Minggu, 02 November 2008

Mountaineering Pendidikan Terbaik Untuk Menjadi Manusia

Tulisanku tentang pendakian jalur selatan Leuser ternyata menggugah memori Jojo, salah seorang anggota TPGL'93 yang namanya kusebut di tulisanku. Dalam balasannya Jojo mengatakan, "Mountaineering selayaknya akan tetap menjadi ibu dari kegiatan kecintaan terhadap alam" dalam balasan ini aku juga mendapati satu kalimat Jojo yang sangat menarik . "Kegagalan pendakian Leuser itu adalah kemenangan terbesar sepanjang hidupku". Kalimat Jojo yang terakhir ini membuatku merenung dan akhirnya membuatku memahami banyak hal yang dulu tidak pernah aku sadari.

Aku sangat setuju dengan Jojo yang mengatakan "Mountaineering selayaknya akan tetap menjadi ibu dari kegiatan kecintaan terhadap alam", malah menurut aku, bukan hanya ibu dari kegiatan kecintaan terhadap alam. Lebih dari itu mountaineering menurutku adalah sekolah terbaik untuk menjadi manusia.

Sering dalam pergaulan sehari-hari dimasyarakat, kita bersikap baik pada tetangga, pada kerabat dan kolega. Sangat sering sikap yang kita tunjukkan itu tidak lain adalah sikap palsu yang kita gunakan dalam menjaga perasaan orang yang kita hadapi, padahal tidak jarang di balik itu kita menyembunyikan kekesalan. Kadang, saking seringnya kita menggunakan sikap palsu seperti itu, kita tidak sadar lagi sifat asli kita seperti apa.

Mountaineering membuat semua karakter asli kita keluar, di Mountaineering kita bisa mempraktekkan langsung bagaimana cara menjaga ego dan emosi. Dalam keadaan capek dan lapar, sopan santun yang biasa kita gunakan sebagai topeng dalam pergaulan di dunia beradab seringkali hilang. Sikap yang muncul ke permukaan adalah sikap yang telanjang cerminan insting asli manusia. Insting yang jika salah kelola bisa menimbulkan konflik antar teman. Mountaineering mengajarkan kita untuk mengelola konflik.

Kalau menurut Jojo, kegagalan pendakian Leuser itu adalah kemenangan terbesar sepanjang hidupnya. Maka bagi aku, EJSL'94 adalah episode paling penting dalam sejarah hidupku karena episode inilah yang telah membuat aku benar-benar menjadi manusia. Episode ini membuatku sadar dengan potensiku yang sebenarnya. EJSL'94 telah mengubah cara pandangku secara keseluruhan terhadap dunia dan terutama terhadap diriku sendiri. Sehingga Win Wan Nur yang turun dari Leuser bukan lagi Win Wan Nur yang sama dan tidak pernah lagi sama dengan dengan Win Wan Nur yang sebelumnya.

Di Banda Aceh, tidak ada yang tahu kalau sebenarnya aku terlahir dengan paru-paru yang kurang sempurna. Saat aku lahir, membran yang menyelimuti paru-paruku tidak menutup paru-paruku dengan baik. Akibat dari masalah membran di paru-paru ini, sampai umur lima tahun aku terus batuk bengek setiap hari. Untuk mengobati penyakitku, orang tuaku sudah membawa aku ke berbagai dokter dan dukun kampung tapi tidak ada yang berhasil mengobati sakitku.

Baru pada umur 5 tahun kakekku membawaku ke seorang dokter Cina bernama Usman Nur yang belakangan ketika aku sudah kuliah beliau membuka praktek akupuntur di Banda Aceh. Untuk memperbaiki membran paru-paruku, oleh dokter Usman Nur aku diberi obat yang harus kuminum 3 kali sehari yang tidak boleh berhenti kuminum sampai aku berumur 18 tahun. Syarat lainnya, sampai kapanpun aku sama sekali TIDAK BOLEH MEROKOK.

Mungkin sampai hari ini banyak anak Leuser dan kawan-kawan yang lain yang merasa bingung dan heran melihat aku tidak pernah merokok sama sekali dan akupun sanggup menahan godaan untuk tidak merokok saat berada diantara teman-temanku yang semuanya perokok. Kalaupun terpaksa merokok, aku hanya menghisap asapnya sampai di mulut dan menghembuskannya lagi. Asap rokok yang kuhisap tidak pernah sampai masuk ke paru-paru. Jadi kalau hari ini masih ada yang penasaran kenapa aku tidak pernah merokok, inilah alasan yang sebenarnya.

Dengan adanya masalah di paru-paruku itu, aku dibesarkan dengan penuh kekhawatiran. Setiap aktifitasku betul-betul diawasi dengan ketat oleh orang tuaku. Aku tidak boleh capek sedikitpun. Kalau aku beraktifitas terlalu aktif atau keluar agak malam, aku langsung diteriaki. Satu teriakan khas ibuku yang terus melekat di ingatanku sampai aku besar adalah 'beden buruk' yang secara harfiah bisa diartikan 'Badan Busuk', tapi maksudnya sebenarnya adalah 'Tubuh yang Rapuh'. Waktu kecil, kalau aku sudah terlalu banyak main ibuku selalu berteriak "hey beden buruk, ulak!... muolok kase mien matukmu", artinya "hey badan busuk, pulang!... makin parah nanti batukmu".

Pada waktu itu, kemanapun aku pergi aku selalu dibekali dengan satu botol plastik berisi obat-obat dari resep Dokter Usman Nur itu. Bahkan kakekku pernah berniat membuatkan kalung dengan liontin berupa botol obat itu untuk kupakai setiap hari, supaya aku tidak pernah lupa mengkonsumsinya setiap habis makan.

Situasi yang kualami berubah jadi sulit dan kompleks ketika aku berumur 12 tahun, aku terkena hepatitis. Masalah dengan hepatitis ini adalah aku tidak boleh mengkonsumsi minyak. Padahal obat yang harus kuminum 3 kali sehari untuk memperbaiki membran paru-paruku itu berbahan dasar minyak.

Menghadapi situasi seperti itu, dokter memutuskan supaya aku berhenti dulu mengkonsumsi obat itu sampai hepatitisku membaik. Sejak saat itu sampai hari ini aku tidak pernah lagi minum obat dari resep dokter Usman Nur.

Sejak mengalami hepatitis itu, kekhawatiran keluargaku terhadap kesehatanku semakin membesar. Aktifitasku semakin ketat diawasi. Dengan seluruh keluarga besarku memperlakukan aku seperti itu sejak aku kecil, akupun percaya kalau tubuhku rentan dan tidak boleh terlalu dipaksa capek.

Sampai kuliah aku tumbuh dengan kepercayaan yang ditanamkan oleh keluargaku kepadaku sejak kecil ini. Akibat dari perlakuan seperti ini, pandanganku terhadap diriku sendiri sangat rendah. Selain takut untuk beraktifitas fisik, pandangan ini juga membuat aku jadi sangat minder terhadap lawan jenis.

Sebenarnya sejak SD, SMP sampai SMA aku pernah beberapa kali merasa suka pada cewek teman sekolahku. Tapi sampai aku tamat SMA tahun 1992, tidak pernah sekalipun aku berani mengungkapkan rasa sukaku pada cewek-cewek yang sempat menarik perhatianku. Padahal kalau kupikir sekarang, sebenarnya kalau aku sedikit memberanikan diri waktu itu peluangku untuk menggaet cewek yang kuincar itu sangat besar. Secara aku punya wajah yang cukup ganteng (aku tahu pasti banyak yang sentimen dan banyak juga yang cukup palak baca pengakuan jujur yang satu ini, tapi sori faktanya aku memang ganteng kok he he he) dan ditambah lagi aku selalu jadi juara kelas sejak SD. Jadi sebenarnya karakterku cukup menjuallah. Tapi itu semua tertutupi dengan sikap minder dengan kondisi tubuhku. Tiap kali mau mendekat ke cewek yang kuincar tiap kali pula yang terpikir di kepalaku, "mana mungkin dia mau sama orang yang paru-parunya bermasalah".

Rendahnya kepercayaan diriku ini mencapai puncaknya pada waktu aku kuliah semester satu. Ketika aku pertama kali memberanikan diri memproklamasikan rasa sukaku pada cewek yang kuincar. Cewek yang kuincar ini namanya Nana kawan seangkatanku di Sipil 92.

Pengakuan jujur lagi, Nana yang nama lengkapnya Mawaddah Noer ini sebenarnya pilihan ketiga dalam daftar cewek incaranku. Tapi untuk yang berada di pilihan pertama dan kedua dalam daftarku ini, sampai hari ini aku sama sekali tidak pernah mengungkapkan apa yang aku rasakan karena aku mundur teratur dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Penolakan Nana yang sebenarnya cuma pilihan ketiga ini betul-betul menjatuhkan rasa percaya diriku sampai ke titik terendah.

Sejak itu, diawali dengan memotong pendek rambutku yang mulai panjang sebagai tanda patah hati (satu tindakan norak yang sampai sekarang aku masih suka malu sendiri membayangkannya), aku mulai bertekad untuk membuktikan diri. Aku mulai mengaktifkan diri di senat yang kumulai dengan bergabung di redaksi FORMAL, majalah kampus kami. Dari aktifitasku di senat, aku mulai akrab dengan banyak senior, salah satunya Bang Onny, ketua senat waktu itu. Bang Onny inilah yang menyemangatiku supaya masuk LEUSER (sebutan akrab kami untuk UKM-PA Leuser Unsyiah) dan akupun mendaftar untuk menjadi anggota LEUSER dan ikut Pendidikan Dasar di liburan semester ganjil berikutnya.

Sejak bergabung dengan LEUSER, cara pandangku yang sangat rendah terhadap diriku sendiri sedikit demi sedikit mulai berubah. Dimulai dari keberhasilanku menyelesaikan Diksar selama sepuluh hari. Lalu beberapa bulan kemudian aku bersama dua teman seangkatanku melakukan ekspedisi Burni Kelieten. Dua keberhasilan ini membuat aku mulai kurang percaya dengan 'mitos' tentang kerapuhan tubuhku, 'mitos' yang selalu didoktrinkan kepadaku oleh orang tua dan keluarga dekatku. Puncak dari berubahnya cara pandangku terhadap diriku sendiri ini adalah keberhasilanku menyelesaikan EJSL'94 dengan sempurna.

Itulah sebabnya kenapa sehabis turun dari Leuser PD ku jadi sangat berlebihan, saking berlebihannya sampai Jojo pernah ngomong sama aku " Win...Kuliat ko berubah kali abis turun dari Leuser, jadi lebih sombong ko kuliat sekarang", Begitu kata Jojo padaku satu waktu saat kami sedang nongkrong di kantin Barret. Waktu itu omongan Jojo itu kurasa cukup menusuk dan 'nendang' dan sejak itu pula aku mencoba bersikap lebih kalem.

Tapi kalau kupikir lagi sekarang. Adalah wajar kalau waktu itu aku agak sedikit sombong, malah kalau sombongnya banyak juga kupikir wajar. Karena, seperti yang Jojo katakan dalam tulisan balasannya "Seperti kebanyakan kita yang melakukan sebuah perjalanan, tentu menyimpan kisah dan cerita masing-masing yang hanya diri kita sendirilah yang merasakannya. Dengan warna dan bentuknya masing-masing sesuai watak dan karakter yang tertanam dalam memory kita masing-masing pula". Begitulah, nilai keberhasilan EJSL'94 tentu tidak sama bagi orang berparu-paru normal dibandingkan dengan orang yang terlahir dengan paru-paru tidak sempurna, orang yang dibesarkan dengan Cap si 'Tubuh Rapuh'.

Setelah kupikir-pikir sekarang, sikap PD ku yang kelewat berlebih bahkan jadi terlihat sombong waktu itu, bukan lain adalah karena akumulasi dari lepasnya beban dan cap yang melekat di diriku sejak lahir. Cap yang akhirnya bisa aku lepaskan sepenuhnya dengan keberhasilanku menyelesaikan EJSL'94.

Sejak turun dari Leuser, meskipun aku masih tetap percaya kalau ada masalah di paru-paruku. Tapi aku sama sekali tidak percaya lagi kalau tubuhku rapuh. Bagaimana aku mau percaya kalau ternyata tubuhku yang dikatakan rapuh ini dengan menggendong beban 37 kilogram di punggung, mampu kubawa mencapai Puncak Leuser naik turun selama 22 hari melalui jalur selatan yang terkenal ganas dan telah menelan banyak korban berparu-paru normal?

Keberhasilan EJSL'94 membuatku punya keyakinan baru, aku percaya kalau aku bisa mendapatkan apapun yang aku mau, asal aku betul-betul mau mendapatkannya. Maka sejak itu akupun mulai mengejar mimpi-mimpiku, mimpi-mimpi yang aku dapatkan dari kisah dan cerita dalam buku-buku yang kubaca. Selama ini, mimpi-mimpi itu cuma sekedar menjadi mimpi tanpa pernah sekalipun kucoba untuk dieksekusi. Ketika aku sudah mulai mencoba, akhirnya satu persatu mimpi-mimpiku itu bisa kuwujudkan. Mulai dari bertualang keliling negeri sampai yang paling ekstrim menjadi wartawan perang.

Untuk hidup juga begitu, aku punya impian sendiri bagaimana nantinya aku menjalani hidup, bagaimana bentuk keluarga yang ingin kubangun dan tinggal di tempat seperti apa. Meskipun harus melalui proses jatuh bangun beberapa kali, sama seperti proses yang kulalui bersama tim EJSL'94 menuju ke puncak Leuser. Pada akhirnya sekarang aku bisa menjalani hidup, memiliki keluarga dan tinggal di tempat yang PERSIS SAMA seperti yang dulu aku impikan.

Terima kasih buat Nana yang telah menarik pelatuk meledakkan rasa minderku yang akhirnya menghamburkan keluar semua potensi diriku dan terima kasih sebesar-besarnya buat UKM-PA Leuser yang telah membuatku menjadi MANUSIA, dengan memberi aku yang terlahir dengan paru-paru tidak sempurna ini tempat untuk mengasah dan mempertajam semua potensi yang kumiliki.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: