"...saya percaya suatu saat nanti, air dapat menjadi bahan bakar masa depan" -Jules Verne, L'Île mystérieuse.
Sepulang dari Kopenhagen beberapa waktu yang lalu, kening SBY mengkerut. SBY dan para pemimpin negara berkembang dituntut untuk mengurangi emisi karbon di negara masing-masing. Masalahnya, jika emisi diturunkan, itu juga berarti produksi akan turun dan kemiskinan akan naik. Ini adalah masalah bersama seluruh umat manusia saat ini.
Sebenarnya, masalah itu tidak perlu terjadi seandainya kita bisa menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan yang dalam proses pembakarannya tidak menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya bagi keselamatan manusia dan banyak makhluk hidup lainnya.
Bahan bakar apakah yang bisa seramah itu?...jawabannya adalah AIR.
Bagi sebagian kita ini terdengar sangat janggal, karena selama ini air kita kenal alih-alih sebagai bahan bakar tapi malah lebih dikenal sebagai alat pemadam api. Tapi apakah karena sifatnya yang sekilas berlawanan itu air kemudian tidak bisa digunakan untuk menyalakan api?. Jawabannya adalah tidak. Mengenai pandangan tentang mustahilnya air menjadi bahan bakar, hal ini sama saja dengan pikiran orang jaman dulu yang mengatakan mustahil besi bisa mengapung dilautan. Orang pada zaman itu pasti akan melongo keheranan melihat besi sebesar Kapal Oasis of The sea mengambang di lautan. Bukan hanya mengambang di lautan, kini bahkan besi bisa terbang mengangkut ratusan orang.
Jules Verne (8 Februari 1828 - 24 Maret 1905) adalah seorang pengarang novel berkebangsaan Perancis yang oleh banyak penggemar sastra dianggap sebagai bapak pengarang aliran fiksi ilmiah.
Dalam novelnya L'Île mystérieuse yang ditulis antara tahun 1873-1875, Verne sudah memperkirakan kalau suatu hari nanti air akan menjadi bahan bakar.
Di dunia nyata, tahun 1897 Luther Wattles dikabarkan menggunakan air sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mobilnya. Terus selanjutnya tahun 1930 Rudolf A. Erren berhasil melakukan eksperimen penggunaan air sebagai pengganti bahan bakar fosil. Kemudian tahun 1932 Henry "Dad" Garret asal texas Amerika Serikat menemukan sistem karburator untuk bahan bakar air. Hasil penemuannya itu kemudian dibeli oleh perusahaan minyak dan tidak ada kabarnya lagi sampai hari ini.
Setelah itu bisa dikatakan inovasi baru terhadap teknologi ini mati suri sampai pada tahun 1974 seorang warga Australia yang tinggal di Sidney bernama Yull Brown yang terinspirasi buku-bukunya Jules Verne dan kisah-kisah penemuan bahan bakar air menemukan gas hasil elektrolisa dari air yang berupa campuran hidrogen dan oksigen (HHO) yang secara sempurna mampu dijadikan bahan bakar yang menggerakkan mesin. Oleh Yull Brown gas ini dipatenkan dengan namanya sendiri sebagai BROWN GAS.
Setelah penemuan Yull Brown itu selanjutnya ada beberapa penemuan penting tentang bahan bakar air ini, tapi yang paling fenomenal adalah Stanley Meyer yang berhasil dengan sempurna menemukan sistem elektrolisa air. Kemudian oleh Stanley Meyer gas hasil elektrolisa itu dia pakai untuk menjalankan mobilnya, tanpa tangki hidrogen dan tanpa bahan bakar fosil. Hasilnya, pada tahun 1995 mobil VW Kodok miliknya berhasil berjalan sejauh 160 Km hanya dengan menggunakan 3 liter air.
Seperti penemuan cemerlang sebelumnya, penemuan Stanley Meyer ini pun langsung mengundang minat perusahaan minyak untuk membelinya. Tapi berbeda dengan Henry "Dad" Garret yang bersedia menjual hasil penemuannya, Stanley Meyer menolak tawaran miliaran dollar dari perusahaan minyak. Karena dia bertekad memberikan penelitian ini bagi masyarakat. Malam 21 maret 1998, pada usia 57 tahun, selesai makan malam, Stanley Meyer meninggal di halaman parkir sebuah restoran di Grove City Ohio. Sebelum meninggal, Stanley Meyer berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya "aku diracun", katanya.
Tapi ternyata kematian Meyer bukanlah akhir bagi inovasi yang menjadi solusi bagi pengurangan emisi tanpa perlu mengurangi produksi ini. Setelah kematian Meyer, teknologi elektrolisa air menjadi gas HHO yang dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar tanpa memerlukan tangki hidrogen ini berkembang di berbagai belahan dunia dan menjadi teknologi "open source" tanpa paten, jadi siapapun bisa mengembangkannya.
Hasilnya tahun-tahun belakangan di abad ke 21 ini, kita pun menemukan banyak ragam penemuan alat yang berkaitan dengan teknologi ini. Mulai dari Amerika sampai ke Malaysia orang-orang telah mengembangkan teknologi ini dan menerapkannya pada kendaraan pribadi masing-masing. Salah satu di antaranya adalah mobil Hummer yang gambarnya saya post di artikel ini.
Prinsip elektrolisa air ini sebenarnya sederhana saja, yaitu menggunakan listrik dan memasukkan bahan kimia yang bersifat asam ke dalam air. Lalu dengan bantuan arus listrik bahan kimia dalam air tersebut akan bereaksi memisahkan molekul air (H2O) menjadi HHO yang mudah terbakar.
Bahan kimia yang bersifat asam tersebut bisa apa saja, mulai dari bahan kimia rumit semacam NaOH, KOH sampai air jeruk, air belimbing, air kelapa bahkan air kencing pun bisa digunakan sebagai bahan dasar untuk menghasilkan gas HHO. Masalahnya adalah; bahan kimia yang bersifat asam ini juga memakan pelat yang diperlukan sebagai anoda dan katoda dalam proses elektrolisa air. Jadi saat ini orang-orang yang mengembangkan alat ini semuanya sedang berusaha menyempurnakan alatnya masing-masing. Baik itu dari segi kecocokan bahan kimia ataupun dari segi kepraktisan.
Sampai sejauh ini, penemuan di berbagai negara itu semuanya masih tetap menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar utama, bahan bakar air dipakai sebagai bahan bakar penunjang untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil (HIBRIDA).
Pada beberapa eksperimen konsep hibrida ini terbukti bisa membantu pengurangan emisi sampai 30 %. Bahkan dua peneliti Indonesia bernama Poempida Hidayatullah dan F Mustari (sebagian informasi dalam artikel ini saya kutip dari buku karangan mereka berdua) dalam sebuah ujicoba berhasil menghemat penggunaan bahan bakar Mitsubishi L 300 sampai 94%. Jadi dengan adanya alat seperti ini dan seandainya alat semacam ini bisa diproduksi secara massal, segala perdebatan di Kopenhagen tentang pengurangan emisi sebagai mana terjadi beberapa hari yang lalu sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena dengan adanya alat seperti ini penurunan emisi tidak perlu diikuti dengan penurunan produktivitas.
Saat ini satu-satunya masalah yang menghalangi pemakaian bahan bakar air secara massal adalah; belum adanya industri yang memproduksi alat ini secara massal. Beberapa orang beranggapan kalau hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan minyak yang mencoba menghalangi. Tapi karena semakin lama harga minyak semakin melambung dan pencemaran udara semakin lama semakin mengkhawatirkan penduduk bumi, maka kebutuhan untuk pemakaian teknologi bahan bakar air ini semakin tidak bisa ditunggu lebih lama lagi.
Karena itulah saat ini saya sangat yakin kalau secara diam-diam banyak perusahaan di dunia yang sedang berlomba dalam diam untuk mengembangkan teknologi ini untuk bisa diproduksi secara massal. Bahkan saya yakin sekali kalau sepuluh tahun dari sekarang semua mobil baru yang diproduksi akan dilengkapi dengan alat elektrolisa air yang menghasilkan HHO alias bahan bakar air ini.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Rabu, 23 Desember 2009
Kamis, 17 Desember 2009
Hidrogen; Sumber Energi Utama di Masa Depan
Pada masa kita hidup sekarang ini, sebagai manusia hidup kita begitu tergantung pada mesin.
Sekarang saat anda membaca tulisan saya ini dan melihat ke sekeliling anda, saya bisa pastikan tidak satu pun yang di sekeliling anda itu yang benar-benar lepas dari ketergantungan terhadap mesin, baik langsung maupun tidak. Bangunan tempat kita berteduh, jalan yang kita leati, pohon yang ditanam di halaman bahkan Cicak yang berjalan di dinding pun berjalan di dinding dengan bahan-bahan yang dibuat dengan mesin.
Sekarang, nasi yang kita makan juga diproduksi dengan mesin, mulai dari pengolahan lahannya, pupuknya, proses pemisahan kulit dan bijinya semua dilakukan dengan mesin. Komputer yang kita pakai, AC yang mendinginkan ruangan kita, baju yang kita pakai, bahkan dua anak lelaki kembar saya yang masih dalam kandungan istri saya pun saya ketahui jenis kelaminnya menggunakan mesin.
Mesin membuat jarak di muka bumi ini menjadi tidak lagi berarti. Berkat mesin kita dapat bertemu dengan orang di belahan manapun di planet ini dengan mudah, baik hanya bertemu secara virtual maupun fisik.
Sementara itu, mesin sendiri hanyalah ALAT. Mesin hanya bisa berjalan kalau ada ENERGI, tanpa energi tidak ada mesin, tidak ada mesin tidak ada peradaban modern. Karena itulah dalam peradaban modern ini ENERGI menjadi isu yang paling besar yang penguasaannya diperebutkan dengan ketat oleh semua negara, perebutan kuasa atas sumber energi ini tidak jarang sampai menimbulkan perang.
Selama bertahun-tahun belakangan ini, bahan bakar fosil yaris menjadi satu-satunya sumber energi di planet ini. Sehingga tidak heran kalau tahun-tahun belakangan ini pula kita pun menyaksikan bagaimana wajah dunia babak belur akibat perebutan kuasa atas sumber utama penghasil energi ini.
Belakangan setelah penggunaan energi fosil dengan skala masif terutama dalam seabad terakhir ini, kita pun dihadapkan dengan berbagai masalah. Ketika dibakar untuk menghasilkan energi, bahan bakar fosil ini melepaskan karbon ke udara. Pelepasan karbon ini menyebabkan polusi dan merusak ozon, membuat bumi yang kita diami semakin panas. Meningkatnya produksi karbon hasil pembakaran bahan bakar fosil ini belakangan disinyalir telah menjebabkan fenomena pemanasan global (Global Warming). Meskipun fenomena pemanasan global masih didebat kesahihannya oleh beberapa ilmuwan, tapi tidak bisa tidak tetap saja fenomena ini menimbulkan kecemasan massif bagi warga dunia.
Masalah dengan bahan bakar fosil ini tidak hanya sampai di situ. Masifnya konsumsi bahan bakar ini dalam seabad terakhir, membuat fakta menipisnya cadangan bahan bakar ini tidak bisa kita hindari.
Sementara itu, ketika cadangan bahan bakar fosil semakin menipis, kebutuhan atas energi bukannya turun malah semakin hari semakin tinggi. Akibatnya sesuai prinsip ekonomi Penawaran dan permintaan, maka tanpa bisa dihindari harga bahan bakar ini pun semakin hari semakin melambung tinggi.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena kalau sampai terjadi dan manusia belum menemukan alternatif lain sebagai sumber energi, peradaban modern pun akan segera berakhir bersamaan dengan habisnya cadangan bahan bakar fosil.
Karena alasan itulah, belakangan kita lihat mulai banyak usaha umat manusia untuk mulai memanfaatkan sumber energi terbarukan dengan lebih maksimal. Sumber energi terbarukan itu bisa berupa tenaga matahari, angin, air, panas bumi, bio massa bahkan gelombang laut.
Sejauh ini, meskipun beberapa sumber energi itu terbukti efektif dalam mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, tapi hampir semua sumber energi terbarukan itu tidak bisa menyaingi bahan bakar fosil dari segi kepraktisan. Bahan bakar fosil memiliki sifat yang mobil, gampang disimpan dan dipindah-pindahkan. Tidak statis seperti banyakan sumber energi terbarukan itu.
Sebenarnya selain berbagai sumber energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas, masih ada satu sumber energi lain yang sangat potensial menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil ini bernama Hidrogen. Dibandingkan semua energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas Hidrogen memiliki beberapa keunggulan antara lain ; bahan bakar hidrogen bersifat mobil seperti bahan bakar fosil yang kita kenal selama ini. Bedanya, tidak seperti bahan bakar fosil, pembakaran hidrogen tidak menyebabkan polusi karbon.
Ketika terbakar, hidrogen melepaskan energi berupa panas dan menghasilkan air sebagai bahan buangan (2H2 + O2 —> 2H2O). Sama sekali tidak mengeluarkan karbon. Jadi penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi polusi Karbon Dioksida dan juga Karbon Monoksida sehingga sekaligus mengurangi efek rumah kaca (meskipun pembakaran hidrogen juga menghasilkan polutan berupa Nitrogen Oksida dalam jumlah kecil).
Dibanding bahan bakar fosil yang umum kita gunakan selama ini, Bensin dan solar, pemakaian hidrogen sebagai bahan bakar jauh lebih efektif dalam pembakaran.
Sebagai perbandingan 1 pound bensin yang dibakar pada suhu 25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer akan menghasilkan panas antara 19.000 Btu (44,5 kJ/g) s/d 20.360 Btu (47,5 kJ/g), sedangkan 1 pound Solar bisa menghasilkan panas antara 18.250/lb (42,5 kJ/g) s/d 19,240 Btu (44,8 kJ/g).
Hidrogen sendiri dalam kondisi yang sama (25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer) dengan berat yang sama mampu menghasilan panas 51.500 Btu/lb (119,93 kJ/g) sampai 61.000 Btu (141,86 kJ/g) yang berarti hampir 3 kali lipat dari panas yang bisa dihasilkan oleh pembakaran bensin dan solar.
Keunggulan lain dari Hidrogen adalah jumlahnya di alam ini sangat melimpah, 93 % dari seluruh atom yang ada di jagat raya ini adalah Hidrogen, unsur yang paling sederhana dari semua unsur yang ada di alam ini . Tiga perempat dari massa jagat raya ini adalah Hidrogen. Di bumi sendiri bentuk hidrogen yang paling umum kita kenal adalah air (H2o).
Hanya, meskipun memiliki banyak keunggulan dibanding bahan bakar lain, hidrogen juga memiliki kelemahan. Kelemahan Hidrogen (H2) ini sebagai bahan bakar adalah sifatnya sebagai sumber energi yang tidak bersifat langsung (primer) sebagaimana halnya gas alam, minyak atau batubara. Hidrogen adalah energi turunan (Sekunder) sebagaimana halnya listrik yang tidak bisa didapat langsung dari alam, melainkan harus diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain seperti Gas alam, minyak, batu bara, nuklir, energi matahari dan berbagai sumber energi lainnya.
Tapi meskipun hidrogen tidak bisa dilepaskan dari kelemahannya itu, tetap saja dalam skala kecil sudah banyak negara di dunia memanfaatkan hidrogen sebagai bahan bakar. Negara itu sebut saja Amerika serikat misalnya. Sebagai negara yang pengkonsumsi energi terbesar di dunia, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling aktif mengembangkan riset untuk mengembangkan Hidrogen sebagai bahan bakar. Pada tahun 1992 pemerintah Amerika mendirikan The Hydrogen Technical Advisory Panel (HTAP), untuk memberikan masukan kepada Menteri Energi tentang potensi hidrogen.
Kebanyakan dari hidrogen yang diproduksi sampai hari ini (di Amerika maupun di negara lain) adalah hidrogen yang didapat dari gas alam (CH4) melalui proses yang disebut "steam reforming". Tapi yang lebih potensial untuk dilakukan di masa depan adalah memproduksi hidrogen dari air melalui proses elektrolisis atau langsung menggunakan reaksi fotokimia.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, hidrogen itu seperti listrik yang merupakan sumber energi sekunder yang diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain. Pada kenyataanya hidrogen dan listrik memang bagaikan dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama. Hidrogen bisa diproduksi dengan menggunakan tenaga listrik melalui proses elektrolisis, sebaliknya hidrogen bisa digunakan untuk memproduksi listrik bebas polusi melalui proses elektrolisis pula.
Karena bersifat sekunder itulah, untuk tahap awal penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar, kita harus mengkombinasikan penggunaannya dengan bahan bakar primer (hibrida). Jadi fungsi hidrogen lebih sebagai bahan bakar pendamping yang berfungsi membantu mesin mengurangi konsumsi bahan bakar utama.
Memadukan teknologi elektrolisis yang menghasilkan hidrogen dari air dengan teknologi pembakaran menggunakan bahan bakar bensin atau solar kepada kendaraan ataupun mesin industri terbukti cukup efektif mengurangi konsumsi bahan bakar fosil antara 15-50 %. Jadi kalau saja teknologi seperti ini bisa diterapkan secara massal, konsumsi bahan bakar fosil tentu bisa diturunkan tanpa perlu ribut-ribut dan tarik urat seperti yang terjadi di Kopenhagen sekarang, karena disamping menghemat penggunaan bahan bakar fosil, penggunaan teknologi ini juga secara efektif mengurangi produksi karbon yang hari-hari belakangan ini menjadi pokok perdebatan para pemimpin berbagai negara yang sekarang sedang melakukan konferensi di Kopenhagen.
Untuk di Indonesia sendiri, kalau saja teknologi ini bisa digunakan secara masif, hal itu tentu akan banyak mengurangi 'sakit kepala' pemerintah yang setiap tahunnya harus menganggarkan uang APBN dalam jumlah yang tidak sedikit untuk mensubsidi BBM.
Karena daya tarik teknologi pemanfaatan hidrogen yang diproduksi dari air melalui proses elektrolisis inilah sekarang banyak negara yang sudah mulai mengembangkan teknologi ini. Negara-negara itu di antaranya Malaysia, Cina, Jepang dan tentu saja Amerika Serikat.
Kemudian pertanyaannya Indonesia kapan?. Kalau untuk mengembangkan teknologi ini kita harus menunggu pemerintah dan para sarjana yang memiliki sederet gelar di berbagai universitas terkenal di negeri ini yang mengambil inisiatif, maka jawabannya adalah WALLAHU ALAM. Ini disebabkan karena seperti yang sudah-sudah, orang-orang yang duduk di pemerintahan Indonesia dan juga para sarjana dan akademisi di negara ini jarang sekali ada yang mampu berpikir di luar bingkai. Para sarjana dan akademisi di negara ini lebih banyak terdiri dari orang-orang yang terlalu bangga dan silau dengan gelar yang mereka miliki.
Kalaupun ada ilmuwan di Indonesia yang cukup brilyan maka biasanya dia akan dihadapkan pada kurangnya dukungan dana untuk mewujudkan ide brilyan-nya. Di Indonesia ini, ide dan pemikiran hebat tidak pernah dihargai secara wajar. Beda dengan katakanlah Taiwan yang jika ada orang yang punya ide yang cukup cemerlang, maka pemerintah akan memberi dukungan dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian, yang semuanya akan dibayar jika penelitian itu sudah menghasilkan. Maka tidak heranlah jika akhirnya negara asinglah yang mengambil manfaat dari banyak bakat brilyan yang lahir di negeri ini.
Kembali ke hidrogen, sebagaimana juga untuk mengembangkan Pariwisata, untuk mengembangkan teknologi hibrida hidrogen dengan bahan bakar fosil ini pun, di Indonesia kita hanya bisa berharap kepada SWASTA. Karena di Indonesia ini pemerintah sebagaimana biasanya hanya bisa menjadi pahlawan kesiangan yang baru muncul belakangan, setelah masalah terselesaikan.
Wassalam
Win Wan Nur
Sekarang saat anda membaca tulisan saya ini dan melihat ke sekeliling anda, saya bisa pastikan tidak satu pun yang di sekeliling anda itu yang benar-benar lepas dari ketergantungan terhadap mesin, baik langsung maupun tidak. Bangunan tempat kita berteduh, jalan yang kita leati, pohon yang ditanam di halaman bahkan Cicak yang berjalan di dinding pun berjalan di dinding dengan bahan-bahan yang dibuat dengan mesin.
Sekarang, nasi yang kita makan juga diproduksi dengan mesin, mulai dari pengolahan lahannya, pupuknya, proses pemisahan kulit dan bijinya semua dilakukan dengan mesin. Komputer yang kita pakai, AC yang mendinginkan ruangan kita, baju yang kita pakai, bahkan dua anak lelaki kembar saya yang masih dalam kandungan istri saya pun saya ketahui jenis kelaminnya menggunakan mesin.
Mesin membuat jarak di muka bumi ini menjadi tidak lagi berarti. Berkat mesin kita dapat bertemu dengan orang di belahan manapun di planet ini dengan mudah, baik hanya bertemu secara virtual maupun fisik.
Sementara itu, mesin sendiri hanyalah ALAT. Mesin hanya bisa berjalan kalau ada ENERGI, tanpa energi tidak ada mesin, tidak ada mesin tidak ada peradaban modern. Karena itulah dalam peradaban modern ini ENERGI menjadi isu yang paling besar yang penguasaannya diperebutkan dengan ketat oleh semua negara, perebutan kuasa atas sumber energi ini tidak jarang sampai menimbulkan perang.
Selama bertahun-tahun belakangan ini, bahan bakar fosil yaris menjadi satu-satunya sumber energi di planet ini. Sehingga tidak heran kalau tahun-tahun belakangan ini pula kita pun menyaksikan bagaimana wajah dunia babak belur akibat perebutan kuasa atas sumber utama penghasil energi ini.
Belakangan setelah penggunaan energi fosil dengan skala masif terutama dalam seabad terakhir ini, kita pun dihadapkan dengan berbagai masalah. Ketika dibakar untuk menghasilkan energi, bahan bakar fosil ini melepaskan karbon ke udara. Pelepasan karbon ini menyebabkan polusi dan merusak ozon, membuat bumi yang kita diami semakin panas. Meningkatnya produksi karbon hasil pembakaran bahan bakar fosil ini belakangan disinyalir telah menjebabkan fenomena pemanasan global (Global Warming). Meskipun fenomena pemanasan global masih didebat kesahihannya oleh beberapa ilmuwan, tapi tidak bisa tidak tetap saja fenomena ini menimbulkan kecemasan massif bagi warga dunia.
Masalah dengan bahan bakar fosil ini tidak hanya sampai di situ. Masifnya konsumsi bahan bakar ini dalam seabad terakhir, membuat fakta menipisnya cadangan bahan bakar ini tidak bisa kita hindari.
Sementara itu, ketika cadangan bahan bakar fosil semakin menipis, kebutuhan atas energi bukannya turun malah semakin hari semakin tinggi. Akibatnya sesuai prinsip ekonomi Penawaran dan permintaan, maka tanpa bisa dihindari harga bahan bakar ini pun semakin hari semakin melambung tinggi.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena kalau sampai terjadi dan manusia belum menemukan alternatif lain sebagai sumber energi, peradaban modern pun akan segera berakhir bersamaan dengan habisnya cadangan bahan bakar fosil.
Karena alasan itulah, belakangan kita lihat mulai banyak usaha umat manusia untuk mulai memanfaatkan sumber energi terbarukan dengan lebih maksimal. Sumber energi terbarukan itu bisa berupa tenaga matahari, angin, air, panas bumi, bio massa bahkan gelombang laut.
Sejauh ini, meskipun beberapa sumber energi itu terbukti efektif dalam mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, tapi hampir semua sumber energi terbarukan itu tidak bisa menyaingi bahan bakar fosil dari segi kepraktisan. Bahan bakar fosil memiliki sifat yang mobil, gampang disimpan dan dipindah-pindahkan. Tidak statis seperti banyakan sumber energi terbarukan itu.
Sebenarnya selain berbagai sumber energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas, masih ada satu sumber energi lain yang sangat potensial menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil ini bernama Hidrogen. Dibandingkan semua energi terbarukan seperti yang saya sebut di atas Hidrogen memiliki beberapa keunggulan antara lain ; bahan bakar hidrogen bersifat mobil seperti bahan bakar fosil yang kita kenal selama ini. Bedanya, tidak seperti bahan bakar fosil, pembakaran hidrogen tidak menyebabkan polusi karbon.
Ketika terbakar, hidrogen melepaskan energi berupa panas dan menghasilkan air sebagai bahan buangan (2H2 + O2 —> 2H2O). Sama sekali tidak mengeluarkan karbon. Jadi penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi polusi Karbon Dioksida dan juga Karbon Monoksida sehingga sekaligus mengurangi efek rumah kaca (meskipun pembakaran hidrogen juga menghasilkan polutan berupa Nitrogen Oksida dalam jumlah kecil).
Dibanding bahan bakar fosil yang umum kita gunakan selama ini, Bensin dan solar, pemakaian hidrogen sebagai bahan bakar jauh lebih efektif dalam pembakaran.
Sebagai perbandingan 1 pound bensin yang dibakar pada suhu 25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer akan menghasilkan panas antara 19.000 Btu (44,5 kJ/g) s/d 20.360 Btu (47,5 kJ/g), sedangkan 1 pound Solar bisa menghasilkan panas antara 18.250/lb (42,5 kJ/g) s/d 19,240 Btu (44,8 kJ/g).
Hidrogen sendiri dalam kondisi yang sama (25 derajat Celcius dan tekanan 1 atmosfer) dengan berat yang sama mampu menghasilan panas 51.500 Btu/lb (119,93 kJ/g) sampai 61.000 Btu (141,86 kJ/g) yang berarti hampir 3 kali lipat dari panas yang bisa dihasilkan oleh pembakaran bensin dan solar.
Keunggulan lain dari Hidrogen adalah jumlahnya di alam ini sangat melimpah, 93 % dari seluruh atom yang ada di jagat raya ini adalah Hidrogen, unsur yang paling sederhana dari semua unsur yang ada di alam ini . Tiga perempat dari massa jagat raya ini adalah Hidrogen. Di bumi sendiri bentuk hidrogen yang paling umum kita kenal adalah air (H2o).
Hanya, meskipun memiliki banyak keunggulan dibanding bahan bakar lain, hidrogen juga memiliki kelemahan. Kelemahan Hidrogen (H2) ini sebagai bahan bakar adalah sifatnya sebagai sumber energi yang tidak bersifat langsung (primer) sebagaimana halnya gas alam, minyak atau batubara. Hidrogen adalah energi turunan (Sekunder) sebagaimana halnya listrik yang tidak bisa didapat langsung dari alam, melainkan harus diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain seperti Gas alam, minyak, batu bara, nuklir, energi matahari dan berbagai sumber energi lainnya.
Tapi meskipun hidrogen tidak bisa dilepaskan dari kelemahannya itu, tetap saja dalam skala kecil sudah banyak negara di dunia memanfaatkan hidrogen sebagai bahan bakar. Negara itu sebut saja Amerika serikat misalnya. Sebagai negara yang pengkonsumsi energi terbesar di dunia, Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling aktif mengembangkan riset untuk mengembangkan Hidrogen sebagai bahan bakar. Pada tahun 1992 pemerintah Amerika mendirikan The Hydrogen Technical Advisory Panel (HTAP), untuk memberikan masukan kepada Menteri Energi tentang potensi hidrogen.
Kebanyakan dari hidrogen yang diproduksi sampai hari ini (di Amerika maupun di negara lain) adalah hidrogen yang didapat dari gas alam (CH4) melalui proses yang disebut "steam reforming". Tapi yang lebih potensial untuk dilakukan di masa depan adalah memproduksi hidrogen dari air melalui proses elektrolisis atau langsung menggunakan reaksi fotokimia.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, hidrogen itu seperti listrik yang merupakan sumber energi sekunder yang diproduksi dengan menggunakan sumber energi lain. Pada kenyataanya hidrogen dan listrik memang bagaikan dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama. Hidrogen bisa diproduksi dengan menggunakan tenaga listrik melalui proses elektrolisis, sebaliknya hidrogen bisa digunakan untuk memproduksi listrik bebas polusi melalui proses elektrolisis pula.
Karena bersifat sekunder itulah, untuk tahap awal penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar, kita harus mengkombinasikan penggunaannya dengan bahan bakar primer (hibrida). Jadi fungsi hidrogen lebih sebagai bahan bakar pendamping yang berfungsi membantu mesin mengurangi konsumsi bahan bakar utama.
Memadukan teknologi elektrolisis yang menghasilkan hidrogen dari air dengan teknologi pembakaran menggunakan bahan bakar bensin atau solar kepada kendaraan ataupun mesin industri terbukti cukup efektif mengurangi konsumsi bahan bakar fosil antara 15-50 %. Jadi kalau saja teknologi seperti ini bisa diterapkan secara massal, konsumsi bahan bakar fosil tentu bisa diturunkan tanpa perlu ribut-ribut dan tarik urat seperti yang terjadi di Kopenhagen sekarang, karena disamping menghemat penggunaan bahan bakar fosil, penggunaan teknologi ini juga secara efektif mengurangi produksi karbon yang hari-hari belakangan ini menjadi pokok perdebatan para pemimpin berbagai negara yang sekarang sedang melakukan konferensi di Kopenhagen.
Untuk di Indonesia sendiri, kalau saja teknologi ini bisa digunakan secara masif, hal itu tentu akan banyak mengurangi 'sakit kepala' pemerintah yang setiap tahunnya harus menganggarkan uang APBN dalam jumlah yang tidak sedikit untuk mensubsidi BBM.
Karena daya tarik teknologi pemanfaatan hidrogen yang diproduksi dari air melalui proses elektrolisis inilah sekarang banyak negara yang sudah mulai mengembangkan teknologi ini. Negara-negara itu di antaranya Malaysia, Cina, Jepang dan tentu saja Amerika Serikat.
Kemudian pertanyaannya Indonesia kapan?. Kalau untuk mengembangkan teknologi ini kita harus menunggu pemerintah dan para sarjana yang memiliki sederet gelar di berbagai universitas terkenal di negeri ini yang mengambil inisiatif, maka jawabannya adalah WALLAHU ALAM. Ini disebabkan karena seperti yang sudah-sudah, orang-orang yang duduk di pemerintahan Indonesia dan juga para sarjana dan akademisi di negara ini jarang sekali ada yang mampu berpikir di luar bingkai. Para sarjana dan akademisi di negara ini lebih banyak terdiri dari orang-orang yang terlalu bangga dan silau dengan gelar yang mereka miliki.
Kalaupun ada ilmuwan di Indonesia yang cukup brilyan maka biasanya dia akan dihadapkan pada kurangnya dukungan dana untuk mewujudkan ide brilyan-nya. Di Indonesia ini, ide dan pemikiran hebat tidak pernah dihargai secara wajar. Beda dengan katakanlah Taiwan yang jika ada orang yang punya ide yang cukup cemerlang, maka pemerintah akan memberi dukungan dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian, yang semuanya akan dibayar jika penelitian itu sudah menghasilkan. Maka tidak heranlah jika akhirnya negara asinglah yang mengambil manfaat dari banyak bakat brilyan yang lahir di negeri ini.
Kembali ke hidrogen, sebagaimana juga untuk mengembangkan Pariwisata, untuk mengembangkan teknologi hibrida hidrogen dengan bahan bakar fosil ini pun, di Indonesia kita hanya bisa berharap kepada SWASTA. Karena di Indonesia ini pemerintah sebagaimana biasanya hanya bisa menjadi pahlawan kesiangan yang baru muncul belakangan, setelah masalah terselesaikan.
Wassalam
Win Wan Nur
Selasa, 15 Desember 2009
Krueng Peusangan dan Lake Geneva
Kemarin seorang teman men-tag saya di sebuah note berjudul Takengen Van Geneva. Note ini ditulis oleh Sabela Gayo yang mengaku sebagai . Dalam tulisannya Sabela mengatakan banyak kemiripan antara Takengen dan geneva. Dia bisa jadi benar karena seperti takengen, Swiss adalah sebuah wilayah yang terkenal dengan banyaknya gunung dan dan danau-danau cantik yang menghiasinya.
Salah satu dari beberapa danau yag cantik itu adalah danau yang oleh orang luar disebut danau Jenewa atau Lake Geneva dalam dialek Inggris. Tulisan Sabela ini mengingatkan saya pada danau kebanggaan orang Swiss ini.
Danau Jenewa ini bisa dikatakan sebagai salah satu danau yang paling terkenal di dunia. Di samping karena kecantikannya danau ini juga terkenal karena di sepanjang tepiannya banyak berdiri kantor-kantor pusat berbagai badan PBB dan organisasi Internasional lainnya.
Setiap tahun, di danau ini diselenggarakan sebuah festival internasional yang sangat meriah. Perayaan festival ini menyedot kehadiran banyak turis setiap tahunnya. "Smoke on the water" adalah salah satu lagu terkenal dari grup band legendaris Deep Purple yang liriknya bercerita tentang festival tahunan yang diselenggarakan di salah satu tepian danau cantik itu. (Mudah-mudahan festival Lut tawar yang digagas teman-teman saya bisa mengadopsi semangat dan kemeriahan festival tahunan yang diselenggarakan di tepian Lac du Leman ini)
Tapi penyebutan nama Lake Geneva sebagai mana kita dengar dalam lirik lagu "Smoke on the water" .... sebenarnya adalah penyebutan yang salah kaprah dan membuat tidak nyaman penduduk yang tinggal di tepian danau ini. Karena danau yang disebut dengan nama danau Jenewa ini sebenarnya adalah nama sebuah danau yang sangat luas yang wilayahnya mencakup Swiss dan juga Perancis. Jenewa hanyalah bagian kecil dari danau ini. Salah satu kota di Perancis yang terletak di pinggir danau ini adalah Kota Evian, kota yang terkenal memproduksi air mineral yang bermerk sama dengan nama kota itu.
Nama asli danau Jenewa ini sebenarnya adalah danau Leman atau Lac du Leman.Bagi penduduk yang mendiami tepian danau ini, menyebut nama danau ini dengan nama danau Jenewa adalah sebuah perbuatan yang sangat tidak sopan. Karena dengan penyebutan seperti itu berarti kota-kota lain yang juga terletak di tepi danau ini sama sekali tidak menghargai .
***
Di Aceh, ada sebuah sungai yang bernasib sama seperti danau Jenewa, namanya Krueng Peusangan. Kasus sungai Peusangan ini sebenarnya sama dengan pemberian nama ke Geneva yang dinamai dengan nama sebuah kota di tepian danau itu. Bedanya jika untuk Lac du Leman nama yang dilekatkan orang kepadanya adalah nama kota yang paling terkenal dibanding kota lain di tepian danau ini, untuk Krueng Peusangan, nama yang secara resmi di buku-buku geografi untuk sungai ini adalah nama sebuah kota kecil di bagian hilir sungai.
Kota terpenting yang dilewati oleh Sungai yang berhulu di danau Lut Tawar ini adalah Takengen, ibukota kabupaten Aceh Tengah yang merupakan kota terbesar dan bisa dikatakan pusat peradaban Gayo modern. Jadi kalau penamaan Lake Geneva jadi acuan, kalau sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas dilekatkan pada sungai ini adalah Wih ni Takengen.
Saat masih duduk di bangku SD saya pernah menemui sebuah peta terbitan Jakarta yang menulis nama sungai ini dengan nama terakhir.Tapi Peta-peta lain yang pernah saya miliki semua menulis nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan.
Meskipun kasus penamaan Lake Geneva dan Sungai Peusangan ini sebenarnya mirip. Tapi sikap penduduk yang mendiami kedua tempat itu sangat berbeda, jika penduduk yang mendiami tepian Lac du Leman seperti yang saya sebutkan di atas merasa tabu dan tidak nyaman (mal vu dalam bahasa Perancis) menyebut nama danau ini dengan sebutan Lake Geneva. Suku Gayo yang mendiami bagian terbesar tepian Krueng Peusangan sepertinya sama sekali tidak peduli dengan kejanggalan penamaan sungai ini.
***
Bagi suku-suku yang mendiami bumi Aceh, sungai yang merupakan sumber utama air tawar yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan juga pertanian adalah elemen penting bagi peradaban.
Keluarga saya dari pihak ibu, berasal dari Temung Penanti, sebuah kampung yang terletak di tepi sungai ini. Sewaktu masih kecil saya dan teman-teman saya yang tinggal di kampung ibu saya sangat akrab dengan sungai ini.
Bagi warga kampung kami dan juga kampung-kampung lain yang berada di tepiannya, sungai ini adalah tempat pemandian umum. Pada waktu saya masih kecil, di masa awal sampai pertengahan tahun 80-an juga menjadikan sungai ini sebagai tempat pemandian, di tempat ini pula saya belajar dan akhirnya bisa berenang.
kengen dan
Selain sebagai tempat mandi, sungai ini juga berfungsi sebagai penyedia protein utama bagi warga kampung kami. Jika di rumah sedang tidak ada lauk, warga kampung kami akan pergi ke sungai ini, ke bagian sungai berair dangkal dengan dasar berpasir untuk memunguti 'memin', kerang air tawar berukuran kecil (maksimal seukuran jari tangan) untuk kemudian dimasak menjadi sup kerang atau dikeluarkan dagingnya untuk dibuat sambal. Pada waktu saya masih kecil itu, di bagian sungai berair dangkal itu, jauh lebih mudah menemukan 'memin' ketimbang menemukan kerikil. Dengan sepotong kaca untuk alat bantu supaya memudahkan melihat dasar sungai, dalam waktu setengah jam saja satu ember memin sudah bisa kami dapatkan. Pada masa itu, di halaman belakang setiap rumah di kampung kami itu, kita selalu mendapati bukit kapur kecil yang tidak lain adalah tumpukan kulit kerang yang hampir setiap hari kami konsumsi.
Sayangnya sekarang 'memin-memin'kecil yang lezat itu sudah punah semuanya, bukan karena terlalu banyak dipunguti. Tapi 'memin-memin' itu tiba-tiba banyak yang mati dan akhirnya sekarang menghilang sama sekali.
Waktu itu, kalau kami ingin menikmati variasi lauk yang lain. Kami tinggal mendatangi bagian aliran sungai berair dangkal tapi berarus deras dengan dasar berbatu. Di tempat itu, di bawah batu-batu di dasar sungai berair dangkal dan berarus deras ini banyak terdapat ikan 'ILI', satu spesies ikan berkulit coklat dengan bintik hitam seperti macan tutul dengan ukuran tubuh maksimal sebesar jari kelingking. Dengan bermodalkan "serampang", tombak bermata dua seperti garpu yang kami buat dari peniti yang diikatkan di ujung bambu sebesar kelingking, kami mengangkat batu-batu itu dan dengan cepat menombak 'ili' yang terlihat. Untuk mendapatkan ikan ini tidak segampang mendapatkan memin, berbeda dengan memin yang dalam setengah jam kita bisa mendapatkan satu ember, dalam berburu 'ili' ini, seharian berada di sungai pun satu mangkok kecil 'ili' susah kami dapatkan. Senasib dengan 'memin', 'ili' pun sekarang sudah menghilang, bedanya kalau memin kami tidak mengetahui sebab menghilangnya, ili menghilang karena kemunculan alat penangkap ikan dengan menggunakan arus listrik dari aki yang kami sebut 'stroom'. Dengan alat ini 'ili' yang sebelumnya begitu sulit didapat dengan serampang menjadi sangat mudah ditangkap.
Sekitar tahun 1985, dengan bermodalkan satu buah alat 'stroom' kami sekampung pernah mengadakan pesta besar makan-makan di tepi sungai. Waktu itu saya ingat dalam waktu beberapa jam saja para orang tua dan kakak-kakak kami yang menggunakan alat stroom sudah mendapatkan hampir dua karung ikan berbagai jenis, mulai dari 'ili', belut, lele, gabus sampai 'denung', sejenis belut air tawar yang ukurannya bisa sampai sebesar alat takaran 2 literan.
Selain ikan-ikan itu, lauk alternatif lain yang bisa kami dapatkan di sungai ini adalah 'gerep', kepiting air tawar yang berukuran maksimal sebesar jempol kaki orang dewasa yang hidup di tempat yang sama dengan ili. Meski tidak semudan mendapatkan 'memin'mendapatkan kepiting ini jauh lebih mudah ketimbang 'ili', dengan modal yang sama seperti mencari memin yaitu kaca, seharian mencari di sungai kami bisa mendapatkan gerep sebanyak satu kantong plastik ukuran 1 kiloan.
Begitu pentingnya sungai bagi penduduk Aceh yang tinggal di sepanjang alirannya maka tidak heranlah kita menemui banyak sungai di Aceh dinamai sesuai dengan nama suku Aceh yang mendiami tepiannya. Di Aceh kita mengenal Lawe Alas yang terletak di bumi Alas yang dinamai sesuai nama suku yang mendiami daerah itu. Lalu ada Krueng Aceh yang membelah kota Banda Aceh, di Aceh Timur ada Sungai Tamiang yang dinamai sesuai dengan nama suku Tamiang dan di Aceh Selatan ada Sungai Kluet yang dinamai sesuai dengan nama suku Kluet.
Tapi anehnya, meskipun daerahnya banyak dilewati aliran sungai besar, tidak satupun sungai di Aceh yang dinamai Wih Ni Gayo.
Krueng Peusangan sendiri yang merupakan salah satu sungai terpenting di dataran tinggi Gayo, bagi orang Gayo seolah adalah sebuah sungai tanpa nama. Di
kampung saya dan semua kampung yang dilewati aliran sungai ini, orang Gayo yang mendiami tepiannya hanya menyebutnya dengan nama Wih Kul yang berarti sungai Besar. Nama Krueng Peusangan hanya akrab di telinga orang-orang di generasi saya yang mengenal nama ini dari pelajaran geografi di sekolah. Orang-orang di generasi kakek saya misalnya, sangat asing dengan nama ini. Orang-orang dari generasi bapak saya pun merasa sangat janggal menyebut nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan. Nama Peusangan yang dilekatkan pada sungai ini lebih banyak dikenal orang sebagai nama sebuah Klub Sepak Bola Garuda Pesangan yang berasal dari desa Asir-asir yang memang terletak di tepi sungai ini.
Karena itulah sampai hari ini saya masih tidak mengerti kenapa nama yang dilekatkan pada sungai tersebut adalah Krueng Peusangan, padahal sungai ini mengalir sejauh ratusan kilometer jaraknya melewati daratan luas yang sebagian besar adalah wilayah Gayo.
Kemudian karena DAS sungai ini juga yang paling banyak berada di wilayah dataran tinggi Gayo , saya jadi sering bertanya dalam hati kenapa sungai ini dinamakan "Krueng" yang berarti sungai dalam bahasa Aceh pesisir, bukan "Wih Ni" yang juga berarti sungai dalam bahasa Gayo.
Menurut logika saya, kalau pun sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas saya pikir adalah "wih ni Takengen" sebagaimana yang tertulis di sebuah peta yang saya lihat sewaktu saya duduk di bangku SD. Nama ini pantas bukan saja karena Kota ini yang terletak di hulu sungai yang merupakan sumber utama air yang mengaliri sungai ini, tapi itu juga karena kota inilah yang merupakan kota terpenting yang dilewati aliran sungai ini. Sementara Peusangan hanyalah nama sebuah kota kecil yang terletak di bagian hilir aliran sungai ini.
Tapi karena sekitar 80 % DAS (daerah aliran sungai) ini mengaliri bumi Gayo yang menyebabkan orang Gayo pun memiliki ketergantungan dan ikatan emosional yang kuat kepada sungai ini. Hubungan emosional yang jauh lebih kuat daripada yang dimiliki penduduk yang tinggal di wilayah hilirnya, kemudian fakta bahwa sungai ini pun berhulu di Danau Lut Tawar yang secara de facto merupakan simbol dari lansekap Gayo. Maka saya pikir, dibandingkan dengan nama Wih Ni Takengen akan lebih elok lagi kalau sungai ini dinamakan Wih Ni Gayo.
Tapi tentu saja itu semua hanya andai-andai saja. Sampai saat ini dan entah sampai kapan nama sungai kebanggaan orang Gayo ini tetap "Krueng Peusangan". Orang Gayo dari generasi sebelum kami, jika dibandingkan dengan orang suku Aceh bisa dikatakan rata-rata apolitis, sehingga hal-hal 'kecil' seperti ini tidak banyak menarik perhatian mereka.
Sikap mereka ini sangat berbeda dengan generasi Gayo yang seangkatan dengan saya, yang melihat kejanggalan penamaan sungai ini menjadi bertanya-tanya dalam hati. "Tidakkah pemberian nama KRUENG PEUSANGAN terhadap sungai ini berkaitan dengan politik dominasi suku Aceh yang selama ini mereka terapkan terhadap suku-suku minoritas yang sama-sama merupakan penduduk asli wilayah ini?".
Wassalam
Win Wan Nur
Salah satu dari beberapa danau yag cantik itu adalah danau yang oleh orang luar disebut danau Jenewa atau Lake Geneva dalam dialek Inggris. Tulisan Sabela ini mengingatkan saya pada danau kebanggaan orang Swiss ini.
Danau Jenewa ini bisa dikatakan sebagai salah satu danau yang paling terkenal di dunia. Di samping karena kecantikannya danau ini juga terkenal karena di sepanjang tepiannya banyak berdiri kantor-kantor pusat berbagai badan PBB dan organisasi Internasional lainnya.
Setiap tahun, di danau ini diselenggarakan sebuah festival internasional yang sangat meriah. Perayaan festival ini menyedot kehadiran banyak turis setiap tahunnya. "Smoke on the water" adalah salah satu lagu terkenal dari grup band legendaris Deep Purple yang liriknya bercerita tentang festival tahunan yang diselenggarakan di salah satu tepian danau cantik itu. (Mudah-mudahan festival Lut tawar yang digagas teman-teman saya bisa mengadopsi semangat dan kemeriahan festival tahunan yang diselenggarakan di tepian Lac du Leman ini)
Tapi penyebutan nama Lake Geneva sebagai mana kita dengar dalam lirik lagu "Smoke on the water" .... sebenarnya adalah penyebutan yang salah kaprah dan membuat tidak nyaman penduduk yang tinggal di tepian danau ini. Karena danau yang disebut dengan nama danau Jenewa ini sebenarnya adalah nama sebuah danau yang sangat luas yang wilayahnya mencakup Swiss dan juga Perancis. Jenewa hanyalah bagian kecil dari danau ini. Salah satu kota di Perancis yang terletak di pinggir danau ini adalah Kota Evian, kota yang terkenal memproduksi air mineral yang bermerk sama dengan nama kota itu.
Nama asli danau Jenewa ini sebenarnya adalah danau Leman atau Lac du Leman.Bagi penduduk yang mendiami tepian danau ini, menyebut nama danau ini dengan nama danau Jenewa adalah sebuah perbuatan yang sangat tidak sopan. Karena dengan penyebutan seperti itu berarti kota-kota lain yang juga terletak di tepi danau ini sama sekali tidak menghargai .
***
Di Aceh, ada sebuah sungai yang bernasib sama seperti danau Jenewa, namanya Krueng Peusangan. Kasus sungai Peusangan ini sebenarnya sama dengan pemberian nama ke Geneva yang dinamai dengan nama sebuah kota di tepian danau itu. Bedanya jika untuk Lac du Leman nama yang dilekatkan orang kepadanya adalah nama kota yang paling terkenal dibanding kota lain di tepian danau ini, untuk Krueng Peusangan, nama yang secara resmi di buku-buku geografi untuk sungai ini adalah nama sebuah kota kecil di bagian hilir sungai.
Kota terpenting yang dilewati oleh Sungai yang berhulu di danau Lut Tawar ini adalah Takengen, ibukota kabupaten Aceh Tengah yang merupakan kota terbesar dan bisa dikatakan pusat peradaban Gayo modern. Jadi kalau penamaan Lake Geneva jadi acuan, kalau sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas dilekatkan pada sungai ini adalah Wih ni Takengen.
Saat masih duduk di bangku SD saya pernah menemui sebuah peta terbitan Jakarta yang menulis nama sungai ini dengan nama terakhir.Tapi Peta-peta lain yang pernah saya miliki semua menulis nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan.
Meskipun kasus penamaan Lake Geneva dan Sungai Peusangan ini sebenarnya mirip. Tapi sikap penduduk yang mendiami kedua tempat itu sangat berbeda, jika penduduk yang mendiami tepian Lac du Leman seperti yang saya sebutkan di atas merasa tabu dan tidak nyaman (mal vu dalam bahasa Perancis) menyebut nama danau ini dengan sebutan Lake Geneva. Suku Gayo yang mendiami bagian terbesar tepian Krueng Peusangan sepertinya sama sekali tidak peduli dengan kejanggalan penamaan sungai ini.
***
Bagi suku-suku yang mendiami bumi Aceh, sungai yang merupakan sumber utama air tawar yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan juga pertanian adalah elemen penting bagi peradaban.
Keluarga saya dari pihak ibu, berasal dari Temung Penanti, sebuah kampung yang terletak di tepi sungai ini. Sewaktu masih kecil saya dan teman-teman saya yang tinggal di kampung ibu saya sangat akrab dengan sungai ini.
Bagi warga kampung kami dan juga kampung-kampung lain yang berada di tepiannya, sungai ini adalah tempat pemandian umum. Pada waktu saya masih kecil, di masa awal sampai pertengahan tahun 80-an juga menjadikan sungai ini sebagai tempat pemandian, di tempat ini pula saya belajar dan akhirnya bisa berenang.
kengen dan
Selain sebagai tempat mandi, sungai ini juga berfungsi sebagai penyedia protein utama bagi warga kampung kami. Jika di rumah sedang tidak ada lauk, warga kampung kami akan pergi ke sungai ini, ke bagian sungai berair dangkal dengan dasar berpasir untuk memunguti 'memin', kerang air tawar berukuran kecil (maksimal seukuran jari tangan) untuk kemudian dimasak menjadi sup kerang atau dikeluarkan dagingnya untuk dibuat sambal. Pada waktu saya masih kecil itu, di bagian sungai berair dangkal itu, jauh lebih mudah menemukan 'memin' ketimbang menemukan kerikil. Dengan sepotong kaca untuk alat bantu supaya memudahkan melihat dasar sungai, dalam waktu setengah jam saja satu ember memin sudah bisa kami dapatkan. Pada masa itu, di halaman belakang setiap rumah di kampung kami itu, kita selalu mendapati bukit kapur kecil yang tidak lain adalah tumpukan kulit kerang yang hampir setiap hari kami konsumsi.
Sayangnya sekarang 'memin-memin'kecil yang lezat itu sudah punah semuanya, bukan karena terlalu banyak dipunguti. Tapi 'memin-memin' itu tiba-tiba banyak yang mati dan akhirnya sekarang menghilang sama sekali.
Waktu itu, kalau kami ingin menikmati variasi lauk yang lain. Kami tinggal mendatangi bagian aliran sungai berair dangkal tapi berarus deras dengan dasar berbatu. Di tempat itu, di bawah batu-batu di dasar sungai berair dangkal dan berarus deras ini banyak terdapat ikan 'ILI', satu spesies ikan berkulit coklat dengan bintik hitam seperti macan tutul dengan ukuran tubuh maksimal sebesar jari kelingking. Dengan bermodalkan "serampang", tombak bermata dua seperti garpu yang kami buat dari peniti yang diikatkan di ujung bambu sebesar kelingking, kami mengangkat batu-batu itu dan dengan cepat menombak 'ili' yang terlihat. Untuk mendapatkan ikan ini tidak segampang mendapatkan memin, berbeda dengan memin yang dalam setengah jam kita bisa mendapatkan satu ember, dalam berburu 'ili' ini, seharian berada di sungai pun satu mangkok kecil 'ili' susah kami dapatkan. Senasib dengan 'memin', 'ili' pun sekarang sudah menghilang, bedanya kalau memin kami tidak mengetahui sebab menghilangnya, ili menghilang karena kemunculan alat penangkap ikan dengan menggunakan arus listrik dari aki yang kami sebut 'stroom'. Dengan alat ini 'ili' yang sebelumnya begitu sulit didapat dengan serampang menjadi sangat mudah ditangkap.
Sekitar tahun 1985, dengan bermodalkan satu buah alat 'stroom' kami sekampung pernah mengadakan pesta besar makan-makan di tepi sungai. Waktu itu saya ingat dalam waktu beberapa jam saja para orang tua dan kakak-kakak kami yang menggunakan alat stroom sudah mendapatkan hampir dua karung ikan berbagai jenis, mulai dari 'ili', belut, lele, gabus sampai 'denung', sejenis belut air tawar yang ukurannya bisa sampai sebesar alat takaran 2 literan.
Selain ikan-ikan itu, lauk alternatif lain yang bisa kami dapatkan di sungai ini adalah 'gerep', kepiting air tawar yang berukuran maksimal sebesar jempol kaki orang dewasa yang hidup di tempat yang sama dengan ili. Meski tidak semudan mendapatkan 'memin'mendapatkan kepiting ini jauh lebih mudah ketimbang 'ili', dengan modal yang sama seperti mencari memin yaitu kaca, seharian mencari di sungai kami bisa mendapatkan gerep sebanyak satu kantong plastik ukuran 1 kiloan.
Begitu pentingnya sungai bagi penduduk Aceh yang tinggal di sepanjang alirannya maka tidak heranlah kita menemui banyak sungai di Aceh dinamai sesuai dengan nama suku Aceh yang mendiami tepiannya. Di Aceh kita mengenal Lawe Alas yang terletak di bumi Alas yang dinamai sesuai nama suku yang mendiami daerah itu. Lalu ada Krueng Aceh yang membelah kota Banda Aceh, di Aceh Timur ada Sungai Tamiang yang dinamai sesuai dengan nama suku Tamiang dan di Aceh Selatan ada Sungai Kluet yang dinamai sesuai dengan nama suku Kluet.
Tapi anehnya, meskipun daerahnya banyak dilewati aliran sungai besar, tidak satupun sungai di Aceh yang dinamai Wih Ni Gayo.
Krueng Peusangan sendiri yang merupakan salah satu sungai terpenting di dataran tinggi Gayo, bagi orang Gayo seolah adalah sebuah sungai tanpa nama. Di
kampung saya dan semua kampung yang dilewati aliran sungai ini, orang Gayo yang mendiami tepiannya hanya menyebutnya dengan nama Wih Kul yang berarti sungai Besar. Nama Krueng Peusangan hanya akrab di telinga orang-orang di generasi saya yang mengenal nama ini dari pelajaran geografi di sekolah. Orang-orang di generasi kakek saya misalnya, sangat asing dengan nama ini. Orang-orang dari generasi bapak saya pun merasa sangat janggal menyebut nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan. Nama Peusangan yang dilekatkan pada sungai ini lebih banyak dikenal orang sebagai nama sebuah Klub Sepak Bola Garuda Pesangan yang berasal dari desa Asir-asir yang memang terletak di tepi sungai ini.
Karena itulah sampai hari ini saya masih tidak mengerti kenapa nama yang dilekatkan pada sungai tersebut adalah Krueng Peusangan, padahal sungai ini mengalir sejauh ratusan kilometer jaraknya melewati daratan luas yang sebagian besar adalah wilayah Gayo.
Kemudian karena DAS sungai ini juga yang paling banyak berada di wilayah dataran tinggi Gayo , saya jadi sering bertanya dalam hati kenapa sungai ini dinamakan "Krueng" yang berarti sungai dalam bahasa Aceh pesisir, bukan "Wih Ni" yang juga berarti sungai dalam bahasa Gayo.
Menurut logika saya, kalau pun sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas saya pikir adalah "wih ni Takengen" sebagaimana yang tertulis di sebuah peta yang saya lihat sewaktu saya duduk di bangku SD. Nama ini pantas bukan saja karena Kota ini yang terletak di hulu sungai yang merupakan sumber utama air yang mengaliri sungai ini, tapi itu juga karena kota inilah yang merupakan kota terpenting yang dilewati aliran sungai ini. Sementara Peusangan hanyalah nama sebuah kota kecil yang terletak di bagian hilir aliran sungai ini.
Tapi karena sekitar 80 % DAS (daerah aliran sungai) ini mengaliri bumi Gayo yang menyebabkan orang Gayo pun memiliki ketergantungan dan ikatan emosional yang kuat kepada sungai ini. Hubungan emosional yang jauh lebih kuat daripada yang dimiliki penduduk yang tinggal di wilayah hilirnya, kemudian fakta bahwa sungai ini pun berhulu di Danau Lut Tawar yang secara de facto merupakan simbol dari lansekap Gayo. Maka saya pikir, dibandingkan dengan nama Wih Ni Takengen akan lebih elok lagi kalau sungai ini dinamakan Wih Ni Gayo.
Tapi tentu saja itu semua hanya andai-andai saja. Sampai saat ini dan entah sampai kapan nama sungai kebanggaan orang Gayo ini tetap "Krueng Peusangan". Orang Gayo dari generasi sebelum kami, jika dibandingkan dengan orang suku Aceh bisa dikatakan rata-rata apolitis, sehingga hal-hal 'kecil' seperti ini tidak banyak menarik perhatian mereka.
Sikap mereka ini sangat berbeda dengan generasi Gayo yang seangkatan dengan saya, yang melihat kejanggalan penamaan sungai ini menjadi bertanya-tanya dalam hati. "Tidakkah pemberian nama KRUENG PEUSANGAN terhadap sungai ini berkaitan dengan politik dominasi suku Aceh yang selama ini mereka terapkan terhadap suku-suku minoritas yang sama-sama merupakan penduduk asli wilayah ini?".
Wassalam
Win Wan Nur
Kamis, 10 Desember 2009
Kenapa Nama TAKENGON Perlu Dikritisi
Tulisan saya tentang asal-usul nama TAKENGON, ternyata mendapat banyak tanggapan. Ada banyak yang setuju dengan pendapat saya tentang asal usul nama ini dan menganjurkan untuk tidak lagi menyebut nama TAKENGON karena nama asli kota ini adalah TAKENGEN.
Tapi ada yang tidak setuju menurutnya TAKENGON adalah nama TAKENGEN dalam bahasa Indonesia. Seorang rekan yang pro nama TAKENGEN tidak setuju karena menurut rekan ini "dimana-mana nama itu tidak bisa di ubah-ubah".
Menanggapi ini, menurut saya adalah hal biasa kalau nama sebuah kota diucapkan oleh orang luar dengan 'lidah' mereka.
Di Eropa misalnya nama-nama kota di Italia oleh orang Inggris semua diubah menjadi bercita rasa Inggris. Misalnya 'Napoli' menjadi 'Naples', 'Firenze' menjadi 'Florence', 'Roma' menjadi 'Rome'. Di Swiss 'Geneve' menjadi 'Geneva'. Kota 'London' di Inggris juga oleh orang Perancis namanya diubah menjadi 'Londre'. 'Makkah' di sini menjadi 'Mekkah', di Inggris menjadi 'Mecca', di Perancis jadi 'La Mec' aja.
Tapi untuk kota-kota itu, semua penghuninya dan orang yang berasal dari sana selalu menyebut nama Kota itu dengan nama aslinya.
Jadi nama Takengen diucapkan menjadi Takengon saya pikir sah-sah saja. Cuma kenapa soal nama 'Takengon' terada mengganggu bagi saya?. Itu dikarenakan penyebutan nama itu sangat erat kaitannya dengan sikap RENDAH DIRI orang Gayo terhadap diri dan adat istiadat dan budayanya sendiri. Dan yang paling menyebalkan dari semuanya adalah; nama ini merupakan pemberian CHRISTIAN SNOUCK HURGRONJE yang disewa oleh pemerintah Belanda untuk menghancurkan Aceh.
Jadi nama TAKENGON itu berkaitan erat dengan pengagungan orang Gayo nilai-nilai dari luar dan sikap pandang remeh terhadap diri sendiri. Ini adalah mentalitas khas BANGSA JAJAHAN.
Pemakaian nama Kota ini berkaitan erat dengan cara pandang penduduk kota ini terhadap dirinya sendiri.
Kalau kota-kota yang saya sebutkan di atas tidak pernah kehilangan nama aslinya, karena penduduk yang mendiaminya tetap menyebutnya dengan nama asli kota tersebut. Tidak demikian dengan TAKENGEN.
Kota kebanggaan orang Gayo ini sudah benar-benar kehilangan nama aslinya. Di setiap institusi resmi pemerintahan dan di peta nama Kota ini semua sudah menjadi TAKENGON.
Malah untuk semakin meyakinkan bahwa nama pemberian HURGRONJE inilah yang merupakan nama asli kota ini, beredar cerita bahwa nama Kota ini berasal dari kata beTA Ku ENGON. Cerita ini sangat diragukan kebenarannya, hampir mustahil mencari bukti sejarahnya, apalagi kalau referensi yang kita pakai untuk meyakininya adalah referensi seorang Gayo dengan inisial DC, yang lahir di Gayo dan besar di Afrika. Menurutnya nama ini berasal dari ekspresi orang Gayo yang melihat seorang tentara Belanda yang berteduh di bawah pohon Kelaping.
Jadi silahkan saja menyebut nama kota ini sesuai selera. Cuma untuk saya sendiri, saya merasa malu menyebut nama kota ini dengan nama TAKENGON, karena dengan menggunakan nama itu, bagi saya sama artinya dengan mengaku bahwa saya adalah seorang bangsa JAJAHAN.
Wassalam
Win Wan Nur
Tapi ada yang tidak setuju menurutnya TAKENGON adalah nama TAKENGEN dalam bahasa Indonesia. Seorang rekan yang pro nama TAKENGEN tidak setuju karena menurut rekan ini "dimana-mana nama itu tidak bisa di ubah-ubah".
Menanggapi ini, menurut saya adalah hal biasa kalau nama sebuah kota diucapkan oleh orang luar dengan 'lidah' mereka.
Di Eropa misalnya nama-nama kota di Italia oleh orang Inggris semua diubah menjadi bercita rasa Inggris. Misalnya 'Napoli' menjadi 'Naples', 'Firenze' menjadi 'Florence', 'Roma' menjadi 'Rome'. Di Swiss 'Geneve' menjadi 'Geneva'. Kota 'London' di Inggris juga oleh orang Perancis namanya diubah menjadi 'Londre'. 'Makkah' di sini menjadi 'Mekkah', di Inggris menjadi 'Mecca', di Perancis jadi 'La Mec' aja.
Tapi untuk kota-kota itu, semua penghuninya dan orang yang berasal dari sana selalu menyebut nama Kota itu dengan nama aslinya.
Jadi nama Takengen diucapkan menjadi Takengon saya pikir sah-sah saja. Cuma kenapa soal nama 'Takengon' terada mengganggu bagi saya?. Itu dikarenakan penyebutan nama itu sangat erat kaitannya dengan sikap RENDAH DIRI orang Gayo terhadap diri dan adat istiadat dan budayanya sendiri. Dan yang paling menyebalkan dari semuanya adalah; nama ini merupakan pemberian CHRISTIAN SNOUCK HURGRONJE yang disewa oleh pemerintah Belanda untuk menghancurkan Aceh.
Jadi nama TAKENGON itu berkaitan erat dengan pengagungan orang Gayo nilai-nilai dari luar dan sikap pandang remeh terhadap diri sendiri. Ini adalah mentalitas khas BANGSA JAJAHAN.
Pemakaian nama Kota ini berkaitan erat dengan cara pandang penduduk kota ini terhadap dirinya sendiri.
Kalau kota-kota yang saya sebutkan di atas tidak pernah kehilangan nama aslinya, karena penduduk yang mendiaminya tetap menyebutnya dengan nama asli kota tersebut. Tidak demikian dengan TAKENGEN.
Kota kebanggaan orang Gayo ini sudah benar-benar kehilangan nama aslinya. Di setiap institusi resmi pemerintahan dan di peta nama Kota ini semua sudah menjadi TAKENGON.
Malah untuk semakin meyakinkan bahwa nama pemberian HURGRONJE inilah yang merupakan nama asli kota ini, beredar cerita bahwa nama Kota ini berasal dari kata beTA Ku ENGON. Cerita ini sangat diragukan kebenarannya, hampir mustahil mencari bukti sejarahnya, apalagi kalau referensi yang kita pakai untuk meyakininya adalah referensi seorang Gayo dengan inisial DC, yang lahir di Gayo dan besar di Afrika. Menurutnya nama ini berasal dari ekspresi orang Gayo yang melihat seorang tentara Belanda yang berteduh di bawah pohon Kelaping.
Jadi silahkan saja menyebut nama kota ini sesuai selera. Cuma untuk saya sendiri, saya merasa malu menyebut nama kota ini dengan nama TAKENGON, karena dengan menggunakan nama itu, bagi saya sama artinya dengan mengaku bahwa saya adalah seorang bangsa JAJAHAN.
Wassalam
Win Wan Nur
Senin, 07 Desember 2009
Kampus Teknik; PABRIK ROBOT, Bukan Tempat Mencetak Sarjana
Kemarin aku baru tahu kalau di facebook ada sebuah Group bernama SIKAT, kata yang sangat familiar bagiku karena kata ini adalah singkatan dari Silaturahmi Keakraban Aneuk teknik, yang merupakan sebuah acara penggojlogan alias Ospek di teknik saat kami baru memasuki fakultas ini. Istilah ini semakin terasa intim karena kamilah angkatan 92 yang merupakan angkatan pertama yang mengikuti kegiatan ini.
Yang cukup mengagetkan, setelah membuka Group ini ternyata aku sendiri adalah adminnya. Sepertinya Zulfan, teman seangkatanku di Teknik Sipil yang memasukkan aku sebagai admin di situs ini.
Kekagetan yang aku rasakan semakin bertubi-tubi, karena begitu membuka layar. Di wall group ini berisi hujatan dari seorang mahasiswa Teknik Arsitektur dengan nama facebook Dek Moens Ibn Ibrahim. Isinya hujatannya tidak tanggung-tanggung BUBARKAN GROUP INI.
Hujatan Dek Moens Ibn Ibrahim ini jelas membuat gerah anggota Group yang merasa jauh lebih senior, tanpa sama sekali menanyakan alasan kenapa Dek Moens Ibn Ibrahim mengeluarkan hujatan semacam ini.
Tapi hari ini Dek Moens Ibn Ibrahim menjelaskan alasannya. Alasan yang dia kemukakan saya paste di bawah ini :
Tabi' syara,tidak ada maksud saya untuk membubarkan SIKAT, saya salah satu diantara kawan2 yang sampai kedepan mempertahankan SIKAT.. Namun dimana 689 (ENAM RATUS DELAPAN PULUH SEMBILAN) orang anggota group ini ketika ada tekanan dari birokrasi kampus yang hampir MEMBUBARKAN SIKAT...????
ada yg bilang...
AKU BERSAMA KALIAN..
AKU DISAMPING KALIAN..
AKU DI BELAKANG KALIAN..... See More
ADA JUGA YANG NGAKU,, AKU SATU BARISAN SAMA KALIAN...
BAGIKU.......
"apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata :LAWAN"
Apa yang diungkapkan oleh Dek Moens Ibn Ibrahim ini adalah fakta yang terjadi di kampus teknik tercinta sekarang.
Banyak dari alumni Teknik yang berfikir kalau teknik masih seperti zaman dulu, kuliah begitu seru, penuh keakraban dan banyak kegiatan. Sesuai dengan motto Teknik "BUKU, CINTA DAN PESTA". Kenyataannya Teknik sekarang tidaklah demikian.
Tahun lalu ketika aku berkesempatan pulang ke Banda Aceh, aku menyempatkan diri mampir ke kampus. Suasana kampus yang aku bayangkan tentu saya seperti bayangan kampus saat aku masih kuliah dulu, suasana yang ceria dan penuh keakraban antar sesama mahasiswa. Dengan mahasiswa-mahasiswa yang tampil dengan pakaian santai dan cuek yang menganggap penampilan sebagai urusan nomer dua.
Tapi yang aku saksikan di kampus sangatlah berbeda, aku sama sekali tidak lagi mengenal Teknik. Saat masuk ke kampus fakultas ini aku merasa seperti alien yang berbeda sendiri. ROH Teknik yang membuat kampus ini disegani di Unsyiah bahkan di seantero banda Aceh seperti di saat aku kuliah dulu sama sekali tidak tersisau sedikitpun di kampus ini. Masuk ke kampus Teknik aku serasa seperti masuk ke kampus FKIP atau IAIN. Tidak ada mahasiswa dengan kaos dan Jins belel menenteng tas berisi kotak kalkir yang nongkrong di warung. Yang kulihat di Teknik adalah anak-anak manis berkemeja rapi yang sibuk dengan laptopnya.
Sebenarnya tidak ada masalah soal berpakaian ini, cuma yang menjadi masalah adalah tidak mungkin Teknik bisa menjadi ini seperti ini kalau tidak ada yang memaksa.
Saya menemukan masalahnya setelah saya mencoba berbicara dengan beberapoa adik yang berkemeja itu. Ternyata mereka berpakaian seperti itu karena memang dipaksa oleh dekanat.
Mendengar alasan si adik ini akupun maklum dan sangat memahami pola pikir orang dekanat ini. Aku maklum karena memang orang-orang dekanat di fakultas ini memang diisi oleh dosen-dosen yang diangkat dari mahasiswa yang dulunya berprestasi saat kuliah di kampus ini.
Masalah ini terjadi karena dosen-dosen yang dulunya mahasiswa berprestasi ini memang rata-rata adalah anak-anak gila belajar yang semasa kuliah dulu. Mereka rata-rata adalah para sarjana yang semasa kuliah sama sekali tidak pernah ikut merasakan dinamika mahasiswa. Bagi mereka kuliah itu hanya dan cuma BUKU saja, mereka sama sekali tidak pernah merasakan yang namanya CINTA dan PESTA. Ke kampus, mereka tahunya cuma kuliah dan mendapat IP tinggi. Dunia yang mereka tahu ya cuma itu, sehingga mereka pun berpikir untuk hidup ya satu-satunya jalan hanya seperti itu.
Karena itulah ketika menjadi dosen dan mendapatkan hak membuat kebijakan di Teknik merekapun membuat teknik menjadi seperti satu-satunya dunia yang mereka ketahui itu. Dunia tanpa gejolak, statis dan membosankan.
Dengan pikiran dan pandangan seperti itu, mereka pun dengan semena-mena mengambil HAK Mahasiswa Teknik untuk mengekspresikan diri. Menghambat perkembangan Mahasiswa teknik untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
Akibat dari kebijakan dari dosen-dosen berkacamata kuda, kaku dan membosankan ini. Fakultas Teknik jadi lebih mirip PABRIK ROBOT dibanding tempat mencetak sarjana.
Sebenarnya cara pandang para dosen kuper ini tidak salah, kalau cuma mereka dan pengalaman hidup mereka yang membosankan itu yang dijadikan referensi. Tapi kalau para alumni lain yang sudah sukses sekarang juga kita tanyai apakah hanya IP tinggi itu yang menjadi modal utama untuk hidup setelah tidak lagi kuliah, ternyata jawabannya sangat berbeda.
Karena setelah kita meninggalkan teknik, ternyata pengalaman kita ikut berbagai kegiatan ekstra kurikuler, pengalaman kita berinteraksi dengan berbagai kalangan dan berbagai lapisan sosial masyarakat waktu kita mengadakan kegiatanlah yang paling banyak membantu waktu kita saat sudah selesai kuliah dan terjun ke masyarakat.
Buktinya katakanlah di angkatan saya saja sekarang, teman-teman seangkatan saya yang sudah bekerja sekarang. Di antara teman-teman seangkatan saya, rata-rata yang sukses justru adalah "hantu-hantu" jaman dulu, yang selalu dipandang sebelah mata oleh dosen-dosen sombong yang hidupnya membosankan itu. Teman-teman yang aku tau persis dulu membuat bersama-sama denganku main batu atau main truf di kantin Barret, yang membuat PR di kantin, yang waktu ujian suka mencontek pekerjaanku dan sering kucontek pekerjaannya, yang IP di KHS-nya jarang beranjak dari angka satu koma.
Untuk aku sendiri, aku malah sama sekali tidak punya ijazah, bukan cuma Ijazah sarjana tapi ijazah dari SD sampe SMA juga aku nggak punya. Tapi tanpa itu semua pun, alhamdulillah sampai hari ini, aku sama sekali tidak pernah merasakan kesulitan untuk menemukan pekerjaan. Malah yang terjadi sebaliknya, aku bisa memilih pekerjaan sesuai mauku, yang sesuai dengan kesenangan dan hobiku.
Selama ini yang kujadikan modal dalam bekerja cuma mentalitas dan cara pikir dan cara mengambil keputusan ala teknik, yang kudapat dari bergaul dengan banag-abang, kawan seangkatan dan adik-adik di teknik dulu. Dan dengan itu, meskipun tidak teramat sangat kaya, tapi paling tidak aku masih bisa hidup dan menghidupi keluargaku dengan perasaan senang dan bahagia dan mampu memberi mereka tingkat penghidupan di atas rata-rata.
Sementara kawan-kawan yang ber-IP tinggi tapi tidak mengerti cara bersosialisasi malah kesulitan dalam meniti karir apalagi membuat usaha.
Tahun lalu saat sedang boarding di Bandara, aku pernah bertemu dengan teman seangkatan saya yang seperti ini, dia berinisisal "S" yang bekerja di salah satu instansi pemerintah di Singkil. Teman ini menamatkan kuliahnya dalam waktu 5 setengah tahun saja dan mendapat IP di atas tiga. Saat bertemu saya, saya sangat kaget melihat teman saya ini. Saya kaget karena saya lihat wajah teman saya ini terlihat sangat tua dan penuh kerutan. Istri saya sama sekali tidak percaya waktu aku katakan kami satu angkatan. teman ini sebagaimana anak-anak pintar di angkatan saya yang hidupnya membosankan, tetap sangat pintar dalam ilmu keteknikan, tapi dia kesulitan dalam menjalin hubungan antar manusia dan akibatnya dia pun selalu tertekan dalam karirnya.
Apa yang dialami oleh "s" teman saya ini terjadi karena sebagaimana yang terjadi semasa kuliah, ternyata semasa bekerja pun ketidak mampuannya dalam bersosialisasi dengan lingkungan tetap terbawa. Akibatnya dalam lingkungan kerja pun dia jadi terisolasi dan karirnya mentok.
Memang tidak salah memiliki IP tinggi, karena ada juga beberapa teman Ber IP tinggi yang hdiupnya sukses. Tapi teman-teman ini adalah mahasiswa yang meskipun memiliki IP tinggi tapi tetap tidak melepaskan diri sepenuhnya dari dinamika kemahasiswaan yang ada di kampus.
Karena itulah melalui tulisan ini aku ingin mengajak teman-teman para alumni teknik untuk sedikit menekan para dosen kuper yang hidupnya membosankan itu agar sedikit mengubah cara pandangnya. Supaya mereka tidak mengubah fakultas teknik menjadi PABRIK ROBOT yang cuma bisa menghasilkan manusia-manusia menjemukan seperti mereka.
Mari kita bantu adik-adik seperti Dek Moens Ibn Ibrahim untuk mendapatkan haknya sebagai mahasiswa.
Karena kupikir inilah makna dari SIKAT yang sebenarnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Mantan Mahasiswa Teknik Sipil Unsyiah angkatan 92
Yang cukup mengagetkan, setelah membuka Group ini ternyata aku sendiri adalah adminnya. Sepertinya Zulfan, teman seangkatanku di Teknik Sipil yang memasukkan aku sebagai admin di situs ini.
Kekagetan yang aku rasakan semakin bertubi-tubi, karena begitu membuka layar. Di wall group ini berisi hujatan dari seorang mahasiswa Teknik Arsitektur dengan nama facebook Dek Moens Ibn Ibrahim. Isinya hujatannya tidak tanggung-tanggung BUBARKAN GROUP INI.
Hujatan Dek Moens Ibn Ibrahim ini jelas membuat gerah anggota Group yang merasa jauh lebih senior, tanpa sama sekali menanyakan alasan kenapa Dek Moens Ibn Ibrahim mengeluarkan hujatan semacam ini.
Tapi hari ini Dek Moens Ibn Ibrahim menjelaskan alasannya. Alasan yang dia kemukakan saya paste di bawah ini :
Tabi' syara,tidak ada maksud saya untuk membubarkan SIKAT, saya salah satu diantara kawan2 yang sampai kedepan mempertahankan SIKAT.. Namun dimana 689 (ENAM RATUS DELAPAN PULUH SEMBILAN) orang anggota group ini ketika ada tekanan dari birokrasi kampus yang hampir MEMBUBARKAN SIKAT...????
ada yg bilang...
AKU BERSAMA KALIAN..
AKU DISAMPING KALIAN..
AKU DI BELAKANG KALIAN..... See More
ADA JUGA YANG NGAKU,, AKU SATU BARISAN SAMA KALIAN...
BAGIKU.......
"apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata :LAWAN"
Apa yang diungkapkan oleh Dek Moens Ibn Ibrahim ini adalah fakta yang terjadi di kampus teknik tercinta sekarang.
Banyak dari alumni Teknik yang berfikir kalau teknik masih seperti zaman dulu, kuliah begitu seru, penuh keakraban dan banyak kegiatan. Sesuai dengan motto Teknik "BUKU, CINTA DAN PESTA". Kenyataannya Teknik sekarang tidaklah demikian.
Tahun lalu ketika aku berkesempatan pulang ke Banda Aceh, aku menyempatkan diri mampir ke kampus. Suasana kampus yang aku bayangkan tentu saya seperti bayangan kampus saat aku masih kuliah dulu, suasana yang ceria dan penuh keakraban antar sesama mahasiswa. Dengan mahasiswa-mahasiswa yang tampil dengan pakaian santai dan cuek yang menganggap penampilan sebagai urusan nomer dua.
Tapi yang aku saksikan di kampus sangatlah berbeda, aku sama sekali tidak lagi mengenal Teknik. Saat masuk ke kampus fakultas ini aku merasa seperti alien yang berbeda sendiri. ROH Teknik yang membuat kampus ini disegani di Unsyiah bahkan di seantero banda Aceh seperti di saat aku kuliah dulu sama sekali tidak tersisau sedikitpun di kampus ini. Masuk ke kampus Teknik aku serasa seperti masuk ke kampus FKIP atau IAIN. Tidak ada mahasiswa dengan kaos dan Jins belel menenteng tas berisi kotak kalkir yang nongkrong di warung. Yang kulihat di Teknik adalah anak-anak manis berkemeja rapi yang sibuk dengan laptopnya.
Sebenarnya tidak ada masalah soal berpakaian ini, cuma yang menjadi masalah adalah tidak mungkin Teknik bisa menjadi ini seperti ini kalau tidak ada yang memaksa.
Saya menemukan masalahnya setelah saya mencoba berbicara dengan beberapoa adik yang berkemeja itu. Ternyata mereka berpakaian seperti itu karena memang dipaksa oleh dekanat.
Mendengar alasan si adik ini akupun maklum dan sangat memahami pola pikir orang dekanat ini. Aku maklum karena memang orang-orang dekanat di fakultas ini memang diisi oleh dosen-dosen yang diangkat dari mahasiswa yang dulunya berprestasi saat kuliah di kampus ini.
Masalah ini terjadi karena dosen-dosen yang dulunya mahasiswa berprestasi ini memang rata-rata adalah anak-anak gila belajar yang semasa kuliah dulu. Mereka rata-rata adalah para sarjana yang semasa kuliah sama sekali tidak pernah ikut merasakan dinamika mahasiswa. Bagi mereka kuliah itu hanya dan cuma BUKU saja, mereka sama sekali tidak pernah merasakan yang namanya CINTA dan PESTA. Ke kampus, mereka tahunya cuma kuliah dan mendapat IP tinggi. Dunia yang mereka tahu ya cuma itu, sehingga mereka pun berpikir untuk hidup ya satu-satunya jalan hanya seperti itu.
Karena itulah ketika menjadi dosen dan mendapatkan hak membuat kebijakan di Teknik merekapun membuat teknik menjadi seperti satu-satunya dunia yang mereka ketahui itu. Dunia tanpa gejolak, statis dan membosankan.
Dengan pikiran dan pandangan seperti itu, mereka pun dengan semena-mena mengambil HAK Mahasiswa Teknik untuk mengekspresikan diri. Menghambat perkembangan Mahasiswa teknik untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
Akibat dari kebijakan dari dosen-dosen berkacamata kuda, kaku dan membosankan ini. Fakultas Teknik jadi lebih mirip PABRIK ROBOT dibanding tempat mencetak sarjana.
Sebenarnya cara pandang para dosen kuper ini tidak salah, kalau cuma mereka dan pengalaman hidup mereka yang membosankan itu yang dijadikan referensi. Tapi kalau para alumni lain yang sudah sukses sekarang juga kita tanyai apakah hanya IP tinggi itu yang menjadi modal utama untuk hidup setelah tidak lagi kuliah, ternyata jawabannya sangat berbeda.
Karena setelah kita meninggalkan teknik, ternyata pengalaman kita ikut berbagai kegiatan ekstra kurikuler, pengalaman kita berinteraksi dengan berbagai kalangan dan berbagai lapisan sosial masyarakat waktu kita mengadakan kegiatanlah yang paling banyak membantu waktu kita saat sudah selesai kuliah dan terjun ke masyarakat.
Buktinya katakanlah di angkatan saya saja sekarang, teman-teman seangkatan saya yang sudah bekerja sekarang. Di antara teman-teman seangkatan saya, rata-rata yang sukses justru adalah "hantu-hantu" jaman dulu, yang selalu dipandang sebelah mata oleh dosen-dosen sombong yang hidupnya membosankan itu. Teman-teman yang aku tau persis dulu membuat bersama-sama denganku main batu atau main truf di kantin Barret, yang membuat PR di kantin, yang waktu ujian suka mencontek pekerjaanku dan sering kucontek pekerjaannya, yang IP di KHS-nya jarang beranjak dari angka satu koma.
Untuk aku sendiri, aku malah sama sekali tidak punya ijazah, bukan cuma Ijazah sarjana tapi ijazah dari SD sampe SMA juga aku nggak punya. Tapi tanpa itu semua pun, alhamdulillah sampai hari ini, aku sama sekali tidak pernah merasakan kesulitan untuk menemukan pekerjaan. Malah yang terjadi sebaliknya, aku bisa memilih pekerjaan sesuai mauku, yang sesuai dengan kesenangan dan hobiku.
Selama ini yang kujadikan modal dalam bekerja cuma mentalitas dan cara pikir dan cara mengambil keputusan ala teknik, yang kudapat dari bergaul dengan banag-abang, kawan seangkatan dan adik-adik di teknik dulu. Dan dengan itu, meskipun tidak teramat sangat kaya, tapi paling tidak aku masih bisa hidup dan menghidupi keluargaku dengan perasaan senang dan bahagia dan mampu memberi mereka tingkat penghidupan di atas rata-rata.
Sementara kawan-kawan yang ber-IP tinggi tapi tidak mengerti cara bersosialisasi malah kesulitan dalam meniti karir apalagi membuat usaha.
Tahun lalu saat sedang boarding di Bandara, aku pernah bertemu dengan teman seangkatan saya yang seperti ini, dia berinisisal "S" yang bekerja di salah satu instansi pemerintah di Singkil. Teman ini menamatkan kuliahnya dalam waktu 5 setengah tahun saja dan mendapat IP di atas tiga. Saat bertemu saya, saya sangat kaget melihat teman saya ini. Saya kaget karena saya lihat wajah teman saya ini terlihat sangat tua dan penuh kerutan. Istri saya sama sekali tidak percaya waktu aku katakan kami satu angkatan. teman ini sebagaimana anak-anak pintar di angkatan saya yang hidupnya membosankan, tetap sangat pintar dalam ilmu keteknikan, tapi dia kesulitan dalam menjalin hubungan antar manusia dan akibatnya dia pun selalu tertekan dalam karirnya.
Apa yang dialami oleh "s" teman saya ini terjadi karena sebagaimana yang terjadi semasa kuliah, ternyata semasa bekerja pun ketidak mampuannya dalam bersosialisasi dengan lingkungan tetap terbawa. Akibatnya dalam lingkungan kerja pun dia jadi terisolasi dan karirnya mentok.
Memang tidak salah memiliki IP tinggi, karena ada juga beberapa teman Ber IP tinggi yang hdiupnya sukses. Tapi teman-teman ini adalah mahasiswa yang meskipun memiliki IP tinggi tapi tetap tidak melepaskan diri sepenuhnya dari dinamika kemahasiswaan yang ada di kampus.
Karena itulah melalui tulisan ini aku ingin mengajak teman-teman para alumni teknik untuk sedikit menekan para dosen kuper yang hidupnya membosankan itu agar sedikit mengubah cara pandangnya. Supaya mereka tidak mengubah fakultas teknik menjadi PABRIK ROBOT yang cuma bisa menghasilkan manusia-manusia menjemukan seperti mereka.
Mari kita bantu adik-adik seperti Dek Moens Ibn Ibrahim untuk mendapatkan haknya sebagai mahasiswa.
Karena kupikir inilah makna dari SIKAT yang sebenarnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Mantan Mahasiswa Teknik Sipil Unsyiah angkatan 92
Selasa, 01 Desember 2009
Takengon; Nama Warisan Hurgronje yang Dibanggakan Orang Gayo
Takengon, saat ini adalah nama resmi untuk menyebut ibukota Kabupaten Aceh Tengah yang juga kota terbesar di dataran tinggi Gayo. Nama ini dipakai secara resmi entah itu di peta atau untuk menyebut setiap instansi yang ada di kota ini.
Entah darimana asal muasalnya dan entah siapa yang memulai membuat teori ini, di Gayo sendiri banyak yang percaya kalau asal-usul nama Takengon adalah berasal dari kata bahasa Gayo "Beta ku engon" yang artinya begitu saya lihat.
Sekilas nama ini memang masuk akal, apalagi kalau asal-usul nama itu ditambah dengan cerita sejarah berbau spekulatif yang mengatakan kalau itu adalah ekspresi dari Genali (orang pertama yang dipercaya menemukan kota ini) saat pertama kali melihat danau yang menjadi ciri khgas lansekap kota ini dari salah satu bukit yang mengelilinginya.
Ketika berbicara dengan orang dari luar kota ini dan menanyakan asal, orang asal Kota ini memperkenalkan kota asalnya sebagai kota Takengon. Bahkan di kalangan suku-suku Aceh non-Gayo, nama Takengon secara de facto dipakai untuk menggantikan nama Gayo. Di Banda Aceh misalnya, oleh suku-suku Aceh lainnya darimana pun asalnya, "orang Gayo" lebih umum dipanggil sebagai "orang Takengon". Tidak peduli darimanapun asalnya, entah dari Tingkem, Ponok Baru, Ketol, Timang Gajah bahkan Isaq daN Lumut.
Berpedoman pada nama Takengon ini pula, di kalangan suku Aceh pesisir berkembang cerita tentang asal usul nama Kota ini, dengan sumber yang lebih tidak jelas lagi juntrungannya. Menurut beberapa orang Aceh pesisir, nama Kota Takengon itu berasal dari kata "Taki Ngon", kata-kata bahasa Aceh yang berarti "menipu teman". Lebih kacau lagi ada juga orang Aceh pesisir yang bilang nama Takengon berasal dari "Tak Ngon", artinya membacok teman. Keduanya sama sekali tidak berkonotasi positif.
Tapi anehnya meskipun cerita tentang asal usul nama Kota Takengon versi orang Gayo di atas cukup masuk akal. Tapi orang Gayo sendiri, jika sedang berbicara dalam bahasa Gayo, sama sekali tidak pernah menyebut nama ini dengan nama Takengon. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo orang gayo menyebut nama Kota ini dengan nama "Takengen" (huruf "e" pertama dibaca seperti "e" dalam kata "tempe" dan huruf e kedua dibaca seperti "e" dalam kata "sendu"). Pengucapan ini misalnya dapat kita dengar dalam lirik sebuah lagu Gayo legendaris karangan seniman besar almarhum AR Moese " Kin Takengen aku denem", bukan "Kin Takengon aku denem".
Berdasarkan fakta inilah saya berpendapat bahwa nama asli kota kelahiran saya ini adalah TAKENGEN bukan TAKENGON. Nama Takengen sendiri saya yakin berasal dari kata dalam bahasa Gayo yang dibentuk dari kata dasar "Takeng" dan akhiran "en". Kemungkinan ini adalah bahasa Gayo lama yang karena seperti banyak bahasa daerah lainnya bukanlah bahasa tertulis, kata-kata lama tersebut sudah banyak yang hilang digantikan kata-kata serapan baru dan tidak diketahui lagi artinya. Apalagi dalam berbahasa orang Gayo cepat sekali terpengaruh terhadap ungkapan-ungkapan baru. Baca : http://winwannur.blogspot.com/2008/12/takengen-setelah-10-tahun.html
Dalam bahasa Gayo akhiran "en" digunakan untuk menjelaskan tempat dilakukannya sebuah aktifitas. Misalnya "perempusen" yang berarti tempat berempus (berkebun), pelipenen yang berarti tempat berlipe (menyeberang sungai), peruweren yang berarti tempat beruwer (mengandangkan kerbau), Didisen yang tempat melakukan aktifitas Berdidis (menangkap ikan depik yang memijah di pinggir danau). Begitulah, dengan mengikuti pola yang sama seperti pembentukan kata-kata di atas, maka Takengen maksudnya adalah tempat melakukan aktifitas "bertakeng" yang entah apa artinya.
Seperti yang sudah saya ungkapkan di atas bahwa di kota kelahiran atau di tempat lain di dataran tinggi Gayo, orang Gayo hanya menyebut nama Takengon ketika mereka sedang berbicara dalam bahasa melayu, baik itu ketika berbicara dengan suku-suku Non-Gayo atau sesama orang Gayo sendiri.
Kebiasaan penyebutan nama Takengon ini bermula nama ini telah dilekatkan pada kota ini oleh pemerintah kolonial Belanda. Di samping itu saya pikir, penyebutan nama Takengon menjadi semakin kuat dan melekat dan dijadikan nama resmi kota ini oleh orang Gayo sendiri tidak lain karena masalah prestise. Dibanding nama Takengen (Nama kota ini ketika diucapkan dalam bahasa Gayo), di telinga orang Gayo nama Takengon (Nama Kota ini ketika diucapkan dalam bahasa Melayu) terdengar lebih keren.
Terbentuknya pola prestise seperti ini dalam masyarakat Gayo tidak bisa dilepaskan dari peristiwa merebaknya euforia modernisme di kota kecil kelahiran saya ini pada masa awal kemerdekaan dulu.
Pada masa itu, di negeri saya, modernisme kurang lebih dipahami sebagai segala sesuatu yang berbau 'luar'. Entah itu cara beragama, cara bersikap, bentuk rumah tinggal, cara berpakaian sampai penggunaan bahasa saat berbicara.
Praktek keagamaan misalnya, praktek lama yang banyak mengamodasi praktek-praktek religius lokal (kaum tue) diangap tidak modern dan kuno, karenanya praktek keagamaan ala "kaum tue" ini tidak begitu populer di kota ini.
Sejak masa awal kemerdekaan para pemeluk Islam yang tinggal di kota kelahiran saya lebih banyak menganut faham yang dipengaruhi oleh pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang dibawa ke kota ini oleh anggota Muhammadiyah yang belajar di Minang dan orang Gayo yang belajar Islam di perguruan Al Irsyad Surabaya . Di banding "kaum tue", paham yang disebut "kaum mude" ini lebih tegas membatasi praktek-praktek keagamaan yang diadopsi dari kebiasaan pra Islam. Paham ini disebut 'Kaum Mude".
Untuk rumah tinggal, pada masa itu, semua "Umah pitu ruang" (rumah adat Gayo) di kota kelahiran saya ini dihancurkan untuk diganti dengan rumah-rumah kayu modern, berbentuk ruko yang bertingkat dua. Di beberapa tempat, seperti daerah pasar pagi dan Bebesen, "rumah-rumah modern" yang menggantikan "Umah pitu ruang" ini masih bisa kita saksikan sampai hari ini.
Dalam hal berpakaian, demi modernitas, pakaian adat lama juga ditinggalkan dan diganti dengan pakaian modern, untuk mempertegas ditinggalkannya cara hidup lama itu, di Blang Kejeren, para perempuan membakar pakaian adat gayo di depan umum (Bowen 1991: 112).
Perilaku berbahasa juga demikian, bahasa melayu yang menjadi bahasa nasional di negara ini pun naik kasta menjadi bahasa yang memiliki status lebih tinggi dibanding bahasa Gayo yang merupakan bahasa sehari-hari orang-orang yang tinggal di daerah ini.
Sebagaimana paham 'kaum mude", rumah berbentuk ruko dan pakaian ala barat. Oleh masyarakat yang tinggal di kota kelahiran saya ini, penguasaan bahasa Melayu dianggap sebagai cermin modernitas. Secara umum masyarakat memandang status keluarga yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa Melayu lebih tinggi dibanding orang yang dalam keluarganya berbicara dalam bahasa Gayo. Dalam pandangan masyarakat kota ini, orang yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa melayu terkesan lebih terpelajar.
Cara pandang seperti inilah yang membuat penyebutan nama Takengon terdengar lebih keren dibanding nama Takengen.
Begitulah yang terjadi di Gayo pasca hengkangnya penjajah kolonial, tapi itu semua tidak menjawab asal usul nama Takengon.
Tapi, asal-usul nama TAKENGON akan terlihat sangat jelas jika kita membaca "Het Gajoland en Zijne Bewoners" (Tanah Gayo dan penduduknya) sebuah karya antropologis dari Christian Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda dari Universitas Leiden yang menulis tesis tentang Haji yang memulai pendidikannya di bidang Teologi dan kemudian mengalihkan studinya kepada studi bahasa Arab dan Islam.
C.Snouck Hurgronje sempat belajar di Mekkah selama 5 bulan, mengganti agamanya menjadi Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul al Ghaffar (Waardenburg 1962:19).
Tahun 1889 Hurgronje meninggalkan Belanda menuju Batavia dan 2 tahun kemudian dia diminta oleh pemerintah Belanda untuk menjadi penasehat politik dan militer Belanda di Aceh.
Atas nasehat Hurgronje inilah Gubernur Belanda J. Van Heutz, merekrut Ulee Balang (priyayi Aceh) untuk berkoalisi melawan Ulama yang oleh belanda dianggap sebagai pusat kekuatan perlawanan Aceh (van' t Veer 1980).
Pada tahun 1900 Hurgronje mulai mengumpulkan informasi tentang Gayo dari orang-orang Gayo yang dia temui di pantai barat Aceh. Hurgronje yang sampai akhir hayatnya tidak pernah menginjakkan kaki di Tanoh Gayo, mendapatkan kebanyakan informasinya tentang Gayo dari seorang pemuda cerdas asal Isaq bernama Njaq Putih yang saat itu sedang belajar agama di Aceh Barat dan pada tahun 1902, Hurgronje mendapat satu lagi nara sumber tentang Gayo yang bernama Aman Ratus yang berasal dari Gayo Lues.
Pada tahun 1903, Hurgronje yang dianggap Penghianat Besar Islam oleh orang Aceh dan Orang Gayo tapi dianggap pahlawan oleh pemerintah Belanda ini menyelesaikan Het Gajoland en Zijne Bewoners. Dalam buku ini Hurgronje memaparkan permasalahan perpolitikan dan militer di Gayo, jalan-jalan yang mlintasi daerah Gayo, lokasi desa dan dusun serta kekuasaan yang dimiliki setiap pemimpin kelompok di Gayo. Dalam buku ini Hurgronje juga memaparkan banyak informasi tentanga nama -nama tempat, benda yang kita lihat sehari-hari, praktek keagamaan dan budaya sehari-hari orang Gayo.
Dalam menjelaskan nama-nama ini, sepertinya lidah eropa Hurgronje kesulitan menyebut nama-nama yang mengandung bunyi "e" seperti bunyi "e" dalam kata "sendu" . Dalam buku Het Gajoland en Zijne Bewoners, semua kata yang mengandung bunyi "e" ini oleh Hurgronje diganti dengan "O".
Mengenai ini bisa dilihat di buku Het Gajoland en Zijne Bewoners yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tanah Gayo dan Penduduknya yang diterbitkan oleh Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1996.
Dalam buku ini kita bisa membaca di halaman 66 misalnya, oleh Hurgronje, kata "reje" disebut "rojo", "edet" menjadi "odot", "Tue" menjadi "Tuo", "saudere" menjadi "saudoro", "bedel" menjadi "bodol", "imem" menjadi "imom" dan "kerje" menjadi "kerjo".
Demikian juga dengan nama tempat sebagaimana nama TAKENGEN. Dalam buku ini Hurgronje mengubah nama itu menjadi TAKENGON.
Bukan hanya TAKENGON, tapi semua nama tempat lain yang mengandung bunyi "e" seperti bunyi "e" dalam kata "sendu" juga bernasib sama. Sebut saja misalnya Bebesen yang oleh Hurgronje diubah menjadi Bobasan (hal 17), Serbejadi menjadi Serbojadi (hal 10), Gayo Lues menjadi Gayo Luos (hal 9), Arul Ramasen menjadi Arul Ramason (hal 13), Kute Glime menjadi Kuto Glimo (hal 17), Oneng Niken menjadi Oneng Nikon (hal 21), Peruweren Tulen menjadi Peruworon Tulon (hal 29), Linge menjadi Linggo (hal 29), Ise-ise menjadi Iso-iso (hal 34), Blang Gele menjadi Blang Golo (hal 132), Reje Buket menjadi Rojo Buket (hal 141), Teungku Uyem menjadi Teungku (Uyom 144), Tami Delem menjadi Tami Dolom (hal 144), Paya Reje menjadi Paya Rojo (hal 144), Serule menjadi Serulo (hal 144), Menye menjadi Monyo (hal 152), Tingkem menjadi Tingkom (hal 154) dan banyak lagi.
Begitulah, soal nama-nama tempat di Gayo yang dimodifikasi oleh Hurgronje ini.
Belakangan ini saya melihat banyak orang Gayo yang begitu gencar untuk menunjukkan kembali identitas diri dan menggali kembali akar asal-usulnya. Sampai-sampai ada ide untuk membuat provinsi sendiri segala.
Tapi Ironisnya orang Gayo yang katanya sangat mencintai budayanya ini, yang katanya sangat Islami ini justru bangga memakai nama hasil modifikasi seorang pengkhianat besar Islam sebagai nama kota kebanggaannya.
Sejauh ini, saya sama sekali tidak melihat tokoh-tokoh Gayo, baik yang muda apalagi yang tua yang merasa terganggu dengan asal-usul nama TAKENGON yang sampai hari ini melekat menjadi nama kota kebanggaan orang Gayo ini. Sepanjang yang saya tahu, SAMPAI HARI INI hanya sayalah satu-satunya orang Gayo yang merasa terganggu dengan nama yang 'dihadiahkan' oleh Hurgronje kepada Kota Kelahiran saya tersebut.
Karena merasa terganggu, makanya dalam setiap tulisan saya yang menceritakan kota ini, saya selalu menyebut kota ini dengan nama TAKENGEN yang merupakan nama pemberian muyang datu saya, bukan TAKENGON yang merupakan 'hadiah' dari Hurgronje.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Gayo yang Lahir di TAKENGEN
Entah darimana asal muasalnya dan entah siapa yang memulai membuat teori ini, di Gayo sendiri banyak yang percaya kalau asal-usul nama Takengon adalah berasal dari kata bahasa Gayo "Beta ku engon" yang artinya begitu saya lihat.
Sekilas nama ini memang masuk akal, apalagi kalau asal-usul nama itu ditambah dengan cerita sejarah berbau spekulatif yang mengatakan kalau itu adalah ekspresi dari Genali (orang pertama yang dipercaya menemukan kota ini) saat pertama kali melihat danau yang menjadi ciri khgas lansekap kota ini dari salah satu bukit yang mengelilinginya.
Ketika berbicara dengan orang dari luar kota ini dan menanyakan asal, orang asal Kota ini memperkenalkan kota asalnya sebagai kota Takengon. Bahkan di kalangan suku-suku Aceh non-Gayo, nama Takengon secara de facto dipakai untuk menggantikan nama Gayo. Di Banda Aceh misalnya, oleh suku-suku Aceh lainnya darimana pun asalnya, "orang Gayo" lebih umum dipanggil sebagai "orang Takengon". Tidak peduli darimanapun asalnya, entah dari Tingkem, Ponok Baru, Ketol, Timang Gajah bahkan Isaq daN Lumut.
Berpedoman pada nama Takengon ini pula, di kalangan suku Aceh pesisir berkembang cerita tentang asal usul nama Kota ini, dengan sumber yang lebih tidak jelas lagi juntrungannya. Menurut beberapa orang Aceh pesisir, nama Kota Takengon itu berasal dari kata "Taki Ngon", kata-kata bahasa Aceh yang berarti "menipu teman". Lebih kacau lagi ada juga orang Aceh pesisir yang bilang nama Takengon berasal dari "Tak Ngon", artinya membacok teman. Keduanya sama sekali tidak berkonotasi positif.
Tapi anehnya meskipun cerita tentang asal usul nama Kota Takengon versi orang Gayo di atas cukup masuk akal. Tapi orang Gayo sendiri, jika sedang berbicara dalam bahasa Gayo, sama sekali tidak pernah menyebut nama ini dengan nama Takengon. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo orang gayo menyebut nama Kota ini dengan nama "Takengen" (huruf "e" pertama dibaca seperti "e" dalam kata "tempe" dan huruf e kedua dibaca seperti "e" dalam kata "sendu"). Pengucapan ini misalnya dapat kita dengar dalam lirik sebuah lagu Gayo legendaris karangan seniman besar almarhum AR Moese " Kin Takengen aku denem", bukan "Kin Takengon aku denem".
Berdasarkan fakta inilah saya berpendapat bahwa nama asli kota kelahiran saya ini adalah TAKENGEN bukan TAKENGON. Nama Takengen sendiri saya yakin berasal dari kata dalam bahasa Gayo yang dibentuk dari kata dasar "Takeng" dan akhiran "en". Kemungkinan ini adalah bahasa Gayo lama yang karena seperti banyak bahasa daerah lainnya bukanlah bahasa tertulis, kata-kata lama tersebut sudah banyak yang hilang digantikan kata-kata serapan baru dan tidak diketahui lagi artinya. Apalagi dalam berbahasa orang Gayo cepat sekali terpengaruh terhadap ungkapan-ungkapan baru. Baca : http://winwannur.blogspot.com/2008/12/takengen-setelah-10-tahun.html
Dalam bahasa Gayo akhiran "en" digunakan untuk menjelaskan tempat dilakukannya sebuah aktifitas. Misalnya "perempusen" yang berarti tempat berempus (berkebun), pelipenen yang berarti tempat berlipe (menyeberang sungai), peruweren yang berarti tempat beruwer (mengandangkan kerbau), Didisen yang tempat melakukan aktifitas Berdidis (menangkap ikan depik yang memijah di pinggir danau). Begitulah, dengan mengikuti pola yang sama seperti pembentukan kata-kata di atas, maka Takengen maksudnya adalah tempat melakukan aktifitas "bertakeng" yang entah apa artinya.
Seperti yang sudah saya ungkapkan di atas bahwa di kota kelahiran atau di tempat lain di dataran tinggi Gayo, orang Gayo hanya menyebut nama Takengon ketika mereka sedang berbicara dalam bahasa melayu, baik itu ketika berbicara dengan suku-suku Non-Gayo atau sesama orang Gayo sendiri.
Kebiasaan penyebutan nama Takengon ini bermula nama ini telah dilekatkan pada kota ini oleh pemerintah kolonial Belanda. Di samping itu saya pikir, penyebutan nama Takengon menjadi semakin kuat dan melekat dan dijadikan nama resmi kota ini oleh orang Gayo sendiri tidak lain karena masalah prestise. Dibanding nama Takengen (Nama kota ini ketika diucapkan dalam bahasa Gayo), di telinga orang Gayo nama Takengon (Nama Kota ini ketika diucapkan dalam bahasa Melayu) terdengar lebih keren.
Terbentuknya pola prestise seperti ini dalam masyarakat Gayo tidak bisa dilepaskan dari peristiwa merebaknya euforia modernisme di kota kecil kelahiran saya ini pada masa awal kemerdekaan dulu.
Pada masa itu, di negeri saya, modernisme kurang lebih dipahami sebagai segala sesuatu yang berbau 'luar'. Entah itu cara beragama, cara bersikap, bentuk rumah tinggal, cara berpakaian sampai penggunaan bahasa saat berbicara.
Praktek keagamaan misalnya, praktek lama yang banyak mengamodasi praktek-praktek religius lokal (kaum tue) diangap tidak modern dan kuno, karenanya praktek keagamaan ala "kaum tue" ini tidak begitu populer di kota ini.
Sejak masa awal kemerdekaan para pemeluk Islam yang tinggal di kota kelahiran saya lebih banyak menganut faham yang dipengaruhi oleh pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang dibawa ke kota ini oleh anggota Muhammadiyah yang belajar di Minang dan orang Gayo yang belajar Islam di perguruan Al Irsyad Surabaya . Di banding "kaum tue", paham yang disebut "kaum mude" ini lebih tegas membatasi praktek-praktek keagamaan yang diadopsi dari kebiasaan pra Islam. Paham ini disebut 'Kaum Mude".
Untuk rumah tinggal, pada masa itu, semua "Umah pitu ruang" (rumah adat Gayo) di kota kelahiran saya ini dihancurkan untuk diganti dengan rumah-rumah kayu modern, berbentuk ruko yang bertingkat dua. Di beberapa tempat, seperti daerah pasar pagi dan Bebesen, "rumah-rumah modern" yang menggantikan "Umah pitu ruang" ini masih bisa kita saksikan sampai hari ini.
Dalam hal berpakaian, demi modernitas, pakaian adat lama juga ditinggalkan dan diganti dengan pakaian modern, untuk mempertegas ditinggalkannya cara hidup lama itu, di Blang Kejeren, para perempuan membakar pakaian adat gayo di depan umum (Bowen 1991: 112).
Perilaku berbahasa juga demikian, bahasa melayu yang menjadi bahasa nasional di negara ini pun naik kasta menjadi bahasa yang memiliki status lebih tinggi dibanding bahasa Gayo yang merupakan bahasa sehari-hari orang-orang yang tinggal di daerah ini.
Sebagaimana paham 'kaum mude", rumah berbentuk ruko dan pakaian ala barat. Oleh masyarakat yang tinggal di kota kelahiran saya ini, penguasaan bahasa Melayu dianggap sebagai cermin modernitas. Secara umum masyarakat memandang status keluarga yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa Melayu lebih tinggi dibanding orang yang dalam keluarganya berbicara dalam bahasa Gayo. Dalam pandangan masyarakat kota ini, orang yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa melayu terkesan lebih terpelajar.
Cara pandang seperti inilah yang membuat penyebutan nama Takengon terdengar lebih keren dibanding nama Takengen.
Begitulah yang terjadi di Gayo pasca hengkangnya penjajah kolonial, tapi itu semua tidak menjawab asal usul nama Takengon.
Tapi, asal-usul nama TAKENGON akan terlihat sangat jelas jika kita membaca "Het Gajoland en Zijne Bewoners" (Tanah Gayo dan penduduknya) sebuah karya antropologis dari Christian Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda dari Universitas Leiden yang menulis tesis tentang Haji yang memulai pendidikannya di bidang Teologi dan kemudian mengalihkan studinya kepada studi bahasa Arab dan Islam.
C.Snouck Hurgronje sempat belajar di Mekkah selama 5 bulan, mengganti agamanya menjadi Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul al Ghaffar (Waardenburg 1962:19).
Tahun 1889 Hurgronje meninggalkan Belanda menuju Batavia dan 2 tahun kemudian dia diminta oleh pemerintah Belanda untuk menjadi penasehat politik dan militer Belanda di Aceh.
Atas nasehat Hurgronje inilah Gubernur Belanda J. Van Heutz, merekrut Ulee Balang (priyayi Aceh) untuk berkoalisi melawan Ulama yang oleh belanda dianggap sebagai pusat kekuatan perlawanan Aceh (van' t Veer 1980).
Pada tahun 1900 Hurgronje mulai mengumpulkan informasi tentang Gayo dari orang-orang Gayo yang dia temui di pantai barat Aceh. Hurgronje yang sampai akhir hayatnya tidak pernah menginjakkan kaki di Tanoh Gayo, mendapatkan kebanyakan informasinya tentang Gayo dari seorang pemuda cerdas asal Isaq bernama Njaq Putih yang saat itu sedang belajar agama di Aceh Barat dan pada tahun 1902, Hurgronje mendapat satu lagi nara sumber tentang Gayo yang bernama Aman Ratus yang berasal dari Gayo Lues.
Pada tahun 1903, Hurgronje yang dianggap Penghianat Besar Islam oleh orang Aceh dan Orang Gayo tapi dianggap pahlawan oleh pemerintah Belanda ini menyelesaikan Het Gajoland en Zijne Bewoners. Dalam buku ini Hurgronje memaparkan permasalahan perpolitikan dan militer di Gayo, jalan-jalan yang mlintasi daerah Gayo, lokasi desa dan dusun serta kekuasaan yang dimiliki setiap pemimpin kelompok di Gayo. Dalam buku ini Hurgronje juga memaparkan banyak informasi tentanga nama -nama tempat, benda yang kita lihat sehari-hari, praktek keagamaan dan budaya sehari-hari orang Gayo.
Dalam menjelaskan nama-nama ini, sepertinya lidah eropa Hurgronje kesulitan menyebut nama-nama yang mengandung bunyi "e" seperti bunyi "e" dalam kata "sendu" . Dalam buku Het Gajoland en Zijne Bewoners, semua kata yang mengandung bunyi "e" ini oleh Hurgronje diganti dengan "O".
Mengenai ini bisa dilihat di buku Het Gajoland en Zijne Bewoners yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tanah Gayo dan Penduduknya yang diterbitkan oleh Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1996.
Dalam buku ini kita bisa membaca di halaman 66 misalnya, oleh Hurgronje, kata "reje" disebut "rojo", "edet" menjadi "odot", "Tue" menjadi "Tuo", "saudere" menjadi "saudoro", "bedel" menjadi "bodol", "imem" menjadi "imom" dan "kerje" menjadi "kerjo".
Demikian juga dengan nama tempat sebagaimana nama TAKENGEN. Dalam buku ini Hurgronje mengubah nama itu menjadi TAKENGON.
Bukan hanya TAKENGON, tapi semua nama tempat lain yang mengandung bunyi "e" seperti bunyi "e" dalam kata "sendu" juga bernasib sama. Sebut saja misalnya Bebesen yang oleh Hurgronje diubah menjadi Bobasan (hal 17), Serbejadi menjadi Serbojadi (hal 10), Gayo Lues menjadi Gayo Luos (hal 9), Arul Ramasen menjadi Arul Ramason (hal 13), Kute Glime menjadi Kuto Glimo (hal 17), Oneng Niken menjadi Oneng Nikon (hal 21), Peruweren Tulen menjadi Peruworon Tulon (hal 29), Linge menjadi Linggo (hal 29), Ise-ise menjadi Iso-iso (hal 34), Blang Gele menjadi Blang Golo (hal 132), Reje Buket menjadi Rojo Buket (hal 141), Teungku Uyem menjadi Teungku (Uyom 144), Tami Delem menjadi Tami Dolom (hal 144), Paya Reje menjadi Paya Rojo (hal 144), Serule menjadi Serulo (hal 144), Menye menjadi Monyo (hal 152), Tingkem menjadi Tingkom (hal 154) dan banyak lagi.
Begitulah, soal nama-nama tempat di Gayo yang dimodifikasi oleh Hurgronje ini.
Belakangan ini saya melihat banyak orang Gayo yang begitu gencar untuk menunjukkan kembali identitas diri dan menggali kembali akar asal-usulnya. Sampai-sampai ada ide untuk membuat provinsi sendiri segala.
Tapi Ironisnya orang Gayo yang katanya sangat mencintai budayanya ini, yang katanya sangat Islami ini justru bangga memakai nama hasil modifikasi seorang pengkhianat besar Islam sebagai nama kota kebanggaannya.
Sejauh ini, saya sama sekali tidak melihat tokoh-tokoh Gayo, baik yang muda apalagi yang tua yang merasa terganggu dengan asal-usul nama TAKENGON yang sampai hari ini melekat menjadi nama kota kebanggaan orang Gayo ini. Sepanjang yang saya tahu, SAMPAI HARI INI hanya sayalah satu-satunya orang Gayo yang merasa terganggu dengan nama yang 'dihadiahkan' oleh Hurgronje kepada Kota Kelahiran saya tersebut.
Karena merasa terganggu, makanya dalam setiap tulisan saya yang menceritakan kota ini, saya selalu menyebut kota ini dengan nama TAKENGEN yang merupakan nama pemberian muyang datu saya, bukan TAKENGON yang merupakan 'hadiah' dari Hurgronje.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Gayo yang Lahir di TAKENGEN
Langganan:
Postingan (Atom)