Rabu, 03 Desember 2008

Takengen Setelah 10 Tahun

Dua hari setelah acara konferensi di Hermes Palace saya berangkat ke Takengen, kota kelahiran saya yang sudah cukup lama tidak pernah saya kunjungi.

Tidak banyak yang berubah dari Kota ini, kecuali jalan dua jalur dari Paya Tumpi menuju pusat kota ditambah dengan lampu lalu lintas di simpang empat dan simpang Polres. Selebihnya pusat Kota Takengen, secara fisik bisa dikatakan masih persis sama seperti saat saya masih SD dulu.

Di sekitar pasar pagi saya lihat rumah-rumahnya tetap rumah papan dua tingkat berbentuk ruko sebagaimana yang pernah saya ingat saat saya pertama kali bisa mengingat. Sedikit perubahan baru terasa saat saya melintas daerah sekitar pasar Inpres. Ada banyak bangunan ruko yang baru dibangun di sana ditambah dengan keberadaan sebuah restoran mahal berkelas nasional yang rasa makanannya sama sekali tidak jelas dan sama sekali tidak istimewa. Gurami Goreng Asam manis di Restoran ini rasanya hambar sehingga butuh sedikit perjuangan dan sedikit kenangan terhadap bayi kurang Gizi di NTB sana untuk bisa menghabiskannya. Jika rasa Gurami Asam manis di restoran ini saya bandingkan dengan rasa gulai bandeng di warung Yusra Baru di Simpang Lima. Perbandingannya seperti rasa gula jawa berbading rasa coklat bulat Home Made bersertifikat buatan Swiss yang berlapis lima dengan tiap lapis masing-masing memiliki variasi rasa yang berbeda.

Yang lain jika bisa dikatakan sebagai perubahan adalah penampilan mesjid raya Ruhama yang sekarang jadi terlihat aneh dengan kubah-kubah baru berwarna emas yang bukannya membuat mesjid ini tampak lebih indah justru sebaliknya membuatnya jadi terlihat norak dan 'nggak matching' dengan lingkungan sekitarnya.

Selain perubahan negatif pada penampilan Mesjid Ruhama, saya juga melihat sebuah perubahan lain pada wajah kota ini yang sangat saya sesalkan. Perubahan ini sangat saya sesalkan karena tidak seperti perubahan penampilan mesjid Ruhama yang suatu saat bisa saja diubah kembali jika Takengen beruntung dipimpin oleh Bupati yang punya cita rasa seni, perubahan yang satu ini adalah cacat permanen terhadap wajah cantik kota Takengen. Cacat permanen yang dibuat sendiri dengan sengaja dan berbiaya mahal pula.

Dulu Kota Takengen dikenal sebagai kota dataran tinggi yang indah, kota yang dikelingi gunung-gunung yang ditumbuhi hutan pinus alami yang keindahannya menyatu dengan lansekap kota ini. Salah satu di antara gunung-gunung yang menyatu membentuk kecantikan alami kota Takengen itu adalah Bur ni Pereben yang terletak tepat di belakang rumah saya. Gunung ini dulu pernah ditanami pohon pinus yang membentuk aksara yang akan terbaca sebagai kata GAYO. Tapi sayangnya pohon pinus yang membentuk kata GAYO itu tidak pernah besar karena selalu terbakar di musim kemarau.

Sekarang Bur ni Pereben, gunung yang merupakan salah satu latar belakang dan ciri utama kota Takengen ini terlihat jelek sekali. Bur ni Pereben terlihat jelek karena di gunung ini Pemerintah Aceh Tengah membangun jalan yang sama sekali tidak jelas peruntukannya. Jalan itu dibangun tepat di bagian tengah antara kaki dan puncak gunung ini, tepat menghadap Kota Takengen melintang dari Bale sampai ke ujung desa Dedalu. Jalan yang dibangun entah untuk manfaat apa ini membuat penampilan gunung cantik ini tampak cacat sehingga merusak seluruh aspek keindahan kota Takengen. Akibat dari cacat yang sengaja dibuat pada 'wajah' Bur ni Pereben ini, kota Takengon yang cantik sekarang terlihat seperti Luna Maya dengan codet besar melintang di pipi.

Di gunung lain yang letaknya tepat di seberang gunung ber'codet' ini. Di sisi lain danau Laut Tawar di daerah Kebayakan sekitar Mendale, tampak bendera merah putih ukuran besar yang sepertinya dibuat dari beton. Bendera ini dibuat dengan sangat baik dan dapat dilihat dari seluruh bagian Kota Tekengen.

Meskipun ada beberapa perubahan negatif pada fisik kota ini tapi perubahan-perubahan itu tidak cukup signifikan untuk sampai membuat saya merasa merasa asing sebagaimana yang terjadi pada saya ketika saya tiba di Banda Aceh, kota yang membesarkan saya menjadi manusia dewasa. Apa yang saya rasakan di Takengen terbalik dengan apa yang saya rasakan di Banda Aceh.

Di Banda Aceh saya merasa asing dengan tampilan baru kotanya tapi tidak dengan orang-orangnya. Saya tidak merasa asing karena ketika saya mulai berbicara dengan orang-orang Banda Aceh, saya langsung dapat merasakan semangat yang sama seperti yang saya rasakan dulu ketika saya masih menjadi penduduk resmi kota ini. Meskipun secara materi apa yang diomongkan sudah berbeda dengan beberapa tahun yang lalu tapi saya dapat melebur dengan orang-orang Banda Aceh langsung pada saat itu juga, meskipun orang yang saya ajak mengobrol itu belum pernah saya kenal sebelumnya.

Berkebalikan dengan Takengen, saya merasa sangat familiar dengan tampilan fisik kotanya tapi langsung merasa asing ketika saya mulai berbicara dengan penduduk kota kelahiran saya ini. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo dengan mereka, terutama dengan kalangan mudanya. Saya langsung merasakan ada perubahan yang asing dalam cara, nada bicara dan istilah-istilah yang mereka gunakan.

Saya yang terlahir dengan bahasa ibu 'Gayo' tentu saja sangat fasih berbahasa Gayo karena bahasa inilah bahasa yang pertama kali saya kenal dalam hidup saya. Tapi selama kurun waktu 10 tahun belakangan ini bahasa Gayo yang saya gunakan sama sekali tidak mengalami perkembangan, karena dalam kurun waktu itu bisa dikatakan saya terisolasi penuh dari komunitas utama penutur bahasa Gayo. Ketika sekarang, saya penutur asli bahasa Gayo yang mengenal bahasa Gayo versi lama tiba-tiba masuk kembali ke dalam komunitas utama penutur bahasa Gayo di Kota Takengen ini. Secara ajaib tiba-tiba saya merasa sedikit asing dengan bahasa ibu saya ketika bahasa itu dituturkan oleh orang Gayo lain yang menetap di tempat asli bahasa ini berkembang.

Saat berbicara dengan orang-orang Takengen saya menemukan banyak kata-kata janggal serapan dari bahasa Melayu versi Indonesia dalam kosa kata bahasa Gayo mereka, kosa kata yang dulu sama sekali tidak pernah saya kenal.

Kosa kata baru itu misalnya kata 'kayak e' yang merupakan terjemahan dari bahasa Indonesia 'sepertinya'. Dulu saat saya masih berada dalam komunitas ini, saya dan orang orang Gayo lainnya menggunakan kata 'nampak e' untuk terjemahan kata ini. Sebagaimana halnya ketika saya masih sering pulang ke Takengen dulu, sampai sekarangpun saya masih tetap menggunakan istilah 'nampak e' ketika konteks ini saya gunakan saat saya berbicara dalam bahasa Gayo dan semua orang gayo yang saya kenal juga menggunakan kata itu. Tapi sekarang, pilihan kata yang saya gunakan ini terdengar janggal di telinga orang Gayo yang tinggal di Takengen. Sayapun juga demikian, saya merasa janggal dengan kata baru yang mereka gunakan, yaitu 'kayak e' yang merupakan peng'gayo'an dari kata bahasa Melayu versi Indonesia 'Kayaknya'.

Masih banyak kosa kata baru lainnya yang sekarang umum mereka gunakan tapi dulu tidak pernah saya kenal. Kata-kata itu misalnya untuk mengatakan besarnya, sekarang beberapa orang Gayo yang saya temui mengatakan 'besar e', bukan lagi 'kul e' yang merupakan kosa kata asli bahasa Gayo. Demikian juga untuk pemakaian istilah dalam kata-kata lain seperti kata 'duduk' dan 'teman' misalnya. Sekarang anak muda di Takengen saya lihat cenderung lebih suka menggunakan kata serapan dari bahasa melayu tersebut ketimbang kosa kata asli bahasa Gayo 'kunul' dan 'pong'.

Kejanggalan lain yang saya rasakan ketika berada di Takengen adalah ketika saya menyaksikan pergaulan antara muda-mudi di kota ini. Saya amati kalau sekarang pergaulan antar jenis anak-anak muda Takengen sudah jauh lebih bebas dan terbuka dibandingkan pergaulan muda-mudi pada saat saya masih seumuran mereka dulu. Perbedaan itu tampak sangat mencolok ketika saya memperhatikan perilaku dan penampilan gadis-gadis muda kota Takengen. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan penampilan dan perilaku umum gadis-gadis muda di masa saya masih ABG dulu.

Ada dua perbedaan mencolok yang saya lihat; pertama dibandingkan dengan gadis-gadis muda pada masa saya, gadis-gadis muda Takengen sekarang terlihat jauh lebih tidak malu-malu menunjukkan kemesraan terhadap pasangan ABG mereka di depan umum, perilaku mereka sekilas sangat mirip seperti perilaku ABG-ABG dalam Sinetron yang diputar di berbagai saluran TV swasta. Perbedaan kedua, yang sangat jelas terlihat ada pada penampilan fisik. Tidak seperti gadis-gadis muda di masa saya ABG dulu yang rata-rata keindahan rambutnya bisa bebas kita nikmati, sekarang kepala gadis-gadis muda kota Takengen yang enerjik itu semuanya ditutupi jilbab atau kerudung.

Begitulah kesan awal kunjungan saya sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di Takengen dan sekaligus penutur asli bahasa Gayo terhadap kota terbesar di tanah Gayo ini.

Wassalam

Win Wan Nur

2 komentar:

Pemulung Makmur mengatakan...

Aku rasa itu adalah gejala yang umum terjadi di setiap daerah bang, bukan kah perubahan itu mutlak terjadi. terlepas yang terjadi itu positif ataupun negatif.
oya, aku juga mau tau bang, bagaimana sih tanggapan masyarakat akar rumput di gayo terhadap isu pembentukan Aceh Leuser Antara?
yang udah abang alami sendiri sih..

Asal Linge Awal Serule mengatakan...

Memang itu Gejala Umum Lung, cuma aku merasa gejala itu tetap menarik waktu gejala itu kualami sendiri.

Tanggapan akar rumput terhadap Isu Pembentukan Leuser Antara sangat bervariasi. Mulai dari yang bersedia mati untuk berdirinya Provinsi Leuser Antara sampai yang Bersedia Mati asal Provinsi itu tidak terbentuk.

Nanti tunggu aja laporan detail dari pengamatanku selama di sana.