Selasa, 11 November 2008

Warung Kopi Solong Pasca Tsunami

Setelah hampir 10 tahun kutinggalan,akhirnya aku kembali lagi ke Banda Aceh, kota yang membentukku menjadi manusia dewasa. Ada berbagai perasaan bercampur saat aku tiba di Bandara Iskandar Muda dan menghirup kembali udara Banda Aceh setelah sekian lama. Ada banyak kenangan dan nostalgia di Kota ini. Ada kerinduan pada suasananya, terutama suasana warung kopi. Tapi karena tiba malam hari aku kurang begitu merasakan atmosfer kota ini.

Baru pada keesokan harinya aku bisa merasakan sendiri atmosfer kota yang kucintai ini, Tapi karena banyaknya bangunan dan jalan baru beberapa bagian kota ini sudah tidak kukenali lagi. Dulu, saat aku masih tinggal di sini, warung kopi di Ulee Kareng adalah pusat dari segala informasi dan berkembangnya isu-isu. Mulai dari masalah di kampus, perkembangan politik, peluang kerja sampai informasi tentang cewek cantik mahasiswa baru asal Lhokseumawe yang kos di Lampritpun informasinya dapat ditemukan di warung kopi.

Pelanggan warung kopi ini datang dari berbagai pelosok banda Aceh, mulai dari yang tinggal di Peurada yang hanya sektar 3 kilometer dari UleeKareng sampai yang tinggal di Ajun Atau Ketapang yang jaraknya 20 an Kilometer dari Ulee Kareng.

Dari dulu ada banyak Warung Kopi di Ulee Kareng ini, tapi rata-rata hanya didatangi oleh Pelanggan yang asli warga Ulee Kareng. Dulu hanya ada dua warung Kopi di Ulee Kareng yang pelanggannya merupakan orang luar Ulee Kareng dan nyaris tidak pernah didatangi oleh warga Ulee kareng sendiri. Yang pertama adalah Warung kopi Atlanta yang pelanggannya didominasi oleh anak muda yang berumur antara 18 sampai 30 tahun. Yang kedua Warung Kopi Jasa Ayah yang lebih dikenal dengan nama Solong untuk pelanggan yang lebih dewasa.

Anak muda yang menjadi pelanggan Atlanta rata-rata adalah mahasiswa,terutama Mahasiswa Unsyiah yang kampusnya terletak di Darussalam, 3 kilometer di Utara Ulee kareng. Bagi kami anak Teknik apalagi anak Leuser, Atlanta itu seperti kampus kedua. Mengerjakan PR, membicarakan sidang akhir dan macam-macam urusan kampus banyak kami lakukan di Warung Kopi ini. Saking akrabnya kami dengan Warung Kopi ini sehingga posisi duduk di Warung inipun sudah punya kapling-kapling khusus untuk komunitas tertentu. Kami anak Leuser misalnya duduk di ruangan di samping tempat peracikan kopi yang terpisahkan oleh dinding papan setinggi pinggang dari ruangan utama. Selain di dalam ruangan Pengelola warung ini juga menempatkan kursi dan meja di luar ruangan di bawah pohon-pohon mangga yang tumbuh di sana. Di meja luar ruangan itu adalah kapling dari para selebriti lokal. Para penyiar Radio Flamboyan, radio anak muda paling berpengaruh di Kota ini. Orang-orang biasa seperti kami agak segan untuk bergabung dengan para penyiar top itu yang wajah dan nama-namanya sangat kami kenal dengan baik tapi mereka sendiri sama sekali tidak mengenal kami.

Belakangan, selain Atlanta, di Ulee Kareng bermunculan lagi berbagai warung kopi baru yang menyasar pelanggan anak muda. Misalnya Petuah Toe yang menyasar pelanggan ABG-ABG SMA dan anak gaul. Lalu ada Warung Kopi Terapung yang pangsa pasarnya mirip Atlanta tapi pelanggan terapung secara umum kalau dilihat dari segi penampilan dan pakaian yang dikenakan tampaknya berasal dari kelas ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan Atlanta. Tapi tetap saja warung-warung kopi baru itu tetap tidak bisa mengalahkan dominasi Atlanta dan Solong.

Sayangnya ketika ekskalasi konflik meningkat, entah karena persaingan bisnis yang memanfaatkan situasi atau apa. Atlanta yang material utama bangunannya adalah Kayu dan beratap daun rumbia terbakar habis. Sejak itu pelanggan Atlanta pindah ke Solong yang kabarnya juga masih satu grup kepemilikan dengan Atlanta.

Karena kenangan pada suasana masa lalu itulah ketika sampai di Banda Aceh. Tempat yang pertama kutuju ketika bangun pagi keesokan harinya adalah Solong. Aku ke Solong karena aku tahu dengan datang ke Warung Kopi itu aku tidak perlu mengunjungi rumah teman-teman lamaku satu persatu. Aku akin semua temanku akan ada di Warung kopi ini. Dan ketika aku tiba di Solong dugaanku tepat-setepat-tepatnya. Ketika aku tiba Solong memang dipenuhi teman-teman lama.

Kerinduan yang kurasakan ternyata juga sama dirasakan oleh teman-teman lama itu. Kedatanganku yang tiba-tiba langsung mengundang kehebohan, aku tiba-tiba merasa seperti seorang selebritas kagetan. Seorang teman dengan bercanda bilang kenapa kedatanganku begitu tiba-tiba tanpa diawali sinyal apa-apa, karena menurut dia seharusnya sebeum aku datang ada hujan petir dulu yang mendahului.

Setelah beberapa lama di Solong dan mengobrol dengan teman-teman lama, aku mulai bisa merasakan suasananya dan akupun menemui kenyataan kalau komunitas teman-teman lamaku ini yang dulunya memiliki latar belakang yang sama denganku kini telah berevolusi menjadi komunitas multi dimensi.

Banyak diantara teman-temanku dulu itu yang sekarang bekerja di NGO-NGO asing yang bertebaran di penjuru Aceh sejak terjadinya bencana Tsunami. Kadang teman-teman ini bekerja di NGO yang sama tapi di posisi yang berbeda. Kadang adik kelas yang dulu kami OSPEK sekarang di NGO justru menjadi atasan teman seangkatanku yang dulu meng OSPEK-nya. Beberapa teman sudah menjadi staff tetap di tempatnya bekerja. Sehingga tidak jarang mereka dipekerjakan sebagai ekspatriat di berbagai negara yang merupakan lokasi proyek NGO tempat mereka bekerja. Di sini aku menemui teman yang pernah ditugaskan di New York, Uganda, Thailand, Nepal sampai Mongolia.

Meskipun aku berbicara dengan orang dan komunitas yang sama seperti kutinggalkan sepuluh tahun yang lalu, tapi warna baru yang dibentuk oleh suasana pasca tsunami membuat materi obrolan kami menjadi sangat berbeda. Dulu Banda Aceh benar-benar merupakan kota terpencil, kurang dari 10% anak muda kota ini yang pernah keluar dari Aceh. Realitas teman-temanku ini hanyalah relaitas yang sangat lokal, hanya seputaran Banda Aceh dan sekitarnya, selebihnya adalah reaitas maya yang hanya bisa dilihat di televisi. Bahkan medanpun saat itu bagi orang banda Aceh adalah sebuah kota Modern yang sangat prestisius dan nyrais tak terjangkau, apalagi Jakarta. Karena itulah aku benar-benar kaget dan terkagum-kagum menyaksikan teman yang dulu melongo dan memandangku penuh rasa iri. Iri pada kesempatan dan pengaaman yang kudapatkan dalam perjalanan. Teman yang dengan khusuk mendengarkan ketika aku bercerita tentang suasana dalam bis Kurnia seat 2-1, teman yang dengan wajah penuh kekaguman mendengarkan ketika aku bercerita tentang Gerai KFC yang punya mesin pengering tangan yang mengeluarkan udara hangat. Teman-teman yang dulu terkagum-kagum mendegarkan cerita tentang Jakarta dengan gedung-gedung jangkungnya dan suasana Cafe di Kemang. Sekarang kepadaku bercerita tentang sebuah kampung di Nepal yang penduduknya tidak pernah melihat laut. Bercerita tentang sungai-sungai di Uganda yang masih banyak buayanya. Tentang New York dengan Central Parknya. Peradaban di Aceh benar-benar telah berrevolusi, bukan hanya berevolusi. Tsunami telah membuat Quantum Leap dalam peradaban di Aceh.

Di samping teman-teman di Fakultas Teknik dan UKM-PA Leuser aku juga bertemu dengan teman-teman aktivis yang dulu bersama-sama denganku melakukan berbagai demo saat menuntut reformasi kini telah menjadi pejabat penting di Partai atau Pemerintahan. Beberapa menjadi wartawan, tidak sedikit pula yang sampai saat ini tetap konsisten menggaang massa untuk melakukan demo terhadap kebijakan pejabat-pejabat berbagai instansi yang tidak jarang adalah teman sendiri.

Uniknya meskipun teman-teman itu sekarang sudah berada dalam partai dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda. Tapi suasana di meja Solong saat kita mengobrol tetap suasana yang sama seperti 10 tahun yang lalu. Saling ledek dan saling mentertawakan. Misalnya katika kami mentertawakan seorang teman yang layaknya seorang pahlawan besar, sampai-sampai akupun sempat merasa teman ini saat ini sudah sedemikian 'besar'nya. Ternyata dia masih tetap orang yang sama seperti dulu, dia sama sekali tidak mengalami peningkatan wibawa di depan kami teman-teman lamanya.

Lalu kemarin aku membaca korang seorang teman ditetapkan menjadi tersangka kasus unjukrasa terhadap BRA yang melibatkan korban konflik tapi justru di warung kopi ini kutemui duduk semeja sambil ledek dengan teman yang merupakan pejabat yang menjadi sasaran demonya. teman-teman yang sekarang menjadi wartawanpun demikian, di Solong ni pula mereka saling ledek dengan nara sumbernya yang juga kawan lama.

Dahsyatnya efek Tsunami membuat kegiatan di Aceh menjadi kegiatan rekonstruksi sebuah kota yang terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. sehingga tidk heran sekarang banyak teman yang bekerja sebagai kontraktor bangunan. Bukan hanya teman yang satu jurusan denganku Teknik Sipil, Teman dari jurusan teknik Mesin, Teknik Kimia, Ekonomi, Mipa sampai Hukum dan pertanianpun banyak yang kemudian bekerja di proyek-proyek konstruksi. Beberapa dari mereka mengalami banyak masalah dalam pengerjaan dan sekarang dikejar headline. Maka lobi-lobi untuk royek dan segala permasalahannyapun banyak dilakukan di warung kopi ini.

Aku yang dibesarkan oleh kota ini benar-benar terpana menyaksikan revolusi sosial yang begitu cepat ini. Tsunami telah membuat para pelanggan Solong menjadi pribadi yang sangat berbeda, tapi meskipun begitu, semangat dan atmosfer di warung kopi ini, tetap semangat dan atmosfer yang sama seperti yang kutinggalkan 10 tahun yang lalu.

Wassalam

Win Wan Nur

1 komentar:

Jaka Rasyid mengatakan...

ha ha ha ha
pulang-pulang buka kartu
pulang sana. hahahahaha