T. Kemal Fasya : saya mengatakan bahwa gayo adalah sub-culture atau sub-etnik dari aceh, dan sama sekali tidak menggunakan kata-kata inferior, karena kata ini memiliki pemahaman yang negatif...untuk hal ini saya tidak memperdebatkan lagi apa yang winwannnur sampaikan...
Win Wan Nur : Saudara Kamal, terus terang sejauh ini sejak saya melakukan diskusi tentang antropologis di milis, diskusi dengan anda adalah yang paling menarik.
Sayangnya dalam banyak hal saya saya sangat sependapat dengan anda, jadi dalam banyak hal pula tidak akan banyak terjadi perdebatan yang menghidupkan diskusi ini.
Cuma dalam pernyataan di atas, saya agak kesulitan memahami maksud anda, karena itu saya butuh penjelasan yang agak terinci dari anda mengenai yang anda maksud dengan gayo adalah sub-culture atau sub-etnik dari Aceh itu seperti apa?...karena sejauh ini yang bisa saya pahami adalah anda menganggap Aceh itu sebagai sebuah Etnik dan Gayo sebagai Sub-nya.
Saya memahami pernyataan anda ini kurang lebih seperti Etnis Aceh sebagai Planet dan Etnis Gayo sebagai satelitnya. dengan pernyataan anda ini saya memahami kalau Aceh dan Gayo itu adalah dua etnis identik yang berasal dari akar yang sama dengan beberapa perbedaan kecil.
Kalau benar seperti ini, ya saya tidak sepakat dengan anda, karena secara Etnisitas Aceh dan Gayo itu sangat berbeda, kalau Gayo dikatakan Sub-Etnis Mon-Khmer, saya setuju.
Negatif atau positifnya konotasi sebuah kata, bagi saya itu hanya soal subjektifitas, menurut saya adalah tidak perlu untuk memperdebatkan mana konotasi yang lebih positif antara kata TIDAK SETARA dengan kata INFERIOR.
Yang jelas maksud saya menggunakan kata inferior di sana hanyalah untuk mempertegas penjelasan anda di e-mail sebelumnya yang mengatakan bahwa secara antropologis hubungan Aceh dan Gayo tidak lah setara, penggunaan kata INFERIOR saya pakai hanya untuk mempertegas pernyataan anda bahwa hubungan tidak setara itu adalah antara Aceh sebagai NATION dan Gayo sebagai SUKU, bukan antara Aceh sebagai SUKU dan Gayo juga sebagai SUKU. selebihnya saya sepakat dengan anda.
T. Kemal Fasya : Keberatan saya cuma kita ia dianggap sebagai nation, di-nationalized, dinasionalismekan, atau apa pun yang dalam pandangan lain itu dianggap pernah ada... adakah yang disebut sebagai bangsa gayo? seperti adakah yang disebut sebagai bangsa aceh? kecuali pemahaman ini dipakai dalam perspektif politik.... Jika dari perspektif politik, mah, tak perlu diomongkan lagi...everything is possible in politic, namun yang sedang kita acu adalah dari konsep antropo-sosiologis.... atau yang terkait dengan kajian ethnicity dan relasinya dengan nation. Winwannur juga telah membuat penegasan tentang itu.
Win Wan Nur : Saya sangat sepakat dengan anda bahwa pe-nationalized-an Gayo memang terlalu mengada-ada, penyebabnya sudah saya jelaskan di e-mail saya sebelumnya. Tentang perspektif politik, ketika menulis tentang asal-usul Gayo ini saya memang sebisa mungkin menetralkan pendapat saya dari perspektif politik.
T. Kemal Fasya : Tapi satu hal, konteks sosiobiologis (ras, etnik, klan, marga) itu juga sama pengaruhnya dengan konsep bentukan seperti nation, politik, konstruksi identitas lainnya. Kita tak dapat nafikan ada yang disebut sebagai Asian values, sesuatu yang pernah diomongkan Lie Kuan Yuew. atau yang disebut dengan etos China, etos Jawa, budaya Aceh, dsb. menjadi China, meskipun ia juga menjadi politik identitas, pada awalnya juga berangkat dari faktor genetik...itu tak dapat dipungkiri....Sifat-sifat saya, meskipun saya telah mengalami proses sosialisasi dan pembelajaran dengan lingkungan baru, dalam banyak hal juga menurunkan genetik dari orang tua saya, terus ke budaya aceh besar dan persilangan dengan budaya pasee, dsb, dst.
Win Wan Nur : Mengenai hal inipun saya sangat sependapat dengan anda, tapi soal politik identitas yang berangkat dari faktor genetik saya sedikit kurang sependapat dengan anda kalau itu dijadikan acuan global. Dulu sampai masa-masa akhir kolonialisme politik identitas yang berangkat dari faktor genetik memang sangat dominan, tapi seiring dengan semakin mudahnya perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain, perlahan-lahan fenomena ini semakin menurun.
Memang kita ketahui ada beberapa etnik di dunia yang sangat kuat memegang identitas yang berkaitan dengan genetik, salah satu yang paling kuat dengan itu seperti kata anda adalah Cina, tapi meskipun cina sangat Rasis tapi saya melihat sifat itu ada dalam diri orang Cina bukanlah karena pengaruh GENETIK mereka yang Cina. Tapi sifat rasis dan nepotis orang cina itu muncul akibat orang Cina yang tinggal di manapun juga di planet ini apapun agamanya tetap sangat kuat menganut ajaran Kong Hu Cu.
Karena itu saya yakin biarpun ada anak cina yang secara genetik 100% cina, tapi dari lahir diadopsi oleh orang Gayo dan dari kecil tidak pernah diberitahu kalau dia Cina, dan tidak pernah berhubungan dengan Cina lain tidak pernah bersentuhan dengan nilai-nilai ke-cina-an, saya jamin 100% juga, anak ini pasti akan jadi Gayo secara identitas, sama sekali tidak ada cina-cinanya.
T. Kemal Fasya : Saat saya di Singapore kemarin saya melihat ada aspek bawaan dari ras tamil yang berbeda misalnya dengan ras china... meskipun kata-kata saya ini akan diserang dengan sebutan sterotipe, tapi saya lihat dan alami sendiri...orang tamil cenderung sok tahu.Mereka tak akan pernah menjawab tidak tahu, meskipun apa yang saya tanyakan mereka tak tahu betul... jadinya saya sempat mutar-mutar, ketika mereka mengatakan tentang hotel murah ada di sana, atau di sono, dsb...Orang china cenderung jujur, mereka langsung bilang, i'm not very sure where is it...dsb atau menunjukki jalan dengan pasti ketika mereka tahu tentang sesuatu.... mungkin itu china dan tamil singapore ya, mungkin beda kali dengan china daratan atau tamil di tamil nadu.
Win Wan Nur : Lagi-lagi saya setuju dengan anda, dulu juga saya pernah membahas panjang lebar tentang kecenderungan oarang jawa yang bermental Abdi dalem, tapi selalu pula saya katakan yang menyebabkan munculnya karakter seperti itu bukanlah faktor GENETIK, tapi lingkungan, yang berkaitan dengan pola asuh dan pola prestise yang ditanamkan dan kemudian diamalkan oleh yang bersangkutan.
Di Aceh juga banyak keturunan Tamil, salah satunya teman saya sendiri yang biasa kami panggil Wan Tambi, anak Pertanian Unsyiah angkatan 93. Wan Tambi, kalau di test DNA, secara genetik pasti sangat dekat dengan Tamil di Singapura yang anda temui. Tapi meskipun secara genetik sama tapi karakter mereka sangat berbeda. Wan Tambi teman saya ini sangat jujur dan setia kawan serta sama sekali tidak pelit dan culas seperti stereotip orang Tamil pada umumnya. Itu terjadi karena pola asuh dan pola prestise yang ditanamkan dan kemudian diamalkan oleh orang Tamil di Singapura dan Wan Tambi di Aceh sangat berbeda.
T. Kemal Fasya : karena aspek sosio-biologis ini pulalah lahir ilmu kayak antropologi, yang secara tekun melihat karakter, kebudayaan unik yang dibawa oleh ras atau etnik tertentu...
Win Wan Nur : Benar antropologi lahir dari perbedaan aspek sosio-biologis, tapi sosio-biologis berhubungan dengan antropologi hanya ketika sosio-biologis dikaitkan dengan faktor luar di tempat etnik yang menjadi objek penelitian antropologi itu tinggal, faktor itu seperti posisi geografis, curah hujan, topografi, jenis hewan yang tinggal di lingkungan itu dan lain-lain, kesemua inilah yang mempengaruhi karakter dan perilaku etnik tertentu. Bukan DNA.
Bukti tidak relevannya faktor genetik dikaitkan dengan karakter dan perilaku seperti yang anda lihat dalam perbedaan antara etnik Cina dan Tamil di Singapura beberapa waktu yang lalu bisa kita lihat dengan jelas di Vietnam. Kebetulan beberapa tahun yang lalu saya pernah ke sana dan kenal beberapa orangnya.
Di negara yang melintang dari Utara ke Selatan ini, secara GENETIK orang yang tinggal di Vietnam Utara dan yang tinggal di Vietnam Selatan adalah IDENTIK, tapi kenapa orang selatan cenderung santai, pemalas dan tidak terorganisir sedangkan orang Vietnam Utara gigih dan giat bekerja serta hidupnya sangat terorganisir.
Jawabnya karena faktor LETAK GEOGRAFIS. Vietnam Utara yang secara geografis letaknya jauh dari khatulistiwa memiliki empat musim, perilaku dan karakter mereka adalah karakter dan perilaku orang yang tinggal di daerah dengan empat musim. Musim semi dan musim panas mereka harus giat bekerja untuk bisa menyimpan cadangan makanan dan kayu bakar untuk musim dingin, pakaian juga demikian, rumah dan lain-lain, semua harus mereka persiapkan dengan baik untuk mengantisipasi setiap perubahan musim. Kalau ingin survive mereka tidak boleh santai.
Sebaliknya orang Vietnam Selatan, di selatan matahari bersinar sepanjang tahun, kalau tidak menanam padi hari ini, masih ada hari esok, takkan lari gunung dikejar. Lingkungan yang memanjakan ini membuat orang Vietnam Selatan terbentuk menjadi pribadi yang santai, tidak ngoyo dan tidak terorganisir, toh tanpa perlu terorganisirpun mereka bisa survive.
Jadi jelas, ketika anda katakan ada aspek bawaan dari ras tamil yang berbeda misalnya dengan ras china...orang tamil cenderung sok tahu...Orang china cenderung jujur, itu semua adalah perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan RAS bukan GENETIK.
Karakter-karakter yang anda sebutkan itu itu timbul karena perbedaan cara dalam mempertahankan diri (survive) di masing-masing etnis itu. bervariasinya cara survive ini ada kaitannya dengan letak geografis seperti yang saya contohkan pada negara Vietnam tadi dan juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan sejarah masing-masing etnik itu di masa lalu. Faktor sejarah ini menciptakan kesadaran kolektif dalam diri masing-masing etnis tersebut , tapi tentu saja ini hanya berlaku kalau orang dengan etnis tertentu itu tetap bergabung dalam etnisnya, bukan anak Cina yang diadopsi orang Gayo atau Wan Tambi orang Tamil yang lahir dan besar di Aceh.
Kenapa karakter anak Cina yang diadopsi orang Gayo atau Wan Tambi berbeda dengan Cina dan orang Tamil di Singapura?...itu karena baik anak Cina yang diadopsi orang Gayo maupun Wan Tambi, terputus dengan sejarah masa lalu etnisnya sehingga dalam diri mereka tidak muncul kesadaran kolektif sebagai Etnis Cina atau Etnis Tamil.
Karena itu pasti ada sedikit beda antara karakter China dan tamil singapore ya, dengan china daratan atau tamil di tamil nadu, seperti yang anda katakan tapi tetap ada benang merahnya selama mereka tetap memiliki kesadaran kolektif sebagai Cina atau Tamil. Tapi tidak dengan anak Cina yang diadopsi orang Gayo atau Wan Tambi orang Tamil yang lahir dan besar di Aceh.
Bukti lain yang bisa saya tunjukkan dengan mengamati karakter tiga orang yang secara genetik berdarah Portugal, dari tiga orang yang saya amati ini dua orang saya kenal dengan baik melalui berita-berita dan tontonan di layar Kaca sementara mereka berdua tidak mengenal saya dan satu orang lagi salah satu sahabat terbaik saya. Mereka adalah :
1. Cristiano Ronaldo Gelandang Serang Timnas Portugal di Euro 2008, lahir dan besar di Medeira salah satu pulau di bawah administrasi Portugal.
2. luis Figo, Gelandang serang Timnas Portugal di world cup 2002, lahir dan besar di Portugal.
3. M. Tajuddin Gelandang Serang Timnas Kimia 92 di Piston Cup 1996, Lahir dan Besar di Lamno, yang saat ini termasuk Wilayah Administrasi Aceh Jaya.
Ketiga orang ini secara genetik adalah bule, orang Portugis. Di antara tiga nama ini kita dengan mudah bisa melihat ada banyak kemiripan karakter antara perilaku Cristiano Ronaldo dan Luis Figo karena keduanya lahir dan besar dalam kultur, tata nilai dan pola prestise Portugal. Tapi karakter mereka berdua dengan mudah bisa kita bedakan dengan karakter orang ketiga yang bernama M. Tajuddin yang lahir dan besar di Lamno, padahal ketiganya secara genetik adalah orang Portugis dan ketiganya juga pemain Bola bahkan ketika bermain bolapun ketiganya bermain di posisi yang sama pula. Tapi kesamaan-kesamaan itu tidak membuat ketiganya memiliki karakter dan perilaku yang sama.
Begitulah kira-kira penjelasan saya tentang tidak relevannya mengaitkan sikap dan perilaku dengan faktor genetik.
T. Kemal Fasya : Nation bagi saya sama dengan agama atau keyakinan, sebuah nilai yang dibentuk kemudian, yang tak ada hubungannya dengan genetis, atau keturunan. Ia adalah nilai-nilai yang akan beroperasi ketika diyakini, dan berlaku sebaliknya. dalam beberapa tingkat, irasionalisme nation sama dengan aspek asketik agama.
Win Wan Nur : Nah di sini saya 100% sepakat dengan anda.
Senin, 22 September 2008
Minggu, 21 September 2008
Antara Gayo dan Bordeaux
Beberapa bulan belakangan ini aku menghabiskan hampir seluruh waktuku dengan teman lama dari Perancis yang berkunjung ke Indonesia, selama itu usahaku sepenuhnya diurusi oleh istriku kalaupun ada sesuatu hal yang perlu didiskusikan hal itu hanya kami lakukan via telepon.
Pada awalnya aku berencana menemani kedua temanku ini hanya beberapa hari saja selama mereka berbulan madu. Tapi setelah kami menghabiskan beberapa hari bersama dan mengunjungi banyak tempat tujuan wisata, kami melihat ada satu peluang usaha yang sangat besar yang sayang sekali untuk dilewatkan sehingga ujung-ujungnya bulan madu teman saya ini malah berakhir pada rencana kerjasama bisnis, yang bidang usahanya tidak jauh-jauh dari urusan pariwisata.
Dalam perjalanan kami, kami bertemu banyak sekali dengan turis asal Perancis, mereka datang ke Bali dengan fasilitas yang disediakan oleh berbagai agent perjalanan dan kami menemukan ternyata di Bali banyak sekali agent perjalanan yang hanya mengkhususkan pelayanan mereka pada turis asal Perancis, bukannya bersaing mendapatkan pelanggan malah, seluruh agent perjalanan yang kami temui itu kewalahan melayani permintaan pelanggan mereka, bisa dikatakan seluruh agent perjalanan di Indonesia yang melayani pelanggan asal Perancis saat ini kesulitan memenuhi permintaan pelanggan mereka dan mempunyai satu masalah yang sama KEKUKURANGAN GUIDE BERBAHASA PERANCIS.
Kenapa hal ini bisa terjadi?. berdasarkan cerita teman saya ini, ternyata saat sekarang ini memang adalah saat boom wisatawan asal Perancis secara khusus dan eropa secara umum. Penyebabnya adalah generasi 'baby boomers' yaitu generasi yang terlahir setelah perang dunia kedua yang mengakibatkan ledakan penduduk beberapa tahun sesudahnya sekarang sudah memasuki masa pensiun. Bagi orang Perancis 'En Vacance' alias berlibur adalah budaya, bahkan di Perancis Bank menyediakan kredit untuk berlibur. Bagi orang Perancis yang tinggal di negara yang menganut sistem sosialis yang dilengkapi dengan berbagai jaring pengaman sosial atau yang mereka sebut 'securite social', masa pensiun adalah masa bersenang-senang. Tidak perlu bekerja tapi kaya raya, mereka hidup dari asuransi yang mereka bayarkan selama mereka bekerja dulu, peluang inilah yang kami tangkap.
Urusan perbisnisan ini sementara saya cukupkan sampai di sini, karena saya melihat ada hal menarik dari apa yang terjadi di Perancis ini dengan situasi kekinian kita di Gayo secara khusus dan Aceh secara umum.
Saat teman saya bercerita tentang peluang bisnis pariwisata dari generasi 'baby boomers' ini, saya bertanya kalau di negara mereka begitu banyak orang yang tidak bekerja dan kerjanya hanya bersenang-senang saja, lalu bagaimana caranya negara mereka membiayai diri. Benar mereka membayar asuransi selama bekerja, tapi uang Asuransi itu untuk bisa berkembang kan juga harus diputar bukannya beranak sendiri. Nah disinilah saya melihat masalah dengan sistem sosialis perancis yang sangat memanjakan warganya ini.
Menurut teman saya ini, untuk membiayai gaya hidup para pensiuan ini, merekalah para generasi muda Perancis yang harus bekerja keras dan dibebani dengan pajak tinggi, masalahnya lagi jumlah generasi muda Perancis tidak cukup banyak untuk menanggung beban gaya hidup para orang tua ini, ditambah lagi banyak anak muda perancis sekarang yang tidak suka bekerja, karena negara mereka juga menanggung biaya hidup para penganggur. kalau dihitung-hitung kata teman saya ini gaji bulanan orang yang bekerja pagi sampai sore ujung-ujungnya malah lebih rendah dibandingkan pendapatan penganggur yang sama sekali tidak bekerja, yang mendapatkan berbagai kemudhan mulai potongan harga tiket bis, potongan biaya listrik, gas dan lain-lain yang biaya hidup mereka justru ditanggung oleh orang-orang yang bekerja pagi sampai sore ini. Pendapatan dikurangi pengeluaran para penganggur itu justru lebih tinggi dibandingkan pendapatan bersih dikurangi pengeluaran orang-orang yang bekerja.
Efek lain dari sistem sosialis Perancis yang terlalu memanjakan warganya ini adalah banjir Imigran, di Perancis banyak masalah sosial yang ditimbulkan oleh Imigran asal Arab dan afrika yang datang ke Perancis dan melahirkan anak di sana, lalu satu keluarga hidup dari uang insentif yang didapatkan anak yang lahir di Perancis dan otomatis menjadi warga Perancis itu. Masalah lain yang diimbulkan oleh imigran Arab yang mengambil manfaat dari 'baik'nya sistem sosialis ini adalah sikap eksklusifitas mereka yang tidak mau berbaur dengan masyarakat setempat, yang bukannya datang lalu menghormati budaya setempat tapi malah memaksa penduduk setempat untuk menghormati cara hidup mereka. Lalu merekapun banyak terlibat dalam berbagai aksi kriminal di negara itu. Sehingga secara umum orang Perancis asli sentimen dan tidak begitu suka terhadap orang Arab di negara mereka.
Situasi ini kurang lebih sama dengan sentimen orang Bali terhadap orang Jawa yang datang ke Bali mencari nafkah tapi tidak menghormati budaya setempat tapi malah memaksa penduduk setempat untuk menghormati cara hidup mereka. Di Bali seluruh orag Bali hidup berdasarkan 'tri hita karana' yaitu menghargai Tuhan (parahiyangan), menghargai Manusia (pewawongan) dan menghargai alam (pelemahan). Akibat dari cara hidup seperti ini orang Bali tidak akan sembarangan membangun warung pojok di tepi jalan, karena bagi orang Bali perbuatan seperti itu tidak menghargai pemilik tanah itu dan alam tempat itu. Tapi orang Jawa yang datang dengan seenaknya membangun tenda dan berjualan pecel lele di sana, akibatnya Bali tampak kumuh. Melihat tanah kosong di pinggir kali orang Jawa langsung membuat pemukiman, mendirikan Mesjid dan mengumandangkan azan di pagi Buta yang mengganggu ketenteraman orang Bali non Muslim yang merupakan penduduk setempat yang sejak nenek moyangnya tidak terbiasa dengan itu. Banyaknya pendatang asal jawa yang belum berkeluarga di Bali juga menimbulkan masalah lain yaitu maraknya prostitusi yang para pekerjanya berasal dari jawa juga, bahkan hampir seluruh penghuni LP Kerobokan isinya orang jawa.
Kembali ke masalah Perancis. Sistem sosialis Perancis juga mengatur dengan ketat sistem perburuhan, hak-hak buruh sangat dihargai di sana, di perancis mendirikan perusahaan tidak bisa seenaknya. sebuah perusahaan di sana harus mampu menggaji karyawannya dengan baik memberikan hari libur, membayar asuransi bagi karyawannya dan memberi pesangon jika karyawannya berhenti bekerja, (jadi perusahaan seperti milik saya yang mempekerjakan karyawan dengan sistem 'kontrak putus' berdasarkan hasil kerja tidak mungkin eksis di sana), akibat dari sitem yang sangat bagus seperti ini apa?...EKONOMI BIAYA TINGGI.
Akibat EKONOMI BIAYA TINGGI, harga produk Perancis tidak bisa bersaing dengan harga dari negara yang bisa menghasilkan produk yang sama dengan biaya murah, sehingga banyak pabrik-pabrik di Perancis yang mengalihkan lokasi produksinya ke negara yang ongkos buruhnya lebih murah, misalnya pabrik Mobil Renault yang telah memindahkan tempat produksinya ke Polandia. Juga ada kejadian tragis akibat dari sistem perburuhan yang sangat bagus ini. BATA merek alas kaki asal Perancis yang sangat terkenal ini dulunya adalah Ikon, mereka punya satu lokasi produksi yang sangat luas dengan ribuan karyawan yang tinggal di satu tempat, dilengkapi dengan rumah sakit sendiri, sekolah dan berbagai fasilitas yang lain sehingga lokasi produksi BATA ini menjadi sebuah kota yang dinamakan 'BATA VILLE', tapi apa yang terjadi sekarang sistem sosialis Perancis yang mengharuskan perusahaan untuk membayar buruh dengan upah yang sangat tinggi ini, BATA tidak mampu lagi menjual produknya dengan harga wajar, sehingga terpaksa harus menutup pabriknya dan BATA VILLE pun menjadi kota mati.
Berdasarkan cerita ini dan melihat posisi ekonomi si biang kapitalis Amerika yang diambang kiamat, aku mengambil satu kesimpulan : kalau di dunia ini tidak ada satu ideologipun yang sempurna dan bisa dianut dengan sistem 'paku mati'. Semua ideologi harus terus direkonstruksi sesuai bingkainya. Sebuah ideologi harus selalu dinamis disesuaikan dengan situasi aktual yang diciptakan oleh perubahan zaman. Karenanya aku sangat berharap kepada teman-teman di PRA, kalau nanti di Pemilu 2009 mendapatkan suara yang cukup signifikan untuk tidak terlalu kaku memaksakan penerapan ideologi Sosialis, sebelum terlebih dahulu mempertimbangkan BINGKAI keacehan saat ini.
Lalu aku bertanya pada teman ini kalau begitu situasinya, bagaimana caranya Perancis tetap bisa bertahan?... lalu jawab si teman ini, dengan sistem seperti ini sekarang Perancis hanya bisa bertahan dengan memproduksi barang-barang ekslusif, semisal Parfum, pakaian bermerek yang sangat mahal atau minuman semacam anggur dan pemerintah mereka sangat ketat dalam menjaga mutu barang-barang produksi mereka.
Misalnya anggur, ada banyak daerah penghasil anggur di Perancis, misalkan Languedoc, Loire, Champagne, Alsace, Rhone atau Bourgogne tapi yang paling terkenal tentu saja Bordeaux .
Di Perancis pengawasan terhadap produksi anggur ini sangat ketat . Untuk anggur ada namanya Grand Vins, ini anggur mahal yang nggak bisa sembarangan membuatnya. harus jelas dihasilkan di daerah mana dan di kebun yang mana, anggur dari satu daerah tumbuh tidak bisa dicampur seenaknya apalagi dengan anggur dari daerah lain Bordeaux dengan Bourgogne misalnya. Kalau dicampur seenaknya namanya Vins de Village alias anggur kampung yang harganya murah meskipun tetap saja berkualitas tinggi namanya juga anggur Perancis. Karena meskipun anggur kampung, tetap saja harus melewati berbagai persyaratan ketat dan bahkan untuk anggur kampungpun tidak boleh mencampur Bordeaux dengan Bourgogne. Pemerintah Perancis dan juga masyarakatnya benar-benar STRICT dalam urusan kualitas ini. Yang berani macam-macam bisa diancam dengan hukuman penjara.
Karena Bordeaux yang paling terkenal, maka di sini saya hanya akan membahas anggur produksi Bordeaux. Seperti semua perkebunan anggur di Perancis yang selalu terletak di dekat aliran sungai, maka perkebunan anggur paling besar dan paling penting di Bordeaux juga ada di sepanjang aliran sungai yaitu sungai Gironde. Perkebunan anggur Bordeaux yang paling dekat dengan Atlantik, di sebelah timur sungai Gironde adalah wilayah 'medoc', Grand Vins nya Bourdeaux banyak diproduksi di wilayah ini. Satu wilayah seperti Medoc sendiri masih terbagi-bagi kedalam beberapa wilayah lagi, yang paling dekat dengan pantai atlantik ada wilayah perkebunan anggur yang namanya Saint-estephe, berbatasan dengannya ke arah hulu ada Poillac, di hulunya lagi ada Saint-julien dan Listrac moulis. Setelah Listrac Moulis dan paling dekat dengan hulu ini namanya wilayah Margaux . Semua anggur yang dihasilkan di wilayah ini tergolong Grand Vins, tapi diantara Medoc sendiri anggur yang dihasilkan di wilayah Poillac dan Margaux adalah yang paling prestisius.
Sementara itu berdekatan dengan Medoc tapi letaknya di seberang sungai Gironde disebut Cote de Blaye dan Cote de Bourg, anggurnya juga bagus tapi digolongkan dalam 'petit vins' yang kelasnya jauh sekali di bawah anggur produksi Medoc. Tapi kira-kira 30 km dari tepi Gironde di sebelah Cote de Blaye dan Cote de Bourg, ada lagi wilayah St-Emilion. Seperti medoc, anggur dari sini juga Grand Vins, malah di sini di wilayah Pomerol terdapat salah satu merek anggur paling prestisius dan paling mahal di dunia yang dihasilkan oleh Chateau Petrus yang juga dijual dengan merk yang sama. Untuk Anggur merk ini produksi tahun 2000 (untuk anggur beda tahun produksi, beda kualitas ini kiatannya dengan banyak sedikitnya sinar matahari, dalam dunia perangguran, tahun produksi ini disebut 'Millesime'), hari ini harga sebotolnya sudah ribuan Euro. Untuk memproduksi anggur dibutuhkan suhu yang tetap karenanya anggur diproduksi dalam goa-goa buatan di bawah tanah yang letaknya bisa 50 meter di bawah tanah supaya suhunya tetap (bahkan untuk Champaigne bisa 200 meter di bawah tanah) di wilayah St-Emilion ini ada 200 kilometer goa penyimpanan bawah tanah.
Nah anggur ini banyak miripnya dengan kopi. Kopi juga seperti anggur, misalkan kopi yang tumbuh di dataran tinggi Gayo. Biarpun sama-sama kopi Gayo, tapi kulaitas kopi Gayo Timang Gajah dengan dengan Blang Gele apalagi Lukup Sabun, sangat berbeda. Masing-masing daerah punya Kopi dengan karakter rasa sendiri. Untuk Kopi Gayo, varietas kopi, jenis tanah dan ketinggian tempat tumbuh sangat mempengaruhi rasa. Ketinggian tempat tumbuh ini ada kaitannya dengan lamanya proses pematangan buah, makin tinggi tempat kopi tumbuh, makin lama proses pematangannya, makin lama proses pematangan kopi, makin banyak nutrisi yang diserap biji kopi dari tanah, bijinya makin berat dan rasanya juga semakin bagus.
Seperti Bordeaux yang punya tempat istimewa dalam dalam Peta 'Perangguran' dunia, demikian juga kopi Gayo. Kopi Gayo yang tumbuh di dataran tinggi Gayo yang merupakan daerah produksi Kopi Arabika terbesar di ASIA juga punya tempat sangat istimewa dalam peta perkopian dunia yang kalau serius dikembangkan juga akan bisa menjadi jualan yang sangat prestisius seperti Anggur Bordeaux. Yang membedakan antara Anggur Bordeaux dan Kopi Gayo adalah mentalitas Masyarakat dan terutama Pemerintahnya, kalau Pemerintah Perancis khususnya pemerintah dan kaum intelektual wilayah Bordeaux dan juga masyarakatnya benar-benar STRICT dalam urusan kualitas ini, maka Masyarakat Gayo malah lebih suka mencampur Kopi Istimewanya dengan biji kopi Robusta yang diolah sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk kopi arabika. Pemerintah dan anggota Parelemennya?...Lebih suka sibuk mengipasi masyarakat untuk membentuk Provinsi baru, seolah-olah dengan adanya Provinsi baru itu tanpa perlu ada usaha apapun Sim Salabim...taraf hidup masyarakat Gayo akan naik dengan sendirinya. Intelektualnya?... daripada memikirkan hal yang terbaik untuk daerahnya lebih suka memposting berbagai informasi palsu dan menyesatkan di milis-milis yang menggambarkan seolah-olah Provinsi ALA sudah benar-benar akan lahir.
Efek nyata dari dua sikap yang berbeda ini dapat kia saksikan dengan jelas. Kalau untuk Anggur importer merasa yakin dengan kualitasnya kalau membeli anggur langsung dari Bordeaux. Sebaliknya untuk Kopi, Importer justru lebih merasa yakin dengan kualitasnya kalau membeli Kopi Gayo melalui perantara dari Medan atau Singapura atau malah Kopi Gayo dengan paten Belanda.
Wassalam
Win Wan Nur
Pada awalnya aku berencana menemani kedua temanku ini hanya beberapa hari saja selama mereka berbulan madu. Tapi setelah kami menghabiskan beberapa hari bersama dan mengunjungi banyak tempat tujuan wisata, kami melihat ada satu peluang usaha yang sangat besar yang sayang sekali untuk dilewatkan sehingga ujung-ujungnya bulan madu teman saya ini malah berakhir pada rencana kerjasama bisnis, yang bidang usahanya tidak jauh-jauh dari urusan pariwisata.
Dalam perjalanan kami, kami bertemu banyak sekali dengan turis asal Perancis, mereka datang ke Bali dengan fasilitas yang disediakan oleh berbagai agent perjalanan dan kami menemukan ternyata di Bali banyak sekali agent perjalanan yang hanya mengkhususkan pelayanan mereka pada turis asal Perancis, bukannya bersaing mendapatkan pelanggan malah, seluruh agent perjalanan yang kami temui itu kewalahan melayani permintaan pelanggan mereka, bisa dikatakan seluruh agent perjalanan di Indonesia yang melayani pelanggan asal Perancis saat ini kesulitan memenuhi permintaan pelanggan mereka dan mempunyai satu masalah yang sama KEKUKURANGAN GUIDE BERBAHASA PERANCIS.
Kenapa hal ini bisa terjadi?. berdasarkan cerita teman saya ini, ternyata saat sekarang ini memang adalah saat boom wisatawan asal Perancis secara khusus dan eropa secara umum. Penyebabnya adalah generasi 'baby boomers' yaitu generasi yang terlahir setelah perang dunia kedua yang mengakibatkan ledakan penduduk beberapa tahun sesudahnya sekarang sudah memasuki masa pensiun. Bagi orang Perancis 'En Vacance' alias berlibur adalah budaya, bahkan di Perancis Bank menyediakan kredit untuk berlibur. Bagi orang Perancis yang tinggal di negara yang menganut sistem sosialis yang dilengkapi dengan berbagai jaring pengaman sosial atau yang mereka sebut 'securite social', masa pensiun adalah masa bersenang-senang. Tidak perlu bekerja tapi kaya raya, mereka hidup dari asuransi yang mereka bayarkan selama mereka bekerja dulu, peluang inilah yang kami tangkap.
Urusan perbisnisan ini sementara saya cukupkan sampai di sini, karena saya melihat ada hal menarik dari apa yang terjadi di Perancis ini dengan situasi kekinian kita di Gayo secara khusus dan Aceh secara umum.
Saat teman saya bercerita tentang peluang bisnis pariwisata dari generasi 'baby boomers' ini, saya bertanya kalau di negara mereka begitu banyak orang yang tidak bekerja dan kerjanya hanya bersenang-senang saja, lalu bagaimana caranya negara mereka membiayai diri. Benar mereka membayar asuransi selama bekerja, tapi uang Asuransi itu untuk bisa berkembang kan juga harus diputar bukannya beranak sendiri. Nah disinilah saya melihat masalah dengan sistem sosialis perancis yang sangat memanjakan warganya ini.
Menurut teman saya ini, untuk membiayai gaya hidup para pensiuan ini, merekalah para generasi muda Perancis yang harus bekerja keras dan dibebani dengan pajak tinggi, masalahnya lagi jumlah generasi muda Perancis tidak cukup banyak untuk menanggung beban gaya hidup para orang tua ini, ditambah lagi banyak anak muda perancis sekarang yang tidak suka bekerja, karena negara mereka juga menanggung biaya hidup para penganggur. kalau dihitung-hitung kata teman saya ini gaji bulanan orang yang bekerja pagi sampai sore ujung-ujungnya malah lebih rendah dibandingkan pendapatan penganggur yang sama sekali tidak bekerja, yang mendapatkan berbagai kemudhan mulai potongan harga tiket bis, potongan biaya listrik, gas dan lain-lain yang biaya hidup mereka justru ditanggung oleh orang-orang yang bekerja pagi sampai sore ini. Pendapatan dikurangi pengeluaran para penganggur itu justru lebih tinggi dibandingkan pendapatan bersih dikurangi pengeluaran orang-orang yang bekerja.
Efek lain dari sistem sosialis Perancis yang terlalu memanjakan warganya ini adalah banjir Imigran, di Perancis banyak masalah sosial yang ditimbulkan oleh Imigran asal Arab dan afrika yang datang ke Perancis dan melahirkan anak di sana, lalu satu keluarga hidup dari uang insentif yang didapatkan anak yang lahir di Perancis dan otomatis menjadi warga Perancis itu. Masalah lain yang diimbulkan oleh imigran Arab yang mengambil manfaat dari 'baik'nya sistem sosialis ini adalah sikap eksklusifitas mereka yang tidak mau berbaur dengan masyarakat setempat, yang bukannya datang lalu menghormati budaya setempat tapi malah memaksa penduduk setempat untuk menghormati cara hidup mereka. Lalu merekapun banyak terlibat dalam berbagai aksi kriminal di negara itu. Sehingga secara umum orang Perancis asli sentimen dan tidak begitu suka terhadap orang Arab di negara mereka.
Situasi ini kurang lebih sama dengan sentimen orang Bali terhadap orang Jawa yang datang ke Bali mencari nafkah tapi tidak menghormati budaya setempat tapi malah memaksa penduduk setempat untuk menghormati cara hidup mereka. Di Bali seluruh orag Bali hidup berdasarkan 'tri hita karana' yaitu menghargai Tuhan (parahiyangan), menghargai Manusia (pewawongan) dan menghargai alam (pelemahan). Akibat dari cara hidup seperti ini orang Bali tidak akan sembarangan membangun warung pojok di tepi jalan, karena bagi orang Bali perbuatan seperti itu tidak menghargai pemilik tanah itu dan alam tempat itu. Tapi orang Jawa yang datang dengan seenaknya membangun tenda dan berjualan pecel lele di sana, akibatnya Bali tampak kumuh. Melihat tanah kosong di pinggir kali orang Jawa langsung membuat pemukiman, mendirikan Mesjid dan mengumandangkan azan di pagi Buta yang mengganggu ketenteraman orang Bali non Muslim yang merupakan penduduk setempat yang sejak nenek moyangnya tidak terbiasa dengan itu. Banyaknya pendatang asal jawa yang belum berkeluarga di Bali juga menimbulkan masalah lain yaitu maraknya prostitusi yang para pekerjanya berasal dari jawa juga, bahkan hampir seluruh penghuni LP Kerobokan isinya orang jawa.
Kembali ke masalah Perancis. Sistem sosialis Perancis juga mengatur dengan ketat sistem perburuhan, hak-hak buruh sangat dihargai di sana, di perancis mendirikan perusahaan tidak bisa seenaknya. sebuah perusahaan di sana harus mampu menggaji karyawannya dengan baik memberikan hari libur, membayar asuransi bagi karyawannya dan memberi pesangon jika karyawannya berhenti bekerja, (jadi perusahaan seperti milik saya yang mempekerjakan karyawan dengan sistem 'kontrak putus' berdasarkan hasil kerja tidak mungkin eksis di sana), akibat dari sitem yang sangat bagus seperti ini apa?...EKONOMI BIAYA TINGGI.
Akibat EKONOMI BIAYA TINGGI, harga produk Perancis tidak bisa bersaing dengan harga dari negara yang bisa menghasilkan produk yang sama dengan biaya murah, sehingga banyak pabrik-pabrik di Perancis yang mengalihkan lokasi produksinya ke negara yang ongkos buruhnya lebih murah, misalnya pabrik Mobil Renault yang telah memindahkan tempat produksinya ke Polandia. Juga ada kejadian tragis akibat dari sistem perburuhan yang sangat bagus ini. BATA merek alas kaki asal Perancis yang sangat terkenal ini dulunya adalah Ikon, mereka punya satu lokasi produksi yang sangat luas dengan ribuan karyawan yang tinggal di satu tempat, dilengkapi dengan rumah sakit sendiri, sekolah dan berbagai fasilitas yang lain sehingga lokasi produksi BATA ini menjadi sebuah kota yang dinamakan 'BATA VILLE', tapi apa yang terjadi sekarang sistem sosialis Perancis yang mengharuskan perusahaan untuk membayar buruh dengan upah yang sangat tinggi ini, BATA tidak mampu lagi menjual produknya dengan harga wajar, sehingga terpaksa harus menutup pabriknya dan BATA VILLE pun menjadi kota mati.
Berdasarkan cerita ini dan melihat posisi ekonomi si biang kapitalis Amerika yang diambang kiamat, aku mengambil satu kesimpulan : kalau di dunia ini tidak ada satu ideologipun yang sempurna dan bisa dianut dengan sistem 'paku mati'. Semua ideologi harus terus direkonstruksi sesuai bingkainya. Sebuah ideologi harus selalu dinamis disesuaikan dengan situasi aktual yang diciptakan oleh perubahan zaman. Karenanya aku sangat berharap kepada teman-teman di PRA, kalau nanti di Pemilu 2009 mendapatkan suara yang cukup signifikan untuk tidak terlalu kaku memaksakan penerapan ideologi Sosialis, sebelum terlebih dahulu mempertimbangkan BINGKAI keacehan saat ini.
Lalu aku bertanya pada teman ini kalau begitu situasinya, bagaimana caranya Perancis tetap bisa bertahan?... lalu jawab si teman ini, dengan sistem seperti ini sekarang Perancis hanya bisa bertahan dengan memproduksi barang-barang ekslusif, semisal Parfum, pakaian bermerek yang sangat mahal atau minuman semacam anggur dan pemerintah mereka sangat ketat dalam menjaga mutu barang-barang produksi mereka.
Misalnya anggur, ada banyak daerah penghasil anggur di Perancis, misalkan Languedoc, Loire, Champagne, Alsace, Rhone atau Bourgogne tapi yang paling terkenal tentu saja Bordeaux .
Di Perancis pengawasan terhadap produksi anggur ini sangat ketat . Untuk anggur ada namanya Grand Vins, ini anggur mahal yang nggak bisa sembarangan membuatnya. harus jelas dihasilkan di daerah mana dan di kebun yang mana, anggur dari satu daerah tumbuh tidak bisa dicampur seenaknya apalagi dengan anggur dari daerah lain Bordeaux dengan Bourgogne misalnya. Kalau dicampur seenaknya namanya Vins de Village alias anggur kampung yang harganya murah meskipun tetap saja berkualitas tinggi namanya juga anggur Perancis. Karena meskipun anggur kampung, tetap saja harus melewati berbagai persyaratan ketat dan bahkan untuk anggur kampungpun tidak boleh mencampur Bordeaux dengan Bourgogne. Pemerintah Perancis dan juga masyarakatnya benar-benar STRICT dalam urusan kualitas ini. Yang berani macam-macam bisa diancam dengan hukuman penjara.
Karena Bordeaux yang paling terkenal, maka di sini saya hanya akan membahas anggur produksi Bordeaux. Seperti semua perkebunan anggur di Perancis yang selalu terletak di dekat aliran sungai, maka perkebunan anggur paling besar dan paling penting di Bordeaux juga ada di sepanjang aliran sungai yaitu sungai Gironde. Perkebunan anggur Bordeaux yang paling dekat dengan Atlantik, di sebelah timur sungai Gironde adalah wilayah 'medoc', Grand Vins nya Bourdeaux banyak diproduksi di wilayah ini. Satu wilayah seperti Medoc sendiri masih terbagi-bagi kedalam beberapa wilayah lagi, yang paling dekat dengan pantai atlantik ada wilayah perkebunan anggur yang namanya Saint-estephe, berbatasan dengannya ke arah hulu ada Poillac, di hulunya lagi ada Saint-julien dan Listrac moulis. Setelah Listrac Moulis dan paling dekat dengan hulu ini namanya wilayah Margaux . Semua anggur yang dihasilkan di wilayah ini tergolong Grand Vins, tapi diantara Medoc sendiri anggur yang dihasilkan di wilayah Poillac dan Margaux adalah yang paling prestisius.
Sementara itu berdekatan dengan Medoc tapi letaknya di seberang sungai Gironde disebut Cote de Blaye dan Cote de Bourg, anggurnya juga bagus tapi digolongkan dalam 'petit vins' yang kelasnya jauh sekali di bawah anggur produksi Medoc. Tapi kira-kira 30 km dari tepi Gironde di sebelah Cote de Blaye dan Cote de Bourg, ada lagi wilayah St-Emilion. Seperti medoc, anggur dari sini juga Grand Vins, malah di sini di wilayah Pomerol terdapat salah satu merek anggur paling prestisius dan paling mahal di dunia yang dihasilkan oleh Chateau Petrus yang juga dijual dengan merk yang sama. Untuk Anggur merk ini produksi tahun 2000 (untuk anggur beda tahun produksi, beda kualitas ini kiatannya dengan banyak sedikitnya sinar matahari, dalam dunia perangguran, tahun produksi ini disebut 'Millesime'), hari ini harga sebotolnya sudah ribuan Euro. Untuk memproduksi anggur dibutuhkan suhu yang tetap karenanya anggur diproduksi dalam goa-goa buatan di bawah tanah yang letaknya bisa 50 meter di bawah tanah supaya suhunya tetap (bahkan untuk Champaigne bisa 200 meter di bawah tanah) di wilayah St-Emilion ini ada 200 kilometer goa penyimpanan bawah tanah.
Nah anggur ini banyak miripnya dengan kopi. Kopi juga seperti anggur, misalkan kopi yang tumbuh di dataran tinggi Gayo. Biarpun sama-sama kopi Gayo, tapi kulaitas kopi Gayo Timang Gajah dengan dengan Blang Gele apalagi Lukup Sabun, sangat berbeda. Masing-masing daerah punya Kopi dengan karakter rasa sendiri. Untuk Kopi Gayo, varietas kopi, jenis tanah dan ketinggian tempat tumbuh sangat mempengaruhi rasa. Ketinggian tempat tumbuh ini ada kaitannya dengan lamanya proses pematangan buah, makin tinggi tempat kopi tumbuh, makin lama proses pematangannya, makin lama proses pematangan kopi, makin banyak nutrisi yang diserap biji kopi dari tanah, bijinya makin berat dan rasanya juga semakin bagus.
Seperti Bordeaux yang punya tempat istimewa dalam dalam Peta 'Perangguran' dunia, demikian juga kopi Gayo. Kopi Gayo yang tumbuh di dataran tinggi Gayo yang merupakan daerah produksi Kopi Arabika terbesar di ASIA juga punya tempat sangat istimewa dalam peta perkopian dunia yang kalau serius dikembangkan juga akan bisa menjadi jualan yang sangat prestisius seperti Anggur Bordeaux. Yang membedakan antara Anggur Bordeaux dan Kopi Gayo adalah mentalitas Masyarakat dan terutama Pemerintahnya, kalau Pemerintah Perancis khususnya pemerintah dan kaum intelektual wilayah Bordeaux dan juga masyarakatnya benar-benar STRICT dalam urusan kualitas ini, maka Masyarakat Gayo malah lebih suka mencampur Kopi Istimewanya dengan biji kopi Robusta yang diolah sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk kopi arabika. Pemerintah dan anggota Parelemennya?...Lebih suka sibuk mengipasi masyarakat untuk membentuk Provinsi baru, seolah-olah dengan adanya Provinsi baru itu tanpa perlu ada usaha apapun Sim Salabim...taraf hidup masyarakat Gayo akan naik dengan sendirinya. Intelektualnya?... daripada memikirkan hal yang terbaik untuk daerahnya lebih suka memposting berbagai informasi palsu dan menyesatkan di milis-milis yang menggambarkan seolah-olah Provinsi ALA sudah benar-benar akan lahir.
Efek nyata dari dua sikap yang berbeda ini dapat kia saksikan dengan jelas. Kalau untuk Anggur importer merasa yakin dengan kualitasnya kalau membeli anggur langsung dari Bordeaux. Sebaliknya untuk Kopi, Importer justru lebih merasa yakin dengan kualitasnya kalau membeli Kopi Gayo melalui perantara dari Medan atau Singapura atau malah Kopi Gayo dengan paten Belanda.
Wassalam
Win Wan Nur
Tharawih di Bali
Sejak memulai bisnis pariwisata ini, aku seperti kembali ke masa lalu di saat aku masih lebih muda, bertualang dari satu tempat ke tempat lain. Selama sebulan belakangan ini aku terus berpergian dari satu kota ke kota lain, seperti masa aku lebih muda dulu saat masih menjadi back packers. Perjalanan yang aku lakukan sebenarnya bisa lebih jauh lagi kalau saja perusahaan penerbangan Indonesia tidak di-banned- oleh Uni Eropa yang mengakibatkan tur operator di eropa sana tidak memperbolehkan klien-nya menumpang pesawat komersial Indonesia, karena tidak ada perusahaan asuransi yang mau mananggung resiko mereka. Akibatnya saya hanya bisa menjual tur yang bisa dicapai dengan perjalanan darat dan apa boleh buat yang memungkinkan untuk itu hanyalah Jawa dan Bali.
Konsekwensi dari pekerjaan seperti ini dalam bulan Ramadhan seperti sekarang adalah aku tidak bisa melakukan shalat Tharawih tetap di satu Mesjid, tapi terus berpindah sesuai jalur yang aku lewati. Hari pertama puasa aku shalat Tharawih di Ketapang kabupaten Banyuwangi, hari kedua di Randu Agung sebuah desa di kecamatan Licin tidak jauh dari kaki Kawah Ijen lalu hari ketiga aku shalat Tharawih di Bromo. Sebagaimana umumnya daerah Jawa timur yang umat islamnya adalah pengikut NU, shalat Tharawih di semua tempat itu dilaksanakan sebanyak 23 rakaat. Dibandingkan dengan shalat Tharawih yang 11 rakaat, melakukan shalat Tharawih 23 rakaat ini seperti sedang balapan dengan kereta cepat, Imam mengucapkan bacaan ayat-ayatnya cepat sekali. Apalagi di Randu Agung, saya bahkan tidak dapat menangkap dengan jelas ucapan-ucapan Imam yang membacakan surat Al Fatihah. Karena saking cepatnya ucapan-ucapan pak Imam ini sudah seperti orang bergumam. Aku bahkan sampai berkeringat di tempat yang dingin ini saking cepatnya perubahan gerakan antara berdiri, ruku', duduk dan sujud.
Setelah berputar-putar di Jawa aku sampai lagi di Bali dan malam ini aku Shalat Tharawih di Mesjid Istiqamah di perumahan Kuta Permai Bali, meskipun di sini penganut Islamnya juga kebanyakan pengikut NU, tapi Shalat Tharawih di sini dilaksanakan hanya 11 rakaat seperti yang biasa dilakukan pengikut Muhammadiyah meskipun ciri NU-nya seperti bacaan Bismillah yang dikeraskan saat membaca Al fatihah, tiap jeda dua rakaat diselingi dengan shalawat dan niat Shalat yang dimulai dengan kata Usalli tidak hilang.
Mesjid Istiqamah yang terletak di perumahan Kuta Permai yang berada di jantung pariwisata Bali ini adalah mesjid yang unik, di tempat ini pula semasa tinggal di Bali dulu aku sering melakukan Shalat Jum'at tapi tidak pernah Shalat Tharawih di sini. Tongkrongan orang yang bersembahyang di sini berbagai rupa, mulai dari yang berbaju gamis sampai yang berambut gondrong dengan anting dikuping atau rambut yang dicat warna-warni dengan jeans model lancip ke bawah dengan aksesoris rantai berukuran besar bisa kita temukan diantara Jemaah pengunjung mesjid ini. Keunikan tongkrongan pengunjung Mesjid ini pernah dipermasalahkan beberapa Jama'ah yang risih dengan penampilan Jama'ah yang tidak biasa itu, tapi kerisihan itu langsung dijawab oleh pengurus Mesjid. "Kita ini tinggal di Kuta, tempat berkumpulnya berbagai macam manusia dari seluruh dunia seharusnya kita bersyukur masih banyak orang yang mau datang ke Mesjid ini, kalau mesjid terlalu banyak aturan tentang penampilan Jama'ahnya saya khawatir di Mesjid ini yang bersembahyang hanya Imam dan Penjaga Mesjid saja", kata si Pengurus waktu itu.
Keunikan lain dari Tharawih di mesjid ini yang tidak pernah saya temukan di mesjid lain adalah dibagikannya kertas-kertas bernomer sebelum kita masuk ke mesjid yang belakangan kuketahui ternyata adalah kupon untuk door prize, yang pemenangnya dibacakan setelah Shalat Isya menjelang Tharawih. Pengurus Mesjid ini tampaknya sangat menonjolkan sikap saling menghargai dengan penganut agama lain, isi ceramah yang laksanakan antara Tharawih dan Witirpun, tidak pernah secara terang-terangan menyerang kekurangan agama lain, penyebutan orang-orang kafir secara terbuka tampaknya sangat dihindari para penceramah di mesjid ini. Setelah prosesi Tharawih selesai, bila di Mesjid lain loud speaker Mesjid biasanya mengumandangkan kasidah atau Shalawat nabi, maka di mesjid ini yang berkumandang adalah suara nge-rock milik Armand Maulana dari kelompok GIGI yang melantunkan...Pintu Surga...Pintu Surga..dimana engkau berada...bagaimana caranya kita memasukinya.
Secara fisik bangunan mesjid Istiqamah ini juga unik, di bagian tengah tembok bagian luar mesjid ini tepat bersebelahan dengan tempat wudhuk, terdapat sebuah pura bernama Pura Persimpangan Ida Betara Ratu Cakti Dalem Ped tempat umat Hindu bersembahyang menghaturkan puja dan mempersembahkan banten kepada dewa-dewa dan juga memberikan canang sari untuk Bhuta Kala agar tidak mengganggu manusia, itu mereka lakukan setiap sore bersamaan dengan azan maghrib.
Perumahan Kuta Permai tempat Mesjid ini berdiri adalah sebuah lingkungan perumahan yang sangat plural. Orang-orang yang tinggal di Kompleks yang terdiri kurang dari 100 rumah ini berasal dari berbagai daerah dengan berbagai peradaban sehingga perumahan ini seolah menjadi seperti miniatur peradaban dunia. Di sini tinggal berbagai etnis dari penjuru Indonesia, mulai suku Gayo yang berasal dari Aceh (ada tiga keluarga Gayo yang tinggal di perumahan ini), Minang, Batak, Nias, Sunda, Jawa, Makasar, Manado, Flores, Papua dan tentu saja Bali sendiri, juga banyak etnis Cina. Disamping suku-suku dari penjuru Nusantara, di sini juga banyak tinggal orang asing, ada orang Jepang, Australia, Kanada dan Slovenia. Penganut dari semua 5 agama yang diakui pemerintah Indonesia bisa ditemukan di perumahan ini. Perbedaan karakter antara orang-orang ini tampak jelas pada orang dewasanya, tapi anak-anak mereka sama saja. Semua pada sore hari berkumpul entah itu bersepeda atau bermain bola di lapangan umum yang terletak di antara mesjid, pura Kompleks ini (bukan Pura persimpangan di tembok mesjid) dan Aula umum yang sering dipakai untuk kebaktian di hari-hari besar umat Kristen. Tampaknya anak-anak ini tidak terlalu bisa membedakan yang mana Gayo yang mana Flores yang mana Kanada yang mana Jepang, meskipun ciri fisik mereka jelas sekali bisa dibedakan ada yang bule ada yang sipit, coklat atau yang hitam berambut kriwil, tapi anak-anak Kuta Permai ini sepertinya kurang peka dengan perbedaan fisik.
Perumahan yang dibangun dengan menguruk hutan bakau di teluk benoa yang terlepat tepat di bagian leher pulau Bali yang membagi antara daratan besar pulau Bali di utara dengan daratan kecil bukit kapur di selatan ini diapit oleh dua tempat hiburan untuk kaum pribumi kelas atas yang oleh teman-teman PKS dan FPI disebut sebagai sarang maksiat. Di sebelah utara Perumahan ini ada Pusat hiburan dan Karaoke bernama Grahadi Bali di sebelah selatan juga ada Pusat hiburan dan Karaoke bernama Kuta Timur Resort.
Secara umum keberagaman di perumahan ini tidak sampai menyulut konflik secara terbuka, meskipun tampaknya ada rasa tidak senang juga di kalangan umat Hindu yang mayoritas di Bali tapi minoritas atau setidaknya berimbang komposisinya dengan Muslim di kompleks perumahan ini dengan ramainya pengunjung Mesjid Istiqamah. Dari bisik-bisik yang pernah saya dengar katanya mereka khawatir akan adanya islamisasi, sehingga tiap menjelang maghrib ketika Mesjid menghidupkan loudspeaker yang mengumandangkan suara Qari yang melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an, Pura di seberang lapanganpun tidak mau ketinggalan, menyalakan tape recorder yang melantunkan mantra dan puja-puja dengan Loudspeaker yang dinyalakan dengan volume maksimal.
Menurut cerita yang saya dengar dari beberapa jama'ah. Dulunya sebenarnya persaingan antara Islam dan Hindu ini tidaklah setajam ini, persaingan ini meruncing sejak seorang pengurus mesjid yang juga tinggal di perumahan ini dipecat dari kepengurusan mesjid karena alasan tertentu. Si mantan pengurus dan juga seorang haji ini sekarang menjadi bendahara di kepengurusan RT perumahan ini. Sejak itu dia mengompori pengurus RT yang lain termasuk ketua RT yang beragama Hindu untuk menggencet semua kegiatan Mesjid ini, diantaranya yang paling signifikan adalah melarang mobil-mobil Jama'ah mesjid untuk parkir di dalam lapangan kompleks perumahan ini di saat Shalat Jum'at, dengan alasan mengganggu ketenteraman penghuni, padahal dari bincang-bincang dengan penghuni perumahan yang beragama non Islam, mereka tidak mempermasalahkan, malah mereka mempermasalhkan sejak tidak dibolehkannya Mobil Parkir di lapangan, mereka harus membayar Iuran bulanan lebih mahal sebagai pengganti pemasukan dari Parkir Mobil di hari Jum'at. Si mantan pengurus yang bernama Joko ini sejak dipecat tidak pernah lagi Shalat di mesjid ini. Setiap Jum'at Haji Joko selalu Shalat di mesjid Kampung Bugis dekat bandara Ngurah Rai, demikian juga dengan Shalat Tharawih. Yang justru kasihan adalah Satpam perumahan ini yang berasal dari Manado dan beragama kristen, beliau sering menjadi sasaran kekesalan Umat Islam yang akan melakukan Shalat Jum'at di Mesjid Istiqamah. Pak Satpam ini diperintahkan oleh pengurus kompleks untuk menanyai maksud kedatangan setiap orang yang akan melakukan Shalat Jum'at di mesjid ini dengan bermobil dan menyuruh parkir di luar kalau maksudnya untuk Shalat, Pak Satpam yang sebenarnya sangat toleran ini makan hati sendiri karena dia sendiri sebenarnya tidak setuju dengan kebijakan atasannya itu, tapi tidak bisa melawan karena takut dipecat.
Kata teman saya, Orang Gayo yang tinggal di kompleks ini. Sebenarnya sasaran kemarahan haji Joko yang menurut teman ini pula sangat gila hormat adalah seorang pengurus mesjid bernama Haji Agus Bambang Priyanto, S.H yang namanya dikenal secara nasional bahkan internasional sebagai Haji Bambang, relawan Bom Bali yang paling terkenal dan oleh pers dijadikan ikon Tokoh Islam anti Terorisme yang di film Long Road to Heaven- karakternya diplesetkan menjadi Haji Ismail yang diperankan oleh Joshua Pulaki. Lebih dari 50% pembiayaan pembangunan mesjid ini dikeluarkan dari kantong pribadi Haji Bambang yang memiliki beberapa toko dan rumah kontrakan di Bali.
Oleh Haji Joko yang mantan pegawai BRI, pengurus RT di Kuta Permai ini juga dihasut untuk membenci Haji Bambang, sehingga meskipun Haji Bambang yang banyak menerima penghargaan baik itu nasional bahkan dari presiden RI maupun internasional salah satunya dia diangkat menjadi Pahlawan Asia. Semua penghargaan dan label yang diterima Haji bambang baik Nasional maupun Internasional itu secara resmi tidak diakui keabsahannya oleh pengurus RT Kuta Permai, artinya terserah apa kata Presiden, apa kata dunia, tapi yang jelas di Tingkat RT Kuta Permai Haji Bambang bukan siapa-siapa.
Kemarahan dan rasa tidak suka Haji Joko kepada Haji Bambang ini makin menjadi-jadi karena Haji Bambang yang pemurah, tidak perhitungan soal duit, mudah bergaul dengan siapapun dan sangat dihormati Jama'ah mesjid ini juga punya satu kelemahan yang mencolok yaitu kecenderungan suka pamer. Setiap dia diundang oleh satu institusi, setiap dia didatangi wartawan atau muncul di televisi, semua selalu diumumkan di mimbar mesjid. Seperti dulu ketika dia ikut membantu korban Tsunami di Meulaboh cerita itu terus diulang-ulang, lengkap dengan segala detailnya misalnya ketika dia naik helikopter, dijelaskan siapa pilotnya, jenis dan warna helikopternya dan ketinggian jelajahnya. Kadang hobi pamer haji Bambang ini membuatnya keluar dari jalur yang seharusnya, dan mengucapkan hal yang tidak dia mengerti seperti ketika satu saat di zaman masih 'panas' dulu dia berkata "Saya tidak setuju Aceh itu disebut Serambi Mekkah, bagaimana bisa disebut Serambi Mekkah kalau orangnya suka memberontak pemerintah yang sah" Menurut seorang teman saya yang kebetulan waktu itu Shalat Jum'at di Kuta permai, mendengar ucapan Haji Bambang itu seorang teman lain hampir saja bangun dari duduknya untuk memukul Haji Bambang saat itu juga, tapi si teman ini ditahan oleh teman lain lagi.
Hobi pamer Haji Bambang ini kadang juga mengundang kelucuan, seperti menurut cerita teman saya ketika beberapa hari yang lalu saat Haji Bambang akan berangkat ke New York untuk berbicara di depan Majelis PBB yang membahas tentang Terorisme. Haji Bambang berbicara di depan mimbar mengatakan kalau besok dia akan berangkat ke New York dengan Pesawat Boeing milik JAL nomer penerbangan sekian transit di Narita dan sebagainya, yang paling lucu adalah ketika Haji Bambang mengatakan di depan mimbar "perlu saudara-saudara ketahui diantara saudara-saudara sekalian ada sepuluh orang intel yang sedang menyamar untuk mengawal saya, mereka berbadan besar dan berambut cepak", mendengar itu jama'ah mesjid kontan saling berpandangan mencari orang dengan ciri yang disebutkan oleh Haji Bambang. Sambil tertawa terbahak-bahak teman saya ini bercerita kepada saya sambil membayangkan para intel berbadan besar dan berambut cepak ini berusaha menciutkan badan agar tidak tampak besar di antara jama'ah mesjid yang tidak terlalu banyak itu. Cerita teman saya ini mengingatkan saya pada cerita Haji Bambang kepada saya sendiri beberapa tahun yang lalu saat saya masih berdomisili di Bali, saat Haji Bambang dengan nada bangga mengatakan kepada saya bahwa telponnya sudah disadap oleh intel untuk mengantisipasi teror-teror telepon dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.
Omongan teman saya ini saya buktikan sendiri tadi malam karena ternyata Haji Bambang sudah kembali dari New York. Saat jeda antara azan dan iqamah waktu Isya tadi Haji Bambang naik ke mimbar menceritakan pengalamannya berbicara di depan Majlis PBB di depan 196 delegasi negara-negara dan 20 perwakilan NGO Internasional (jumlahnya tepat disebutkan seperti itu). Menurutnya sekarang setelah dia berbicara di depan majelis PBB, dunia sudah berhasil dia yakinkan kalau Islam itu tidak ada kaitannya dengan terorisme, bahkan Haji Bambang mendesak agar PBB menggalang dana bantuan untuk para korban Bom, bukan hanya yang di Bali, tapi juga di Iraq, fghanistan, Amerika, London, Madrid dan dimanapun juga.
Lalu menurut Haji Bambang kemudian, sebenarnya duta besar Indonesia untuk PBB Marty Natalegawa ingin menahannya lebih lama di New York supaya Haji Bambang bisa bertemu dengan masyarakat Indonesia di New York dan mengajak Haji Bambang berkeliling new York. Lalu Haji Bambang juga menjelaskan New York itu dibelah sungai Hansen dengan Manhattan di barat dan Long Island di timur, tapi menurut Haji Bambang dia menolak tawaran Marty karena dia sudah menyatu dengan Jama'ah mesjid istiqamah dan ingin bertharawih di sana.
"Sebenarnya kalau bukan karena tugas untuk menjadi duta Islam saya akan menolak perjalanan di Bulan Ramadhan", kata Haji Bambang. Lalu Haji Bambang menceritakan perjalanan pulangnya dari New York yang seperti cerita teman saya sebelumnya, kali inipun lengkap sampai ke detail-detailnya. Ketika pulang ke Bali dia menumpangi Pesawat JAL (dia menyebutkan nomer ekor dan kapasitas penumpangnya tapi saya lupa persisinya) dengan ketinggian jelajah 12.000 meter di atas permukaan laut dengan kecepatan 900 kilometer per Jam selama 12 Jam dari New York ke Narita di Jepang lalu dilanjutkan 7 jam lagi dari Narita ke Bali. Pada kesempatan itu pula Haji Bambang minta pamit dan besok tidak bisa ikut Tharawih bersama karena besok pagi dia kembali harus berangkat ke Jakarta untuk diwanwancari di Metro Pagi Weekend hari minggu nanti, dia juga mohon do'a dari para Jama'ah agar nanti lancar menjawab cecaran pertanyaan dalam acara di Metro TV yang menurut Haji Bambang akan dipandu oleh Muthia Hafidz. Tidak lupa pula Haji Bambang meminta agar jama'ah mesjid tidak lupa menonton acara itu hari minggu besok jam 7 waktu Bali. Ketika aku sempat mengobrol dengannya sebelum Shalat Isya tadi, Haji Bambang juga meminta secara pribadi agar aku menonton acara tersebut, tapi aku katakan pada Haji Bambang " Wah Pak Haji pasti menarik sekali dan saya pengen sekali nonton, sayang saya tidak bisa melihat Pak Haji di TV hari minggu nanti karena di waktu yang sama saya akan berada di kursi pesawat garuda GA 251 tujuan Jogja".
Haji Joko yang pasti akan mendengar cerita ini dari Istri, anak atau tetangganya yang ikut shalat di mesjid istiqamah tentu bakal makin panas mendengar cerita ini dan entah taktik apalagi yang akan dia perbuat untuk menghancurkan Haji Bambang dan menggembosi Mesjid Istiqamah.
Cerita perseteruan dua Haji di Kuta Permai yang menimbulkan rasa tidak suka dari umat lain terhadap umat Islam ini karena ada satu pihak bersekutu dengan kekuatan asing yang lebih besar untuk menghancurkan kaum sendiri ini mengingatkan saya pada pola perseteruan antara umat Islam secara global, kasus ini memiliki banyak kemiripan dengan perseteruan antara umat Islam sendiri di berbagai belahan dunia, ketika ada dua kelompok atau pimpinan kelompok Islam saling berseteru, biasanya ada satu kelompok mengundang satu kekuatan asing yang lebih kuat sebagai sekutu untuk menghancurkan kelompok islam yang menjadi musuhnya, tidak peduli korbannya termasuk orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang perseteruan itu, seperti haji Joko yang hanya karena rasa tidak sukanya pada Haji Bambang tega mengorbankan orang-orang luar Kuta Permai yang ingin melaksanakan Shalat Jum'at di mesjid Istiqamah. Kasus seperti ini terjadi di Pakistan, Afghanistan, Iraq, Kuwait dan berbagai belahan dunia lain.
Entah kenapa dalam menyelesaikan masalah kita sulit sekali mengembangkan dialog di antara kita sendiri entah itu dalam skala kecil seperti di Kuta Permai ini maupun secara skala besar entah itu antar golongan atau antar negara.
Wassalam
Win Wan Nur
Konsekwensi dari pekerjaan seperti ini dalam bulan Ramadhan seperti sekarang adalah aku tidak bisa melakukan shalat Tharawih tetap di satu Mesjid, tapi terus berpindah sesuai jalur yang aku lewati. Hari pertama puasa aku shalat Tharawih di Ketapang kabupaten Banyuwangi, hari kedua di Randu Agung sebuah desa di kecamatan Licin tidak jauh dari kaki Kawah Ijen lalu hari ketiga aku shalat Tharawih di Bromo. Sebagaimana umumnya daerah Jawa timur yang umat islamnya adalah pengikut NU, shalat Tharawih di semua tempat itu dilaksanakan sebanyak 23 rakaat. Dibandingkan dengan shalat Tharawih yang 11 rakaat, melakukan shalat Tharawih 23 rakaat ini seperti sedang balapan dengan kereta cepat, Imam mengucapkan bacaan ayat-ayatnya cepat sekali. Apalagi di Randu Agung, saya bahkan tidak dapat menangkap dengan jelas ucapan-ucapan Imam yang membacakan surat Al Fatihah. Karena saking cepatnya ucapan-ucapan pak Imam ini sudah seperti orang bergumam. Aku bahkan sampai berkeringat di tempat yang dingin ini saking cepatnya perubahan gerakan antara berdiri, ruku', duduk dan sujud.
Setelah berputar-putar di Jawa aku sampai lagi di Bali dan malam ini aku Shalat Tharawih di Mesjid Istiqamah di perumahan Kuta Permai Bali, meskipun di sini penganut Islamnya juga kebanyakan pengikut NU, tapi Shalat Tharawih di sini dilaksanakan hanya 11 rakaat seperti yang biasa dilakukan pengikut Muhammadiyah meskipun ciri NU-nya seperti bacaan Bismillah yang dikeraskan saat membaca Al fatihah, tiap jeda dua rakaat diselingi dengan shalawat dan niat Shalat yang dimulai dengan kata Usalli tidak hilang.
Mesjid Istiqamah yang terletak di perumahan Kuta Permai yang berada di jantung pariwisata Bali ini adalah mesjid yang unik, di tempat ini pula semasa tinggal di Bali dulu aku sering melakukan Shalat Jum'at tapi tidak pernah Shalat Tharawih di sini. Tongkrongan orang yang bersembahyang di sini berbagai rupa, mulai dari yang berbaju gamis sampai yang berambut gondrong dengan anting dikuping atau rambut yang dicat warna-warni dengan jeans model lancip ke bawah dengan aksesoris rantai berukuran besar bisa kita temukan diantara Jemaah pengunjung mesjid ini. Keunikan tongkrongan pengunjung Mesjid ini pernah dipermasalahkan beberapa Jama'ah yang risih dengan penampilan Jama'ah yang tidak biasa itu, tapi kerisihan itu langsung dijawab oleh pengurus Mesjid. "Kita ini tinggal di Kuta, tempat berkumpulnya berbagai macam manusia dari seluruh dunia seharusnya kita bersyukur masih banyak orang yang mau datang ke Mesjid ini, kalau mesjid terlalu banyak aturan tentang penampilan Jama'ahnya saya khawatir di Mesjid ini yang bersembahyang hanya Imam dan Penjaga Mesjid saja", kata si Pengurus waktu itu.
Keunikan lain dari Tharawih di mesjid ini yang tidak pernah saya temukan di mesjid lain adalah dibagikannya kertas-kertas bernomer sebelum kita masuk ke mesjid yang belakangan kuketahui ternyata adalah kupon untuk door prize, yang pemenangnya dibacakan setelah Shalat Isya menjelang Tharawih. Pengurus Mesjid ini tampaknya sangat menonjolkan sikap saling menghargai dengan penganut agama lain, isi ceramah yang laksanakan antara Tharawih dan Witirpun, tidak pernah secara terang-terangan menyerang kekurangan agama lain, penyebutan orang-orang kafir secara terbuka tampaknya sangat dihindari para penceramah di mesjid ini. Setelah prosesi Tharawih selesai, bila di Mesjid lain loud speaker Mesjid biasanya mengumandangkan kasidah atau Shalawat nabi, maka di mesjid ini yang berkumandang adalah suara nge-rock milik Armand Maulana dari kelompok GIGI yang melantunkan...Pintu Surga...Pintu Surga..dimana engkau berada...bagaimana caranya kita memasukinya.
Secara fisik bangunan mesjid Istiqamah ini juga unik, di bagian tengah tembok bagian luar mesjid ini tepat bersebelahan dengan tempat wudhuk, terdapat sebuah pura bernama Pura Persimpangan Ida Betara Ratu Cakti Dalem Ped tempat umat Hindu bersembahyang menghaturkan puja dan mempersembahkan banten kepada dewa-dewa dan juga memberikan canang sari untuk Bhuta Kala agar tidak mengganggu manusia, itu mereka lakukan setiap sore bersamaan dengan azan maghrib.
Perumahan Kuta Permai tempat Mesjid ini berdiri adalah sebuah lingkungan perumahan yang sangat plural. Orang-orang yang tinggal di Kompleks yang terdiri kurang dari 100 rumah ini berasal dari berbagai daerah dengan berbagai peradaban sehingga perumahan ini seolah menjadi seperti miniatur peradaban dunia. Di sini tinggal berbagai etnis dari penjuru Indonesia, mulai suku Gayo yang berasal dari Aceh (ada tiga keluarga Gayo yang tinggal di perumahan ini), Minang, Batak, Nias, Sunda, Jawa, Makasar, Manado, Flores, Papua dan tentu saja Bali sendiri, juga banyak etnis Cina. Disamping suku-suku dari penjuru Nusantara, di sini juga banyak tinggal orang asing, ada orang Jepang, Australia, Kanada dan Slovenia. Penganut dari semua 5 agama yang diakui pemerintah Indonesia bisa ditemukan di perumahan ini. Perbedaan karakter antara orang-orang ini tampak jelas pada orang dewasanya, tapi anak-anak mereka sama saja. Semua pada sore hari berkumpul entah itu bersepeda atau bermain bola di lapangan umum yang terletak di antara mesjid, pura Kompleks ini (bukan Pura persimpangan di tembok mesjid) dan Aula umum yang sering dipakai untuk kebaktian di hari-hari besar umat Kristen. Tampaknya anak-anak ini tidak terlalu bisa membedakan yang mana Gayo yang mana Flores yang mana Kanada yang mana Jepang, meskipun ciri fisik mereka jelas sekali bisa dibedakan ada yang bule ada yang sipit, coklat atau yang hitam berambut kriwil, tapi anak-anak Kuta Permai ini sepertinya kurang peka dengan perbedaan fisik.
Perumahan yang dibangun dengan menguruk hutan bakau di teluk benoa yang terlepat tepat di bagian leher pulau Bali yang membagi antara daratan besar pulau Bali di utara dengan daratan kecil bukit kapur di selatan ini diapit oleh dua tempat hiburan untuk kaum pribumi kelas atas yang oleh teman-teman PKS dan FPI disebut sebagai sarang maksiat. Di sebelah utara Perumahan ini ada Pusat hiburan dan Karaoke bernama Grahadi Bali di sebelah selatan juga ada Pusat hiburan dan Karaoke bernama Kuta Timur Resort.
Secara umum keberagaman di perumahan ini tidak sampai menyulut konflik secara terbuka, meskipun tampaknya ada rasa tidak senang juga di kalangan umat Hindu yang mayoritas di Bali tapi minoritas atau setidaknya berimbang komposisinya dengan Muslim di kompleks perumahan ini dengan ramainya pengunjung Mesjid Istiqamah. Dari bisik-bisik yang pernah saya dengar katanya mereka khawatir akan adanya islamisasi, sehingga tiap menjelang maghrib ketika Mesjid menghidupkan loudspeaker yang mengumandangkan suara Qari yang melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an, Pura di seberang lapanganpun tidak mau ketinggalan, menyalakan tape recorder yang melantunkan mantra dan puja-puja dengan Loudspeaker yang dinyalakan dengan volume maksimal.
Menurut cerita yang saya dengar dari beberapa jama'ah. Dulunya sebenarnya persaingan antara Islam dan Hindu ini tidaklah setajam ini, persaingan ini meruncing sejak seorang pengurus mesjid yang juga tinggal di perumahan ini dipecat dari kepengurusan mesjid karena alasan tertentu. Si mantan pengurus dan juga seorang haji ini sekarang menjadi bendahara di kepengurusan RT perumahan ini. Sejak itu dia mengompori pengurus RT yang lain termasuk ketua RT yang beragama Hindu untuk menggencet semua kegiatan Mesjid ini, diantaranya yang paling signifikan adalah melarang mobil-mobil Jama'ah mesjid untuk parkir di dalam lapangan kompleks perumahan ini di saat Shalat Jum'at, dengan alasan mengganggu ketenteraman penghuni, padahal dari bincang-bincang dengan penghuni perumahan yang beragama non Islam, mereka tidak mempermasalahkan, malah mereka mempermasalhkan sejak tidak dibolehkannya Mobil Parkir di lapangan, mereka harus membayar Iuran bulanan lebih mahal sebagai pengganti pemasukan dari Parkir Mobil di hari Jum'at. Si mantan pengurus yang bernama Joko ini sejak dipecat tidak pernah lagi Shalat di mesjid ini. Setiap Jum'at Haji Joko selalu Shalat di mesjid Kampung Bugis dekat bandara Ngurah Rai, demikian juga dengan Shalat Tharawih. Yang justru kasihan adalah Satpam perumahan ini yang berasal dari Manado dan beragama kristen, beliau sering menjadi sasaran kekesalan Umat Islam yang akan melakukan Shalat Jum'at di Mesjid Istiqamah. Pak Satpam ini diperintahkan oleh pengurus kompleks untuk menanyai maksud kedatangan setiap orang yang akan melakukan Shalat Jum'at di mesjid ini dengan bermobil dan menyuruh parkir di luar kalau maksudnya untuk Shalat, Pak Satpam yang sebenarnya sangat toleran ini makan hati sendiri karena dia sendiri sebenarnya tidak setuju dengan kebijakan atasannya itu, tapi tidak bisa melawan karena takut dipecat.
Kata teman saya, Orang Gayo yang tinggal di kompleks ini. Sebenarnya sasaran kemarahan haji Joko yang menurut teman ini pula sangat gila hormat adalah seorang pengurus mesjid bernama Haji Agus Bambang Priyanto, S.H yang namanya dikenal secara nasional bahkan internasional sebagai Haji Bambang, relawan Bom Bali yang paling terkenal dan oleh pers dijadikan ikon Tokoh Islam anti Terorisme yang di film Long Road to Heaven- karakternya diplesetkan menjadi Haji Ismail yang diperankan oleh Joshua Pulaki. Lebih dari 50% pembiayaan pembangunan mesjid ini dikeluarkan dari kantong pribadi Haji Bambang yang memiliki beberapa toko dan rumah kontrakan di Bali.
Oleh Haji Joko yang mantan pegawai BRI, pengurus RT di Kuta Permai ini juga dihasut untuk membenci Haji Bambang, sehingga meskipun Haji Bambang yang banyak menerima penghargaan baik itu nasional bahkan dari presiden RI maupun internasional salah satunya dia diangkat menjadi Pahlawan Asia. Semua penghargaan dan label yang diterima Haji bambang baik Nasional maupun Internasional itu secara resmi tidak diakui keabsahannya oleh pengurus RT Kuta Permai, artinya terserah apa kata Presiden, apa kata dunia, tapi yang jelas di Tingkat RT Kuta Permai Haji Bambang bukan siapa-siapa.
Kemarahan dan rasa tidak suka Haji Joko kepada Haji Bambang ini makin menjadi-jadi karena Haji Bambang yang pemurah, tidak perhitungan soal duit, mudah bergaul dengan siapapun dan sangat dihormati Jama'ah mesjid ini juga punya satu kelemahan yang mencolok yaitu kecenderungan suka pamer. Setiap dia diundang oleh satu institusi, setiap dia didatangi wartawan atau muncul di televisi, semua selalu diumumkan di mimbar mesjid. Seperti dulu ketika dia ikut membantu korban Tsunami di Meulaboh cerita itu terus diulang-ulang, lengkap dengan segala detailnya misalnya ketika dia naik helikopter, dijelaskan siapa pilotnya, jenis dan warna helikopternya dan ketinggian jelajahnya. Kadang hobi pamer haji Bambang ini membuatnya keluar dari jalur yang seharusnya, dan mengucapkan hal yang tidak dia mengerti seperti ketika satu saat di zaman masih 'panas' dulu dia berkata "Saya tidak setuju Aceh itu disebut Serambi Mekkah, bagaimana bisa disebut Serambi Mekkah kalau orangnya suka memberontak pemerintah yang sah" Menurut seorang teman saya yang kebetulan waktu itu Shalat Jum'at di Kuta permai, mendengar ucapan Haji Bambang itu seorang teman lain hampir saja bangun dari duduknya untuk memukul Haji Bambang saat itu juga, tapi si teman ini ditahan oleh teman lain lagi.
Hobi pamer Haji Bambang ini kadang juga mengundang kelucuan, seperti menurut cerita teman saya ketika beberapa hari yang lalu saat Haji Bambang akan berangkat ke New York untuk berbicara di depan Majelis PBB yang membahas tentang Terorisme. Haji Bambang berbicara di depan mimbar mengatakan kalau besok dia akan berangkat ke New York dengan Pesawat Boeing milik JAL nomer penerbangan sekian transit di Narita dan sebagainya, yang paling lucu adalah ketika Haji Bambang mengatakan di depan mimbar "perlu saudara-saudara ketahui diantara saudara-saudara sekalian ada sepuluh orang intel yang sedang menyamar untuk mengawal saya, mereka berbadan besar dan berambut cepak", mendengar itu jama'ah mesjid kontan saling berpandangan mencari orang dengan ciri yang disebutkan oleh Haji Bambang. Sambil tertawa terbahak-bahak teman saya ini bercerita kepada saya sambil membayangkan para intel berbadan besar dan berambut cepak ini berusaha menciutkan badan agar tidak tampak besar di antara jama'ah mesjid yang tidak terlalu banyak itu. Cerita teman saya ini mengingatkan saya pada cerita Haji Bambang kepada saya sendiri beberapa tahun yang lalu saat saya masih berdomisili di Bali, saat Haji Bambang dengan nada bangga mengatakan kepada saya bahwa telponnya sudah disadap oleh intel untuk mengantisipasi teror-teror telepon dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.
Omongan teman saya ini saya buktikan sendiri tadi malam karena ternyata Haji Bambang sudah kembali dari New York. Saat jeda antara azan dan iqamah waktu Isya tadi Haji Bambang naik ke mimbar menceritakan pengalamannya berbicara di depan Majlis PBB di depan 196 delegasi negara-negara dan 20 perwakilan NGO Internasional (jumlahnya tepat disebutkan seperti itu). Menurutnya sekarang setelah dia berbicara di depan majelis PBB, dunia sudah berhasil dia yakinkan kalau Islam itu tidak ada kaitannya dengan terorisme, bahkan Haji Bambang mendesak agar PBB menggalang dana bantuan untuk para korban Bom, bukan hanya yang di Bali, tapi juga di Iraq, fghanistan, Amerika, London, Madrid dan dimanapun juga.
Lalu menurut Haji Bambang kemudian, sebenarnya duta besar Indonesia untuk PBB Marty Natalegawa ingin menahannya lebih lama di New York supaya Haji Bambang bisa bertemu dengan masyarakat Indonesia di New York dan mengajak Haji Bambang berkeliling new York. Lalu Haji Bambang juga menjelaskan New York itu dibelah sungai Hansen dengan Manhattan di barat dan Long Island di timur, tapi menurut Haji Bambang dia menolak tawaran Marty karena dia sudah menyatu dengan Jama'ah mesjid istiqamah dan ingin bertharawih di sana.
"Sebenarnya kalau bukan karena tugas untuk menjadi duta Islam saya akan menolak perjalanan di Bulan Ramadhan", kata Haji Bambang. Lalu Haji Bambang menceritakan perjalanan pulangnya dari New York yang seperti cerita teman saya sebelumnya, kali inipun lengkap sampai ke detail-detailnya. Ketika pulang ke Bali dia menumpangi Pesawat JAL (dia menyebutkan nomer ekor dan kapasitas penumpangnya tapi saya lupa persisinya) dengan ketinggian jelajah 12.000 meter di atas permukaan laut dengan kecepatan 900 kilometer per Jam selama 12 Jam dari New York ke Narita di Jepang lalu dilanjutkan 7 jam lagi dari Narita ke Bali. Pada kesempatan itu pula Haji Bambang minta pamit dan besok tidak bisa ikut Tharawih bersama karena besok pagi dia kembali harus berangkat ke Jakarta untuk diwanwancari di Metro Pagi Weekend hari minggu nanti, dia juga mohon do'a dari para Jama'ah agar nanti lancar menjawab cecaran pertanyaan dalam acara di Metro TV yang menurut Haji Bambang akan dipandu oleh Muthia Hafidz. Tidak lupa pula Haji Bambang meminta agar jama'ah mesjid tidak lupa menonton acara itu hari minggu besok jam 7 waktu Bali. Ketika aku sempat mengobrol dengannya sebelum Shalat Isya tadi, Haji Bambang juga meminta secara pribadi agar aku menonton acara tersebut, tapi aku katakan pada Haji Bambang " Wah Pak Haji pasti menarik sekali dan saya pengen sekali nonton, sayang saya tidak bisa melihat Pak Haji di TV hari minggu nanti karena di waktu yang sama saya akan berada di kursi pesawat garuda GA 251 tujuan Jogja".
Haji Joko yang pasti akan mendengar cerita ini dari Istri, anak atau tetangganya yang ikut shalat di mesjid istiqamah tentu bakal makin panas mendengar cerita ini dan entah taktik apalagi yang akan dia perbuat untuk menghancurkan Haji Bambang dan menggembosi Mesjid Istiqamah.
Cerita perseteruan dua Haji di Kuta Permai yang menimbulkan rasa tidak suka dari umat lain terhadap umat Islam ini karena ada satu pihak bersekutu dengan kekuatan asing yang lebih besar untuk menghancurkan kaum sendiri ini mengingatkan saya pada pola perseteruan antara umat Islam secara global, kasus ini memiliki banyak kemiripan dengan perseteruan antara umat Islam sendiri di berbagai belahan dunia, ketika ada dua kelompok atau pimpinan kelompok Islam saling berseteru, biasanya ada satu kelompok mengundang satu kekuatan asing yang lebih kuat sebagai sekutu untuk menghancurkan kelompok islam yang menjadi musuhnya, tidak peduli korbannya termasuk orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang perseteruan itu, seperti haji Joko yang hanya karena rasa tidak sukanya pada Haji Bambang tega mengorbankan orang-orang luar Kuta Permai yang ingin melaksanakan Shalat Jum'at di mesjid Istiqamah. Kasus seperti ini terjadi di Pakistan, Afghanistan, Iraq, Kuwait dan berbagai belahan dunia lain.
Entah kenapa dalam menyelesaikan masalah kita sulit sekali mengembangkan dialog di antara kita sendiri entah itu dalam skala kecil seperti di Kuta Permai ini maupun secara skala besar entah itu antar golongan atau antar negara.
Wassalam
Win Wan Nur
Lama tidak mengikuti perkembangan milis saya menemukan satu pembahasan menarik tentang sejarah asal-usul Gayo yang dikaitkan dengan kekeberan yang diceritakan oleh Almarhum Tgk Ilyas Leubee.
Bagi saya sendiri dan mungkin juga banyak orang Gayo, tokoh Tgk Ilyas Leubee ini adalah satu sosok istimewa yang sudah menjadi legenda dalam arti sebenarnya, cerita tentang beliau sendiripun di banyak tempat sudah bercampur antara kenyataan dan fiksi, banyak cerita yang beredar di kalangan masyarakat Gayo tentang keistimewaan dan tingginya ilmu beliau baik dalam pengertian ilmu agama maupun ilmu olah kanuragan. Meskipun saya sendiri hadir di rumah beliau di bandar lampahan ketika beliau meninggal dunia, karena diajak oleh ibu saya, kebetulan waktu itu ibu saya bertugas sebagai guru di SD Inpres Karang Jadi, tidak jauh dari Bandar Lampahan, saya sendiripun bersekolah di sekolah yang sama dan saat itu masih duduk di kelas satu.
Tapi karena waktu itu saya masih kecil dan belum mengerti apa-apa, saya sama sekali tidak menyadari siapa dan sebesar apa tokoh yang meninggal ini. Kemudian ketika saya agak besar saya banyak mendengar obrolan-obrolan diantara orang-orang tua tentang beliau, dari situ saya tahu betapa besar tokoh ini terutama di kalangan orang Gayo yang tinggal dalam domain Ciq atau kalau dalam pembagian praktek keagamaan di Tanoh Gayo disebut 'kaum tue'. salah satu yang tidak percaya bahwa Tgk Ilyas Leubee benar-benar telah meninggal adalah almarhum kakek saya dari pihak ibu di Temung Penanti, bahkan sampai akhir hayatnya beliau yakin Tgk Ilyas Leubee masih hidup, beliau percaya Tgk Ilyas Leubee yang punya kesaktian luar biasa tidak akan mungkin meninggal semudah itu, dan kakek saya itu tidak sendirian teman-teman seangkatan beliaupun banyak yang berprinsip sama, lalu tidak sedikit pula teman-teman bermain yang seumuran saya di Temung Penanti yang mendengarkan obrolan kakek-kakek kami di 'Joyah' juga mempercayai kalau beliau masih hidup. Bahkan saat itu saya sendiripun juga terpengaruh oleh keyakinan kakek saya.
Saya sendiri sudah mendengar kekeberen yang diceritakan oleh Tgk.Ilyas Leubee ini sekitar lima tahun yang lalu di rumah seorang teman, cerita yang mirip tentang asal-usul atau sejarah Gayo seperti itu dengan versi atau beberapa detail yang berbeda juga sering saya dengar dari orang-orang tua Gayo, termasuk kakek saya dari pihak ayah di Isaq, umumnya cerita yang saya dengan memang selalu melibatkan cerita tentang RUM alias Romawi Timur alias Turki.
Saya setuju dengan pendapat beberapa teman di sini kalau cerita semacam itu harus kita lestarikan sebagai salah satu dokumen budaya kita. Tapi saya pikir adalah terlalu naif kalau kita menjadikan kekeberen seperti itu sebagai acuan sejarah dalam pengertian ILMIAH. Karena menurut saya syarat utama bahwa sejarah dapat disebut sejarah dalam pengertian ILMIAH adalah sejarah yang kebenarannya bisa diverifikasi dan difalsifikasi, dapat diuji oleh pihak netral.
Berdasarkan pengertian ILMIAH seperti itu, kekeberen Almarhum Tgk.Ilyas Leubee sulit sekali memeneuhi kriteria 'bisa diverifikasi dan difalsifikasi', karena cerita tersebut sudah campur aduk antara legenda,dongeng dan fakta, kecuali kita mau membuat pengertian ILMIAH dengan tafsiran lain. Campur aduknya antara legenda,dongeng dan fakta dalam kekeberen seperti itu tidaklah mengherankan karena pada masa lalu kita memang tidak memiliki tradisi tulisan, cerita yang berkembang dalam masyarakat kita berkembang melalui tradisi lisan, disampaikan melalui metode mulut ke mulut. Karakter dari cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut adalah cerita yang disampaikan tidak pernah persis sama dari satu mulut ke mulut lain karena cerita tersebut terus berkembang menurut imajinasi si penyampai. Contohnya bisa dilihat dari berkembangnya cerita tentang kesaktian Almarhum Tgk Ilyas Leubee sendiri di kampung-kampung seperti yang saya ceritakan sebelumnya dan cerita seperti ini bukan hanya berkembang di daerah pinggiran kota Takengon, bahkan jauh di tanah Fak-fak sana yang masyarakatnya pernah diislamkan oleh almarhum Tgk Ilyas Leubee, keperyaaan bahawa beliau masih hidup atau beliau telah menjadi aulia juga berkembang subur, saya tahu mengenai hal ini karena salah seorang Pakcik (suami bibi saya), berasal dari sana.
Bayangkan itu baru cerita tentang Tgk Ilyas Leubee yang meninggal dunia kurang dari 30 tahun yang lalu, bahkan ceritanya masih bisa diverifikasi melalui anak-anak beliau, bahkan saudara kandung beliaupun masih banyak yang hidup (salah satunya nenek Rusda). Tapi 'memverifikasi dan memfalsifikasi' bukanlah ciri masyarakat dengan tradisi lisan, bagi masyarakat dengan tradisi lisan omongan orang tua adalah fakta.
Meskipun demikian sekali lagi, bagaimanapun juga cerita kekeberen seperti yang disampaikan oleh almarhum Tgk.Ilyas Leubee memang wajib kita lestarikan sebagai salah satu dokumen budaya kita dan silahkan saja kalau diantara kita secara pribadi mau mempercayai cerita melalui jalur kekeberen itu.
Tapi kalau ada yang berminat untuk mengenal lebih jauh tentang sejarah asal-usul kita melalui jalur etnografi dan study linguistik, mungkin saya bisa sedikit berbagi, tidak harus dipercayai tapi sekali lagi hanya sekedar berbagi.
Dari beberapa literatur yang saya baca dan obrolan dan diskusi dengan beberapa teman yang kebetulan mendalami studi di bidang ini, saya mendapatkan informasi kalau kita suku Gayo ini adalah salah satu rumpun suku Austronesia, termasuk didalamnya Jawa dan Bali dan orang Philiphina. Dan secara etnografi memang harus kita akui kalau Gayo berbeda dengan suku Aceh. salah satu dari kutipan literatur yang menjelaskan bahwa Gayo merupakan rumpun suku Austronesia adalahs eperti yang saya kutip dari tulisan Bowen berikut ini : "study of the Gayo Language suggest that the Gayo may have lived on the north coast of Aceh and not in their present homeland. Gayo is an AUSTRONESIAN language related to Malay and to the Batak Languages. It also contains a number of words from the Mon-Khmer language family of mainland Southeast Asia, words not found in Acehnese."
Ketika mengatakan Gayo sebagai bagian Aceh, banyak orang yang rancu menempatkan Aceh sebagai suku dan Aceh sebagai sebuah bangsa, ini penting untuk diluruskan karena Gayo jelas adalah bagian dari Aceh sebagai sebuah bangsa bukan bagian dari Aceh sebagai sebuah suku, Aceh sebagai sebuah bangsa adalah Aceh yang berbahasa melayu, bukan Aceh yang berbahasa Aceh.
Jadi berdasarkan dua uraian di atas, kutipan dari buku Bowen dan fakta yang membedakan Aceh sebagai sebuah suku dan Aceh sebagai sebuah bangsa, sama sekali tidak ada keharusan bagi orang Gayo untuk bisa berbahasa Aceh, seperti anjuran seorang teman di milis Aceh Institute. Karena dalam posisi Aceh sebagai sebuah Bangsa posisi suku Gayo dan suku Aceh adalah SEJAJAR, sama-sama anak bangsa, usaha-usaha untuk menempatkan salah satu dari dua etnis ini dalam posisi yang lebih dominan SAYA JAMIN hanya akan menimbulkan ketegangan dan perpecahan bahkan bukan tidak mungkin pertumpahan darah di antara dua suku satu bangsa ini.
Kalaupun ada orang Gayo yang berminat belajar dan bisa berbahasa Aceh seperti saya misalnya, itu adalah karena pilihan pribadi saya bukan keharusan, sama seperti orang Aceh yang berminat belajar dan lalu fasih bahasa Gayo seperti yang teman saya Fikar, itu adalah pilihan pribadi beliau bukan keharusan. Yang menjadi keharusan bagi suku Aceh dan suku Gayo adalah berbahasa Melayu, karena ini pula kita bisa saling mengerti dalam berdiskusi ini ketika masing-masing kita menggunakan bahasa Melayu. Meskipun ada yang mengatakan Aceh dibajak oleh Melayu faktanya adalah Aceh di bawah Iskandar Muda adalah Aceh yang berbahasa MELAYU.
Secara khusus dibandingkan suku-suku rumpun Austronesia lain, Gayo memang banyak sekali memiliki kemiripan fisik, bahasa dan budaya dengan suku Karo batak dan Toraja, coba bandingkan ukiran kerawang di rumah adat Gayo dengan rumah adat Karo, Batak maupun Toraja.
Kalau bahasa Batak dan Karo jelas bayak kata-kata yang mirip dengan kata-kata bahasa Gayo, Toraja juga demikian misalnya Buntul juga disebut buntul di Toraja, Uren di Gayo disebut Uran di Toraja.
Ketika melakukan kajian linguistik dan etnografi, para ahli antropologi menduga bahwa kita orang Gayo dan suku-suku austronesia lainnya adalah merupakan pecahan dari suku Mon-Khmer yang mendiami wilayah sekitar Burma, Thailand Utara, Kamboja dan Vietnam. Sebagian dari suku-suku ini menyeberang melalui Thailand selatan ke Sumatra, mungkin orang Gayo pertama masuk dari Kuala Langsa, lalu naik ke hulu dan menemukan dataran Linge karena itulah Linge disebut asal orang Gayo. Orang Toraja sendiri nenek moyangnya mendarat di sana mungkin melalui vietnam atau Kamboja dan berlayar ke timur.
Mon-Khmer sendiri adalah penggabungan dari dua etnis yaitu etnis Mon dan etnis Khmer, etnis Mon sendiri adalah percampuran antara suku asli yang mendiami Thailand Utara dengan sekelompok imigran dari India, yang berasal dari daerah yang bernama KALINGA, di negara India modern yang kita kenal sekarang ini KALINGA terletak di sekitar perbatasan negara bagian Orissa dan Andhra Pradesh , mungkin dari kata KALINGA inilah kata LINGE berasal, dan sebutan orang Gayo berasal dari LINGE mungkin ada hubungannya dengan orang Mon yang nenek moyangnya berasal dari KALINGA.
Meskipun tampaknya Gayo, Batak, karo dan Toraja berasal dari nenek moyang yang sama, tidak tertutup kemungkinan pula kesemua etnis ini memang sudah terpisah menjadi etnis yang berbeda sejak sebelum meningalkan daratan besar Asia, kemungkinan ini bisa kita lihat dengan bervariasinya etnis yang berasal dari pecahan suku Mon-Khmer di daratan besar asia saat ini. Misalnya di Thailand ada banyak suku-suku pecahan Mon-Khmer salah satunya ya orang Thai sendiri tapi masih banyak suku-suku pegunungan yang banyak memiliki kemiripan tradisi dan bahasa dengan kita, diantaranya suku Akha, Hmong, Lisu, Karen, Lahu, Mien dan lain-lain.
Demikianlah untuk bahan pertimbangan
Wassalam
Win Wan Nur
Bagi saya sendiri dan mungkin juga banyak orang Gayo, tokoh Tgk Ilyas Leubee ini adalah satu sosok istimewa yang sudah menjadi legenda dalam arti sebenarnya, cerita tentang beliau sendiripun di banyak tempat sudah bercampur antara kenyataan dan fiksi, banyak cerita yang beredar di kalangan masyarakat Gayo tentang keistimewaan dan tingginya ilmu beliau baik dalam pengertian ilmu agama maupun ilmu olah kanuragan. Meskipun saya sendiri hadir di rumah beliau di bandar lampahan ketika beliau meninggal dunia, karena diajak oleh ibu saya, kebetulan waktu itu ibu saya bertugas sebagai guru di SD Inpres Karang Jadi, tidak jauh dari Bandar Lampahan, saya sendiripun bersekolah di sekolah yang sama dan saat itu masih duduk di kelas satu.
Tapi karena waktu itu saya masih kecil dan belum mengerti apa-apa, saya sama sekali tidak menyadari siapa dan sebesar apa tokoh yang meninggal ini. Kemudian ketika saya agak besar saya banyak mendengar obrolan-obrolan diantara orang-orang tua tentang beliau, dari situ saya tahu betapa besar tokoh ini terutama di kalangan orang Gayo yang tinggal dalam domain Ciq atau kalau dalam pembagian praktek keagamaan di Tanoh Gayo disebut 'kaum tue'. salah satu yang tidak percaya bahwa Tgk Ilyas Leubee benar-benar telah meninggal adalah almarhum kakek saya dari pihak ibu di Temung Penanti, bahkan sampai akhir hayatnya beliau yakin Tgk Ilyas Leubee masih hidup, beliau percaya Tgk Ilyas Leubee yang punya kesaktian luar biasa tidak akan mungkin meninggal semudah itu, dan kakek saya itu tidak sendirian teman-teman seangkatan beliaupun banyak yang berprinsip sama, lalu tidak sedikit pula teman-teman bermain yang seumuran saya di Temung Penanti yang mendengarkan obrolan kakek-kakek kami di 'Joyah' juga mempercayai kalau beliau masih hidup. Bahkan saat itu saya sendiripun juga terpengaruh oleh keyakinan kakek saya.
Saya sendiri sudah mendengar kekeberen yang diceritakan oleh Tgk.Ilyas Leubee ini sekitar lima tahun yang lalu di rumah seorang teman, cerita yang mirip tentang asal-usul atau sejarah Gayo seperti itu dengan versi atau beberapa detail yang berbeda juga sering saya dengar dari orang-orang tua Gayo, termasuk kakek saya dari pihak ayah di Isaq, umumnya cerita yang saya dengan memang selalu melibatkan cerita tentang RUM alias Romawi Timur alias Turki.
Saya setuju dengan pendapat beberapa teman di sini kalau cerita semacam itu harus kita lestarikan sebagai salah satu dokumen budaya kita. Tapi saya pikir adalah terlalu naif kalau kita menjadikan kekeberen seperti itu sebagai acuan sejarah dalam pengertian ILMIAH. Karena menurut saya syarat utama bahwa sejarah dapat disebut sejarah dalam pengertian ILMIAH adalah sejarah yang kebenarannya bisa diverifikasi dan difalsifikasi, dapat diuji oleh pihak netral.
Berdasarkan pengertian ILMIAH seperti itu, kekeberen Almarhum Tgk.Ilyas Leubee sulit sekali memeneuhi kriteria 'bisa diverifikasi dan difalsifikasi', karena cerita tersebut sudah campur aduk antara legenda,dongeng dan fakta, kecuali kita mau membuat pengertian ILMIAH dengan tafsiran lain. Campur aduknya antara legenda,dongeng dan fakta dalam kekeberen seperti itu tidaklah mengherankan karena pada masa lalu kita memang tidak memiliki tradisi tulisan, cerita yang berkembang dalam masyarakat kita berkembang melalui tradisi lisan, disampaikan melalui metode mulut ke mulut. Karakter dari cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut adalah cerita yang disampaikan tidak pernah persis sama dari satu mulut ke mulut lain karena cerita tersebut terus berkembang menurut imajinasi si penyampai. Contohnya bisa dilihat dari berkembangnya cerita tentang kesaktian Almarhum Tgk Ilyas Leubee sendiri di kampung-kampung seperti yang saya ceritakan sebelumnya dan cerita seperti ini bukan hanya berkembang di daerah pinggiran kota Takengon, bahkan jauh di tanah Fak-fak sana yang masyarakatnya pernah diislamkan oleh almarhum Tgk Ilyas Leubee, keperyaaan bahawa beliau masih hidup atau beliau telah menjadi aulia juga berkembang subur, saya tahu mengenai hal ini karena salah seorang Pakcik (suami bibi saya), berasal dari sana.
Bayangkan itu baru cerita tentang Tgk Ilyas Leubee yang meninggal dunia kurang dari 30 tahun yang lalu, bahkan ceritanya masih bisa diverifikasi melalui anak-anak beliau, bahkan saudara kandung beliaupun masih banyak yang hidup (salah satunya nenek Rusda). Tapi 'memverifikasi dan memfalsifikasi' bukanlah ciri masyarakat dengan tradisi lisan, bagi masyarakat dengan tradisi lisan omongan orang tua adalah fakta.
Meskipun demikian sekali lagi, bagaimanapun juga cerita kekeberen seperti yang disampaikan oleh almarhum Tgk.Ilyas Leubee memang wajib kita lestarikan sebagai salah satu dokumen budaya kita dan silahkan saja kalau diantara kita secara pribadi mau mempercayai cerita melalui jalur kekeberen itu.
Tapi kalau ada yang berminat untuk mengenal lebih jauh tentang sejarah asal-usul kita melalui jalur etnografi dan study linguistik, mungkin saya bisa sedikit berbagi, tidak harus dipercayai tapi sekali lagi hanya sekedar berbagi.
Dari beberapa literatur yang saya baca dan obrolan dan diskusi dengan beberapa teman yang kebetulan mendalami studi di bidang ini, saya mendapatkan informasi kalau kita suku Gayo ini adalah salah satu rumpun suku Austronesia, termasuk didalamnya Jawa dan Bali dan orang Philiphina. Dan secara etnografi memang harus kita akui kalau Gayo berbeda dengan suku Aceh. salah satu dari kutipan literatur yang menjelaskan bahwa Gayo merupakan rumpun suku Austronesia adalahs eperti yang saya kutip dari tulisan Bowen berikut ini : "study of the Gayo Language suggest that the Gayo may have lived on the north coast of Aceh and not in their present homeland. Gayo is an AUSTRONESIAN language related to Malay and to the Batak Languages. It also contains a number of words from the Mon-Khmer language family of mainland Southeast Asia, words not found in Acehnese."
Ketika mengatakan Gayo sebagai bagian Aceh, banyak orang yang rancu menempatkan Aceh sebagai suku dan Aceh sebagai sebuah bangsa, ini penting untuk diluruskan karena Gayo jelas adalah bagian dari Aceh sebagai sebuah bangsa bukan bagian dari Aceh sebagai sebuah suku, Aceh sebagai sebuah bangsa adalah Aceh yang berbahasa melayu, bukan Aceh yang berbahasa Aceh.
Jadi berdasarkan dua uraian di atas, kutipan dari buku Bowen dan fakta yang membedakan Aceh sebagai sebuah suku dan Aceh sebagai sebuah bangsa, sama sekali tidak ada keharusan bagi orang Gayo untuk bisa berbahasa Aceh, seperti anjuran seorang teman di milis Aceh Institute. Karena dalam posisi Aceh sebagai sebuah Bangsa posisi suku Gayo dan suku Aceh adalah SEJAJAR, sama-sama anak bangsa, usaha-usaha untuk menempatkan salah satu dari dua etnis ini dalam posisi yang lebih dominan SAYA JAMIN hanya akan menimbulkan ketegangan dan perpecahan bahkan bukan tidak mungkin pertumpahan darah di antara dua suku satu bangsa ini.
Kalaupun ada orang Gayo yang berminat belajar dan bisa berbahasa Aceh seperti saya misalnya, itu adalah karena pilihan pribadi saya bukan keharusan, sama seperti orang Aceh yang berminat belajar dan lalu fasih bahasa Gayo seperti yang teman saya Fikar, itu adalah pilihan pribadi beliau bukan keharusan. Yang menjadi keharusan bagi suku Aceh dan suku Gayo adalah berbahasa Melayu, karena ini pula kita bisa saling mengerti dalam berdiskusi ini ketika masing-masing kita menggunakan bahasa Melayu. Meskipun ada yang mengatakan Aceh dibajak oleh Melayu faktanya adalah Aceh di bawah Iskandar Muda adalah Aceh yang berbahasa MELAYU.
Secara khusus dibandingkan suku-suku rumpun Austronesia lain, Gayo memang banyak sekali memiliki kemiripan fisik, bahasa dan budaya dengan suku Karo batak dan Toraja, coba bandingkan ukiran kerawang di rumah adat Gayo dengan rumah adat Karo, Batak maupun Toraja.
Kalau bahasa Batak dan Karo jelas bayak kata-kata yang mirip dengan kata-kata bahasa Gayo, Toraja juga demikian misalnya Buntul juga disebut buntul di Toraja, Uren di Gayo disebut Uran di Toraja.
Ketika melakukan kajian linguistik dan etnografi, para ahli antropologi menduga bahwa kita orang Gayo dan suku-suku austronesia lainnya adalah merupakan pecahan dari suku Mon-Khmer yang mendiami wilayah sekitar Burma, Thailand Utara, Kamboja dan Vietnam. Sebagian dari suku-suku ini menyeberang melalui Thailand selatan ke Sumatra, mungkin orang Gayo pertama masuk dari Kuala Langsa, lalu naik ke hulu dan menemukan dataran Linge karena itulah Linge disebut asal orang Gayo. Orang Toraja sendiri nenek moyangnya mendarat di sana mungkin melalui vietnam atau Kamboja dan berlayar ke timur.
Mon-Khmer sendiri adalah penggabungan dari dua etnis yaitu etnis Mon dan etnis Khmer, etnis Mon sendiri adalah percampuran antara suku asli yang mendiami Thailand Utara dengan sekelompok imigran dari India, yang berasal dari daerah yang bernama KALINGA, di negara India modern yang kita kenal sekarang ini KALINGA terletak di sekitar perbatasan negara bagian Orissa dan Andhra Pradesh , mungkin dari kata KALINGA inilah kata LINGE berasal, dan sebutan orang Gayo berasal dari LINGE mungkin ada hubungannya dengan orang Mon yang nenek moyangnya berasal dari KALINGA.
Meskipun tampaknya Gayo, Batak, karo dan Toraja berasal dari nenek moyang yang sama, tidak tertutup kemungkinan pula kesemua etnis ini memang sudah terpisah menjadi etnis yang berbeda sejak sebelum meningalkan daratan besar Asia, kemungkinan ini bisa kita lihat dengan bervariasinya etnis yang berasal dari pecahan suku Mon-Khmer di daratan besar asia saat ini. Misalnya di Thailand ada banyak suku-suku pecahan Mon-Khmer salah satunya ya orang Thai sendiri tapi masih banyak suku-suku pegunungan yang banyak memiliki kemiripan tradisi dan bahasa dengan kita, diantaranya suku Akha, Hmong, Lisu, Karen, Lahu, Mien dan lain-lain.
Demikianlah untuk bahan pertimbangan
Wassalam
Win Wan Nur
Hari Ini 7 Tahun Yang Lalu (In Memoriam Harry Burton)
Hari ini, tujuh tahun yang lalu aku disewa oleh team Reuters untuk menjadi interpreter bagi wartawan dan kameramen mereka, aku disewa untuk menemani mereka untuk meliput suasana HUT kemerdekaan RI di Aceh. Wilayah yang akan kami tuju sebagai tempat liputan adalah markas GAM wilayah Pasee di Lhokseumawe sana.
Jam 8 Pagi sesuai janji, di depan hotel Kuala Tripa, aku bertemu dengan Team Reuter yang terdiri dari Terry Friel (senior reporter), Bea Wiharta (fotografer) dan Harry Burton (kameramen), dalam melakukan liputan ini kami ditemani oleh Bang Popon sebagai driver yang menyopiri sendiri mobil Toyota Kijang warna hijau miliknya. Sesaat sebelum berangkat anggota Team ini bertambah satu orang lagi, Murizal Hamzah wartawan Media Kutaraja yang konon diajak serta oleh Bea Wiharta (kusebut konon karena aku sendiri tidak tahu persis bagaimana ceritanya Murizal jadi ikut bersama kami, karena Mufi yang menjadi penghubungku dengan Reuters sebelumnya mengatakan cuma aku sendiri yang menjadi interpreter).
Setelah semuanya beres kami langsung berangkat, dalam kota Banda Aceh suasana terasa biasa saja. Tapi sejak melewati simpang Surabaya, suasana lengang langsung terasa, maklumlah saat itu GAM yang sejak bergulirnya reformasi posisinya sudah semakin menguat dan semakin mendapatkan simpati di berbagai pelosok Aceh mengeluarkan maklumat supaya rakyat Aceh memboikot peringatan ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-56 saat itu dan sepertinya sejauh ini seruan itu berhasil, entah itu karena dilaksankan dengan sukarela ataupun karena khawatir akan keselamatan pribadi. Jalan Banda Aceh-Medan yang biasanya ramai dengan lalu lintas, entah itu sepeda motor, labi-labi, Bus antar kota dan Truk pengangkut barang saat itu lengang dan tidak ada satu kendaraan lainpun yang melintas kecuali mobil Toyota Kijang milik Bang Popon yang kami tumpangi, selain berhenti dibeberapa pos tentara untuk pemeriksaan kami tidak mendapat hambatan apa-apa sampai ke Seulimum, Di sebuah pos tentara, seorang tentara yang memeriksa identitas kami dengan iseng menyapa dengan bahasa Khmer, Terry yang pernah bertugas meliput di Kamboja segera mengetahui kalau pak tentara ini adalah mantan anggota pasukan Garuda yang pernah bertugas menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB di Kamboja di daerah Kom phong thom. Lalu mereka berdua langsung akrab dan bercerita pengalaman masing-masing selama bertugas di sana.
Baru setelah melewati Seulimum, di sebuah belokan menanjak tidak jauh dari simpang desa Teladan, perjalanan kami terhambat karena ditengah badan jalan yang sedianya akan kami lewati dipenuhi dengan rebahan batang Pohon entah itu pohon pelindung jalan maupun pohon kelapa, bahkan di tengah badan jalan ada sebuah gardu jaga beratap rumbia yang diletakkan terlentang, yang sepertinya sengaja ditebang dan diletakkan di sana oleh anggota GAM untuk mensukseskan maklumat yang mereka keluarkan. Bang Popon menghentikan mobilnya, lalu kami semua keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan disekitar tempat itu, aku dan Harry sempat minum air kelapa muda dari buah kelapa yang kami petik dari pohon yang sengaja ditumbangkan itu.
Kami berada di sana sekitar 15 menit, tanpa ada orang lain. Bang Popon meminta saya untuk membujuk Terry yang menjadi kepala rombongan untuk kembali saja ke Banda Aceh, tapi Murizal yang korannya banyak memuat aktivitas GAM bahkan sering menampilkan foto-fota aksi almarhum ayah Teungku Abdullah Syafi'ie, menolak ide itu karena dia yakin pasti ada anggota pasukan GAM yang berada disekitar sana dan dia akan mencoba bernegosiasi agar mereka mengijinkan kami lewat.
Ternyata Murizal benar, di sebuah jalan tanah di balik semak-semak ada tiga orang yang mengenakan kaos hitam lengan panjang yang menenteng senjata AK-47 di punggung memandang ke arah kami dan memberi kode untuk mendekat, Murizal mengangkat kartu identitas wartawannya dan menghampiri ketiga orang itu, saya mengikutinya dari belakang, sementara Bang Popon dan ketiga wartawan Reuters menunggu di badan jalan. Murizal kemudian dalam bahasa Aceh menjelaskan tujuan kami melintas di jalan itu yaitu ingin meliput suasana HUT kemerdekaan RI di markas GAM wilayah Pasee dan sepertinya Pimpinan pasukan GAM itu memaklumi maksud kami, apalagi melihat bersama kami ada 2 orang asing (saat itu dibandingkan wartawan nasional GAM memang lebih welcome terhadap wartawan asing karena dianggap lebih netral dalam memberitakan situasi Aceh saat itu, tidak seperti wartawan dalam negeri yang jelas sekali keberpihakannya kepada RI dan selalu memojokkan GAM). Tapi menurut si pimpinan pasukan, maksud kami tersebut sulit sekali untuk dilaksanakan karena di sepanjang jalan itu mulai dari sana sampai ke Saree seluruh badan jalan telah dipenuhi batang kayu yang sengaja mereka tebang dan mereka tidak mungkin untuk membersihkan semuanya.
Kami hampir memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh, ketika kemudian seorang informan GAM memberitahukan melalui HT kalau ada pasukan RI lengkap dengan panser mendekat ke arah sana, oleh si pimpinan pasukan kami cepat-cepat disuruh kembali ke jalan dan diapun menghilang dalam rimbunan semak. Dan benar saja tidak lama kemudian datang sepasukan Brimob lengkap berjalan kaki dengan didampingi panser dan Truk yang bagian dalam baknya dilapisi gelondongan pohon kelapa untuk menahan peluru.
Ketika melihat kami berada di sana, komandan regu pasukan itu bertanya maksud keberadaan kami di sana yang kami jawab untuk meliput suasana perayaan HUT RI di Aceh, dan kamipun juga bertanya maksud keberadaan mereka di sana yang mereka jawab untuk menjemput Gajah dari Saree serta rombongan peserta HUT RI dari Sigli untuk ikut merayakan perayaan HUT RI ke-56 di Blang Padang, saat itu Pemerintah Aceh melalui Gubernur Abdullah Puteh yang dipilih oleh anggota DPRD siluman* memang berusaha keras memberikan kesan kepada dunia bahwa Aceh aman terkendali dan perayaan HUT RI di Banda Aceh aman dan semarak, untuk maksud itu seluruh wartawan stasiun TV dan koran Nasional sudah bersiaga di Blang Padang untuk meliput 'kesuksesan' dan kemeriahan HUT RI di Banda Aceh.
*Saya menyebut anggota DPRD siluman karena Pemilu 1999 di Aceh gagal total tanpa dihadiri pemilih, seruan boikot pemilu yang dikumandangkan aktivis mahasiswa saat itu benar-benar dituruti warga Aceh, saya tahu persis keadaan ini karena saat itu saya sendiri bertugas sebagai pemantau independen dan tidak satupun pemilih yang hadir di TPS yang saya pantau, tapi meskipun tidak ada pemilih tetap ada anggota DPRD ada ada anggota DPR-RI yang mewakili Aceh, Dari beberapa wawancara yang pernah aku lakukan saat menemani wartawan asing yang menyewaku aku tahu kalau anggota DPRD siluman yang sangat pro Jakarta ini pulalah yang pertama kali mengusulkan diberlakukannya Syari'at Islam dan pembentukan kembali Kodam Iskandar Muda di Aceh, semua mereka lakukan untuk meredam simpati masyarakat Aceh terhadap GAM.*
Kepada komandan regu pasukan itu kami meminta izin untuk ikut bersama mereka dan beliau tidak keberatan, mereka menanyakan kalau-kalau kami bertemu anggota GAM di sekitar situ dan kami jawab tidak ada, lalu anggota pasukan itu bersiaga di sekiar pohon tumbang tersebut sementara anggota pasukan lain dengan mesin chain-saw memotong batang-batang pohon yang terlentang di badan jalan itu menjadi potongan kecil-kecil dan menyingkirkannya dari badan jalan, salah seoarang anggota pasukan menyingkirkan gardu jaga bertiang dan berpapan kayu serta beratap rumbia dari tengah jalan lalu membakarnya, Harry dengan sigap mengarahkan kameranya untuk merekam momen itu demikian juga dengan Bea.
Setelah badan jalan bersih, kami melanjutkan perjalanan pelan-pelan di belakang pasukan Brimob yang berjalan kaki, untuk merekam suasana sepanjang jalan Harry kadang bergantungan di panser atau di bak truk yang dilapisi balok pohon kelapa itu atau bis milik Pemda yang juga ikut dalam rombongan yang rencananya akan digunakan untuk mengangkut rombongan peserta upacara dari Sigli, aku yang kadang juga menumpang dalam bis Pemda itu melihat dengan jelas betapa pucat wajah supir bis ini yang berumur sekitar 50-an tahun.
Kadang pasukan Brimob itu berhenti ketika mendapati rumah yang terletak di pinggir jalan, mereka menggedor pintu rumah-rumah itu bermaksud menanyai pemiliknya siapa pelaku penebangan Pohon di depan rumah mereka, tapi dari sekian banyak rumah yang kami temui di sepanjang jalan yang kami lalui tidak satupun di antara jejeran rumah di pinggir jalan itu yang ditinggali penghuninya. Sepertinya pemilik rumah-rumah itu memilih untuk mengungsi. aku sangat maklum kenapa para pemilik rumah-rumah itu memilih mengosongkan rumah mereka.
Beberapa jauh berjalan, kami mendengar suara tembakan dari dalam semak-semak, para pasukan Brimob yang berjalan paling depan langsung mengarahkan senjata mereka ke arah suara tembakan dan menghamburkan peluru dari moncong senjata mereka, pasukan yang berada di belakang berlarian ikut mengejar dan memuntahkan peluru ke arah yang sama, Harry merekam semua dengan kamera yang dia gendong di bahunya, Bea juga dengan sigap menjepretkan kameranya. Kami mendengar suara tembakan lagi tapi suaranya terdengar menjauh, sepertinya yang melepaskan tembakan itu memancing anggota Brimob untuk mengejarnya ke dalam semak-semak, tapi pasukan Brimob yang berjalan bersama kami tidak terpancing dan memilih melanjutkan perjalanan dengan sikap yang lebih siaga.
Kami terus melanjutkan perjalanan, pasukan Brimob membersihkan setiap batang pohon yang merintangi jalan. Setiap melewati areal persawahan yang di tengahnya ada lahan kering bersemak atau rawa-rawa berhutan Rumbia, para anggota pasukan itu segera menyiramkan peluru dari moncong senjata mereka ke arah yang dianggap bisa dijadikan tempat bersembunyi pasukan GAM tersebut.
Aku yang ikut berjalan dan kadang naik ke Bis dalam rombongan mereka mencoba mengakrabkan diri dengan para anggota pasukan Brimob yang berjalan di bawah terik matahari disamping Panser dengan sikap siaga, dengan peluh yang menetes dari kening dan wajah mereka."capek ya pak jadi anggota pasukan begini", kataku mencoba mengajaknya mengobrol."iya...tapi udah gini selalu kalian tulis kami ini suka melanggar HAM kan", kata anggota Brimob yang kuajak mengobrol tegas, tapi tidak dengan nada marah.Kami terus berjalan bersama mereka sampai akhirnya kami melewati Saree dan tidak ada lagi pohon tumbang di badan jalan kami berpisah.
Kepada anggota pasukan Brimob kami berpamitan dan kamipun melanjutkan perjalanan tanpa hambatan, dan jalan benar-benar lengang kami sama sekali tidak pernah berpapasan atau mendahului kendaraan lain hanya Kijang Hijau milik Bang Popon inilah satu-satunya kendaraan yang melintas di jalan utama yang menghubungkan Banda Aceh dan Medan itu, melihat lancarnya perjalanan, kami yakin akan bisa sampai di Lhokseumawe sebelum malam, dan kami memang harus sampai sebelum malam karena kalau malam, maka GAM lah yang akan menguasai keadaan dan kami khawatirkan mereka akan kembali menebangi pohon di sepanjang jalan dan kami tidak akan mungkin bisa sampai di Lhokseumawe.
Tapi sampai di Trieng Gading terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan, ban mobil Bang Popon pecah dan kami tidak berani mengambil resiko melanjutkan perjalanan tanpa ban serep, mau tidak mau kami terpaksa berhenti dan mencari tempat tambal ban, setelah mencari sekian lama akhirnya tempat menambal ban itu kami temukan.
Ketika perjalanan kami lanjutkan hari mulai sore di tambah dengan berhenti di setiap pos tentara dan polisi di sepanjang jalan untuk pemeriksaan identitas, meskipun prosesnya tidak terlalu lama karena keberadaan Terry dan Harry bersama kami, kami tetap tidak bisa mencapai Lhokseumawe sebelum malam. Ketika kami tiba di Jeunib hari sudah mulai gelap, anggota Kostrad yang memeriksa kami di pos Jeunib menyarankan untuk melanjutkan perjalanan besok pagi saja, tapi kami menolak dan kemudian melanjutkan perjalanan, tapi baru sekitar tujuh menit kami berjalan kami kembali terhalang oleh sebuah pohon kelapa yang sengaja ditumbangkan, kami berhenti dan setelah berdiskusi sebentar kami memutuskan untuk kembali ke arah Jeunib.
Tapi ketika Bang Popon berencana memutar mobil, terdengar sebuah letusan senjata yang diikuti teriakan."Berhenti", bentak suara itu yang diikuti sebuah suara tembakan lagi yang suaranya berasal hanya beberapa meter di depan kami, tapi kami sama sekali tidak melihat si penembak karena suasana sangat gelap dan satu-satunya cahaya yang ada hanya lampu mobil bang popon."Tangan ke atas mobil", bentak suara itu lagi yang lagi-lagi diikuti suara tembakan. Menghadapi sistuasi antara hidup dan mati seperti ini entah kenapa aku tidak gugup, mungkin itu karena sebelumnya aku pernah beberapa kali mengalami situasi nyaris mati,waktu aku masih berumur 4 tahun aku pernah hanyut dan hampir tewas tenggelam di Isaq, waktu naik Burni Kelieten aku juga pernah hampir mati kedinginan dengan dua temanku karena hujan dan tenda kami bocor juga waktu demo reformasi 98 sehari menjelang kejatuhan Soeharto aku pernah diburu-buru aparat. Aku melihat ke arah Terry dan Harry kulihat keduanya tenang demikian juga dengan Bang Popon.
"Semua maju ke depan" perintah suara itu lagi dengan dengan tekanan pada huruf S seperti bacaan hijaiyah huruf 'Tsa' yang seperti biasa diikuti suara tembakan. Bea hanya diam...Murizal terlihat gelisah."Win minta Terry dengan Harry di depan", kata Murizal yang tampak gugup "orangni nggak akan sembarangan nyerang orang asing", tambah Murizal. Tapi aku berpikir sebaliknya, kupikir harus kami yang di depan karena kami yang mengerti bahasa Aceh sehingga bisa bernegosiasi dengan mereka, karena itu aku maju duluan."Tiarap", perintah suara itu lagi dan lagi lagi diikuti tembakan.Aku yang berada di depan langsung tiarap yang langsung diikuti angota rombongan yang lain di belakangku "kami wartawan pak", teriak Bea yang keturunan ambon yang katanya pernah tertembak di paha saat meliput di Timor-timur dengan aksen Jawa, mendengar aksen Bea aku jadi sedikit khawatir pasukan yang menghadang kami jadi emosi, soalnya waktu itu banyak kejadian anggota intel yang menyaru sebagai wartawan.
"kacau ini" pikirku. Tapi Murizal cepat-cepat menimpali dalam bahasa Aceh "Kamoe wartawan Teungku", kata Murizal sambil mengangkat kartu identitasnya. Mereka kemudian menyuruh Bang Popon naik ke mobil dan memutar kendaraan agar cahaya lampu kendaraan itu mengarah ke kami, dan kami tetap tidak dapat melihat apa-apa, malam itu sangat gelap tanpa ada cahaya bulan.
Salah seorang anggota pasukan yang menghadang kami itu, mendekati kami dan memeriksa identitas kami dan ketika mengetahui kami benar-benar rombongan wartawan dia menyuruh kami berdiri dan suasanapun langsung cair, apalagi kemudian salah seorang dari anggota pasukan itu ternyata mengenalku, karena setahun sebelumnya aku pernah menemani wartawan New Yorker sekaligus Senior Political Analist dari ICG bernama Anna Husarska untuk bertemu dengan komandan mereka Tgk. Darwis Jeunib dan saat itu aku dan Anna sempat diajak oleh Teungku Darwis untuk memeriksa barisan pasukan beliau di markasnya di sekitar daerah Plimbang, tampaknya anggota yang menghadang ini adalah salah satu anggota pasukan yang ada dalam barisan dulu. Dengan ramah mereka kemudian menyarankan kami untuk kembali ke Jeunib dan bermalam di sana, karena menurut mereka malam ini situasi sangat tidak aman bagi kami, masih menurut mereka, keberadaan mereka di sana adalah untuk menghadang pasukan RI yang melintas.
Melihat suasana yang sudah cair, Harry tidak ingin meyia-nyiakan kesempatan, dia segera memasang Tripod-nya dan memasang kamera, meminta pasukan yang tadi menghadang kami kembali ke posisi semula seperti saat menghadang kami tadi. Mereka tidak keberatan tapi sebentar saja dan harus buru-buru, kata pimpinan pasukan itu, karena menurut informasi yang dia terima dari informannya sekitar 10 menit lagi akan ada REO (kendaraan pengangkut pasukan RI) akan melintas dan mereka akan melakukan penghadangan, Harry setuju dan mereka segera tiarap dan mengarahkan moncong AK-47 mereka ke arah kami.Setelah Harry mengambil gambar komandan pasukan penghadang itu menyuruh kami cepat-cepat membereskan peralatan dan segera kembali ke Jeunib karena mereka akan segera melakukan pertempuran. Kami kembali dengan terburu-buru, dan belum jauh kami berjalan kami mendengar suara tembakan sahut-menyahut, sepertinya pertempuran sudah terjadi. Akhirnya kami gagal meliput acara HUT kemerdekaan di Pasee.
Malam itu kami menginap di POM Bensin Jeunib, penduduk setempat berdatangan mendatangi kami, mereka dengan sukarela membantu kami membelikan makanan, Harry mengeluarkan peralatan editingnya mengeluarkan antena dan mengirimkan gambar-gambar yang seharian ini kami dapatkan melalui satelit ke kantor Reuters untuk Asia Tenggara di Singapore. Terry dengan antusias menelpon istrinya yang juga wartawan menceritakan apa yang baru kami alami, lebih dari sejam mungkin dia menelpon istrinya dengan menggunakan earphone sambil berjalan mondar-mandir di POM bensin itu."apa istri kamu khawatir", tanyaku pada Terry ketika dia selesai menelpon."nggak dia iri, dia kesal kenapa dia nggak ada di sini mengalami apa yang kita alami tadi", jawab Terry.
Besoknya Tanggal 17Agustus 2001 kami bangun pagi-pagi dan melihat tentara yang berjaga di Pos Jeunib berbaris menuju lokasi kami dihadang tadi malam, di depan setiap rumah terpancang tiang dengan bendera merah putih, kemudian seluruh penduduk diperintahkan untuk berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Setelah selesai upacara kami melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe, kali ini perjalanan kami lancar jalan-jalan sudah dibersihkan dari berbgai rintangan baik pohon kelapa maupun tiang listrik. Murizal mengatur pertemuan dengan pasukan GAM di sana untuk melakukan upacara, kami tidak dapat bertemu dengan Abu Sofyan Dawood komandan wilyah Pasee, tapi kami berhasil bertemu dengan Gubernur Wilayah pasee dan Amri Bin Abdul Wahab komandan komando pusat Tiro yang belakangan beberapa tahun kemudian setelah aku tidak lagi tinggal di Aceh kulihat di televisi berbalik mendukung RI, (belakangan juga ketika aku membaca Serambi, kubaca Serambi mengutip pernyataan Abu Sofyan Dawood yang diwawancarai Reuters tanggal 17 agustus 2001, rupanya Terry menyangka Amri yang dia wawancarai adalah Abu Sofyan Dawood sehingga berita yang diterima seluruh media di dunia secara salah kaprah menyebut yang kami wawancarai saat itu adalah Abu Sofyan Dawood bukan Amri). wawancara kami lakukan dengan santai di sebuah tambak udang di bawah pengawalan pasukan GAM. Sebagai tuan rumah Amri dan Gubernur Pasee melayani kami dengan sangat baik dan ramah, mereka membelikan kami masing-masing sebotol sprite.
Kembali dari sana kami sedikit melakukan peliputan di kota Lhokseumawe dan malamnya menginap di guest house PT.Arun yang dijaga ketat siang dan malam.
Saat berada di guest house tersebut itu ada satu hal yang tidak pernah bisa lagi aku lupakan, ketika kami berada di kamar aku berbincang-bincang dengan Harry, kutanyakan apakah dia merasa takut waktu kami dihadang malam kemarin."Tidak", jawab Harry."apa kamu nggak takut mati?", tanyaku lagi."Nggak, malah kalau harus mati, kupikir seperti kemarin itulah waktu yang paling tepat untuk mati", jawab Harry tenang. kata-kata Harry itu terus kuingat.
Tiga bulan kemudian, November 2001, Amerika menyerang Afghanistan, kulihat di Metro malam ada berita yang mengabarkan tentang rombongan wartawan yang tewas menjadi korban, kabarnya ada seorang wartawan reuters yang ikut tewas melihat berita itu aku langsung teringat apa yang kami alami 3 bulan sebelumnya, aku teringat pada jawaban Terry yang menelpon istrinya dan jawaban Harry ketika kutanya perasaannya saat menghadapi maut.
Pagi harinya, seperti biasa bangun tidur dan mencuci muka aku keluar dari kamar kost-ku aku keluar untuk minum teh setengah panas dan makan indomie soto Medan di warung Selekta di simpang jalan cumi-cumi Lamprit di ujung jalan tempat kost-ku, aku membuka lembar koran serambi penasaran ingin mengetahui lebih detail berita yang kulihat tadi malam, dan ketika lembaran koran itu aku buka, aku benar-benar kaget melihat foto Harry yang sedang merekam suasana demonstrasi di DPR tahun 1998 terpampang di salah satu kolom berita Serambi yang dibawahnya memuat berita bahwa Harry adalah salah satu wartawan yang tewas dalam serangan kemarin.
"kalau harus mati, kupikir seperti kemarin itulah waktu yang paling tepat untuk mati"...Kata-kata Harry ini kembali terngiang dikepalaku, Harry akhirnya benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.
Dua bulan yang lalu, aku kebetulan berkesempatan main ke Bali, aku mampir ke Nyuh Kuning, sebuah desa di pinggiran Ubud mengunjungi seorang teman lama asal Aceh bernama Dandy Montgomery yang juga seperti Almarhum Harry Burton berkarir sebagai kameramen. di sana aku bertemu dan berbincang cukup lama dengan Dandy dan istrinya yang juga pernah lama jadi wartawan yang juga teman lamaku semasa di Banda Aceh dulu bernama Rayhan yang sempat lama berkarir di detik.com.
Dalam sebuah obrolan Dandy menceritakan kepadaku kalau dia pernah hampir mendapatkan penghargaan Harry Burton awards, mendengar nama ini disebut aku tersentak rupanya sekarang nama Harry telah diabadikan untuk nama sebuah penghargaan bagi kameramen terbaik, kupikir ini sebuah penamaan yang pantas untuk mengenang seorang kameramen pemberani dan berdedikasi yang pernah kukenal ini, mendengar cerita Dandy aku kembali teringat pengalaman bersama Harry malam itu.
Hari ini ketika tanggal dan bulan yang sama dengan hari saat kami pernah hampir mati bersama-sama dulu berulang kembali, aku tergerak menuliskan cerita ini untuk sekedar mengingat sepenggal kisah semasa hidup teman kita yang bernama Harry Burton ini, dan sekaligus mengingatkan kita betapa tidak nyamannya suasana di Aceh kita tercinta di tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini tujuh tahun yang lalu, mudah-mudahan cerita ini bisa dijadikan sebagai cermin bagi kita. Dan semoga pula Aceh tidak pernah lagi mengalami suasana mencekam dan penuh teror seperti tujuh tahun yang lalu, semoga kedamaian yang sudah kita dapatkan ini tidak lagi diusik dengan berbagai manuver politik dari berbagai elit politik yang menginginkan keuntungan sesaat bagi diri dan kelompok kecilnya dengan mengorbankan mahalnya suasana damai yang sudah kita dapatkan sekarang.
Buat Harry, dengan terkabulnya harapanmu semoga sekarang kamu bisa tersenyum di alam lain sana, alam yang entah kamu percaya atau tidak keberadaannya di masa hidupmu dulu.
Wassalam
Win Wan Nur
Jam 8 Pagi sesuai janji, di depan hotel Kuala Tripa, aku bertemu dengan Team Reuter yang terdiri dari Terry Friel (senior reporter), Bea Wiharta (fotografer) dan Harry Burton (kameramen), dalam melakukan liputan ini kami ditemani oleh Bang Popon sebagai driver yang menyopiri sendiri mobil Toyota Kijang warna hijau miliknya. Sesaat sebelum berangkat anggota Team ini bertambah satu orang lagi, Murizal Hamzah wartawan Media Kutaraja yang konon diajak serta oleh Bea Wiharta (kusebut konon karena aku sendiri tidak tahu persis bagaimana ceritanya Murizal jadi ikut bersama kami, karena Mufi yang menjadi penghubungku dengan Reuters sebelumnya mengatakan cuma aku sendiri yang menjadi interpreter).
Setelah semuanya beres kami langsung berangkat, dalam kota Banda Aceh suasana terasa biasa saja. Tapi sejak melewati simpang Surabaya, suasana lengang langsung terasa, maklumlah saat itu GAM yang sejak bergulirnya reformasi posisinya sudah semakin menguat dan semakin mendapatkan simpati di berbagai pelosok Aceh mengeluarkan maklumat supaya rakyat Aceh memboikot peringatan ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-56 saat itu dan sepertinya sejauh ini seruan itu berhasil, entah itu karena dilaksankan dengan sukarela ataupun karena khawatir akan keselamatan pribadi. Jalan Banda Aceh-Medan yang biasanya ramai dengan lalu lintas, entah itu sepeda motor, labi-labi, Bus antar kota dan Truk pengangkut barang saat itu lengang dan tidak ada satu kendaraan lainpun yang melintas kecuali mobil Toyota Kijang milik Bang Popon yang kami tumpangi, selain berhenti dibeberapa pos tentara untuk pemeriksaan kami tidak mendapat hambatan apa-apa sampai ke Seulimum, Di sebuah pos tentara, seorang tentara yang memeriksa identitas kami dengan iseng menyapa dengan bahasa Khmer, Terry yang pernah bertugas meliput di Kamboja segera mengetahui kalau pak tentara ini adalah mantan anggota pasukan Garuda yang pernah bertugas menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB di Kamboja di daerah Kom phong thom. Lalu mereka berdua langsung akrab dan bercerita pengalaman masing-masing selama bertugas di sana.
Baru setelah melewati Seulimum, di sebuah belokan menanjak tidak jauh dari simpang desa Teladan, perjalanan kami terhambat karena ditengah badan jalan yang sedianya akan kami lewati dipenuhi dengan rebahan batang Pohon entah itu pohon pelindung jalan maupun pohon kelapa, bahkan di tengah badan jalan ada sebuah gardu jaga beratap rumbia yang diletakkan terlentang, yang sepertinya sengaja ditebang dan diletakkan di sana oleh anggota GAM untuk mensukseskan maklumat yang mereka keluarkan. Bang Popon menghentikan mobilnya, lalu kami semua keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan disekitar tempat itu, aku dan Harry sempat minum air kelapa muda dari buah kelapa yang kami petik dari pohon yang sengaja ditumbangkan itu.
Kami berada di sana sekitar 15 menit, tanpa ada orang lain. Bang Popon meminta saya untuk membujuk Terry yang menjadi kepala rombongan untuk kembali saja ke Banda Aceh, tapi Murizal yang korannya banyak memuat aktivitas GAM bahkan sering menampilkan foto-fota aksi almarhum ayah Teungku Abdullah Syafi'ie, menolak ide itu karena dia yakin pasti ada anggota pasukan GAM yang berada disekitar sana dan dia akan mencoba bernegosiasi agar mereka mengijinkan kami lewat.
Ternyata Murizal benar, di sebuah jalan tanah di balik semak-semak ada tiga orang yang mengenakan kaos hitam lengan panjang yang menenteng senjata AK-47 di punggung memandang ke arah kami dan memberi kode untuk mendekat, Murizal mengangkat kartu identitas wartawannya dan menghampiri ketiga orang itu, saya mengikutinya dari belakang, sementara Bang Popon dan ketiga wartawan Reuters menunggu di badan jalan. Murizal kemudian dalam bahasa Aceh menjelaskan tujuan kami melintas di jalan itu yaitu ingin meliput suasana HUT kemerdekaan RI di markas GAM wilayah Pasee dan sepertinya Pimpinan pasukan GAM itu memaklumi maksud kami, apalagi melihat bersama kami ada 2 orang asing (saat itu dibandingkan wartawan nasional GAM memang lebih welcome terhadap wartawan asing karena dianggap lebih netral dalam memberitakan situasi Aceh saat itu, tidak seperti wartawan dalam negeri yang jelas sekali keberpihakannya kepada RI dan selalu memojokkan GAM). Tapi menurut si pimpinan pasukan, maksud kami tersebut sulit sekali untuk dilaksanakan karena di sepanjang jalan itu mulai dari sana sampai ke Saree seluruh badan jalan telah dipenuhi batang kayu yang sengaja mereka tebang dan mereka tidak mungkin untuk membersihkan semuanya.
Kami hampir memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh, ketika kemudian seorang informan GAM memberitahukan melalui HT kalau ada pasukan RI lengkap dengan panser mendekat ke arah sana, oleh si pimpinan pasukan kami cepat-cepat disuruh kembali ke jalan dan diapun menghilang dalam rimbunan semak. Dan benar saja tidak lama kemudian datang sepasukan Brimob lengkap berjalan kaki dengan didampingi panser dan Truk yang bagian dalam baknya dilapisi gelondongan pohon kelapa untuk menahan peluru.
Ketika melihat kami berada di sana, komandan regu pasukan itu bertanya maksud keberadaan kami di sana yang kami jawab untuk meliput suasana perayaan HUT RI di Aceh, dan kamipun juga bertanya maksud keberadaan mereka di sana yang mereka jawab untuk menjemput Gajah dari Saree serta rombongan peserta HUT RI dari Sigli untuk ikut merayakan perayaan HUT RI ke-56 di Blang Padang, saat itu Pemerintah Aceh melalui Gubernur Abdullah Puteh yang dipilih oleh anggota DPRD siluman* memang berusaha keras memberikan kesan kepada dunia bahwa Aceh aman terkendali dan perayaan HUT RI di Banda Aceh aman dan semarak, untuk maksud itu seluruh wartawan stasiun TV dan koran Nasional sudah bersiaga di Blang Padang untuk meliput 'kesuksesan' dan kemeriahan HUT RI di Banda Aceh.
*Saya menyebut anggota DPRD siluman karena Pemilu 1999 di Aceh gagal total tanpa dihadiri pemilih, seruan boikot pemilu yang dikumandangkan aktivis mahasiswa saat itu benar-benar dituruti warga Aceh, saya tahu persis keadaan ini karena saat itu saya sendiri bertugas sebagai pemantau independen dan tidak satupun pemilih yang hadir di TPS yang saya pantau, tapi meskipun tidak ada pemilih tetap ada anggota DPRD ada ada anggota DPR-RI yang mewakili Aceh, Dari beberapa wawancara yang pernah aku lakukan saat menemani wartawan asing yang menyewaku aku tahu kalau anggota DPRD siluman yang sangat pro Jakarta ini pulalah yang pertama kali mengusulkan diberlakukannya Syari'at Islam dan pembentukan kembali Kodam Iskandar Muda di Aceh, semua mereka lakukan untuk meredam simpati masyarakat Aceh terhadap GAM.*
Kepada komandan regu pasukan itu kami meminta izin untuk ikut bersama mereka dan beliau tidak keberatan, mereka menanyakan kalau-kalau kami bertemu anggota GAM di sekitar situ dan kami jawab tidak ada, lalu anggota pasukan itu bersiaga di sekiar pohon tumbang tersebut sementara anggota pasukan lain dengan mesin chain-saw memotong batang-batang pohon yang terlentang di badan jalan itu menjadi potongan kecil-kecil dan menyingkirkannya dari badan jalan, salah seoarang anggota pasukan menyingkirkan gardu jaga bertiang dan berpapan kayu serta beratap rumbia dari tengah jalan lalu membakarnya, Harry dengan sigap mengarahkan kameranya untuk merekam momen itu demikian juga dengan Bea.
Setelah badan jalan bersih, kami melanjutkan perjalanan pelan-pelan di belakang pasukan Brimob yang berjalan kaki, untuk merekam suasana sepanjang jalan Harry kadang bergantungan di panser atau di bak truk yang dilapisi balok pohon kelapa itu atau bis milik Pemda yang juga ikut dalam rombongan yang rencananya akan digunakan untuk mengangkut rombongan peserta upacara dari Sigli, aku yang kadang juga menumpang dalam bis Pemda itu melihat dengan jelas betapa pucat wajah supir bis ini yang berumur sekitar 50-an tahun.
Kadang pasukan Brimob itu berhenti ketika mendapati rumah yang terletak di pinggir jalan, mereka menggedor pintu rumah-rumah itu bermaksud menanyai pemiliknya siapa pelaku penebangan Pohon di depan rumah mereka, tapi dari sekian banyak rumah yang kami temui di sepanjang jalan yang kami lalui tidak satupun di antara jejeran rumah di pinggir jalan itu yang ditinggali penghuninya. Sepertinya pemilik rumah-rumah itu memilih untuk mengungsi. aku sangat maklum kenapa para pemilik rumah-rumah itu memilih mengosongkan rumah mereka.
Beberapa jauh berjalan, kami mendengar suara tembakan dari dalam semak-semak, para pasukan Brimob yang berjalan paling depan langsung mengarahkan senjata mereka ke arah suara tembakan dan menghamburkan peluru dari moncong senjata mereka, pasukan yang berada di belakang berlarian ikut mengejar dan memuntahkan peluru ke arah yang sama, Harry merekam semua dengan kamera yang dia gendong di bahunya, Bea juga dengan sigap menjepretkan kameranya. Kami mendengar suara tembakan lagi tapi suaranya terdengar menjauh, sepertinya yang melepaskan tembakan itu memancing anggota Brimob untuk mengejarnya ke dalam semak-semak, tapi pasukan Brimob yang berjalan bersama kami tidak terpancing dan memilih melanjutkan perjalanan dengan sikap yang lebih siaga.
Kami terus melanjutkan perjalanan, pasukan Brimob membersihkan setiap batang pohon yang merintangi jalan. Setiap melewati areal persawahan yang di tengahnya ada lahan kering bersemak atau rawa-rawa berhutan Rumbia, para anggota pasukan itu segera menyiramkan peluru dari moncong senjata mereka ke arah yang dianggap bisa dijadikan tempat bersembunyi pasukan GAM tersebut.
Aku yang ikut berjalan dan kadang naik ke Bis dalam rombongan mereka mencoba mengakrabkan diri dengan para anggota pasukan Brimob yang berjalan di bawah terik matahari disamping Panser dengan sikap siaga, dengan peluh yang menetes dari kening dan wajah mereka."capek ya pak jadi anggota pasukan begini", kataku mencoba mengajaknya mengobrol."iya...tapi udah gini selalu kalian tulis kami ini suka melanggar HAM kan", kata anggota Brimob yang kuajak mengobrol tegas, tapi tidak dengan nada marah.Kami terus berjalan bersama mereka sampai akhirnya kami melewati Saree dan tidak ada lagi pohon tumbang di badan jalan kami berpisah.
Kepada anggota pasukan Brimob kami berpamitan dan kamipun melanjutkan perjalanan tanpa hambatan, dan jalan benar-benar lengang kami sama sekali tidak pernah berpapasan atau mendahului kendaraan lain hanya Kijang Hijau milik Bang Popon inilah satu-satunya kendaraan yang melintas di jalan utama yang menghubungkan Banda Aceh dan Medan itu, melihat lancarnya perjalanan, kami yakin akan bisa sampai di Lhokseumawe sebelum malam, dan kami memang harus sampai sebelum malam karena kalau malam, maka GAM lah yang akan menguasai keadaan dan kami khawatirkan mereka akan kembali menebangi pohon di sepanjang jalan dan kami tidak akan mungkin bisa sampai di Lhokseumawe.
Tapi sampai di Trieng Gading terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan, ban mobil Bang Popon pecah dan kami tidak berani mengambil resiko melanjutkan perjalanan tanpa ban serep, mau tidak mau kami terpaksa berhenti dan mencari tempat tambal ban, setelah mencari sekian lama akhirnya tempat menambal ban itu kami temukan.
Ketika perjalanan kami lanjutkan hari mulai sore di tambah dengan berhenti di setiap pos tentara dan polisi di sepanjang jalan untuk pemeriksaan identitas, meskipun prosesnya tidak terlalu lama karena keberadaan Terry dan Harry bersama kami, kami tetap tidak bisa mencapai Lhokseumawe sebelum malam. Ketika kami tiba di Jeunib hari sudah mulai gelap, anggota Kostrad yang memeriksa kami di pos Jeunib menyarankan untuk melanjutkan perjalanan besok pagi saja, tapi kami menolak dan kemudian melanjutkan perjalanan, tapi baru sekitar tujuh menit kami berjalan kami kembali terhalang oleh sebuah pohon kelapa yang sengaja ditumbangkan, kami berhenti dan setelah berdiskusi sebentar kami memutuskan untuk kembali ke arah Jeunib.
Tapi ketika Bang Popon berencana memutar mobil, terdengar sebuah letusan senjata yang diikuti teriakan."Berhenti", bentak suara itu yang diikuti sebuah suara tembakan lagi yang suaranya berasal hanya beberapa meter di depan kami, tapi kami sama sekali tidak melihat si penembak karena suasana sangat gelap dan satu-satunya cahaya yang ada hanya lampu mobil bang popon."Tangan ke atas mobil", bentak suara itu lagi yang lagi-lagi diikuti suara tembakan. Menghadapi sistuasi antara hidup dan mati seperti ini entah kenapa aku tidak gugup, mungkin itu karena sebelumnya aku pernah beberapa kali mengalami situasi nyaris mati,waktu aku masih berumur 4 tahun aku pernah hanyut dan hampir tewas tenggelam di Isaq, waktu naik Burni Kelieten aku juga pernah hampir mati kedinginan dengan dua temanku karena hujan dan tenda kami bocor juga waktu demo reformasi 98 sehari menjelang kejatuhan Soeharto aku pernah diburu-buru aparat. Aku melihat ke arah Terry dan Harry kulihat keduanya tenang demikian juga dengan Bang Popon.
"Semua maju ke depan" perintah suara itu lagi dengan dengan tekanan pada huruf S seperti bacaan hijaiyah huruf 'Tsa' yang seperti biasa diikuti suara tembakan. Bea hanya diam...Murizal terlihat gelisah."Win minta Terry dengan Harry di depan", kata Murizal yang tampak gugup "orangni nggak akan sembarangan nyerang orang asing", tambah Murizal. Tapi aku berpikir sebaliknya, kupikir harus kami yang di depan karena kami yang mengerti bahasa Aceh sehingga bisa bernegosiasi dengan mereka, karena itu aku maju duluan."Tiarap", perintah suara itu lagi dan lagi lagi diikuti tembakan.Aku yang berada di depan langsung tiarap yang langsung diikuti angota rombongan yang lain di belakangku "kami wartawan pak", teriak Bea yang keturunan ambon yang katanya pernah tertembak di paha saat meliput di Timor-timur dengan aksen Jawa, mendengar aksen Bea aku jadi sedikit khawatir pasukan yang menghadang kami jadi emosi, soalnya waktu itu banyak kejadian anggota intel yang menyaru sebagai wartawan.
"kacau ini" pikirku. Tapi Murizal cepat-cepat menimpali dalam bahasa Aceh "Kamoe wartawan Teungku", kata Murizal sambil mengangkat kartu identitasnya. Mereka kemudian menyuruh Bang Popon naik ke mobil dan memutar kendaraan agar cahaya lampu kendaraan itu mengarah ke kami, dan kami tetap tidak dapat melihat apa-apa, malam itu sangat gelap tanpa ada cahaya bulan.
Salah seorang anggota pasukan yang menghadang kami itu, mendekati kami dan memeriksa identitas kami dan ketika mengetahui kami benar-benar rombongan wartawan dia menyuruh kami berdiri dan suasanapun langsung cair, apalagi kemudian salah seorang dari anggota pasukan itu ternyata mengenalku, karena setahun sebelumnya aku pernah menemani wartawan New Yorker sekaligus Senior Political Analist dari ICG bernama Anna Husarska untuk bertemu dengan komandan mereka Tgk. Darwis Jeunib dan saat itu aku dan Anna sempat diajak oleh Teungku Darwis untuk memeriksa barisan pasukan beliau di markasnya di sekitar daerah Plimbang, tampaknya anggota yang menghadang ini adalah salah satu anggota pasukan yang ada dalam barisan dulu. Dengan ramah mereka kemudian menyarankan kami untuk kembali ke Jeunib dan bermalam di sana, karena menurut mereka malam ini situasi sangat tidak aman bagi kami, masih menurut mereka, keberadaan mereka di sana adalah untuk menghadang pasukan RI yang melintas.
Melihat suasana yang sudah cair, Harry tidak ingin meyia-nyiakan kesempatan, dia segera memasang Tripod-nya dan memasang kamera, meminta pasukan yang tadi menghadang kami kembali ke posisi semula seperti saat menghadang kami tadi. Mereka tidak keberatan tapi sebentar saja dan harus buru-buru, kata pimpinan pasukan itu, karena menurut informasi yang dia terima dari informannya sekitar 10 menit lagi akan ada REO (kendaraan pengangkut pasukan RI) akan melintas dan mereka akan melakukan penghadangan, Harry setuju dan mereka segera tiarap dan mengarahkan moncong AK-47 mereka ke arah kami.Setelah Harry mengambil gambar komandan pasukan penghadang itu menyuruh kami cepat-cepat membereskan peralatan dan segera kembali ke Jeunib karena mereka akan segera melakukan pertempuran. Kami kembali dengan terburu-buru, dan belum jauh kami berjalan kami mendengar suara tembakan sahut-menyahut, sepertinya pertempuran sudah terjadi. Akhirnya kami gagal meliput acara HUT kemerdekaan di Pasee.
Malam itu kami menginap di POM Bensin Jeunib, penduduk setempat berdatangan mendatangi kami, mereka dengan sukarela membantu kami membelikan makanan, Harry mengeluarkan peralatan editingnya mengeluarkan antena dan mengirimkan gambar-gambar yang seharian ini kami dapatkan melalui satelit ke kantor Reuters untuk Asia Tenggara di Singapore. Terry dengan antusias menelpon istrinya yang juga wartawan menceritakan apa yang baru kami alami, lebih dari sejam mungkin dia menelpon istrinya dengan menggunakan earphone sambil berjalan mondar-mandir di POM bensin itu."apa istri kamu khawatir", tanyaku pada Terry ketika dia selesai menelpon."nggak dia iri, dia kesal kenapa dia nggak ada di sini mengalami apa yang kita alami tadi", jawab Terry.
Besoknya Tanggal 17Agustus 2001 kami bangun pagi-pagi dan melihat tentara yang berjaga di Pos Jeunib berbaris menuju lokasi kami dihadang tadi malam, di depan setiap rumah terpancang tiang dengan bendera merah putih, kemudian seluruh penduduk diperintahkan untuk berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Setelah selesai upacara kami melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe, kali ini perjalanan kami lancar jalan-jalan sudah dibersihkan dari berbgai rintangan baik pohon kelapa maupun tiang listrik. Murizal mengatur pertemuan dengan pasukan GAM di sana untuk melakukan upacara, kami tidak dapat bertemu dengan Abu Sofyan Dawood komandan wilyah Pasee, tapi kami berhasil bertemu dengan Gubernur Wilayah pasee dan Amri Bin Abdul Wahab komandan komando pusat Tiro yang belakangan beberapa tahun kemudian setelah aku tidak lagi tinggal di Aceh kulihat di televisi berbalik mendukung RI, (belakangan juga ketika aku membaca Serambi, kubaca Serambi mengutip pernyataan Abu Sofyan Dawood yang diwawancarai Reuters tanggal 17 agustus 2001, rupanya Terry menyangka Amri yang dia wawancarai adalah Abu Sofyan Dawood sehingga berita yang diterima seluruh media di dunia secara salah kaprah menyebut yang kami wawancarai saat itu adalah Abu Sofyan Dawood bukan Amri). wawancara kami lakukan dengan santai di sebuah tambak udang di bawah pengawalan pasukan GAM. Sebagai tuan rumah Amri dan Gubernur Pasee melayani kami dengan sangat baik dan ramah, mereka membelikan kami masing-masing sebotol sprite.
Kembali dari sana kami sedikit melakukan peliputan di kota Lhokseumawe dan malamnya menginap di guest house PT.Arun yang dijaga ketat siang dan malam.
Saat berada di guest house tersebut itu ada satu hal yang tidak pernah bisa lagi aku lupakan, ketika kami berada di kamar aku berbincang-bincang dengan Harry, kutanyakan apakah dia merasa takut waktu kami dihadang malam kemarin."Tidak", jawab Harry."apa kamu nggak takut mati?", tanyaku lagi."Nggak, malah kalau harus mati, kupikir seperti kemarin itulah waktu yang paling tepat untuk mati", jawab Harry tenang. kata-kata Harry itu terus kuingat.
Tiga bulan kemudian, November 2001, Amerika menyerang Afghanistan, kulihat di Metro malam ada berita yang mengabarkan tentang rombongan wartawan yang tewas menjadi korban, kabarnya ada seorang wartawan reuters yang ikut tewas melihat berita itu aku langsung teringat apa yang kami alami 3 bulan sebelumnya, aku teringat pada jawaban Terry yang menelpon istrinya dan jawaban Harry ketika kutanya perasaannya saat menghadapi maut.
Pagi harinya, seperti biasa bangun tidur dan mencuci muka aku keluar dari kamar kost-ku aku keluar untuk minum teh setengah panas dan makan indomie soto Medan di warung Selekta di simpang jalan cumi-cumi Lamprit di ujung jalan tempat kost-ku, aku membuka lembar koran serambi penasaran ingin mengetahui lebih detail berita yang kulihat tadi malam, dan ketika lembaran koran itu aku buka, aku benar-benar kaget melihat foto Harry yang sedang merekam suasana demonstrasi di DPR tahun 1998 terpampang di salah satu kolom berita Serambi yang dibawahnya memuat berita bahwa Harry adalah salah satu wartawan yang tewas dalam serangan kemarin.
"kalau harus mati, kupikir seperti kemarin itulah waktu yang paling tepat untuk mati"...Kata-kata Harry ini kembali terngiang dikepalaku, Harry akhirnya benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.
Dua bulan yang lalu, aku kebetulan berkesempatan main ke Bali, aku mampir ke Nyuh Kuning, sebuah desa di pinggiran Ubud mengunjungi seorang teman lama asal Aceh bernama Dandy Montgomery yang juga seperti Almarhum Harry Burton berkarir sebagai kameramen. di sana aku bertemu dan berbincang cukup lama dengan Dandy dan istrinya yang juga pernah lama jadi wartawan yang juga teman lamaku semasa di Banda Aceh dulu bernama Rayhan yang sempat lama berkarir di detik.com.
Dalam sebuah obrolan Dandy menceritakan kepadaku kalau dia pernah hampir mendapatkan penghargaan Harry Burton awards, mendengar nama ini disebut aku tersentak rupanya sekarang nama Harry telah diabadikan untuk nama sebuah penghargaan bagi kameramen terbaik, kupikir ini sebuah penamaan yang pantas untuk mengenang seorang kameramen pemberani dan berdedikasi yang pernah kukenal ini, mendengar cerita Dandy aku kembali teringat pengalaman bersama Harry malam itu.
Hari ini ketika tanggal dan bulan yang sama dengan hari saat kami pernah hampir mati bersama-sama dulu berulang kembali, aku tergerak menuliskan cerita ini untuk sekedar mengingat sepenggal kisah semasa hidup teman kita yang bernama Harry Burton ini, dan sekaligus mengingatkan kita betapa tidak nyamannya suasana di Aceh kita tercinta di tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini tujuh tahun yang lalu, mudah-mudahan cerita ini bisa dijadikan sebagai cermin bagi kita. Dan semoga pula Aceh tidak pernah lagi mengalami suasana mencekam dan penuh teror seperti tujuh tahun yang lalu, semoga kedamaian yang sudah kita dapatkan ini tidak lagi diusik dengan berbagai manuver politik dari berbagai elit politik yang menginginkan keuntungan sesaat bagi diri dan kelompok kecilnya dengan mengorbankan mahalnya suasana damai yang sudah kita dapatkan sekarang.
Buat Harry, dengan terkabulnya harapanmu semoga sekarang kamu bisa tersenyum di alam lain sana, alam yang entah kamu percaya atau tidak keberadaannya di masa hidupmu dulu.
Wassalam
Win Wan Nur
Langganan:
Postingan (Atom)