Senin, 19 April 2010

Tahafut al-Falasifah dan Kerancuan Filsafat Al-Ghazali (Membongkar Fitnah Teuku Zulkhairi)

Sebelum terjadi tsunami, Aceh adalah wilayah yang sangat sepi dari debat-debat intelektual. Perkembangan intelektual di Aceh begitu kering dan nyaris tanpa dinamika, kelompok diskusi hampir tidak bisa ditemukan sama sekali.

Tapi pasca tsunami semua berubah total. Aceh yang selama ini oleh pemerintah RI ditutup dengan ketat dari pengaruh luar, tiba-tiba menjadi terbuka, Aceh tiba-tiba dibanjiri berbagai ide dan gagasan. Sehingga dunia intelektual di Aceh yang sebelumnya statis tanpa perkembangan tiba-tiba berubah menjadi dinamis. Aceh tiba-tiba berubah menjadi kuali besar pertarungan gagasan.

Dulu, sebelum terjadi tsunami, di Aceh, saya akan terlihat seperti orang aneh jika berbicara tentang masalah-masalah ilmu sosial, semacam psikologi antropologi sampai filsafat. Tapi pasca tsunami, ada banyak sekali pemikiran yang berkembang, mulai yang kekiri-kirian, liberal, moderat sampai yang fundamentalis dan cenderung radikal muncul bersamaan.

Suasana ini benar-benar sangat menggairahkan, apalagi kemudian teknologi informasi yang berkembang begitu pesat dalam tahun-tahun belakangan ini membuat setiap gagasan apapun yang ada di kepala menjadi begitu mudah untuk dilemparkan ke publik untuk kemudian diperdebatkan.

Beberapa bulan yang lalu, saya pernah melemparkan sebuah gagasan di facebook untuk dijadikan bahan diskusi dan perdebatan. Saat itu saya menyinggung tentang sebuah Karya seorang tokoh besar Islam bernama Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) yang dibantah oleh Ibnu Rushd, tokoh besar lain yang lahir sesudah Al-Ghazali tiada. Karya Ibnu Rushd yang merupakan bantahan terhadap karya Al-Ghazali tersebut oleh Ibnu Rushd diberi judul Tahafut Al Tahafut (Kerancuan di atas Kerancuan).

Dalam debat antara kedua tokoh ini, saya dengan tegas memposisikan diri ada di kubu Ibnu Rushd.

Masalahnya, Al-Ghazali adalah tokoh pujaan kaum puritan, sehingga pilihan saya berada di kubu Ibnu Rushd membuat kelompok ini tidak senang. Dan dari semua aliran pemikiran dan gagasan yang muncul di Aceh pasca tsunami, kaum puritan ini adalah yang paling aneh. Jika kelompok lain antusias ketika diajak beradu gagasan, maka kelompok ini tidak. Mereka ingin gagasan apapun yang berkembang di Aceh, harus ada dalam jalur yang telah mereka gariskan secara sepihak.

Begitulah, ketika gagasan ini saya lemparkan, dengan segera saya pun mendapat serangan. Di antara beberapa orang kelompok puritan yang menyerang saya ini ada satu orang yang sangat bersemangat menyerang saya, namanya Teuku Zulkhairi. Tapi sayangnya semangat Teuku Zulkhairi saat menyerang saya ini tidak didukung oleh kecerdasan, wawasan dan penguasaan data yang memadai, sehingga serangannya terhadap saya pun pada akhirnya bukan lagi pada gagasan tapi lebih mengarah kepada pribadi (Ad Hominem), yang dengan hati saya layani sampai membuatnya terkaing-kaing lari.

Pilihan saya mendukung Ibnu Rushd ditambah dengan beberapa debat lain dengan saya yang tidak pernah bisa dia menangkan, membuat Teuku Zulkhairi memaki-maki dan menyebut saya sebagai kaum pengacau keimanan.

Dalam banyak pertemuan dengannya di dunia maya, dia begitu sering mempersalahkan saya saat saya mengkritisi Tahafut al-Falasifah karangan Al-Ghazali, yang selalu saya jawab dengan mempersilahkannnya mengambil argumen dari Tahafut al-Falasifah yang nanti akan saya balas dengan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.

Tapi Teuku Zulkhairi terus mengelak dari tantangan saya dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, sambil terus melecehkan ucapan saya yang mengatakan akan mengambil argumen dari Tahafut Al Tahafut.

"Kerancuan di atas Kerancuan" yang merupakan terjemahan tulisan Ibnu Rushd ini dalam bahasa Indonesia, terus menerus digunakan oleh Teuku Zulkhairi untuk melecehkan gagasan saya, yang berpuncak pada keluarnya fitnah yang yang dia tulis diam-diam di Kompasiana dengan judul " Membongkar Kerancuan Di Atas Kerancuan Pemikiran Win Wan Nur" yang penuh dengan berbagai fakta yang dia rekayasa untuk menyudutkan saya baca : http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/20/membongkar-%E2%80%9Ckerancuan-di-atas-kerancuan%E2%80%9D-pemikiran-win-wan-nur-oleh-teuku-zulkhairibersambung/

Karena itu, supaya masalah ini tidak berlarut-larut karena saya terus menunggu ditanggapinya tantangan saya, kali ini saya memilih untuk langsung menjawab pertanyaan Teuku Zulkhari kepada saya tentang bagaimana sebenarnya pandangan saya pribadi terhadap Al-Ghazali dan Tahafut al-Falasifah karangan tokoh besar Islam ini.

Untuk menjawab pertanyaan Teuku Zulkhairi tentang bagaimana saya menilai Imam Ghazali.

Saya harus terlebih dahulu menjelaskan, kalau soal sosok Al-Ghazali ini, sangatlah tidak mungkin saya membuat sebuah kesimpulan tunggal, karena cara pandang dan pemikiran tokoh ini banyak berevolusi sepanjang masa hidupnya. Dalam menilai ide-ide dalam karya Al-Ghazali, penilaian yang bisa kita lakukan sangat tergantung pada kapan karyanya tersebut dikeluarkan dan sudah sejauh apa evolusi spiritual yang dia alami saat karya itu ditulis. Sebab Abu-Hamid Muhammad Al-Ghazali yang lahir pada 450 H /1058 M dan wafat pada 505/1111 M ini adalah seorang manusia multi dimensi, dia adalah seorang Asy‘ariah ketika sedang ada bersama kaum Asy‘ariah, dia adalah seorang Sufi ketika bergabung dengan kaum Sufi, dan diapun adalah seorang filsuf ketika berada bersama para filsuf.

Jadi kalau kita ingin menilai pribadi tokoh yang satu ini secara komprehensif, maka akan ada banyak sekali dimensi yang harus disatukan, dan karena alasan inilah saya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi seorang penilai terhadap pribadi tokoh besar Islam yang satu ini.

***

Dunia Islam di masa Al-Ghazali hidup, beberapa generasi sebelum kelahirannya dan beberapa generasi sesudah kematiannya adalah dunia intelektual yang penuh dinamika. Ada banyak sekali ragam isu yang diperdebatkan antara sesama cendekia zaman itu. Entah itu ilmu kedokteran, kimia, fisika, matematika, astronomi, psikologi, tasawuf, tauhid dan segala macam ilmu yang kita kenal sekarang.

Tapi dari sekian banyak pemikiran tokoh-tokoh Islam pada masa abad pertengahan ini, terus terang minat terbesar saya lebih banyak tertuju pada bidang filsafat yang mereka kembangkan pada masa itu. Saya menaruh minat besar pada bidang ini karena dalam pandangan saya, kesalahan pengambilan pilihan pemikiran filsafat untuk dianut oleh umat Islam pada masa inilah yang menjadi kunci penyebab kemunduran peradaban Islam sampai hari ini.

Maka ketika saya berbicara tentang Al-Ghazali, fokus pembicaraan saya adalah pada PEMIKIRANNYA dalam kapasitasnya sebagai FILSUF, bukan pemikiran atau sosoknya sebagai seorang Asy'ariah (meskipun tentu saja akan tetap ada bagian Asy'ariah Ghazali yang akan saya singgung karena pandangan filsafat Al Ghazali memang tidak bisa dilepaskan dari cara pandang khas kaum Asy'ariah) atau sosoknya sebagai seorang Sufi (yang sangat diminati oleh musisi Ahmad Dhani).

Kehadiran Al-Ghazali sebagai FILSUF adalah sebagai antitesis untuk aliran Mu‘tazilah, yang merupakan aliran kritis pertama dalam Islam yang lahir kira-kira pada tahun 723 Masehi (orang-orang penganut paham ini disebut Mutakalimun).

Filsafat kaum Mu'tazillah ini banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani kuno dari tokoh-tokoh semacam Plato dan terutama Aristoteles.

Seperti yang saya katakan di atas, Al-Ghazali adalah pengikut aliran kritis yang lain bernama Asy‘ariah yang muncul kira-kira satu generasi setelah kemunculan Mu'tazillah. Aliran ini dinamai demikian dengan mengambil nama Al Asy‘ari, tokoh yang lahir pada tahun 873 masehi.

Asy'ariyah ini adalah aliran kritis yang mencoba berada di tengah-tengah antara pandangan tradisional yang yang maunya melarang penggunaan segala hal yang berbau rasional dalam memahami agama (seperti paham Salafi dan wahabi yang marak belakangan ini) dengan pikiran rasional. Aliran Asy'ariah ini terkenal dengan konsepnya yang mengatakan bahwa akal tanpa dibantu dengan wahyu tidak akan bisa menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya.

Nah ketika Al-Ghazali menghantam filsafat kaum Mu'tazillah, Al-Ghazali bersandar pada cara pandang kaum Asy'ariyah ini.

Sebagaimana filsafat Mu'tazillah yang banyak bersintesa dengan alam pikiran Yunani, konsep Asy'ariah yang diadopsi oleh Al Ghazali sendiripun sebenarnya tidak bisa melepaskan argumennya dari pengaruh pemikiran para filsuf Yunani dari kelompok Skeptis dan terutama dari aliran filsafat Stoisisme-nya Zeno dari Citium (334-262 SM) [dalam sejarah sekolah filsfat Stoi (baca : STOA) ada dua Zeno, selain Zeno dari Citium ada lagi Zeno dari Tarsus yang merupakan pemimpin keempat sekolah filsafat Stoi yang hidup sekitar tahun 200 SM] .

Dari aliran filsafat Stoisme ini, aliran Ays'ariyah yang dianut oleh Al-Ghazali mengadopsi epistemologi, sensasionalisme, nominalisme dan materialisme mereka.

Contoh besarnya pengaruh filsafat Stoi dalam cara pandang aliran ini adalah konsep Asy'ariah tentang kehendak Allah.

Dalam Tahafut al-Falasifa, halaman. hal 237, Al-Ghazali mengatakan "Manusia tidak (bisa dikatakan) baik atau jahat karena pembawaan, meskipun pada dasarnya manusia itu lebih cenderung menjadi baik ketimbang menjadi jahat". Ucapan Ghazali ini merujuk pada pandangan Asy'ariah yang mempercayai bahwa benar dan salah adalah urusan manusia yang tidak bisa disangkut pautkan dengan Tuhan.

Pandangan Asy'ariah ini jelas sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat Stoisisme (Aliran filsafat yang pada masanya menentang habis ajaran aliran filsafat Epicurus yang menyatakan Hedonisme yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup).

Apa yang dikatakan oleh Al Ghazali yang didasari oleh konsep Asy'ariah ini kurang lebih sama dengan "Cui mali nihil est nec esse potest quid huic opus est dilectu bonorum et malorum?" yang artinya kurang lebih "Pilihan apa yang bisa membantu seseorang (berbuat jahat) bagi orang yang tidak memiliki sifat jahat dan juga tidak dimiliki (oleh sifat-sifat jahat itu)" yang merupakan argumen Skeptis dari Carneades yang pernah menjadi mahasiswa di sekolah filsafat Stoi, yang belajar logika di bawah bimbingan Diogenes (Kepala sekolaf filsafat Stoi ke-lima yang hidup sekitar tahun 230-150 SM). Perkataan Carneades ini disampaikan oleh Cicero dalam De natura deorum, iii. 15. 38.

Beberapa detail epistemologi khas Stoi ini misalnya disampaikan oleh Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din Ihya’ dimana Al-Ghazali mengatakan, Jiwa saat lahir adalah putih seperti kertas dan disanalah sifat dicetak (ini yang menjadi dasar konsep tabula rasa) , kemudian Al-Ghazali juga mengatakan manusia memperoleh akan dan pengetahuan tentang baik dan benar pada umur 7 tahun (ini kemudian menjadi dasar anggapan dan cara pandang terhadap anak-anak selama ini yang belakangan oleh Jean Piaget, Erik H Eriksson dan para psikolog perkembangan lainnya telah dibuktikan salah, karena ternyata bayi sudah punya sifat dan karakter sejak masih di dalam perut)

Belakangan, oleh pengikutnya, apa yang dimaksud oleh Al-Ghazali sebagai Kehendak Allah yang menjadi rahasiaNya yang tidak bisa ditimbang dengan perhitungan-perhitungan yang berdasarkan akal itu juga termasuk hal-hal semacam jenis kelamin bayi di dalam perut, apakah hujan akan turun atau tidak di saat mendung. Konsep tauhid semacam ini yang merupakan warisan pemikiran Al-Ghazali tersebut masih sering diajarkan kepada saya oleh guru-guru ngaji saya semasa kecil di Takengen.

Pandangan Al-Ghazali yang semacam inilah yang ditentang oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut, yang salah satu diantaranya seperti contoh yang saya ambil dari ucapan Ibnu Rushd mengatakan ; Seluruh basis argumen Al-Ghazali salah, karena Al-Ghazali berasumsi bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak manusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan; Sementara untuk Zat yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan apa-apa, kita tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan bahwa ketiak Dia melakukan sesuatu maka yang Dia lakukan itu adalah hal yang paling sempurna. Jadi kehendak Allah harus dipahami dengan makna yang lain dibanding kehendak manusia.

Ketika kemudian ucapan Ibnu Rushd ini saya post di status facebook saya, membuat kaum puritan radikal yang dimotori oleh Teuku Zulkhairi menuduh saya sebagai kaum pengacau keimanan dan berbagai sebutan buruk lainnya.

Jadi ketika Zulkhairi menanyakan bagaimana saya memandang Al-Ghazali, kalau dipandang dari sudut pandang ini, maka saya memandang Al-Ghazali sebagai tokoh yang berperan besar dalam mempertentangkan antara Iman dan Akal. Dan berkat Al-Ghazali, dalam pertarungan ini Iman lah yang menang. Sehingga merusak semua semangat eksplorasi dan penggalian ilmu pengetahuan yang pada masa itu begitu menggairahkan.

Meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya, Ibnu Thufayl dalam novel eksperimental pemikiran Hayy Ibn Yaqzan (dalam novel ini Ibnu Thufayl tampaknya sepakat dengan konsep Ghazali soal tabula rasa), Ibnu Rushd yang hadir belakangan mencoba untuk memperbaiki apa yang telah dirusak oleh Al-Ghazali ini, tapi usahanya tidak berhasil.

Oleh para pengikut Al-Ghazali, Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.

Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas "kesalahannya" Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi "Lucena".

Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd.

Setelah dibebaskan, Ibnu Rushd kembali ke Cordoba dan berkumpul lagi dengan keluarganya dan para sahabatnya. Namun tidak lama kemudian ia wafat pada tahun 1198 Masehi dalam usia 72 tahun.

Sementara itu fitnah yang dilakukan terhadap Ibnu Rushd yang sudah terlanjur menyebar.

Dalam bukunya Mr. Peabody Apple, Madonna penyanyi pop Amerika yang terkenal itu menggambarkan Fitnah itu ibarat sebuah bantal berisi bulu angsa yang di belah di sebuah tanah lapang dalam cuaca berangin.

Oleh Madonna digambarkan, bulu yang sebelumnya terkurung dalam bantal, ketika dibelah, diterbangkan angin ke segala penjuru, tanpa bisa diatur kemana arah terbangnya. Dan ketika bulu-bulu angsa pengisi bantal tersebut sudah terlanjur diterbangkan angin, bulu-bulu itupun hinggap di mana-mana, bahkan sampai ke tempat-tempat yang tidak diketahui oleh orang yang membelah bantal itu, bulu-bulu yang sudah terbang itu tidak akan pernah bisa lagi dikumpulkan untuk kembali disatukan menjadi sebuah bantal.

Hal seperti yang digambarkan oleh Madonna dalam bukunya itulah yang terjadi pada Ibnu Rushd yang sudah terlanjur dicap sesat oleh orang-orang yang merasa diri beriman. Orang-orang 'beriman' yang sudah termakan fitnah terhadap Ibnu Rushd yang disebarkan oleh orang yang merasa diri PALING BERIMAN tidak bisa lagi satu persatu dikumpulkan untuk diberi penjelasan, tentang duduk perkara yang benar.

Akibatnya, meskipun telah diberi pengampunan, ide dan pemikiran Ibnu Rushd sama sekali tidak bisa lagi diterima oleh sebagian sangat besar kalangan Islam (sampai hari ini). Setelah Ibnu Rushd diampuni dan dibebaskan, kalangan umat Islam tetap lebih suka mempertahankan ide-ide Al-Ghazali yang menyerahkan penjelasan dari hampir semua rahasia alam kepada kebijaksanaan Allah dan mempercayai kalau semua rahasia Allah itu tidak akan bisa dipecahkan oleh Manusia dengan mengandalkan akal.

Jika di kalangan Islam pemikirannya ditolak, sebaliknya, ide dan pemikiran Ibnu Rushd justru diterima dengan luas dan malah kemudian diadopsi oleh kaum Kristen dan Yahudi. Ide-ide dan pemikiran Ibnu Rushd kemudian diteruskan bukan oleh para pemikir dan filsuf Islam, melainkan oleh para pemikir dan filsuf Kristen dan Yahudi.

Di Barat Tahafut al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan. Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai.

Memang, kalau materi yang dibahas dalam filsafat Ibnu Rushd yang khas zaman itu yang melulu mengangkat tema-tema metafisika dan ketuhanan dinilai dengan kacamata filsafat modern, materi yang diangkat oleh Ibnu Rushd sekitar lebih dari 800 tahun yang lalu sudah sangat usang dan sudah tidak relevan lagi untuk diperdebatkan karena apa yang dibahas oleh Ibnu Rushd bahkan logika klasik Aristoteles yang begitu dipuja oleh Ibnu Rushd pun sudah banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern.

Tapi dalam menilai filsafat Ibnu Rushd, materi yang dibahas 800 tahun yang lalu tidaklah terlalu menarik bagi saya, apa yang menarik dari filsafat Ibnu Rushd di mata saya adalah IDE besar dari filsafat yang dikembangkan oleh tokoh yang satu ini, mulai dari rasionalitasnya, penghargaannya yang tinggi terhadap akal dan metode kritisismenya dalam menilai sebuah permasalahan. IDE BESAR filsafat Ibnu Rushd inilah yang telah menginspirasi para filsuf modern, mulai dari Thomas Aquinas sampai pada Immanuel Kant, filsuf positivis terbesar dengan karya fenomenalnya Critique of Pure Reason yang mengubah cara pandang manusia secara keseluruhan terhadap ilmu pengetahuan.

Voltaire dan Rousseau yang merupakan pelopor era Renaissance di Perancis, gerakan yang berhasil mengubah wajah eropa sehingga mencapai puncak demilang peradaban, bahkan mengatakan kalau mereka bukan hanya sekadar terpengaruh oleh pemikiran filsafat Ibnu Rushd, tapi mereka terang-terangan mengaku mendapat inspirasi setelah membaca karya-karya Ibnu Rushd.

Jadi tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa pemikiran filsafat Ibnu Rushd inilah sebenarnya menjadi dasar dari kegemilangan peradaban eropa dan barat secara keseluruhan.

Inilah yang disebut ironi, dalam Islam, pemikiran dan ide gemilang Ibnu Rushd ini tidak mendapat tempat, bahkan untuk di Indonesia, kalau kita merujuk pada ucapan Teuku Zulkhairi, pemikiran filsafat seperti ini malah diharamkan oleh MUI.

Begitulah, kalau ada orang yang menanyakan pendapat saya tentang Tahafut al-Falasifah yang merupakan karya besar Al-Ghazali, maka menurut saya buku ini adalah sebuah karya yang hebat yang dibuat oleh Ghazali untuk mempertahankan IMAN terhadap AKAL, yang dibuat oleh Al-Ghazali berdasar kegelisahannya menyaksikan banyaknya pemikiran intelektual Islam masa itu yang beberapa di antaranya sudah terlalu mendewakan akal.

Tapi sayangnya dalam usahanya ini, dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali malah menyerang seluruh perilaku orang-orang yang melakukan proses berpikir menggunaan akal dalam menjelaskan segala fenomena alam. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mencela perilaku seperti itu sambil mengajak umat Islam untuk hanya menyerahkan segala permasalahan dan penjelasan terhadap segala fenomena dan rahasia alam semata pada Allah.

Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali membahas dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah fisik. Dari dua puluh masalah yang dibahas oleh Al-Ghazali tersebut, tujuh belas diantaranya berisi tuduhan terhadap para filsuf yang dikatakan oleh Al-Ghazali telah melakukan bid’ah. Sementara di tiga masalah sisanya, Al-Ghazali dengan yakin mengatakan bahwa para filsuf telah keluar dari Islam, alias KAFIR.

Dalam buku berikutnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din (yang sedikit potongannya saya kutip di atas), Al-Ghazali mengatakan bahwa hanya ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi (fardlu ‘ain) olah para muslim. Sementara ilmu dunia,hanyalah fardlu kifayah yang kalau sudah ada orang Islam lain yang melakukannya, maka orang Islam sisanya sudah tidak lagi memiliki kewajiban untuk mempelajarinya.

Ihya’ ‘Ulum al-Din yang merupakan simbol pemikiran tasawuf, yang sesuai dengan namanya menganjurkan umat Islam untuk mendalami ilmu-ilmu agama saja, telah menjadi senjata pamungkas yang sukses mematikan pemikiran rasional di dunia Islam. Kemudian, ketika pemikiran tasawuf Al-Ghazali kemudian semakin diperkuat oleh Ibnu ‘Arabi. Sejarah kegemilangan dunia Islam-pun resmi berakhir.

Alasan-alasan seperti inilah yang membuat saya berpandangan, kalau buku Tahafut al-Falasifah memiliki lebih banyak sisi negatif daripada sisi positifnya, sehingga menurut saya, buku ini lebih bersifat merusak daripada membangun, sebab ide-ide dalam buku ini mengajak orang Islam untuk berhenti berpikir, hal yang menurut saya merupakan sumber keterpurukan umat Islam sejak pudarnya pengaruh Mu'tazillah di abad ke-12 M, sampai hari ini dan belum ada tanda-tanda akan bangkit lagi.

Ibarat kisah dalam cerita silat karangan Asmaraman S Kho Ping Hoo, Tahafut al-Falasifah adalah jurus sakti milik umat Islam yang saat dikeluarkan malah berbalik menghantam dan menghancurkan pemilik jurus itu sendiri.

Wassalam

Win Wan Nur

Orang Aceh berdomisili di Jakarta.

Sumber :

Abu Bakr Ibn Tufail, The History of Hayy Ibn Yaqzan, (New York : Frederick A. Stokes Company)
“L'atomisme antique face a l'amour,” Revue philosophique de la France et de l’Étranger (Morana, Cyril, 1996).
AL Ghazali/ghaz-mn.htm
Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan para Filosof) Penulis: Al-Gazali Pengantar: Dr Sulaiman Dunya Penerbit: Marja’ Bandung, Maret 2010
TAHAFUT AL-TAHAFUT The Incoherence of the Incoherence http://evans-experientialism.freewebspace.com/averroes03.htm
Mengembalikan Masa Kejayaan Islam http://www.albarokah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=226&Itemid=2
Carneades http://www.informationphilosopher.com/solutions/philosophers/carneades/
Epicureanism http://en.wikipedia.org/wiki/Epicureanism
Ash'ariyya and Mu'tazila http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H052

14 komentar:

Anonim mengatakan...

Kitab Tahafut Al-Falasifah dan Tahafut Al-Tahafut bisa didapatkan di mana? Ada yang dalam Bahasa Indonesia?

Nazwa 555 mengatakan...

malm mas,mau nanya aja boleh kan ,mas wartawan koran harian metro?

Anonim mengatakan...

Terlepas Al-Ghazali merupakan tokoh besar, saya mencatat terjadi perbedaan pendapat juga antara beliau dengan Ibn Taimiyah tentang konsep tawakkal. Dalam hal ini saya merasa lebih dekat dengan pendapat Ibn Taimiyah. Dalam hal perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, saya lebih condong kepada Ibn Ruysd. Sebenarnya perbedaan pendapat adalah rahmat bagi kita kaum muslimin. Sayangnya dengan menjelekkan seseorang dengan terlalu (dalam hal ini kasus Ibn Rusyd) manusia secara sadar, ternyata memposisikan diri lebih tinggi dari pada ALLAH S.W.T (Astafirullah) padahal dalam setiap bacaan kita mengawali selalu dengan kalimat, Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Unknown mengatakan...

kedua buku tersebut sama sama memiliki sumber dari Alquran.... tetapi kedua tokoh tersebut memiliki kesamaan yaitu menyetujui adanya penggunaan akal..

Akoo mengatakan...

saya rasa, saudara Win Wan Nur ini kurang memahami isi kitab Tahafut Al-Tahafut.....
pemahaman anda dalam memahami kedua kitab tersebut masih sangat dangkal......

Hamba ALLAH mengatakan...

Astaghfirullahal'azim, mohon saudara minta ampun kepada ALLAH, maaf saudara TIDAK layak langsung untuk mengkritik karya Imam Al-Ghazali. Satu hal perlu diingat, janganlah anda melemparkan gagasan dari para ulama yg akan memecah belah umat. Saya pikir saudara tidak tahu siapa Imam Al-Ghazali. Jangan mengkritik dengan hanya membaca beberapa buku, inipun buku ulama besar yang mana anda pun tak akan paham tanpa bertalaqi dengan ulama.

Buku2 ulama perlu dibaca dengan bertalaqi, jika dibaca sendiri & menggunakan pemahaman sendiri, akan terpesong. Jangan ingat, akal manusia zaman sekarang lebih baik (dengan penilaian luar saja) dari ulama2 dahulu. Saya pikir saudara tidak membaca LANGSUNG kitab Ini (Tahafut al-Falasifa), saudara hanya membaca/cuba memahami dari perbincangan/perdebatan di internet (sungguh sangat disayangkan….). Kitab ini adalah kitab “berat” yg tidak mudah utk dipahami tanpa adanya pemahaman yg mendasar ttg tauhid.

Siapa saudara dibanding dengan Imam Al-Ghazali? sudahkah anda mengamalkan islam? sudahkah/bolehkah anda sholat dengan khusu'? sudahkah anda sholat berjamaah? sudahkah anda menghafal Al-Quran & Hadist? saya tak terpikir langsung bahwa saudara memenuhi kriteria ini, saudara tak layak langsung utk mengkritik buku2 ulama. Adalah sangat biadab untuk melakukan perkara ini. Apakah di waktu yg akan datang, saudara akan melemparkan gagasan (seperti hadist & AlQuran) utk dijadikan bahan diskusi/perdebatan? Astafirullah. Janganlah jadi dajjal akhir zaman!

Tanda akhir zaman, orang2 sekarang mengkritik/menyalahkan ulama2 dahulu. Malah yang lebih parah menyalahkan ulama2 sekarang, seperti yg saudara sendiri tulis di blog yg lain ("tari saman...., salah besar kalau ulama aceh haramkan saman).

Win wan nur, kembalilah ke pangkal jalan (Islam), bacalah buku2 islam utk memperkuat iman (Aqidah kita), bertalaqi dengan ustaz2, BUKAN utk diperkatakan dan dijadikan bahan diskusi/perdebatan. Bila mau berdiskusi, berdiskusilah dgn ulama2/ustad2, bukan dengan orang2 awam (facebook,...) dimana akan banyak timbul fitnah.

Astaghfirullahal'azim

Dari Sungai Kapuas ke Sungai Thames mengatakan...

Tweruslah menulis Brother Win Wan Nur, hanya Allah dan Al-Qur'an yang tidak boleh dikritik, selain itu saya mendukung anda untuk mengeritik siapa saja, sepanjang dengan pemikiran yang positif dan konstruktif. Salam.

Unknown mengatakan...

bebas mengkritik karya dan pemikiran siapapun, bukankah semakin banyak kritikan pada seseorang maka sama dengan membuka kebenaran, islam perlu dinamisasi dan pemikiran baru yang segar tanpa meninggalkan essensi - substansial ajarannya, jangan menanggapi dengan cacian tapi bantahlah dengan cara ilmiah, bermartabat, perbedaan bukan berarti pengkafiran, metodologi pembelajaran masa kini dengan masa lalu berbeda. sebenarnya terlalu picik kalo kita membanding2kan generasi salaf dengan generasi sekarang karena setiap generasi punya karakteristik sendiri2, buat penulis saya mendukung tindakan anda yang kritis walau mungkin saya tidak mendukung pemikiran anda. apa facebook mau dijadikan curhatan cinta sama update status doang, berhentilah jadi orang awam, islam butuh kemajuan dan itu tidak lepas dari pemikiran - pemikiran kritis!!

Unknown mengatakan...

menurut saya, selain al-Quran dan Hadits semuanya boleh dikritik,
bukan berarti ulama yg besar tidak berbuat kekeliruan. yang perlu di garis bawahi adalah bukan filsafat yang dikritik oleh al-Ghazali, tpi ada beberapa pemikiran para filsuf yg di kritiknya, begitu pula ibn Rusyd, tidak semua pemikiran al-Ghazali dikritiknya. jika ada yg berminat dengan buku TAHAFUT AL-FALASIFAH & TAHAFUT AT-TAHAFUT (bhs Indonesia) silahkan hub. 085602135353 (wilayah Yogyakarta)

Salaf itu indah mengatakan...

Assalamu'alaikum..Kenapa kita tdk kembali ke Al Qur'an dan As Sunnah ?ini adalah sebaik-baik ilmu yg wajib kita tuntut di dunia dan bekal Akhirat..wasalam

Salaf itu indah mengatakan...

Assalamu'alaikum..Kenapa kita tdk kembali ke Al Qur'an dan As Sunnah ?ini adalah sebaik-baik ilmu yg wajib kita tuntut di dunia dan bekal Akhirat..wasalam

Unknown mengatakan...

Saya setuju pada pendapat alghozali bahwa wahyu lebih utama dari akal, tapi ada sisi benar dari ibnu rusyd bahwa akal bisa digunakan untuk memahami wahyu.
Hanya saja saya kecewa terhadap penulis yg tidak menulis lengkap 2 pendapat itu hingga pembaca bisa berfikir.
Pantas saja klo berdebat anda akan kalah secara mental karena tidak jujur mengungkap smua pendapat

mujahid xafier mengatakan...

Pendapat imam Alghazali dan Ibnu Rusyd memiliki karakter berbeda ketika menyikapi eksistensi akal. kedua tokoh besar ini saling berpengaruh dalam progres pemikiran islam sampai saat ini,tidak diragukan. Tetapi adalah bijak menyeimbangkan keduanya sebagai dasar pijakan memahami suatu fenomena yang terjadi di zaman modern, sebagaimana sabda rasul "ulama adalah pewaris nabi". bahwa alghazali lebih condong mengunci kemampuan akal ketika menyingkap suatu tabir di luar kemampuannya, selebihnya sumber etika ilmu akan diperoleh dari karunia yang didapat melalui intuisi(ilham)yang tidak didapat pada aktifitas berpikir.tanpa itu kerangka berpikir dianggap tidak lagi memiliki fundamen. sedangkan ibnu rusyd menafsirkan akal terus berkembang selama manusia itu berakal baik dari manapun/kapan pun itu diperoleh. sungguh ironi bila menafikan pendapat masyhur al ghazali sebagai penyebab kemunduran islam saat ini dengan mengedepankan pendapat satu ulama(Ibnu Rusyd)yang "kebetulan" senada dengan pemikiran kita saat berkaca pada kajian literat perpustakaan pribadi untuk kemudian secara senonoh menyimpulkannya. Mengingat kemampuan hebat(anggapan sombong)pikiran kita belum sebanding di seluruh sudut harum nama al ghazali maupun ibnu rusyd yang menyanggah tahafut al falasifah ada baiknya kajilah dengan metode BELAJAR LAGI.


Doddy mengatakan...

Ketika Anda menggertak, Anda mengatakan sebuah cerita yang tidak benar. Jika Anda tidak konsisten dengan cerita Anda maka Anda tidak akan mencapai tebing yang sukses. Ketika Anda bertaruh dengan apa-apa
asikqq
dewaqq
sumoqq
interqq
hobiqq
rajawaliqq
pencetpoker
qqonlinebet
paito warna oregon 03
paito warna oregon 12