Kamis, 04 Desember 2008

Montessori, Pendidikan Anak dan Pembantu Indonesia

Kemarin istriku yang baru pulang dari pertemuan di sekolah anakku menelponku untuk menceritakan hasil pertemuan tentang kemajuan yang dicapai oleh anak kami selama sekolah dan juga kendala-kendala yang dia hadapi. Pertemuan yang diikuti istriku ini adalah semacam acara pembagian rapor di sekolah-sekolah tradisional.

Di TK Montessori tempat anakku sekolah, mereka tidak mengenal yang namanya penilaian dan laporan tertulis apalagi pemberian rangking. TK dan SD Montessori tidak pernah mengklasifikasikan murid-muridnya ke dalam klasifikasi bodoh dan pintar. Di sekolah ini setiap anak diperlakukan sebagai pribadi yang unik yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itulah Montessori menganggap adalah tidak mungkin menilai kemampuan seorang anak dengan ukuran angka. Cara Montessori melaporkan perkembangan anak adalah dengan mengundang orang tua untuk menyaksikan aktivitas anak mereka di kelas selama setengah jam. Lalu kemudian apa yang disaksikan selama setengah jam itu didiskusikan dengan guru yang di Montessori disebut 'Direktris'.

Yang menjadi direktris di kelas rose, kelas anakku adalah Valda, gadis Amerika berumur 26 tahun. Di samping aku dan istriku, Valda yang cantik dan sangat ramah ini termasuk salah satu orang yang paling diidolakan oleh anakku. Kepada istriku Valda menceritakan kalau anakku memiliki kemampuan yang sangat baik dalam hal berkonsentrasi. Menurut Valda anakku mampu mengerjakan aktivitas yang dia suka sampai selesai tanpa terganggu oleh suara gaduh teman-temannya. Daya serap terhadap informasi baru juga sangat baik. Ada beberapa hal positif lain yang disebutkan Valda tentang anakku.

Anakku yang tanggal 7 Desember nanti akan tepat berumur 4 tahun sekarang sudah bisa menyiapkan semua kebutuhannya sendiri tanpa perlu dibantu oleh orang dewasa. Itu bisa terjadi karena di sekolah Montessori ini anak-anak diajarkan untuk mandiri. Di sini anak-anak dibiasakan memakai sepatu sendiri, selesai makan mencuci piring sendiri, bahkan beberapa anak yang mengompol di kelaspun diajarkan untuk mengepel lantai dan mencuci celana bekas ompolannya sendiri.

Di samping mengajarkan kemandirian, aktivitas seperti itu juga melatih keterampilan motorik anak. Karena memang anak-anak yang masih berumur tiga tahun ini dalam tahapan psikologi perkembangan dikatakan masih berada dalam masa peralihan dari tahap perkembangan 'sensori motorik' ke masa 'pra operasional'.

Berdasarkan hasil dari banyak riset, para ahli menyimpulkan bahwa mengarahkan anak-anak sangatlah mudah. Melatih anak-anak untuk bisa mandiri seperti yang dilakukan di sekolah Montessori juga sangat mudah, karena anak-anak pada umur-umur TK seperti anakku ini perilakunya masih sangat mudah dibentuk. Yang menjadi masalah terbesar dalam membentuk kemandirian anak selalu datang dari orang tua dan orang dewasa lain yang berada di sekitar si anak. Berdasarkan pengalaman Montessori yang sudah nyaris seabad eksistensinya mereka juga menemukan bahwa semua kegagalan yang dialami oleh anak dalam mengikuti metode Montessori selalu berasal dari orang tua.

Karena itulah sebelum menerima seorang murid di sekolah ini, fihak Montessori terlebih dahulu melakukan seleksi ketat. Yang mereka test dalam proses seleksi tersebut bukan si anak yang menjadi calon murid melainkan orang tuanya. Hanya anak dari orang tua yang memiliki kesepahaman dengan Montessori yang bisa diterima di sekolah ini. Seleksi semacam itu mereka lakukan supaya program yang mereka buat dapat berjalan optimal. Sebab kalau orang tua tidak memiliki cara pandang yang sama dengan Montessori dalam mendidik anak. Apa yang didapatkan anak di Montessori akan sia-sia karena di rumah anak-anak yang sudah diajari mandiri ini kembali dilayani, biasanya oleh pembantu. Lalu jika anak seperti ini ada di Montessori, kebiasaan dilayani yang dia dapatkan di rumah akan dia bawa ke sekolah dan anak inipun akan menularkan mentalitas feodalnya itu kepada anak-anak yang lain. Dan hancurlah semua program yang dibuat Montessori.

Masalahnya biaya pendidikan di Montessori yang terbilang cukup mahal membuat anak-anak yang mendaftar ke sana selalu berasal dari kalangan mampu. Yang menjadi masalah dengan orang-orang yang berasal dari kalangan ini, biasanya mereka selalu memiliki pembantu di rumah. Para pembantu itu bertugas mengurusi semua keperluan anggota keluarga tersebut, termasuk anak-anak Balita yang sedang berada dalam tahapan psikologis sensori motorik dan pra operasional. Padahal anak-anak seumuran itu seharusnya dibiarkan melakukan berbagai aktivitas motorik untuk melatih keterampilan geraknya. Tapi karena diumur-umur seperti itu anak-anak ini malah dilayani bagaikan raja dan ratu. Akibatnya kemandirian dan kemapuan motorik anak-anak itu tidak berkembang dan merekapun tumbuh menjadi anak manja.

Situasi yang dihadapi kaum kaya ini diperburuk oleh kenyataan bahwa mereka tinggal di Negara yang bernama Indonesia. Di negara ini sulit sekali mencari pembantu yang punya mental orang merdeka yang bisa memandang majikan di tempatnya bekerja sebagai manusia yang setara. Hal ini sangat sering dikeluhkan oleh para orang tua murid di Montessori yang saya kenal ketika kami mengobrol di setiap acara pertemuan orang tua.

Di Indonesia ini para pembantu, baik yang berseragam maupun tidak. Hampir bisa dikatakan seluruhnya bermental Abdi Dalem yang dalam hubungan profesionalnya ketika bekerja selalu menempatkan diri sebagai alas kaki tuannya. Padahal para orang tua anak-anak Montessori yang saya kenal rata-rata adalah para ekspat berjiwa humanis yang tidak pernah menganggap pembantu di rumah mereka sebagai orang yang derajatnya lebih rendah. Tapi masalahnya mentalitas menghamba di kalangan kaum pembantu di Indonesia ini memang sudah berurat dan berakar karena tradisi. Inilah yang dikeluhkan para orang tua teman-teman anakku. Mereka mengeluh karena mereka sangat menyadari kalau keberadaan pembantu model begini di sekitar anak-anak mereka yang sedang mencari bentuk jati diri, betul-betul merusak.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: