Kamis, 21 Januari 2010

Beraban-Bajera, Pelajaran Hidup 'Bersyari'at' Dari Orang Bali

Tulisan ini adalah Bagian pertama dari empat tulisan.

Kemarin dengan mengendarai Chevrolet Trooper aku melintasi jalan-jalan kecil di tengah persawahan desa-desa di Bali di daerah Tabanan, mulai dari Beraban sampai tembus ke Bajra.

Seberapa sering pun aku melakukan ini, berkendara menembus 'jantung' Bali yang belum banyak tersentuh hiruk-pikuk fasillitas modern selalu menarik. Melintasi jalan-jalan desa seperti ini, aku dapat merasakan dari dekat 'nafas' Bali yang sebenarnya.

Perjalanan kumulai dari Desa Beraban yang terletak tidak terlalu jauh dari Tanah Lot, menuruni sebuah jalan desa sempit untuk melintasi sebuah jembatan beton tanpa pembatas pinggir yang membelah sungai lebar berair dangkal dengan dasar batu paras, batuan lunak yang di Bali sering ditambang untuk digunakan sebagai bahan bangunan berbentuk batu bata, atau untuk membuat patung-patung khas Bali yang sering kita temui di depan rumah atau Pura, atau dinding ukiran penuh relief yang banyak menghiasi dinding-dinding Pura atau Kori, gerbang khas Bali yang tertutup bagian atasnya.

Di pinggir jalan yang terletak dipinggir sungai tidak jarang aku menemui perempuan Bali yang sedang menjunjung batu paras di atas kepalanya melalui jalan licin terjal dan mendaki dari tempat menambangnya di dasar sungai menuju pinggir jalan tempat dimana batu-batu yang kadang telah dibentuk persegi itu ditumpuk untuk kemudian dijual.

Keluar dari jembatan itu, mata langsung disuguhi hamparan sawah di desa Beraban yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabanan, yang di Bali dikenal sebagai kabupaten lumbung Padi. Persawahan di Desa Beraban ini terbentang luas sampai ke tepi lautan Hindia. Kadang di tengah persawahan itu terdapat Hotel atau Villa milik orang asing atau orang jakarta untuk disewakan kepada turis asing yang ingin berlibur di Bali, tapi jauh dari hiruk pikuk.

Sebagaimana pematang sawah-sawah yang ada di Bali, pematang -pematang sawah yang ada di tempat ini pun dibuat begitu rapih. Aku tidak pernah menyaksikan ada pematang sawah di tempat lain yang dibuat sedemikian rapih sebagaimana halnya sawah-sawah di Bali. Rapihnya pematang sawah ini kupikir pasti berkaitan erat dengan dengan cita rasa seni orang Bali yang terkenal tinggi.

Di Bali orang tidak pernah suka dengan segala sesuatu yang asal-asalan dan sederhana.

Sesajen dari daun kelapa yang aku temui di setiap jengkal tanah Bali sendiri adalah sebuah karya seni, paduan bunga, makanan dan jalinan daun kelapa itu sendiri mencerminkan sebuah karya seni.

Setiap upacara di Bali diiringi dengan musik dan tarian, tanpa musik dan tarian tidak ada upacara, itulah sebabnya di setiap desa di bali harus ada gamelan dan bleganjur. Gamelan digunakan saat upacara di pura dan para pemusiknya memainkan musik sambil duduk, sementara Bleganjur dipakai untuk musik saat orang Bali melakukan parade di jalan, parade yang merupakan bagian dari prosesi sebuah upacara. parade ini dilakukan dari pusat desa menuju ke pura, ke laut atau ke tempat mengaben. Setiap desa di Bali juga harus memiliki penari, karena beberapa upacara besar di Bali mengharuskan adanya prosesi tarian, itulah sebabnya setiap laki-laki di Bali minimal bisa bermusik dan setiap perempuan di Bali minimal bisa menari.

Setiap pura dibali dihiasi dengan patung-patung dan ukiran-ukiran rumit yang mencerminkan cita rasa seni ketimuran yang sangat tinggi. Pura-pura di Bali ini tidak dibuat dari material yang kokoh yang bisa bertahan berabad-abad seperti candi Borobudur dan Prambanan. Pura di Bali dibuat dari material yang lunak dan gampang hancur oleh cuaca dan waktu, karenanya setiap generasi di Bali berkewajiban merenovasi Pura-Pura yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Karena itulah tidak sedikit orang Bali yang memiliki kemampuan memahat dan mengukir, mereka memiliki kemampuan itu agar mereka bisa melakukan renovasi Pura dengan kualitas yang tidak berbeda dengan yang pernah dibuat oleh nenek moyang mereka.

Dengan keadaan seperti itu, tidaklah salah bila kita mengatakan bahawa setiap orang Bali adalah seniman.

Budaya Bali adalah Budaya tanah, budaya pertanian. Jiwa setiap orang Bali melekat pada tanah nenek moyang mereka, pada desa tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Tanah adalah pusat kehidupan orang Bali, karena itu pulalah pertanian adalah mata pencaharian utama orang Bali, seluruh kultur, budaya bahkan agama orang Bali berkaitan dengan tanah. Karena itulah bahkan sampai ke tepi pantai pun, di Bali yang kita temukan adalah SAWAH.

Sawah di Bali bisa berproduksi sepanjang tahun karena bagusnya sistem irigasi di daerah ini.

Semua desa di Bali memiliki sistem organisasi yang sangat rapih. Sebuah desa di bali dibagi menjadi beberapa banjar. Banjar ini merupakan sistem organisasi terkecil di Bali yang hubungan sesama anggotanya sangat rapat. Di setiap banjar terdapat apa yang disebut 'Bale Banjar', semacam Balai desa. di Banjar,s elain organisasi Banjar sendiri juga terdapat organisasi teruna-teruni, yaitu organisasi Pemuda yang seirng melaksanakan kegiatan kesenian, ada organisasi wanita, ada organisasi suka-duka, dan ada juga organisasi petani yang disebut SUBAK untuk petani lahan basah dan SUBAK ABIAN, untu petani lahan kering.

Sistem irigasi untuk areal persawahan di Bali, dikelola oleh organisasi yang bernama SUBAK ini. Seringkali air yang ada tidak mencukupi untuk mengairi seluruh petak sawah petani di banjar itu untuk menanam padi secara bersamaan. Ketika ini terjadi, SUBAK lah yang menentukan, siapa yang mendapat giliran tanam yang terlebih dahulu dan siapa kemudian. Inilah sebabnya sepajang tahun selalu ada penanaman dan panen Padi di pulau Bali, itu pulas ebabnya persawahan di bali selalu tidfak tampak satu warna, itulah sebabnya dalam pemandangan sawah di Bali selalu terdapat gradasi warna mulai dari hijau sampai kuning.

Waktu tanam yang tidak serempak ini dapat aku saksikan dengan jelas dalam perjalanan antara Beraban dan Bajera ini. Di sepanjang jalan aku menemui berbagai kegiatan di sawah, mulai dari menanam padi, membersihkan rumput liar, memanen sampai mengangkut hasil panen.

Karena sekarang, sudah banyak pemuda Bali yang lebih memilih bekerja di bidang Pariwisata, tanah-tanah sawah di Bali, terutama di daerah persawahan yang luas seperti di Tabanan ini banyak yang sudah di kelola dengan cara yang relatif modern. Untuk mengolah tanah sebelum ditanami, biasanya petani pemilik sawah menyewa traktor, untuk menanaminya mereka menyewa pekerja dari jawa yang dibayar secara borongan. Padi juga biasanya dijual sebelum dipanen kepada tengkulak yang menaksir harga seluruh padi di sawah tersebut, lalu tengkulak ini nantinya akan kembali menyewa pekerja upahan asal Jawa untuk memotong padi yang telah mereka beli dari petani Bali. Itulah sebabnya di pinggir parit-parit sawah yang akan dipanen atau ditanami, kita sering menemui tenda-tenda plastik berwarna biru atau oranye milik pekerja upahan asal Jawa yang sepanjang tahun bekerja di Bali, berpindah dari satu persawahan ke persawahan lain.

Padi yang ditanam di Bali sekarang, rata-rata adalah padi hasil silangan jenis IR yang bibitnya dijual di toko pertanian. Padi jenis ini hanya membutuhkan waktu 100 hari sejak mulai ditanam sampai panen. Padi jenis lama yang membutuhkan waktu antara 6 sampai 7 bulan untuk bisa dipanen, hanya ditanam orang Bali untuk konsumsi sendiri. Padi jenis ini yang ditanam tanpa pupuk dan bahan kimia dipanen dengan cara dituai untuk kemudian disimpan dalam lumbung keluarga dan dikeluarkan sedikit demi sedikit untuk konsumsi keluarga.

Bersambung...

Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=1524941840#/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840


Notes : Bagi para pembaca yang berasal dari Bali, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam tulisan ini terdapat beberapa kesalahan informasi tentang adat budaya dan agama hindu Bali.

Tidak ada komentar: