Rabu, 10 Desember 2008

Teritit-Pondok Sayur dan Pernikahan Seorang Pejabat

Pada hari keduaku di Takengen, aku mengunjungi Bener Meriah sekalian untuk menghadiri pernikahan seorang teman lama. Mungkin karena datang dari jauh, kehadiranku cukup diapresiasi oleh temanku ini. Aku diajak ikut dalam rombongan pengantin yang membawanya dari Takengen menuju ke Desa Waq Pondok Sayur, kampung teman ini, dimana pesta pernikahannya dilaksanakan. Untuk menuju Pondok Sayur ada dua alternatif jalan, melalui Teritit atau Pante Raya. Kami memilih lewat Teritit, melalui jalan yang sudah sangat aku kenal.

Dulu aku sering melewati jalan ini untuk menuju ke Isaq Busur di dekat Simpang Tiga, keluargaku memiliki sawah di sana. Dari Teritit sampai ke Tingkem, aku perhatikan belum ada hal yang terlalu istimewa yang terjadi di Bener Meriah sejak kabupaten ini dimekarkan. Pemandangan kanan kiri jalan di sepanjang perjalanan ini tetap didominasi oleh kebun kopi diselingi persawahan yang ditanami palawija atau padi. Kami juga melewati kampung-kampung khas dataran tinggi Gayo dengan rumah-rumah berdinding papan kayu yang tidak dicat, beratap seng yang berwarna kecoklatan akibat karat.

Di halaman depan beberapa rumah yang tampak bersih terlihat hamparan biji kopi arabika yang dijemur di atas tikar kain goni dengan seorang perempuan 'berupuh panyang' yang kadang sambil menggendong bayi di punggungnya sedang menggaruk biji-biji kopi yang dijemur. Pemandangan yang persis sama seperti apa yang ada di dalam kepingan memori tentang jalan ini yang tertanam di kepalaku. Aku mengenali biji kopi yang dijemur di halaman rumah-rumah yang kami lewati itu sebagai kopi arabika dengan melihat warna hamparan biji kopi yang dijemur itu yang didominasi oleh warna putih gading yang merupakan warna kulit tanduk biji kopi arabika dan sedikit bercak hitam yang merupakan sisa kulit merah yang tidak bersih terbuang saat penggilingan gelondong.

Perubahan mencolok baru terlihat ketika kami memasuki wilayah ibukota Bener Meriah, Simpang Tiga Redelung. Ada banyak bangunan baru yang dibangun sebagai gedung pemerintahan di sana. Bangunan-bangunan megah itu dibangun di atas lahan yang luas di antara persawahan dan kebun kopi.

Memasuki Kota Simpang Tiga Redelung dengan bermobil, serasa seperti sedang berada di Kota Bandung. Guncangan-guncangan sporadis yang aku rasakan saat berada di atas mobil yang membawaku ke Pondok Sayur ini menunjukkan adanya kesamaan bentuk permukaan jalan antara jalanan di ibukota Kabupaten Bener Meriah ini dengan permukaan jalan-jalan di ibukota Provinsi Jawa Barat. Sama-sama dipenuhi lobang menganga akibat kurang dirawat.

Selain perubahan mencolok dengan adanya bangunan-bangunan baru gedung pemerintahan, bangunan-bangunan di dalam kota Simpang Tiga Redelung masih tetap sama seperti dulu. Didominasi oleh bangunan-bangunan ruko berdinding papan kayu berlantai dua. Bedanya sekarang di ruko-ruko itu terlihat aktivitas jual beli yang ramai. Berbeda dengan Simpang Tiga Redelung, ibukota Kecamatan Bukit yang dulu kuingat nyaris seperti kota mati. Sangat berbeda dengan Pondok Baru yang merupakan ibukota kecamatan Bandar yang merupakan kota kedua terbesar di dataran tinggi Gayo setelah Takengen.

Keluar dari Kota Simpang Tiga Redelung kami melintasi desa Bale yang juga cukup familiar bagiku. Dulu waktu kecil aku cukup sering berkunjung ke sini karena aku punya seorang kerabat yang tinggal di desa ini. Kami terus melewati simpang Isaq Busur, melintasi Wih ni Konyel tempat kerabatku yang tinggal di desa Bale tadi pernah punya kebun kopi. Yang paling kuingat dari kebun kopi ini adalah pohon jambu air yang dulu ketika aku masih kecil selalu kupanjat setiap musim berbuah. Pohon jambu itu tumbuh di sisi kebun yang curam dekat alur sungai kecil yang memisahkan kebun milik kerabatku ini dengan kebun sebelah. Tapi sekarang kulihat di atas tanah bekas kebun kopi milik kerabatku ini telah dibangun sebuah pabrik kopi berukuran raksasa untuk skala Pondok Sayur.

Tidak lama kemudian kamipun tiba di desa Waq, desa kelahiran temanku yang menikah ini yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Simpang Tiga Redelung. Sepanjang jalan menuju ke rumah temanku ini berjejer puluhan karangan bunga dengan ucapan 'selamat menempuh hidup baru' yang datang dari berbagai kalangan baik itu institusi pribadi, partai politik sampai institusi pemerintahan.

Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, biasanya kalau dalam satu acara pernikahan ada banyak karangan bunga. Ttu menandakan kalau yang menikah itu adalah anak dari seoarng pejabat penting. Tapi banyaknya karangan bunga yang berjejer berisi ucapan selamat atas pernikahan temanku ini bukan karena temanku ini anak seorang pejabat penting. Orang tua temanku ini hanyalah seorang seorang guru SD sekaligus seorang petani kecil. Tapi temanku yang tidak sempat menamatkan kuliahnya di Universitas Gajah Putih Takengen tapi bergelar MSc (Master Semasa Conflict) ini sendirilah yang sekarang merupakan pejabat tinggi di salah satu institusi penting tingkat provinsi yang dibentuk pasca penanda tanganan MoU Helsinki.

Jika memakaii cara pandang lama dalam melihat seorang pejabat. Kondisi rumah temanku ini, akan terlihat sangat janggal untuk ukuran rumah seorang pejabat tinggi di sebuah institusi penting tingkat provinsi. Orang yang terbiasa melihat mewah dan menterengnya rumah seorang pejabat pimpro di dinas PU kabupaten yang mengelola proyek dengan nilai beberapa milyar pasti akan terkejut melihat rumah temanku yang dalam kapasitasnya sebagai pejabat tinggi di institusi tempatnya bekerja bertanggung jawab mengelola dana sedikitnya 300 Milyar rupiah per tahun. Aneh, karena setelah beberapa tahun menjabat teman ini hanya memiliki sebuah rumah berbentuk ruko, berdinding papan kayu tanpa cat, beratap seng kecoklatan karena karat. Aku taksir nilai dari seluruh bangunan rumah temanku yang sudah sangat lama dibangun oleh orang tuanya ini tidak lebih dari 20 juta rupiah. Bentuk dan kondisi rumah ini persis sama dengan rumah-rumah lain di sekitarnya dan rumah-rumah yang kulihat di pinggir jalan selama perjalanan dari Teritit sampai ke desa ini. Sama sekali tidak ada indikasi khusus yang menunjukkan bahwa rumah ini adalah rumah seorang pejabat tinggi.

Kondisi ini terasa lebih janggal lagi karena saya tahu di Banda Acehpun si teman ini tinggal di sebuah rumah bantuan untuk korban tsunami yang dia sewa seharga 7,5 juta per tahun dari si pemilik rumah. Rumah tempat tinggal temanku yang pejabat tinggi ini berbentuk rumah panggung dengan dua kamar berdinding kayu, terletak di pinggir kali yang diepanjang sisinya terlihat pemandangan bagian belakang rumah-rumah penduduk yang menjorok ke kali. Setiap siang dan sore hari aku bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang mencuci piring atau pakaian tepat di seberang kali yang tidak terlalu lebar di sebelah rumah temanku ini. Tanah urug di halaman depan rumah berwarna hijau daun yang disewa temanku di Banda Aceh ini becek seperti kubangan saat musim hujan tiba.

Turun dari mobil, rombongan kami disambut oleh keluarga teman ini. Berdiri di antara anggota keluarga temanku ini, tampak beberapa pejabat penting dari kabupaten Bener Meriah dan pejabat tinggi tingkat kabupaten dari institusi yang dipimpin temanku ini di tingkat provinsi. Kemudian acara pesta pernikahan inipun berlangsung. Dimulai dari sambutan tari guel, prosesi melengkan dan seterusnya. Pesta berlangsung sampai larut malam dengan pementasan seni Saman Gayo dan Didong Jalu.

Lamanya prosesi pesta ini serta bervariasinya kalangan yang hadir dalam acara pesta pernikahan temanku ini segera kumanfaatkan untuk mempelajari situasi yang sebenarnya terjadi di Bener Meriah berkaitan dengan Isu pemekaran provinsi ALA (Aceh Leuser Antara). Sepanjang prosesi pernikahan ini aku mewawancarai berbagai kalangan. Mulai dari warga biasa penduduk kampung Waq ini. Orang Jawa dari desa sebelah yang melihat ramainya acara pesta datang untuk berjualan gulali. Pedagang suku Aceh yang membuka toko kelontong di seberang jalan sampai intelektual Bener Meriah pimpinan sebuah LSM yang juga hadir dalam acara ini. Tidak lupa aku juga menyempatkan diri untuk mengunjungi daerah antara Bener Kelipah dan Ramung Kengkang yang dikenal sebagai basis utama pendukung ALA untuk menanyakan sendiri dan merasakan sendiri bagaimana situasi dan kondisi daerah ini sebenarnya, seperti apa pandangan dan pendapat mereka terhadap isu pemekaran yang cukup heboh belakangan ini.

Hasil wawancara serta situasi dan kondisi daerah dan masyarakat Bener Meriah berkaitan dengan isu ALA akan aku tuliskan dalam kesempatan lain.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

Tidak ada komentar: