Sabtu, 06 Desember 2008

Feodalisme, Montessori dan Punjabi

Jika para ekspat orang tua teman-teman anakku mengeluhkan mentalitas para pembantu Indonesia yang bekerja pada mereka. Hal sebaliknya terjadi pada keluarga kaya Indonesia baik itu orang kaya lama yang turun temurun bermental feodal atau orang kaya baru yang biasanya selalu ditindas dan dilecehkan kaget tiba-tiba jadi kaya. Dari banyak tipe orang kaya di Indonesia yang pernah saya temui, tipe terakhir ini biasanya adalah tipe yang paling menyebalkan. Karena biasanya sikap orang kaya tipe ini lebih feodal dari keluarga feodal yang memang sudah feodal turun temurun.

Dalam keluarga orang kaya bermental feodal, biasanya pengasuhan anak diserahkan sepenuhnya kepada pembantu entah itu yang tidak berseragam atau yang berseragam yang merasa diri lebih keren dari teman sejawatnya serta lebih suka dijuluki dengan istilah berbahasa asing 'baby sitter'.

Anak orang kaya bermental feodal yang semasa kecil diasuh oleh pembantu ini biasanya kemudian tumbuh dan besar menjadi anak-anak yang keras kepala dan egois. Anak-anak ini sampai dewasanya biasanya juga susah sekali mengaku salah apalagi meminta maaf. Sifat khas seperti ini muncul bukanlah karena kesalahan si anak tapi karena orang dewasa yang mengasuhnya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini sejak kecil sebenarnya sedang dilatih untuk menjadi pribadi yang menyebalkan.

Metode latihannya misalkan jika si anak melakukan kesalahan. Orang dewasa yang ada di sekitar si anak tidak mengajarkannya untuk belajar dari kesalahan yang baru dia buat. Malah mencarikan kambing hitam buat disalahkan.

Contoh umum kejadian seperti ini yang saya lihat di setiap keluarga yang memiliki anak kecil. Paling gampang dilihat misalnya ketika seorang anak terjatuh di lantai akibat kesalahannya sendiri. Oleh orang dewasa di dekatnya yang biasanya pembantu, si anak bukannya diajari untuk berhati-hati dan menjadikan apa yang baru dialaminya sebagai pengalaman tapi malah lantainya yang dipukuli dan disalahkan. Begitu umumnya kejadian seperti ini di setiap keluarga Indonesia sampai-sampai seorang Anggun C. Sasmi, penyanyi internasional asal Indonesia yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negeripun masih menerapkan metode pendidikan anak khas Indonesia ini pada anaknya. Jadi tidak usah heranlah jika sekarang orang Indonesia termasuk pejabat-pejabatnya susah sekali mengakui kesalahan dan selalu mencari kambing hitam atas semua kesalahan yang mereka buat.

Masalah lain yang sering dialami oleh anak-anak di rumah adalah Televisi. Saya membaca di berbagai media ada banyak orang tua yang mengeluh tentang kualitas acara televisi di Indonesia. Banyak yang mengeluh acara televisi merusak perkembangan anak dan lain sebagainya. Menyalahkan para Punjabi dan cukong-cukong India lain yang mencari nafkah dengan menjadi produser berbagai sinetron sebagai tidak nasionalis dan lain sebagainya.

Sekolah Montessori sangat tidak menganjurkan anak-anak yang berumur di bawah 6 tahun untuk menonton televisi meskipun itu acara yang ditonton itu adalah acara-acara TV yang mendidik semacam Sesame Street atau Little Einstein. Jika ini saja tidak dianjurkan apalagi game-game komputer semacam playstation tentu lebih tidak boleh lagi.

Alasan sekolah Montessori tidak menganjurkan menonton televisi bahkan untuk acara semacam Sesame Street dan Little Einstein adalah karena meskipun acara semacam itu mendidik, tapi menonton acara semacam itu membuat anak menjadi pasif. Tubuh mereka tidak bergerak, mereka tidak melatih perangkat motoriknya. Di samping itu efek buruk lain yang didapatkan anak-anak yang kecanduan televisi di usia yang terlalu dini ini adalah mereka memiliki kecenderungan mencampuradukkan kenyataan dan fiksi. Berlari, naik sepeda, melompat-lompat di atas tempat tidur atau Sofa jauh lebih bermanfaat bagi anak-anak dibandingkan menonton TV. Karena itulah sekarang TV di rumahku sama sekali tidak pernah lagi kami nyalakan.

Sebagai pengganti nonton TV, anakku yang tampaknya mewarisi bakat melukis dariku kubelikan kertas, spidol, cat air dan krayon. Sehingga sekarang melukis itulah aktivitas favoritnya. Setiap dia bosan melakukan aktivitas apapun, yang dia cari selau kertas dan spidol. Kemudian setiap sore anakku ditemani istriku main ke lapangan di kompleks perumahan tempat kami tinggal. Di sana istriku mengajarinya memanjat pohon mangga. Tiga kali seminggu di lapangan ini ada latihan Tae Kwon Do, jadi tiap kali di lapangan ini ada latihan anakku juga ikut-ikutan berlatih dengan anggota dojang lainnya.

Karena itu, berdasarkan alasan di atas. Menurutku keluhan dan tudingan para orang tua pada para produser sinetron berdarah India adalah keluhan dan tudingan yang sangat konyol dan salah alamat sebab solusi untuk semua keluhan mereka bukan berada di tangan para produser itu. Tapi ada di diri para orang tua itu sendiri. Solusinya sangat sederhana, matikan bahkan kalau perlu jual TV-nya. Habis Perkara.

Mungkin untuk melaksanakan solusi ini sulit pada awalnya. Anak-anak yang sudah terbiasa dengan televisi juga pasti akan protes. Tapi apa yang harus diketahui oleh semua orang tua di dunia, anak-anak adalah makhluk pembelajar terbaik di jagat raya. Ketika mereka melihat orang tuanya tidak pernah menonton TV dan konsisten dengan sikap itu. Kemudian anak-anak itu juga diberi alternatif aktivitas lain maka anak-anak itu pasti akan segera melupakan televisi.

Jadi kesimpulannya, kalau sekarang banyak anak-anak yang perilakunya jadi aneh dan menyimpang karena Televisi, salahkanlah orang tuanya bukan Punjabi, Parwez atau Soraya apalagi si Anak.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: