Tulisan ini adalah bagian ketiga dari 4 tulisan. Tulisan sebelumnya dapat dibaca di http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup.html dan http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup_22.html dan http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup_24.html
Tanah adalah hidup dan jiwa orang Bali, seluruh tanah yang ada di Bali sudah habis dibagi menjadi desa-desa adat yang dimiliki secara turun-temurun oleh orang Bali. Orang Bali hanya diakui sebagai Orang Bali jika mereka memiliki Desa Adat. Orang yang tidak memiliki desa adat, tidak bisa disebut orang Bali. Sementara itu desa adat adalah warisan, orang hanya bisa memiliki desa adat di Bali, jika mereka memiliki nenek moyang yang memiliki desa adat. Sebab memiliki desa adat berkaitan erat dengan tanggung jawab, bukan hak.
Orang Bali tidak pernah lepas dari nenek moyangnya, meskipun sudah meninggal, orang Bali percaya roh nenek moyang mereka tetap ada dan masih terus mengunjungi keturunan mereka. Karena itulah di setiap rumah di Bali ada pelinggih, yaitu sebuah Pura yang dibuat untuk tempat bersemyam roh anggota keluarga yang sudah meninggal jika sedang datang berkunjung. Di setiap Desa di Bali juga terdapat minimal tiga buah Pura, masing-masing satu untuk satu Dewa Tri Murti, Syiwa, Brahma dan Wisnu. Pura untuk Syiwa disebut Pura Dalem, Pura untuk Brahma disebut Pura Desa dan Pura untuk Wisnu disebut Pura Puseh. Konsep tiga pura ini dikenal dengan nama konsep Kahyangan Tiga yang diperkenalkan oleh seorang pendeta besar Hindu bernama Mpu Kuturan.
Di seluruh desa yang ada di Bali selalu ada dua kategori desa, yaitu desa adat seperti yang saya sebutkan di atas dan desa administratif. Setiap desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut 'Klian'. Kepala desa adat disebut 'Klian adat' sedangkan kepala desa administratif disebut 'klian dinas'. Di desa-desa di Bali, biasanya 'Klian adat' lebih dihormati ketimbang 'klian dinas'. Para pendatang dan orang Bali yang tinggal di luar desa adatnya, akan masuk sebagi warga desa dinas. Semua orang Bali yang merupakan anggota atau rakyat dari sebuah Desa adat, berkewajiban memelihara dan membayar iuran untuk pura-pura itu. Tapi yang 'cuma' warga desa administratif, entah itu pendatang dari luar pulau atau orang Bali sendiri yang nenek moyangnya tidak berasal dari desa itu, tidak memiliki kewajiban seperti ini.
Itulah sebabnya, meskipun pendatang di Bali secara administratif kenegaraan memiliki tanah di Bali, tapi menurut Budaya Bali, para pendatang itu hanya menumpang hidup di Bali, meskipun mereka telah hidup dari generasi ke generasi. Karena tidak memiliki kewajiban untuk memelihara Pura, mereka tetap bukan orang Bali. Seluruh pendatang yang datang ke Bali dan menetap di pulau ini harus memaklumi hal itu.
Setiap Pura Kahyangan Tiga ini diupacarai setahun sekali, acara ini dinamakan 'Piodalan', atau orang Bali lebih sering secara singkat menyebutnya 'ODALAN'. Penanggalan yang digunakan untuk menghitung hari upacara untuk setiap Pura itu bukan penanggalan masehi atau penanggalan Hindu yang dihitung dengan tahun saka. Penanggalan yang dipakai adalah penanggalan Bali, yang setahunnya cuma berisi 210 hari. Ulang tahun dan juga semua hari raya di Bali dilangasungkan dengan berpatokan kepada penanggalan ini, kecuali nyepi yang dihitung dengan Tahun Saka. Pemakaian penanggalan inilah yang menyebabkan jika kita menanyakan umur kepada orang-orang tua di Bali, tidak jarang mereka kadang menyebut umur mereka 120 tahun.
Dalam perjalanan ini aku menyaksikan sebuah acara piodalan di sebuah desa. Acara ini wajib diikuti oleh seluruh warga desa, besar dan kecil. Beberapa warga desa yang bekerja di Kuta atau Denpasar juga harus kembali ke desa adatnya untuk melakukan upacara ini. Kewajiban seperti inilah yang membuat tidak banyak orang Bali yang merantau ke luar daerah, itu karena orang Bali begitu terikat dengan tanahnya. Di Bali, saat seorang bayi lahir, ari-arinya akan ditanam di depan rumah. Orang Bali percaya kekuatan gaib (di Bali disebut Niskala) dari ari-ari ini akan melindungi si bayi dari kekuatan jahat.
Selain untuk piodalan ini, orang Bali juga harus kembali ke Desa adatnya, kalau salah seorang warga desa ini melakukan upacara ngaben, upacara terakhir untuk manusia sebelum jiwanya menjadi murni dan bersatu dengan para Dewa. Tapi upacara Ngaben ini adalah upacara yang sangat mahal, karena itu tidak banyak orang Bali yang langsung diaben saat meninggal. Orang yang langsung diaben saat meninggal biasanya adalah orang-orang berkasta tinggi. Sementara itu orang Bali berkasta Sudra yang jumlahnya sekitar 95% orang bali, biasanya terlebih dahulu menguburkan jasad keluarganya yang meninggal di perkuburan di dekat Pura Dalem. Nanti jasad di dalam kubur itu akan digali kembali untuk di'aben' bersama-sama dengan jasad-jasad lain dalam sebuah acara 'ngaben massal'. 'Ngaben' seperti ini lebih murah karena biaya ngaben ditanggung bersama diantara semua keluarga yang salah seorang anggotanya diaben. Kalau untuk mengikuti 'Ngaben' massal ini pun masih terlalu berat untuk keluarga tersebut, mereka biasanya menumpang mengaben pada acara ngaben sebuah keluarga Brahmana, jika salah seorang anggota keluarga Brahmana tersebut meninggal. Mahalnya biaya upacara ini bukanlah dari biaya pembakaran jasad orang yang meninggal tersebut, tapi biaya yang dibutuhkan untuk membeli Banten serta makanan dan minuman yang harus disediakan untuk warga sekampung yang mengikuti seluruh prosesi kegiatan itu selama berhari-hari sampai abu pembakaran di buang ke laut dan perairan air tawar.
Ngaben adalah ritual terakhir sekaligus paling penting bagi orang Bali. Orang Bali percaya bahwa hanya dengan mengaben lah tubuh fisik dan tubuh spiritual benar-benar bisa dipisahkan dengan sempurna. Setelah di'aben', tubuh fisik manusia yang berasal dari alam dikembalikan ke alam, sedangkan tubuh spiritual yang suci kembali bersatu bersama para dewa di puncak Gunung Agung dan sesekali mengunjungi keluarga yang ditinggalkan melalui 'Sanggah Kemulan' atau Pura Keluarga.
Karena alasaan itulah, semua orang Bali melakukan prosesi 'ngaben' yang sangat mahal ini terhadap anggota keluarganya yang meninggal, kecuali penduduk desa Trunyan, sebuah desa suku Bali Aga (suku Bali yang sudah menghuni pulau ini sebelum gelombang kedatangan rakyat Majapahit dari Jawa). Di sana jasad orang yang telah meninggal diletakkan di bawah sebatang pohon.
Ngaben ini tidak boleh dilakukan sendiri, tapi harus sekampung beramai-ramai. Pentingnya prosesi ngaben ini jugalah yang menyebabkan orang Bali merasa bencana terbesar dalam hidup adalah diusir dari kampungnya. Karena kalau ini terjadi, artinya tidak akan ada orang yang akan mengabeninya saat dia meninggal nanti.
Kembali ke Piodalan. Acara Piodalan sendiri juga tidak murah, untuk piodalan setiap warga desa adat harus menyumbangkan sesuatu untuk perayaan itu. Yang kaya menymbangkan uang, beras atau babi, sementara yang kurang mampu menyumbangkan tenaganya. Selain untuk Pura, dalam acara piodalan, tiap keluarga juga harus membuat 'banten' yaitu sesajen yang berisi buah dan kue-kue dan juga di tiap rumah dipasangi 'Penjor', yaitu sebatang bambu yang dihias dengan daun kelapa dan bulir-bulir padi. Setiap orang Bali mengikuti dengan setiap upacara mahal ini dengan penuh kesadaran. Tidak jarang penghasilan mereka selama sebulan habis untuk membiayai upacara semacam ini.
Tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini yang lebih banyak dikunjungi orang asing ketimbang Bali, tapi anehnya tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini di mana warganya berpegang begitu erat pada identitas dan kebiasaan lokalnya dibandingkan orang Bali.
Begitulah kisah perjalananku kemarin, dari Beraban sampai ke Bajera.
Dalam perjalanan singkat yang suma sekitar 2 jam itu aku bisa dengan jelas menyaksikan kehidupan dan cara hidup orang Bali di abad modern ini. Tanpa perlu sebuah Qanun yang disahkan oleh DPRD, mereka tetap bisa hidup dengan berpegang kuat pada'syari'at' agama dan kepercayaan mereka. Tanpa perlu bersikap munafik dan bermuka dua, tanpa perlu mengejar-ngejar kaum perempuan, identitas HINDU tetap melekat erat pada identitas mereka sebagai Orang BALI.
Kemudian dalam bagian akhir tulsan ini saya ingin memberikan sedikit pendapat pribadi saya mengenai orang Bali.
Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan orang Bali. Saya melihat perbedaan mendasar antar kita dengan orang Bali adalah; Kita gampang sekali memandang rendah dan memandang tinggi orang dan cara hidup yang berbeda dengan kita, yang kita nilai menurut standar kita. Sementara orang Bali yang saya kenal sangat berbeda, kalau tidak diganggu, mereka jarang sekali mau usil dengan nilai menilai cara hidup orang lain.
Mereka yang saya kenal tidak begitu terbiasa menganggap budaya orang lain lebih rendah atau lebih tinggi dari budaya atau cara hidup mereka. Kalau ada yang berbeda dari mereka, ya mereka menganggap itu BEDA, itu saja, tidak lebih hebat atau kurang hebat dibanding mereka.
Dan dengan ini pun saya akhiri keempat seri tulisan ini.
Lalu, sekali lagi, bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah dalam keempat seri tulisan ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh yang pernah tinggal di Bali
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840 dan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar