Selasa, 25 November 2008

Abdi Dalem Keraton Jogja dan 'Borobudur Gayo'

Beberapa hari setelah kunjungan kami ke Borobudur, aku bersama klienku berkunjung ke Kraton Yogyakarta, dalam kunjungan ke keraton ini kami tidak bersama-sama dengan Pak Bekti. Di sini kami langsung ditemani oleh Guide resmi Keraton yang berpakaian batik warna merah. Guide inilah yang menjelaskan setiap detail bangunan, pernak-pernik dan adat dalam keraton.

Dalam lingkungan keraton yang luasnya 1 kilometer persegi ini terdapat banyak sekali bangunan-bangunan dengan berbagai fungsi.

Di setiap bangunan dan halaman yang sangat bersih dalam lingkungan keraton ini aku melihat banyak sekali pekerja yang ternyata adalah para abdi dalem keraton. Mereka berpakaian biru dengan blangkon dan sarung khas jawa. Mereka ada yang sekedar duduk khusuk seperti bersemedi, bersila langsung di atas pasir tanpa alas, ada yang menyapu halaman, membersihkan debu yang melekat di instrument musik dan perabotan milik keraton dan ada pula yang membaca buku-buku yang ditulis dalam huruf sanskerta dan bahasa jawa.

Pemandangan seperti ini jauh lebih menarik perhatianku daripada sekedar mendengarkan penjelasan guide tentang sejarah dan seluk-beluk keraton, bagiku Manusia adalah bagian paling menarik dari seluruh alam semesta.

Sebelumnya, aku sudah sering mendengar cerita tentang bagaimana taatnya para abdi dalem ini kepada sultan junjungan mereka. Tapi rasanya tentu berbeda kalau aku mendengarkan cerita itu langsung dari orangnya. Karena saat ini aku berada di keraton ini aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenallangsung manusia yang disebut Abdi Dalem ini. Aku ingin merasakan langsung emosi mereka merasakan sendiri bagaimana bentuk ketaatan mereka yang melegenda terhadap raja junjungan mereka.

Aku mendekati seorang Abdi Dalem yang sedang membersihkan debu di salah satu bangunan keraton, aku duduk di sampingnya dan mulai mengajaknya bercakap-cakap. Aku menanyakan nama dan bertanya bagaimana ceritanya dia bisa menjadi seorang Abdi dalem di keraton ini. Namanya Pak Muchlosid, dia mengaku telah menjadi Abdi dalem di keraton ini sejak beberapa tahun yang lalu.

Pak Muchlosid bercerita kalau sekarang di Keraton ini sekarang ada peraturan yang mensyaratkan bahwa yang boleh melamar untuk menjadi Abdi Dalem harus yang berumur di bawah 40 tahun. Mendengar ini aku merasa penasaran dan menanyakan jumlah gaji yang diterimanya. Ketika itu kutanyakan, Pak Muchlosid dengan bangga mengatakan kalau dia tidak digaji apa-apa. Dia bekerja sebagai Abdi Dalem murni karena Lillahi Ta'ala. Pekerjaan sebagai Abdi Dalem yang dia lakukan sejak pagi hingga sore ini adalah bentuk pengabdiannya yang tulus dan tanpa pamrih kepada Sultan junjungannya. Pak Muchlosid pun tampak begitu bangga akan pengambdiannya ini, karena menurutnya sebenarnya banyak sekali orang lain yang berminat menjadi Abdi Dalem tapi ditolak. Kata Pak Muchlosid, dalam keraton ini Abdi Dalemlah yang membutuhkan Keraton, bukan sebaliknya.

Ketika kutanyakan bagaimana caranya dia menghidupi keluarganya kalau seluruh waktu produktifnya dihabiskan dengan bekerja di Keraton ini, Pak Muchlosid menjawab kalau unytuk itu dia memelihara ayam yang dikelola oleh istrinya. Urusan ekonomi keluarga itu sama sekali bukan urusannya. Aku benar-benar takjub mendengar penuturan Pak Muchlosid ini, lebih takjub lagi ketika aku mendengar pengakuan yang sama keluar dari mulut Abdi Dalem lain yang kuajak bicara.

Sehabis dari keraton, kami berjalan-jalan di pasar burung. Pasar ini sangat bersih, sangat berbeda dengan Pajak Petisah di Medan atau Pasar Ampera dekat rumahku di Jakarta. Ketika aku bertanya mengenai hal ini kepada beberapa pedagang yang berjualan di sana, kenapa pasar ini bisa sedemikian bersihnya. Mereka mengatakan, itu karena mereka tidak ingin pasar terlihat kotor jika tiba-tiba Sultan datang berkunjung kesana.

Begitu dahsyatnya pengaruh Sultan dalam kehidupan Orang Jogja, begitu besarnya rasa taat dan rasa hormat mereka kepada raja junjungan mereka. Bahkan Islam, agama yang katanya sangat egaliter dan memandang setiap manusia dengan derajat yang samapun tidak mampu mengikis 'mentalitas borobudur' dari dalam diri orang Jogja. Dengan mentalitas seperti ini tidak heranlah kalau makna Demokrasi bagi orang Jogja yang merupakan salah satu pusat dunia intelektual di Indonesia ini adalah meminta Sultan untuk menjadi penguasa seumur hidup.

Sehabis dari pasar burung, kami kembali ke hotel. Sore harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan menumpang kereta api.

Saat berada dalam gerbong kereta yang membawaku menuju Surabaya. Aku merenungkan apa yang kurasakan dan kualami selama di Jogja. Membayangkan Borobudur yang megah, membayangkan Pak Muchlosid dan para Abdi Dalem lainnya yang memiliki kesetiaan tanpa batas terhadap rajanya.

Kemudian aku mencoba membayangkan apa jadinya jika ada orang yang berencana membangun Borobudur di Aceh. Sekuat apapun aku berusaha aku tidak berhasil membayangkannya. Aku teringat pada ucapan seorang antropolog Belanda bernama Snouck itu, Belanda yang paling dibenci di Aceh ini mengatakan. Orang Gayo adalah 'True Republican'. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hurgronje mengatakan berkebalikan dengan Jawa, Orang Gayo adalah orang-orang yang bebas dari rasa takut terhadap raja atau pemimpinnya. Tidak seperti orang Jawa yang selalu mengatakan 'Inggih' terhadap semua titah rajanya, Orang Gayo selalu berani dan tidak pernah merasa ada beban jika mengatakan hal-hal yang berbeda dengan pendapat pemimpinnya.

Masyarakat dengan karakter jenis ini sampai kapanpun tidak akan pernah mampu membangun karya seni seagung dan seindah Borobudur.

Aku merenung sebentar, lalu kuperhatikan wajah-wajah klien perancisku yang 3 hari belakangan ini terus bersamaku. Wajah-wajah dari orang-orang yang mematuhi apapun yang aku katakan dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan.

Kemudian aku mengingat kembali wajah-wajah mereka yang sangat antusias mendengarkan aku bercerita saat kami mengobrol di Meja makan, saat aku bercerita tentang hal-hal kecil. Tentang diriku, keluarga dan juga tentang putri kecilku yang sekarang tumbuh besar dalam kesadaran sebagai seorang warga dunia yang tidak mengenal batas-batas artifisial yang disebut negara.

Aku juga mengingat saat akupun mendengarkan cerita mereka tentang kampung dan keluarga mereka, tentang budaya minum anggur mereka, tentang keju Perancis yang jenisnya ratusan banyaknya. Seperti mereka yang penuh antusias mendengarkan ceritaku akupun mendengarkan cerita mereka dengan antusiasme yang sama. Saat itu aku dapat merasakan dengan jelas betapa indahnya hidup seperti ini, hidup dalam perasaan setara, tidak ada rasa lebih rendah atau perasaan lebih tinggi sebagai sesama manusia.

Mengingat itu tiba-tiba aku merasa bersyukur, aku sadar Gayo dengan karakter khasnya memang tidak akan pernah bisa membangun karya seni berbentuk fisik yang nyata dan bisa diraba seindah dan seagung Borobudur yang kini menjadi kekagumanku dan juga dunia. Sebuah artefak yang menjadi bukti tingginya peradaban masyarakat yang membangunnya dulu.

Tapi kepadaku dan semua orang Gayo generasi sekarang, muyang datuku berhasil mewariskan karya seni lain yang tidak kalah indah dan agungnya dibandingkan Borobudur. Bedanya karya seni warisan muyang datuku ini hanya dapat dirasakan tapi tidak dapat dilihat dan diraba secara fisik. Karya seni Gayo yang indah dan agung itu adalah mentalitas Gayo yang oleh Hurgronje digambarkan sebagai mentalitas 'TRUE REPUBLICAN' yaitu perasaan setara dalam relasi antar sesama manusia.

Karya seni warisan muyang datuku ini adalah karya seni yang sama seperti yang bisa kita temukan dalam keindahan setiap relief peradaban modern di berbagai belahan dunia.

Inilah 'Borobudur Gayo' warisan muyang datuku yang paling berharga yang akan kujaga baik-baik dan akan kuwariskan kepada gayo-gayo keturunanku.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: