Dua bulan yang lalu aku kembali mengunjungi Borobudur, kali ini dengan pengetahuan, mentalitas dan maksud yang berbeda. Jika dulu aku ke sana datang dengan status backpacker pemula yang masih norak dan pengetahuan yang masih sangat apa adanya. Kali ini aku datang dengan pemahaman yang sudah jauh lebih baik dan maksud utama kedatangankupun kali ini adalah untuk bekerja. Kali ini tujuan utamaku ke Borobudur adalah untuk mendampingi turis-turis asal perancis yang menjadi klien-ku. Jika sepuluh tahun yang lalu aku ditemani teman-teman dari mapala UGM yang tidak menjelaskan apa-apa tentang Borobudur, kali ini aku ditemani oleh seorang guide professional yang disediakan oleh tur operator yang menjadi partner kerjasamaku di Jogja.
Pak Bekti, guide yang disediakan partner kerjasamaku di Jogja ini sudah bekerja sebagai pemandu wisata sejak tahun 1977. Dia bisa menjelaskan secara komplit setiap detail kecil sejarah Borobudur lengkap dengan kisah dan cerita yang terpahat di relief-relief setiap batu yang menyusun candi spektakuler ini.
Dengan melihat proses pemugaran Borobudur saja, menyaksikan bagaimana ahli arkeologi bersama dengan para ahli dari disiplin ilmu lainnya bekerja sama mencari, mengumpulkan dan kemudian menyusun setiap balok batu bahkan serpihan kecil artefak yang berumur lebih seribu tahun ini. Siapapun orangnya tidak bisa tidak pasti akan terkagum-kagum menyaksikan karya manusia yang berbentuk candi ini. Dengan menyaksikan proses yang dilalui selama pemugaran ini, dengan mudah kita bisa membayangkan betapa besarnya dana yang dikeluarkan untuk merenovasi candi yang lama hilang terkubur tertimbun abu ini.
Proses renovasi ini mengundang kekaguman luar biasa bagiku yang punya latar belakang pendidikan Teknik Sipil karena di sini aku menyaksikan bagaimana dipraktekkannya teknologi modern di bidang rekayasa dipadu dengan kecanggihan ilmu komputer yang dipakai oleh para ahli arkeologi untuk mengidentifikasi dan menempatkan setiap kepingan kecil candi yang pertama kali dibangun di abad ke 8 ini ke tempat yang seharusnya. Meskipun (sayangnya) banyak kepingan candi ini yang sudah tidak utuh lagi akibat kurangnya penghargaan terhadap situs arkeologi semacam ini di masa lalu. Tapi tetap saja hal itu tidak mengurangi kekagumanku pada proses rekonstruksi Candi ini yang sebenarnya telah dimulai sejak zaman Belanda tapi dibongkar dan direkonstruksi kembali karena rekonstruksi zaman Belanda itu tidak memperhitungkan sistem drainase.
Meskipun dulu aku sendiri tidak begitu peduli dan merasakan betapa berharganya situs-situs lama dan legendaris semacam borobudur ini. Tapi dengan pemahaman sekarang, aku benar-benar geram membayangkan apa yang dilakukan orang-orang dan pemerintah masa lalu terhadap situs yang sangat berharga ini. Misalnya dulu batu-batu Borobudur pernah digunakan sebagai batu material bangunan pembuat gerbang di Magelang ini. Tapi yang paling mengenaskan dan mengundang keprihatinan setiap aku berkunjung ke Borobudur adalah menyaksikan patung-patung tanpa kepala yang mengelilingi Borobudur. Patung-patung itu kehilangan kepalanya akibat keserakahan para kolektor kaya yang egois dan tidak bertanggung jawab. Orang-orang kaya nan egois ini adalah dalang dari pencurian terhadap kepala arca-arca yang sangat berharga ini.
Dulu pengawasan terhadap material arkeologis semacam ini sangat lemah, sementara kehidupan masyarakat yang tinggal di sekeliling candi ini dari dulu sampai sekarang tetap begitu-begitu saja, lemah secara ekonomi. Situasi ini dimengerti dengan sangat baik oleh para kolektor benda seni dan sejarah yang tidak bertanggung jawab itu. Mereka kemudian memanfaatkan kemiskinan dan kepolosan warga sekitar Borobudur untuk kepentingan egoistik mereka. Dengan memberikan sedikit uang pada warga yang kurang beruntung secara ekonomi ini dengan jumlah yang tidak lebih dari seratus atau dua ratus ribu rupiah mereka sudah bisa mendapatkan kepala Arca dengan nilai seni dan sejarah yang tak ternilai. Dulu kepala arca-arca itu dipotong karena warga desa yang miskin dan polos itu kesulitan untuk mengangkut satu arca utuh terlalu sulit untuk.
Jika proses rekonstruksinya saja sudah mengundang kekaguman yang luar biasa, apalagi jika kita bayangkan bagaimana proses candi ini dibuat dulunya. Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepala setiap kali aku memperhatikan setiap detail konstruksi dan detail pahatan relief-relief Borobudur. Bangunan candi yang luar biasa ini dibangun dengan prinsip-prinsip rekayasa yang sangat jauh berbeda dengan prinsip rekayasa modern yang kupelajari di bangku kuliah dulu. Jika di teknik sipil aku mempelajari, untuk membuat bangunan semacam ini kita menyusunnya dengan besi dan agregat, memperhitungkan kekuatan dan daya tahannya berdasarkan perhitungan kekuatan agregat dan besinya dalam menahan beban yang direncanakan untuk ditanggung bangunan itu. Maka candi yang sudah berumur lebih dari satu millennium ini dibangun dengan cara menyusun balok-balok batu ukuran super besar yang disusun satu persatu dengan kekuatan yang sepenuhnya mengandalkan berat materialnya sehingga membentuk sebuah bangunan spektakuler. Balok-balok batu ukuran jumbo ini diukir dengan ukiran bermutu tinggi dan ditempatkan di tempat semestinya secara sangat detail dan presisi.
Yang menjadi pertanyaan besar sekaligus kekaguman luar biasa bagiku yang pernah mempelajari teknik sipil selama bertahun-tahun dan mempelajari fungsi berbagai alat pengukur, alat berat sebagai pendukung proses pengerjaan suatu proyek konstruksi adalah bagaimana orang-orang masa itu membuat ribuan balok batu dengan ukuran segila itu, mengukirnya dan mengangkutnya ke Borobudur kemudian menempatkan satu persatu di tempat yang seharusnya. Sementara pada masa itu jelas belum ada Theodolit, Back Hoe, Buldozer atau Crane.
Kemudian yang menjadi pertanyaan besar lain bagiku adalah masyarakat jenis macam apa yang mampu membuat bangunan sespektakuler ini tanpa alat-alat modern seperti yang aku sebutkan. Apalagi menurut Pak Bekti, candi yang pertama kali di bangun pada abad ke 8 ini diselesaikan bukan hanya dalam satu generasi, tapi tiga generasi wangsa Syailendra. Dimulai dari masa pemerintahan raja Samaratungga baru bisa diselesaikan pada masa pemerintahan cucunya.
Tidak seperti Pyramid atau Tembok besar yang dalam proses pembuatannya konon meninggalkan kepiluan bagi orang-orang kecil di zaman itu yang dipaksa bekerja dibawah ancaman yang akibatnya bahkan untuk mewujudkan ambisi besar rajanya banyak dari mereka yang kehilangan nyawa.
Menurut Pak Bekti, berdasarkan bukti-bukti sejarah yang didapat melalui penelitian atas literatur yang ditulis pada masa Borobudur dibangun, hal-hal tragis seperti yang terjadi di Cina atau di Mesir pada masa pembangunan Tembok besar dan Pyramid, tidak terjadi di Borobudur.
Pak Bekti menceritakan tidak seperti pembangunan Piramid dan Tembok besar yang konon dengan pemnaksaan, tidak demikian dengan Borobudur. Borobudur dibangun dengan penuh sukarela oleh rakyat Magelang dan sekitarnya pada masa itu. Mereka bekerja membangun Borobudur yang kerumitan dan kesulitannya nyaris tidak masuk akal ini benar-benar atas dasar sukarela dan penuh keikhlasan. Semua mereka lakukan adalah untuk menunjukkan ketaatan mutlak mereka sebagai kawula pada raja junjungan mereka.
Jadi kenapa Borobudur bisa berdiri megah dan menjadi kebanggaan Indonesia, negara yang dibentuk lebih satu milenium setelah Borobudur dibuat?
Selain skill dan kemampuan konstruksi dan ketersediaan material yang dimiliki oleh Syailendra. Pada masa itu yang menjadi faktor utama yang membuat Borobudur bisa berdiri adalah MENTALITAS JAWA, mentalitas taat buta pada junjungan. Saya pikir MENTALITAS JAWA itulah aset terbesar dan paling penting yang dimiliki oleh Wangsa Syailendra masa itu sebagai modal membangun Borobudur.
Mengingat Borobudur yang luar biasa ini proses pembangunannya membutuhkan beberapa generasi, maka tiap generasi yang secara estafet menyelesaikan proyek borobudur ini tentu tidak hanya mewarisi skill dan kemampuan membangun sebuah konstruksi dari generasi sebelumnya. Tapi dalam proses pembangunan Borobudur yang spektakuler ini. Aset tentu saja harus dikelola dengan baik dan harus tetap terjamin kesediaannya sampai candi ini selesai dibuat. Karena itulah Aset paling penting yang harus secara konsisten diturunkan dari generasi ke generasi adalah MENTALITAS JAWA, mentalitas taat mutlak kawula terhadap raja.
Oleh orang Jawa, mentalitas seperti ini tidak hanya diwariskan pada generasi Jawa yang membangun Borobudur tapi terus ditransfer dari generasi ke generasi sehingga 'mentalitas borobudur' menjadi mentalitas khas orang Jawa yang dapat kita saksikan pada perilaku sehari-hari orang Jawa sampai hari ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Senin, 17 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar