Jumat, 19 Desember 2008

Desa Waq Selama dan Pasca Konflik

Desa Waq di Pondok Sayur adalah sebuah desa yang unik. Orang Gayo yang tinggal di desa yang terletak di salah satu kabupaten di Tanoh Gayo ini, dalam skala yang lokal adalah minoritas dibandingkan suku Jawa yang tinggal di desa-desa sekelilingnya. Desa yang mayoritas penduduknya suku Gayo ini seolah dikepung oleh empat desa lain yang memiliki penduduk mayoritas suku Jawa. Di Utara, Desa waq berbatasan dengan Desa Geresek. Di timur, Desa waq berbatasan dengan desa Mupakat Jadi yang dipimpin oleh kepala desa bernama Tukiran, salah satu dari puluhan kepala desa yang berdemo ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Saat itu nama Tukiran sempat populer karena namanya di blow berbagai media ketika atas nama kepala-kepala desa yang lain dia berbicara di gedung DPR Senayan menuntut pembentukan provinsi ALA. Di Selatan, Desa Waq berbatasan dengan Desa Panji Mulia I dan di Barat dengan desa Panji.

Semasa konflik, Desa Waq ini termasuk salah satu dari beberapa desa di Tanoh Gayo yang dikategorikan sebagai daerah 'hitam'. Desa ini disinyalir sebagai tempat tinggal beberapa tokoh GAM Linge yang berpengaruh pada masa itu. Sehingga di masa konflik, desa ini bisa dikatakan merupakan salah satu desa Gayo yang paling menderita.

Semua berawal dari sebuah peristiwa ketika dua orang suku Jawa yang berasal dari Desa Geresek ditemukan tewas di dalam hutan. Menurut seorang warga Desa waq yang saya wawancarai, kedua orang suku Jawa yang tewas itu terbunuh saat menenteng senjata api rakitan. Pembunuhan terhadap kedua orang suku Jawa itu disinyalir dilakukan oleh GAM.

Kejadian terbunuhnya dua orang suku Jawa warga Desa Geresek itu langsung mengundang perhatian. Tidak berapa lama setelah kejadian, aparat keamanan dikirim ke desa itu untuk mempelajari situasi dan kemudian memutuskan untuk mendirikan pos pengamanan di desa tetangga desa Waq tersebut. Bukan hanya desa Geresek tapi juga tiga desa yang lain. Dan dari sinilah penderitaan warga Desa Waq bermula.

Sama seperti warga Desa Waq, dalam konflik ini orang-orang suku Jawa yang tinggal di sekeliling Desa Waq juga diliputi rasa ketakutan atas keselamatan diri mereka. Tapi mereka merasa terlindungi dengan keberadaan aparat keamanan yang ditempatkan di desa mereka. Entah karena merasa terlindungi atau karena apa. Menurut warga desa Waq. Sejak kehadiran aparat di desa mereka, orang-orang suku Jawa yang tinggal disekeliling desa Waq mulai bersikap arogan terhadap suku Gayo.

Sejak keberadaan aparat keamanan di Desa mereka, orang-orang Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq seringkali tanpa alasan yang jelas memukuli orang Gayo warga Desa Waq. Ada kesan kalau mereka menganggap seluruh warga Desa Waq adalah sekumpulan pemberontak yang sama sekali tidak memiliki hak untuk hidup di wilayah administrasi negara yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta tahun 1945 ini. Ini bisa saya simpulkan berdasarkan penuturan warga desa Waq yang pernah menjadi korban pemukulan atau perampasan oleh warga desa tetangga mereka. Saat itu warga Desa Waq yang mereka pukuli diteriaki sebagai pemberontak, yang diikuti dengan berbagai kata caci maki lainnya sambil mengatasnamakan negara. Berdasarkan informasi dari penuturan beberapa warga Desa Waq yang saya wawancarai. Saya menangkap, ada kesan patriotisme dalam diri orang-orang suku Jawa yang tinggal disekeliling desa Waq ini ketika mereka melakukan penindasan terhadap warga Desa Waq.

Sepertinya karena adanya kesan patriotisme ini pulalah orang-orang Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq juga sering ikut dalam operasi penumpasan pemberontak yang dilakukan oleh aparat keamanan yang menjaga desa mereka. Dalam operasi itu mereka menunjukkan rumah orang-orang Gayo yang dicurigai sebagai pendukung GAM. Kadang mereka juga ikut bersama aparat memburu (Bisa diartikan secara harfiah) orang Gayo yang dijadikan target. Bahkan masih menurut warga Desa Waq, pada masa itu tidak jarang orang Jawa tetangga mereka juga ikut menyiksa sampai mati orang Gayo yang dicurigai sebagai anggota atau pendukung GAM.

Sementara itu orang-orang Gayo warga Desa Waq sendiri tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Ketidakmampuan Orang Gayo warga Desa Waq dalam memberi perlawanan ini membuat orang-orang suku Jawa yang tinggal desa tetangga mereka semakin merasa berkuasa. Buah kopi di kebun warga Desa waq yang merupakan sumber penghasilan mereka dengan leluasa dipetik oleh orang-orang suku Jawa yang tinggal desa tetangga mereka itu. Mereka juga tidak segan mengambil hak milik warga Desa waq. Toko kelontong milik seorang warga suku Aceh yang berdagang di Desa Waq mereka jarah secara terbuka. Begitu merasa berkuasanya orang-orang suku Jawa ini di masa konflik sampai-sampai lapangan Sepak Bola milik warga desa Waq juga berani mereka kuasai. Malah sekarang lapangan sepak bola itu sudah mereka jual.

Pada masa itu setiap malam hari tiba, warga Desa waq selalu dilanda ketakutan mencekam. Waktu itu sehabis shalat maghrib Warga Desa Waq akan segera masuk ke rumah dan mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa berani untuk keluar. Lalu di dalam rumah, setiap detik mereka berdo'a dan berharap-harap cemas jangan sampai ada ketukan di pintu rumah mereka. Bagi warga Desa waq, setiap kali matahari menghilang dari cakrawala dan udara berubah menjadi semakin dingin, seolah-olah malaikat maut turun dan dengan santai berjalan mengelilingi desa mereka, melewati setiap rumah satu persatu dan memilih dengan acak sesuka hati rumah mana saja yang ingin dia datangi.

Di masa konflik itu, ketukan pintu di malam hari adalah horor yang sehoror-horornya bagi warga Desa Waq. Pada masa itu, bagi mereka ketukan di malam hari berarti kematian telah menghampiri salah seorang anggota keluarga yang mereka cintai. Ketukan di malam hari berarti ada aparat yang datang bersama orang-orang suku Jawa warga desa tetangga mereka yang mencari salah satu anggota keluarga mereka yang disinyalir sebagai anggota atau simpatisan GAM. Dan kalau saat didatangi itu anggota keluarga yang dimaksud ditemukan berada di rumah. Tangisan dan raunganpun akan segera pecah di rumah tersebut. Karena ketika si anggota keluarga tersebut dibawa oleh aparat maka berarti saat itu pulalah terakhir kalinya mereka bisa menyaksikan anggota keluarga yang mereka cintai itu dalam kondisi bernyawa. Keesokan harinya ketika matahari kembali terbit dan alam kembali terang benderang, bisa dipastikan anggota keluarga yang dijemput tersebut akan ditemukan dalam kondisi babak belur dan sudah menjadi mayat.

Pada setiap keluarga di Desa Waq yang beruntung tidak mendapat ketukan di malam hari. Sedikit kelegaan muncul setiap kali pagi menjelang. Tapi rasa was-was dan ketakutan kembali datang ketika malam tiba.

Begitu mencekamnya suasana malam di Desa waq pada masa itu sehingga sampai hari inipun warga Desa Waq seringkali masih merasa cemas dan ketakutan jika pada malam hari warga desa ini mendengar suara ketukan di pintu rumah mereka.

Pada masa itu pemuda adalah komponen yang paling dicurigai sebagai anggota atau simpatisan GAM dan menjadi target utama operasi yang dilakukan oleh aparat dan suku Jawa warga desa tetangga Desa Waq. Sehingga waktu itu sangatlah berbahaya bagi seorang pemuda untuk berada di desa Waq. Akibat dari situasi seperti ini. Setelah banyak pemuda Desa Waq yang tewas menjadi korban. Semua pemuda desa Waq yang tersisa mengungsi ke luar daerah bahkan ke luar pulau Sumatra.

Keadaan ini sempat menimbulkan masalah tersendiri bagi Desa Waq. Karena sebagaimana halnya yang terjadi di desa-desa lain di Tanoh Gayo. Di Desa Waq inipun pemuda selalu memegang peranan penting dalam setiap hajatan yang diselenggarakan di desa ini. Entah itu hajatan perkawinan, kelahiran sampai orang meninggal. Karena pada masa itu di Desa Waq sudah tidak ada lagi pemuda yang tinggal. Pernah suatu waktu ketika ada warga desa Waq yang meninggal, warga desa ini kesulitan mencari penggali kubur.

Sekarang, setelah perdamaian berhasil dicapai, suasana di desa ini menjadi jauh lebih tenang dan wargapun tidak lagi dihinggapi rasa ketakutan. Pemuda-pemuda desa ini yang dulu melarikan diri telah kembali ke kampungnya dan Desa Waqpun kembali ramai.

Suasana tenang dan damai tanpa rasa was-was dan ketkutan itu dapat saya rasakan sendiri ketika proses wawancara ini berlangsung. Wawancara ini saya lakukan sekitar jam 12 malam dalam dinginnya udara pegunungan, di dapur bertiang bambu dan beratap seng yang terbuka tanpa dinding yang khusus dibuat untuk pesta pernikahan yang saya hadiri ini. Di dapur yang terletak tepat di tepi kebun kopi di bagian belakang rumah ini. Saya bersama sekitar sepuluhan pemuda Desa Waq yang semuanya (termasuk saya) menutupi tubuh dengan kain sarung, berdiang menghangatkan badan di depan tungku, mengobrol sambil minum kopi.

Pemuda-pemuda Desa Waq yang saya ajak mengobrol itu menceritakan dengan gamblang bagaimana pengalaman mereka menyelamatkan diri semasa konflik. Ada yang selamat kerena sempat menjatuhkan diri ke dalam jurang ketika sedang dikejar aparat. Ada yang sempat lari ke luar dalam mobil pick up dengan menyembunyikan diri di bawah tumpukan sayur dan macam-macam pengakuan lagi.

Mendengar pengakuan mereka dan cara mereka menyelamatkan diri saya mendapat gambaran kalau pada masa konflik yang belum terlalu lama terjadi itu tentu tidak sedikit teman-teman mereka yang tewas menjadi korban. Ketika perihal itu saya tanyakan. Seorang pemuda yang duduk paling dekat dengan tungku menyebutkan beberapa nama. "Subhan, Azhari..." katanya menyebut nama-nama temannya yang tewas sambil menggunakan jari tangannya untuk menghitung. Dia menyebutkan paling tidak ada 20 orang temannya yang tewas saat itu. Beberapa diantaranya sempat dia saksikan sendiri saat dijemput oleh aparat yang dibantu oleh warga desa tetangganya dan dia sendiri pula yang mengambil jenazah temannya itu tidak berapa lama berselang setelah diambil aparat.

Dia menceritakan saat itu seorang temannya tertangkap dsi saiang hari. Temannya itu dinaikkan ke mobil yang dipenuhi aparat dan warga desa tetangga mereka. Melihat itu karena tahu apa yang akan terjadi kalau temannya itu sempat dibawa. Dia bersama puluhan warga Desa waq yang lain yang menyaksikan kejadian itu menghalang-halangi mobil aparat yang akan membawa teman mereka ke suatu tempat itu. Tapi usaha mereka tidak berhasil. "Biarkan kami lewat, teman kalian cuma sebentar kami bawa", begitu kata si pemuda ini menirukan ucapan salah seorang aparat yang membawa teman mereka waktu itu.

Beberapa jam kemudian si aparat yang sama mendatangi mereka dan mengatakan urusannya dengan teman mereka sudah selesai dan si aparat menyuruh mereka menjemput temannya di sebuah tempat yang dia sebutkan. Merekapun bergegas ke tempat yang disebutkan oleh si aparat tadi. Ketika si pemuda yang saya wawancarai ini bersama beberapa warga Desa Waq lainnya sampai di tempat yang disebut si aparat. Mereka menemukan teman mereka yang tadi mesih segar saat dibawa dalam mobil sekarang sudah menjadi mayat dengan perut terbelah dan usus terburai.

Dari cerita-cerita yang saya dapatkan dari semua warga Desa waq yang sempat saya ajak ngobrol. Secara umum, pada masa itu orang-orang suku Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq bisa dikatakan semuanya bersikap arogan dan menunjukkan rasa permusuhan terhadap orang Gayo. Sehingga ada kesan konflik yang sebenarnya konflik vertikal ini telah berevolusi menjadi konflik antar etnis.

Tapi menurut pemuda warga Desa Waq yang saya wawancarai ini anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Karena meskipun secara umum pada masa konflik itu sikap orang Jawa yang tinggal di desa-desa di sekeliling Desa waq terhadap orang Gayo adalah seperti yang saya gambarkan di atas. Tapi ada juga sekelompok orang suku Jawa yang juga tinggal bertetangga dengan Desa Waq yang tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap orang Gayo.

Orang-orang Jawa ini bahkan beberapa kali membantu menyembunyikan dan menyelamatkan Orang Gayo yang sedang dicari dan diburu oleh orang Jawa dari desa lain. Pemuda yang saya wawancarai ini adalah salah satu saksi hidup peristiwa seperti itu. Dia bercerita kalau waktu itu dia sedang dikejar oleh aparat bersama orang-orang suku Jawa bersenjata rakitan sampai satu saat dia terpojok. Saat dia terpojok itu, dia bertemu dengan orang Jawa yang kebunnya berbatasan dengan kebun miliknya. Melihat situasi seperti itu. Oleh tetangganya yang orang Jawa ini dia disembunyikan di salah satu kolong dapur di rumah kebun milik tetangganya itu. Ketika aparat dan orang-orang Jawa yang mengejarnya bertemu dengan orang Jawa tetangganya ini. Si Tetangga ini mengatakan kalau si pemuda Gayo ini lari ke arah sungai. Aparat dan orang-orang suku jawa bersenjata rakitan yang memburunya mengejar ke arah yang ditunjukkan oleh si orang Jawa yang menyembunyikannya dan dia pun selamat.

Menurut si pemuda yang diselamatkan oleh orang Jawa tetangganya ini. Orang Jawa yang bersikap baik pada orang Gayo ini adalah warga Desa Geresek yang langsung berbatasan dengan Desa Waq. Masih menurut si pemuda yang saya wawancarai ini. Sebenarnya desa Geresek dibagi dua. Kedua desa Geresek itu dibatasi oleh sebuah alur sungai kecil. Satu bagian berbatasan langsung dengan Desa Waq, satu bagian lagi di sisi sungai bagian lain. Orang-orang Jawa yang tinggal di bagian Desa Geresek di sisi sungai dekat Desa Waq inilah yang bersikap bersahabat itu. Sementara warga desa Geresek di sebelah lain alur sungai sebaliknya sangat membenci warga Desa Waq karena dari desa inilah kedua orang Jawa yang ditemukan meninggal seperti yang saya ceritakan di atas berasal.

Sikap bersahabat orang Jawa dan Orang Gayo ini bisa saya saksikan sendiri pula pada malam itu di saat kami sedang mengobrol di dapur ini. Di saat kami sedang asyik mengobrol. Dari dalam kebun kopi yang gelap seorang pemuda suku Jawa datang. Dia masuk ke dapur, mencari tempat duduk lalu dengan santai ikut bergabung, mengobrol dan berdiang di dekat tungku bersama kami. Pemuda yang baru datang ini saya kenali sebagai suku Jawa karena ketika berbicara dalam bahasa Gayo, saya mendengar ada tekanan yang sangat khas Jawa pada pengucapan huruf 'P' dan 'B' dalam setiap kata yang dia ucapkan.

Sekarang setelah konflik berlalu. Seperti yang saya gambarkan di atas, orang Gayo warga Desa Waq tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap suku Jawa tetangga mereka yang dulu pada masa konflik juga menunjukkan sikap bersahabat kepada mereka. Tapi tidak demikian halnya pada orang-orang suku Jawa yang di masa konflik dulu menindas dan menzalimi mereka.

Pada masa damai ini, para pemuda yang dulu diburu dan dijadikan sasaran kekerasan oleh orang-orang suku Jawa tetangganya ini kembali bertemu dengan orang-orang yang dulu ikut memburu dan menyiksa mereka. Perjumpaan ini seringkali tidak bisa dihindari karena beberapa desa yang dihuni suku Jawa tersebut hanya memiliki akses jalan melalui Desa Waq untuk bisa mencapai kota-kota terdekat. Jadi intensitas pertemuan mereka cukup sering terjadi.

Beberapa dari pemuda desa Waq yang saya wawancarai ini sangat mengenali orang-orang suku jawa tetangga mereka yang semasa konflik dulu ikut memukulinya, bahkan membunuh teman dan saudaranya. Dan sekarang sering melintas di desa mereka.

Ketika pertemuan semacam itu terjadi. Menurut pemuda yang saya wawancarai ini, biasanya orang Jawa yang dulu memburu mereka itu selalu menundukkan kepala berusaha menyembunyikan wajah. Tampak sekali kalau mereka merasa was-was dan ketakutan.

Sepertinya rasa was-was dan ketakutan yang dialami oleh orang-orang suku Jawa yang dulu berlaku semena-mena terhadap orang Gayo adalah karena sekarang setelah perdamaian berhasil dicapai. Mereka merasa di posisi yang lemah. Aparat keamanan non organik yang dulu ditempatkan di desa mereka. Sesuai dengan amanat MoU Helsinki sekarang sudah ditarik.Sekarang mereka merasa telah kehilangan pelindung. Sepertinya dalam diri mereka mulai muncul rasa takut kalau-kalau warga desa Waq yang dulu mereka tindas dan mereka perlakukan semena-mena akan membalas dendam. Apalagi ketika mereka melewati Desa Waq, para pemuda desa ini seringkali memandangi mereka dengan pandangan sinis dan sikap menantang. Ketakutan dan rasa was-was merekapun semakin menjadi-jadi.

Tapi untungnya sejauh ini selama masa damai tidak pernah terjadi bentrok antar kelompok etnis yang berbeda ini. Sejauh ini selama masa damai, bentrokan terbuka tidak pernah terjadi karena saya melihat warga Desa Waq yang dulu sangat menderita akibat ulah orang-orang suku Jawa tetangga mereka itu tidak berani gegabah membalas perlakuan yang mereka terima dulu. Ada kesan yang saya dapatkan kalau warga Desa Waq ini begitu trauma dengan konflik yang dulu sempat terjadi di desa mereka. Sehingga ada kekhawatiran dalam diri warga Desa Waq kalau mereka membalas dendam hal itu akan kembali dijadikan alasan untuk mengundang kehadiran aparat ke desa-desa tetangga mereka.

Begitulah gambaran yang saya dapatkan mengenai keadaan desa Waq yang posisinya sangat unik ini, dalam tulisan berikutnya saya akan menceritakan pandangan warga desa ini tentang ide pembentukan provinsi ALA. Dan di lain waktu saya akan menuliskan pula pengalaman saya mengunjungi desa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari Desa Waq yang berkebalikan dengan Desa waq yang merasa terancam dengan keberadaan aparat TNI, desa ini justru merasa terancam dengan keberadaan GAM.

Wassalam

Win Wan Nur

1 komentar:

Agung Suryo mengatakan...

namanya juga politik om... ga bisa ngecap kalo suku X pro yg A ato suku Y pro dg B.

jadi sebelum berpolitik tuh kita harus bener2 bijak.
& kayaknya setelah suku dijadikan komoditi, sekarang agama juga mulai ditunggangi keparat2 politisi.

jadi kita harus waspada & selalu ingat.

hanya Allah yg maha benar & berkuasa, buukan suku X, Y ato Z