Minggu, 07 Desember 2008

Bener Meriah dan Identitas Kegayoan yang Terbelah

Saat saya kembali ke Takengen, saya mendapati Aceh Tengah kabupaten tempat saya berasal kini telah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah yang beribukota Takengen dan kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.

Ada satu kejanggalan yang saya rasakan berkenaan dengan keberadaan kabupaten baru yang bernama Bener Meriah ini. Kejanggalan itu saya rasakan baik saat saya berada di Aceh Tengah maupun di Bener Meriah sendiri. Saya merasakan ada suasana yang berbeda di Tanoh Gayo sekarang dibandingkan dengan ketika saya masih sering pulang dulu.
Dulu, sebelum ada Bener Meriah semua orang Gayo yang tinggal atau yang berasal dari seluruh wilayah kabupaten Aceh Tengah yang meliputi Kilometer 35 sampai Ise-ise, dari Rusip sampai Samarkilang. Semuanya memiliki kesadaran sebagai sebuah komunitas Gayo yang sama. Kalau sedang berada di luar Aceh Tengah, semua mengaku 'Urang Takengen'. dan diidentifikasi oleh orang luar Aceh Tengah sebagai ‘Orang Takengon’. Kesadaran inilah yang membentuk identitas kegayoan saya.

Sekarang, saya merasakan di antara masyarakat dua kabupaten ini mulai muncul semacam rasa keterpisahan secara sosiologis dan psikologis. Kesan yang saya tangkap, sekarang ini dalam diri orang Aceh Tengah dan Bener Meriah yang meskipun sama-sama orang Gayo tapi secara perlahan-lahan dalam individu Gayo yang tinggal di wilayah yang sekarang dipisahkan secara administratif ini mulai muncul kesadaran untuk mengasosiasikan identitas kelompok masing-masing sebagai 'kami' dan 'mereka'. Secara perlahan-lahan pula saya lihat sekarang sudah mulai muncul bibit-bibit rivalitas antara penduduk dua kabupaten ini. Salah satu indikasi dari munculnya fenomena ini bisa diperhatikan dalam kalimat-kalimat yang diucapkan para ceh didong jalu yang sekarang mendefinisikan ‘kami’ dan ‘kalian’ sekarang sudah dalam skala kabupaten bukan lagi kampung.

Sebelum Bener Meriah dimekarkan, sebenarnya sudah ada komunitas Gayo yang terlebih dahulu diasingkan dari komunitas besarnya dengan cara dipisahkan secara administratif. Mereka adalah Orang Gayo Lues dan Orang Gayo Serbejadi. Meskipun sama-sama Gayo dan berbicara dalam bahasa yang sama dengan saya dan orang-orang Gayo Aceh Tengah. Tapi kedua kelompok suku Gayo yang tinggal di luar wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah ini tidak termasuk kategori 'kami' dalam kesadaran kegayoan orang Gayo Aceh Tengah, termasuk saya. Padahal dalam tubuh saya sendiri mengalir darah keturunan Gayo Lues yang saya dapatkan dari Datu Anan (Ibu dari kakek) saya.

Dulu sekali sebenarnya Gayo Lues masuk dalam kategori ‘kami’. Tapi pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah melalui UU 4/1974 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juni 1974. Telah mencabut kesadaran kegayoan Orang Gayo Aceh Tengah terhadap Gayo Lues. UU 4/1974 itu mencabut akar kegayoan saya dari tanah asal Datu Anan saya, tepat 20 hari sebelum saya lahir.

Saat Gayo Lues masih merupakan bagian dari Aceh Tengah dan Takengen menjadi ibu kotanya. Di Takengen banyak sekali komunitas pelajar asal Gayo Lues yang bersekolah. Pelajar asal Gayo Lues ini bahkan sampai punya satu asrama khusus berlokasi di Dedalu dekat rumah orang tua saya. Panti Asuhan Budi Luhur yang saat itu dikelola oleh almarhum kakek saya juga banyak dihuni oleh anak-anak yang berasal dari Gayo Lues.
Pada saat itu orang Gayo Aceh Tengah masih menganggap orang Gayo Lues sebagai 'kami'. Tidak seperti orang Gayo Serbejadi yang sejak awal kemerdekaan tinggal di wilayah administrasi kabupaten Aceh Timur yang cerita tentang keberadaan mereka nyaris seperti dongeng dalam sudut pandang orang-orang Gayo di Takengen.

Tapi sejak Gayo Lues dimasukkan ke dalam wilayah Aceh Tenggara, Orang Gayo Lues jadi jarang sekali berhubungan dengan Takengen.
Ketika saya lahir, Gayo Lues sudah bukan bagian dari kabupaten Aceh Tengah. Orang Gayo Lues yang bersekolah di Takengen meskipun ada tapi sudah sangat sedikit. Saat itu mereka lebih banyak yang bersekolah di Kuta Cane yang merupakan ibukota kabupaten Aceh Tenggara.
Kegiatan pertandingan olah raga, pentas seni Gayo, Didong dan aktivitas budaya apapun yang berkaitan dengan Gayo yang diselenggarakan di kabupaten Aceh Tengah sama sekali tidak pernah melibatkan Orang Gayo Lues. Akibatnya interaksi Orang Gayo Aceh Tengah dengan Orang Gayo Lues menjadi sangat jarang. Sehingga sedikit demi sedikit Gayo Lues menjelma menjadi identitas Gayo yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Begitu berjaraknya Gayo Aceh Tengah dan Gayo Lues, sampai-sampai Tari Saman Gayo yang merupakan kesenian khas Gayo yang banyak dimainkan oleh Orang Gayo Lues menjadi seni yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Demikian pula dengan Didong Jalu, kesenian yang sering kami mainkan di Aceh Tengah menjelma menjadi sebuah seni yang asing di mata orang Gayo Lues dan Serbejadi.

Memang ketika sedang berada di luar Tanoh Gayo. Orang Gayo Lues dan Orang Gayo asal Aceh Tengah merasa mereka adalah saudara. Tapi hubungan persaudaraan itu bisa dikatakan seperti hubungan antar sepupu. Bukan hubungan antar saudara kandung. Ada kedekatan tapi sekaligus ada jarak psikologis yang memisahkan kedua kelompok suku Gayo ini.

Contoh dari adanya jarak psikologis ini adalah ketika saya tinggal di Banda Aceh. Di kota ini saya banyak memiliki kenalan orang Gayo Lues. Tapi meskipun akrab, ketika berada di antara komunitas teman-teman asal Gayo Lues ini saya tidak merasa senyaman saat berada dalam komunitas Orang Gayo asal Aceh Tengah. Saat berada dalam komunitas Orang Gayo Lues ada banyak materi pembicaraan mereka yang tidak saya fahami yang membuat saya merasa sebagai orang luar. Pembicaraan yang membuat saya merasa sebagi orang asing itu biasanya berkaitan dengan daerah asal dengan segala permasalahannya. Entah itu pembicaraan tentang bupati, pacuan kuda atau kegiatan kesenian yang mereka lakukan, rencana kegiatan amal yang akan dilakukan saat liburan nanti dan sebagainya. Semua pembicaraan itu terdengar asing di telinga saya dan membuat saya merasa tidak berhak untuk melibatkan diri di dalamnya.

Hal seperti inilah yang sekarang mulai terjadi dalam hubungan antara Aceh Tengah dan Bener Meriah. Contohnya saya lihat ketika seorang adik sepupu saya ditabrak oleh seorang pengendara motor asal Simpang Tiga Redelong.

Dulu kalau kejadian seperti itu terjadi lalu kita tanyakan siapa pelakunya. Orang Takengen pasti menyebut 'Orang Simpang Tiga' yang secara psikologis dianggap sebagai 'kita'. Biasanya pula untuk menyelesaikan masalah seperti ini juga lebih mudah untuk dilakukan secara kekeluargaan. Berbeda misalnya jika pelakunya adalah orang 'Bireuen' yang dikategorikan sebagai ‘mereka’.

Tapi sekarang situasinya berbeda, orang Redelong yang menabraknya oleh adik sepupu saya disebut sebagai 'Orang Bener Meriah' yang oleh sepupu saya ini dipahami sebagai 'mereka'.

Munculnya perasaan sebagai 'kita' dan 'mereka' ini tidak hanya terjadi pada kalangan remaja seperti sepupu saya. Sentimen perpecahan semacam ini saya lihat mulai melanda semua kalangan.

Ketika berada di Takengen saya sempat mewawancarai seorang ulama berpengaruh yang sekarang menjabat ketua MPU Aceh Tengah. Beliau berasal dari Teritit, sekitar 10 Kilometer dari Takengen tapi sekarang setelah pemekaran masuk ke dalam wilayah Bener Meriah.
Wawancara itu saya lakukan di rumah beliau di Pasar Pagi.

Saat sedang mengobrol dengan saya, ulama yang sangat saya hormati ini menerima panggilan telepon dari seorang kerabat beliau di Jakarta. Dalam omongan via telepon yang mereka lakukan. Saya mendengar mereka berdua berbicara tentang penjualan tanah sebuah yayasan di Jakarta yang uangnya akan digunakan untuk membangun yayasan yang sama di Bener Meriah. Secara umum tidak ada yang terlalu istimewa dalam obrolan mereka. Tapi ada satu kalimat dalam obrolan mereka yang dilakukan dalam bahasa Gayo yang membuat saya yang Orang Gayo merasa bukan bagian dari mereka.

Saya tiba-tiba merasa menjadi orang asing. Ketika mendengar Tengku yang saya wawancarai ini berkata kepada lawan bicaranya. Yang artinya kurang lebih begini “Apa yang kamu lakukan itu baik sekali, karena memang siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk membangun daerah kita kalau bukan kita sendiri orang Bener Meriah”.

Saya merasa asing karena saya yang lahir di Takengen dengan Bapak yang berasal dari Isaq dan Ibu dari Temung Penanti yang kedua wilayahnya masuk dalam wilayah admistrasi kabupaten Aceh Tengah tidak termasuk dalam ‘kita’ yang mereka bicarakan. Saya yang bukan ‘Orang Bener Meriah’ tidak termasuk dalam kategori orang yang bisa diharapkan oleh ulama yang saya hormati ini untuk membangun daerah ‘kita’.

Apa yang bisa saya simpulkan dari percakapan antara Tengku yang saya hormati ini dengan kerabatnya di Jakarta yang berasal dari Teritit seperti yang saya ungkapkan di atas adalah; pemekaran sebuah wilayah Gayo tidak hanya membelah identitas kegayoan orang Gayo yang tinggal di wilayah yang dimekarkan. Tapi pemekaran wilayah juga ikut membelah identitas kegayoan Orang Gayo yang tinggal di luar Tanoh Gayo.

Sebagaimana dulunya Orang Gayo Deret dan Gayo Lut seperti saya mengasosiasikan diri sebagai Orang Takengen dan Orang Gayo Lues mengasosiasikan diri sebagai Orang Belang Kejeren. Tidak lama lagi orang Teritit sampai Tiga Lima akan menyebut diri mereka sebagai Orang Redelong.

Saya dan Orang Gayo Aceh Tengah lainnya akan tetap disebut dan mengaku sebagai Orang Takengen, tapi dengan kesadaran sebagai individu yang merupakan bagian dari komunitas besar Orang Takengen dengan jumlah anggota yang tinggal setengah dari populasi sebelumnya.


Wassalam

Win Wan Nur

1 komentar:

nabil.berri mengatakan...

Jadi, pemekaran wilayah itu tidak perlu???