terpenting dari semuanya adalah pengorbanan BIAYA. Untuk bisa mendapatkan satu kursi di dewan, biaya yang dibutuhkan bukan dalam kisaran, satu, dua atau puluhan juta. Kalau kita mau mengaudit dengan seksama jelas kita akan menemukan fakta bahwa satu kursi dewan yang terhormat itu minimal berharga di kisaran ratusan juta.
Lalu, melihat latar belakang orang-orang yang duduk di kursi dewan terhormat itu, adalah sangat tidak logis dan naif sekali kalau kita berpikir mereka menghamburkan duit sebanyak itu hanya demi sebuah kesempatan suci mengabdi pada negara dan bangsa. Penjelasan paling logis dari dihamburkannya ratusan juta sampai miliaran rupiah uang demi mendapatkan satu buah kursi di dewan yang hanya diduduki selama 5 tahun itu adalah perhitungan ekonomi.
Tidak sedikit dari mereka yang duduk di sana itu berlatar belakang pengusaha juga pengacara yang berpenghasilan milyaran rupiah per tahunnya. Sebelum duduk di sana tentu saja mereka terlebih dahulu berhitung untung ruginya, mana lebih untung menginvestasikan dana di properti, saham blue chips, tambak udang atau di kursi dewan. Karena mereka menganggap duduk sebagai anggota dewan jauh lebih menguntungkanlah makanya mereka mau menginvestasikan dana untuk kampanye.
Memang tentu saja tidak semua seperti itu, ada juga sosok bersih seperti dulu yang ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie misalnya...tapi ada berapa sih orang semacam itu di negeri ini?
Lalu pertanyaan selanjutnya, untuk bisa balik modal dan mendapatkan keuntungan dari investasi yang telah ditabur itu bagaimana?. Gaji yang diberikan negara jelas tidak akan bisa menutupi. Maka solusinya adalah mengharap perhatian dan kebaikan hati cukong-cukong sejenis Anggodo dan kawan-kawan. Dalam relasi dengan orang-orang semacam ini, hubungan yang dibangun tentu saja harus bersifat SIMBIOSIS MUTUALISME. Bagi para 'Investor' senayan orang-orang seperti ini adalah teman yang sudah seharusnya dilindungi, bukannya malah dimusuhi.
Bagaimana dengan perangkap jeratan hukum, ah mudah saja. Aparat hukum di negara ini sudah sejak lama terkenal mudah dibeli, meskipun tidak pernah ada bukti (ya bagaimana mau ada bukti kalau yang berhak dan memiliki kuasa untuk membuktikannya adalah aparat hukum itu sendiri?).
Masalahnya, sekarang di negeri ini ada KPK. Institusi ini bukanlah sebuah institusi hukum yang normal. KPK ada untuk mengantisipasi ketidaknormalan penegakan hukum di negeri ini. Meskipun beberapa waktu yang lalu banyak sorotan yang diarahkan ke lembaga ini karena mereka disinyalir melakukan tebang pilih dalam menangani kasus Korupsi. Tapi dibanding lembaga-lembaga lain, lembaga abnormal ini relatif lebih tidak bisa dibeli.
Keadaan ini tentu menimbulkan rasa tidak nyaman bagi 'investor-investor' yang duduk di Senayan. Karena itulah ketika dalam kasus Cicak melawan Buaya, jelas investor senayan berpihak pada buaya yang bisa diajak bekerja sama dalam mengamankan investasi mereka. Adalah mustahil mengharapkan para investor senayan berpihak pada Cicak yang sangat berpotensi besar akan merusak prospek investasi mereka.
Ketika sudah menjadi sorotan dan masyarakat yang memilih mereka emosi dengan perilaku yang mereka tunjukkan. Seperti biasa, sebagaimana lazimnya terjadi pada orang-orang yang mencari nafkah dengan mengumbar kata. Merekapun berkilah dengan berbagai argumen mengutip berbagai referensi dan disampaikan dengan kalimat-kalimat yang kadang susah dimenngerti yang intinya menggambarkan mereka (para investor senayan) adalah patriot sejati yang semata bertindak demi kepentingan rakyat dan bangsanya.
Argumen standar mereka adalah mereka melakukan itu karena mereka cinta pada penegakan hukum di negeri ini, mereka tidak ingin Polri dan Jaksa terus dihujat dan dicaci, dikerdilkan dan dilemahkan. Mereka tidak ingin KPK jadi terlalu berkuasa.
Lucu mendengar komentar ini, entah sebagai kambing conegk, keledai dungu atau binatang bodoh apa mereka mengasumsikan status hampir seperempat milyar rakyat negeri ini. Sehingga mereka berpikir hampir sepertempat milyar manusia ini begitu mudahnya dikibuli
Pada kenyataannya rakyat negeri ini tidak pernah lupa kalau KPK itu ada karena sistem hukum di negara ini tidak berdaya melawan korupsi.
Polri hebat melawan teroris, oleh Polri teroris berbahaya sekelas Dr. Azhari dan Noordin M. Top di buat terkapar meregang nyawa, mengutip ucapan Sarlito dalam sebuah tulisan di rubrik OPINI Kompas "menghadapi teroris Polri adalah Polisi terbaik di dunia". Tapi menghadapi koruptor model Super Anggodo dan teman-temannya, Polri tampak seperti orang tua ringkih...Impoten dan sama sekali tidak berdaya.
Kalau kejaksaan sih memang lebih dikenal reputasinya sebagai teman baik koruptor, jadi jujur saja sulit bagi saya untuk menunjukkan prestasi institusi ini.
Apa yang terjadi ini adalah situasi yang sangat tidak normal dalam penyelenggaraan sebuah negara. Ketidak normalan inilah yang menjadi alasan kelahiran KPK. Lalu KPK akan dimatikan lagi kalau kedua institusi diatas sembuh dari impotensi ketika berhadapan dengan korupsi.
Jadi anggota dewan yang terhormat kalau anda kebetulan membaca tulisan ini camkanlah...yang saya tulis di bawah ini.
Seandainya Institusi Polisi dan Jaksa berjalan normal...KPK tidak akan dibutuhkan.
Seandainya Polisi dan Jaksa tidak bisa dibeli....KPK tidak akan pernah ada.
Seandainya Polisi dan Jaksa...dengan sadar cepat membersihkan diri, tentu sekarang keberadaan KPK tidak dibutuhkan lagi.
Jadi tidak seperti prasangka busuk anda yang menyangka kalau gerakan moral dan kemarahan yang ditunjukkan rakyat Indonesia saat menentang penahanan Bibit dan Chandra adalah karena rakyat Indonesia terlalu memuja KPK dan membenci Jaksa dan Polisi.
Anggota dewan yang terhormat, yang terjadi justru adalah sebaliknya.
Sebenarnya rakyat Indonesia marah adalah karena rakyat Indonesia CINTA kepada kejaksaan dan Polisi. Orang-rang di Indonesia ini emosi karena ingin memiliki aparat hukum yang bersih dan berpihak kepada rakyat. Rakyat Indonesia marah karena rakyat Indonesia muak dan benci melihat keberadaan KPK yang terlalu lama eksis dalam sistem hukum negara ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar